ChapterPDF Available

Pancasila dalam Arus Liberalisasi Pangan Pascareformasi

Authors:

Abstract

Artikel ini mendiskusikan kebijakan pangan di Indonesia pascareformasi yang memperhadapkan liberalisasi dan peran negara dalam memastikan terwujudnya kesejahteraan sosial sebagai amanat dari Prinsip kelima Pancasila. Bagian pertama mendiskusikan keberhasilan Soeharto berikut kegagalannya dalam menata kebijakan pangan menjelang era reformasi. Artikel ini juga menyikapi beberapa langkah liberalisasi sektor pertanian melalui Agreement on Agriculture (AoA) dalam kerangka World Trade Organization (WTO). Reformasi Bulog sebagai akibat dari krisis ekonomi 1997 akan menjadi fokus tantangan kebijakan pangan Indonesia pascareformasi. Pada bagian akhir, artikel ini menyediakan urgensi revitalisasi parastatal di bidang pangan di tengah arus liberalisasi ekonomi, dengan fokus pada peran negara dalam bidang ekonomi guna mewujudkan kesejahteraan sosial.
Prolog
Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H.
PANCASILA
Editor:
Al-Khanif, S.H., LL.M., Ph.D
Mirza Satria Buana, S.H., M.H., Ph.D
Manunggal Kusuma Wardaya, S.H., LL.M
DALAM PUSARAN
GLOBALISASI
Digital Repository Universitas Jember
Digital Repository Universitas Jember
PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI
Dominikus Rato, Dina Tsalist Wildana, Muhammad Bahrul Ulum, dkk.
@CHRM2 UNEJ, LKiS, 2017
xviii + 440 halaman: 15,5 x 23 cm
1. Pancasila 2. Globalisasi
ISBN: 978-602-6610-23-2
Prolog: Prof. Moh. Mahfud MD
Editor: Al Khanif, Mirza Satria Buana, Manunggal Kusuma Wardaya
Penyelaras Bahasa: Muhammad Bahrul Ulum
Perwajahan Sampul/Buku: Dwi Agusatya Wicaksana
Setting/Layout: Tim Redaksi
Penerbit & Distribusi:
LKiS
Salakan Baru No. I Sewon Bantul
Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 387194
Faks.: (0274) 379430
http://www.lkis.co.id
e-mail: lkis@lkis.co.id
Anggota IKAPI
Bekerja sama dengan The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration
(CHRM2) Universitas Jember
Cetakan I: 2017
Percetakan:
LKiS
Salakan Baru No. I Sewon Bantul
Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 417762
e-mail: lkis.printing@yahoo.com
Digital Repository Universitas Jember
Digital Repository Universitas Jember
[ 317 ]
PANCASILA DALAM ARUS LIBERALISASI
PANGAN PASCAREFORMASI
Muhammad Bahrul Ulum
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum memiliki peran
sentral di Indonesia, baik dalam pembangunan sistem hukum maupun
penataan kebijakan ekonomi dengan berlandaskan pada keadilan sosial.
Amanat keadilan sosial tersebut tertuang di dalam prinsip kelima
Pancasila dan diturunkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang berisi
pengakuan hak dan kewajiban dalam distribusi kekayaan yang adil
1
dengan peran negara sebagai pemilik kontrol kebijakan guna
mewujudkan kesejahteraan.
2
Dengan peran kontrol dalam bidang
ekonomi, negara bertanggung jawab melindungi hak asasi manusia,
termasuk hak atas kesejahteraan warga negaranya. Karenanya, Pasal 33
UUD 1945 turut melahirkan hak dan kewajiban bagi warga negara dan
1
Hingga kini masih belum ada kesepakatan makna dari keadilan sosial baik dalam ruang
lingkup Pancasila maupun secara umum. Ketidakadaan definisi yang pasti ini menurut
Michael Reisch disebabkan karena keadilan sosial tidak bersifat universal yang dalam
penerapannya cenderung menitikberatkan pada redistribusi ekonomi antarindividu. Michael
Reisch, “Defining Social Justice in a Socially Unjust World” (2002) 83:4 Fam Soc J Contemp Soc
Serv 343 hlm. 343. Meskipun demikian, pendapat John Rawls dapat menjadi rujukan tentang
makna keadilan sosial ini dengan mendefinisikan keadilan sosial sebagai pengakuan hak dan
kewajiban dalam distribusi kekayaan warga secara adil. John Rawls, A Theory of Justice, Rev. ed
(Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press, 1999) hlm. 47.
2
S C Srivastava, Industrial Relations and Labour Laws, 6th Edition (Vikas Publishing House, 1990)
at 6.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 318 ]
negara. Hak dan kewajiban tersebut juga mengikat terkait dengan
pemenuhan kebutuhan primer warga negara, salah satunya adalah
dalam bidang pangan. Selaras dengan itu, Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) menegaskan ketersediaan,
keterjangkauan dan pemenuhan kebutuhan pangan sebagai kewajiban
negara.
3
Hal ini dapat dimaknai bahwa warga negara memiliki hak atas
pangan sebagai tanggung jawab negara yang pemenuhannya
diwujudkan dalam kebijakan pangan, mencakup kedaulatan pangan,
kemandirian pangan maupun ketahanan pangan.
4
Dalam sejarah Indonesia, pangan terus menjadi masalah pelik,
khususnya sejak tahun 1990an yang ditandai dengan semakin
melambatnya perkembangan reformasi perdagangan dan diikuti dengan
keadaan ekonomi Indonesia yang relatif terbuka berkat liberalisasi
ekonomi.
5
Liberalisasi juga berpengaruh pada sendi-sendi kebijakan
pangan, termasuk menurunkan efektivitas dan efisiensi Badan Urusan
Logistik (Bulog) sebagai lembaga stabilisasi harga pangan.
6
Negara
3
Pada awalnya, ketahanan pangan didefinisikan tentang ketersediaan pangan baik dalam skala
nasional maupun internasional, Pada kurun 19801990, Indonesia mengadopsi kebijakan
stabilisasi ketahanan pangan dalam tingkat nasional. Namun demikian, disadari bahwa
ketersediaan pangan dalam skala nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada
tingkat individu dan rumah tangga. Karenanya, ketahanan pangan pada era formasi juga
mencakup ketersediaan dan aksesbilitas pangan. I Wayan Rusastra, United Nations &
Indonesia, eds, Food Security and Poverty in the Era of Decentralization in Indonesia, CAPSA working
paper no. 102 (Bogor, Indonesia: [Jakarta]: United Nations ESCAP; Bureau of Planning,
Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, 2008) hlm. 1.
4
Penyebutan ketiga istilah ini dikenal di dalam UU Pangan. Kedaulatan pangan dapat dimaknai
sebagai hak negara dan bangsa untuk menentukan kebijakan pangannya secara mandiri,
termasuk penentuan sistem pangan berdasarkan potensi sumber daya lokal oleh masyarakat.
Kemandirian pangan terkait dengan produksi aneka pangan dalam negeri yang dilakukan oleh
negara atau bangsa guna memastikan kecukupan kebutuhan pangan sampai tingkat
perseorangan. Ketahanan pangan dapat dimaknai dengan keadaan terpenuhnya pangan
sampai tingkat perseorangan dengan indikator ketersediaan pangan yang cukup dari sisi
jumlah ataupun mutu, gizi, aman, merata dan terjangkau.
5
M Chatib Basri & Arianto A Patunru, “Why Government Hurts the Poor? The Case of
Indonesia’s Rice Protection” (2009) Universitas Indonesia, online: <http://
www.nottinghamenterprise.com/gep/documents/conferences/2009/janconfmalaysia2009/b
asri-patunru-notingham.pdf> hlm. 1.
6
Shahidur Rashid, Ashok Gulati & Ralph Waldo Cummings Jr, From Parastatals to Private Trade:
Lessons from Asian Agriculture (Intl Food Policy Res Inst, 2008) hlm. 138.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 319 ]
harus menanggung biaya mahal dalam kebijakan pangan sebagai akibat
dari subsidi ekspor
7
dalam perdagangan internasional. Dengan subsidi
ekspor, bahan pangan yang diimpor memiliki harga yang relatif murah
sehingga merangsang importir untuk menikmati fasilitas itu.
8
Konsekuensinya, Indonesia jatuh pada keadaan yang memprihatinkan
dengan ketergantungan yang tinggi pada impor.
9
Ketergantungan terhadap impor terlihat pada sepanjang 19982001
yang menunjukkan impor beras mencapai 9% dari total konsumsi atau
18% dari total impor dunia, menempatkan Indonesia sebagai negara
pengimpor beras terbesar di dunia.
10
Dalam kurun Januari-November
2016, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa impor
Indonesia atas beras mencapai 1.2 ton yang mengindikasikan ada
peningkatan impor sebesar 110.66% dari jumlah impor tahun lalu
sebesar 569.62 ribu ton.
11
Indonesia juga menggantungkan pasokan
kedelai impor yang pada 2016 mencatat sebanyak 68% atau sekitar 1.8
juta ton kedelai dipasok dari Amerika Serikat.
12
Naiknya Impor juga
sempat diyakini dapat menjadi alternatif dalam stabilisasi harga cabai
yang pada akhir 2016 mengalami kenaikan sangat tinggi.
13
Kondisi ini
menegaskan bahwa impor cenderung dianggap sebagai alternatif terbaik
bagi Pemerintah di atas beragam permasalahan domestik yang
7
Asian Development Bank, Indonesia: Strategic Vision for Agriculture and Rural Development (Asian
Development Bank, 2006) hlm. 111.
8
A Husni Malian, “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia”
(2004) 2:2 J Analisis Kebijakan Pertanian, online:
<http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ ART02-2a.pdf> hlm. 141.
9
George Fane & Peter Warr, “Agricultural Protection in Indonesia” (2008) 44:1 Bull Indones
Econ Stud 133 hlm. 136.
10
Ibid.
11
Kompas Cyber Media, “Impor Beras RI pada 2016 Mencapai 1,2 Juta Ton”, online:
KOMPAS.com
<http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/12/29/202642826/impor.beras.
ri.pada.2016.mencapai.1.2.juta.ton>.
12
Muhammad Idris, “Indonesia Negeri Tempe Tapi Impor Kedelai”, online: detikfinance
<https://finance.detik.com//d-3372130/indonesia-negeri-tempe-tapi-impor-kedelai>.
13
Liputan6com, “BPS: Pemerintah Bisa Buka Keran Impor untuk Turunkan Harga Cabai”,
online: liputan6.com <http://bisnis.liputan6.com/read/2640655/bps-pemerintah-bisa-buka-
keran-impor-untuk-turunkan-harga-cabai>.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 320 ]
seharusnya dibenahi dengan seksama guna mewujudkan kemandirian
pangan.
Artikel ini mendiskusikan kebijakan pangan di Indonesia
pascareformasi yang memperhadapkan liberalisasi dan peran negara
dalam memastikan terwujudnya kesejahteraan sosial sebagai amanat
dari Prinsip kelima Pancasila. Bagian pertama mendiskusikan
keberhasilan Soeharto berikut kegagalannya dalam menata kebijakan
pangan menjelang era reformasi. Artikel ini juga menyikapi beberapa
langkah liberalisasi sektor pertanian melalui Agreement on Agriculture
(AoA) dalam kerangka World Trade Organization (WTO). Reformasi
Bulog sebagai akibat dari krisis ekonomi 1997 akan menjadi fokus
tantangan kebijakan pangan Indonesia pascareformasi. Pada bagian
akhir, artikel ini menyediakan urgensi revitalisasi parastatal di bidang
pangan di tengah arus liberalisasi ekonomi, dengan fokus pada peran
negara dalam bidang ekonomi guna mewujudkan kesejahteraan sosial.
Belajar dari Soeharto
Sejak awal Pemerintahan, Soeharto menyadari peran penting kebijakan
pangan guna mewujudkan kesejahteraan warga negaranya.
14
Keberhasilan Soeharto dalam mewujudkan Indonesia sebagai
swasembada pangan
15
di sektor beras pada tahun 1984
16
maupun
14
Mengawali periode pemerintahannya, Soeharto menyusun program prioritas stabilisasi
ekonomi untuk mengatasi inflasi mencapai 600% pada 1965-1966. Dalam upaya tersebut,
pembangunan pertanian dan pedesaan menjadi titik utama dalam melaksanakan
pembangunan, dengan tujuan menjamin ketersediaan pangan di perkotaan dengan harga stabil
dan kepentingan pemerintah dalam mengendalikan politik di pedesaan. Jullisar An-naf,
“Tinjauan Analitis terhadap Model Pembangunan Indonesia” (2012) 2:01 J FISIP Kybernan,
online: <http://www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/kybernan/article/view/309> hlm.
67.
15
Pantjar Simatupang, Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan
Pangan Nasional (2016) hlm. 7. Dalam World Food Summit, Presiden Soeharto menerima
penghargaan atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada dari yang sebelumnya
berstatus sebagai net importer. Rashid, Gulati & Jr, supra note 5 hlm. 138.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 321 ]
jatuhnya kebijakan pangan sejak tahun 1990an
17
perlu menjadi pelajaran
penting Indonesia dalam menata kebijakan pangan saat ini.
Keberhasilan Soeharto dalam menata kebijakan pangan dapat
dilihat dari langkah reformis guna menata kebijakan pangan
domestiknya dengan mendirikan Bulog sebagai lembaga parastatal atau
quasi-pemerintah. Melalui Bulog, Pemerintah mengintervensi pasar
melalui rekayasa institutusi dan kebijakan bidang pangan dalam satu
pintu guna memastikan Indonesia dapat mewujudkan swasembada dan
ketahanan pangan.
18
Dalam kerangka ini, Bulog bertanggung jawab
dalam bentuk pengadaan dan pendistribusian komoditas tertentu
dengan menerapkan harga dasar bagi produsen sehingga memberikan
keuntungan bagi konsumen.
19
Bulog juga melakukan distribusi pangan
subsidi, khususnya beras, bagi warga negara miskin dan rentan secara
ekonomi, serta menjaga dan mengatur persediaan beras nasional.
20
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan strategi Bulog dalam
mewujudkan swasembada pangan di mana jaminan harga minimum
diberikan kepada petani guna mengantisipasi pasar menentukan harga
di bawah harga yang telah dijaminkan kepada petani.
21
Karenanya,
Bulog sebagai lembaga tunggal di bidang pangan berperan strategis
mencakup perlindungan kepada para petani dalam memproduksi bahan
16
Disebutkan bahwa Indonesia dalam kurun 1981-1984 dapat meningkatkan p roduksi beras
sebesar 16% yang menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras. David Dawe,
“The Changing Structure of the World Rice Market, 1950–2000” (2002) 27:4 Food Policy 355
hlm. 358.
17
Faisal Kasryno et al, Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional (2016) Forum Penelitian
Agro Ekonomi, hlm. 1.
18
Kelahiran Bulog diproyeksikan guna menjaga ketahanan pangan dan stabilisasi harga beras
dan ketersediaan pangan bulanan bagi Pegawai Negeri Sipil dan Militer. Jonatan Lassa,
“Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005” (2005) Jkt ZEF, online:
<http://www.zef.de/uploads/
tx_zefportal/Publications/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20Indonesia%201950-
2005. pdf> hlm. 5.
19
Sachin Kumar Sharma, “Indonesia: Product Specific Support to Rice Under WTO” in WTO
Food Security (Springer Singapore, 2016) 81 hlm. 83.
20
Ibid.
21
Ibid hlm. 84.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 322 ]
pokok beras sekaligus penyediaan pangan domestik dengan harga
nasional yang relatif stabil.
Kesuksesan kebijakan politik ekonomi Soeharto dalam bidang
pangan tidak terlepas dari sistem administrasi publik Soeharto yang
berjalan cukup baik saat itu. Kebijakan tersebut termasuk pelibatan
Bustanul Arifin yang dalam memimpin Bulog memaksimalkan peran
Koperasi Unit Desa (KUD).
22
Saat itu, KUD diberikan tugas
mengumpulkan beras dari para petani kecil, khususnya pada masa
panen.
23
Selain itu, KUD juga turut mendistribusikan beras dan Bulog
akan melakukan impor dalam keadaan yang membutuhkan, khususnya
pada masa tanam.
24
Peran Bulog dengan menggandeng KUD memiliki
dampak positif dalam distribusi pangan sehingga dapat meningkatkan
efisiensi yang berpengaruh pada harga pangan yang relatif lebih murah.
Seiring dengan berjalannya waktu, swasembada pangan hanya
mampu bertahan sekitar tahun 1990.
25
Sejak saat itu, Indonesia tidak
lagi dapat memenuhi persediaan pangan hanya dengan mengandalkan
pasokan domestik.
26
Misalnya, untuk komoditas beras, produksi rata-
rata adalah 1.3% yang tidak berbanding lurus dengan permintaan yang
mencapai 2.3% per tahun.
27
Dalam perkembangannya, impor menjadi permasalahan serius bagi
keberlanjutan Bulog dalam jangka panjang yang berujung pada
inefisiensi dalam internal Bulog sendiri. Selain karena subsidi ekspor
pada 1992/1993 yang mengakibatkan naiknya biaya yang dikeluarkan
oleh Bulog,
28
ditemukan bahwa permasalahan juga dipengaruhi oleh
praktik kepentingan antara elit politik dan aktor swasta yang membuat
22
Rashid, Gulati & Jr, supra note 5 hlm. 140.
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Kasryno et al, supra note 16 hlm. 1.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Rashid, Gulati & Jr, supra note 5 hlm. 141.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 323 ]
proses impor beras berjalan tidak transparan.
29
Salim Group dan kroni
Soeharto telah mendominasi kegiatan impor beras tersebut dengan
meraup keuntungan antara USD 1015 untuk setiap ton.
30
Laporan
audit mencatat bahwa total inefisiensi Bulog dalam kurun 19931998
mencapai sekitar Rp 6.7 triliun atau USD 400 miliar per tahun.
31
Keadaan ini menjadi titik tolak perubahan kebijakan Pemerintah
atas kebijakan yang sebelumnya telah diambil dan diyakini berjalan
efektif. Selanjutnya, muncul gagasan tentang evaluasi pentingnya
kelembagaan dan efektivitas Bulog dengan alasan keadaan fiskal yg
berat yang dihadapi oleh Pemerintah.
32
Sejak itu, peran kontrol negara
atas sektor pertanian secara mulai dilepaskan secara berangsur-angsur
melalui liberalisasi dan deregulasi.
Liberalisasi Sektor Pertanian
Atas kendala Indonesia dalam mewujudkan swasembada beras pada
awal 1990an,
33
situasi ekonomi internasional mengalami perkembangan
yang cukup signifikan pula pada akhir abad ke-20. Salah satu
perkembangan tersebut adalah dikenalnya liberalisasi perdagangan
sektor pangan di bawah payung World Trade Organization (WTO).
Organisasi ini dalam faktanya mendapatkan perhatian besar bagi
29
Ibid hlm. 144.
30
Pengadaan impor melibatkan kerja sama 12 konglomerat yang telah mendapatkan persetujuan
khusus dari Bulog dalam melakukan impor beras yang mana setengah dari perusahaan
tersebut memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan k roni
Soeharto. Ibid.
31
Inefisiensi Bulog terkait dengan pengaruh kegiatannya yang juga mencakup sektor swasta,
akibat dari perdagangan tidak fair sehingga menghasilkan kerugian mencapai sekitar Rp 2.6
triliun. Ibid hlm. 145.
32
Hitoshi Yonekura, “Institutional Reform in Indonesia’s Food Security Sector: The
Transformation of Bulog into a Public Corporation” (2005) 43:1 Dev Econ 121 hlm. 123.
33
Disebutkan juga bahwa periode 1989-1991, Indonesia justru masih tercatat sebagai net exporter.
Budi Winarno, Kebijakan Publik Era Globalisasi: Teori, Proses dan Studi Kasus Komparatif (Center
for Academic Publishing Service, 2016) hlm. 236.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 324 ]
negara-negara berkembang di dunia, seperti India, Kuba, Malaysia,
termasuk Indonesia.
34
Dalam kesempatan itu, Indonesia telah menyatakan diri bergabung
pada WTO dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (UU WTO). Sejak berdiri pada 1995, WTO hadir dengan
sistem perdagangan baru dalam hubungan ekonomi antarnegara.
35
Pengesahan UU WTO memiliki implikasi pada persetujuan Indonesia
untuk mengadopsi sistem perdagangan yang disusun oleh WTO di
mana Pemerintah wajib memastikan kesesuaian hukum, peraturan dan
prosedur administrasi dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan
dalam perjanjian WTO.
36
Dengan kata lain, Indonesia sepakat bahwa
setiap hukum yang dikeluarkan oleh WTO akan diadopsi di dalam
hukum nasionalnya. Salah satu hukum WTO tersebut adalah Agreement
on Agriculture (AoA) yang saat ini menjadi landasan utama Pemerintah
Indonesia dalam melangsungkan liberalisasi sektor pertanian melalui
perdagangan internasional di bidang pangan.
37
Adapun kewajiban Indonesia atas AoA adalah menyelaraskan
kebijakan domestiknya dengan aturan internasional dengan alasan guna
mendorong pertumbuhan sektor pertanian dalam bentuk liberalisasi.
Selanjutnya, liberalisasi menggeser kebijakan ekonomi nasional menuju
aturan global yang mendukung mekanisme pasar dan menghapus
hambatan perdagangan.
38
Ini berarti bahwa Pemerintah harus
membuka pasar domestiknya dan Indonesia menjadi bagian dari
34
WTO, “Joining the WTO”, (2014), online: WTO Annu Rep <https://www.wto.org/english/
res_e/booksp_e/anrep_e/anrep14_chap4_e.pdf> hlm. 18.
35
Matthias Herdegen, Principles of International Economic Law (OUP Oxford, 2013) hlm. 178.
36
Gregory Messenger, The Development of World Trade Organization Law: Examining Change in
International Law (Oxford University Press, 2016) hlm. 75.
37
Dewa Swastika & Sri Nuryanti, “The Implementation of Trade Liberalization in Indonesia”
(2006) 4:4 Anal Kebijak Pertan 257 hlm. 257.
38
Peter Rosset, Food Is Different: Why We Must Get the WTO out of Agriculture, Global issues (Black
Point, N.S: Fernwood Pub, 2006) hlm. 4.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 325 ]
persaingan usaha internasional.
39
Terbukanya pasar membawa akibat
pada beragamnya barang impor yang dapat dengan mudah masuk pada
pasar domestik dengan harga yang relatif murah,
40
namun tidak stabil.
41
Dalam kondisi ini, akibat dari perdagangan internasional justru merusak
pasar domestik.
Hal demikian juga mengingat bahwa perdagangan internasional
42
dalam bidang pertanian memberikan kesempatan bagi pengekspor
untuk menerapkan subsidi ekspor.
43
Subsidi ekspor memungkinkan
negara eksportir memberikan subsidi perdagangannya yang menjadikan
harga barang asal eksportir menjadi relatif murah dari harga normal.
44
Harga pangan impor yang lebih murah ini selanjutnya memiliki dampak
negatif pada harga pangan lokal yang relatif mahal dalam pasar
domestik. Karenanya, penting untuk mengantisipasi ketergantungan
Indonesia terhadap Impor dalam mewujudkan ketahananan pangan
dan kesejahteraan rakyat. Fenomena ini juga menjadi alasan yang
mendasar untuk menguatkan kembali peran negara dalam mengontrol
kebijakan sektor pangan. Jika tidak, Indonesia akan cenderung
bergantung pada impor yang memungkinkan subsidi ekspor. Keadaan
ini akan mendistorsi pasar dan dengan mudah mematikan persaingan
usaha dan harga domestik.
Kondisi ini juga menyebabkan kerugian bagi para pelaku produksi
pertanian dalam negeri, khususnya petani kecil. Hal ini mengingat
bahwa subsidi ekspor mempengaruhi penurunan harga pangan tingkat
39
Ibid hlm. 17.
40
Ibid.
41
Rashid, Gulati & Jr, supra note 5 hlm. 152.
42
Berdasarkan AoA, setiap negara diharuskan menurunkan secara bertahap mencakup segala
jenis proteksi perdagangan, subsidi maupun hambatan non-tarif. Namun demikian, banyak
negara maju masih melakukan perlindungan terhadap petani melalui subsidi petani dan
dukungan pasar yang berakibat pada ketimpangan terhadap negara berkembang dalam sektor
pertanian mikronya. Swastika & Nuryanti, supra note 36 hlm. 257.
43
Kym Anderson & Will Martin, eds, Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda
(Washington, DC: Palgrave Macmillan/World Bank, 2006) hlm. 197.
44
Asian Development Bank, supra note 6 hlm. 112.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 326 ]
domestik sehingga produk pertanian petani lokal tidak dapat bersaing
dalam pasar. Misalnya, petani Indonesia harus menanggung rugi karena
pasokan kedelai dari Amerika Serikat yang menerapkan subsidi ekspor
yang berpengaruh pada matinya petani kedelai lokal dan semakin
meningkatnya ketergantungan Indonesia pada pasar kedelai dari
Amerika Serikat.
45
Dalam Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Pemerintah telah
mencoba mengeluarkan kebijakan tarif impor sebesar 30% dari harga
dunia guna memberikan perlindungan terhadap petani kecil akibat
murahnya pangan impor.
46
Namun, perdagangan bebas menyediakan
ragam harga pangan dunia sebagai pengaruh dari ketidakstabilan harga
dunia.
47
Ketidakstabilan ini turut membawa dampak langsung terhadap
pasar lokal dan meyebabkan ketidakstabilan harga pangan di
Indonesia.
48
Terhadap ketidakstabilan harga pangan, terdapat
perbedaan pandangan. Pada satu sisi, dikatakan bahwa hal demikian
disebabkan oleh liberalisasi pangan dan pada sisi lain disebutkan bahwa
ketidakstabilan harga disebabkan oleh kebijakan harga pangan dan
kebijakan pertanian Indonesia yang sering berubah-ubah.
49
Peran negara dibutuhkan guna memberikan perlindungan warga
negara dalam pasar domestik terhadap liberalisasi perdagangan ekspor.
Hal demikian dapat dicapai dengan memaksimalkan parastatal yang
memungkinkan kebijakan pangan, termasuk kebijakan impor pangan
dapat berjalan dalam satu pintu. Parastatal dapat dimaknai sebagai
lembaga quasi-pemerintah yang bertanggung jawab menjalankan
aktivitas perdagangan publik di bidang pangan. Parastatal berperan
untuk stabilisasi harga komoditas pertanian dasar guna memastikan
45
Michael Agustinus, “WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian, Ini Dampak Bagi RI”,
online: detikfinance <https://finance.detik.com//d-3103160/wto-larang-subsidi-ekspor-
produk-pertanian-ini-dampak-bagi-ri>.
46
Rashid, Gulati & Jr, supra note 5 hlm. 151.
47
Ibid hlm. 152.
48
Ibid.
49
Ibid.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 327 ]
harga dasar bagi petani dan harga maksimum bagi konsumen. Selain
itu, lembaga ini juga bertugas mengendalikan monopoli dalam kegiatan
ekspor dan impor sektor pangan.
50
Melalui parastatal, impor dapat dilakukan sebagai upaya stabilisasi
harga, bukan karena atas dasar harga pangan impor yang jauh lebih
murah daripada harga domestik. Peran sentral parastatal seperti ini
dapat dimaknai sebagai implementasi Pasal 33 UUD 1945 yang
mengamanatkan kontrol negara atas kegiatan ekonomi guna melindungi
masyarakat secara kolektif. Dengan kata lain, bumi dan kekayaan yang
melekat di dalamnya berada dalam kontrol negara, mencakup bidang
pangan. Hal demikian termasuk penguasaan negara atas usaha yang
penting dan menguasai hajat segenap warga negara. Melalui peran
negara, ini memungkinkan distribusi pangan dapat berjalan dalam
kendali Pemerintah sehingga dapat melindungi kepentingan dan
kesejahteraan petani yang rentan akan dampak liberalisasi perdagangan.
Ini juga memiliki dampak positif pada peningkatan produksi pertanian
oleh petani lokal karena harga jual hasil pertaniannya relatif stabil.
Peran negara melalui parastatal merupakan wujud dari keadilan
sosial dan cerminan Prinsip kelima Pancasila. Parastatal memungkinkan
distribusi pangan dilaksanakan secara terpadu sehingga masyarakat
dapat mengakses dengan baik. Aspek ini menjadi titik penting di mana
distribusi yang baik dapat mendukung akses hak atas pangan yang lebih
baik. Senada dengan Amartya Sen, disebutkan bahwa permasalahan
pangan tidak hanya terkait dengan produksi atau ketersediaan pangan,
tetapi juga faktor distribusi atas kepemilikan pangan; kendala akses
pangan terkait dengan lemahnya kepemilikan pangan dalam tingkat
rumah tangga atau individu dan kelompok yang lebih kaya dapat
membeli pangan lebih banyak.
51
Ini menyebabkan kenaikan harga
50
Ibid hlm. 3.
51
Amartya Sen, Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation (Oxford: New York:
Clarendon Press; Oxford University Press, 1981) hlm. 4.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 328 ]
pangan dan memperburuk pertukaran hak, berakibat pada menurunnya
akses pangan oleh masyarakat.
52
Sayangnya, memasuki era reformasi, Bulog telah dilumpuhkan
secara sistematis baik secara fungsional maupun institusional. Secara
fungsional, saat ini Bulog tidak lagi berwenang dalam mengontrol harga
pangan. Secara institusional, sejak 2003, Bulog telah berbentuk Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan kata lain, Bulog yang seharusnya
diperkuat sebagai parastatal yang siap menghadapi liberalisasi, justru
ditundukkan terhadap liberalisasi yang berujung pada perubahan status
Bulog sebagai BUMN.
Bulog dalam Pusaran Liberalisasi
Selain alasan liberalisasi perdagangan yang menjadikan keadaan
ekonomi Indonesia relatif terbuka terhadap pasar, pada awal tahun
1990an Bulog menghadapi tantangan transparansi dan efisiensi
pengelolaan pangan.
53
Bulog turut dihadapkan pada kenaikan
permintaan beras dengan penawaran atau produksi yang hanya mampu
mencapai setengah dari rata-rata permintaan tersebut,
54
yang berujung
pada status Indonesia sebagai net importer sejak 1994.
55
Indonesia juga
dihadapkan dengan krisis ekonomi 1998 yang mendorong Pemerintah
berinisiatif mendapatkan fasilitas pinjaman dari International Monetary
Fund (IMF).
56
Untuk mendapatkan pinjaman tersebut, terdapat salah satu syarat
dalam Letter of Intent (LoI) yang disetujui oleh Pemerintah berupa
52
Ibid.
53
Basri & Patunru, supra note 4 hlm. 1.
54
Kasryno et al, supra note 16 hlm. 1.
55
Budi Winarno, supra note 32 hlm. 236.
56
Dalam kurun 19972001, terdapat tujuh LoI yang telah disetujui antara IMF dan Indonesia.
Tiga LoI pada periode Soeharto, delapan pada periode B.J. Habibie, empat pada periode
Abdurrahman Wahid dan satu pada periode Megawati. Daljit Singh & Chin Kin Wah,
Southeast Asian Affairs 2004 (Institute of Southeast Asian Studies, 2004) hlm. 197.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 329 ]
penghapusan monopoli impor beras oleh Bulog.
57
IMF menganggap
Bulog telah memonopoli sektor pangan di Indonesia,
58
yang mana
stabilitas dan efisiensi ekonomi pasar akan tercapai dengan
dihapuskannya kewenangan monopoli sektor pangan oleh Bulog.
59
Persetujuan permohonan bantuan yang dituangkan dalam Memorandum
of Economic and Financial Policies (MEFP)
60
menyebabkan intervensi pasar
atas beberapa komoditas pangan oleh Pemerintah dihentikan dan
sebagai gantinya adalah liberalisasi impor.
61
Bulog tidak lagi sebagai
agen tunggal yang dapat memonopoli pangan termasuk dalam hal
kebijakan impor. Ini menandakan bahwa perjanjian yang telah dibuat
antara Pemerintah dengan IMF membawa tekanan kebijakan terhadap
Bulog sebagai state trading enterprise
62
yang seharusnya berperan
mengontrol stabilitas harga pangan.
63
Ini menegaskan bahwa status state
trading enterprise tidak lagi melekat pada Bulog dan Indonesia tidak lagi
memiliki lembaga parastatal.
Sejak itu, Bulog mengalami proses transisi degan tuntutan
transformasi Bulog menjadi lebih transparan dan akuntabel.
64
Dalam
menyikapi hal tersebut, kewenangan Bulog secara bertahap dipangkas.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1997, ditentukan bahwa
Bulog terbatas hanya mengelola komoditas beras dan gula pasir.
Selanjutnya, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998
yang berisi pemangkasan kewenangan Bulog menjadi hanya mengelola
57
Dalam kurun 19972001, terdapat tujuh LoI yang telah disetujui antara IMF dan Indonesia.
Tiga LoI pada periode Soeharto, delapan pada periode B.J. Habibie, empat pada periode
Abdurrahman Wahid dan satu pada periode Megawati. Ibid.
58
Rashid, Gulati & Jr, supra note 5 hlm. 148.
59
Yonekura, supra note 31 hlm. 124.
60
Budi Winarno, supra note 32 hlm. 231.
61
M Chatib Basri & Hal Hill, “Indonesia - Trade Policy Review 2007” (2008) 31:11 World
Econ 1393 hlm. 1405.
62
Ian Gillson & Amir Fouad, eds, Trade Policy and Food Security: Improving Access to Food in
Developing Countries in the Wake of High World Prices (The World Bank, 2014) hlm. 19.
63
Daan Marks, “Unity or Diversity? Market Integration and Long-run Economic Growth in
Indonesia” (2008), online: <https://pdfs.semanticscholar.org/2253/d2b8d140eabcf5418c7
f9181a58e28fd210f.pdf> hlm. 12.
64
Rashid, Gulati & Jr, supra note 5 hlm. 138.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 330 ]
komoditas beras, sedangkan komoditas lain diserahkan pada
mekanisme pasar. Tindakan ini dibuat dengan alasan mengefektifkan
Bulog dalam mengelola persediaan bahan pangan pokok serta
memperlancar sirkulasi barang, meskipun dengan mereduksi
pengelolaan komoditas lain oleh Bulog.
65
Melalui Keputusan Presiden 29 Tahun 2000, Bulog didorong untuk
menjadi lembaga yang lebih mandiri. Hal ini berujung pada
pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 yang
mengubah status Bulog dari Lembaga Pemerintah Non-Departemen
(LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum). Status ini menegaskan
bahwa Bulog telah bertransformasi sepenuhnya menjadi BUMN,
dengan implikasi bahwa Bulog tidak lagi bertindak sebagai lembaga
negara, melainkan sebagai pelaku pasar. Dengan kata lain, di samping
bertugas menyediakan barang dan jasa publik guna melayani
masyarakat, Bulog juga bertindak pelaku pasar bersama dengan pelaku
swasta lain yang menikmati liberalisasi pangan akibat kesepakatan
Indonesia dengan IMF tersebut.
Mungkinkah Parastatal Hidup Kembali?
Dengan menyandang status Perum, keberadaan Bulog seperi ketidak-
beradaannya. Dalam batas tertentu, Bulog hanya berwenang melakukan
menyediakan komoditas pangan dan melaksanakan usaha sebagai
konsekuensi dari status BUMN, tanpa kewenangan mengontrol
stabilisasi harga pangan dalam tingkat regulasi. Misalnya, untuk
mengatasi lonjakan harga beras, stabilisasi yang dapat dilakukan Bulog
adalah mengadakan operasi pasar seperti membagikan beras miskin
65
Alasan ini termuat dalam konsiderans Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1995 tentang Bulog sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 331 ]
(Raskin)
66
kepada pihak-pihak yang terdampak langsung dari kenaikan
harga.
67
Kenyataan demikian menegaskan bahwa Bulog tidak lagi memiliki
peran penting dalam kebijakan pangan, karena kewenangan kebijakan
pangan tersebar di beberapa kementerian seperti Kementerian
Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Tersebarnya kewenangan di
berbagai instansi tersebut mengakibatkan ketidakpaduan kebijakan
pagan, seperti data pangan nasional yang memengaruhi buruknya
manajemen impor pangan Indonesia.
68
Karenanya, Indonesia
membutuhkan alternatif dari sisi kelembagaan guna memastikan
kebijakan pangan dapat berjalan secara terpadu. Dengan mengingat
Indonesia telah terlepas dari LoI dengan IMF,
69
reformasi Bulog
sebagai lembaga parastatal dengan peran state trading enterprise sangat
mungkin dilakukan
70
atau dengan mendirikan parastatal baru yang
dapat bersinergi dengan Bulog sebagai BUMN.
Selaras dengan itu, Undang-Undang 18 Tahun 2012 tentang
Pangan (UU Pangan) memandang penting untuk mengangkat kembali
peran sentral lembaga parastatal di bidang pangan. Disebutkan bahwa
parastatal tersebut memiliki tugas untuk mewujudkan kedaulatan
pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan dalam skala
nasional. Bab XII tentang kelembagaan pangan menyebutkan
pentingnya pembentukan lembaga Pemerintah di bidang pangan
dengan kedudukan di bawah Presiden dan pertanggungjawaban kepada
66
Perum BULOG, "Sekilas RASKIN”, online: <http://www.bulog.co.id/sekilas_raskin.php>.
67
“Bulog DIY Gelar Operasi Pasar untuk Stabilkan Harga Beras”, online: Trib Jogja
<http://jogja.tribunnews.com/2015/01/06/bulog-diy-gelar-operasi-pasar-untuk-stabilkan-
harga-beras>.
68
Pewarta: Ade Junida, “APINDO Persoalkan Ketidaksamaan Data Pangan Nasional”, online:
Antara News <http://www.antaranews.com/berita/565581/apindo-persoalkan-
ketidaksamaan-data-pangan-nasional>.
69
Detikcom, “Akhirnya! RI Lepas dari Utang IMF”, online: detikfinance
<https://finance.detik.com//d-2716821/akhirnya-ri-lepas-dari-utang-imf>.
70
Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1969 tentang
Struktur Organisasi serta Tugas Pokok dan Fungsi Badan Urusan Logistik.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 332 ]
Presiden. Lembaga ini juga dapat mengusulkan kepada Presiden dalam
penugasan khusus kepada BUMN di bidang pangan guna
melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan maupun distribusi
pangan pokok dan pangan lainnya.
Dalam reformasi institusional pangan, pembentukan parastatal
baru juga perlu memperhatikan runtuhnya Bulog dalam mewujudkan
swasembada pangan pada awal 1990an.
71
Disebutkan bahwa jatuhnya
fungsi parastatal Bulog tidak lepas dari aktor swasta terhadap Bulog
dalam kegiatan impor yang memiliki keterkaitan dengan Soeharto dan
kroni-kroninya. Mempertimbangkan permasalahan utama yang
dihadapi oleh Bulog adalah transparasi dan efisiensi, penyelesaian yang
harus ditempuh ke depan dalam lembaga pangan adalah perbaikan tata
kelola dan prosedur administrasi yang baik (good governance).
Penutup
Kebijakan pangan Indonesia perlu kembali bertumpu pada Pancasila
yang di dalamnya mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial. Prinsip
keadilan sosial dalam kebijakan pangan akan tercapai apabila
Pemerintah dapat melakukan fungsi kontrol atas kebijakan pangan dan
perlindungan terhadap warga negara. Peran ini menjadi penting saat
Indonesia mengintegrasikan diri dengan sistem ekonomi global;
Indonesia harus memperkuat sistem pangan nasional dan beradaptasi
dengan ekonomi pasar guna mewujudkan swasembada pangan.
Sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial, Indonesia pada era
pasca reformasi ini perlu merevitalisasi kebijakan pangan. Revitalisasi
dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali lembaga pangan dalam
satu pintu dalam rangka mewujudkan ketahanan dan swasembada
pangan. Hal demikian mengingat bahwa Indonesia sebagai negara
71
Budi Winarno, supra note 32 hlm. 326.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 333 ]
agraris yang kenyataannya justru menggantungkan kebutuhan pangan
dari impor.
Setelah lunasnya hutang Indonesia kepada IMF, terdapat urgensi
tentang pentingnya membangun kembali kedaulatan dan kemandirian
pangan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan merevitalisasi
parastatal atau membangun parastatal baru. Komitmen tersebut
tertuang dalam Pasal 126 UU Pangan yang mengamanatkan tentang
pendirian kelembagaan pangan dengan karakter parastatal. Sayangnya,
komitmen pendirian kelembagaan tersebut hingga kini belum dilakukan
hingga dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres). Kelak, Perpres yang
mengatur organisasi dan tata kelola lembaga pangan tersebut perlu
memperhatikan aspek efisiensi, transparasi dan transparansi publik
yang merupakan implementasi dari good governance. Aspek ini menjadi
penting agar pengalaman jatuhnya fungsi Bulog tidak terjadi kembali
pada kelembagaan pangan yang baru nanti.
Daftar Pustaka
Anderson, Kym & Will Martin, eds. Agricultural Trade Reform and the
Doha Development Agenda (Washington, DC: Palgrave
Macmillan/World Bank, 2006).
Asian Development Bank. Indonesia: Strategic Vision for Agriculture and
Rural Development (Asian Development Bank, 2006).
Budi Winarno. Kebijakan Publik Era Globalisasi: Teori, Proses dan Studi
Kasus Komparatif (Center for Academic Publishing Service, 2016).
Gillson, Ian & Amir Fouad, eds. Trade Policy and Food Security: Improving
Access to Food in Developing Countries in the Wake of High World Prices
(The World Bank, 2014).
Herdegen, Matthias. Principles of International Economic Law (OUP
Oxford, 2013).
Messenger, Gregory. The Development of World Trade Organization Law:
Examining Change in International Law (Oxford University Press,
2016).
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 334 ]
Rashid, Shahidur, Ashok Gulati & Ralph Waldo Cummings Jr. From
Parastatals to Private Trade: Lessons from Asian Agriculture (Intl Food
Policy Res Inst, 2008).
Rawls, John. A theory of justice, rev. ed ed (Cambridge, Mass: Belknap
Press of Harvard University Press, 1999).
Rosset, Peter. Food Is Different: Why We Must Get the WTO out of
Agriculture, Global issues (Black Point, N.S: Fernwood Pub,
2006).
Rusastra, I Wayan, United Nations & Indonesia, eds. Food Security and
Poverty in the Era of Decentralization in Indonesia, CAPSA working
paper no. 102 (Bogor, Indonesia: [Jakarta]: United Nations
ESCAP; Bureau of Planning, Ministry of Agriculture, Republic
of Indonesia, 2008).
Sen, Amartya. Poverty and famines: an essay on entitlement and deprivation
(Oxford: New York: Clarendon Press; Oxford University Press,
1981).
Singh, Daljit & Chin Kin Wah. Southeast Asian Affairs 2004 (Institute of
Southeast Asian Studies, 2004).
A Husni Malian. “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas
Pertanian Indonesia” (2004) 2:2 J Anal Kebijak Pertan, online:
<http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART02-
2a.pdf>.
An-naf, Jullisar. “Tinjauan Analitis terhadap Model Pembangunan
Indonesia” (2012) 2:01 J FISIP Kybernan, online: <http://
www.ejournalunisma.net/ojs/index.php/kybernan/article/view
/309>.
Basri, M Chatib & Hal Hill. “Indonesia - Trade Policy Review 2007”
(2008) 31:11 World Econ 1393.
Basri, M Chatib & Arianto A Patunru. “Why Government Hurts the
Poor? The Case of Indonesia’s Rice Protection” (2009) Univ
Indones, online: <http://www.nottinghamenterprise.com/gep/
documents/conferences/2009/janconfmalaysia2009/basri-
patunru-notingham.pdf>.
Dawe, David. “The Changing Structure of the World Rice Market,
1950–2000” (2002) 27:4 Food Policy 355.
Muhammad Bahrul Ulum
[ 335 ]
Fane, George & Peter Warr. “Agricultural Protection in Indonesia”
(2008) 44:1 Bull Indones Econ Stud 133.
Lassa, Jonatan. “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005”
(2005) Jkt ZEF, online: <http://www.zef.de/uploads/
tx_zefportal/Publications/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pang
an%20Indonesia%201950-2005.pdf>.
Marks, Daan. “Unity or Diversity? Market Integration and Long-run
Economic Growth in Indonesia” (2008), online: <https://
pdfs.semanticscholar.org/2253/d2b8d140eabcf5418c7f9181a58e
28fd210f.pdf>.
Sharma, Sachin Kumar. “Indonesia: Product Specific Support to Rice
Under WTO” in WTO Food Secur (Springer Singapore, 2016) 81.
Swastika, Dewa & Sri Nuryanti. “The Implementation of Trade
Liberalization in Indonesia” (2006) 4:4 Anal Kebijak Pertan 257.
Yonekura, Hitoshi. “Institutional Reform in Indonesia’s Food Security
Sector: The Transformation of Bulog into a Public Corporation”
(2005) 43:1 Dev Econ 121.
Agustinus, Michael. “WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian,
Ini Dampak Bagi RI”, online: detikfinance <https://
finance.detik.com//d-3103160/wto-larang-subsidi-ekspor-
produk-pertanian-ini-dampak-bagi-ri>.
Detikcom. Akhirnya! RI Lepas dari Utang IMF”, online: detikfinance
<https://finance.detik.com//d-2716821/akhirnya-ri-lepas-dari-
utang-imf>.
Idris, Muhammad. “Indonesia Negeri Tempe Tapi Impor Kedelai”,
online: detikfinance <https://finance.detik.com//d-3372130/
indonesia-negeri-tempe-tapi-impor-kedelai>.
Junida, Pewarta: Ade. “APINDO Persoalkan Ketidaksamaan Data
Pangan Nasional”, online: Antara News <http://
www.antaranews.com/berita/565581/apindo-persoalkan-
ketidaksamaan-data-pangan-nasional>.
Kasryno, Faisal et al. Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional
(2016).
Liputan6com. “BPS: Pemerintah Bisa Buka Keran Impor untuk
Turunkan Harga Cabai”, online: liputan6.com <http://bisnis.
liputan6.com/read/2640655/bps-pemerintah-bisa-buka-keran-
impor-untuk-turunkan-harga-cabai>.
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
[ 336 ]
Media, Kompas Cyber. “Impor Beras RI pada 2016 Mencapai 1,2 Juta
Ton”, online: KOMPAS.com <http://bisniskeuangan.
kompas.com/read/2016/12/29/202642826/impor.beras.ri.pada
.2016.mencapai.1.2.juta.ton>.
Simatupang, Pantjar. Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar
Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional (2016).
WTO. “Joining the WTO”, (2014), online: WTO Annu Rep <https://
www.wto.org/english/res_e/booksp_e/anrep_e/anrep14_chap
4_e.pdf>.
“Perum BULOG - Sekilas RASKIN”, online: <http://
www.bulog.co.id/sekilas_raskin.php>.
“Bulog DIY Gelar Operasi Pasar untuk Stabilkan Harga Beras”, online:
Trib Jogja <http://jogja.tribunnews.com/2015/01/06/bulog-diy-
gelar-operasi-pasar-untuk-stabilkan-harga-beras>.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005 Jonatan Lassa 1. Pendahuluan: Paradoks Ketahanan Pangan Ketahanan Pangan (food security) adalah paradoks dan lebih merupakan penemuan dunia modern. Secara prosentase, lebih banyak produsen pangan di masa lalu ketimbang masa kini; tetapi dunia hari ini lebih aman pangan ketimbang masa lalu. Paradoks ini bisa terlihat jelas di banyak Negara maju, salah satunya adalah Ingggris Raya; Prosentase populasi pertanian di UK tahun 1950 adalah 6 % dan terus menurun secara drastis hingga 2 % di tahun 2000, dan berdasarkan prediksi FAO (Food and Agriculture Organisation), jumlah populasi pertanian di Inggris akan terus turun menjadi 1% di tahun 2010. Sederhananya, sekitar 896,000 petani akan memberi makan sedikitnya 60 juta penduduk. Indonesia saat ini memiliki 90 juta petani (seratus kali dari Inggris) atau sekitar 45% penduduk "memberi makan" seluruh pendududuk (sekitar 230 juta orang). Tetapi fakta-fakta dari Nusa Tenggara Barat (yang kerap dikenal sebagai daerah lumbung padi) serta daerah semi arid seperti Nusa Tenggara Timur di semester pertama tahun 2005, justru menghadapi ketahanan pangan yang rapuh, terbukti dengan tingginya tingkat kekurangan pangan dan gizi buruk. 2. Definisi Ketahanan Pangan Dari Waktu Ke Waktu Pendefinisian ketahanan pangan (food security) berbeda dalam tiap konteks, waktu dan tempat. Sedikitnya ada 200 definisi ketahanan pangan (Lihat: FAO 2003 dan Maxwell 1996) dan sedikitnya ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999). Istilah ketahanan pangan (food security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru pertama kali muncul pada tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia (Sage 2002). Maxwell (1996) mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan decade 90an; perubahan terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga dan individu; dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-indikator objektif ke persepsi yang subjektif. (Lihat: Maxwell & Frankenberger 1992).
Chapter
Full-text available
Food security policy in Indonesia is designed to fulfil basic human necessities which provide fair, equal and sustainable benefits based on the concepts of food resilience, self-sufficiency and food security. BULOG procures rice for the implementation of the RASKIN programme, a social safety net programme for poor and vulnerable sections of the society. In this chapter, product specific support to rice is calculated for the period 2010–2014. It shows that Indonesia is at the risk of breaching the de minimis limit in near future. This could have serious adverse implications for the operation of BULOG for the implementation of the RASKIN programme.
Article
Full-text available
The National Food Logistics Agency (BULOG) which had managed food security, buffer-stock operations, and domestic food price stabilization through its monopoly over imports and distribution was reorganized into a public corporation, “Perum BULOG”, in May 2003. This study investigates the background and the process of reforming BULOG, and seeks to clarify the characteristics and remaining problems of institutional reform implemented in Indonesia since the economic crisis and the impact of globalization. The major findings are: (1) the reforms led by the IMF and World Bank were an attempt to curtail the rent-creation mechanism in BULOG and to improve its corporate governance; (2) globalized and standardized modules of institutional reform methods were applied for reforming BULOG, but the implanted institutions will need substantial time to take root; (3) there is still a failure to coordinate among food security institutions, particularly between the Ministry of Agriculture and Perum BULOG.
Article
Full-text available
The world rice market has been unstable for much of its post-world war II history, with prices volatile and the availability of supplies uncertain. These characteristics, exemplified by the world food crisis of the mid-1970s, influenced domestic price and production policies in a number of Asian countries. However, the structure of the world rice market has evolved and changed during the past 50 years. This paper identifies three distinct phases in the history of the market based on trends in the level and stability of production and the trade orientation of major exporters. The level and stability of production increased steadily over the entire period. Exporters have generally been active in the world market, with the period 1965–1981 being an important exception. Since the mid-1980s, prices have been low and quite stable, and the patterns identified in the paper suggest that prices will remain so in the future. The policy implication is that Asian rice importers can afford to rely more on the world market than was warranted in the past.
Article
English An effective and efficient national food security strategy and policy can only be formulated using an appropriate paradigm. Food security paradigm evolves as food security context changes and in line with development of scientific understanding of the issue. This paper discusses evaluation of the food security paradigm and their application in designing strategy and framework of food security policy in Indonesia. It is shown that the national food sufficiency-oriented policy belongs to the food availability approach which has been empirically proven can not assure household or individual food security. The more appropriate paradigm is the food entitlement approach. Based on this paradigm, national food security strategy and policy should be designed comprehensively that includes food availability, access and utilization dimensions, and risk mitigation related to the three dimensions in an integrated macro-micro scale. Indonesian Strategi kebijakan ketahanan pangan nasional yang efektif dan efisien hanya dapat dirumuskan bila didasarkan pada paradigma yang tepat. Paradigma ketahanan pangan terus berkembang seiring dengan perubahan konteks permasalahan dan perkembangan pemahaman ilmiah. Tulisan ini menguraikan evolusi perkembangan paradigma ketahanan pangan dan penerapannya dalam perumusan strategi dan kerangka kerja kebijakan ketahanan pangan di Indonesia. Diungkapkan bahwa kebijakan yang berorientasi pada swasembada pangan termasuk ketegori paradigma pendekatan pengadaan pangan (food availability approach) yang secara empiris terbukti tidak menjamin ketahanan pangan keluarga atau individu. Paradigma yang lebih sesuai ialah pendekatan perolehan pangan (food entitlement approach). Untuk itu perlu disusun kebijakan komprehensif yang mencakup dimensi pengadaan, akses dan penggunaan pangan serta mitigasi atas risiko ketiga dimensi tersebut dalam skala makro-mikro terpadu.
Article
Development is generally defined as the fulfillment of individual welfare that includes per capita income, educational needs, health, quality of life including the need for self-esteem. In practice the planning and implementation of development is strongly influenced by the ideological perspective, political or development paradigm adopted by the elite in each country. Evolving paradigm begins with Classical Development Theory that was divided into various sects and schools of lower-schools of capitalism and socialism. Furthermore, also develops theories derivatives such as Dualistic Development Thesis, Structural Change Theory, Theory of Linear Stages/Stages of Economic Growth, International Dependency Theory, Counter-Revolution of Neoclassical Theory, and the latter Paradigm of Sustainable Development. Developing countries have doing many experiments with a mixture of the above theories ranging from a centralized to the schools of the liberal ideology which depends on the views adopted. The important thing to note, none of Developing Countries can solve the problem of development with only one theory unanimously adapt and intact. Because the theories of development is growing locally specific, so not entirely applicable to different situations. Since independence in 1945 Indonesia's development itself can be said to have been changing schools. But there is one distinctive feature, namely applying a liberal theories but in a situation that is very centralized and very dominant role of government. However, due to the specific local situation and deepening less recognizable, always exposed to the dead-lock situation both in the Old Order and New Order.
Article
Indonesia is a country very much dependent on rice. It has consistently been a rice net importer for a long time, except for a brief intermittent of self-sufficiency in late 1980s. Yet, resistance to importation is always strongly pronounced. As a result, government policy tends to bias against the majority net consumers of rice, a group dominated by the poor. This paper offers two explanations on the rice protection in Indonesia. First, it shows that the demand for protection is likely to be affected by the movement of real effective exchange rate. Second, it uses the logic of collective action framework to explain why the government opts for hurting the poor. In particular, the paper asserts that the lobby of net producers is stronger than that of net consumers, because the latter group relatively lacks of incentive to fight.
Book
Available in OSO: http://www.oxfordscholarship.com/oso/public/content/economicsfinance/0198281935/toc.html