Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
| 206 |
ISSN (Cetak): 2356-4962
ISSN (Online): 2598-6538
Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.7, No.2 Desember 2016, hlm. 206–215
E-mail:jurnalcakrawalahukum@unmer.ac.id
Website: http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch
AKIBAT PELANGGARAN OLEH NOTARIS TERHADAP
PEMBUATAN AKTA NOTARIIL
Lorika Cahaya Intan
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono No. 169 Malang
lorikacahayaintan@gmail.com
ABSTRACT
The problem that will be discussed in this research is whether the deed made before the notary is legally valid,
in case of violation of Article 16 Paragraph (1) Letter (a) of Notary Position Law, how the Notary’s responsi-
bility to the deed already issued by a notary if it does not implement Article 16 Paragraph (1) Subparagraph
(a) of the Notary Position Law. The research method used is normative. Based on the result of research in the
validity of the deed made before the notary in case of violation of Article 16 Paragraph (1) Subparagraph (a)
of Law on Notary Position, as the case of transition or sale and purchase of building on Malang City Govern-
ment land. Found a deed made before a notary, and has been issued by a notary, in case of violation of Article
16 Paragraph (1) Letter (a) Law on the position of Notary, legally valid. Sanctions only affect the legal subject
of a Notary pursuant to Article 16 paragraph (11) that is subject to sanctions in the form of written warning,
suspension, dismissal with respect; or dismissal with disrespect.
Keywords: Notary, Responsibility, Authentic Deed.
ABSTRAK
Permasalahan yang akan menjadi pembahasan pada penelitian ini yaitu apakah akta yang dibuat di hadapan
notaris sah secara hukum, jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang
Jabatan Notaris, bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang sudah dikeluarkan notaris jika tidak
melaksanakan Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang Jabatan Notaris. Metode penelitian yang digunakan
yaitu normatif. Berdasarkan hasil penelitian dalam keabsahan akta yang dibuat di hadapan notaris jika
terjadi pelanggaran terhadap Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang tentang Jabatan Notaris,
sebagaimana kasus peralihan atau jual beli bangunan di atas tanah Pemerintah Kota Malang. Ditemukan akta
yang dibuat di hadapan notaris, dan sudah dikeluarkan oleh notaris, jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal
16 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang tentang jabatan Notaris, sah secara hukum. Sanksi hanya berpengaruh
pada subjek hukum seorang Notaris sesuai pada ketentuan pasal 16 ayat (11) yaitu dapat dikenai sanksi
berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat; atau pemberhentian
dengan tidak hormat.
Kata Kunci: Notaris, Tanggung jawab, Akta Otentik.
Akibat Pelanggaran oleh Notaris terhadap Pembuatan Akta Notariil
Lorika Cahaya Intan
| 207 |
Lembaga Kenotariatan adalah salah satu lembaga
kemasyarakatan yang ada di Indonesia, lembaga
ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama
manusia yang menginginkan pembuktian dalam
melakukan hubungan hukum di bidang keper-
dataan yang terjadi di antara mereka (G.H.S.
Lumban Tobing, 1999, 2). Pemberian kualifikasi
notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan
kewajiban seorang notaris untuk melaksanakan
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf (a) Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN),
bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum”.
Bertindak jujur artinya, seorang notaris
diwajibkan oleh undang-undang dalam melakukan
profesinya yaitu harus jujur dalam menuangkan
isi akta, menyampaikan apa adanya kepada para
pihak dalam melakukan perbuatan hukum, selan-
jutnya yaitu saksama, artinya, sebelum membuat
akta yang diminta oleh para pihak terlebih dahulu
seorang notaris harus memastikan para pihak
benar-benar sesuai dengan identitas yang ditun-
jukkan dan jangan sampai salah dalam mema-
sukkan data dalam akta, seorang notaris dalam
mejalankan profesinya mandiri dan tidak
tergantung dengan instansi lain, dan tidak ber-
pihak kepada pihak tertentu.
Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang tentang Jabatan
Notaris (UUJN), jika tidak melaksanakan pasal ter-
sebut akan berakibat terhadap kesempurnaan akta
tersebut. Substansi Pasal 16 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris berkaitan dengan keterangan dari pihak
pembeli bangunan di atas tanah Pemerintah Kota
Malang dengan menggunakan jasa notaris di Kota
Malang, menjelaskan bahwa terdapat suatu
kejanggalan terhadap akta yang dibuatnya, fakta
dilapangan dengan apa yang dituangkan dalam
akta, sehingga pernyataan atau keterangan para
pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta
Notaris.
Realitas hukum yang terjadi tersebut menjadi
suatu pelajaran tentang kedudukan atau posisi
notaris dalam menjadi pejabat umum untuk me-
nuangkan kesepakatan dalam sebuah akta. Berkait-
an dengan penjelasan atas Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, bahwa ka-
rena tindakan ketidakjujuran seorang notaris dalam
melaksanakan tugasnya yaitu berakibat fatal
terhadap produk hukum yang dibuatnya, yaitu se-
perti yang tercantum dalam Pasal 16 Ayat (1)
Huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris.
Peralihan atau jual beli bangunan yang
berdiri di atas tanah Pemerintah Kota Malang ber-
dasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Perumah-
an Kota Malang Nomor: 030.2/135/35.73/305/
2011, yaitu tentang ijin pemakaian tempat-tempat
tertentu yang dikuasai oleh Pemerintah Kota
Malang tertanggal 11-08-2011, yang dikeluarkan
oleh Kepala Dinas Perumahan Kota Malang, dari
pihak satu kepada pihak lain yang dikuatkan de-
ngan adanya akta jual beli bangunan dengan
Notaris A, Pemerintah Kota Malang yang dikelola
oleh Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) tidak
bisa berbuat apa-apa mengenai status jual beli yang
dilakukan pihak sebelumnya.
Proses peralihan yang tercantum dalam akta
jual beli bangunan di atas tanah Pemerintah Kota
Malang tidak terdaftar di kantor Badan Pengelola
Asset Daerah (BPAD) setempat, yaitu selaku
pengelola asset daerah, sehingga pihak pembeli
sampai saat ini tidak mendapatkan kepastian
hukum selaku pemilik baru berdasarkan AJB ter-
sebut. Indikasi Penyalahgunaan kewenangan yang
dilakukan oleh notaris dalam melakukan dan
membantu proses peralihan hak sewa atas tanah
kepada pihak pembeli mengakibatkan ketidak-
pastian kepada para pihak. Hal ini dibuktikan de-
ngan tidak terdaftarnya pemilik (Pembeli) sebagai
pemilik hak sewa atas tanah tersebut di atas tanah
Pemerintah Kota Malang. Pokok permasalahan
yang akan menjadi pembahasan pada penelitian
ini yaitu apakah akta yang dibuat di hadapan nota-
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.7, No.2 Desember 2016: 206–215
| 208 |
ris sah secara hukum, jika terjadi pelanggaran ter-
hadap Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Tanggung
jawab Notaris terhadap akta yang sudah dikeluar-
kan notaris jika tidak melaksanakan Pasal 16 Ayat
(1) Huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris.
Pembahasan
Proses peralihan yang tercantum dalam akta
jual beli bangunan di atas tanah Pemerintah Kota
Malang tidak terdaftar di kantor Badan Pengelola
Asset Daerah (BPAD) setempat, oleh karena itu
pihak pembeli sampai saat ini tidak mendapatkan
kepastian hukum selaku pemilik baru berdasarkan
AJB tersebut. Berdasarkan keterangan pihak pem-
beli, bahwa di saat proses peralihan hak bangunan
dari pihak pertama kepada pihak kedua, Notaris
tidak membacakan isi akta jual beli tersebut kepada
pembeli, akhirnya isi akta tidak sama dengan fakta
dilapangan.
Keabsahan Akta yang dibuat di Hadapan
Notaris jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 16
Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
G.H.S. Lumban Tobing, dalam bukunya yang ber-
judul Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan
bahwa lembaga kemasyarakatan yang dikenal
sebagai “notaris” ini timbul dari kebutuhan dalam
pergaulan sesama manusia, yang menghendaki
adanya alat bukti baginya mengenai hubungan
hukum keperdataan yang ada dan/ atau terjadi
diantara mereka, suatu lembaga dengan peng-
abdiannya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum
(openbaar gezag) untuk dimana dan apabila undang-
undang mengharuskan sedemikian atau di-
kehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti
tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.
Pasal 1338 KUHPerdata adalah pilar utama
asas kebebasan berkontrak, artinya bebas tidak da-
lam arti sebenarnya, tapi bebas ada pembatasan
atau perkecualian. Menurut pendapat umum yang
di anut pada setiap akta otentik demikian juga
pada akta notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan
pembuktian yaitu (G.H.S. Lumban Tobing, 1999,
55-59):
Kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige
bewijs kracht) akta otentik merupakan kemampuan
akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahan
sebagai akta otentik “acta publica probant sesse ipsa”
jika dilihat dari luar atau lahirnya sebagai akta
otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang
sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik
maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik
sampai terbukti sebaliknya artinya sampai ada
yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan
akta otentik secara lahiriah (Sudikno Merto-
kusumo, 1999, 123).
Nilai pembuktian akta notaris dari aspek
lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya,
secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan
alat bukti yang lain. Jika ada yang menilai bahwa
suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai
akta otentik, maka yang bersangkutan wajib mem-
buktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan
akta otentik.
Kekuatan pembuktian formil (Formale Bewi-
jskracht) akta notaris harus memberikan kepastian
bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam
akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau di-
terangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada
saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan
prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuk-
tian akta. Secara formal untuk membuktikan ke-
benaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan,
tahun, pukul atau waktu menghadap. identitas dari
para pihak menghadap comparanten, paraf dan
tanda tangan para pihak yang penghadap, saksi
dan Notaris, demikian juga tempat dimana akta
itu dibuat, serta akta pejabat/ berita penghadap
pada akta pihak.
Berdasarkan teori kepastian hukum, ke-
pastian hukum mengharuskan dilahirkannya kae-
dah-kaedah yang berlaku secara umum agar ter-
Akibat Pelanggaran oleh Notaris terhadap Pembuatan Akta Notariil
Lorika Cahaya Intan
| 209 |
cipta suasana yang aman dan tentram dalam
masyarakat. Apabila aspek formal dipermasalah-
kan oleh para pihak, maka harus dibuktikan oleh
formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuk-
tikan ketidakbenaran mereka yang menghadap,
pembuktian ketidakbenaran tempat dimana akta
itu dibuat, pembuktian ketidakbenaran apa yang
dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, dan
juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran
pernyataan atau ketidakbenaran para pihak yang
diberikan atau disampaikan di hadapan notaris,
dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi
dan Notaris atau ada prosedur pembuatan akta
yang tidak dilakukan.
Dengan kata lain pihak yang memperma-
salahkan akta tersebut harus melakukan pembuk-
tian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari
akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ke-
tidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus
diterima oleh siapapun. Pengingkaran atau
penyangkalan harus dilakukan dengan suatu
gugatan kepengadilan umum. Penggungat harus
dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang
dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang ber-
sangkutan misalnya bahwa yang bersangkutan
tidak pernah merasa menghadap Notaris pada
hari, tanggal, bulan tahun, dan pukul yang tersebut
dalam awal akta atau merasa tanda tangan dirinya,
demikian juga tempat dimana akta itu dibuat tidak
sama dalam penutup akta.
Kekuatan pembuktian material (Materiele
bewijskracht) merupakan kepastian tentang materi
suatu akta, karena apa yang tersebut dalam akta
merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-
pihak yang membuat akta atau mereka yang men-
dapatkan hak dan berlaku untuk umum, kecuali
ada pembuktian sebaliknya, keterangan atau
pernyataan yang dituangkan/ dimuat dalam akta
pejabat atau akta berita acara atau keterangan para
pihak yang disampaikan di hadapan Notaris dan
para pihak harus dinilai benar berkata yang kemu-
dian dituangkan dalam akta.
Ketiga aspek di atas merupakan kesempur-
naan Akta Notaris sebagai akta otentik dan siapa-
pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuk-
tikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa
ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka
akta bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian akta di bawah tangan atau akta
tersebut didegradasikan dalam kekuatan pem-
buktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Keabsahan Akta
Analisis terhadap keabsahan Akta yang di-
buat di hadapan Notaris jika terjadi pelanggaran
terhadap Pasal 16 Ayat (1) Huruf (l) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris (UUJN), ditegaskan bahwa; “Dalam men-
jalankan jabatannya Notaris berkewajiban
membacakan akta di hadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan Notaris”. Apabila syarat formal dalam
pembuatan akta tidak dipenuhi, maka akta yang
dibuat oleh Notaris hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Suatu aspek materiil ataupun formil dalam
sebuah akta sangat penting untuk mengukur
terhadap keabsahan akta tersebut, sehingga advice
yang diberikan oleh seorang Notaris bisa men-
jamin terhadap perjanjian yang dilakukan oleh para
pihak. Hal ini secara normatif mengkaitkan dengan
teori kepastian hukum sebagaimana yang dikutip
dalam pendapat Peter Mahmud Marzuki, bahwa
teori kepastian hukum mengandung 2 (dua)
pengertian yaitu:
Pertama, adanya aturan jelas yang memberi-
kan pemahaman kepada seseorang untuk mela-
kukan atau tidak melakukan suatu perbuatan ter-
tentu. Artinya dalam hal ini suatu degradasi sebuah
Akta yang dibuat oleh Notaris sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 16 Ayat (1) Huruf l dan Ayat
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.7, No.2 Desember 2016: 206–215
| 210 |
(7) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris tidak terpenuhi, akta yang ber-
sangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuk-
tian sebagai akta di bawah tangan. Namun dalam
pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai degradasi
Akta Notaris jika tidak melaksanakan Pasal 16
Ayat (1) Huruf (a) UUJN. Padahal dalam pasal ter-
sebut seorang Notaris wajib bertindak amanah,
jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan men-
jaga kepentingan pihak yang terkait dalam per-
buatan hukum;
Kedua, dengan adanya aturan hukum yang
bersifat umum, setiap warga negara dapat
mengetahui apa saja beban tanggung jawab yang
dapat dijatuhkan oleh Negara kepadanya dan un-
tuk membebaskan setiap warga negara dari kese-
wenang-wenangan negara dalam menjatuhkan
hukuman. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga
adanya konsistensi dalam putusan Hakim antara
putusan hakim yang satu dengan putusan hakim
lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di
putuskan (Marzuki, 2008, 158).
Notaris dalam hal ini diberi wewenang un-
tuk menuangkan semua perbuatan sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan memiliki ke-
wenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-
undang lainnya”. Sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) UUJN, bahwa
jika seorang Notaris tidak melaksanakan pasal ter-
sebut di atas maka dapat dikenakan sanksi berupa
peringatan tertulis, pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat, atau pemberhen-
tian dengan tidak hormat.
Degradasi Bukti dan Batalnya Akta Notaris
Mengenai faktor-faktor penyebab terdegra-
dasinya Akta Notaris sebagai alat bukti yang kuat
dan terpenuh, serta batalnya akta Notaris, pada
dasarnya dapat disebabkan oleh beberapa hal.
Salah satu diantaranya diatur dalam ketentuan
pasal 1868 KUHPerdata yang dirumuskan; “Akta
otentik adalah akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh dan
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk
itu ditempat dimana akta itu dibuat”.
Pasal ini hanya merumuskan arti kata otentik
dan tidak menyebutkan siapa pejabat umum itu,
bagaimana bentuk aktanya dan kapan pejabat
umum itu berwenang, secara implicit pasal 1868
KUHPerdata menghendaki adanya undang-
undang yang mengatur tentang pejabat umum dan
bentuk aktanya. Undang-undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris merupakan satu-
satunya Undang-Undang organik yang mengatur
Notaris sebagai pejabat umum dan bentuk akta
Notaris.
Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta
a. Tanggungjawab Notaris Terhadap Gugatan
Perdata
Apabila mengacu pada konsep “liability” dan
“responsibility” di atas, dilihat dari cakupan
maknanya berarti keduanya memiliki perbedaan.
Istilah “liability” berarti suatu keadaan untuk
melaksanakan kewajiban hukum tertentu. Sedan-
gkan istilah “responsibility” memiliki makna yang
lebih luas, karena tidak hanya berupa kewajiban
(obligation) untuk merespon atau memenuhi atas
apa yang pernah dilakukan terkait dengan
keputusan, keahlian, dan kemampuan seseorang,
tetapi juga kewajiban untuk memulihkan (restitu-
tion) atau membayar ganti rugi terhadap kerugian
yang disebabkan oleh tindakan yang pernah dila-
kukan. Ini berarti bahwa istilah “responsibility” men-
cakup tidak hanya kewajiban untuk memenuhi
atau memikul tanggung jawab hukum tetapi juga
tanggung jawab moral terkait dengan tindakan,
keputusan, keahlian (profesi) tertentu yang sedang
dilakukan. Dengan demikian, berarti istilah “tang-
Akibat Pelanggaran oleh Notaris terhadap Pembuatan Akta Notariil
Lorika Cahaya Intan
| 211 |
gung jawab” baik dalam arti “liability” dan “respon-
sibility” tidak bisa dilepaskan dari makna kewajiban
(obligation).
Hakikatnya tugas dan kewenangan notaris
adalah mengkonstantir keinginan atau kehendak
yang diterangkan oleh penghadap kedalam sebuah
akta otentik dengan mendasarkan pembuatannya
pada ketentuan perundang-undangan yang ber-
laku. Hal ini dikuatkan dengan Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 702 K/Sip/1973 tertanggal 5 Sep-
tember 1973 yang berbunyi: Notaris fungsinya
hanya mencatatkan/ menuliskan apa-apa yang di-
kehendaki dan dikemukan oleh para pihak yang
menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban
bagi notaris untuk menyelidiki secara materil apa-
apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap
dihadapan notaris tersebut.
Berkaitan dengan gugatan perdata yang ada
hubungannya dengan akta otentik yang telah
dibuat oleh dan/ di hadapan notaris, terdapat dua
kemungkinan kedudukan notaris dalam gugatan
perdata tersebut, yang diantaranya (Habib Adjie,
2009, 21):
1. Notaris dipanggil dalam kapasitasnya sebagai
saksi di pengadilan terkait dengan akta yang
telah dibuat dihadapan atau oleh dirinya yang
dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara
perdata.
2. Notaris dipanggil dalam kapasitasnya sebagai
tergugat yang dilayangkan di pengadilan
terkait akta otentik yang dibuatnya karena di-
anggap telah merugikan pihak penggugat.
Pembuktian perdata, suatu akta otentik yang
dibuat dihadapan atau oleh notaris merupakan alat
bukti yang sempurna bagi pihak yang berke-
pentingan. Hal terjadinya penyangkalan bahwa
pihak yang menyangkalnya harus bisa membuk-
tikan ketidakbenaran akta tersebut mengenai ke-
pastian:
1. Hari, tanggal, bulan dan tahun penghadap.
2. Waktu (pukul) menghadap.
3. Tanda tangan yang tercantum dalam minuta
akta.
4. Merasa tidak pernah menghadap.
5. Akta tidak ditanda tangani dihadapan notaris.
6. Akta tidak dibacakan.
7. Alasan lain berdasarkan formalitas akta.
Penyangkalan terhadap hal-hal yang disebut
di atas dapat dilakukan dengan cara mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri oleh pihak yang
mempermasalahkan keotentikan akta notaris
tersebut. Jika gugatan mengenai ketidakbenaran
akta yang dibuat notaris itu tidak terbukti di muka
persidangan, maka akta notaris tersebut tetap ber-
laku sebagai alat bukti yang bernilai sempurna dan
mengikat para pihak-pihak yang berkepentingan
terhadapnya sepanjang tidak dibatalkan oleh para
pihak sendiri atau berdasarkan putusan pengadilan.
Namun jika gugatan untuk menyangkal keti-
dakbenaran akta tersebut terbukti, maka keduduk-
an akta notaris tersebut akan terdegradasi menjadi
akta di bawah tangan dimana nilai pembuktiannya
akan tergantung pada pihak atau hakim yang
menilainya.
Berdasarkan pendapat Habib Adjie, ter-
degradasinya akta notaris menjadi akta di bawah
tangan yang berdampak pada kerugian materiil
yang dialami oleh pihak yang menggugat dan
pihak tersebut dapat membuktikan mengenai ke-
rugian yang dialaminya, maka penggugat tersebut
dapat meminta sejumlah ganti kerugian (E.Y
Kanter dan S.R Sianturi, 1982, 166).
b. Tanggungjawab notaris terhadap gugatan
pidana
Definisi kesalahan secara umum dapat dite-
mukan dalam bidang hukum pidana. Hukum
pidana, seseorang yang dinyatakan bersalah harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (Habib
Adjie, 2009, 22)
1. Mampu bertanggung jawab;
2. Sengaja atau alpa;
3. Tidak ada alasan pemaaf
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.7, No.2 Desember 2016: 206–215
| 212 |
Kemampuan bertanggung jawab merupakan
keadaan normalitas psikis dan kematangan atau
kecerdasan seseorang yang membawa kepada tiga
kemampuan yaitu:
a. Mampu untuk mengerti nilai dan akibat-aki-
batnya sendiri;
b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatan itu
menurut pandangan masyarakat tidak diper-
bolehkan;
c. Mampu untuk menentukan niat dalam mela-
kukan perbuatan itu.
Permasalahan pertama menyangkut apakah
Notaris dalam hal membuat akta otentik mengerti
benar akan nilai dan akibat-akibat dari pembuatan
akta tersebut, sebelum akhirnya akta tersebut
dinyatakan cacat hukum, dalam praktek lebih
banyak ditemui seseorang Notaris yang akan
membuat akta cenderung menganggap akta yang
dibuat sudah sah apabila para pihak telah sepakat,
dan masing-masing pihak cakap melakukan per-
buatan hukum, ada objek dan causa yang diper-
bolehkan.
Notaris juga memiliki peran dalam hal mem-
berikan nasehat hukum kepada penghadap terkait
permasalahan yang ada, yang kemudian juga di-
formulasikan sebagai bagian dari keinginan dari
penghadap yang dituangkan ke dalam akta otentik
dan bukan sebagai keinginan notaris yang dituang-
kan dalam akta.
Memidanakan notaris berdasarkan aspek-
aspek formal semata tanpa mengkaji lebih dalam
mengenai unsur kesalahan ataupun kesengajaan
dari notaris merupakan suatu perbuatan tindakan
tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertang-
gungjawabkan. Misalnya: (Habib Adjie, 2008, 122-
123)
1. Dalam hal Notaris dituduh telah membuat
surat palsu atau memalsukan surat yang se-
olah-olah surat tersebut adalah surat yang asli
dan tidak dipalsukan (Pasal 263 ayat 1 KUHP),
melakukan pemalsuan surat, dan pemalsuan
tersebut telah dilakukan didalam akta-akta
otentik (Pasal 264 ayat 1 angka 1 KUHP) men-
cantumkan suatu keterangan palsu didalam
suatu akta otentik (Pasal 266 ayat 1 KUHP).
Hal yang perlu diketahui bahwa notaris tidak
membuat surat akan tetapi notaris membuat
akta, sehingga perlu dibedakan antara akta
dengan surat. Surat mengandung makna alat
bukti yang dibuat dan dipergunakan untuk
maksud dan tujuan tertentu tanpa terikat pada
prosedur tertentu yang diatur dalam undang-
undang. Hal ini tentu berbeda dengan definisi
akta yang bermakna alat bukti yang sejak se-
mula dibuatnya digunakan sebagai alat bukti
yang bernilai sempurna untuk maksud dan
tujuan tertentu dihadapan atau oleh pejabat
yang berwenang dengan mengacu pada pro-
sedur pembuatan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam kaitannya
dengan pasal 263 ayat 1 KUHP bahwa akta
notaris tidak bisa serta merta dipersamakan
dengan surat pada umumnya karena dari
kaedah pembuatannya yang berbeda.
2. Pada dasarnya setiap keterangan atau per-
nyataan yang diterangkan penghadap kepada
notaris merupakan bahan utama dalam pem-
buatan akta otentik sesuai dengan keinginan
dan kehendak pihak yang menghadap. Karena
tanpa adanya kehendak atau keinginan yang
diterangkan penghadap kepada notaris,
mustahil notaris dapat membuat akta. Jikalau
ada keterangan ataupun pernyataan yang di-
duga palsu yang kemudian dimasukkan atau
dicantumkan ke dalam akta notaris tidak lantas
menjadikan akta tersebut menjadi palsu.
Contohnya dalam pembuatan akta, pihak
penghadap menyerahkan KTP atau Surat
Nikah yang secara fisik terlihat asli untuk di-
masukkan sebagai keterangan perihal identitas
penghadap di dalam akta. Jika dikemudian
hari terbukti ternyata surat nikah atau KTP
tersebut adalah palsu bukan berarti notaris
telah memasukkan keterangan palsu ke dalam
Akibat Pelanggaran oleh Notaris terhadap Pembuatan Akta Notariil
Lorika Cahaya Intan
| 213 |
akta sebagaimana yang dimaksud pasal 264
ayat 1 angka 1 KUHP dan Pasal 266 ayat 1
KUHP, akan tetapi hal tersebut menjadi tang-
gung jawab pihak yang menghadap sendiri
karena tidak ada kewajiban bagi notaris untuk
meneliti lebih dalam mengenai maksud dan
tujuan penghadap membuat akta.
Penjatuhan sanksi perlu diperhatian mengenai
sifat, sasaran dan prosedur penerapan sanksi-
sanksi tersebut karena penjatuhan sanksi perdata,
sanksi administratif dan sanksi pidana memiliki
sifat, sasaran dan prosedur yang berbeda. Sanksi
perdata dan administratif sasarannya lebih me-
nekankan pada penjatuhan hukuman terhadap per-
buatan hukum yang dilakukan sedangkan sanksi
pidana sasarannya lebih menekankan pada orang
yang melakukan perbuatan melawan hukum.
Sanksi administratif dan sanksi perdata ber-
sifat reparatoir atau korektif yang artinya memper-
baiki suatu keadaan yang agar perbuatan tersebut
tidak dilakukan kembali oleh notaris yang bersang-
kutan atau oleh notaris lain. Bersifat regresif yang
artinya memulihkan kembali suatu keadaan agar
seperti sebelum terjadinya pelanggaran. Aturan
hukum tertentu selain dijatuhi hukum adinistratif
juga dijatuhi hukuman secara pidana secara kumu-
latif yang bersifat condemnatoir atau menghukum.
Kaitannya dengan pelanggaran undang-undang
jabatan notaris perubahan tidak diatur mengenai
sanksi pidana dalam undang-undang tersebut se-
hingga dalam hal ini sanksi pidana didasarkan
pada ketentuan pidana umum. (Habib Adjie, 2008,
124).
Kriteria yang menjadi batasan-batasan dapat
dipidananya seorang notaris adalah sebagai
berikut: (Habib Adjie, 2008, 127)
1. Apabila dengan sengaja dan penuh kesadaran
seorang notaris turut serta bersama-sama de-
ngan salah satu pihak untuk melakukan tin-
dakan hukum terhadap aspek formal akta yang
dibuat dihadapan atau oleh notaris demi
menguntungkan salah satu pihak dan merugi-
kan pihak yang lain.
2. Apabila akta yang dibuat dihadapan atau oleh
notaris dapat dibuktikan bahwa dalam pem-
buatannya tidak berdasar atau bertentangan
dengan undang-undang jabatan notaris per-
ubahan.
3. Apabila majelis pengawas menilai bahwa tin-
dakan hukum yang dilakukan notaris dalam
menjalankan jabatannya tidak sesuai dengan
ketentuan yang mengatur profesi notaris.
Sepanjang tindakan hukum yang dilakukan
notaris telah memenuhi kriteria di atas maka no-
taris yang bersangkutan dapat dipidanakan karena
dianggap telah memenuhi unsur-unsur pelang-
garan yang terdapat tidak hanya pada UUJN tetapi
juga harus berdasar kriteria pelanggaran yang men-
jadi batasan dalam kode etik profesi notaris dan
juga ketentuan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Tidak dibenarkan memidanakan
notaris dengan hanya berpegang pada ketentuan
pelanggaran yang terdapat dalam KUHP semata,
karena hal tersebut merupakan bentuk kesalahan
dalam memahami kedudukan notaris sebagai
jabatan.
c. Perbuatan Melanggar Hukum yang Dilakukan
oleh Notaris
Perbuatan melanggar hukum merupakan
perbuatan yang menimbulkan kerugian, dan secara
normatif perbuatan tersebut tunduk pada keten-
tuan pasal 1365 KUHPerdata. Bentuk tanggung
gugat yang dianut oleh pasal 1365 KUHPerdata
ini adalah tanggung gugat berdasarkan kesalahan
(Liability based fault). Hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan pasal tersebut yang mensyaratkan ada-
nya kesalahan pada pelaku untuk sampai pada ke-
putusan apakah perbuatan seseorang itu meru-
pakan perbuatan melanggar hukum. Selain itu
perlu dipahami, bahwa unsur kesalahan itu harus
dibuktikan oleh pihak yang menderita kerugian
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.7, No.2 Desember 2016: 206–215
| 214 |
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1865
KUHPerdata dan 163 HIR, dan mengenai ada
tidaknya kesalahan Notaris, telah di jelaskan pada
pembahasan terdahulu.
Perbuatan melanggar hukum, yang dimak-
sud dalam perbuatan melanggar hukum oleh
Notaris, tidak hanya perbuatan yang langsung me-
langgar hukum, melainkan juga perbuatan yang
secara langsung melanggar peraturan lain. Yang
dimaksud dengan peraturan lain adalah peraturan
yang berada dalam lapangan kesusilaan, keagama-
an dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.
Kasus peralihan atau jual beli bangunan di atas
tanah pemkot Kota Malang yang dikelola oleh
Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD), maka ter-
hadap Notaris yang aktanya cacat hukum, maka
Notaris yang bersangkutan telah menyalahi keten-
tuan Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) UUJN, yang dikait-
kan dengan Pasal 1865 Jo 1870 KUHPerdata, selain
pengertian tentang perbuatan melanggar hukum
seperti tersebut di atas.
Penutup
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis
yang dilakukan terdahulu, maka dapat disim-
pulkan bahwa keabsahan akta yang dibuat di
hadapan Notaris jika terjadi pelanggaran terhadap
Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) Undang-undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
sebagaimana kasus peralihan atau jual beli
bangunan di atas tanah Pemerintah Kota Malang,
merupakan akta yang sah secara hukum karena
telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
(Pasal 1320 KUHPerdata). Apabila dikaitkan
dengan tidak terpenuhinya Pasal 16 Ayat (1) Huruf
l UU JN, maka akta ini terdegradasi dari akte oten-
tik menjadi akte di bawah tangan. Berdasarkan
UU JN, sanksi berpengaruh pada subjek hukum
seorang Notaris sebagaimana ketentuan Pasal 16
Ayat (11) yaitu dikenai sanksi berupa; peringatan
tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian
dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak
hormat.
Bahwa tanggung jawab Notaris terhadap
akta yang sudah dikeluarkan notaris jika tidak
melaksanakan Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) UU JN,
dalam hal ini diklasifikasikan terdapat 2 (dua)
aspek pertanggungjawaban diantaranya pertang-
gungjawaban perdata, dan pertanggungjawaban
secara administratif terhadap Notaris. Atas dasar
cacat hukum. Tentang perjanjian yang sudah di-
tuangkan dalam akta, maka langkah yang dilaku-
kan para pihak yang dirugikan bisa melakukan
penggantian biaya ganti rugi sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 1365 KUHPerdata. Hal di
atas, kiranya perlu adanya tindakan yang inten dari
majelis pengawas daerah terhadap notaris-notaris
yang tidak mematuhi kewajiban-kewajiban yang
terdapat dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
dalam memberikan jasa hukum kepada klien.
Demikian pula perlu adanya regulasi hukum
mengenai tindakan terhadap Notaris yang sering-
kali melakukan tindakan pelanggaran hukum yang
mengakibatkan kerugian pada para pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Qadir, Muhammad, 2011, “Etika Profesi Hukum”,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Adjie, Habib, 2009, Hukum Notaris Indonesia, Refika
Aditama, Bandung.
, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap
Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama,
Bandung.
Budiono, Herlien 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian
dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Hernoko, Agus Yudha, 2010, Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Nasional, Kencana,
Jakarta.
Akibat Pelanggaran oleh Notaris terhadap Pembuatan Akta Notariil
Lorika Cahaya Intan
| 215 |
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum.
Kencana, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Saputro, Anke Dwi, ed., 2008, 100 Tahun Ikatan Notaris
Indonesia. Jati Diri Notaris Indonesia. Dulu. Sekarang.
dan di Masa Datang, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1981, Fungsi Hukum dan Perubahan
Sosial, Alumni, Bandung.
Tobing, G.H.S, Lumban 1980, Peraturan Jabatan Notaris,
Erlangga, Jakarta.
Yahanan, Annalisa et. al, 2000, Perjanjian Jual Beli
Berklausula Perlindungan Hukum Paten, Tunggal
Mandiri Publishing, Malang.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia UUD
1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata
(Burgerlij Wetbuk).
Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria Nomor (UUPA)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2006
Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah
Kode Etik Notaris