ArticlePDF Available

Abstract and Figures

This article examines critically the Law Number 6 of 2014 concerning Village with the perspective of access and exclusion dymanics. Focused on the natural resource questions, this paper demonstrates that Village Law has normatively provide a broader political opportunity for the villagers to access local natural resources, yet the law itself contains some threats of exclusion. The legislation of the law is oriented to rehabilitate the autonomy of the village from the long trajectory of state corporatism, but without takes into account (and hence, failed to address) the marginatization of village caused by agrarian and ecological crises as the consequence of capitalist expansion. To go beyond this legal limitation, this paper explores five empirical cases to demonstrate various forms of agrarian and ecological crises and different responses by villagers to address them. Accordingly, six themes of learning are formulated to propose a new direction for the village reform movement. The exploration also leads to a conclusion that in order to confront capitalist expansion both strategies of “struggle for access” and “struggle against exclusion” should be simultaneously exercised in the future of village reform movement. ABSTRAK Artikel ini menelaah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) secara kritis melalui perspektif dinamika akses dan eksklusi. Berfokus pada persoalan sumberdaya alam, artikel ini menunjukkan bahwa UU Desa secara normatif membuka peluang politik yang makin luas bagi akses warga desa atas sumberdaya alam, tetapi pada saat bersamaan juga mengidap sejumlah ancaman eksklusi. Perumusan UU Desa ditujukan terutama untuk memulihkan otonomi desa dari sejarah panjang korporatisme negara, tetapi proses legislasinya tidak memperhitungkan (dan akibatnya, gagal menjawab) marginalisasi desa akibat krisis agraria dan ekologis seiring derap maju kapitalisme ke pelosok perdesaan. Dalam rangka melampaui keterbatasan UU Desa ini, kajian ini mengeksplorasi lima kasus empiris untuk menunjukkan manifestasi berbagai bentuk krisis agraria dan ekologis di perdesaan serta ragam respons (warga) desa terhadap krisis yang dihadapi. Berdasarkan eksplorasi itu, enam topik pembelajaran dirumuskan dalam rangka menyumbang arah baru gerakan pembaruan desa. Eksplorasi tersebut juga mengantarkan pada satu kesimpulan penting bahwa dalam menghadapi ekspansi kapitalisme, strategi “perjuangan akses” dan “kontra eksklusi” harus dijalankan secara simultan dalam gerakan pembaruan desa di masa depan.
No caption available
… 
No caption available
… 
Content may be subject to copyright.
JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL NOMOR 36/TAHUN XIX/2017
wacana KAJIAN
Staf pengajar pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, dan peneliti
pada Pusat Studi Agraria, Institut Pertanian Bogor
m-shohib@ipb.ac.id
Mohamad Shohibuddin
Undang-Undang Desa dan Isu
Sumberdaya Alam: Peluang Akses atau
Ancaman Eksklusi?
2017 penulis.
Diterbitkan oleh INSISTPress (anggota Indonesian Society for Social
Transformation [
insi st
]). Tulisan ini disebarluaskan di bawah lisensi Creative Commons
Atribusi 4.0 Internasional (CC BY 4.0).
saran penulisan pustaka:
shoh ibu ddin, m., e. ca hyono,
dan
a.d. bah ri.
2017.
“Undang-Undang Desa dan Isu Sumberdaya Alam: Peluang Akses atau Ancaman Eksklusi?”
Wacana 36: 29–81.
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Bogor
Eko Cahyono
Manager Pengelolaan Pengetahuan Sajogyo Institute, Bogor
Adi Dzikrulloh Bahri
30 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
Artikel ini menelaah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(UU Desa) secara kritis melalui perspektif dinamika akses dan eksklusi.
Berfokus pada persoalan sumberdaya alam, artikel ini menunjukkan
bahwa UU Desa secara normatif membuka peluang politik yang makin
luas bagi akses warga desa atas sumberdaya alam, tetapi pada saat
bersamaan juga mengidap sejumlah ancaman eksklusi. Perumusan
UU Desa ditujukan terutama untuk memulihkan otonomi desa dari
sejarah panjang korporatisme negara, tetapi proses legislasinya tidak
memperhitungkan (dan akibatnya, gagal menjawab) marginalisasi de-
sa akibat krisis agraria dan ekologis seiring derap maju kapitalisme ke
pelosok perdesaan. Dalam rangka melampaui keterbatasan UU Desa
ini, kajian ini mengeksplorasi lima kasus empiris untuk menunjukkan
manifestasi berbagai bentuk krisis agraria dan ekologis di perdesaan
serta ragam respons (warga) desa terhadap krisis yang dihadapi.
Berdasarkan eksplorasi itu, enam topik pembelajaran dirumuskan
dalam rangka menyumbang arah baru gerakan pembaruan desa.
Eksplorasi tersebut juga mengantarkan pada satu kesimpulan penting
bahwa dalam menghadapi ekspansi kapitalisme, strategi “perjuangan
akses” dan “kontra eksklusi” harus dijalankan secara simultan dalam
gerakan pembaruan desa di masa depan.
kata kunci: desa, sumberdaya alam, krisis agraria, krisis ekologis,
akses, eksklusi, gerakan sosial
This article examines critically the Law Number 6 of 2014 concerning
Village with the perspective of access and exclusion dymanics. Focused
on the natural resource questions, this paper demonstrates that Village
Law has normatively provide a broader political opportunity for the
villagers to access local natural resources, yet the law itself contains
some threats of exclusion. The legislation of the law is oriented to
rehabilitate the autonomy of the village from the long trajectory of
state corporatism, but without takes into account (and hence, failed to
address) the marginatization of village caused by agrarian and ecological
crises as the consequence of capitalist expansion. To go beyond this
legal limitation, this paper explores five empirical cases to demonstrate
various forms of agrarian and ecological crises and different responses
by villagers to address them. Accordingly, six themes of learning are
formulated to propose a new direction for the village reform movement.
The exploration also leads to a conclusion that in order to confront
capitalist expansion both strategies of “struggle for access” and “struggle
against exclusion” should be simultaneously exercised in the future of
village reform movement.
keywords:
village, natural resources, agrarian crisis, ecological crisis,
access, exclusion, social movement
Abstrak
Abstract
31
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
Pendahuluan
Pada 26 September 2015, peristiwa mengenaskan terjadi di Desa Selok
Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Salim Kancil dan
Tosan, dua tokoh kunci dalam aksi penolakan warga desa terhadap
aktivitas penambangan pasir di kampungnya, dianiaya secara sadis
oleh sekelompok orang. Akibatnya, Salim Kancil meninggal dunia
dalam kondisi amat mengenaskan, sementara Tosan mengalami
luka parah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang
mengunjungi lokasi kejadian sembilan hari kemudian menyajikan
laporan mengenai peristiwa tersebut:
Pada Sabtu, 26 September 2015, sekitar pukul 7.30 WIB sejum-
lah masa sekitar 40 orang dengan menggunakan sepeda motor
mendatangi rumah Sdr. Salim. Mereka kemudian melakukan
penangkapan, mengikat tangan korban, melakukan pemukulan
dengan batu di depan rumah korban.
Selanjutnya, mereka membawa korban berjalan sekitar 400
meter ke arah jalan di dekat kebon pisang dan di depan rumah
warga Sdr. Salim mengalami tindak kekerasan berupa pemukulan
dengan menggunakan alat keras yang mengakibatkan korban
mengalami luka-luka berdarah pada bagian muka.
Dengan kondisi tangan masih terikat, korban kemudian dibawa
ke Kantor Desa Selok Awar-Awar yang berjarak sekitar 1.5 km. Ketika
berada di Kantor Pemerintah Desa, menurut keterangan saksi,
korban mengalami kekerasan antara lain dilakukan pemukulan
pada bagian muka dan juga distrum beberapa kali. Tindak kekera-
san ini dilakukan di depan masyarakat umum yang mana tidak
ada yang berani memberikan pertolongan kepada korban, bahkan
dilakukan di depan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
(...) Pada hari yang sama, Sdr. Tosan mengalami tindak keke-
rasan yang dilakukan sejumlah orang. Sebagai akibat dari tindak
kekerasan tersebut, korban mengalami luka yang serius dan sampai
dengan saat ini masih menjalani perawatan di Rumah Sakit di
Malang. (Komnas HAM 5 Oktober 2015; cetak miring ditambahkan)
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa aksi penganiayaan
yang menimpa Salim Kancil dan Tosan sangatlah brutal karena
dilakukan secara terang-terangan pada siang hari, di hadapan sorot
mata ketakutan warga desa, bahkan di depan anak-anak usia dini.
Tragisnya, aksi penganiayaan yang menimbulkan korban jiwa itu
justru dilakukan atas dasar perintah kepala desa setempat,
1
turut
melibatkan dua belas pelaku orang dekat kepala desa, dan dilakukan
antara lain di gedung kantor desa.
1.  Karena peran
kuncinya ini, Kepala
Desa Selok Awar-Awar
dituntut hukuman
penjara seumur
hidup dalam sidang
pengadilan yang masih
berlangsung saat artikel
ini ditulis.
32 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
Bila ditempatkan pada konteks yang lebih
besar, peristiwa Selok Awar-Awar menciptakan
ironi tersendiri. Pasalnya, UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa)
belum genap dua tahun ditetapkan, dan saat
itu sedang dalam tahap awal pelaksanaan serta
tengah gencar-gencarnya disosialisasikan. Tak
pelak, peristiwa itu semakin membuka mata
banyak pihak mengenai kemungkinan otonomi
desa berakhir sebagai “pedang bermata dua”.
Di satu sisi, UU Desa berhasil menyediakan pe-
luang besar bagi warga desa untuk mengakses
proses politik dan sumberdaya alam di desa.
Di sisi lain, kewenangan besar yang dimiliki
desa dapat kian memudahkan elite desa yang
berkuasa (powerful) untuk menggunakannya
demi memenuhi kepentingan pribadi sekaligus
pada saat bersamaan menegasikan hak-hak dan
kepentingan umum masyarakat desa. Ringkas-
nya, UU Desa tidak hanya menyediakan peluang
akses tetapi juga ancaman eksklusi.2
Artikel ini hendak menyoal UU Desa dari
sudut pandang dinamika akses dan eksklusi
dengan menempatkan desa dalam konteks
besar pergelaran ekspansi kapitalisme. Seca-
ra teoretis, artikel ini terilhami oleh perspektif
akses dan eksklusi yang secara berturut-turut
dikembangkan oleh Ribot dan Peluso (2003) ser-
ta Hall et al. (2011). Dengan mengombinasikan
dua perspektif tersebut, artikel ini mencermati
dinamika akses dan eksklusi sebagai proses
yang berlangsung secara serentak—bukan seba-
gai dua proses yang saling terpisah atau terjadi
secara berurutan—pada seputar isu UU Desa
dan pelaksanaannya. Mengambil tamsil mata
uang, akses dan eksklusi dipandang sebagai
dua sisi dengan tampilan yang berlainan dari
keping yang sama.
Dalam menyoal UU Desa dari sudut pandang
dinamika akses dan eksklusi, artikel ini berfokus
pada isu sumberdaya alam.3 Sejauh ini, diskusi
mengenai UU Desa lebih banyak berkisar pada
isu-isu tata pemerintahan desa, keuangan desa,
2. Mengenai kekha-
watiran ini, lihat,
misalnya, Shohibuddin
(2016a). Sebelumnya,
pelaksanaan otonomi
daerah juga telah
menuai banyak kritik
karena justru menyu-
burkan “jaringan
patronase predatoris
yang terdesentralisasi”
(Hadiz 2004: 699),
ketimbang memperkuat
demokrasi lokal dan
pemberdayaan masya-
rakat.
3. Dalam artikel ini,
istilah “sumberdaya
alam” dan “sumber-
sumber agraria” dipakai
secara bergantian
untuk pengertian yang
sama, yaitu merujuk
kepada bumi, ruang
angkasa, tanah, hutan,
wilayah perairan beserta
kekayaan alam yang
dikandungnya. Penulis
menyadari perbedaan
sejarah terminologi dari
dua istilah tersebut,
tetapi istilah sumber-
daya alam sengaja
dipilih agar dua aspek
krisis pedesaan (krisis
agraria dan krisis eko-
logis) bisa sekaligus
terwakili melalui kono-
tasi yang diberikan oleh
istilah tersebut.
33
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
peraturan desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pemberdayaan,
dan partisipasi masyarakat desa. Tetapi, isu-isu penting itu tidak
dikaitkan dengan persoalan sumberdaya alam.4 Baru sedikit tulisan
yang membahas isu sumberdaya alam dalam UU Desa dan implikasi-
nya pada pelaksanaan UU Desa. Zakaria (2014 dan 2015a) menyoroti
implikasi rekognisi atas “hak asal-usul” dan “hak tradisional” terhadap
kewenangan desa atas sumberdaya alam di wilayahnya. Tetapi,
konteks kajian Zakaria (2014) terbatas pada kategori “desa adat”
yang diintrodusir oleh UU Desa, bukan desa secara umum. Artikel
Shohibuddin (2016b) mendiskusikan kategori desa secara umum
dan menunjukkan keterbatasan prinsipil UU Desa sejauh persoalan
sumberdaya alam menjadi kepedulian utamanya. Shohibuddin (2016b)
mengajukan tiga agenda “demokratisasi tata kelola sumberdaya alam
desa” untuk melampaui keterbatasan UU Desa dan membawa kembali
perjuangan pembaruan desa ke ranah perjuangan sosial, yaitu (1)
penguatan kewenangan desa atas sumberdaya alam setempat; (2)
demokratisasi relasi-relasi sosio-agraria di desa; dan (3) pembalikan
krisis pedesaan dalam rangka merevitalisasi basis-basis produksi
desa. Tetapi, artikel Shohibuddin tersebut bersifat konseptual tanpa
mengangkat kasus-kasus empiris pergulatan nyata (masyarakat)
desa dalam memperjuangkan kontrol efektif atas sumberdaya alam
di wilayahnya.
Artikel ini melanjutkan kepedulian Shohibuddin di atas dengan
menggabungkan dua ranah pembahasan sekaligus: normatif dan
empiris. Pada ranah normatif, artikel ini menilik peluang politik yang
disediakan oleh UU Desa dan keterbatasannya sejauh menyangkut
isu sumberdaya alam. Pada ranah empiris, artikel ini mengkaji kasus-
kasus gerakan sosial pedesaan (atau ketiadaannya) dalam merespon
krisis agraria dan ekologis, juga bagaimana berbagai inisiatif gerakan
sosial (atau ketiadaannya) itu memberi pembelajaran untuk melampaui
keterbatasan UU Desa dan memberi arah baru (reorientasi) bagi
gerakan pembaruan desa. Empat pertanyaan berikut diajukan untuk
memandu sistematika artikel ini:
1.
Sejauh mana dan dalam pengertian bagaimana UU Desa mem-
berikan kewenangan besar pada desa dan membuka ruang
demokratisasi di desa?
2.
Dengan menjadikan isu sumberdaya alam sebagai fokus kepe-
dulian, seperti apa batasan-batasan (limits) dari peluang politik
yang disediakan oleh UU Desa, dan mengapa demikian?
3.
Bagaimana implikasi praksis dari keterbatasan UU Desa dalam
ranah penerapannya?
4.  Lihat Zakaria (2014)
dan Eko (2015) untuk
ulasan umum mengenai
berbagai pembaruan da-
lam UU Desa; Nurcholis
(2014) mengenai sistem
pemerintahan desa;
Abidin (2015) dan
Direktorat Penelitian
dan Pengembangan
Komisi Pemberatan
Korupsi (2016 menge-
nai keuangan desa;
Simarmata dan
Magdalena (2015)
mengenai legislasi
desa; Dewi dan Prasetyo
(2015) dan Budiono
(2015) mengenai Badan
Usaha Milik Desa;
Rozaki (2015) mengenai
pemberdayaan masya-
rakat desa; Zakaria
(2015b) mengenai
partisipasi masyarakat
desa.
34 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
4.
Perjuangan sosial seperti apa yang harus didorong untuk
melampaui keterbatasan UU Desa itu dan sekaligus memberi
arah baru bagi gerakan pembaruan desa? Bagaimana berbagai
inisiatif gerakan sosial pedesaan, atau ketiadaan inisiatif terse-
but,dapat memberi pembelajaran bagi upaya ini sekaligus
koreksi terhadap kebijakan negara?
Mengikuti empat pertanyaan tersebut, alur pembahasan artikel ini
diorganisasikan dengan sistematika sebagai berikut. Bagian penda-
huluan ini dilanjutkan dengan dua ulasan singkat mengenai metode
penelitian dan kerangka teoretis. Uraian berikutnya secara berturut-
turut mendiskusikan jawaban atas keempat pertanyaan di atas. Pokok
bahasan pertama mendiskusikan peluang akses atas sumberdaya
alam yang dibuka oleh UU Desa berdasarkan sejumlah peluang politik
yang secara normatif disediakannya. Selanjutnya, ulasan seputar
ancaman eksklusi dalam UU Desa terkait dengan keterbatasannya
dalam mengatur persoalan sumberdaya alam. Konsekuensi dari
keterbatasan ini pada tataran praksis berikutnya didiskusikan dengan
menempatkan UU Desa pada dua konteks struktural yang menjadi
arena utama pelaksanaannya: krisis agraria dan ekologis di wilayah
pedesaan serta diferensiasi sosial dan relasi-relasi kekuasaan yang
lebih luas.
Dari sini fokus pembahasan beralih dari ranah normatif menuju
ranah empiris dalam rangka melampaui keterbatasan UU Desa dan
mengusung kembali gerakan pembaruan desa ke arena perjuangan
sosial. Hal ini ditempuh dengan mengemukakan kasus-kasus gerakan
sosial pedesaaan (atau ketiadaannya) dalam merespons krisis agraria
dan ekologis beserta dinamika relasi kekuasaan yang melingkupinya.
Untuk itu, uraian akan dibuka dengan paparan mengenai kerangka
perjuangan sosial atas akses dan kontra eksklusi, dilanjutkan dengan
deskripsi lima kasus secara singkat. Berdasarkan uraian deskriptif
itu, bagian berikutnya memetik beberapa butir pembelajaran untuk
mewujudkan reorientasi perjuangan pembaruan desa yang lebih peka
pada isu sumberdaya alam. Bagian terakhir, penutup, merefleksi-
kan secara singkat uraian yang telah disajikan pada bagian-bagian
sebelumnya.
Metodologi Kajian
Artikel ini dihasilkan dari kombinasi antara kajian pustaka dan pe-
nelitian lapangan. Kajian pustaka digunakan untuk melakukan analisis
pada ranah normatif mengenai peluang politik yang disediakan UU
Desa sekaligus keterbatasannya. Pada ranah ini, kami melakukan
35
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
analisis isi (content analysis) atas UU Desa dan mengelaborasinya
dengan khazanah kepustakaan yang relevan. Sementara itu, penelitian
lapangan ditempuh sebagai metode kajian empiris atas kasus-kasus
gerakan sosial yang merespons krisis agraria dan ekologis di perdesaan
untuk dijadikan pembelajaran bagi upaya-upaya pembaruan desa di
bidang sumberdaya alam.Penelitian lapangan telah dilaksanakan
dalam kerangka penelitian aksi dan/atau advokasi yang telah dilaku-
kan oleh Sajogyo Institute selama 2007–2015 di mana para penulis
artikel ini turut terlibat.
Artikel ini mengangkat lima kasus lokal untuk menggambarkan
keragaman konteks agroekologis dan problem struktural di wilayah
perdesaan. Dari kelima kasus tersebut, terdapat satu kasus di mana
gerakan sosial absen di tengah krisis agraria dan ekologis yang cukup
parah, padahal rangsangan bagi aksi kolektif sudah mencukupi.
Dengan demikian, kajian ini hendak mengambil pembelajaran baik
dari keberadaan maupun ketiadaan gerakan sosial pedesaan di tengah
krisis agraria dan ekologis, dengan masing-masing menggambarkan
konteks agroekologi, krisis pedesaan, dan pola gerakan yang berlainan.
Kelima kasus yang diangkat yakni:5
1.
Perjuangan akses melalui reclaiming tanah perkebunan di
kampung Sumber Baru, Jawa Timur (diolah dari hasil peneliti-
an kolabor asi Sajogyo Institute dan Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional pada 2010);
2.
Perjuangan akses melalui rekognisi wilayah adat pada masyara-
kat adat Tana, Papua (diolah dari hasil penelitian advokasi
Sajogyo Institute pada 2015);
3.
Perjuangan kontra eksklusi terhadap perluasan kawasan kon-
servasi di Wana Asri, Banten (diolah dari hasil penelitian aksi
dan advokasi Sajogyo Institute selama 2007–2013);
4.
Perjuangan kontra-eksklusi terhadap penetapan kawasan
pertambangan karst di Giri Jaya, Jawa Tengah (diolah dari
hasil penelitian advokasi Sajogyo Institute sejak 2014 hingga
sekarang);
5.
Kasus desa pesisir Pantai Sentosa, Jawa Barat, di mana gerakan
sosial pedesaan absen di tengah krisis agraria dan ekologis
yang cukup kronis (diolah dari penelitian evaluasi Sajogyo
Institute pada 2015). (Selanjutnya, lihat Tabel 1 di bawah.)
Perspektif Akses dan Eksklusi
Kajian ini menggunakan perangkat teoretis akses dan eksklusi. Akses,
sebagaimana diteorisasikan oleh Ribot dan Peluso (2003), adalah ke-
5. Demi alasan
etis, kelima nama
lokasi disamarkan
(pseudonym).
36 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
lokasi dan
bentuk
perjuangan
konteks
agroekologis
problem struk-
tural utama
pelaku utama
dan basis
sosial
keterlibatan
desa
Kampung Sumber
Baru, Jawa Timur:
perjuangan akses
melalui reclaiming
tanah perkebunan
Kawasan
perkebunan
Stigma komunis,
perampasan tanah,
dan kemiskinan
di tengah sistem
perkebunan skala
luas yang didukung
militer
Masyarakat
tani yang
memobilisasi diri
dalam serikat tani
dan bergabung
dengan
Paguyuban
Petani Aryo Blitar
(PPAB)
Dukungan penuh
dari desa
Masyarakat adat
Tana, Papua:
perjuangan akses
melalui rekognisi
masyarakat adat
Kawasan hutan
lindung dan
konservasi
Ketakpastian
status tanah adat
dalam kawasan
hutan, rencana
pengembangan
wisata di Danau
Sentani, dan
rencana investasi
tambang
Masyarakat adat
Tana yang memo-
bilisasi diri atas
dasar identitas
adat
Dukungan penuh
dari kampung adat
Wana Asri,
Banten:
perjuangan kontra
eksklusi terhadap
perluasan
kawasan
konservasi
Kawasan
konservasi
Eksklusi wilayah
kelola dan
permukiman warga
karena perluasan
wilayah Taman
Nasional Ujung
Kulon (TNUK)
Masyarakat
tani yang
memobilisasi
diri atas dasar
kesatuan
kampung dan
kemudian
menjadi Serikat
Tani Ujung Kulon
Dukungan desa
cukup besar
Giri Jaya,
Jawa Tengah:
perjuangan
kontra-eksklusi
terhadap
pertambangan
karts pabrik
semen
Pegunungan karst
dan cekungan air
tanah Watu Putih
Ancaman eksklusi
dan kehancuran
ekologis seiring
pendirian pabrik
semen dan
pemberian izin
pertambangan
di Pegunungan
Kendeng (meliputi
Kabupaten Blora,
Grobogan, Pati, dan
Rembang)
Masyarakat tani
dan masyarakat
adat yang
memobilisasi
diri dalam
aliansi lebih
luas Jaringan
Masyarakat
Peduli
Pegunungan
Kendeng (JMPPK)
Terpecah: ada
kepala desa yang
menolak dan ada
yang mendukung
pabrik semen
tabel 1
Gambaran Umum
Kasus-Kasus yang
Dikaji
mampuan (ability) untuk memperoleh manfaat dari sesuatu yang tidak
hanya ditentukan oleh hak legal semata, tetapi juga oleh konstelasi
atau simpul kekuasaan (bundles of powers) yang lebih luas. Simpul
kekuasaan yang memungkinkan seseorang untuk membangun akses
atas sesuatu itu—di luar hak-hak yang didefinisikan secara legal (dan
ilegal)—tercipta dalam konteks struktural dan relasional yang men-
37
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
cakup beragam faktor seperti teknologi, modal, pasar, tenaga kerja,
pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan negosiasi serta jenis-jenis
relasi sosial lainnya.
Simpul-simpul kekuasaan yang bersifat legal dan relasional itu
pada saat bersamaan mesti berhadapan dengan simpul kekuasaan lain
yang mencegah seseorang untuk memperoleh manfaat dari sesuatu,
atau dengan ungkapan lain, membuatnya gagal membangun akses.
Hall et al. (2011) menyebut simpul kekuasaan yang menghalangi
seseorang untuk membangun akses itu sebagai kuasa eksklusi (powers
of exclusion). Ada empat kekuatan yang teridentifikasi dapat menim-
bulkan berlangsungnya proses eksklusi, yaitu regulasi, paksaan
(force), pasar, dan legitimasi.
Sebagaimana telah disinggung, akses dan eksklusi bukanlah
proses yang saling terpisah, melainkan dua proses yang berlangsung
serentak. Dalam kaitannya dengan UU Desa, proses akses dan eksklusi
secara serentak dimungkinkan berlangsung sebagai konsekuensi dari
berbagai ketentuan yang termaktub di dalamnya. Keduanya juga
merupakan proses yang sama-sama mengiringi dinamika kontestasi
di seputar pelaksanaan UU Desa. Artinya, dalam pelaksanaan UU
Desa terdapat beragam simpul kekuasaan yang membangun akses
maupun menyebabkan eksklusi, baik yang ditimbulkan oleh peluang
dan hambatan politik yang terkandung dalam UU Desa sendiri maupun
yang berasal dari konteks struktur ekonomi politik dan relasi-relasi
kekuasaan lebih luas yang melingkupi pelaksanaan UU Desa.
Sebagai konsekuensinya, ditinjau secara normatif, UU Desa mem-
buka peluang politik untuk membangun akses sekaligus menciptakan
ancaman eksklusi; keduanya memiliki implikasi mendasar pada
ranah praksis. Di sisi lain, ditinjau secara empiris, pelaksanaan UU
Desa sendiri tidak pernah netral, tetapi berlangsung dalam konteks
Pantai Sentosa,
Jawa Barat:
absennya gerakan
sosial pedesaan
Pesisir, muara
sungai, areal
pertambakan,
rehabilitasi
bakau, wilayah
pinggiran kota
Kemiskinan
warga dan desa;
dikelilingi peru-
mahan elit serta
wilayah kerja per-
tambangan minyak
dan gas Pertamina;
ketimpangan
agraria; degradasi
ekologis (banjir
akibat rob dan “ki-
riman” dari hulu);
sebagian wilayah
desa tercakup
dalam kawasan
Perhutani
Gerakan sosial
pedesaan tidak
muncul di tengah
meluasnya
fragmentasi
sosial masyarakat
desa dan alienasi
mereka dari
basis material
sistem produksi
pedesaan
Desa tidak
merespons krisis
agraria dan
ekologis, bahkan
turut menjadi
bagian dari
persoalan
38 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
struktural tertentu dan diwarnai pula dengan relasi-relasi kekuasaan
yang spesifik. Inilah yang melahirkan proses kontestasi di mana UU
Desa digunakan untuk menciptakan akses oleh beberapa pihak, atau
sebaliknya menimbulkan eksklusi bagi sebagian pihak lainnya. Di
sinilah gerakan atau perjuangan sosial menemui signifikansinya dalam
rangka melampaui keterbatasan mendasar UU Desa dan mendorong
perjuangan pembaruan desa.
Peluang Akses dalam UU Desa
Bagian ini pertama-tama akan menelaah signifikansi UU Desa bagi
penciptaan peluang politik dalam rangka demokratisasi desa. Menurut
Zakaria (2014: 8), ada lima aspek perubahan mendasar yang diusung
oleh UU Desa, yaitu (1) sistem desa yang beragam; (2) kewenangan
desa berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas; (3) konsolidasi
keuangan dan aset desa; (4) perencanaan desa yang terintegrasi; dan
(5) demokratisasi desa, termasuk konsekuensinya pada pemberdayaan
dan pendampingan masyarakat desa (lihat Gambar 1).
gambar 1
Lima Perubahan
Mendasar yang
Diusung UU Desa
sumber:
Zakaria (2014: 8)
Kelima perubahan mendasar tersebut pada dasarnya mengandung
dua agenda demokratisasi. Agenda pertama adalah demokratisasi
dalam konteks relasi negara-desa. Perwujudan agenda ini didorong
terutama melalui empat perubahan mendasar yang pertama. Agenda
kedua adalah demokratisasi dalam konteks relasi-relasi di dalam desa
sendiri (khususnya relasi desa-warga desa). Perwujudan agenda ini
secara khusus didorong melalui perubahan mendasar yang kelima.
39
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
Secara bersama-sama, dua agenda demokratisasi tersebut telah
menyediakan peluang politik yang cukup besar untuk mendorong
proses demokratisasi desa. Penjelasannya secara rinci disajikan pada
bagian berikut ini.6
Demokratisasi Relasi Negara-Desa
UU Desa telah menciptakan terobosan politik yang amat mendasar
dalam membalikkan relasi negara-desa menjadi lebih demokratis.
Apabila sebelumnya desa ditempatkan sebagai bagian dari negara
korporatis, desa kini merupakan representasi organik dari “peme-
rintahan masyarakat” yang berwenang untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan dan kemasyarakatan secara mandiri. Bahkan
“pemerintahan masyarakat” itu, sebagaimana ditunjukkan oleh
aspek pembaruan yang pertama, tidak harus mengambil bentuk
seragam ala desa Jawa (seperti pada era UU Nomor 5 Tahun 1979).
Sebaliknya, sesuai dengan keadaan setempat serta aspirasi dan
kebutuhan warganya,“pemerintahan masyarakat” itu dapat didasar-
kan pada sistem desa otonom untuk menjalankan local self-government
(disebut “desa”), atau pada sistem organisasi adat untuk menjalankan
self governing community (disebut “desa adat”).7 Peluang ini membuka
kemungkinan untuk mengubah desa menjadi desa adat (Pasal 100),
kelurahan menjadi desa (Pasal 12), kelurahan menjadi desa adat (Pasal
100), desa menjadi kelurahan (Pasal 11), desa adat menjadi desa (Pasal
100), dan desa adat menjadi kelurahan (Pasal 100).
Kewenangan desa yang cukup besar untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan dan kemasyarakatan serta menentukan ben-
tuk pemerintahannya sendiri dimungkinkan berkat dua asas utama
pengaturan desa yang merupakan pokok pembaruan kedua, yakni asas
rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi berarti “pengakuan terhadap
hak asal-usul”, sementara subsidiaritas berarti “penetapan kewe-
nangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk
kepentingan masyarakat desa” (Penjelasan UU Desa, bagian Asas
Pengaturan). Lebih lanjut, “hak asal-usul” yang disebutkan dalam
asas rekognisi diartikan sebagai “hak yang merupakan warisan yang
masih hidup dan prakarsa Desa atau masyarakat Desa sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain [berupa] sistem
organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat,
tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat De-
sa” (Penjelasan UU Desa Pasal 19, huruf a).
8
Berdasarkan pada kedua
asas inilah kewenangan desa diturunkan.
Konsekuensi dari dua asas tersebut sangatlah mendasar: desa
kini memiliki sejumlah kewenangan yang bersumber dari hak asal-
6. Penjelasan rinci
mengenai peluang
politik yang diciptakan
oleh UU Desa ini meru-
pakan perluasan atas
uraian Shohibuddin
(2016b).
7. Lihat Penjelasan
Umum UU Desa, khu-
susnya bagian Dasar
Pemikiran.
8. Dari sisi konstitu-
sional, pengakuan
atas hak asal-usul ini
mengacu Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan:
“Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat
hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan per-
kembangan masyarakat
dan prinsip Negara
Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.”
40 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
usul dan subsidiaritas, bukan sekedar kewenangan yang bersumber
dari asas perbantuan.
9
Kewenangan desa yang luas berdasarkan
dua asas tersebut sangat berbeda dari ketentuan sebelumnya (UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) di mana asas
desentralisasi menempatkan otonomi pemerintahan berhenti sampai
di tingkat kabupaten/kota saja (Zakaria 2014). Akibatnya, alih-alih
bersifat otonom, desa dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 diposisikan
sebagai bagian dari pemerintah kabupaten dengan kewenangan yang
sangat terbatas dan bersifat residual.10
Sejalan dengan pemberian kewenangan yang luas kepada desa
berdasarkan dua asas utama tersebut, UU Desa lebih lanjut mengin-
trodusir pembaruan yang ketiga, yakni penguatan kewenangan desa
atas anggaran pembangunan yang masuk ke desa dan kekayaan
yang dimiliki desa. Desa ditempatkan bukan lagi sebagai penerima
manfaat yang pasif dari anggaran pembangunan pemerintah pusat
atau daerah yang masuk ke desa, melainkan sebagai pihak yang
mengelola anggaran itu secara aktif. Desa juga diberikan keleluasaan
yang besar untuk mengelola dan mendayagunakan kekayaan yang
dimilikinya. Dengan demikian, terjadilah konsolidasi keuangan dan
aset desa di tangan pemerintah desa yang dapat dioptimalkan untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa (Zakaria 2014; Eko 2015).
Sebagai konsekuensi dari aspek pembaruan ketiga itu, UU Desa
menekankan keharusan perencanaan pembangunan yang integratif.
UU Desa membedakan secara tegas kegiatan pembangunan antara
yang disebut “membangun desa” dan “desa membangun”. Kategori
pertama berarti kegiatan pembangunan di desa oleh pihak-pihak luar
desa (pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, lembaga swadaya
masyarakat (
lsm
), dan sebagainya). Sementara kategori kedua berarti
kegiatan pembangunan desa yang direncanakan dan dijalankan oleh
desa dengan menggunakan dana dan aset yang dimiliki desa sendiri.
UU Desa mengharuskan kedua jenis pembangunan desa tersebut
untuk diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan di tingkat desa
yang dibahas dan ditetapkan oleh masyarakat desa sendiri. Tidak
boleh ada kegiatan pembangunan desa, baik yang berasal dari pihak
luar desa maupun dari inisiatif warga desa sendiri, tanpa terlebih
dahulu melalui proses perencanaan pembangunan di tingkat desa
(Zakaria 2014; Eko 2015).
Demokratisasi Relasi-Relasi di dalam Desa
Seperti dinyatakan Zakaria (2014:9), keempat aspek perubahan
mendasar pertama di atas memberikan kewenangan sangat besar
kepada desa sehingga membutuhkan sistem pelaksanaan dan peng-
9. Kewenangan
berdasarkan asas
perbantuan adalah
kewenangan desa yang
diperoleh berdasarkan
penugasan oleh unit
pemerintahan yang
lebih tinggi.
10. Kewenangan desa
yang bersifat residual
berarti kewenangan
yang masih tersisa,
yakni sebatas pada
urusan-urusan lokal
yang tidak ditangani
oleh pemerintah pusat
maupun daerah.
41
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
awasan tersendiri untuk menjamin transparansi dan partisipasi.
Untuk itu, UU Desa juga mengintrodusir perubahan mendasar
yang kelima, yakni pentingnya mewujudkan proses demokratisasi
di desa sekaligus keharusan melakukan kegiatan pembinaan dan
pemberdayaan masyarakat desa.
Dalam rangka mewujudkan proses demokratisasi di desa, UU Desa
melembagakan desa sebagai institusi publik yang otonom, demokratis,
dan akuntabel. Terkait kepemimpinan desa, UU Desa membatasi masa
jabatan kepala desa, menentukan secara tegas lingkup kekuasaan-
nya, sekaligus menetapkan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan
desa yang harus dipatuhi kepala desa dan perangkatnya. UU Desa
juga menegaskan bahwa legitimasi politik kepala desa berasal dari
rakyat yang memberikan mandat secara langsung kepadanya melalui
proses pemilihan, bukan berasal dari pejabat pemerintah di atasnya.
Dengan demikian, kepala desa adalah “pemimpin masyarakat” yang
secara organik harus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
warganya, sekaligus melayani, melindungi, dan memberdayakan
mereka tanpa diskriminasi.
Selain mengatur berbagai aspek kepemimpinan desa, UU Desa
juga memperkuat demokrasi perwakilan dan permusyawaratan
desa melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Musyawarah
Desa. Dalam UU Desa, BPD tidak lagi diposisikan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa, seperti peran yang dijalankan-
nya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. UU Desa memper-
kuat peranan BPD sebagai lembaga perwakilan masyarakat untuk
menjalankan fungsi legislasi (Pasal 55 butir a), representasi (Pasal
55 butir b), kontrol (Pasal 55 butir c), dan deliberasi (Pasal 1 ayat
[5]). Peranan BPD, dengan demikian, tetaplah sentral di dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa, terutama untuk mewujudkan
kontrol, akuntabilitas, dan perimbangan pada jalannya sistem pe-
merintahan desa.
Dalam rangka mewujudkan wadah penyaluran aspirasi, kepen-
tingan, dan kontrol masyarakat, UU Desa melembagakan Musyawa-
rah Desa sebagai forum deliberatif bagi warga desa. Musyawarah
Desa, sesuai ketentuan Pasal 54, merupakan “forum permusyawara-
tan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah
Desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawarahkan hal
yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan De-
sa”. Adapun “unsur masyarakat desa” yang dimaksudkan dalam
pasal ini mencakup “tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat,
tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan,
kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat
miskin” (Penjelasan Pasal 54). Menurut Eko (2015: 192), Musyawarah
42 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
Desa merupakan pengejawentahan dari tradisi lokal musyawarah
masyarakat dengan istilah yang berlainan di berbagai daerah, seperti
gawe rapah di Lombok, saniri di Maluku, rembug desa di Jawa,
paruman di Bali, dan sebagainya. Hubungan antarkelembagaan
dalam pemerintahan desa ini digambarkan dalam bagan Gambar 2.
gambar 2
Hubungan Antar-
kelembagaan dalam
Pemerintahan Desa
catatan:
Desa adat menyesuaikan.
sumber:
Zakaria (2014: 10)
Proses demokratisasi di desa disadari tidak mungkin terwujud tanpa
disertai kegiatan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Pada saat yang sama, proses demokratisasi tersebut juga akan bersifat
prosedural belaka jika tidak mampu mewujudkan pemberdayaan ma-
syarakat desa. Oleh karena itu, UU Desa mendorong dijalankannya
kegiatan pemberdayaan dan pendampingan, baik yang ditujukan
pada kelembagaan desa, lembaga-lembaga kemasyarakatan desa,
maupun masyarakat desa. Dorongan ini ditekankan oleh UU Desa
secara terperinci dalam berbagai konteks pembahasan, yakni dalam
asas pengaturan desa (Pasal 3), kewenangan desa (Pasal 18), penugasan
dari pemerintah pusat atau daerah kepada desa (Pasal 22) atau desa
adat (Pasal 106), tugas dan kewajiban kepala desa (Pasal 26), cakupan
dari hak menyatakan pendapat dari BPD (Pasal 61), kewajiban desa
(Pasal 67), hak masyarakat desa (Pasal 68), cakupan dari kebutuhan
pembangunan yang disepakati di dalam Musyawarah Desa (Pasal 74),
tujuan dan cakupan pembangunan kawasan perdesaan (Pasal 83),
pemanfaatan hasil usaha BUMDes (Pasal 89), dan cakupan kerjasama
antardesa (Pasal 92) maupun dengan pihak ketiga (Pasal 93).
Selanjutnya, keharusan pemberdayaan masyarakat desa juga
ditekankan dalam konteks pembahasan mengenai tujuan pendaya-
gunaan dan tugas lembaga kemasyarakatan desa (Pasal 94), kewajiban
43
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
semua kegiatan “membangun desa” oleh pihak luar desa untuk melaku-
kan pemberdayaan dan pendayagunaan lembaga kemasyarakatan
yang sudah ada di desa (Pasal 94), dasar pembentukan desa adat
(Pasal 98), dan bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat desa oleh
pemerintah pusat dan daerah (Pasal 112). Akhirnya, termasuk pula
dalam kegiatan pemberdayaan ini adalah penyediaan sistem informasi
desa yang akurat dan transparan oleh pemerintah pusat dan daerah
yang dapat diakses dengan mudah oleh desa dan masyarakat desa
(Pasal 86).
Potensi Ancaman Eksklusi dalam UU Desa
Dua agenda demokratisasi yang digulirkan UU Desa ternyata memiliki
keterbatasan yang sangat prinsipil, yaitu minimnya pembahasan isu
sumberdaya alam. Persoalan sumberdaya alam hanya disebut secara
sumir dalam UU Desa. Itu pun terpencar-pencar pada berbagai bab
dan pasal yang membahas topik yang berlainan; suatu gambaran
bahwa isu ini bukan merupakan agenda sentral UU
Desa. Padahal,
sumberdaya alam memiliki peranan vital dalam kehidupan pedesaan,
baik untuk menjamin kesejahteraan warga desa maupun keberlanjutan
fungsi ekologis wilayah perdesaan.
Absennya isu sumberdaya alam, selain disebabkan percaturan
politik di parlemen (topik yang tidak menjadi fokus perhatian artikel
ini), tidak terlepas dari—meminjam satu istilah dalam filsafat ilmu—
context of discovery dari UU Desa. Proses legislasi UU Desa pada
dasarnya digerakkan oleh hasrat untuk memulihkan kedudukan dan
kewenangan desa yang dikebiri selama era Orde Baru. Seperti diakui
Yando Zakaria, salah satu sarjana-aktivis yang turut membidani UU
Desa, kelahiran UU Desa pada dasarnya adalah“penebusan dosa”
[sic]
atas nestapa desa selama ini sebagai dampak dari sentralisme politik
dan kebijakan developmentalisme rezim Orde Baru yang sangat
otoritarian dan militeristik. Sebagai respons atas kondisi ini, UU Desa
mengintrodusir agenda demokratisasi desa agar syarat-syarat dasar
untuk mewujudkan otonomi desa dapat terpenuhi kembali.11
Meskipun “tugas historis” semacam itu memiliki justifikasinya
sendiri dalam konteks sejarah pasang surut otonomi desa sejak awal
era kemerdekaan hingga saat ini, “penebusan dosa” itu sendiri tidaklah
memadai. Sebab, “tugas historis” lain yang tidak kalah penting, bahkan
kini jauh lebih mendesak, adalah menempatkan agenda demokratisasi
desa dalam konteks ekspansi kapitalisme yang kian merangsek ke
seluruh penjuru perdesaan. Sepanjang sejarah kapitalisme, nasib
sumberdaya alam dan kontrol petani atasnya memang senantiasa
menjadi pertaruhan utama. Seperti dinyatakan Karl Marx, kelahiran
11. Pengakuan ini
disampaikan oleh
Yando Zakaria dalam
perbincangan informal
dengan salah satu
penulis artikel ini.
Selama proses legislasi
UU Desa, Yando Zakaria
adalah anggota Tim Ahli
dalam Panitia Khusus
(Pansus) Rancangan UU
Desa, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI.
44 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
kapitalisme didasarkan pada pemisahan secara paksa para pekerja
dari sarana-sarana produksi mereka, terutama pemisahan masyarakat
tani (peasantry) dari tanah mereka. Fine (2001: 444) menjelaskan teori
Marx ini lebih lanjut sebagai berikut:
Since pre-capitalist relations of production are predominantly
agricultural, the peasantry having possession of the principal means
of production, namely land, capitalism can only be created by
dispossessing the peasantry of the land. Accordingly the origins
of capitalism are to be found in the transformation of relations of
production on the land. The freeing of the peasantry from land is the
source of wage labourers both for agricultural capital and for industry.
(Mengingat relasi-relasi produksi prakapitalis utamanya berupa
pertanian, [di mana] masyarakat tani memiliki sarana produksi
utama berupa tanah, maka kapitalisme hanya bisa diciptakan
dengan mencerabut penguasaan petani atas tanah mereka. Dengan
demikian, asal-usul kapitalisme dapat dilacak pada transformasi
relasi-relasi produksi atas tanah. Pencerabutan masyarakat tani
dari tanahnya merupakan sumber munculnya buruh upahan, baik
untuk pertanian kapital maupun industri.)
Marx menyebut momentum penting dalam kelahiran kapital-
isme ini sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation), yakni
suatu sejarah perampasan tanah secara paksa (enclosure) untuk
mentransformasikan masyarakat tani menjadi buruh upahan tanpa
penguasaan sarana produksi apa pun (kelas proletar), dan pada saat
bersamaan mewujudkan monopoli sarana produksi dan akumulasi
kekayaan di tangan para pemilik modal (kelas kapitalis). Dalam kaitan
ini, de Angelis (2004) menegaskan bahwa proses akumulasi melalui
pencerabutan petani dari tanahnya bukanlah terjadi hanya sekali
pada awal kelahiran kapitalisme (seperti diisyaratkan oleh Marx),
melainkan bagian tak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu
sendiri dan akan terus berlangsung sepanjang sejarah kapitalisme.
Akumulasi primitif merupakan daya dari kapital itu sendiri sebagai
kekuatan-kekuatan sosial yang terus-menerus menciptakan proses
pencerabutan (enclosing social forces) petani dari sumberdaya alam.
Sejarah pergelaran kuasa kapitalisme seperti demikian tampaknya
tidak meresap ke dalam“tugas historis” yang harus diemban selama
proses legislasi UU Desa. Tidak heran jika isu sumberdaya alam
tidak menjadi bagian sentral dari agenda demokratisasi desa untuk
merespons ancaman kapitalisme—suatu gambaran bahwa otonomi
desa tak ubahnya “wadah tanpa isi”. Di bawah ini akan diuraikan
secara lebih rinci tiga hal yang menunjukkan absennya agenda demo-
kratisasi sumberdaya alam dalam UU Desa.12
12. Uraian tiga hal
ini dikembangkan dari
Shohibuddin (2016b).
45
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
Marginalitas Isu Sumberdaya Alam
Apabila kandungan UU Desa ditelisik secara cermat, akan terlihat
bahwa isu sumberdaya alam tidak menjadi agenda sentral dalam
pengaturannya. Sebagai contoh sederhana, dari jumlah penyebutan
istilah saja, frasa “sumberdaya alam” hanya disebut sepuluh kali pada

 
 
( 

)
     

 
 

 
 




 
 
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Pasal 1 (9) Sumberdaya
alam
Salah satu aspek dalam
pengertian “kawasan
perdesaan”
2. Pasal 8 (3)
butir e
Sumberdaya
alam
Salah satu potensi yang harus
dimiliki dalam pembentukan
desa
3. Penjelasan
Pasal 19
butir a
Tanah kas desa Tanah kas desa sebagai salah
satu cakupan kewenangan desa
berdasarkan “hak asal-usul”
4. Penjelasan
Pasal 19
butir b
Tempat
pemandian
umum, embung
desa, jalan
desa
Beberapa jenis sumberdaya
alam yang termasuk dalam
“kewenangan lokal berskala
desa”
Sanitasi
lingkungan
Sanitasi lingkungan sebagai
salah satu bentuk “kewenangan
lokal berskala desa”
5. Pasal 26 (4)
butir o
Sumberdaya
alam
Kewajiban kepala desa untuk
mengembangkan sumberdaya
alam
Lingkungan
hidup
Kewajiban kepala desa untuk
melestarikan lingkungan hidup
6. Pasal 68 (2)
butir a
Lingkungan Kewajiban masyarakat desa
memelihara lingkungan desa
7. Penjelasan
Pasal 72 (1)
butir a
Tanah bengkok Di antara bentuk “hasil usaha”
yang menjadi salah satu sumber
pendapatan desa
8. Pasal 74 (2) Lingkungan Lingkungan sebagai salah
satu cakupan kebutuhan
pembangunan
 2
Pemetaan Istilah-
Istilah Terkait Sum-
berdaya Alam (SDA)
dalam UU Desa
46 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
(1) (2) (3) (4) (5)
9. Pasal 76 (1) Tanah kas
desa, tanah
ulayat, hutan
milik desa,
mata air
milik desa,
pemandian
umum
Jenis-jenis aset desa yang
menjadi kewenangan desa
10. Penjelasan
Pasal 76 (2)
butir b
Tanah wakaf Di antara bentuk “sumbangan”
yang menjadi salah satu sumber
perolehan aset desa
11. Pasal 76
(4)
Tanah Keharusan tanah milik desa
untuk disertifikatkan atas nama
pemerintah desa
12. Pasal 78 (1) Sumberdaya
alam
Pemanfaatan sumberdaya alam
secara berkelanjutan sebagai
tujuan pembangunan desa
Lingkungan Pemanfaatan lingkungan
secara berkelanjutan sebagai
tujuan pembangunan desa
13. Penjelasan
Umum,
butir 10
Sumberdaya
alam
Pemanfaatan sumberdaya alam
secara berkelanjutan sebagai
tujuan pembangunan desa
Lingkungan Pemanfaatan lingkungan
secara berkelanjutan sebagai
tujuan pembangunan desa
14. Pasal 80
(4) huruf b
Lingkungan Pembangunan dan
pemeliharaan lingkungan
sebagai salah satu bentuk
kebutuhan masyarakat desa
15. Pasal 81 (3) Sumberdaya
alam
Pemanfaatan sumberdaya
alam desa dalam pelaksanaan
pembangunan desa
16. Penjelasan
Umum,
butir 10
Sumberdaya
alam
Pemanfaatan sumberdaya
alam desa dalam pelaksanaan
pembangunan desa
17. Pasal 85 (2) Sumberdaya
alam
Kewajiban mendayagunakan
potensi sumberdaya alam
dalam pembangunan kawasan
perdesaan yang dilakukan oleh
pihak luar desa
18. Penjelasan
Pasal 87 (1)
Sumberdaya
alam
Pendayagunaan sumberdaya
alam sebagai tujuan
pembentukan BUMDes
19. Pasal 90
butir c
Sumberdaya
alam
BUMDes diprioritaskan dalam
pengelolaan sumberdaya alam
di desa
47
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
beberapa bagian terpisah, termasuk tiga kali pada bagian Penjelasan.
Jika istilah “ulayat” atau “wilayah adat” turut dimasukkan ke dalam
kategori sumberdaya alam, maka penyebutannya bertambah menjadi
dua belas kali, termasuk empat kali pada bagian Penjelasan. Istilah lain
yang dalam UU Desa sering berpasangan dengan “sumberdaya alam”,
yakni “lingkungan”, bahkan hanya disebut tujuh kali, termasuk dua
kali pada bagian Penjelasan. Bandingkan dengan istilah “keuangan”
yang disebut dua puluh lima kali, termasuk sembilan kali pada bagian
Penjelasan.13
Acuan pada isu sumberdaya alam ini sedikit lebih terinci apabila
diidentifikasi istilah-istilah lebih spesifik di dalam UU Desa yang
mencerminkan sumberdaya alam dalam arti sempit, yang mencakup
tanah, tanah kas desa, tanah bengkok, tanah wakaf, tanah ulayat,
hutan, mata air, embung, pemandian umum, saluran irigasi, dan jalan
desa. Tetapi, pengaturan atas kesemua istilah spesifik ini pun sangat
terbatas, yakni hanya dalam enam butir ketentuan, baik berupa pasal
maupun penjelasannya.
Tabel 2 mendaftar istilah-istilah terkait sumberdaya alam dalam UU
Desa, serta memetakan aspek pengaturan apa saja yang mengemuka
dari penyebutan istilah-istilah tersebut.
Berdasarkan pemetaan dalam Tabel 2, terlihat dengan jelas bahwa
berbagai istilah terkait isu sumberdaya alam tersebar pada bera-
gam topik pengaturan dalam UU Desa, seperti dapat dicermati pada
uraian dalam kolom (5). Hal ini mencakup topik mengenai potensi
desa, kewenangan desa berdasarkan “hak asal-usul”, kewenangan
lokal berskala desa, kewenangan desa adat, kewajiban kepala desa
dan masyarakat desa, aset desa, dan pendapatan desa. Selanjutnya,
isu ini juga muncul dalam topik mengenai kebutuhan pembangunan
desa, kebutuhan masyarakat desa, pembangunan desa, pembangunan
kawasan perdesaan, dan BUMDes.
Meski muncul dalam beragam topik pengaturan, isu sumber-
daya alam sayangnya hanya ditampilkan sebagai elemen penting
(dan tidak boleh diabaikan) dalam konteks pengaturan berbagai isu
20. Pasal 103
butir b
Ulayat atau
wilayah adat
Kewenangan desa adat
berdasarkan “hak asal-usul”
21. Penjelasan
Pasal 103
butir b
Ulayat atau
wilayah adat
Pendefinisian ulayat atau
wilayah adat sebagai wilayah
kehidupan suatu kesatuan
masyarakat hukum adat
sebaran
penyebutan
12 konteks
pengaturan
7 konteks
pengaturan
6 konteks
pengaturan
catatan: Diolah dari kandungan UU Desa dengan metode analisis isi.
13. Menurut Eko (2015),
asas rekognisi bukan
saja berarti mengakui
dan menghormati
keragaman desa, tetapi
juga redistribusi ekonomi
dalam bentuk alokasi
dana desa yang cukup
besar dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) maupun
Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah
(APBD). Redistribusi
uang negara ini,
menurut Eko (2015: 41),
“merupakan resolusi
untuk menjawab
ketidakadilan sosial-
ekonomi karena
intervensi, eksploitasi
dan marginalisasi yang
dilakukan oleh negara
(selama Orde Baru).” Di
satu sisi, kewenangan
pengelolaan desa
yang diatur secara
rinci dalam UU Desa
mencerminkan upaya
untuk menciptakan
akuntabilitas desa
terkait kucuran dana
desa yang cukup besar
tersebut. Di sisi lain,
redistribusi ekonomi
dan kewenangan
desa yang terbatas di
bidang keuangan ini,
tanpa menyangkut
bidang sumberdaya
alam, sekaligus
menggambarkan
keterbatasan “tugas
historis” UU Desa yang
dibayangkan para
pengusungnya.
48 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
lainnya. Tetapi, isu sumberdaya alam sendiri tidak tampil sebagai
agenda kunci yang akan menentukan bagaimana penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan kemasyarakatan di desa harus dijalankan.
Akibatnya, muncul kesan kuat bahwa penyebutan beberapa istilah
terkait sumberdaya alam dalam UU Desa hanya bersifat fragmentaris,
bukan membentuk sebuah tema sentral tersendiri di mana berbagai
topik pengaturan lain mesti merujuk kepadanya. Seperti telah dijelas-
kan, hal ini tidak terlepas dari proses legislasi UU Desa yang memang
tidak menjadikan ancaman enclosure yang diciptakan oleh kapitalisme
sebagai tantangan struktural yang harus dijawabnya.
Keterbatasan Kewenangan Desa
Absennya persoalan sumberdaya alam sebagai agenda sentral dalam
UU Desa menimbulkan pertanyaan penting mengenai sejauh manakah
jangkauan kewenangan desa atas sumberdaya alam di wilayahnya.
Mengacu pada ketentuan dalam UU Desa yang mengonstruksikan
kewenangan desa (Pasal 18–22) maupun hak dan kewajiban desa
(Pasal 67–68), ketentuan yang secara tegas mengatur kewenangan
desa atas sumberdaya alam ternyata tidak ditemukan. Ketentuan
serupa juga tidak ditemukan dalam Pasal 26 yang secara panjang
lebar merinci tugas, hak, dan kewajiban kepala desa.
Tabel 2 menunjukkan bahwa hanya sembilan butir (dari total
dua puluh satu kali penyebutan) yang menyinggung kewenangan
desa atas persoalan sumberdaya alam, baik secara eksplisit maupun
implisit (lihat baris yang dicetak miring). Apabila kesembilan butir itu
dicermati lebih lanjut, hanya dua terakhir mengenai desa adat yang
benar-benar menegaskan kewenangan desa atas sumberdaya alam
dalam arti luas. Sementara dalam tujuh butir sebelumnya, kewenangan
desa itu terbatas pada sumberdaya alam dalam arti sempit.
Apa yang dimaksud dengan “sumberdaya alam dalam arti luas”
adalah segenap wilayah desa beserta beragam sumber agraria di
dalamnya seperti tanah, hutan, wilayah pertanian, padang peng-
gembalaan, pegunungan, kawasan perairan, mata air, aliran sungai,
pesisir pantai, dan sebagainya. Kewenangan desa atas sumberdaya
alam dalam arti luas ini hanya disebutkan dua kali, yakni dalam
Pasal 103 butir b dan penjelasannya yang mengatur kewenangan
desa adat atas wilayah adat atau ulayatnya. Kewenangan luas ini
pun baru berlaku jika desa bersangkutan telah ditetapkan menjadi
desa adat berdasarkan peraturan daerah setempat. Di luar kategori
desa adat ini, tidak ada ketentuan dalam UU Desa yang memberikan
kewenangan besar kepada desa atas sumberdaya alam dalam arti
yang luas semacam ini.
49
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
Kewenangan desa baru terlihat lebih menonjol dalam konteks
“sumberdaya alam dalam arti sempit”, yakni jenis-jenis tertentu
sumberdaya alam seperti tercantum dalam kolom (4) pada Tabel 2.
Apabila dicermati lebih jauh, penyebutan jenis-jenis sumberdaya
alam yang spesifik ini berada dalam konteks pembahasan aset-aset
desa, yakni harta kekayaan desa yang berbentuk sumberdaya alam
tertentu. Sejauh menyangkut aset-aset desa, pengaturan yang cukup
detail dapat ditemukan dalam UU Desa yang memberi desa kewe-
nangan cukup besar dalam pengelolaan dan pendayagunaannya.
Sebagai misal, pengaturan seputar aset-aset desa ini muncul dalam
pembahasan mengenai tujuan pengaturan desa (Pasal 4 butir d),
jenis-jenis aset desa (Pasal 76 ayat [1]), dan sumber pendapatan asli
desa (Pasal 72 ayat (1) butir a). Lebih lanjut, hal ini juga muncul dalam
pembahasan mengenai peran Musyawarah Desa dalam penambahan
dan pelepasan aset desa (Pasal 54 ayat [2]), keharusan setiap peren-
canaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan aset desa
merujuk pada hasil Musyawarah Desa (Pasal 84 ayat [2]), keharusan
pelibatan pemerintah desa dalam pembangunan kawasan perdesaan
yang memanfaatkan aset desa dan tata ruang desa (Pasal 84 ayat [1]),
pengawasan pemerintah daerah kabupaten/kota atas pendayagunaan
aset desa (Pasal 115), dan ketentuan peralihan mengenai keharusan
inventarisasi aset desa (Pasal 116 ayat [4]). Mengingat pasal-pasal
tersebut hanya menyangkut aset desa, maka kewenangan desa yang
tampak luas ini hanya berlaku pada jenis-jenis sumberdaya alam dalam
arti sempit yang memang sudah menjadi harta kekayaan milik desa,
dan tidak berlaku pada sumberdaya alam dalam arti luas yang berada
di wilayah desa, termasuk sumberdaya alam yang dimiliki warga desa.
Selain pasal-pasal tersebut, terdapat pula beberapa pasal yang bisa
dikaitkan secara tidak langsung dengan isu sumberdaya alam. Pasal 54
ayat (2) butir d, misalnya, membahas peran Musyawarah Desa dalam
memutuskan “rencana investasi yang masuk ke Desa”. Ketentuan ini
bisa saja ditarik lebih luas hingga mencakup investasi yang terkait
dengan, dan/atau yang berdampak besar pada, sumberdaya alam
desa yang izinnya diberikan oleh pemerintah pusat atau daerah.
Tetapi, di sini juga tidak ada ketentuan lebih lanjut apakah forum
Musyawarah Desa memiliki wewenang untuk menolak investasi yang
melibatkan konsesi tanah luas di desa dan/atau yang berpotensi
merusak lingkungan desa.
Ketentuan lain dalam UU Desa yang dapat dikaitkan dengan
persoalan sumberdaya alam adalah Pasal 83 ayat (3) butir a. Pasal
ini membahas “penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa” sebagai
salah satu cakupan dalam pembangunan kawasan perdesaan. Kata
“wilayah Desa” di sini dapat berimplikasi pula pada berbagai jenis
50 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Apalagi Pasal 85 ayat (2)
memang menyatakan dengan jelas bahwa pembangunan kawasan
perdesaan “wajib mendayagunakan potensi sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa.” Meskipun demikian, sejauh mana jangkauan
keikutsertaan ini dan seberapa besar kewenangan desa di dalamnya,
lagi-lagi, tidak dijelaskan secara lebih rinci.
Minimnya Jaminan Akses Warga Desa
Keterbatasan lain UU Desa yang sangat mendasar adalah tidak
dimuatnya satu pun ketentuan mengenai jaminan akses warga desa
atas sumberdaya alam desa serta redistribusi manfaat ekonomi dan
politik yang dihasilkan darinya. Jaminan semacam ini bahkan tidak
ditemukan dalam ketentuan UU Desa mengenai hak masyarakat desa
(Pasal 68) maupun dalam ketentuan mengenai kewajiban desa (Pasal
67) dan kewajiban kepala desa (Pasal 26). Padahal, tanpa jaminan atas
kedua hal ini, serangkaian pembaruan politik yang telah diwujudkan
oleh UU Desa bakal kehilangan relevansinya bagi masyarakat desa.
Sebabnya, berbagai pembaruan tersebut hanya akan menghasilkan
demokratisasi politik yang bersifat formal-prosedural belaka, tanpa
secara nyata berkontribusi pada perwujudan demokratisasi ekonomi
berbasis sumberdaya alam desa.
Memang, ada beberapa terobosan dalam UU Desa untuk pengemba-
ngan perekonomian desa melalui pendayagunaan sumberdaya alam
dan aktivitas produktif BUMDes. Demikian pula, terdapat beberapa
ketentuan yang secara longgar dapat dikaitkan dengan persoalan
distribusi manfaat dari sumberdaya alam. Tetapi, kesemua itu paling
jauh adalah pasal-pasal yang menekankan kesejahteraan masyarakat
melalui pendayagunaan aset desa, bukan sumberdaya alam desa
dalam arti luas. Lagi pula, dorongan pendayagunaan aset desa dalam
pasal-pasal tersebut sama sekali tidak memiliki spirit redistribusi
seperti ditekankan oleh gerakan pembaruan agraria. Akibatnya,
dorongan itu sepenuhnya abai terhadap problem ketimpangan ak-
ses warga desa atas sumberdaya alam setempat dan atas berbagai
manfaat ekonomi dan politik yang dihasilkannya.
Sebagai gambaran, Pasal 4 butir d menegaskan bahwa tujuan
pengaturan desa adalah untuk “mendorong prakarsa, gerakan, dan
partisipasi Masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset
Desa guna kesejahteraan bersama.” Sejalan dengan ini, Pasal 78 ayat
(1) menekankan bahwa tujuan pembangunan desa adalah untuk
“meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui (...) pemanfaatan
51
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.” Terkait
BUMDes, Penjelasan Pasal 87 ayat (1) menegaskan bahwa pembentu-
kan BUMDesa adalah dalam rangka “mendayagunakan segala potensi
ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumberdaya alam
dan sumberdaya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa.” Tetapi, tidak ada satu ketentuan pun dalam UU
Desa yang merespons problem riil ketimpangan akses atas sumber-
daya alam dan manfaatnya yang jelas-jelas terjadi di banyak desa.
Implikasi Keterbatasan UU Desa pada Tataran Praksis
Analisis pada tataran normatif di atas memberikan dua pelajaran
penting. Pertama, dalam konteks demokratisasi relasi negara-desa,
UU Desa ternyata tidak mendorong agenda ini lebih jauh dengan
memberikan desa kewenangan yang lebih besar untuk mengurus
sumberdaya alam di wilayahnya. Kedua, dalam konteks demokratisasi
relasi-relasi di dalam desa, UU Desa ternyata tidak menjadikan ketim-
pangan akses atas sumberdaya alam di desa dan distribusi manfaatnya
sebagai isu krusial dalam agenda demokratisasi desa. Padahal, hal
inilah yang akan menentukan berlangsung atau tidaknya proses
demokratisasi ekonomi di desa, baik dalam kaitan relasi desa dengan
pihak-pihak luar (badan-badan pemerintah,
lsm
, korporasi, dan
sebagainya) maupun relasi-relasi di antara warga desa. Keterbatasan
semacam ini membuat UU Desa secara normatif tidak memiliki kepe-
kaan atas kondisi ketimpangan agraria dan problem sosial-ekologis di
wilayah desa (baca: krisis pedesaan), maupun atas berbagai bentuk
ketegangan dan konflik sosial yang dapat meledak sebagai akibat
dari keresahan dan protes warga terhadap kondisi krisis tersebut.
Pada gilirannya, keterbatasan pada tataran normatif tersebut
berimplikasi pada tataran praksis berupa ancaman eksklusi secara
nyata. Sebagaimana telah ditegaskan, pelaksanaan UU Desa tidaklah
kalis (immune) dari konteks struktural maupun relasi kekuasaan yang
melingkupinya. Alih-alih berada dalam ruang hampa, pelaksanaan UU
Desa pada dasarnya berhadapan dengan problem struktural “krisis
pedesaan” yang skala keluasan dan intensitasnya amat pesat seiring
kian masifnya ekspansi kapitalisme. Dan alih-alih berada dalam ruang
netral, pelaksanaan UU Desa selalu dihadapkan pada relasi-relasi
kekuasaan yang ditandai dengan berbagai bentuk ketimpangan,
dominasi, dan eksploitasi.
Menyadari dua jenis konteks struktural di atas, setidaknya ada
empat implikasi pada tataran praksis yang muncul dari keterbatasan
normatif UU Desa. Implikasi pertama berupa kegagapan UU Desa
dalam menghadapi problem krisis pedesaan yang menjadi konteks
52 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
utama pelaksanaannya (baca: problem irelevansi). Implikasi kedua
adalah celah besar dalam UU Desa menyangkut tata kelola sumberdaya
alam dan kewenangan desa di dalamnya (baca: problem tata kelola).
Implikasi ketiga, yang merupakan dampak lebih lanjut dari problem
tata kelola, adalah rentannya UU Desa disalahgunakan oleh segelintir
elite untuk menumpuk keuntungan ekonomi dan politik, sembari
mengabaikan hak-hak dan kepentingan umum warga desa (baca:
problem tawanan elite [elite capture]). Implikasi keempat terkait de-
ngan posisi daya tawar (bargaining) desa dengan kewenangannya yang
minimum di bidang sumberdaya alam di tengah konstelasi kekuasaan
lebih luas yang melingkupinya (baca: problem relasi kuasa).
Terkait problem irelevansi, UU Desa secara praksis dapat menim-
bulkan ancaman eksklusi, atau setidaknya melanggengkan proses
eksklusi yang berlangsung, karena tidak memiliki perangkat normatif
yang dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi dan merespons
secara memadai problem struktural krisis pedesaan. Apa yang dimak-
sud dengan “krisis pedesaan” di sini adalah krisis agraria dan ekologis di
wilayah perdesaan sebagai dampak dari cara-cara baru ekspansi
kapitalisme dalam rangka mengatasi problem akumulasi berlebih
yang selalu menghantuinya. Hal itu terutama ditempuh dengan
memobilisasi produksi kapital ke wilayah-wilayah baru—termasuk
desa-desa terpencil—yang memungkinkan akumulasi keuntungan
yang lebih besar lagi. Upaya ini biasanya melibatkan negara yang
berperan menyiapkan kawasan-kawasan industri dan ekonomi khusus
dalam rangka memfasilitasi reorganisasi spasial dari produksi kapital.14
Bentuk-bentuk konkret dari krisis dan keterkaitannya satu sama lain,
setidaknya secara hipotetis, dapat dicermati pada Tabel 3.
14. Di Indonesia,
contoh paling menonjol
dari peran negara
semacam ini adalah
proyek ambisius
pengembangan ka-
wasan khusus dalam
Master Plan Percepatan
dan Perluasan Pem-
bangunan Ekonomi
(MP3EI). Untuk kajian
kritis atas MP3EI, lihat
Rachman dan Yanuardy
(2014).
krisis
ekologis
krisis
agraria
1. Eksploitasi sumberdaya alam yang
merusak
2. Sistem produksi skala besar dan
monokultur
3. Deforestasi dan degradasi sistem
hidrologi lokal
4. Bencana ekologis (banjir, erosi,
longsor, kekeringan, kebakaran
hutan, dan sebagainya)
5. Kelangkaan/punahnya sumber
hayati dan genetika
6. Perluasan lahan kritis
7. Modernisasi pertanian yang
menciptakan ketergantungan
pada input eksternal
8. Kerentanan ekologis akibat dari
perubahan iklim global
9. Pudarnya kelembagaan dan
kearifan lokal pengelolaan
sumberdaya alam
10. Konflik lingkungan/ekologis
A. Peluruhan otoritas
desa atas sumber-
daya alam desa
√ √
tabel 3
Pemetaan Istilah-
Istilah Terkait
Sumberdaya Alam
(SDA) dalam UU
Desa
53
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
B. Penutupan/pemba-
tasan/pengurangan
akses warga atas
sumberdaya alam
desa
√ √
C. Ketimpangan akses
warga atas sumber-
daya alam desa
√ √
D. Ketakamanan akses
warga atas sumber-
daya alam desa
√ √
E. Ketimpangan
dalam relasi-relasi
penyakapan (se-
wa-menyewa, bagi
hasil, pinjam garap)
atas sumberdaya
alam desa
√ √
F. Ketimpangan dalam
relasi perburuhan
terkait pemanfaatan
dan pendayagu-
naan sumberdaya
alam desa
√ √
G. Ketimpangan dalam
relasi kemitraan
terkait pemanfaatan
dan pendayagu-
naan sumberdaya
alam desa
√ √
H. Inefisiensi dan
stagnasi usaha tani √ √
I. Kerentanan sistem
pangan lokal √ √
J. Pudarnya pengeta-
huan, praktik, dan
kelembagaan sistem
pertanian alami
√ √
K. Pudarnya sistem
asuransi sosial
berbasis potensi
sumberdaya alam
desa
√ √
L. Konflik agraria
sumber: diolah dari pemetaan berbagai bentuk krisis agraria dan ekologis dalam Shohibuddin (2015)
Berbagai bentuk krisis pedesaan tersebut telah menyebabkan
kian merosotnya kapasitas desa dalam memenuhi fungsinya sebagai
54 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
sistem sosial-ekonomi dan sistem ekologis.
15
Jeratan berbagai bentuk
krisis agraria (poin A–L) telah menurunkan kapasitas desa sebagai
kesatuan sistem sosio-ekonomi dalam menyediakan basis produksi,
sumber nafkah, kohesi sosio-kultural, dan perlindungan sosial bagi
warga desa. Sementara itu, belitan berbagai jenis krisis ekologis
(poin 1–10) telah memerosotkan kapasitas desa sebagai kesatuan
sistem ekologis dalam menyediakan pangan, air, energi, dan layanan
ekosistem lainnya. Di sinilah letak problem irelevansi dari UU Desa:
bahwa UU ini justru rabun terhadap konteks agraria dan ekologis
yang merupakan ajang riil pelaksanaannya.
Terkait problem tata kelola, UU Desa secara praksis juga dapat
menimbulkan ancaman eksklusi tersendiri karena isu tata kelola
sumberdaya alam (resource governance) sama sekali tidak diela-
borasi dalam UU ini, sementara kewenangan desa terhadapnya tidak
ditentukan dengan gamblang. Memang, ada sejumlah mekanisme
akuntabilitas dan pengawasan yang diatur UU Desa. Tetapi, seja-
uh menyangkut persoalan sumberdaya alam, berbagai mekanisme
tersebut ternyata hanya berkenaan dengan aset-aset desa, bukan
sumberdaya alam dalam arti luas. Misalnya, baik Pasal 54 ayat (2)
butir f mengenai peranan Musyawarah Desa maupun Pasal 115 butir g
mengenai pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah kabupaten/
kota ternyata hanya berkenaan dengan penambahan, pelepasan, dan
pendayagunaan aset-aset desa semata tanpa merujuk pada sumber-
daya alam secara umum. Hal ini dapat dipahami karena kewenangan
atas sumberdaya alam dalam arti luas, sebagaimana dijelaskan sebe-
lumnya, memang tidak pernah diberikan kepada desa.
Ketakjelasan kewenangan desa atas sumberdaya alam tersebut
secara aktual telah menciptakan “zona abu-abu” dalam tata kelola
sumberdaya alam desa. Secara de jure, segenap wewenang pengelo-
laan atas sumberdaya alam desa ditetapkan sebagai ranah pemerintah
pusat menurut sektor-sektor terkait—yang anehnya, justru sering
berbenturan satu sama lain. Tetapi secara de facto, sumberdaya alam
desa justru sering berada dalam keadaan nir-tata kelola (open access),
karena kekuasaan negara kerap tidak hadir pada tingkat mikro ini,
sedangkan desa sendiri tidak berwenang untuk menjalankan tata
kelola sumberdaya alam di wilayahnya berbasiskan potensi dan kondisi
lokal. Dalam situasi open access semacam ini, biasanya yang berlaku
adalah hukum rimba “siapa kuat, dia yang berkuasa”.
Zona abu-abu juga sering tercipta ketika negara hadir di aras mikro
tetapi dalam bentuk yang sangat terfragmentasi. Sebabnya, ragam
praktik dan kelembagaan negara seringkali tidak saling sinkron dan
menopang. Misalnya, rezim pendaftaran tanah dan peralihannya (yang
menafikan peran desa) seringkali justru menisbikan rezim perpajakan
15. Untuk uraian
lebih rinci mengenai
beberapa bentuk krisis
pedesaan ini beserta
data-data agregat yang
terkait dengannya di
tingkat nasional, lihat
Shohibuddin (2016b).
55
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
tanah (yang mengasumsikan pera n penting desa). Akibat fragmentasi
ini, desa sering mengalami kesulitan untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) kepada para pemilik tanah di
wilayahnya. Sebab, identitas si pemilik tanah dapat berganti beberapa
kali tanpa sepengetahuan aparat desa.16
Minimnya—untuk tidak mengatakan absennya—pengaturan tata
kelola sumberdaya alam dalam UU Desa membuka peluang tawanan
elite (problem elite capture). Di beberapa tempat yang masih memiliki
pranata adat atau inisiatif lokal yang cukup kuat, peluang tawanan elite
diminimalisir oleh keberadaan lembaga adat atau lembaga kemasya-
rakatan lain yang menjalankan peran pengelolaan sumberdaya alam.
Sayangnya, institusi lokal semacam itu tidak selalu dijumpai, atau
kalaupun masih ada, lembaga-lembaga lokal itu seringkali tidak
memiliki lagi kekuatan yang cukup besar. Di sinilah situasi open
access secara de facto dapat terjadi: negara tidak hadir di tingkat
mikro, sementara tidak ada institusi lokal apapun yang secara efektif
menjalankan peran pengelolaan sumberdaya alam.
Dalam situasi demikian, kesempatan bagi para elite desa untuk
melakukan penyelewengan dalam alokasi dan pemanfaatan sumber-
daya alam di desa sangat terbuka. Sebagai perbandingan: apabila
tata kelola keuangan dan aset desa yang telah diatur sedemikian
rinci oleh UU Desa masih menyisakan peluang untuk korupsi dan
penyelewengan, bisa dibayangkan bagaimana situasinya dengan
pengelolaan sumberdaya alam desa yang tidak jelas kewenangan
dan aturan tata kelolanya.17 Kesempatan semacam inilah yang sering
dimanfaatkan oleh sejumlah elite—termasuk perangkat desa sendiri,
dan pada umumnya melibatkan pula dukungan pihak luar—untuk
mengambil keuntungan ekonomi dan politik melalui eksploitasi
sumberdaya alam di desa. Peristiwa tragis di Selok Awar-Awar, seperti
diceritakan pada awal tulisan, adalah salah satu bentuk tawanan elite di
desa yang mendapatkan sorotan luas media massa, tetapi kasus itu
bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi di perdesaan Indonesia.
Problem yang keempat berkaitan dengan daya tawar desa berhada-
pan dengan konstelasi kekuasaan yang lebih luas, baik di dalam desa
sendiri maupun di luar desa (problem relasi kuasa). Terbatasnya
kewenangan desa dan ketakjelasan pengaturan menyangkut tata
kelola sumberdaya alam desa menghadapkan pelaksanaan UU Desa
pada persoalan diferensiasi lebih luas mengenai siapakah yang
diuntungkan dan dirugikan dalam pelaksanaan tata kelola sumberdaya
alam. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa desa merupakan
arena kontestasi yang amat kompleks, yang ditandai bukan saja
oleh kerjasama dan sinergi, tetapi juga oleh persaingan dan bahkan
dominasi, di antara warga desa sendiri. Bahkan, sekalipun desa diberi
16. Lebih jauh,
pendaftaran tanah dan
peralihannya yang
tidak harus melibatkan
desa ini—sebagai
konsekuensi dari
penggantian Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor
10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah
dengan PP Nomor 24
Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang
bernuansa liberal—telah
membuat desa kesulitan
mengendalikan tanah
guntai (absentee) di
wilayahnya, yakni
penguasaan tanah di
desa oleh mereka yang
tinggal di kecamatan
dan bahkan kabupaten
atau provinsi yang
berbeda dari lokasi
tanah tersebut berada.
Ini ironi mengingat
di sisi lain program
Identifikasi Pemilikan,
Penguasaan, Penggu-
naan dan Pemanfaatan
Tanah (IP4T) dijalankan
oleh pemerintah desa
demi desa dalam rangka
mendeteksi fenomena
tanah guntai dan aku-
mulasi penguasaan
tanah. Ironi semacam ini
menjadi satu bukti lagi
terjadinya fragmentasi
negara bahkan di dalam
satu lembaga negara
sendiri, yakni Badan
Pertanahan Nasional
(BPN).
17. Bandingkan
dengan catatan kaki
nomor 13.
56 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
kewenangan yang cukup besar dalam tata kelola sumberdaya alam,
pelaksanaan kewenangan ini tidaklah ditentukan oleh aspek legal
dan kelembagaan semata seperti ditetapkan oleh aturan perundang-
undangan, tetapi juga dipengaruhi oleh relasi-relasi kekuasaan dalam
dinamika pertarungan ekonomi politik yang lebih luas, termasuk yang
berlangsung pada tataran supradesa.
Problem relasi kuasa tersebut dapat diamati, misalnya, dalam
wilayah desa yang didominasi oleh rezim “antipetani”, seperti desa
di sekitar atau bahkan di dalam kawasan perkebunan besar, kawasan
hutan negara (hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, hutan
restorasi), atau wilayah kerja pertambangan. Sejauh mana kekuatan
kewenangan desa dan efektivitas tata kelola sumberdaya alam di
desa-desa seperti itu penting untuk dipertanyakan. Belum lagi jika
desa terperangkap di tengah benturan dan tumpang-tindih kepen-
tingan antarsektor, misalnya antara kehutanan dengan perkebunan,
kehutanan dengan pertambangan, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian seputar empat implikasi praksis di atas, ti-
daklah berlebihan untuk menyatakan bahwa peluang politik yang
diciptakan oleh UU Desa ternyata memiliki batasan yang prinsipil
dalam melindungi, menjamin, dan memperkuat akses warga desa
atas sumberdaya alam dan manfaatnya. Bahkan dalam beberapa
situasi, UU Desa itu sendiri—dengan sejumlah keterbatasannya ter-
sebut—berpeluang lebih besar untuk menciptakan eksklusi ketim-
bang akses. Hal ini terjadi khususnya ketika UU Desa dihadapkan
pada konteks ekonomi politik kebijakan negara yang mendukung
ekspansi kapitalisme. Korban utama dari persekongkolan kapital dan
negara adalah penduduk desa dan sumberdaya alamnya yang tidak
mendapatkan perlindungan dari negara.
Melampaui UU Desa: Perjuangan Akses dan Kontra Eksklusi
Terlepas dari keterbatasan mendasar UU Desa sebagaimana ditun-
jukkan di atas, bukanlah tujuan dari artikel ini untuk mengambil
pendekatan yang bersifat hitam-putih terhadap UU Desa, misalnya
dengan menciptakan dikotomi antara “peluang akses” dan “ancaman
eksklusi” yang sama-sama dikandungnya. Sejalan dengan perspektif
akses dan eksklusi yang diadopsi artikel ini, baik peluang akses
maupun ancaman eksklusi dilihat sebagai dua kekuatan yang selalu
hadir bersamaan dalam setiap produk regulasi, kebijakan, dan program
apapun, ibarat dua sisi sekeping mata uang. Dalam kasus UU Desa,
ancaman eksklusi yang diciptakannya dan implikasinya yang serius
pada tataran praksis tidaklah lantas menafikan signifikansi dari dua
agenda demokratisasi desa yang diintrodusir oleh undang-undang
57
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
ini.
18
Lagi pula, peluang akses yang berhasil digulirkan UU Desa—
sebagaimana berlaku pada produk regulasi dan kebijakan lain—
bukanlah satu-satunya faktor yang dapat menjamin diperolehnya
berbagai manfaat ekonomi dan politik yang diandaikannya. Sebab,
selain di dalam UU Desa itu sendiri peluang akses selalu disertai
ancaman eksklusi, di luar itu, pada konteks lebih besar, terdapat
banyak kekuatan lain yang menciptakan hambatan struktural bagi
diperolehnya akses.
Oleh karena itu, alih-alih mengandaikan dicapainya peluang
akses sepenuhnya, atau dapat dihindarkannya sama sekali ancaman
eksklusi, artikel ini melihat kedua aspek ini sebagai dua tantangan
yang saling berkaitan sehingga harus direspons secara simultan. Di
sinilah urgensi perjuangan sosial sebagai tindakan kolektif untuk
sebesar mungkin mewujudkan akses dan sejauh mungkin menghindar-
kan eksklusi menemui signifikansinya. Pasangan dua tindakan kolektif
ini—diistilahkan di sini sebagai “perjuangan akses” dan “perjuangan
kontra eksklusi”—harus sama-sama dilaksanakan secara serentak,
justru karena menyadari bahwa kekuatan akses dan eksklusi tidak
pernah terpisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, respons yang
adekuat terhadap kedua tantangan ini haruslah melibatkan kombinasi
perjuangan akses dan kontra eksklusi. Yang membedakan keduanya
adalah soal prioritas dan strategi: dalam situasi apa, kapan, dan pada
level mana perjuangan akses lebih ditonjolkan; atau sebaliknya, per-
juangan kontra eksklusi yang justru harus dikedepankan.
Dengan demikian, kedua jenis perjuangan tersebut tidak bersifat
saling meniadakan, melainkan menggambarkan pilihan aksentuasi
strategi gerakan. Ketika akses atas sumberdaya alam dan berbagai
manfaatnya belum diperoleh atau dalam kondisi takaman (insecure),
maka perjuangan akses menjadi penekanan utama. Sementara itu,
ketika akses atas sumberdaya alam dan berbagai manfaatnya yang
sudah berhasil diperoleh berada dalam ancaman eksklusi, maka
perjuangan kontra eksklusi menjadi prioritas utama.
Perbedaan penekanan tersebut, meskipun demikian, tidaklah statis,
tetapi dapat berubah-ubah secara kontekstual. Suatu gerakan sosial
yang menekankan perjuangan akses pada satu momen tertentu bisa
saja beralih pada perjuangan kontra eksklusi pada momen lain seiring
dengan perubahan situasi dan tantangan yang dihadapi. Atau, gerakan
itu menekankan perjuangan kontra eksklusi dalam berhadapan dengan
ancaman dari luar (misalnya negara dan korporasi), tetapi pada saat
yang sama secara internal dihadapkan pada tantangan perjuangan
akses di antara konstituen gerakan itu sendiri.
Berangkat dari titik tolak tersebut, pada bagian ini, analisis akan
beralih menuju tataran empiris untuk menilik bagaimana perjuangan
18. Bagaimanapun,
dua agenda demo-
kratisasi yang
digulirkan oleh UU
Desa berdasarkan
asas rekognisi dan
subsidiaritas merupakan
agenda yang paling
maju dibandingkan
dengan berbagai regu-
lasi tentang desa yang
pernah ada sebelumnya.
58 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
akses dan kontra eksklusi berhasil (atau tidak berhasil) dilakukan
oleh berbagai keku
atan sosial di perdesaan. Dengan mencermati
berbagai respons masyarakat perdesaan atas problem krisis agraria
dan ekologis yang mereka hadapi, baik yang melahirkan gerakan
sosial maupun tidak, bagian ini mencoba untuk mengonstruksikan
pembelajaran dalam rangka memperdalam dua agenda demokratisasi
desa yang telah digulirkan UU Desa sekaligus mendorong perjuangan
pembaruan desa yang sebisa mungkin menjawab berbagai dimensi
krisis agraria dan ekologis di perdesaan (lihat Tabel 3).
Sebagaimana dirangkum dalam Tabel 1, artikel ini mengangkat
lima kasus di beberapa daerah di Indonesia. Lima kasus tersebut tidak
dimaksudkan sebagai cerminan dinamika pelaksanaan UU Desa, tetapi
sebagai gambaran variasi respons masyarakat desa atas persoalan
krisis agraria dan ekologis yang mereka hadapi. Bagian ini hendak
menekankan bahwa “tugas historis” perjuangan demokratisasi desa
bukan sekadar respons terhadap politik dan kebijakan Orde Baru,
melainkan juga (dan terutama) respons terhadap berbagai proses
dan mekanisme “pengaplingan” (enclosure) sumberdaya alam yang
berlangsung hingga ke pelosok pedalaman desa seiring dengan
reorganisasi spasial oleh kapitalisme.
Dari empat kasus di mana gerakan sosial perdesaan mengemuka,
dua kasus mewakili jenis perjuangan akses (Sumber Baru dan masyara-
kat adat Tana), sementara dua kasus lainnya mewakili perjuangan
kontra eksklusi (Wana Asri dan Giri Jaya). Dua jenis perjuangan sosial
ini akan diulas lebih rinci di bawah ini, untuk kemudian akan dikupas
kasus terakhir yang mewakili absennya respons kolektif dalam bentuk
gerakan sosial (Pantai Sentosa).
Dua Kasus Perjuangan Akses
Kasus Sumber Baru memiliki latar sejarah berupa perampasan tanah
petani untuk konsesi perkebunan, sementara kasus masyarakat adat
Tana dilatari dengan sejarah ketakpastian penguasaan tanah di wila-
yah adat semenjak penetapan wilayah itu sebagai hutan negara. Untuk
kasus pertama, sejarah perampasan tanah memiliki riwayat yang cukup
panjang, yakni tidak lama setelah tragedi 1965. Perampasan tanah itu
melibatkan peran aktif tentara yang mengancam akan melabeli
petani sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) jika mereka
menolak menyerahkan tanahny a. Tanah yang dirampas itu lantas
dimasukkan sebagai bagian dari areal konsesi NV Perkebunan
Gambar. Sejarah inilah yang menjadikan kampung Sumber (kata
Baru” ditambahkan kemudian oleh masyarakat pasca-reclaiming)
sebagai satu-satunya permukiman yang berada di tengah kawasan
59
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
perkebunan di antara kampung-kampung sekitarnya.
Perjuangan akses pada kedua kasus ini memiliki karakteristik
masing-masing. Pada kasus pertama, perjuangan ditempuh dengan
cara reclaiming tanah perkebunan, dilanjutkan dengan berbagai
upaya untuk mendapatkan legalitas hak pemilikan dari pemerintah.
Sementara pada kasus kedua, perjuangan akses ditempuh secara
damai melalui serangkaian proses lobi dan negosiasi politik dalam
rangka mendapatkan rekognisi wilayah dan pemerintahan adat dari
pemerintah daerah. Sejalan dengan hal ini, basis sosial gerakan pada
kedua kasus juga sangat berbeda. Pada kasus pertama, basis sosialnya
adalah petani yang mengorganisir diri dalam serikat tani. Sementara
dalam kasus kedua, basis sosial gerakan adalah masyarakat adat
yang memobilisasi diri berdasarkan kesamaan identitas adat. Desa,
dalam kedua kasus ini, ternyata tidak menjadi basis sosial gerakan.
Meskipun demikian, dukungan pemerintah desa dan kampung adat
terhadap perjuangan akses yang dilakukan oleh warganya cukup
besar (lihat Tabel 1).
Pada kasus pertama, kesempatan politik untuk mewujudkan per-
juangan akses diperoleh saat terjadi gerakan reformasi 1998 yang
berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Transisi politik ini memung-
kinkan aksi-aksi okupasi tanah merebak di berbagai penjuru tanah air,
termasuk di Sumber Baru. Pada awalnya, perjuangan akses berpusat
pada reclaiming tanah perkebunan yang melibatkan aksi klandestin
sabotase tanaman perkebunan hingga aksi massa mengokupasi tanah
perkebunan. Pada tahap berikutnya, perjuangan akses bergeser pada
upaya mendapatkan kepastian hak legal atas tanah perkebunan yang
telah berhasil direbut dan dibagikan di antara warga Sumber Baru.
Upaya ini mencakup negosiasi dengan pihak perkebunan agar bersedia
melepaskan sebagian areal perkebunannya, menggalang dukungan
lsm dan politisi dari tingkat daerah hingga pusat, mengajukan gugatan
hukum ke pengadilan, hingga mengupayakan dukungan politik dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Pencanangan
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) pada awal 200719 membuka kesempatan
politik baru bagi gerakan ini untuk memperoleh legalitas dari negara
berupa sertifikasi tanah seluas 212 hektare dari total 825,42 hektare
tanah perkebunan pada 2009.20
Pada kasus kedua, perjuangan akses masyarakat adat Tana mela-
lui rekognisi wilayah dan kampung adatnya sebenarnya secara legal
telah dimungkinkan oleh status otonomi khusus yang disandang
Papua. Tetapi, kesempatan politik untuk mewujudkannya baru ter-
cipta setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35
tanggal 16 Mei 2013 yang menyatakan Hutan Adat sebagai hutan hak
19. Mengenai sejarah
awal pembentukan
kebijakan reforma agra-
ria pada era Presiden
SBY yang dikenal
dengan PPAN ini, lihat
Shohibuddin dan Nazir
(2012).
20. Untuk uraian lebih
lengkap mengenai kasus
Sumber Baru ini, lihat
Cahyono dan Novrian
(2010).
60 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
dan tidak lagi menjadi bagian dari hutan negara. Kesempatan politik
ini kemudian tinggal menunggu waktu petik ketika salah satu tokoh
adat setempat terpilih menjadi bupati. Selama masa kampanye, tokoh
adat tersebut telah menjanjikan pemberian rekognisi bagi masyarakat
hukum adat. Setelah menjabat bupati, janji kampanye itu ia penuhi
dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 319 Tahun 2014
tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang
mencakup sembilan wilayah masyarakat adat, termasuk Tana. SK
tersebut kemudian disusul oleh SK Nomor 320 Tahun 2014 tentang
Pembentukan 36 Kampung Adat yang berada di dalam sembilan
wilayah masyarakat adat yang telah diakui tersebut. Tetapi, jumlah
kampung adat dalam SK bupati yang kedua ternyata tidak mencakup
seluruh kampung yang ada di sembilan wilayah masyarakat adat
yang telah diakui dalam SK terdahulu (lihat Tabel 4).21
Dua Kasus Perjuangan Kontra Eksklusi
Dua kasus berikutnya berupa perjuangan kontra eksklusi. Perjuangan
ini dilatari dengan kondisi akses atas sumberdaya alam yang sudah
lama dimiliki masyarakat menghadapi ancaman eksklusi dari pihak
luar. Gerakan sosial yang digalang masyarakat memusatkan perhatian-
nya pada perlawanan atas ancaman eksternal itu. Pada kasus Wana
Asri, ancaman eksklusi mengemuka akibat perluasan wilayah TNUK
pada 1984 yang memasukkan wilayah kampung Wana Asri ke dalam
kawasan konservasi. Pada kasus Giri Jaya, ancaman eksklusi terjadi
seiring dengan rencana ekspansi industri semen ke Pegunungan
Kendeng (termasuk desa-desa di Giri Jaya) yang akan berdampak
besar pada pengambilalihan tanah dan degradasi lingkungan.
Di Wana Asri, perjuangan kontra eksklusi mulai mengemuka ketika
rencana pemukiman-kembali (resettlement) warga Wana Asri ke luar
kawasan TNUK digulirkan pemerintah. Perjuangan ini meledak pada
2007 menyusul insiden penembakan warga Wana Asri oleh petugas
jagawana TNUK. Insiden tersebut menjadi momentum menguatnya
soliditas internal di kampung Wana Asri yang menjadi basis sosial
gerakan perlawanan petani.
Luasnya pemberitaan media massa atas insiden penembakan
warga Wana Asri dan amuk massa setelahnya menarik banyak pihak
(lsm, akademisi, peneliti, pecinta alam) untuk hadir ke kampung ini
dan menyatukan solidaritas dan dukungan. Dukungan dari kalangan
luas ini menjadi kesempatan politik yang berharga bagi masyarakat
Wana Asri untuk mengembangkan argumen konservasi yang dapat
menjamin eksistensi mereka di dalam kawasan TNUK. Argumen
tandingan ini terwadahi dalam konsep “zona khusus” versi masyarakat
21. Uraian lebih
lengkap mengenai
masyarakat adat Tana
bisa dilihat dalam
Sajogyo Institute (2015).
61
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
yang kemudian dinegosiasikan dengan Balai TNUK. Konsep tersebut
dirumuskan melalui serangkaian penelitian sosio-ekonomi, budaya,
dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pemetaan partisipatif,
yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan dukungan banyak pihak.
Setelah melalui beberapa tahap perundingan yang alot, zona khusus
untuk kampung Wana Asri akhirnya disepakati dan disahkan pada
2011 melalui SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA) Nomor SK.100/IV-SET/2011.22
Di Giri Jaya, perjuangan kontra eksklusi diilhami oleh gerakan
perlawanan yang sudah muncul sebelumnya terhadap rencana eks-
pansi industri semen ke Pegunungan Kendeng, pegunungan karst
yang membentang di empat wilayah kabupaten di Jawa Tengah,
yakni Grobogan, Blora, Pati, dan Rembang. Di Pati, rencana ekspansi
industri semen ini mendapatkan perlawanan gigih dari komunitas
adat Sedulur Sikep (juga dikenal sebagai Samin). Terinspirasi oleh
gerakan ini, masyarakat Giri Jaya memobilisasi perlawanan serupa
dan menggabungkan diri ke dalam aliansi yang lebih luas, yakni
JMPPK. Perjuangan di Giri Jaya pun mengekspresikan diri sebagai
gerakan petani dan masyarakat adat, dengan menonjolkan perjuangan
perempuan. Basis sosial gerakan di Giri Jaya, dengan demikian, tidak
didasarkan pada kesatuan desa, tetapi pada solidaritas luas di tingkat
kawasan. Sementara itu, desa-desa di kawasan sekitarnya mengambil
posisi beragam: sebagian besar mendukung pabrik semen, sebagian
kecil mendukung perlawanan masyarakat (lihat Tabel 1).
Berbeda dari kasus Wana Asri yang sudah mencapai skema penyele-
saian yang bersifat final, masyarakat Giri Jaya hingga kini masih harus
berjuang gigih untuk melawan ancaman eksklusi di depan mata.
Aliansi JMPPK menyatukan petani Giri Jaya dengan komunitas adat
Samin dan masyarakat Pegunungan Kendeng lainnya yang terancam
oleh ekspansi industri semen untuk menggalakkan perlawanan
bersama. Perlawanan bersama ini juga menggaungkan panggilan
kemanusiaan yang sangat kuat karena dilakukan secara damai,
menggunakan pendekatan kebudayaan, serta sarat nilai-nilai seni,
kultural, dan ritual. Pada April 2015, mereka membunyikan lesung
di depan Istana Negara sebagai tanda bahaya sekaligus permintaan
menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setahun berikutnya,
mereka menggelar aksi pepe yang amat dramatis: pada April 2016,
sembilan “Kartini Kendeng” mengecor kaki mereka di depan Ista-
na Negara (aksi “Dipasung Semen”). Sebelumnya, pada November
2015, JMPPK menggelar aksi mars “Menjemput Keadilan” dari Pati
ke Semarang untuk mengawal sidang putusan di Pengadilan Tata
Usaha Negara dalam perkara gugatan warga terhadap izin tambang
karts untuk semen.23
22. Namun, zona
khusus untuk kampung
Wana Asri yang ditetap-
kan pemerintah ini tidak
sepenuhnya sejalan
dengan konsep awal
yang diajukan oleh
masyarakat. Untuk
uraian lebih lengkap
mengenai perlawanan
kontra eksklusi di Wana
Asri ini, lihat Cahyono
(2012).
23. Aksi-aksi JMPPK
yang disebut di sini
hanya sebagian saja dari
beragam aksi
damai
mereka dalam menolak
tambang karst.
62 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
Setelah aksi menginap dengan tenda perjuangan di depan Istana
Negara selama sepekan pada akhir Juli 2016, Presiden Jokowi menerima
dan mendengarkan tuntutan masyarakat Kendeng pada 2 Agustus
2016. Pertemuan ini memang belum menghasilkan penyelesaian apapun
yang bersifat konklusif. Presiden Jokowi hanya mengabulkan tun-
tutan masyarakat untuk dilakukannya kajian daya dukung dan daya
tampung Pegunungan Kendeng sebagai landasan yang kuat untuk
menilai kembali izin-izin pertambangan yang terlanjur diberikan
(lihat Tabel 4).
Ketika Gerakan Sosial Pedesaan Absen
Pantai Sentosa adalah desa dengan nama yang mengandung ironi.
Bukan karena sama sekali tidak sesuai dengan kenyataannya, melain-
kan karena nama itu hanya menggambarkan satu sisi dari kenyataan
desa ini yang kontras dengan sisi kenyataan lainnya. “Pantai Sentosa”
menjadi nama yang tepat jika disandingkan dengan hamparan tambak
yang menghasilkan ikan bandeng, udang, dan kepiting dengan
kualitas nomor satu untuk pasar ikan di Muara Angke, Jakarta;
atau jika merujuk pada bentangan hutan bakau di pesisir desa yang
direhabilitasi dengan dana Toyota Foundation, tempat yang sering
dikunjungi orang kota untuk memancing dan menghilangkan stres;
atau untuk mengacu pada semburan lidah api di puncak cerobong
ladang minyak milik Pertamina yang tampak menjulang dari desa ini.
Namun, “Pantai Sentosa” mengandung ironi ketika sebagian
besar tambak yang sangat produktif itu ternyata dimiliki oleh
orang-
orang kaya di kota—seorang di antaranya menguasai hingga sekitar
40 hektare; ketika seonggok hutan bakau di pesisir desa sama sekali
tidak berdaya menghadang banjir rob yang kian sering terjadi—dulu
datang secara teratur pada musim tertentu, kini bisa datang tiga
hingga empat kali dalam sebulan; atau ketika aktivitas pengeboran
minyak di sekeliling desa tidak sedikit pun membantu membuka keter-
isoliran desa ke pusat-pusat layanan dasar di ibu kota kecamatan—
sehingga pernah pada satu waktu dua puluh bayi di desa ini dan
sekitarnya meninggal akibat terlambat memperoleh penanganan
medis hanya karena buruknya infrastruktur jalan. Ditambah lagi,
sebagian wilayah di desa ini, yakni bekas hutan bakau yang telah
dikonversi penduduk menjadi lahan pertanian dan tambak, diklaim
oleh Perhutani.24 Sementara itu, banyak tanah milik pribadi di luar
wilayah yang diklaim oleh Perhutani telah dijual oleh pemiliknya
kepada pengembang perumahan.25
Gambaran krisis pedesaan tersebut telah menciptakan ketim-
pangan struktur agraria di desa. Pada saat bersamaan, krisis agraria
24. Ketakpastian
status tanah akibat
klaim Perhutani ini
membuat warga enggan
menanam bakau
di pantai, kendati
langkah ini sudah
sangat mendesak untuk
mencegah aliran rob
dan abrasi. Warga
khawatir Perhutani
akan mengambil alih
tanah begitu pohon
bakau yang ditanam
mulai membesar.
25.  Penjualan tanah
ini mulai marak sejak
2005 seiring dengan
kian kerapnya bencana
ekologis yang terjadi
di desa ini. Selama
2005–2013, 75% ta-
nah berhak milik di
desa ini telah dijual
kepada pengembang
perumahan (seorang
bernama Tinus dan
perusahaan PT Menara
Group).
63
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
tersebut disertai dengan krisis ekologis yang tidak kalah genting. Banjir
rob dan intrusi air laut menyebabkan tingkat kandungan garam air
(salinitas) meningkat yang berdampak pada menurunnya ketersediaan
air tawar dan produktivitas tambak serta lahan pertanian. Pesatnya
laju abrasi di pesisir bahkan melenyapkan banyak tambak di pantai.
Kombinasi krisis agraria dan ekologis itu membawa dampak
besar bagi sistem penghidupan warga desa. Ketimpangan agraria
dan keterbatasan akses warga atas sumberdaya alam setempat telah
menyebabkan sumber nafkah dan kesempatan kerja pedesaan mero-
sot. Pada saat yang sama, peningkatan bencana ekologis menimbulkan
kerentanan pada basis-basis produksi pedesaan, ketiadaan insentif
untuk menjaga kelestarian alam, dan lebih jauh juga mengakibatkan
memudarnya ikatan masyarakat dengan tanahnya. Tidak heran jika
dari 2.538 penduduk usia kerja di desa ini, hanya 232 orang yang be-
kerja di desa sebagai petani atau petambak. Mayoritas sisanya bekerja
sebagai buruh industri atau pekerja informal di kota-kota besar seperti
Jakarta dan Bekasi, sebagian lainnya bekerja sebagai Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di luar negeri.26
Dalam situasi demikian, siklus proses pemiskinan struktural
akan terus berlangsung layaknya lingkaran setan. Krisis ekologis
yang menimbulkan degradasi daya dukung dan daya tampung desa
(deruralization) akan mengakselerasi krisis agraria yang memicu
peningkatan ketimpangan dalam penguasaan dan alokasi sumberdaya
agraria (deagrarianization), demikian pula dalam pola sebaliknya.
Kedua hal ini selanjutnya akan mengakibatkan pelenyapan masyarakat
tani (depeasantization). Pada gilirannya, proses depeasantization akan
menyebabkan laju proses deruralization dan deagrarianization lebih
cepat lagi, dan begitu seterusnya.27
Apabila dicermati lebih jauh, kondisi krisis pedesaan di Pantai
Sentosa yang berlangsung di tengah kelimpahan potensi sumberdaya
alam merupakan manifestasi dari kondisi krisis yang lebih besar pada
skala kawasan dan tidak terbatas pada lingkup wilayah desa. Hal ini
tidak terlepas dari posisi Pantai Sentosa sendiri yang berada di muara
Sungai Citarum dan berada di daerah peri-urban yang berdekatan
dengan Bekasi dan Jakarta. Dengan demikian, secara ekologis, desa
ini amat rentan terhadap dampak negatif dari degradasi lingkungan
yang terjadi pada ekosistem laut maupun hulu sungai. Sementara itu,
secara sosio-ekonomi, desa ini amat rentan terhadap dampak negatif
dari ekspansi modal, perkembangan kota, dan gaya hidup hedonis
daerah urban yang mengelilinginya. Dihadapkan pada lingkaran
reproduksi krisis seperti telah disinggung, warga desa (yang telah
teralienasi secara material dan terfragmentasi secara sosial) sangat sulit
untuk memahami masalah mereka pada skala kawasan semacam ini,
26.  Lihat Cahyono et
al. (2015) untuk uraian
lebih rinci mengenai
kondisi kemiskinan
dan krisis pedesaan di
Pantai Sentosa.
27.  Mengenai ketiga
konsep deruralization,
depeasantization, dan
deagrarianization, ban-
dingkan uraian dalam
Soetarto dan Agusta
(2012).
64 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
apalagi untuk memobilisasi aksi bersama dan menggalang solidaritas
lintas desa guna merespons krisis pada skala kawasan—sebagaimana
dilakukan oleh warga Giri Jaya.
Sejak 2012, Gugah Nurani Indonesia (GNI) melaksanakan program
pemberdayaan masyarakat di Pantai Pesona dengan dana yang sangat
kasus
kesempatan
politik yang
dimanfaat-
kan
strategi
dan pilihan
aksi
sumber
kekuatan
aliansi
strategis
yang
dibangun
(6) (7) (8) (9)
perjuangan
akses melalui
reclaiming
tanah perke-
bunan di
sumber baru,
jawa timur
Reformasi 1998;
massifnya aksi
okupasi tanah;
PPAN era
pemerintahan
SBY (2009)
Aksi reclaim-
ing; sabotase
tanaman
perkebunan;
aliansi stra-
tegis dengan
serikat tani
daerah dan
nasional; gu-
gatan hukum;
negosiasi
dengan BPN
untuk legal-
isasi tanah
yang telah
dikuasai
Kekuatan
massa;
jaringan
pendukung;
dukungan
pendekar dan
paranor-
mal lokal;
patronase
politik; rela-
si khusus
dengan pim-
pinan BPN
Aliansi hori-
zontal dengan
serikat tani
daerah dan
desa-desa
sekitar; aliansi
vertikal
dengan lsm
agraria dan
para politisi
perjuangan
akses melalui
rekognisi
masyarakat
adat tana,
papua
Otonomi Khusus
Papua; Putusan
MK Nomor 35
Tahun 2013;
tokoh adat
terpilih sebagai
bupati
Menjadikan
tokoh adat
yang men-
janjikan
rekognisi
masyarakat
adat sebagai
bupati;
lobi politik
mendorong
pelaksanaan
putusan
MK Nomor
35 Tahun
2013; aliansi
strategis
dengan
pendukung
gerakan
masyarakat
di daerah dan
nasional
Otoritas dan
identitas
adat; relasi
politik dengan
pemerintah
daerah
dan pusat;
jaringan
pendukung
gerakan
masyarakat
adat
Aliansi hori-
zontal antar-
masyarakat
adat; aliansi
vertikal
dengan Kom-
nas HAM,
aliansi dengan
lsm lokal dan
nasional
perjuangan
kontra
eksklusi atas
perluasan
kawasan
konservasi
di wana asri,
banten
Sorotan publik
atas kasus
penembakan
petani pada
2007; interaksi
luas dengan
para peneliti,
serikat tani, dan
gerakan agraria
Aksi massa;
perlawanan
tersembunyi;
mobilisasi du-
kungan dari
kampus dan
lsm daerah
dan nasional;
negosiasi de-
ngan otoritas
Balai TNUK
Kekuatan
massa; mitolo-
gi dan kearifan
lokal; konsep
tandingan
zonasi khusus;
pemetaan
partisipatif;
jaringan
pendukung
Aliansi
horizontal
antardesa;
aliansi vertikal
dengan per-
guruan tinggi,
akademisi,
dan lsm
daerah dan
nasional
tabel 4
Perbandingan Pola
Mobilisasi Gerakan
65
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
28. Disampaikan
langsung oleh penang-
gung jawab program
kepada salah satu
penulis artikel ini.
perjuangan
kontra
eksklusi atas
penetapan
areal pertam-
bangan karst
di giri jaya,
jawa tengah
Inspirasi
gerakan
perlawanan
Samin (Sedulur
Sikep) di Pati;
janji politik
Presiden Jokowi;
pemberitaan
media atas
kekerasan
terhadap aksi
demonstrasi
kaum perem-
puan
Aksi massa
berbasis kea-
rifan budaya;
protes-protes
simbolik; gu-
gatan hukum;
kampanye me-
lalui media
sosial berbasis
internet dan
media massa;
menggalang
dukungan
luas dari
berbagai kala-
ngan; petisi
ke presiden
dan kedutaan
Jerman;
negosiasi
bertingkat;
aksi protes di
depan Istana
Negara; lobi
politik hingga
presiden
Kekuatan
artikulasi
kearifan dan
simbol budaya
lokal; kepe-
mimpinan
lokal; tokoh
perempuan;
jaringan luas
beragam
kelompok
sosial
(akademisi,
jurnalis,
peneliti,
ulama, politisi,
seniman,
budayawan);
kekuatan
media
Aliansi
horizontal
antardesa
dan sesama
masyarakat
korban tam-
bang karst
se-Jawa; alian-
si vertikal
yang sangat
beragam
di tingkat
daerah, nasio-
nal, hingga
internasional
kasus di
pantai
sentosa, jawa
barat di mana
perjuangan
sosial per-
desaan absen
Program
pemberdayaan
dengan dana
yang melimpah,
tetapi gagal
menjadi
daya dorong
perubahan
Perlawanan
pasif; sikap
pasrah
dan tidak
melakukan
aksi
perlawanan
terbuka
Nilai dan
pandangan
budaya yang
cenderung
apatis;
ketiadaan
organisasi
dan kepe-
mimpinan
untuk
melakukan
perubahan;
ketiadaaan
sejarah perla-
wanan
Gugah Nurani
Indonesia
yang melaksa-
nakan berba-
gai program
pemberdayaan
masyarakat di
desa
besar. Program tahunan itu seharusnya dapat menjadi kesempatan
politik yang berharga untuk menggugah kesadaran kritis warga desa
atas kedalaman dan keluasan krisis agraria dan ekologis yang mereka
hadapi. Sayangnya, program tersebut tidak memiliki perspektif kritis
untuk mendudukkan persoalan agraria dan ekologis semacam itu,
sebagaimana tercermin pada program-program pemberdayaannya
yang bersifat tambal sulam dan karitatif. Akibatnya, hingga sekarang,
menjelang berakhirnya program pemberdayaan itu, tidak ada dampak
signifikan yang berhasil diciptakan dalam rangka meningkatkan
kehidupan sosial-ekonomi warga desa. Sebaliknya, penanggung
jawab program mengungkapkan bahwa para pelaksana program
justru mengalami kegamangan yang besar mengenai keberlanjutan
program-program yang telah dilaksanakan selama ini.28
66 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
Menuju Desa Berdaulat: Beberapa Pembelajaran
Uraian mengenai kelima kasus empiris di atas memberikan pembela-
jaran penting bagi upaya mewujudkan desa yang berdaulat di bidang
sumberdaya alam. Bagian ini mengulas enam topik pembelajaran
krusial yang dapat diambil dari kelima kasus di atas, yaitu:
1. Negara: antara sumber krisis dan solusi;
2. Bentuk, intensitas, dan skala krisis pedesaan;
3.
Unit sosial-ekologis untuk identifikasi dan penanganan krisis;
4. Pembaruan menyeluruh untuk penanganan krisis;
5. Pembaruan dari dan berbasis desa; dan
6. Reaktualisasi perjuangan dan evaluasi periodik untuk pena-
nganan krisis.
Sebelum membahas keenam topik tersebut, pada Tabel 5 disajikan
secara ringkas berbagai dimensi pembaruan yang terdapat dalam lima
kasus yang dikaji, sejauh mana keberhasilan (atau keterbatasan) dari
masing-masing kasus, dan tantangan yang masih harus dihadapi di
masa depan. Bersama dengan Tabel 1 dan Tabel 4, pemetaan pada
Tabel 5 menyediakan pijakan empiris bagi upaya menarik pembelaja-
ran menyangkut keenam topik besar di atas.
tabel 5
Aspek-Aspek
Demokratisasi
Sumberdaya
Alam, Capaian,
dan Tantangan ke
Depan
catatan:
TK = Tata Kuasa;
TG = Tata Guna;
TP = Tata Produksi
(bandingkan dengan
Sangkoyo [2000]).
kasus
pembaruan
dalam relasi
negara-desa
pembaruan
dalam relasi
intra-desa hasil yang dicapai tantangan ke depan
tk tg tp tk tg tp
(10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17)
perjuangan
akses
melalui
reclaiming
tanah
perke-
bunan di
sumber
baru, jawa
timur
Redistribusi atas tanah
hasil reclaiming; alokasi
tanah kolektif untuk
dikelola organisasi tani;
pengakuan negara atas
tanah yang telah dikuasai
(sertifikasi melalui PPAN);
mobilitas sosio-ekonomi
dari buruh kebun ke
petani; rehabilitasi dari
stigma komunis
Disorientasi gerakan pasca-
sertifikasi; kegagapan
dalam transformasi buruh
kebun menjadi petani;
jual beli tanah hasil
reclaiming, termasuk tanah
kolektif; pasar tanah kian
pesat pascasertifikasi;
jebakan inkorporasi pada
industri gula dalam bentuk
penyewaan tanah jangka
panjang; elite capture
oleh sebagian pimpinan
gerakan
67
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
perjuangan
akses
melalui
rekognisi
masyarakat
adat tana,
papua
- - - - - SK Bupati Nomor 319
dan 320 Tahun 2014 yang
mengakui masyarakat
hukum adat dan kampung
adat Tana, tetapi belum
ada agenda pembaruan
di internal masyarakat
sebagai tindak lanjut
pengakuan tersebut
Penyelesaian tata batas
di dalam masyarakat
adat Tana maupun
dengan masyarakat adat
tetangga; potensi konflik
antar-masyarakat adat
karena representasi adat
yang tidak tepat; potensi
eksklusi atas masyarakat
adat lain dan warga
pendatang; kesiapan
dalam merespons rencana
investasi perkebunan dan
pertambangan
perjuangan
kontra
eksklusi di
wana asri,
banten
√√√√√√Usulan konsep zona
khusus untuk pengakuan
wilayah permukiman,
pertanian, dan perkebunan
warga Wana Asri diterima
oleh Balai TNUK, tetapi
substansinya tidak
sepenuhnya sesuai dengan
konsep zona khusus
tandingan yang diusulkan
masyarakat
Pengakuan zona khusus
yang lebih kuat dan
permanen, sesuai dengan
konsep awal yang
diajukan oleh masyarakat;
pertambahan penduduk
secara alamiah dan migrasi
dari luar desa berbenturan
dengan pembatasan
populasi yang ditetapkan
oleh Balai TNUK;
program konservasi
badak dan ekowisata yang
mengabaikan hak-hak
masyarakat lokal
perjuangan
kontra
eksklusi
terhadap
penetapan
areal
pertam-
bangan
karst
di giri
jaya, jawa
tengah
- - - - Daya perlawanan yang
makin menguat berkat
berbagai strategi, jaringan,
dan media yang berhasil
dimobilisasi; dukungan
yang kian luas dari
berbagai pihak, mulai
dari tingkat lokal hingga
internasional; Presiden
berhasil diyakinkan
mengenai urgensi pelaksa-
naan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) di
lokasi yang disengketakan
Menjaga stamina perlawa-
nan dan soliditas internal
di antara desa-desa di
sekitar tapak pabrik semen
khususnya, dan di seluruh
wilayah Pegunungan
Kendeng pada umumnya;
demoralisasi gerakan
melalui bujukan ekonomi
dan politik; manipulasi
sistem peradilan untuk
mendukung kepentingan
pengusaha; kemauan
politik pucuk pimpinan
daerah dan pusat yang
harus terus dipastikan
absennya
gerakan
sosial
di pantai
sentosa,
jawa barat
- - - - - - Terus berlanjutnya proses
struktural pemiskinan
dan degradasi ekologis
tanpa ada upaya kolektif
masyarakat untuk
meresponsnya.
Merintis basis sosial dan
inisiatif yang kuat di
antara warga desa untuk
merespons persoalan
struktural yang mereka
hadapi di desa
JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
Dengan mencermati kelima kasus di atas, kita ditunjukkan bahwa
banyak proses eksklusi di desa ternyata berasal dari praktik politik dan
kebijakan negara di bidang sumberdaya alam. Pada kasus masyarakat
adat Tana dan Wana Asri, proses eksklusi berawal dari penetapan
kawasan konservasi dan hutan lindung secara sepihak oleh negara,
yang bertumpang tindih dengan wilayah adat dan wilayah kelola
masyarakat. Pada kasus Pantai Sentosa, di antara proses eksklusi itu
berakar pada klaim Perhutani atas sebagian wilayah desa. Pada kasus
Giri Jaya, ancaman eksklusi ditimbulkan oleh kebijakan Gubernur Jawa
Tengah memberikan izin pertambangan batu gamping di Pegunungan
Kendeng kepada PT Semen Indonesia. Sementara pada kasus Sumber
Baru, sejarah perampasan tanah berawal dari intimidasi militer pada
rakyat untuk menyerahkan tanahnya, menjadikan tanah itu sebagai
bagian dari konsesi NV Perkebunan Gambar, dan kemudian mengubah
mereka dari petani menjadi buruh perkebunan (lihat Tabel 1).
Kelima kasus juga menunjukkan bahwa negara merupakan sum-
ber dari berbagai bentuk krisis pedesaan. Gerakan-gerakan sosial
pedesaan pada empat kasus pertama pun menjadikan negara sebagai
sasaran utama perjuangan, baik perjuangan akses (kasus Sumber
Baru dan masyarakat adat Tana) maupun perjuangan kontra eksklusi
(kasus Wana Asri dan Giri Jaya). Hanya dua kasus yang sasaran
perjuangannya, selain ditujukan kepada negara, juga diarahkan ke
dalam masyarakat sendiri, yakni Sumber Baru dan Wana Asri (lihat
Tabel 5). Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa ancaman eksklusi
yang berasal dari kebijakan negara ternyata lebih besar dan urgen
ketimbang ancaman yang berasal dari dalam masyarakat sendiri.
Kenyataan bahwa negara sering menjadi sumber krisis pedesaan
tidak terlepas dari peran historis yang dimainkannya dalam transfor-
masi “alam” menjadi “komoditas” sebagai tahapan penting di dalam
siklus (re)produksi dan akumulasi kapital. Proses “kapitalisasi alam”
yang turut dimuluskan oleh negara terjadi baik dalam rangka agenda
“efisiensi dan produksi” (misalnya perkebunan di Sumber Baru dan per-
tambangan di Giri Jaya) maupun dalam rangka agenda “sustainibility
dan common goods” (seperti “kapitalisasi biodiversitas” pada proyek
perlindungan badak di TNUK, konservasi bakau dan wilayah pesisir
di Pantai Sentosa, dan ambiguitas antara rekognisi wilayah adat Tana
dengan rencana pemerintah menerbitkan izin investasi tambang).29
Dalam rangka memuluskan proses kapitalisasi alam, negara kerap
menggunakan aksi kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan
masyarakat adat, seperti terjadi dalam sejarah intimidasi petani oleh
tentara di Sumber Baru pasca-tragedi 1965, penembakan petani di Wana
29. Mengenai kapita-
lisasi alam dalam pro-
duksi dan preservasi,
lihat beberapa bab
pada bagian kedua
“Capitalizing and
Enframing Nature”
dalam Braun dan
Castree (1998).
68
Negara: Antara Sumber Krisis dan Solusi
69
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
Asri oleh jagawana pada 2007, dan kekerasan terhadap perempuan
pelaku aksi damai di Giri Jaya oleh polisi pada 2014.
Dihadapkan pada peran negara semacam itu, maka diperlukan
langkah koreksi pada hulu persoalan, yaitu melalui pembaruan
secara mendasar pada politik dan kebijakan sumberdaya alam yang
dijalankan oleh negara. Tanpa pembaruan di level hulu semacam
ini, kebijakan otonomi desa tak ubahnya pepesan kosong. Sebab,
seberapa besar pun negara memberikan kewenangan kepada desa,
kewenangan itu tidak bakal efektif untuk mengatasi krisis yang ter-
jadi di desa (hilir) selama faktor pemicu krisis terus saja diciptakan
oleh negara di tingkat hulu.
Mengingat pembaruan mendasar pada politik dan kebijakan negara
sulit terwujud tanpa keterlibatan aktor-aktor di tubuh negara sendiri,
maka negara harus terus didesak untuk menjadi salah satu pelaku uta-
ma pembaruan. Momentum politik bagi proses pembaruan semacam
ini tidak mustahil tercipta di tubuh negara melalui inisiatif para aktor
reformis di dalamnya. Momentum inilah yang dapat dimanfaatkan
gerakan sosial untuk mendorong demokratisasi relasi negara-desa
di bidang sumberdaya alam. Sebagai gambaran, pada kasus Sumber
Baru, interaksi kritis antara gerakan sosial dengan para aktor reformis
di tubuh negara mulai terbuka sejak Joyo Winoto menggalakkan PPAN
saat dirinya memimpin BPN. Interaksi kritis tersebut memungkinkan
diperolehnya rekognisi negara atas tanah-tanah perkebunan yang
telah dikuasai oleh masyarakat Sumber Baru.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tanpa transformasi
watak negara dari “negara neoliberal” menjadi “negara konstitusional”,
30
perjuangan pembaruan desa akan serupa pepatah lama “tong kosong
nyaring bunyinya!”
Unit Sosial-Ekologis untuk Identifikasi dan Penanganan Krisis
Unit untuk identifikasi dan penanganan krisis pedesaan tidak dapat
ditetapkan secara apriori—misalnya, menurut administrasi desa—
melainkan sangat bergantung pada kedalaman dan keluasan krisis
yang terjadi, juga sejalan dengan kontekstualisasi berjenjang atas
manifestasi krisis tersebut. Belajar dari kelima kasus, unit identifikasi
dan penanganan krisis tidak pernah bisa dibatasi hanya pada lingkup
wilayah desa. Sebagai misal, pada kasus Wana Asri unit itu mencakup
kawasan Gunung Honje yang merupakan areal perluasan TNUK. Pada
kasus masyarakat adat Tana, unitnya mencakup beberapa wilayah
adat di sekitar Danau Sentani yang sedang menjadi incaran investasi
tambang dan ekowisata. Pada kasus Giri Jaya, unitnya mencakup
Pegunungan Kendeng yang terancam ekspansi industri semen. Pada
30. Negara konsti-
tusional yang
dimaksudkan di sini
merujuk pada kerangka
“konstitusionalisme
agraria”, sebagaimana
diuraikan Arizona
(2014).
70 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
kasus Pantai Baru, unitnya dapat mencakup sepanjang Daerah Aliran
Sungai Citarum, atau kawasan pesisir dengan garis pantai memanjang
hingga ke wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
31
ataupun wilayah
peri-urban yang mencakup pinggiran kota Bekasi. Bahkan pada kasus
Sumber Baru, unit penanganan krisis—yang semula berada di level
desa (lokasi reclaiming)—pada akhirnya perlu dikembangkan lebih
luas lagi ketika para peserta reclaiming dihadapkan pada ancaman
inkorporasi tanah mereka dalam industri gula setempat.
Dengan demikian, alih-alih didasarkan pada batas administratif
pemerintahan, unit yang paling tepat untuk melacak akar krisis
pedesaan—dan dari situ upaya koreksi dan pembaruannya—harus
diletakkan pada unit sosial-ekologis yang paling mewakili. Unit
sosial-ekologis yang dimaksud di sini ialah kombinasi antara dua hal:
kesatuan bentang alam (lanskap fisik) tertentu yang batas-batasnya
didefinisikan oleh karakteristik dan fungsi ekologisnya yang khas
dan sedimentasi historis sebagai akibat dari proses sosial, ekonomi,
dan politik lebih luas yang membentuk (ulang) lanskap fisik dan
membuatnya dari sekedar lanskap fisik menjadi sebuah lanskap
kultural yang khas.32
Menempatkan pelacakan dan penanganan krisis pada unit sosial-
ekologis dalam pengertian semacam ini memungkinkan pereng-
kuhan krisis agraria dan ekologis secara bersamaan sekaligus keter-
kaitannya satu sama lain pada beragam level. Hal ini dapat ditempuh
melalui kontekstualisasi secara progresif dalam tiga tahap. Pertama,
kontekstualisasi secara horizontal untuk melacak beragam bentuk
manifestasi krisis dan keterkaitannya satu sama lain di aras lokal.
Kedua, kontekstualisasi secara vertikal untuk menelusuri mata ran-
tai pertalian krisis pada level lokal dengan konstelasi krisis pada
level yang lebih luas; dari sinilah titik tolak untuk menentukan unit
spasial krisis yang tepat dan sedimentasi historis yang membentuk
krisis pada unit spasial tersebut. Ketiga, kontekstualisasi dalam arti
prosedur untuk menentukan segmentasi sosial dari krisis agraria dan
ekologis di antara warga desa. Kontekstualisasi ini penting meng-
ingat manifestasi krisis dan dampaknya tidak terjadi dan dirasakan
secara sama di antara berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, perlu dipetakan bagaimana keragaman manifestasi
krisis di desa dan bagaimana hal itu dialami secara konkret di tingkat
individu, keluarga, kelompok, hingga komunitas. Selain itu, perlu
juga dipetakan keragaman manifestasinya di antara masyarakat
desa berdasarkan perbedaan kelas, jenis pekerjaan, identitas sosial,
gender, dan kelompok umur.33
31. Bahkan hingga
tingkat global jika banjir
rob yang frekuensinya
terus meningkat di
Pantai Pesona ternyata
berkaitan dengan
kenaikan permukaan
air laut sebagai dampak
dari perubahan iklim
global.
32.  Tentang lanskap
kultural, lihat misalnya
Schaich, Bieling, dan
Plieninger (2010) dan
Taylor (2009).
33.  Perumusan
akhir ketiga bentuk
kontekstualisasi ini
berhutang budi pada
salah satu sesi diskusi
dalam kegiatan belajar-
bersama mahasiswa
Institut Agama Islam
Negeri Syekh Nurjati
Cirebon yang difasilitasi
oleh Sajogyo Institute.
Bandingkan rumusan
akhir ini dengan versi
awalnya pada presentasi
Shohibuddin (2016c).
71
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
Pembaruan Menyeluruh untuk Penanganan Krisis
Sebagaimana ditunjukkan Tabel 5, penanganan krisis pedesaan
mengharuskan upaya pembaruan yang menyeluruh, baik pada relasi
negara-desa maupun relasi di dalam desa sendiri (kolom 10–15).
Kedua jenis relasi ini saling mengandaikan satu sama lain; pemba-
ruan yang berhasil tidak pernah bisa terwujud secara optimal tanpa
melibatkan keduanya. Memang, seperti telah diulas sebelumnya
(topik pembelajaran pertama), relasi negara-desa lebih sering menja-
di sasaran utama perjuangan sosial pedesaan, baik dalam bentuk
perjuangan akses maupun kontra eksklusi. Meski demikian, bukan
berarti relasi-relasi di dalam desa sendiri tidak kalah penting untuk
dijadikan sasaran pembaruan.
Sebagaimana telah diulas, UU Desa sendiri menggulirkan agenda
demokratisasi atas kedua jenis relasi tersebut. Hanya saja, agenda
itu tidak mampu menyasar persoalan struktural krisis agraria dan
ekologis di perdesaan secara padu. Sebabnya, UU Desa memang
tidak mendorong pemaknaannya secara lebih mendalam sebagai
demokratisasi desa di bidang sumberdaya alam.
Mewujudkan demokratisasi desa dalam arti terakhir ini, dengan
mengadopsi kerangka pembaruan dari Sangkoyo (2000), berarti
melakukan pembaruan atas tiga aspek tata kelola sumberdaya alam
sekaligus: tata kuasa (TK), tata guna (TG), dan tata produksi (TP).
Shohibuddin (2016b) mendefinisikan ketiga aspek pembaruan ini
sebagai berikut. Pembaruan tata kuasa berarti penataan ulang akses
atas sumberdaya alam di desa agar struktur distribusinya bersifat
inklusif dan lebih merata di antara warga desa. Pembaruan tata guna
berarti pengaturan terhadap jenis dan alokasi penggunaan sumberdaya
alam agar mencapai titik optimal menurut kesesuaian lahan dan fungsi
ruang. Pembaruan tata produksi berarti penataan komoditas serta
manajemen dan organisasi produksi untuk memastikan output dari
sumberdaya yang telah dikerahkan (lahan, tenaga kerja, modal, tek-
nologi) dapat optimal menurut kriteria produktivitas dan kelestarian.
Sebagaimana ditunjukkan Tabel 5, kelima kasus krisis pedesaan
yang dibahas artikel ini ternyata mengandung respons yang berbeda-
beda terkait dengan agenda demokratisasi desa maupun aspek pemba-
ruan yang diperjuangkan. Hanya dua kasus, yakni Sumber Baru dan
Wana Asri, yang memiliki agenda perjuangan dengan sasaran dua jenis
relasi sekaligus (negara-desa dan intra-desa) serta mencakup ketiga
aspek pembaruan (TK, TG, dan TP). Sementara agenda perjuangan
pada dua kasus lainnya (masyarakat adat Tana dan Giri Jaya) hanya
72 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
ditujukan kepada relasi negara-desa, dan itu pun tidak mencakup
semua aspek pembaruan (hanya TK pada kasus masyarakat adat
Tana, serta TK dan TG pada kasus Giri Jaya). Kasus terakhir, yakni
Pantai Sentosa, bahkan menampilkan kegagalan mewujudkan aksi
kolektif warga desa untuk menjawab berbagai bentuk krisis pedesaan
yang mereka hadapi.
Keragaman sasaran perjuangan maupun aspek pembaruan itu tidak
menunjukkan bahwa gerakan sosial yang satu lebih baik dibandingkan
gerakan yang lain. Tetapi, hal itu lebih mencerminkan perbedaan
prioritas yang ditekankan oleh keempat gerakan itu sesuai dengan
jenis, skala dampak, dan urgensi dari krisis yang dihadapi. Terlepas
dari itu, orientasi perjuangan yang hanya menekankan pada satu
aspek ancaman saja (misalnya ancaman krisis dari negara) akan
timpang dan pada akhirnya tidak berkelanjutan, tanpa disertai dengan
kepedulian pada ancaman krisis yang bisa muncul dari dalam desa
sendiri. Begitu pula, penekanan pada perjuangan akses semata dapat
menimbulkan disorientasi gerakan tanpa disertai dengan kesadaran
akan ancaman eksklusi (baik dari luar maupun dari dalam desa) dan
perjuangan sosial untuk melawannya (lihat topik pembelajaran keli-
ma di bawah). Dengan demikian, perjuangan sosial untuk menjawab
krisis agraria dan ekologis di perdesaan menuntut kepekaan akan
ancaman yang dihadapi dan perubahannya dari waktu ke waktu.
Hal ini mengantarkan pada urgensi (re)aktualisasi perjuangan sosial
secara terus-menerus, sebagaimana akan dijelaskan pada topik pem-
belajaran keenam berikutnya.
Pembaruan Dari dan Berbasis Desa
Meskipun topik pembelajaran ketiga telah menekankan bahwa unit
sosial-ekologis untuk identifikasi dan penanganan krisis tidak bisa
dibatasi pada level desa, basis gerakan sosial untuk mewujudkan
koreksi dan pembaruan atas krisis harus berangkat dari aksi kolektif
di tingkat desa. Tanpa basis gerakan sosial di tingkat desa, solidaritas
lebih luas yang bersifat lintas desa (dan bahkan lintas kabupaten atau
provinsi) tidak mungkin terwujud. Gerakan sosial pedesaan di Giri Jaya,
misalnya, tidak mungkin mengemuka tanpa inspirasi dan dukungan
dari perjuangan kontra eksklusi di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah yang
muncul lebih awal. Pada tahap lebih lanjut, ketika masyarakat Giri
Jaya turut bergerak, dua simpul gerakan anti-tambang semen ini da-
pat menggalang aliansi lebih luas dengan gerakan serupa di Blora,
Grobogan, Kebumen, Sukabumi, Lebak, dan lain-lain.
Namun, contoh di atas baru mencerminkan gerakan pembaruan
yang bertolak dari aksi kolektif di desa untuk merespons tantangan
73
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
dari luar desa. Gerakan semacam ini tidaklah memadai jika tidak
disertai dengan aksi kolektif serupa untuk menjawab tantangan tata
kelola sumberdaya alam di desa sendiri. Oleh karena itu, gerakan
“pembaruan dari desa” harus disertai pula dengan pasangannya:
gerakan “pembaruan berbasis desa”. Kedua gerakan ini menjadi
kunci pembaruan secara menyeluruh atas aspek-aspek tata kuasa,
tata guna, dan tata produksi sumberdaya alam desa, termasuk dalam
konteks relasi-relasi di dalam desa sendiri.
Pembaruan aspek tata kuasa diilustrasikan paling jelas pada kasus
Sumber Baru. Gerakan sosial di desa ini berhasil mendistribusikan
ulang tanah perkebunan di antara anggotanya dan mengalokasi-
kan tanah kolektif yang cukup luas untuk serikat tani. Sayangnya,
organisasi serikat tani tidak cukup kuat sehingga memungkinkan
terjadinya elite capture yang menyasar tanah kolektif tersebut oleh
pimpinan gerakan yang kemudian terpilih menjadi pamong desa. Di
luar itu, secara teoretis, berbagai inovasi lain dalam penatakuasaan
sumberdaya alam desa dapat dilakukan melalui pembaruan berbasis
desa ini. Misalnya, desa dapat membuat aturan lokal dan sanksi sosial
untuk membatasi akumulasi tanah dan mencegah terjadinya tanah
guntai. Desa juga dapat menjalankan land reform skala lokal untuk
menjamin akses perempuan dan generasi muda atas sumberdaya
alam desa.
Terkait aspek tata guna, kasus Wana Asri merupakan contoh ke-
berhasilan masyarakat dalam penatagunaan wilayah kampung. Me-
lalui pemetaan partisipatif dengan bantuan lsm, cagar budaya, lahan
produksi, wilayah konservasi, dan situs-situs penting lain di Wana
Asri dapat diidentifikasi dan diperlihatkan secara spasial, sekaligus
pada saat yang sama dilakukan proses revitalisasi dan penguatan atas
aturan dan kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Kesemuanya ini menjadi landasan empiris yang kuat bagi masyarakat
dalam mengajukan konsep zona khusus kepada Balai TNUK sehing-
ga mereka dapat tetap tinggal di kampung mereka. Selain itu, masih
terkait aspek tata guna, secara teoretis, desa juga dapat menghimpun
dan mengalokasikan lahan pertanian pangan abadi sebagai “tanah
komunal desa”. Akses pada tanah komunal ini dapat diberikan secara
bergilir dalam bentuk hak pakai kepada warga desa yang miskin
dan/atau yang membutuhkan. Dengan cara demikian, pengadaan
tanah komunal dapat berfungsi juga sebagai pembaruan pada aspek
tata kuasa karena menyediakan mekanisme asuransi sosial berbasis
sumberdaya alam kepada kelompok miskin di desa.
Kasus Sumber Baru sekali lagi memberikan ilustrasi yang menonjol
terkait aspek tata produksi. Gerakan sosial pedesaan di sana ber-
hasil mentransformasikan sistem agraria perkebunan besar menjadi
74 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
sistem pertanian pangan rakyat. Transformasi itu ditempuh melalui
proses reclaiming dengan cara sabotase secara diam-diam tanaman
perkebunan, mengokupasi tanah tersebut, dan menanaminya dengan
tanaman pangan. Melalui proses gerilya, mereka berhasil menguasai
tanah perkebunan besar dan mengalihfungsikan untuk produksi
pangan. Sayangnya, gerakan ini tidak berhasil menginisiasi organisasi
produksi bersama untuk meningkatkan skala ekonomi usaha tani
mereka. Akibatnya, beberapa anggota gerakan ini tidak sanggup lagi
melanjutkan usaha tani dan terpaksa melepaskan tanah yang baru
mereka peroleh. Secara teoretis, seharusnya desa dapat melakukan ino-
vasi kelembagaan untuk mengonsolidasikan usaha tani skala gurem.
Seperti diusulkan Shohibuddin (2016b), lahan pertanian skala gurem
yang tidak bisa lagi ditingkatkan produktivitas dan skala ekonominya
sebaiknya dikelola pada skala lebih besar oleh badan usaha yang
dibentuk untuk tujuan ini, misalnya koperasi petani atau badan
usaha desa. Para petani gurem yang lahannya bisa dikonsolidasikan
dan lantas dilibatkan sebagai tenaga kerja badan usaha desa, juga
sekaligus menjadi shareholders di dalamnya. Dengan begitu, mereka
bisa memperoleh manfaat ekonomi ganda berupa upah sebagai tenaga
kerja dan pembagian dividen saban tahunnya.34
Terlepas dari keberhasilan dan kegagalan di atas, pembelajaran
penting yang dapat diambil di sini adalah keharusan melakukan
“pembaruan berbasis desa” secara menyeluruh atas tata kelola sumber-
daya alam desa. Dalam beberapa kasus, gerakan “pembaruan dari
desa” memang berhasil menangkal ancaman dari luar desa (Wana
Asri, Sumber Baru, Tana, dan untuk sementara ini Giri Jaya). Tetapi,
pembalikan krisis pedesaan dan pemulihan basis-basis produksi di
desa hanya dapat diupayakan melalui pembaruan menyeluruh berbasis
desa atas tata kuasa, tata guna, dan tata produksi sumberdaya alam.
Reaktualisasi Perjuangan dan Evaluasi Periodik untuk
Penanganan Krisis
Perjuangan sosial untuk penanganan krisis tidak bisa bersifat sekali
jadi, mengingat watak krisis itu sendiri terus-menerus berubah seiring
dengan proses reorganisasi kapital yang tidak kenal henti. Oleh karena
itu, perjuangan sosial juga harus bersifat dinamis dan kontekstual
serta selalu mereaktualisasi diri agar senantiasa relevan di tengah
pergeseran konteks dan perubahan ancaman yang terjadi.35
Kasus Sumber Baru memberikan pelajaran menyangkut poin ini.
Pada awalnya, selama fase reclaiming dan sertifikasi (baca: perjua-
ngan akses), masyarakat Sumber Baru mengarahkan perjuangannya
kepada dua jenis relasi sekaligus (relasi negara-desa dan relasi intra-
34. Inovasi kelemba-
gaan semacam ini untuk
pertama kali diusulkan
oleh Sajogyo (1976) yang
mengusulkan pembelian
tanah skala gurem
oleh pemerintah dan
kemudian menyatukan
pengelolaannya di
bawah Badan Usaha
Buruh Tani (BUBT).
BUBT merupakan
wadah baru bagi bekas
pemilik tanah gurem
yang sekaligus menjadi
pekerja di dalamnya.
35.  Dalam arti demi-
kian, maka—seperti hal-
nya pembaruan desa—
gerakan reforma agraria
juga menuntut koreksi
dan pembaruan secara
terus-menerus atas
kondisi ketimpangan
struktur agraria yang
terus diciptakan oleh
derap maju kapitalisme.
Pengertian reforma
agraria sebagai langkah
yang bersifat ad hoc dan
berbatas waktu hanya
tepat jika dipahami
dalam konteks sejarah
developmentalisme
yang menempatkan
reforma agraria
sebagai landasan
awal dalam proses
transformasi struk-
tural suatu negara dari
tahap agraris menuju
industrialisasi. Tetapi,
pengertian semacam
ini tidaklah tepat
jika reforma agraria
dipahami sebagai
koreksi terhadap krisis
agraria dan ekologis
yang dari waktu ke
waktu mengalami
metamorfosis karena
terus di(re)produksi
dengan cara berlainan
oleh kapitalisme.
75
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
desa) serta mengupayakan terwujudnya ketiga aspek pembaruan
tanpa terkecuali (TK, TG, dan TP). Demikianlah, selain melakukan
reclaim ing untuk mengoreksi ketakadilan sistem perkebunan (kolom
10
pada Tabel 5), gerakan petani di sana juga melakukan redistribusi
tanah secara adil bagi anggotanya, termasuk mengalokasikan tanah
kolektif untuk serikat tani (kolom 13). Selanjutnya, pembaruan tata gu-
na
lahan juga dijalankan dengan sabotase sistem perkebunan (kolom
11) dan mengubahnya menjadi lahan pertanian rumah tangga (kolom
14). Langkah tersebut berimplikasi pada pembaruan tata produksi,
yakni dari produksi komoditas perkebunan berbasis korporasi (kolom
12) menjadi produksi komoditas pangan berbasis rumah tangga petani
(kolom 15).
Meskipun gerakan sosial pada kasus Sumber Baru cukup kompre-
hensif dalam konteks perjuangan akses, tantangan yang dihadapi
bergeser ketika tanah yang diperjuangkan sudah berhasil dikuasai
dan mendapatkan rekognisi dari negara (memperoleh sertifikat). Pada
tahap ini, ancaman baru yang dihadapi masyarakat Sumber Baru
berupa mekanisme-mekanisme di dalam maupun di luar masyarakat
yang dapat menyebabkan para pemilik tanah kehilangan sebagian
tanahnya. Ancaman baru ini tentunya menuntut respons yang baru
pula, sekaligus mengharuskan pergeseran gerakan dari perjuangan
akses menjadi perjuangan kontra eksklusi.
Sayangnya, pada titik inilah gerakan sosial di Sumber Baru meng-
alami disorientasi. Hal ini sebenarnya telah terjadi tak lama setelah
tanah perkebunan diredistribusikan kepada masyarakat. Kegagapan
masyarakat dalam transformasi dari “buruh kebun” menjadi “petani
otonom” (serta ketiadaan dukungan pemerintah dalam mengawal
proses transformasi ini) menyebabkan sebagian warga mengalami
guncangan besar pada ekonomi rumah tangganya. Sebagai buruh
kebun, mereka telah terbiasa mendapatkan uang kontan atas jerih
payah mereka dalam memetik cengkih atau pekerjaan upahan lainnya
di perkebunan. Ketika beralih menjadi petani mandiri, mereka harus
menunggu mendapat hasil dalam periode cukup lama (3–6 bulan)
hingga tanaman budidaya mereka siap panen. Proses transisi dan
adaptasi semacam ini bukan hal mudah dan sederhana bagi masya-
rakat Sumber Baru. Selain menuntut ketersediaan lahan, proses itu
juga membutuhkan keterampilan dan pengetahuan baru sebagai
petani, juga akses modal untuk menjalankan usaha tani secara mandiri.
Sementara di sisi lain, mereka menghadapi kebutuhan rutin rumah
tangga yang nilainya melambung tinggi akibat krisis moneter saat itu.
Kondisi tersebut memaksa sebagian pemilik tanah baru yang
tak mampu beradaptasi untuk mengalihkan penguasaan tanahnya
kepada sesama warga desa maupun pemimpin gerakan yang memiliki
76 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
kemampuan ekonomi lebih tinggi. Dengan demikian, ketika proses
sertifikasi tanah dimulai pada 2009, hal itu justru memapankan proses
akumulasi dan diferensiasi yang mulai berlangsung di tengah-tengah
masyarakat Sumber Baru sendiri. Pada saat yang sama, berlangsung
pula gejala elite capture dan praktik penyimpangan yang melibatkan
sebagian pimpinan gerakan dan perangkat desa. Para oknum elite
desa ini, selain berhasil mengakumulasi tanah yang dilepaskan oleh
sebagian warga, juga terlibat dalam kerjasama diam-diam untuk
mengalihkan penguasaan tanah kolektif yang dialokasikan untuk
serikat tani menjadi milik pribadi. Padahal, sesuai kesepakatan bersa-
ma, tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan kolektif warga
Sumber Baru yang telah berjuang bersama-sama.
Dengan kian terbukanya pasar tanah sejak diterbitkannya sertifikat
tanah, ancaman kehilangan tanah di antara masyarakat Sumber
Baru menjadi lebih besar lagi, baik kehilangan itu bersifat permanen
(melalui jual beli) maupun sementara (melalui gadai dan penyewaan
jangka panjang). Ancaman terbesar proses kehilangan tanah ini ber-
asal dari beberapa pabrik gula di wilayah ini. Dalam rangka menjamin
tercukupinya pasokan bahan baku tebu dalam jangka panjang, pabrik
gula mulai melibatkan para makelar untuk mencari lahan pertanian
yang dapat disewa dalam periode jangka panjang. Melalui mekanisme
inkorporasi ke dalam industri gula inilah sebagian besar masyarakat
Sumber Baru telah kehilangan penguasaan efektif atas tanah yang
telah diperjuangkan sekian lama dengan penuh suka duka itu.
Kasus Sumber Baru memberi kita beberapa pelajaran penting
dalam rangka mendorong demokratisasi desa di bidang sumberdaya
alam. Pertama, ancaman krisis ternyata tidak pernah tetap atau
selalu dapat dikenali dengan mudah. Sebaliknya, ancaman krisis
bisa berubah-ubah bahkan ke dalam bentuk yang lebih abstrak dan
tidak mudah dikenali. Kedua, sejalan dengan itu, perjuangan sosial
harus bersifat dinamis dan kontekstual untuk menyesuaikan diri
dengan dinamika krisis, misalnya bergeser dari bentuk perjuangan
akses ke perjuangan kontra eksklusi. Sasaran perjuangannya juga
bisa difokuskan kepada negara maupun ke dalam masyarakat sendiri.
Sementara aspek pembaruannya bisa mencakup TK, TG, maupun
TP. Penentuan fokus gerakan di antara berbagai pilihan ini, maupun
kombinasinya satu sama lain, harus selalu menjadi perhatian uta-
ma dalam upaya reaktualisasi gerakan pedesaan yang tanpa henti.
Ketiga, reaktualisasi gerakan pedesaan perlu diisi dengan langkah
pemantauan dan evaluasi secara periodik atas beberapa aspek, yakni
status penguasaan, produktivitas, dan keberlanjutan sumberdaya
alam di desa; skema-skema kemitraan terkait sumberdaya alam yang
77
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
melibatkan desa dan warga desa; ancaman baru krisis dari dalam
dan luar desa; pergeseran tatanan kekuasaan yang dihadapi; dan
sebagainya. Berdasarkan pemeriksaan kritis secara berkala, maka
bisa ditentukan bentuk koreksi seperti apa yang paling tepat, gerakan
sosial bagaimana yang paling efektif, dan aspek-aspek pembaruan
apa saja yang harus diperjuangkan.
Penutup
Dengan menjadikan isu sumberdaya alam sebagai concern utama,
artikel ini telah menunjukkan batasan-batasan “peluang akses” dan
potensi “ancaman eksklusi” yang terkandung dalam UU Desa, serta
implikasi keduanya pada tataran praksis. Dalam rangka melampaui
keterbatasan UU Desa, juga membawanya kembali ke ranah perjuangan
sosial, artikel ini mengangkat lima kasus empiris untuk mendaratkan
gerakan pembaruan desa ke dalam konteks krisis agraria dan ekolo-
gis di perdesaan. Melalui pemetaan atas berbagai manifestasi krisis di
masing-masing kasus yang dikaji, serta analisis atas beragam respons
yang muncul dari masyarakat desa terhadap krisis tersebut, artikel ini
telah menggambarkan panorama ragam inisiatif penanganan krisis
pedesaan yang dilakukan oleh masyarakat desa beserta spektrum
keberhasilan maupun keterbatasannya.
Berdasarkan pemetaan tersebut, artikel ini lebih lanjut merumus-
kan enam topik utama pembelajaran yang dipandang amat krusial
dalam rangka mendorong arah baru gerakan pembaruan desa di masa
depan. Beberapa kata kunci menyangkut agenda perjuangan sosial
yang sangat menentukan keberhasilan perjuangan pembaruan desa
juga telah dikemukakan di sepanjang pembahasan, yakni: pasangan
“demokratisasi negara-desa” dengan “demokratisasi relasi-relasi di
dalam desa”, pasangan “perjuangan akses” dengan “perjuangan
kontra-eksklusi”, pasangan “pembaruan dari desa” dengan “pemba-
ruan berbasis desa”, tiga tahap “kontekstualisasi berjenjang” dalam
identifikasi krisis pedesaan, dan tiga aspek “pembaruan tata kelola
sumberdaya alam desa” dalam upaya penanganan krisis pedesaan.
Keenam topik pembelajaran beserta sejumlah kata kunci tersebut
diharapkan dapat membantu upaya-upaya gerakan pembaruan desa
di masa mendatang untuk merumuskan peta jalan yang lebih rinci
menuju kedaulatan desa atas sumberdaya alamnya.
Setelah menekankan gerakan pembaruan desa sebagai agenda
perjuangan sosial, satu refleksi penting patut dikemukakan sebagai
penutup artikel ini, justru karena hal ini seringkali disepelekan. Dalam
empat kasus gerakan sosial yang didiskusikan, keberhasilan mereka
78 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
menggerakkan aksi kolektif sedikit banyak dimungkinkan oleh bentuk
krisis yang pada dasarnya bersifat “kasat mata” dan tampil dalam ben-
tuk “musuh bersama” yang mudah dikenali. “Musuh bersama” itu bisa
dalam bentuk rezim perkebunan, rezim hutan negara, rezim taman
nasional, maupun rezim tambang. Dari sisi advokasi, bentuk-bentuk
krisis yang bersifat high profile semacam itu mudah mengundang
kepedulian berbagai pihak (akademisi, peneliti,
lsm
, jurnalis, dan
lain sebagainya) untuk turun langsung dan mendukung perjuangan
pedesaan (dengan tidak jarang menimbulkan komplikasi tambahan
karena persaingan klaim “lokasi dampingan” di antara para pembela).
Namun, berhadapan dengan bentuk-bentuk krisis yang lebih
bersifat abstrak dan anonim, yang mencuat seiring laju ekspansi
kapitalisme (baik “dari atas” maupun “dari bawah”),36 tidak ada satu
pun inisiatif pembaruan desa yang dapat ditemukan dalam kelima
kasus yang dibahas. Padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh kasus
Pantai Sentosa, ancaman eksklusi akibat derap maju kapitalisme yang
bersifat rutin tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan jenis krisis
yang bersifat high profile. Bahkan pada kasus gerakan sosial di Sumber
Baru sekalipun, di mana aksi pembaruannya cukup komprehensif
(lihat Tabel 5), ancaman kehilangan tanah akibat ekspansi rutin
kapitalisme—baik ekspansi “dari atas” yang berasal dari industri gula
maupun “dari bawah” yang berasal dari akumulasi dan diferensiasi
di dalam desa—tidak disadari dengan baik, alih-alih dapat diajukan
respons yang memadai. Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa
perjuangan akses semata tidaklah memadai tanpa disertai dengan
perjuangan kontra eksklusi secarasi simultan dan melibatkan semua
aspek pembaruan tata kelola sumberdaya alam yang relevan.
Dengan menjadikan kesenjangan di atas sebagai penutup uraian,
artikel ini berharap bahwa panorama gerakan sosial pedesaan dan
berbagai inisiatif pembaruan yang telah dipetakan dapat diusahakan
secara padu oleh gerakan-gerakan pembaruan desa di masa men-
datang. Termasuk, tentu saja, dengan memberikan respons konkret
yang memadai atas jenis krisis yang baru saja disinggung.
36. Mengenai penger-
tian “kapitalisme dari
atas” dan “kapitalisme
dari bawah” beserta
ilustrasinya masing-
masing, lihat
Shohibuddin (2010)
79
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
Daftar Pustaka
abidin, m.z. 2015. “Tinjauan atas Pelaksanaan Keuangan Desa dalam Men-
dukung Kebijakan Dana Desa.” Dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan
Publik 6 (1): 61–76.
arizona, y. 2003. 2014. Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press.
braun, b. dan n. c astree, penyunting. 1998. Remaking Reality: Nature
at the Millenium. London (Inggris) dan New York (Amerika Serikat):
Routledge.
budiono, p. 2015. “Implementasi Kebijakan Badan Usaha Milik Desa (Bum-
des) di Bojonegoro (Studi di Desa Ngringinrejo Kecamatan Kalitidu dan
Desa Kedungprimpen Kecamatan Kanor).” Dalam Jurnal Politik Muda 4
(1): 116–125.
cahyono, e. 2012. “Konflik Kawasan Konservasi dan Kemiskinan Struk-
tural.” Dalam Jurnal Politika 8 (1): 7–41.
cahyono, e. dan d. novrian. 2010. “Integrasi ‘Reforma Agraria’ dengan
Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan (Studi
di Tasikmalaya dan Blitar).” Dalam Pengembangan Kebijakan Agraria
untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan
Ekologis, disunting oleh laksmi a. savitri, ahmad n. luthfi, dan amien
tohari. Yogyakarta dan Bogor: STPN dan Sajogyo Institute.
cahyono, e., a. m ahmud, a. bahri, s. chakim ah, m. iham, f. rabbani,
dan w. noer. 2015. “Laporan Pemetaan Sosial-Ekonomi Desa Pantai Ba-
hagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi Utara.” Laporan
tidak diterbitkan.
de angel is, m. 2004. “Separating the Doing and the Deed: Capital and the
Continuous Character of Enclosure.” Historical Materialism 12 (2): 57–87.
DOI: 10.1163/1569206041551609.
dewi, a.s.k. dan n.d. pra setyo. 2015. “Interpretasi Bentuk Badan Usaha
Milik Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.” Dalam Jurnal Media Hukum 22 (2): 242–257.
direktorat penelitian dan pengemba ngan kom isi pember antasan korup-
si. 2015. Laporan Hasil Kajian Pengelolaan Keuangan Desa: Dana Desa
dan Alokasinya. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
eko, s. 2015. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi dan Semangat UU Desa.
Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
fine, b. 2001. “Primitive Accumulation.” Dalam A Dictionary of Marxist
Thought, second edition. Disunting oleh tom bottomore. Oxford
(Inggris): Blackwell.
hadiz, v.r. 2004. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective. California (Amerika Serikat): Stanford
University Press.
80 JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
wacana
hall, d., p. hirsch, dan t.m. li. 2011. Powers of Exclusion: Land Dilemmas
in Southeast Asia. Singapura: National University of Singapore Press.
komnas ham. 2015. “Keterangan Pers Komnas HAM Tentang Temuan Awal
Peristiwa KekerasanTerhadap Salim Kancil Dan Tosan di Selok Awar-
Awar Kabupaten Lumajang.” 5 Oktober. https://www.komnasham.
go.id/index.php/siaran-pers/2015/10/05/37/keterangan-pers-komnas-
ham-tentang-temuan-awal-peristiwa-kekerasanterhadap-salim-kancil-
dan-tosan-di-selok-awar-awar-kabupaten-lumajang.html.
nurcholis, h. 2014.“Pemerintahan Desa: ‘Unit Pemerintahan Palsu’ dalam
Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia.” Jurnal Politica 5 (1):
1–19.
rachman, n.f. dan d. yanuardy, penyunting. 2006. MP3EI: Master Plan
Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Yogyakarta
dan Bogor: Tanah Air Beta dan Sajogyo Institute.
ribot, j.c. dan n.l. peluso. 2003. “A Theory of Access.” Rural Sociology 68
(2): 153–181. DOI: 10.1111/j.1549-0831.2003.tb00133.x.
rozak i, a. 2015. “Mendemokratisasikan Desa untuk Kesejahteraan Warga.”
Analisis CSIS 44 (1): 63–79.
scha ich, h., c. bieling, dan t. plieninger. 2010. “Linking Ecosystem
Services with Cultural Landscape Research.” Gaia-Ecological
Percpectives for Science and Society 19 (4): 269–277. DOI: https://doi.
org/10.14512/gaia.19.4.9.
sajogyo. 1976. “Kata Pengantar,” dalam Penduduk dan Kemiskinan: Kasus
Sriharjo di Pedesaan Jawa, ditulis oleh masri singarimbun dan david
harry penny. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
sajogyo institute. 2015. “Draf Laporan Pemetaan Konflik Masyarakat
Hukum Adat di Kawasan Hutan (Studi Kasus di Kabupaten Jayapura,
Papua).” Disampaikan kepada Shamdana Institute.
sangkoyo, h. 2000. “Pembaruan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat So-
sial dan Ekologis Pengurusan Daerah.” Kertas Posisi KPA No. 008/2001.
Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.
shohibuddin, m. 2010.“Prolog Memahami Dimensi-Dimensi Kemiskinan
Masyarakat Adat.” Dalam Memahami Dimensi-Dimensi Kemiskinan
Masyarakat Adat, disunting oleh restu achmaliadi dan mohamad sho-
hibuddin. Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
___. 2015. “Mengoptimalkan UU Desa untuk Mewujudkan Tata Kelola
Sumberdaya Alam Desa yang Demokratis dan Inklusif: Antara Peluang
Politik dan Hambatan Struktural.” Makalah disampaikan pada Rapat
Kerja Nasional Para Pemangku Kepentingan Desa, diselenggarakan
oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trans-
migrasi, Jakarta, 2–13 Desember 2015.
___. 2016a. “UU Desa: Akses atau Eksklusi?” Gatra 15 Juni 2016: 62–63.
81
wacanaNOMOR 36/TAHUN XIX/2017
___. 2016b. “Peluang dan Tantangan UU Desa dalam Mendemokratisasikan
Tata Kelola Sumberdaya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis.” Masya-
rakat: Jurnal Sosiologi 21 (1) 21 Oktober. http://journal.ui.ac.id/index.
php/mjs/article/view/5021.
___. 2016c. “Auto-ethnography.” Presentasi pada kelompok belajar-bersa-
ma mahasiswa IAIN Cirebon, diselenggarakan oleh Sajogyo Institute di
Bogor, 1 Agustus 2016.
shohibuddin, m. dan m. nazir, peny unting. 2012. Pembentukan Kebijakan
Reforma Agraria 2006-2007: Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta
dan Bogor: STPN Press dan Sajogyo Institute.
simarm ata, j. dan d. magdalena. 2015. “Kedudukan dan Peranan Peratu-
ran Desa dalam Kerangka Otonomi Desa Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Perundang-Undan-
gan Terkait.” Jurnal Legislasi Indonesia 12 (3): 319–328.
soetarto, e. dan i. agusta. 2012. “Arah Baru Penurunan Ketahanan Pa-
ngan: ‘Deruralization’, ‘Depeasantization’, ‘Deagrarianization’.” Dalam
Pangan Rakyat: Soal Hidup atau Mati 60 Tahun Kemudian, disunting
oleh anna fariyanti, amzul rifin, siti jahroh, dan bayu krisnamurthi.
Bogor dan Jakarta: Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen IPB dan PERHEPI.
taylor, k. 2009. “Cultural Landscapes and Asia: Reconciling International
and Southeast Asian Regional Values.” Landscape Research 34 (1):
7–31. DOI: 10.1080/01426390802387513.
zak ari a, y. 2014. “Peluang dan Tantangan Undang-Undang Nomor 6 Ta-
hun 2014 tentang Desa.” Bahan untuk sosialisasi pasca penetapan UU
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
___. 2015a. “Nomenklatur Desa Adat versi Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa sebagai Salah Satu Upaya Memperkokoh Sentimen
Berbangsa dan Bernegara Indonesia.” Presentasi pada Rapat Dengar
Pendapat Umum Dewan Perwakilan Daerah RI, Jakarta, 21 Januari 2015.
__. 2015b. “Dinamika dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Op-
timalisasi UU Desa ke Depan.” Presentasi pada diskusi Perkembangan
Implementasi UU Desa: Peluang dan Tantangan. Lembaga Penelitian
dan Pengembangan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Yogyakarta, 3 Juli 2015.
... Dalam kegiatan pertambangan, hasil yang dihasilkan sangat beragam, dan termasuk dalam kategori sumber daya alam yang sangat berharga (Shohibuddin et al., 2017). Contohnya adalah minyak dan gas bumi, yang merupakan sumber energi utama dunia, serta batu bara yang digunakan untuk pembangkit listrik dan industri (Shen, 2022). ...
... Salah satu entitas utama yang berperan dalam produksi dan distribusi sumber daya alam ini adalah Pertamina, yang merupakan perusahaan energi terbesar di Indonesia. Pertamina memiliki peran krusial dalam memastikan pasokan energi yang mencakup minyak, gas bumi, serta berbagai material alami lainnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri (Shohibuddin et al., 2017). ...
Article
Full-text available
Untuk mengoptimalkan produksi minyak bumi secara nasional serta untuk meningkatkan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat dipandang perlu untuk mengeluarkan regulasi tentang pengelolaan dan pengusahaan minyak bumi pada sumur tua yang tersebar di wilayah lapangan minyak yang sudah tua. Sejalan dengan hal tersebut Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertambangan dan Energi menerbitkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1285K/30/MPE/1996 yang kemudian diperbaui dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua, dapat diartikan sebagai perwujudan dari makna yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945, merupakan angin segar bagi Pemerintah Daerah yang mempunyai banyak sumur tua, karena Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 01 Tahun 2008 tersebut memberikan jalan dan harapan bagi meningkatnya APBD dan kesejahteraan rakyat, dengan keikut sertaan KUD atau BUMD memproduksi minyak bumi pada sumur tua yang ada di wilayahnya. Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu wilayah di Propinsi Jawa Timur yang merupakan daerah penghasil migas yang masih aktip hingga saat ini. Lapangan minyak yang ada di Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro merupakan lapangan Sumur Minyak Tua yang sudah diproduksi sejak jaman Belanda, sehingga produksinya sudah tidak maksimal. Potensi sumur tua minyak bumi yang ada tersebut masih dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan penambangan secara tradisional dengan mengikutkan masyarakat setempat. Kegiatan pengusahaan sumur tua minyak bumi yang paling menonjol dan berhasil yang ada di wilayah kerja PT Pertamina EP Asset 4 Lapangan Cepu, khususnya yang ada di Desa-desa Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, penambangan ini menggunakan teknologi sederhana dengan metode menimba sehingga relatif lebih ekonomis.
... Kehidupan sosial ekonomi perempuan perdesaan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas agraris yang merupakan tradisi turun-temurun di perdesaan (Shohibuddin, Cahyono, & Bahri, 2017). Realitas perempuan yang lekat dengan peran (beban) ganda berkaitan erat dengan ketahanan keluarga dalam keterpenuhan ekonomi rumah tangganya (Chalid, 2009;Alie & Elanda, 2020). ...
Article
Full-text available
This study aims to identify the gaps of women rice dryers in meeting the economic needs of the family and to find out the orientation of women rice dryers in planning the future of family members. A qualitative approach was used to describe the phenomenon of women rice dryers from the aspect of socioeconomic relations. Data collection was conducted through observation, interviews and focused discussions. Informants were purposively selected based on their occupational background. The results showed that the socioeconomic gap of women rice dryers from the aspect of social action leads to traditional actions and in its activities must harmonize household chores and work as a rice drying laborer. Control of family finances is controlled by the wife on the grounds that it is to meet unexpected needs, especially the cost of education and anal health. Rice dryers save money in the form of arisan (social gathering) and in general, the form of recreation takes the form of participating in recitation activities and PKK activities. In addition to physical labor, women rice dryers work with patience. This is a necessity to organize the family life of women rice dryers.
... But at the same time, this great authority has the opportunity to make it easier for the ruling village elite to seek pragmatic advantages and negate the general rights and interests of the village community. Thus, while there are opportunities for reform, the Village Law still contains opportunities for exclusion (Shohibuddin et al., 2017). ...
Article
Full-text available
This paper seeks to present the results of testing the implementation of the Village Law in villages covered by large-scale oil palm plantations. The socio-economic and political dynamics of villages with oil palm are in stark contrast to villages that are relatively free from the circle of the plantation capitalist system. This research examines it by focusing on the study of customary land acquisition practices and partnerships between smallholders and oil palm plantation companies in the Sintang District. Qualitative research using a case study approach which is the basis for writing this paper found that the Village Law, which many people hoped would free villages from the threats of the industrialization of forests and oil palm plantations, in fact, could not do much or, in the author's language, the Village Law was in hibernation.
... Descriptive research is research that aims to accurately describe the characteristics of facts (individuals, groups, or circumstances) and to determine the frequency with which something happens. This research is intended to provide as accurate a description as possible about humans or a situation [10]. The approach in this study uses a qualitative approach. ...
Article
This study aims to describe (1) the implementation of providing legal aid for suspects at the Yogyakarta Police, (2) the obstacles encountered in the implementation of the provision of legal aid, and (3) efforts to overcome obstacles in the implementation of providing legal aid for suspect at the Yogyakarta Police. This research is a descriptive study with a qualitative research method approach. Research subjects were determined by purposive technique. The research subjects are the Deputy for Criminal Investigation, Police Investigator, Head of Investigative Unit I, Head of Operational Development Affairs and legal advisors as legal aid providers. Data were collected by interview and documentation methods. The results of this study indicate that the implementation of providing legal assistance for suspects who are poor and threatened with imprisonment for five years or more is when the Police, especially the investigators carry out their obligations as regulated in the Criminal Procedure Code, in particular Articles 54 and 56. the suspect at the Yogyakarta Police, namely the limited funds for the implementation of the provision of Legal Aid at the Yogyakarta Police, namely Rp. 3,000,000.00 per case when it should be Rp. 5,000,000.00 per case, the availability of Legal Aid Providers at Poresta Yogyakarta is not yet sufficient, there are some investigators who do not understand about the provision of legal aid for indigent (poor) suspects. Efforts in overcoming obstacles in the implementation of providing legal assistance for suspects at the Yogyakarta Police, namely
... Top-Down development system, namely the start of development from above (Shohibuddin et al., 2017) where the village will be increasingly recognized for its position (Ismadani, 2015). ...
Article
Full-text available
Regent Regulation Number 39 of 2017 concerning Procedures for Distribution and Determination of Details of Gampong Funds is prioritized for community development and empowerment. This study aims to describe the implementation of the Aceh Utara Regent's Regulation and analyze the supporting and inhibiting factors in the implementation of the Aceh Utara Regent's Regulation. This study uses a qualitative method with a descriptive analysis approach. The results showed that all gampongs in Syamtalira Bayu sub-district had finished compiling the Village Fund Policy Plan (Qanun APBG) for the current year and reported the realization of the use of the Gampong Fund for the fiscal year; All Village Fund Policy Activities that have been determined (Qanun APBG) have been completed, although there are still villages that are late in completing them; All Gampong Funds have been completed, although reporting is still ongoing. factors that support and hinder the implementation of the bupati's policies include; communication, resources, attitude of implementers, objectives, environment, as well as steps and company policies. Solving this research problem is done by combining the theory of public policy implementation models from Grindle, Van Meter, and Van Horn, as well as the theory of Edward III.
... Tergantung pada karakteristik persoalan yang dihadapi, mobilisasi sosial oleh komunitas petani dalam rangka gerakan perjuangan agraria ini dapat berupa tindakan kolektif untuk mewujudkan akses atas tanah (baca: "perjuangan akses"), atau melindungi akses atas tanah yang sudah ada dari ancaman pengambilalihan penguasaan dan/atau degradasi ekologis (baca: "perjuangan kontra-eksklusi"), atau pun kombinasi keduanya (Mohamad Shohibuddin, 2020b;Shohibuddin, Cahyono, & Bahri, 2017). Berkaitan dengan "perjuangan akses", mobilisasi sosial dari bawah oleh komunitas petani sering kali dilakukan melalui aksi pendudukan (kembali) tanah-tanah yang disengketakan, pembentukan serikat petani, pengembangan jejaring dan aliansi pendukung, aksi massa, hingga negosiasi dengan pihak pemerintah (Fauzi & Herlily, 2005). ...
Article
Full-text available
Penelantaran tanah HGU oleh PT Hevindo di tengah konteks ketimpangan agraria dan kemiskinan yang dialami masyarakat tiga desa di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor telah memicu perjuangan agraria kelompok petani AMANAT dengan dukungan sejumlah LSM dan aktor politik. Arus gerakan dari bawah untuk meredistribusikan tanah HGU terlantar ini telah melahirkan respons dari atas oleh para aktor pemerintah dari level desa hingga nasional. Artikel ini mengkaji zona interaksi politik di antara dua arus ini dan pengaruhnya terhadap tindakan para aktor pemerintah terkait desakan pelaksanaan reforma agraria. Penelitian lapang dilaksanakan selama Juli-Desember 2020 melalui kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif. Pengaruh antar variabel diuji secara statistik menggunakan SPSS 16.0 dan SmartPLS 3.0. Hasil penelitian memperlihatkan pengaruh positif dan signifikan dari proses interaksi ini terhadap respons para aktor pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan sikap mereka dari semula menentang lantas berbalik mendukung perjuangan petani ini. Pada 2019 sosialisasi mengenai rencana pelaksanaan reforma agraria telah dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, sementara hasil pemetaan partisipatif atas penguasaan tanah oleh petani penggarap di lokasi HGU telah diusulkan oleh AMANAT sebagai acuan penetapan tanah objek reforma agraria dan calon penerima manfaatnya. Namun, hambatan administratif akibat praktik tata pengurusan dan administrasi pertanahan yang buruk dan manipulatif di masa lalu membuat program reforma agraria belum kunjung dilaksanakan hingga saat penelitian lapangan berakhir.
Article
Full-text available
Objectives: The objective of this research is to explore and advocate for the revitalization of village autonomy, particularly through the principle of subsidiarity and village-scale local authority. It aims to analyze the current state of village autonomy within the framework of the Village Law, with a focus on managing natural resources at the local level. Methods: This research employs a normative approach to examine the legal and political aspects of village autonomy, specifically within the context of the principle of subsidiarity. It involves an analysis of existing legal frameworks, particularly the Village Law, to understand the dynamics of state and village relations concerning the management of natural resources. Additionally, the research investigates how the principle of subsidiarity can be applied to empower villages in managing resources within their jurisdiction. Results: The findings of this research indicate that the principle of subsidiarity can serve as a foundational concept for regulating village-scale local authority. It suggests that village autonomy, particularly in managing natural resources like regional forests, mangrove forests, small islands, coastal areas, and marine areas, can be bolstered through the application of this principle. The research highlights that village autonomy should not only be declarative but also constitutive, allowing villages to expand their authority over specific natural resources. Conclusion: In conclusion, the revitalization of village autonomy, guided by the principle of subsidiarity and village-scale local authority, emerges as a viable legal and political alternative. By emphasizing the handover of certain natural resource management responsibilities from the state to villages, as regulated by law, this approach seeks to strengthen village authority and promote effective resource management at the local level.
Article
Full-text available
BUMDes in DIY Yogyakarta has the potential and opportunities to be developed because villages in DIY Yogyakarta need effective guidance and management for the welfare of village communities through the BUMDes. Village Law number 6 of 2004, the government makes a policy whereby villages should be able to establish BUMDes, but Yogyakarta Yogyakarta still has villages that do not yet have BUMDes especially in villages that have the potential to develop business types. This research is descriptive qualitative research that aims to describe the role of BUMDes Amarta, Srimartani Makmur and Panggunglestari in improving the village economy. This can be seen from the type of business being developed. The population in this study were BUMDes members consisting of 3 (three) villages. Data were collected through interviews with BUMDes members and analyzed using Nvivo 12 plus descriptively. BUMDes Amarta, Srimartani, and Panggunglestari have their ideas and characteristics. 3 factors influence the performance of BUMDes, namely individual factors, psychological factors, and organizational factors. The results show that individual factors have a large or dominant role in efforts to improve the village economy.
Chapter
Full-text available
Babak baru kebijakan pembangunan pedesaan Indonesia di era reformasi salah satunya ditandai dengan hadirnya Undang-undang Desa No.6 tahun 2014 (selanjutnya cukup ditulis UU Desa) lalu. Telah banyak ulasan tulisan tentang UU Desa, baik dari sisi proses kebijakan, hukum, politik anggaran, hingga evaluasi kritis atas konseptual-teoritiknya. Tulisan ini dengan seluruh keterbatasannya, hanyalah satu refleksi pribadi yang ditulis secara bebas sebagai satu catatan untuk mengajukan tawaran “prasyarat” pelengkap, mungkin juga menjadi batu uji dari tujuan UU Desa dan praktik implementasinya . Dalam tujuan semacam itu, tulisan ini membatasi diri pada upaya mempersoalkan yang disebut “kesempatan/peluang politik” yang tersedia dari UU Desa untuk menjawab ragam krisis agraria sebagai masalah dasar pedesaan. Dengan melihat ulang daya jawab UU Desa atas persoalan-persoalan struktural agraria sebagai basis krisis agraria pedesaan itu, pada gilirannya juga penting melihat ulang masalah –masalah dalam pembangunan kawasan pedesaan, kaitannya dengan kepekaan atas persoalan ketimpangan struktural agraria di pedesaan.
Article
Full-text available
Konflik tenurial di kawasan hutan terjadi karena persaingan klaim penguasaan, penggunaan, maupun pemanfaatan tanah dan sumber daya lainnya di kawasan hutan antara masyarakat dengan otoritas atau entitas yang mendapat legitimasi untuk mengelola kawasan hutan. Akses dan kepastian tenurial masyarakat seringkali terhambat karena status wilayah yang didiaminya merupakan kawasan hutan. Upaya penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan menjadi tidak mudah dilakukan karena terbentur oleh regulasi dan kebijakan untuk mempertahankan 30% luas kawasan hutan dari luas wilayah, pulau, atau daerah aliran sungai. Pada sisi lain, kehadiran UU Cipta Kerja secara jelas menyebut akan mengatur ulang ketentuan untuk mempertahankan 30% luas kawasan hutan tersebut. Tulisan ini hendak menyelidiki akankah pengaturan ulang batas minimum luas kawasan hutan tersebut menjadi pemecahan dari hambatan penyelesaian penguasaan tanah dan konflik tenurial di kawasan hutan atau sebaliknya justru memperparah konflik yang terjadi? Dan jika memang bisa menjadi solusi, bagaimana pengaturan ideal supaya selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup?
Chapter
Full-text available
Tulisan ini menegaskan pentingnya perspektif yang lebih relasional di dalam melihat kemiskinan, yaitu dengan memandangnya sebagai "konsekuensi" dari relasi-relasi kuasa yang timpang yang menimbulkan marginalisasi satu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kemiskinan masyarakat adat, relasi-relasi kuasa itu terutama sekali melibatkan relasi antara negara dengan komunitas adat melalui berbagai aturan hukum dan kebijakan pembangunan yang diintrodusir dan dijalankan oleh pemerintah. Salah satu arena dari relasi kuasa itu, khususnya dalam konteks masyarakat agraris, adalah relasi-relasi agraria yang timpang di antara para subyek agraria (komunitas lokal, kelompok pendatang, negara, perusahaan, elit feodal, dll.). Dengan cara pandang demikian, persoalan mengapa orang menjadi miskin, atau mengapa kemiskinan terus saja bertahan dan bahkan dicipta ulang, dapat ditelesuri secara lebih jemih proses-proses pembentukannya, yaitu sebagai hasil dari beroperasinya berbagai relasi kuasa yang timpang di antara berbagai pihak; ketimbang dilihat sebagai produk dari proses-proses sosial yang abnormal dan patologis.
Article
Full-text available
Historic(al) landscapes with their heritage values—cultural landscapes—have reached key status in the field of cultural heritage conservation and planning. International recognition of cultural landscapes was extended in 1992 to World Heritage prominence with the establishment of three categories of cultural landscapes of outstanding universal value. The term ‘cultural landscape’ is now widely circulated internationally, although its use in South-eastern and Eastern Asia (hereafter SE and E Asia) presents problems. Notwithstanding this, cultural landscapes that have evolved in SE and E Asia reflect beautifully the interaction between people and their environment not simply as a tangible cultural product but as a result of cultural process with associated intangible values. In this way, and like their Western counterparts, they are part of a dynamic “process by which identities are formed’’,1 and also reflect organising philosophies and perspectives of different cultures imbued with value systems, traditional knowledge systems and abstract frameworks.2 The viewpoint of this paper is that of the need to draw attention to the cultural landscapes of SE and E Asia, to look closely at regional values and their inextricable connection to the continuing process of landscape creation, and finally to place SE and E Asian cultural landscapes in an international context.
Article
Full-text available
The concept of ecosystem services facilitates the valuation of the multiple services from ecosystems and landscapes, the identification of trade-offs between different land use scenarios, and also informs decision making in land use planning. Unfortunately, cultural services have been mostly neglected within the ecosystem services framework. This could result in trade-off assessments which are biased and mislead ecosystem management and landscape planning. However, cultural landscape research approaches have proven valuable in the assessment of different nonmaterial landscape values and cultural services. In this paper, we compare the objectives, approaches, and methodologies adopted by ecosystem services research and cultural landscape research through a bibliographic research. Both research communities investigate the human dimension of ecosystems and landscapes and, hence, study the same object. A closer link between the two research communities would enrich and possibly sharpen both approaches. In particular, landscape research on cultural services such as aesthetics or cultural heritage could provide valuable results and methods for a comprehensive assessment of ecosystem services.
Article
Full-text available
Abstract The term “access” is frequently used by property and natural resource analysts without adequate definition. In this paper we develop a concept of access and examine a broad set of factors that differentiate access from property. We define access as “the ability to derive benefits from things,” broadening from property's classical definition as “the right to benefit from things.” Access, following this definition, is more akin to “a bundle of powers” than to property's notion of a “bundle of rights.” This formulation includes a wider range of social relationships that constrain or enable benefits from resource use than property relations alone. Using this framing, we suggest a method of access analysis for identifying the constellations of means, relations, and processes that enable various actors to derive benefits from resources. Our intent is to enable scholars, planners, and policy makers to empirically “map” dynamic processes and relationships of access.
Article
This book is about how the design of institutional change results in unintended consequences. Many post-authoritarian societies have adopted decentralization—effectively localizing power—as part and parcel of democratization, but also in their efforts to entrench "good governance." Vedi Hadiz shifts the attention to the accompanying tensions and contradictions that define the terms under which the localization of power actually takes place. In the process, he develops a compelling analysis that ties social and institutional change to the outcomes of social conflict in local arenas of power. Using the case of Indonesia, and comparing it with Thailand and the Philippines, Hadiz seeks to understand the seeming puzzle of how local predatory systems of power remain resilient in the face of international and domestic pressures. Forcefully persuasive and characteristically passionate, Hadiz challenges readers while arguing convincingly that local power and politics still matter greatly in our globalized world.
Tinjauan atas Pelaksanaan Keuangan Desa dalam Mendukung Kebijakan Dana Desa
  • M Z Abidin
abidin, m.z. 2015. "Tinjauan atas Pelaksanaan Keuangan Desa dalam Mendukung Kebijakan Dana Desa." Dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik 6 (1): 61-76.
Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press. braun, b. dan n. castree, penyunting
  • Y Arizona
arizona, y. 2003. 2014. Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press. braun, b. dan n. castree, penyunting. 1998. Remaking Reality: Nature at the Millenium. London (Inggris) dan New York (Amerika Serikat): Routledge.
Konflik Kawasan Konservasi dan Kemiskinan Struktural
cahyono, e. 2012. "Konflik Kawasan Konservasi dan Kemiskinan Struktural." Dalam Jurnal Politika 8 (1): 7-41.
Dalam Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan Ekologis, disunting oleh laksmi a. savitri, ahmad n. luthfi, dan amien tohari
  • Cahyono
cahyono, e. dan d. novrian. 2010. "Integrasi 'Reforma Agraria' dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan (Studi di Tasikmalaya dan Blitar)." Dalam Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan Ekologis, disunting oleh laksmi a. savitri, ahmad n. luthfi, dan amien tohari. Yogyakarta dan Bogor: STPN dan Sajogyo Institute.