ArticlePDF Available

WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA

Authors:

Abstract

Keberagaman bahasa yang digunakan masyarakat tutur di Kota Purbalingga mempresentasikan adanya masyarakat dwibahasa maupun multibahasa. Kondisi tersebut memunculkan adanya pilihan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kota Purbalingga khususnya yang tinggal di perumahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud pilihan bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga. Data dikumpulkan dengan metode simak dilanjutkan dengan teknik simak bebas libat cakap, rekam, dan catat. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan dengan teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) dan teknik lanjutan teknik hubung banding (HBB). Berdasarkan tuturan masyarakat yang tinggal di Perumahan Kota Purbalingga, diperoleh hasil penelitian wujud pilihan bahasa berupa (1) tunggal bahasa, yang meliputi bahasa Indonesia ragam nonformal dan bahasa Jawa ragam ngoko; (2) alih kode; serta (3) campur kode.
ISSN 2599-316X
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT | 91
PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA
MASYARAKAT PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Abstract
The diversity of languages spoken by the community in Purbalingga City presents the existence of dwuka and
multilingual community. These conditions led to the choice of language used by the people of Purbalingga especially in
residential areas. The purpose of this study is to describe the form of choice of language used in the family realm. Data
using libat method is competent, recording, and record. Data analysis in this research using method. With HBs (narrowing
technique). Based on the speech of the people who live in Purbalingga City Housing, the result of research is the form of
choice of language (1) single language, which includes indonesian language of nonformal and ngoko varieties; (2) code
switching; and (3) code mixing.
keywords: choice of leanguage, family realm, residential community.
Abstrak
Keberagaman bahasa yang digunakan masyarakat tutur di Kota Purbalingga mempresentasikan adanya
masyarakat dwibahasa maupun multibahasa. Kondisi tersebut memunculkan adanya pilihan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Kota Purbalingga khususnya yang tinggal di perumahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
wujud pilihan bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga. Data dikumpulkan dengan metode simak dilanjutkan dengan
teknik simak bebas libat cakap, rekam, dan catat. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan dengan
teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) dan teknik lanjutan teknik hubung banding (HBB). Berdasarkan tuturan masyarakat
yang tinggal di Perumahan Kota Purbalingga, diperoleh hasil penelitian wujud pilihan bahasa berupa (1) tunggal bahasa,
yang meliputi bahasa Indonesia ragam nonformal dan bahasa Jawa ragam ngoko; (2) alih kode; serta (3) campur kode.
kata kunci: pilihan bahasa, ranah keluarga, masyarakat perumahan.
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang multikultural.
Terdapat beragam bahasa yang
digunakan dalam komunikasi
antaranggota masyarakatnya. Bahasa
menjadi alat komunikasi, selain itu,
bahasa menjadi cermin kepribadian
seseorang. Bahkan bahasa dapat
menjadi cermin karakter bangsa.
Ungkapan kepribadian seseorang
yang perlu dikembangkan adalah
ungkapan kepribadian yang baik,
benar, dan santun sehingga
mencerminkan budi pekerti yang
baik (Pranowo, 2009). Oleh karena
itu, bahasa memiliki peran yang
penting untuk dilestarikan serta
menarik untuk dikaji.
Lebih lanjut, Santoso (2013)
menyatakan bahwa kelangsungan
hidup sebuah bahasa sangat
dipengaruhi oleh dinamika yang
terjadi tuturan di dalam masyarakat
yang bersangkutan. Pada gilirannya,
nilai-nilai sosial budaya yang hidup
dan berkembang tersebut ikut
menentukan realisasi bentuk-bentuk
bahasa itu sendiri, termasuk
pemilihan kode dan kesantunan
dalam bertindak.
Dalam masyarakat
multibahasa tersedia berbagai kode,
baik berupa bahasa, dialek, variasi,
dan gaya untuk digunakan dalam
interaksi sosial. Terjadinya kode-
kode tersebut, anggota masyarakat
akan memilih kode yang tersedia
sesuai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dalam interaksi
92 | Jurnal Kredo
Vol. 1 No. 2 April 2018
sehari-hari, anggota masyarakat
secara konstan mengubah variasi
penggunaan bahasanya (Rokhman
2013). Yuniawan (2005)
menyatakan pada dasarnya
pemakaian bahasa dalam masyarakat
tidaklah monolitis, melainkan
bervariasi. Pernyataan tersebut dapat
diartikan bahwa bahasa atau bahasa-
bahasa yang dimiliki oleh satu
masyarakat tutur dalam khazanah
bahasanya selalu memiliki variasi
karena bahasa yang hidup dalam
masyarakat selalu digunakan dalam
peran-peran sosial tempat
penggunaan bahasa atau variasi
pahasa itu.
Strategi pemilihan bahasa
menunjukkan keberagaman bahasa
pada masyarakat tutur. Keberagaman
penggunaan bahasa disebabkan oleh
perbedaan penutur, kegiatan atau
interaksi sosial, dan tujuan tutur.
Setiap penutur dalam masyarakat
multibahasa melakukan pemilihan
bahasa untuk menentukan bahasa
yang akan digunakan dalam
berkomunikasi (Apriliyani dan
Rokhman 2016).
Pilihan bahasa terjadi akibat
kehadiran dwibahasawan.
Dwibahasawan dapat memunculkan
pilihan bahasa dalam bentuk alih
kode maupun campur kode. Selain
itu, pilihan bahasa juga terjadi karena
ada tujuan yang ingin dicapai oleh
penutur. Dalam penggalan tuturan di
atas, pembelajar bertanya tentang
konsep kata kerja pada pengajar
dengan menggunakan bentuk campur
kode. Kemudian, pengajar menjawab
dengan bentuk alih kode. Hal ini
digunakan untuk memberikan
pemahaman mitra tutur tentang topik
yang dibicarakan. Dengan demikian,
pilihan bahasa terjadi akibat faktor
partisipan dan tujuan tuturan (Fasold,
2013; Fishman, 2013; Widianto dan
Zulaeha, 2016).
Pilihan bahasa terletak pada
konteks situasi yang digunakan
dalam komunikasi. Situasi yang
dimaksud menyangkut dua hal yakni
latar sosial dan latar kultural. Latar
sosial berkaitan dengan prestise atau
nilai lebih pada suatu ragam bahasa
ketika digunakan dalam peristiwa
tutur oleh penutur, dan latar kultural
berkaitan dengan unggah-ungguh
dan pengetahuan penutur terhadap
budaya pada suatu masyarakattutur
(Sholihatin 2008 dan Kholidah
2017). Masyarakat tutur di Kota
Purbalingga khususnya yang
bermukim di perumahan merupakan
seorang dwibahasawan yang
sekurang-kurangnya memiliki dua
bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi. Hal ini dikarenakan
faktor kemajemukan latar belakang
masyarakat yang tinggal di
perumahan Kota Purbalingga.
Bahasa mayoritas masyarakat
Purbalingga adalah dialek Banyumas
yang terkenal dengan istilah ngapak-
ngapak. Bahkan ada kelompok
masyarakat yang sangat loyal dengan
dialek Banyumas membuat istilah
ora ngapak ora kepenak” tidak
berbicara dengan bahasa ngapak
maka tidak enak. Akan tetapi
berlakukah hal tersebut pada
masyarakat yang tinggal di
perumahan? Hal tersebut menjadi
menarik untuk diteliti.
Alamsyah, Taib, Azwardi,
dan Idham (2011) melakukan
penelitian dengan judul “Pemilihan
bahasa Indonesia sebagai Bahasa
Pertama Anak dalam Keluarga
Masyarakat Aceh Penutur Bahasa
Aceh di Nanggroe Aceh
Darussalam”. Peneliti tersebut
membahas adanya faktor-faktor yang
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT | 93
PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
menyebabkan anak penutur Aceh
untuk memilih bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama pada ranah
keluarga di Nanggroe Aceh
Darussalam. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ada beberapa
faktor yang memengaruhi pemilihan
bahasa tersebut, antara lain,
memudahkan anak mengikuti
pelajaran di sekolah, anak lebih
mudah dalam bergaul, bahasa
Indonesia digunakan oleh
masyarakat secara dominan,
memudahkan anak berkomunikasi
dengan orang lain, bahasa Indonesia
memiliki nilai „lebih‟ dibandingkan
bahasa Aceh, pengaruh lingkungan
tempat tinggal, terkesan lebih
modern, lebih trendi dan keren,
dianggap sebagai simbol kemapanan
dan kemajuan, menetralisasi
perbedaan dialek bahasa Aceh.
Penelitian yang relevan
dilakukan oleh Dweik dan Hanadi
(2015) dalam artikel jurnal
internasional berjudul Language
Choice and Language Attitudes in a
Multilingual Arab Canadian
Community: Quebec-Canada: a
Sociolinguistic Study”.
Menyimpulkan masyarakat Arab
yang tinggal di Kanada tetap
menggunakan bahasa Arab mereka
dalam ranah rumah dan dengan
anggota keluarga, di tempat ibadah
dan saat mendengarkan radio, tetapi
pada saat mereka mengunjungi
kantor pemerintahan Kanada mereka
menggunakan bahasa Perancis atau
Inggris.
Simasuki, Kasanda, dan Smit
(2015) juga telah melakukan
penelitian berjudul Can Code
Switching Enhance Learners’
Academic Achievement?”
menemukan bahwa alih kode dalam
pembelajaran dapat meningkatkan
prestasi peserta didik. Dalam ranah
pendidikan, beralihnya kode dari
bahasa ibu ke bahasa Inggris sangat
mendukung terjadinya peningkatan
prestasi didik. Hal ini diyakini bahwa
peserta didik akan terlibat aktif
dalam pembelajaran dan dapat
memahami materi pelajaran dengan
baik. Penelitian terkait juga
dilakukan Widianto dan Zulaeha
(2016) dengan judul “Pilihan Bahasa
dalam Interaksi Pembelajaran Bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing
(BIPA)”. Penelitian tersebut
merupakan kajian pilihan bahasa
yang digunakan penutur asing dalam
interaksi pembelajaran. Temuan
dalam penelitian Widianto dan
Zulaeha adalah variasi tunggal
bahasa, alih kode, dan campur kode
di ranah pendidikan perguruan
tinggi. Selanjutnya pada tahun 2016,
Apriliyani dan Rokhman melakukan
penelitian berjudul “Strategi Pilihan
Bahasa Pengusaha Industri
Banyumas”. Kajian penelitian ini
berupa strategi pilihan bahasa
pengusaha industri. Hasil temuannya
berupa wujud pilihan bahasa
pengusaha industri yang ditemukan
adalah tunggal bahasa,alih kode, dan
campur kode. Strategi pilihan bahasa
dan faktor yang memengaruhi pilihan
bahasa.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian
yang dilakukan Kholidah dan
Haryadi (2017) berjudul “Wujud
Pilihan Kode Tutur Mahasiswa Aceh
pada Ranah Pergaulan di Semarang”.
Kajian penelitian ini adalah tuturan
yang digunakan oleh mahasiswa
Aceh yang bermukim di Semarang.
Berdasasrkan tuturan mahasiswa
Aceh, diperoleh hasil penelitian
wujud pilihan kode berupa (1)
tunggal bahasa, yang meliputi bahasa
Indonesia nonformal, bahasa Jawa
94 | Jurnal Kredo
Vol. 1 No. 2 April 2018
ngoko, dan bahasa Aceh; (2) alih
kode; serta (3) campur kode.
Sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan, pilihan bahasa
diperlukan oleh masyarakat tutur di
perumahan Kota Purbalingga untuk
berkomunikasi sekalipun dalam
ranah keluarga. Pilihan kode adalah
kondisi seseorang dalam masyarakat
dwibahasa atau multibahasa yang
berbicara dua bahasa atau lebih dan
harus memilih yang mana yang harus
digunakan (Fasold, 1984).
Ada beberapa faktor yang
memengaruhi seseorang dalam
menggunakan pilihan bahasa. Faktor-
faktor tersebut antara lain (1)
partisipan (mitra tutur), terkait
dengan penguasaan bahasa atau
kecakapan, status sosial ekonomi,
usia, jenis kelamin, kedudukan,
pendidikan, latar belakang etnis,
hubungan kekerabatan, keakraban,
hubungan kekuasaan, dan sikap
terhadap bahasa; (2) situasi
komunikasi, terkait dengan jenis
kosakata, tempat, tingkat keresmian
situasi, dan kehadiran dwibahasawan
atau ekabahasawan; (3) isi
pembicaraan, terkait dengan topik;
serta (4) fungsi interaksi, terkait
dengan tujuan menaikkan status,
menciptakan jarak sosial,
mengucilkan seseorang, dan meminta
atau memohon (Ervin-Tripp, 1977;
Mutmainah, 2008).
Menurut Sumarsono (2004)
ada tiga kategori pilihan kode
Pertama, dengan memilih satu variasi
dari bahasa yang sama atau disebut
dengan tunggal bahasa (intra
language variation). Kedua, dengan
melakukan alih kode (code
switching), artinya menggunakan
satu bahasa pada satu keperluan dan
menggunakan bahasa yang lain pada
keperluan lain dalam satu peristiwa
komunikasi. Ketiga, dengan
melakukan campur kode (code
mixing) artinya menggunakan satu
bahasa tertentu dengan bercampur
serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Tiga kategori pilihan kode tersebut
sangat berpotensi muncul di dalam
tuturan masyarakat tutur di
Perumahan Kota Purbalingga. Tiga
kategori tersebut merupakan senjata
untuk selalu muncul dalam
komunikasi (Wardhaugh, 2010 dan
Rokhman, 2013).
Lebih lanjut mengenai alih
kode dan campur kode menurut ahli
sosiolinguistik, ada tiga jenis pilihan
bahasa yang biasa dikenal dalam
kajian sosiolinguistik (Sumarsono
dan Partana, 2002). Jenis pilihan
bahasa yang pertama yakni alih kode.
Kode adalah istilah netral yang dapat
mengacu pada bahasa, dialek,
sosiolek atau ragam bahasa. Jenis
pilihan bahasa yang kedua adalah
campur kode. Seperti yang
diungkapkan dalam Santoso,
Mardikantoro, & Pudjitriherwanti,
(2011) istilah kode dipakai untuk
menyebut salah satu varian di dalam
hierarki kebahasaan, sehingga selain
kode yang mengacu kepada bahasa
(seperti bahasa Inggris, Indonesia,
dsb), juga mengacu kepada variasa
bahasa, seperti varian regional
(bahasa Jawa dialek Banyumas,
Jogja-Solo, Surabaya), juga variasi
sosial atau sosiolek (bahasa Jawa
halus dan karma). Varian ragam yang
dirangkum dalam laras bahasa.
Campur kode ini serupa
dengan apa yang dahulu pernah
disebut interferensi dari bahasa yang
satu ke bahasa yang lain. Dalam
campur kode, penutur menyelipkan
unsur-unsur bahasa lain ketika
sedang memakai bahasa tertentu.
Unsur-unsur yang diambil dari
bahasa lain tersebut seringkali
berwujud kata-kata, tetapi dapat juga
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT | 95
PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
berwujud frasa atau kelompok kata.
Jika berwujud kata, biasanya gejala
itu disebut peminjaman. Jenis pilihan
bahasa ketiga adalah variasi dalam
bahasa yang sama yakni dalam satu
bahasa, penutur dapat
menggunakannya secara bervariasi.
Masalah yang diungkap
dalam penelitian ini terkait dengan
wujud pilihan bahasa dalam ranah
keluarga pada masyarakat
permumahan di Kota Purbalingga.
Tujuan dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan wujud pilihan
bahasa dalam ranah keluarga pada
masyarakat permumahan di Kota
Purbalingga.
TEORI SOSIOLINGUISTIK
Sosiolinguistik mengkaji
hubungan
antara bahasa dan masyarakat yang
mengaitkan dua bidang yang dapat
dikaji secara terpisah, yakni struktur
formal bahasa oleh linguistik dan
struktur masyarakat oleh sosiologi
(Wardhaugh 1986:4 dan Holmes
1992:1). Bahasa dalam kajian
sosiolinguistik tidak didekati sebagai
bahasa dalam kajian linguistik
teoretis, melainkan didekati sebagai
sarana interaksi dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal
tersebut, konferensi sosiolinguistik
yang pertama di University of
California, Los Angeles tahun 1964
telah merumuskan adanya tujuh
dimensi dalam penelitian
sosiolinguistik, yaitu (1) identitas
sosial penutur, (2) identitas sosial
peserta tutur, (3) lingkungan sosial,
(4) analisis sinkronik dan diakronik
dari dialek sosial, (5) penilaian sosial
yang berbeda oleh penutur akan
bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan
variasi linguistik, dan (7) penerapan
praktis penelitian sosiolinguistik
(Dittmar 1976:128).
Selanjutnya diperkuat oleh
Nababan (1986) yang
menyederhanakan ruang lingkup
studi sosiolinguistik menjadi tiga
aspek yaitu (1) mengkaji pemakaian
bahasa dalam konteks sosial dan
budaya, (2) menghubungakn faktor-
faktor kebahasaan dan ragam bahasa
dengan situasi serta faktor sosial
budaya, (3) mengkaji fungsi fungsi
sosial penggunaan bahasa dalam
masyarakat. Dari segi kehidupan
bermasyarakat, kajian sosiolinguistik
memang terkait dengan nilai-nilai
budaya masyarakat, termasuk nilai-
nilai ketika dia menggunakan bahasa.
Nilai selalu terkait dengan apa yang
baik dan apa yang tidak baik yang
diwujudkan dalam kaidah-kaidah
yang dipatuhi oleh warga
masyarakat.
KEDWIBAHASAAN
Kelompok masyarakat yang
memakai dua bahasa atau lebih
dalam melakukan komunikasi
disebut masyarakat yang
berdwibahasa atau multilingual.
Menurut Tarigan (1989:2)
kedwibahasaan dipandang sebagai
perihal pemakaian dua bahasa
(seperti bahasa daerah di samping
bahasa nasional). Untuk dapat
menggunakan dua bahasa itu,
seseorang harus benar-benar
menguasai (1) bahasa ibu sebagai
bahasa pertama, dan (2) bahasa lain
sebagai bahasa kedua.
Haugen (dalam Suwito
1991:49) mengemukakan bahwa
kedwibahasaan adalah tahu dua
bahasa, yaitu seorang dwibahasawan
tidak harus menguasai secara aktif
dua bahasa, tetapi cukup apabila
hanya mengetahui secara pasif dua
96 | Jurnal Kredo
Vol. 1 No. 2 April 2018
bahasa itu. Pilihan pemakaian bahasa
pada masyarakat dwibahasa atau
multibahasa memiliki beberapa
kecenderungan, antara lain adanya
saling mempengaruhi antarbahasa
dan adanya gejala-gejala bahasa yang
disebut alih kode akibat dari pilihan
pemakaian bahasa tersebut
(Poedjosoedarmo 1978:28).
Pengertian kedwibahasaan
selalu berkembang mulai dari
pengertian yang ketat sampai kepada
pengertian yang longgar. Bloomfiel
dalam bukunya Language (1933)
memberikan batasan kedwibahasaan
sebagai gejala penguasaan bahasa
seperti penutur sejati (native
speaker). Batasan ini
mengimplikasikan pengertian bahwa
seorang dwibahasawan adalah orang
yang menguasai dua bahasa dengan
sama baiknya (Rokhman 2014:19).
Berkaitan dengan pengertian
yang longgar, Macnmara (dalam
Rokhman 2014: 20) mengemukakan
kedwibahasaan itu mengacu kepada
pemilikan sekurang-kurangnya B1
dan B2, meskipun kemampuan
dalam B2 hanya sampai batas
minimal. Hal tersebut menguatkan
pendapat Haugen yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa
seorang dwibahasawan tidak perlu
menguasai B2 secara aktif produktif
sebagaimana dituntut oleh
Bloomfield, melainkan cukup apabila
ia memiliki kemampuan reseptif B2.
PILIHAN BAHASA
Dalam masyarakat
multibahasa tersedia berbagai kode,
baik berupa bahasa, dialek, variasi,
dan gaya untuk digunakan dalam
interaksi sosial. Dengan terjadinya
kode-kode tersebut, anggota
masyarakat akan memilih kode yang
tersedia sesuai dengan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Dalam
interaksi sehari-hari, anggota
masyarakat secara konstan
mengubah variasi penggunaan
bahasanya (Rokhman 2013:26).
Berbicara mengenai pilihan
bahasa, hal yang pertama muncul
adalah seluruh bahasa yang
berkembang dalam masyarakat atau
bahkan bahasa yang dikuasai oleh
seorang individu. Pilihan bahasa
merupakan sesuatu yang dapat
dipandang sebagai masalah yang
dihadapi masyarakat yang tinggal
diantara interaksi dua bahasa atau
lebih. Pilihan bahasa sendiri dapat
diartikan sebagai kecenderungan
pemakaian satu bahasa di antara
beberapa bahasa yang berkembang di
suatu masyarakat bahasa.
ALIH KODE
Kondisi kedwibahasaan
(bilingualisme) atau
keanekabahasaan (multilingualisme)
pada masyarakat yang memiliki dua
bahasa atau lebih akan
memungkinkan mereka untuk
menggunakan dua bahasa atau lebih
itu secara langsung dalam bertutur.
Dengan kata lain, seorang penutur
dalam bertutur akan beralih dari satu
bahasa ke bahasa lain atau dari satu
ragam ke ragam lain. Peristiwa
peralihan itulah yang disebut alih
kode. Suwito dalam (Chaer
2004:72-74) menjelaskan bahwa alih
kode merupakan peristiwa
kebahasaan yang disebabkan oleh
faktor-faktor luar bahasa, yaitu
penutur, lawan tutur, hadirnya orang
ketiga dalam tuturan, keinginan
membangkitkan rasa humor, dan
sekedar bergengsi. Hal tersebut
sesuai dengan Poedjosoedarmo
(1978) yang berpendapat bahwa ada
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT | 97
PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
beberapa komponen yang terlibat
dalam peristiwa alih kode.
Komponen-komponen itu adalah (1)
bahasa sebagai komponen utama, (2)
variasi bahasa, (3) ragam, (4) dialek,
(5) register, (6) tema atau pokok
pembicaraan.
Selain itu, alih kode juga
memiliki ciri-ciri (1) alih kode
merupakan penggunaan dua bahasa
atau dua variasi secara bergantian,
yang masing-masing bahasa atau
variasinya itu menunjukkan
fungsinya masing-masing, (2) alih
kode ditandai dua hal, yaitu masing-
masing bhasa masih mendukung
fungsi tersendiri sesuai dengan
konteksnya, (3) alih kode terjadi
pada masyarakat dwilingual yang
mengenal variasi bahasanya, dan (4)
alih kode terjadi pada seorang
penutur dwibahasawan.
CAMPUR KODE
Aspek lain dari saling
ketergantungan bahasa pada
multilingual adalah terjadinya
peristiwa campur kode. Nababan
(1993:63) menyatakan bahwa
campur kode adalah suatu keadaan
dimana seseorang mencampur dua
bahasa atau lebih bahasa atau ragam
bahasa dalam suatu tindak bahasa
(speech act) tanpa ada sesuatu di
dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut percampuran bahasa dan
dalam keadaan ini yang ada adalah
kesantaian penutur atau kebiasaan
yang dituruti.
Campur kode terjadi apabila
dalam suatu peristiwa tutur, klausa-
klausa maupun frase-frase yang
digunakan terdiri atas klausa/frase
campuran dan masing-masing tidak
lagi mendukung fungsi sendiri-
sendiri. Misalnya, seorang penutur
berbahasa Indonesia menyelipkan
serpihan bahsa daerahnya ke dalam
bahasa Indonesia yang digunakan.
Campur kode disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu identifikasi
peranan adalah registal dan
edukasional. Identifikasi ragam
ditentukan oleh bahasa2 dimana
penutur melakukan campur kode
yang menempatkan dia di dalam
hierarki status sosialnya, sedangkan
keinginan menjelaskan dan
menafsirkan tampaknya karena
campur kode juga menandai sikap
hubungannya terhadap orang lain dan
sikap serta orang lain terhadapnya
(Suwito 1983:77).
METODE PENELITIAN
Terdapat dua pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu
pendekatan teoretis dan pendekatan
metodologis. Pendekatan teoretis
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan sosiolinguistik.
Artinya, data dianalisis dengan
kajian ilmu sosiolinguistik. Hal ini
bertujuan untuk mendeskripsikan
data melalui paradigma ilmu
sosiolinguistik.
Ada beberapa teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam
penelitian ini. Teknik tersebut
disesuaikan dengan metode
penelitian yang digunakan. Dalam
metode simak, terdapat dua jenis
dalam teknik simak, yaitu teknik
dasar dan teknik lanjutan. Teknik
dasar berupa teknik
sadap/penyadapan, yaitu peneliti
menyadap penggunaan bahasa
seseorang. Adapun teknik lanjutan
dalam teknik simak ialah simak
bebas libat cakap (SBLC), rekam,
catat, dan wawancara.
Data yang telah didapat diuji
keabsahannya menggunakan teknik
triangulasi. Kemudian, data tersebut
98 | Jurnal Kredo
Vol. 1 No. 2 April 2018
dianalisis menggunakan teknik pilah
unsur penentu (PUP). Teknik
tersebut merupakan teknik dasar dari
metode padan. Adapun teknik
lanjutan yang digunakan adalah
teknik hubung banding menyamakan
(HBS) dan teknik hubung banding
memperbedakan (HBB). Setelah data
dianalisis, data disajikan secara
informal. Penyajian data secara
informal dapat dilakukan dengan
cara menggunakan kata-kata biasa.
Penyajian tersebut berbentuk
deskriptif dan menggunakan
terminologi yang bersifat teknis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wujud Pilihan Bahasa dalam
Ranah Keluarga pada Masyarakat
Perumahan di Kota Purbalingga
Kode tutur yang dipilih oleh
masyarakat di perumahan Kota
Purbalingga memunculkan
penggunaan bahasa yang menarik.
Hal ini terjadi karena mereka adalah
dwibahasawan, bahkan
multibahasawan. Keadaan tersebut
merupakan salah satu penyebab
munculnya pilihan kode tutur dalam
tuturan masyarakat perumahan di
Kota Purbalingga. Adapun wujud
pilihan kode yang muncul dalam
tuturan masyarakat perumahan di
Kota Purbalingga pada ranah
keluarga adalah tunggal bahasa, alih
kode, dan campur kode.
Tunggal Bahasa
Tunggal bahasa yang muncul
pada tuturan masyarakat perumahan
di Kota Purbalingga adalah bahasa
Indonesia ragam nonformal dan
bahasa Jawa ngoko. Tunggal bahasa
Indonesia ragam nonformal
digunakan oleh keluarga pegawai
baik guru non PNS, PNS, pegawai
puskesmas, karyawan swasta, dan
pegawai Bank dengan rata-rata usia
14 38 tahun. Sedangkan tunggal
bahasa Jawa ngoko digunakan oleh
keluarga pedagang dengan rata-rata
usia di atas 40 tahun. Berikut ini
diuraikan mengenai wujud pilihan
kode berupa tunggal bahasa.
a) Bahasa Indonesia Ragam
Nonformal
Bahasa Indonesia ragam
nonformal merupakan variasi bahasa
yang digunakan dalam situasi tidak
resmi. Dalam penelitian ini bahasa
Indonesia ragam nonformal
digunakan dalam situasi santai antar
anggota keluarga. Ciri yang tampak
adalah dengan dipilihnya diksi
bahasa Indonesia yang tidak baku
pada tuturan masyarakat perumahan
di Kota Purbalingga. Selain karena
situasi yang santai, hubungan atau
tingkat keakraban antarpeserta tutur
juga memicu alasan penggunaan
bahasa Indonesia ragam nonformal
pada ranah keluarga.
(1) Konteks : Percakapan antara
adik (P1) dan kakak (P2) tentang
ekstrakurikuler panahan yang
diikuti oleh kakak (keluarga
guru).
P1: Mas udah ekstra?
„Mas sudah ekstra?‟
P2 : Mulai minggu depan kayaknya,
Gar
„mulai minggu depan sepertinya,
Gar‟
P1 : mamas dianter papa apa mama?
„mamas diantar papa atau mama?
P2 : emang kenapa Gar, nanya gitu ?
„memangnya kenapa Gar, bertanya
seperti itu?
P1 : Tegar ikut ya mas
„tegar ikut ya mas‟
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT | 99
PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
Peristiwa tutur (1) terjadi di
rumah perumahan Griya Perwira
Asri. Peristiwa tutur tersebut terjadi
antara adik (P1) sebagai penutur dan
kakak (P2) sebagai mitra tutur
tentang ekstra panahan. Penggalan
tuturan tersebut terdapat adanya
tunggal bahasa berupa bahasa
Indonesia ragam tidak
baku/nonformal. Bahasa Indonesia
ragam nonformal tersebut dapat
diidentifikasi melalui wujud
kata/frasa yang dipilih atau
digunakan oleh P1 dan P2 dalam
berkomunikasi. Pilihan tunggal
bahasa tersebut dapat dilihat dari
penggalan tuturan yang diucapkan
oleh P1, ‘mas udah ekstra?’, mamas
dianter papa apa mama?’ Terdapat
kata ‘udah‟, dianter’, dan ‘apa’
dalam penggalan tuturan tersebut.
Kata tersebut merupakan bentuk
bahasa ragam nonformal dari kata
‘sudah’, ‘diantar’, dan ‘atau’. Selain
itu, P2 juga menggunakan bahasa
Indonesia ragam nonformal dalam
tuturan berikut ‘mulai minggu depan
kayaknya Gar’ dan ‘emang kenapa
Gar nanya gitu’. Apabila dalam
bentuk bahasa Indonesia ragam
formal adalah kayaknya’ menjadi
‘sepertinya’. Tunggal kode
berbentuk frasa yang dilakukan oleh
P2 ‘emang kenapa Gar nanya gitu’
menjadi ‘memangnya kenapa Gar
bertanya seperti itu?’. Penggalan
tuturan tersebut menunjukan bukti
adanya tunggal bahasa berupa bahasa
Indonesia ragam nonformal dalam
tuturan masyarakat perumahan dalam
ranah keluarga di Kota Purbalingga.
(2) Konteks : Percakapan antara Ibu
(P1) dan anak (P2) sedang
mengerjakan kemandirian anak
untuk mencuci sepatu sendiri.
(keluarga guru)
P1 : Mas Danu, sepatunya cuci dulu
mumpung Mingguan, Mamah
nggak mau nyuciin, ya!
„Mas Danu, sepatunya dicuci
dulu mumpung hari minggu,
Mama tidak mau mencucikan,
ya!‟
P2 : iya, Mah, ntar abis Psan
„Iya, Mah, sebentar setelah
bermain PS‟.
P1 : Mas Danu, cuci sekarang!
„mas Danu, cuci sekarang!‟
P2 : mamah jangan galak-galak Mah
„mama jangan galak-galak Ma‟
P1 : kalau mamah nggak galak kamu
nggak ndengerin sih.
„kalau mamah tidak galak
kamu tidak mendengarkan sih’
Peristiwa tutur (2) terjadi di ranah
rumah di perumahan Grand Safira.
Percakapan tersebut terjadi antara
Ibu (P1) sebagai penutur yang telah
terbiasa menggunakan bahasa
Indonesia saat mengajar dan anak
(P2) sebagai mitra tutur. Keluarga ini
terbiasa menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa sehari-hari
karena lebih mudah digunakan dalam
berkomunikasi walau aksen bahasa
Jawa masih terasa.
Penggunaan bahasa Indonesia
ragam nonformal terlihat pada
tuturan P1 yakni Mas Danu,
sepatunya cuci dulu mumpung
Mingguan, Mamah nggak mau
nyuciin, ya!. Terdapat kata ‘nggak’
dan ‘nyuciin’ dalam penggalan
tuturan tersebut. Kata tersebut
merupakan bentuk bahasa Indonesia
ragam nonformal dari kata tidak’
dan frasa mencucikan’. Penggunaan
bahasa Indonesia ragam nonformal
pada tuturan P2 yakni iya, Mah, ntar
abis Psan’. Terdapat kalimat ntar
abis Psan’ yang seharusnya
sebentar, setelah bermain PS.’
100 | Jurnal Kredo
Vol. 1 No. 2 April 2018
b) Bahasa Jawa Ragam Ngoko
Bahasa Jawa ngoko
digunakan pada suasana santai dan
dalam hubungan yang sudah akrab
antara penutur dan mitra tutur dalam
bertutur. Tunggal bahasa dalam
bentuk bahasa Jawa ngoko juga
ditemukan dalam tuturan masyarakat
di perumahan Kota Purbalingga pada
ranah keluarga. Penggalan tuturan
yang merepresentasikan tunggal
bahasa dalam bentuk bahasa Jawa
ngoko dapat dilihat pada percakapan
berikut.
(3) Konteks : percakapan suami (P1)
dan istri (P2) yang akan
memasak nasi goreng.
P1 : Yang, gawe sega goreng yuh!
sayang, buat nasi goreng yuh‟
P2 : nganahlah, mamas bae, aku
emoh, males
„sana, mamas saja, aku tidak
mau, malas.
P1 : yawis tek gawe mengko dicicipi,
ya!
„ya sudah saya buat, nanti
dicicipi, ya‟
(4) Konteks : percakapan Ibu (P1)
dengan anaknya (P2)
membahas mengenai jodoh
P1 : kenangapa njaprut, Mba?
„kenapa cemberut, mba‟
P2 : bu, unggal dina ketemu wong
ditakoni kapan ale arep mbojo,
nyong isin, Bu, priwe kie?
„bu, setiap hari bertemu orang
ditanyai kapan akan menikah,
saya malu, Bu, bagaimana ini?
Peristiwa tutur (3) dan (4)
merupakan tuturan yang terjadi di
ranah keluarga yaitu keluarga
pegawai swasta dan keluarga
pedagang di perumahan Grand
Safira. Pada peristiwa tutur tersebut,
sama-sama menggunakan bahasa
Jawa ngoko. Hal ini dikarenakan P1
dan P2 sama-sama menguasai bahasa
Jawa ngoko dengan baik karena
merupakan bahasa Ibu atau bahasa
pertama masing-masing partisipan.
P1 dan P2 menggunakan bahasa
Jawa ngoko karena adanya
kekurangan penguasaan kosakata
bahasa Jawa krama pada peristiwa
tutur yang memerlukan adanya
bentuk tuturan yang bertingkat. Di
samping itu, karena faktor kebiasaan
atau budaya dari keluarga tersebut
sedari kecil menggunakan bahasa
Jawa ngoko.
Alih Kode
Alih kode merupakan
peralihan dari bahasa yang satu ke
bahasa lain. Alih kode muncul dalam
tuturan masyarakat perumahan dalam
ranah keluarga di Kota Purbalingga
.Hal ini, muncul akibat adanya
partisipan dwibahasa atau
multibahasa.Wujud pemilihan bahasa
berupa alih kode yang muncul dalam
tuturan masyarakat perumahan dalam
ranah keluarga di Kota Purbalingga
berupa (1) alih kode dari bahasa
Jawa krama ke bahasa Jawa ngoko,
(2) alih kode dari Jawa ke bahasa
Indonesia, (3) bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa, dan (4) bahasa
Indonesia ke bahasa Asing. Wujud
pilihan bahasa berupa alih kode
dapat dilihat pada penggalan tuturan
berikut.
(5) Konteks : Percakapan ayah (P1)
dengan anaknya (P2) yang
disuruh mengambil gunting
tetapi tidak tahu disimpan oleh
ibunya.
P1 : Len, pendetaken gunting
„Len, ambilkan gunting‟
P2 : teng pundi, Pak?
„di mana, Pak?
P1 : takok Ibu jajal
„tanya ibu coba‟
P2 : Ibu ga reti, Pak
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT | 101
PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
„ibu tidak tahu, pak‟
Peristiwa tutur (5) terjadi di
perumahan Pepabri. Percakapn
tersebut terjadi antara Ayah (P1)
dengan anak (P2). Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Jawa krama
dan bahasa ngoko dialek
Temanggung. Penggalan peristiwa
tutur tersebut, terdapat alih kode
internal dari bahasa Jawa krama ke
dalam bahasa Jawa ngoko. Hal ini
terlihat pada tuturan yang dilakukan
oleh P1, yakni Len, pendetaken
gunting’. P2 menjawab tuturan
tersebut menggunakan bahasa bahasa
Jawa krama teng pundi, Pak?’.
Pada saat P1 beralih menggunakan
bahasa Jawa ngoko, P2 juga
melakukan peralihan bahasa Jawa
ngoko Ibu ga reti, Pak’. Alih kode
ini dilakukan oleh P1 agar tuturan
selanjutnya menggunakan bahasa
Jawa ngoko. Hal ini dikarenakan
penguasaan kosakata bahasa Jawa
krama yang kurang pada masing-
masing penutur dan karena faktor
situasi yang santai sehingga lebih
nyaman menggunakan bahasa Jawa
ragam ngoko sesuai daerah asal
mereka; Temanggung.
(6) Konteks : perckapan istri (P1)
dengan suami (P2) berkaitan
dengan kantor baru.
P1 : piye, betah Mas, nek kantor
anyar?
„bagaimana nyaman Mas? di
kantor baru?‟
P2 : sejauh ini cocok, Mah.
„sejauh ini cocok,Mah‟
P1 :Mudah mudahan lancar
semuanya ya Mas.
„mudah-mudahan lancar
semuanya ya mas‟
P2 : iya gak usah pindah lagi
„iya tidak perlu pindah lagi‟
Peristiwa tutur (6) terjadi di
perumahan Grand Safira. Percakapn
tersebut terjadi antara istri (P1)
dengan suami (P2) yang baru pindah
kantor. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa Jawa ngoko dialek
Semarang dan bahasa Indonesia.
Penggalan peristiwa tutur tersebut,
terdapat alih kode dari bahasa Jawa
Ngoko ke dalam bahasa Indonesia.
Hal ini terlihat pada tuturan yang
dilakukan oleh P1, yakni „piye, betah
Mas, nek kantor anyar?‟. P2
menjawab tuturan tersebut
menggunakan bahasa Indonesia
dalam tuturannya. Alih kode ini
dilakukan oleh P2 agar tuturan
selanjutnya menggunakan bahasa
Indonesia. Hal ini dikarenakan
penguasaan kosakata bahasa Jawa P2
yang kurang. Dalam hal ini, P2
memilih bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi dengan P1.
(7) Konteks : percakapan Ibu (P1)
dan anak (P2) Ibu menyuruh
anak untuk segera mandi
karena sudah sore.
P1 : Mas, mandi Mas!
„mas, ayo mandi mas‟
P2 : ya Bu, nanti
„iya Ibu, nanti‟
P1 : udah sore, Mas
„sudah sore, Mas‟
P2 : iya Ibu, bentar lagi
„iya Ibu, sebentar lagi‟
P1 : Mas, Ibu dah keluar
tanduknya ini
„mas Ibu sudah keluar
tanduknya ini‟
P2 : lima menit lagi Bu
„lima menit lagi ya Bu‟
P1 : Mas udah keluar taringnya
ini
„Mas, sudah keluar
taringnya ini‟
P2 : Nggih, Bu sekedap malih
„Iya, Bu sebentar lagi‟
P1 : nak, nggih, yo ndang to!
„kalau iya ya cepat-cepat
mas‟
102 | Jurnal Kredo
Vol. 1 No. 2 April 2018
Peristiwa tutur (7) terjadi di
perumahan Grand Safira. Terjadi
antara Ibu (P1) dan anak (P2) yang
disuruh mandi karena sudah sore.
Bahasa yang digunakan adalah
bahasa Indonesia ragam tidak baku
dan bahasa Jawa. P2 beralih
menggunakan bahasa Jawa ‘nggih,
Bu sekedap malih’ sebenarnya adalah
untuk membujuk Ibunya agar
dibolehkan untuk menunda waktu
mandi. P2 membalas menggunakan
bahasa Jawa ‘nak, nggih, yo ndang
to, Mas’ untuk menyindir anaknya
supaya lekas mandi setelah memberi
penrnyataan „iya/nggih‟.
(8) Konteks : percakapan suami (P1)
dan istri (P2) yang pulang
karena dompetnya ketinggalan
P1 : Mama, dompetku di mana
Ayah lupa
„Mama dompetku di mana
Ayah lupa‟
P2 : di atas kulkas, Yah
„di atas kulkas, Ayah‟
P1 : berangkat lagi ya Ma
„berangkat lagi ya, Ma‟
P2 : entar pulang malem lagi?
„nanti pulang malam lagi?‟
P1 : iya. Assalamuallaikum
„iya. Assalamuallaikum‟
P2 : wa’allaikumsalam
„wa‟allaikumsalam‟
Peristiwa tutur (8) terjadi
antara suami dan istri di perumahan
Grand Safira. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Indonesia
dan bahasa Arab. Pengalihan bahasa
Arab dalam konteks ini karena
sebagai muslim memiliki kewajiban
memberikan salam. Sehingga tuturan
‘Assalamuallaikum’ dan
‘Wa’allaikumsalam’ merupakan
tuturan yang dilakukan oleh P1
sebagai suami terhadap istri sebagai
P2 sebelum berangkat kerja.
Campur Kode
Campur kode merupakan
penyisipan kode dalam kode lain.
Campur kode muncul dalam tuturan
masyarakat yang tinggal di
perumahan saat berkomunikasi
dengan anggota keluarga. Hal itu
merupakam salah satu gejala adanya
penutur dwibahasawan. Campur
kode yang muncul adalah
percampuran antara bahasa Indonesia
dengan bahasa daerah maupun
bahasa Asing. Selain itu, campur
kode juga terdapat penyisipan pada
tataran kata, frasa, baster, perulangan
kata, dan klausa yang muncul dalam
tuturan tersebut. Berikut penggalan
tuturan masyarakat perumahan yang
mengandung campur kode.
(9) Konteks : percakapan kakak
(P2) dan adik (P1) mengenai
aplikasi edit foto terbaru
P1 : mba udah instal aplikasi
BBM baru?
„mba sudah instal aplikasi
BBM baru?
P2 : belum, emang kenapa?
„belum, memangnya kenapa‟
P1 : kamu harus instal mba. You
can make pict sendiri!
„kamu harus instal mba. Kamu
bisa membuat foto sendiri!‟
P2 : oh yang kayak punya Rere
kemarin itu? Entar deh coba
„oh yang seperti punya Rere
kemarin? Nanti dicoba.
Peristiwa tutur (9) terjadi di
perumahan Griya Perwira Asri.
Bahasa yang digunakan adalah
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Pada tuturan antara kakak adik
yang membicarakan aplikasi terbaru
BBM merupakan campur kode
tataran kata dan frasa. Utamanya
pada tuturan P1 kamu harus instal
mba. You can make pict sendiri!
yang apabila dalam bahasa Indonesia
bermakna „kamu bisa membuat
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT | 103
PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
gambar sendiri‟. Bahasa Inggris
dipilih oleh P1 karena dianggap
paling tepat dapat mewakili perasaan
bahagia dengan aplikasi baru BBM.
Campur kode dituturkan
untuk menjelaskan kepada penutur.
Campur kode lazim digunakan dalam
komunikasi sehari-hari. Kemunculan
campur kode didukung oleh beberapa
faktor, seperti situasi, maksud
tuturan, dan topik yang sedang
dibicarakan. Penggalan tuturan yang
mengandung campur kode seperti
percakapan berikut.
(10) Konteks : percakapan Istri (P1)
dan Suami (P2) mengenai
rencana ke Rumah Sakit
membesuk saudara.
P1 : nanti siang jadi nengok Bu
Siti,
Bapak, ndak usah ikut
„nanti siang jadi membesuk
Bu Siti, Bapak tidak usah
ikut‟
P2 : iya udah Bu, malahane
„Iya sudah Bu, kebetulan‟
Peristiwa tutur (10) terjadi di
perumahan Pepabri, antara istri (P1)
dan suami (P2). Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa. Pada tuturan
pertama P1 menyisipkan kode bahasa
Jawa ndak’ yang dalam bahasa
Indonesia maknanya „tidak‟. Begitu
juga P2 yang menyisipkan kode
bahasa Jawa ‘malahane’ yang
bermakna „kebetulan‟. Campur kode
yang dilakukan oleh penutur pertama
dan kedua termasuk campur kode
dalam tataran kata.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan
pada penelitian ini, wujud pilihan
bahasa dalam ranah keluarga pada
masyarakat perumahan di Kota
Purbalingga berupa tunggal Bahasa,
meliputi bahasa Indonesia ragam
nonformal dan bahasa Jawa ngoko;
alih kode; serta campur kode.
Masyarakat tutur di perumahan
cenderung menuturkan tunggal kode
dan alih kode internal dari bahasa
Jawa ngoko ke bahasa Jawa krama
hal itu disebabkan oleh penggunaan
bahasa dari penutur yang lebih muda
kepada penutur yang lebih tua
dengan hubungan anak dan orangtua.
Dengan demikian masyarakat di
Perumahan lebih dominan
melakukan alih kode dari bahasa
Jawa ngoko ke bahasa Jawa krama
dengan alasan adanya partisipan
yang lebih tua sehingga ingin
menunjukan sikap hormat dan sopan.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Teuku. Taib, R., Azwardi,. & Idham, Muhammad. 2011. Pemilihan
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pertama Anak dalam Keluarga
Masyarakat Aceh Penutur Bahasa Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam.
Jurnal Pendidikan Bahasa Melayu. 1(2): 31-44.
Apriliyani, Nurul dan Fathur Rokhman. 2016. Strategi Pilihan Bahasa Pengusaha
Industri di Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas. Seloka: Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 5(2): 184-191.
104 | Jurnal Kredo
Vol. 1 No. 2 April 2018
Darwati dan B. Wahyudi Djoko Santoso. 2017. Pilihan Kode pada Wacana
Konsultasi Siswa kepada Guru di SMK Ma‟arif 4 Kebumen. Seloka: Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 5(2): 184-191.
Kholidah, Umi dan Haryadi. 2017. Wujud Pilihan Kode Tutur Mahasiswa Aceh
pada Ranah Pergaulan di Semarang. Jurnal SELOKA. 6(2): 208-217.
Mardikantoro, Hari Bakti. 2007. Pergeseran Bahasa Jawa dalam Ranah Keluarga
pada Masyarakat Multibahasa di Wilayah Kabupaten Brebes. Jurnal
Humaniora Volume 19 NO.1 Februari halaman 43-51.
Mardikantoro, Hari Bakti. 2012. Pilihan Bahasa Masyarakat Samin dalam Ranah
Keluarga. Jurnal Humaniora. 24(3): 345-357.
Poedjoseodarmo, Soepomo. 1978. “Kode dan Alih Kode” dalam Jurnal
Widyaparwa No. 22 Tahun 1982. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa,
halaman 143.
Santoso, B. W.J., Mardikantoro, H.B., & Pudjitriherwanti, A. 2011. Artikel
Penelitian, 1-20. http://journal.unnes.ac.id
Santoso, Wahyudi, Joko. 2013. Kode dan Kesantunan dalam Rapat Dinas
Berspektif Gender dan Jabatan. http://journal.unnes.ac.id/
Simasuki, L., Kasanda, C., & Smit, T. 2015. Can Code Switching Enhance
Learners‟ Academic Achievement?. Internasional Journal of English
Language Teaching. 8(2).
Widianto, Eko & Ida Zuleha. 2016. Pilihan Bahasa dalam Interaksi Pembelajaran
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia. 5(2): 124-135.
Yuniawan, Tommi. 2005. Campur Kode pada Masyarakat Etnik Jawa-Sunda:
Kaman Sosiolinguistik dalam Ranah Pemerintahan di Kabupaten Brebes.
Jurnal HUMANIORA. 17(1): 89-99.
Dittmar, Norbert. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problem.
London: Bastford.
Nababan. 1993. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Rokhman, Fathur. 2013. Sosiolinguistik (Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa
dalam Masyarakat Multikultural). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
WUJUD PILIHAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA PADA MASYARAKAT | 105
PERUMAHAN DI KOTA PURBALINGGA
Pramika Wardhani1, Mimi Mulyani2, Fathur Rokhman3
Sumarsono & Partana. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Sabda Pustaka Pelajar.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik, Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford:
BasilBlackwell.
Sholihatin, Anis. 2008. Pemilihan Kode pada Masyarakat Keturunan Arab di
Noyontaan, Kota Pekalongan: Kajian Sosiolinguistik. Tesis: Universitas
Diponegoro.
Rokhman, Fathur. 2003. “Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat
... Banyaknya isu politik yang menyebar di Indonesia menimbulkan sebuah penjelasan bahwa politik merupakan sebuah permainan yang membutuhkan bahasa sebagai sarana komunikasi. Dengan kata lain, terdapat pilihan bahasa tertentu pada konteks dan situasi yang digunakan dalam melakukan sebuah komunikasi (Wardhani, dkk, 2018). ...
... Situasi yang dimaksud menyangkut dua hal yakni latar sosial dan latar kultural (Menurut Sholihatin (2008) dan Kholidah (2017) dikutip dari Wardhani, dkk, 2018). Yang dimaksud latar sosial disini ialah hal-hal yang mengarah pada sebuah nilai pada suatu ragam bahasa ketika digunakan dalam peristiwa tutur. ...
Article
Full-text available
Artikel ini membahas penggunaan permainan bahasa (language games) sebagai sarana berkomunikasi untuk mengungkap suatu makna melalui permainan bahasa yang digunakan dalam kasus bahasa politik. Tujuan dari artikel ini adalah untuk untuk membuka wawasan masyarakat serta membangun sikap kritis untuk mengerti maksud dari makna bahasa melewati pemahaman nilai-nilai yang terkadung dalam ujaran tersebut, terutama bahasa politik. Sehingga, masyarakat memiliki pemahaman yang baik dalam dapat memilih pemimpin yang sesuai untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Landasan teori yang digunakan dalam penulisan artikel ini menggunakan pemikiran dari filsuf Ludwig Wittgenstein II mengenai permainan bahasa (language game) dengan penambahan pemahaman melalui perspektif filsuf John Langshaw Austin. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam artikel ini menggunakan metode kualitatif serta studi kasus, penulis menggunakan dua data pidato Bapak Jokowi dalam konteks yang bersamaan, pidato pemilihan presiden dimana beliau sedang mendeklarasikan pasangan wakil presidennya kepada masyarakat pada bulan Agustus 2018, yang diambil melalui sumber situs Youtube (internet). Kemudian, penulis menggunakan metode transkripsi ortografis dalam pengolahan data dan menganalisisnya. Setelah proses analis selesai dapat disimpulkan bahwa permainan bahasa digunakan dalam penyampaian pidato Jokowi yang bertujuan untuk meyakinkan dan memperoleh kepercayaan masyarakat melalui penggunaan bahasa performatif, analogi, metafora, dan pembentukan identitas seseorang yang dalam hal ini adalah Ma’aruf Amin sebagai calon wakil presiden.
... Different communities choose and use languages or codes according to contextual strategies. Fasold (1984), as cited in Wardhani, Mulyani, and Rokhman (2018), explains that the phenomenon of code choice is a situation in which speakers must choose a language to communicate with their interlocutors for specific purposes, intentions, or reasons. Sumarsono and Partana (2004) distinguish three categories of language choice: the first is single language choice (intra-language variation), where speakers use only one variation of the same language. ...
Article
Full-text available
This study is a qualitative descriptive research that employs a sociolinguistic approach. This research aims to describe the code-switching patterns employed by English language teachers in social interactions at SMK Negeri 1 Pringapus. This school is located in Semarang regency, Central Java, Indonesia, which is part of the Javanese-speaking community. The data for this study consists of oral utterances made by English language teachers at SMK N 1 Pringapus and their interlocutors during the process of code-choice, including single language use, code-switching, and code-mixing. The researcher employed various methods and techniques for data collection: 1) observation method using basic techniques such as tapping and advanced techniques including recording and note-taking; 2) interview method using in-depth interview techniques; 3) document method with documentation study techniques. Data analysis was conducted through the equivalent method. Data validity was ensured through triangulation techniques, including source triangulation, method triangulation, and expert judgment. The social interactions carried out by the English language teachers of SMK N 1 Pringapus involve the usage of code choice, including single-language variations, code-switching, and code-mixing. The patterns of code-choice are examined based on domains (work and friendship), situations (formal and informal), the age of the interlocutor (younger, same age, and older), and the interlocutor’s position (lower, equal, and higher). Additionally, the roles and functions of the emerging languages used are also identified.
Article
The Language Choice of A Multilingual Community in Sampit City. This study aims to describe the form of language choice of multiethnic communities in Sampit City in the realm of family, friendship, religion, education, and employment, and the factors that influence the language choice of multiethnic communities in Sampit City. This study used qualitative approach with field research. The method that was used in this study was descriptive method. Based on the results of the study, it can be concluded that there are various languages that coexist in a multilingual community in Sampit, namely Indonesian, Dayak, Banjar, Javanese, Maduranese, Bima, Batak, and Serawai. The dominant language used besides Indonesian is Banjar, because it is considered to have the highest prestige, so it is often chosen in communication. Multilingual people in Sampit are able to use language for the purpose of communication or polyglossia, and are able to distinguish between high and low varieties or diglossia. The choice of language made by the multilingual community in Sampit is influenced by the factors of people (participants), topics and situations.Keywords: language choice, speech community, multilingual.AbstrakPilihan Bahasa Masyarakat Multilingual di Kota Sampit. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud pilihan bahasa masyarakat multilingual di Kota Sampit pada ranah keluarga, kekariban, agama, pendidikan, dan lapangan kerja, dan faktor yang memengaruhi pilihan bahasa masyarakat multilingual di Kota Sampit. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian lapangan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai bahasa yang hidup berdampingan di tengah masyarakat multilingual di Kota Sampit, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Dayak, bahasa Banjar, bahasa Jawa, bahasa madura, bahasa Bima, bahasa Batak, dan Serawai. Bahasa yang dominan digunakan selain bahasa Indonesia adalah bahasa Banjar, karena dianggap memiliki prestise tertinggi, sehingga sering dipilih dalam komunikasi. Masyarakat multilingual di Kota Sampit mampu menggunakan bahasa dengan tujuan komunikasi atau poliglosia, dan mampu membedakan ragam tinggi dan ragam rendah atau diglosia. Pilihan bahasa yang dilakukan oleh masyarakat multilingual di Kota Sampit dipengaruhi oleh faktor orang (partisipan), topik dan situasi.Kata-kata kunci: pilihan bahasa, masyarakat tutur, multilingual
Article
Full-text available
Kesantunan dalam ranah keluarga perkawinan antar bangsa sangat penting untuk dikaji agar terjalin komunikasi harmonis tanpa terjadi kesalahpahaman. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kesantunan yang digunakan ranah keluarga perkawinan antar bangsa Jepang dengan Bali. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode observasi dengan teknik pengumpulan data menyimak, mencatat, merekam dan mewawancarai keluarga perkawinan campur secara natural. Untuk meningkatkan validitas data, maka teknik triangulasi data yang sesuai dengan pola pikir secara fenomenologi yang bersifat multiperspektif digunakan Analisis data induktif kualitatif menggunakan analisis domain untuk membedakan jenis data sebenarnya dilanjutkan dengan analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema budaya. Teknik penyajian hasil analisis data menggunakan teknik analisis secara informal menggunakan kata-kata biasa. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada kesantunan yang digunakan pada ranah keluarga perkawinan campur Jepang dan Bali. Meskipun memiliki budaya yang berbeda, namun Ibu Jepang mengimplementasikan pola kesantunan ala masyarakat Bali. Strategi kesantunan yang digunakan adalah strategi kesantunan negatif ditandai dengan pilihan ragam hormat, kalimat interogatif sedangkan wujud dari strategi kesantunan positif ditunjukkan dengan perhatian, rasa simpati dan strategi tutura secara tidak langsung untuk menghindari kesalahpahaman. POLITENESS IN THE REALM OF JAPANESE AND BALINESE INTERMARRIAGE FAMILYPoliteness in the realm of family intermarriage is very important to be studied in order to create harmonious communication without having misunderstandings. This study aims to find out the politeness used in the realm of the marriage family between the Japanese and Balinese. This qualitative research uses the observation method with data collection techniques: listening, recording, recording, and interviewing mixed marriage families naturally. To increase the validity of the data, data triangulation techniques that are in accordance with the phenomenological mindset that is multi-perspective are used. Qualitative inductive data analysis uses domain analysis to distinguish the actual data types, followed by taxonomic analysis, componential analysis, and cultural theme analysis. The technique of presenting the results of data analysis is using analysis techniques informally with ordinary words. The results of the analysis show that politeness is implied in the Japanese and Balinese mixed marriage families. Although they have different cultures, Japanese mothers implement the Balinese style of politeness patterns. The politeness strategy used is a negative politeness strategy characterized by the choice of a variety of respect, interrogative sentences, while the form of a positive politeness strategy is indicated by attention, sympathy, and indirect speech strategies to avoid misunderstandings.
Article
Speech Actions in President Joko Widodo's Speech "Vision of Indonesia." Language is an essential factor in human life that functions as a means of communicating and exchanging information in everyday life. This shows that humans have a very close relationship with language, where language is a key for humans in their role as social beings. Humans use language in various lines where there are many variations of language use. It is not only used as a means of exchanging information. Language is also used in a political context. In this case, language is used as a means of invitation or command for a particular interest in the issue discussed in the community. In addition, language in a political context aims to form a person's identity. Therefore, this study examines the use of Ludwig Wittgenstein's second-period language game, complemented by John Langshaw Austin's perspective in President Joko Widodo's speech. The theoretical basis used in this study uses the thoughts of the philosopher Ludwig Wittgenstein II with the addition of understanding through the perspective of the philosopher John Langshaw Austin. The data analysis technique used hermeneutics. The data source was President Joko Widodo's speech taken from the YouTube site KOMPAS TV which was uploaded on July 14, 2019, with the title "Speech of the Elected President Joko Widodo: Visi Indonesia," and the video duration was twenty-three minutes and eleven seconds. In the analysis process, there is a language game in President Joko Widodo's speech with the title Visi Indonesia carried out. It can be concluded that the language game in the delivery of President Joko Widodo's speech entitled "VISION Indonesia" contains locutionary speech acts (phonetics and fatigue), illocutionary (verdicative) speech acts. Exercisive, commissive, behatitive, and expositive), and perlocutionary, the most dominant speech act found in the speech is locutionary speech acts, namely phonetic acts. This is under the subject matter in the book Philosophical Investigations (Kaelan, 2004); Wittgenstein explains that language games are a process of using words and rules for using language.Key words: Speech Act, Austin Perspective, Jokowi's SpeechAbstrakTindak Tutur dalam Pidato Presiden Joko Widodo “Visi Indonesia”. Bahasa merupakan faktor yang penting dalam kehidupan manusia yang memiliki fungsi sebagai sarana berkomunikasi dan bertukar informasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan bahasa, dimana bahasa merupakan suatu kunci manusia atas perannya sebagai makhluk sosial. Bahasa digunakan manusia dalam berbagai lini yang terdapat banyak variasi penggunaan bahasa. Tidak hanya digunakan sebagai sarana bertukar informasi, bahasa salah satunya juga digunakan dalam konteks politik. Dalam hal ini, bahasa digunakan sebagai sarana ajakan atau perintah untuk suatu kepentingan khusus dalam isu yang sedang dibahas di kalangan masyarakat. Selain itu, bahasa dalam konteks politik bertujuan untuk membentuk suatu identitas seseorang. Oleh karena itu, penelitian ini membahas penggunaan permainan bahasa (language ame) Ludwig Wittgenstein periode kedua yang dilengkapi dengan perspektif John Langshaw Austin dalam pidato presiden Joko Widodo. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pemikiran dari filsuf Ludwig Wittgenstein II dengan penambahan pemahaman melalui perspektif filsuf John Langshaw Austin. Teknik analisis data menggunakan hermeneutika. Data yang digunakan dalam penelitian ini pidato presiden Joko Widodo yang diambil melalui sumber situs YouTube KOMPAS TV yang diunggah pada tanggal 14 Juli 2019 dengan judul “Pidato Presiden Terpilih Joko Widodo: Visi Indonesia” dan durasi video dua puluh tiga menit sebelas detik. Pada proses analisis terdapat permainan bahasa pada pidato Presiden Joko Widodo dengan judul Visi Indonesia yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa permainan bahasa dalam penyampaian pidato presiden Joko Widodo yang berjudul “Visi Indonesia” ini terdapat tindak tutur lokusi (fonetik dan fatik), ilokusi (verdiktif, eksersitif, komisif, behatitif, dan ekspositif), dan perlokusi, tindak tutur yang paling dominan terdapat dalam pidato tersebut adalah tindak tutur lokusi, yaitu tindak fonetik. Hal ini sesuai dengan pokok bahasan dalam buku Philisophical Investigations (Kaelan, 2004), Wittgenstein menjelaskan bahwa permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata dan aturan penggunaan bahasa.Kata-kata kunci: tindak tutur, perspektif austin, pidato jokowi
Article
Full-text available
Keberadaan perkebunan kelapa sawit telah mengurangi luas hutan, sehingga memunculkan keberadaan Dayak Ribun yang melihat hutan sebagai basis utama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Berbagai bentuk perilaku lahir dan mendorong perubahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperjelas perubahan pola hidup masyarakat adat Dayak Ribun sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit. Keberadaan kawasan perkebunan membuat kehidupan di Dayak Ribun menjadi pola yang belum muncul di masa lalu. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Parindu, Kabupaten Sangau, Kalimantan Barat dengan menggunakan metode etnografi. Pengumpulan data lapangan menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, dan live-in di kawasan Dayak Ribun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan pola hidup masyarakat Dayak Ribun terjadi dalam berbagai dimensi. Perubahan pola peran keluarga, perubahan hak milik, perubahan pola morfologi dan kondisi rumah, serta perubahan tradisi dan agama, perubahan pola bahasa, perubahan pola seni, perubahan pola pakaian (fashion), dan perubahan pola konsumsi. Dari aspek perubahan gaya hidup, cara pandang dan arah penilaian memiliki sesuatu akan berubah, dan akan dirasakan bukan sebagai pelengkap belaka, tetapi sebagai pengakuan status sosial atau peningkatan status sosial. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan adanya korelasi antara perubahan dalam satu dimensi dan perubahan pada dimensi lainnya. The existence of oil palm plantations has reduced the forest area, thus giving rise to the existence of the Dayak Ribun who see the forest as the main base to meet their needs. Various forms of behavior are born and encourage change. The purpose of this study is to clarify the changes in the lifestyle of the Dayak Ribun indigenous people before and after the existence of oil palm plantations. The existence of plantation areas makes life in the Dayak Ribun a pattern that has not appeared in the past. This research was conducted in Parindu District, Sangau Regency, West Kalimantan using ethnographic methods. Field data collection using observation techniques, in-depth interviews, and live-in in the Dayak Ribun area. The results of this study indicate that changes in the lifestyle of the Dayak Ribun community occur in various dimensions. changes in the pattern of family roles, changes in property rights, changes in morphological patterns and housing conditions, as well as changes in tradition and religion, changes in language patterns, changes in art patterns, changes in clothing patterns (fashion), and changes in consumption patterns. From the aspect of lifestyle changes, the perspective and direction of the assessment of having something will change, and it will be perceived not as a mere complement, but as an acknowledgment of social status or an increase in social status. Social changes that occur in society show a correlation between changes in one dimension and changes in other dimensions.
Article
Full-text available
The existence of tourism in the community provides an opportunity for the use of various language domains. The use of language by tour guides in National Park of Bantimurung Bulusaraung, Maros Regency, which is a Bugis-Makassar ethnic community, now used not only the regional language domain, Indonesian language, but also the Makassar Malay language (MML) domain and the foreign language (FL) domain. The use of this language is not only influenced by linguistic aspects but also influenced by non-linguistic aspects such as participant factors, speech situations, speech topics, the speaker's socio-cultural background and speech partners. This article described the forms and variations of language that arise from language contact by guides and tourists. The research method used is a qualitative method with anthropological linguistic approach. Data collection was done by recording and semi-structured interviews with several informants. From the research results found three language choices including single language variation (SLV), language code switching (CS), and code mixing (CM). There were three uses of SL variations, namely Bugis Language (BL), Makassar Malay (MML) and Indonesian Language (I.L) formal varieties. The used of CS from both Bugis to Makassar language (ML) was also found in local tourists (Bugis speakers or Makassar speakers), CS from regional languages (RL) to MML also occurs in interactions between speakers and tourists or speech partners who are not Bugis-Makassar speakers but were the speaker of other regional languages in South Sulawesi. The used of CS from MML to Indonesian language had a formal variety of interactions with domestic tourists. Variations in English Makassar Malay Language as both CS and CM were found in interactions with foreign tourists. LATAR BELAKANG Penggunaan bahasa di Taman Wisata Bantimurung Bulusaraung (Babul) Maros Sulawesi Selatan (Sul-Sel) terdapat tiga domain diantaranya bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing. Penggunaan domain bahasa tersebut terjadi karena adanya kontak bahasa dengan wisatawan baik wisatawan domestic maupun wisatawan asing. Berbagai variasi bahasa dalam komunikasi antara pramuwisata dan wisatawan di TN Babul Maros tersebut telah memunculkan fenomena wacana komunikasi yang sangat kompleks dan merupakan ciri khas sosiokultural masyarakat penutur. Atas penggunaan bahasa tersebut terjadi pilihan bahasa dan memunculkan identitas penutur dalam interaksinya dengan mitra tutur. Sebagaimana diketahui bahwa dalam situasi diaglosik, penutur melakukan pilihan bahasa atas faktor mitra tutur, situasi tutur, tempat dan topik tuturan. Menurut Fishman, (1972)
Article
Full-text available
The existence of tourism in the community provides an opportunity for the use of various language domains. The use of language by tour guides in National Park of Bantimurung Bulusaraung, Maros Regency, which is a Bugis-Makassar ethnic community, now used not only the regional language domain, Indonesian language, but also the Makassar Malay language (MML) domain and the foreign language (FL) domain. The use of this language is not only influenced by linguistic aspects but also influenced by non-linguistic aspects such as participant factors, speech situations, speech topics, the speaker's socio-cultural background and speech partners. This article described the forms and variations of language that arise from language contact by guides and tourists. The research method used is a qualitative method with anthropological linguistic approach. Data collection was done by recording and semi-structured interviews with several informants. From the research results found three language choices including single language variation (SLV), language code switching (CS), and code mixing (CM). There were three uses of SL variations, namely Bugis Language (BL), Makassar Malay (MML) and Indonesian Language (I.L) formal varieties. The used of CS from both Bugis to Makassar language (ML) was also found in local tourists (Bugis speakers or Makassar speakers), CS from regional languages (RL) to MML also occurs in interactions between speakers and tourists or speech partners who are not Bugis-Makassar speakers but were the speaker of other regional languages in South Sulawesi. The used of CS from MML to Indonesian language had a formal variety of interactions with domestic tourists. Variations in English Makassar Malay Language as both CS and CM were found in interactions with foreign tourists.
Article
Full-text available
Residents' language choice of Kampung Warna - Warni Malang towards tourists is an interesting study as the linguistics phenomenon from a sociolinguistic's perspective affects both social and cultural life there. The study aims to describe the resident's language choice through daily interaction between the residents and the tourists. The writer used a qualitative method to provide a general description of the phenomenon as clearly as possible without any interference to observed study subjects. This research was a sociolinguistic study based on the language phenomena that occurred in the tourism spot which is originally considered as slums in recent years before went through many beautifications from many parties. The result found that the residents tend to use code-switching from Javanese, both Ngoko and Krama form, and Indonesian to converse with domestic tourists. Meanwhile, the locals tend to shy away from conversing with international tourists except for a simple greeting, a simple gesture of navigating direction, and a simple yes or no question due to the language barrier
Article
Full-text available
Tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan wujud campur kode di dalam videonya. Penelitian ini yaitu penelitian deskriptif kualitataif. Penelitian ini menggunakan metode simak bebas libat cakap. Hasil dalam penelitian ini ialah (1) terdapat data yang merupakan bentuk campur kode yang terdapat penyisipan unsur yang berwujud kata adalah 8 data, masing-masing merupakan penyisipan unsur yang berwujud kata dalam dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. (2) dalam video youtube Agung terdapat data yang merupakan bentuk campur kode yang terdapat penyisipan unsur yang berwujud frasa sebanyak 8 data. Masing-masing data tersebut merupakan penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata dalam dua bahasa yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris. (3) terdapat data yang merupakan bentuk campur kode yang terdapat penyisipan unsur yang berwujud idiom atau ungkapan adalah 1 data. Data tersebut merupakan penyisipan unsur yang berwujud ungkapan dalam dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. (4) dalam video tersbeut terdapat data yang merupakan bentuk campur kode yang terdapat penyisipan unsur yang berwujud klausa adalah 2 data. Masing-masing merupakan penyisipan unsur yang berwujud kata dalam dua bahasa yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris.
Article
This study aims to describe the forms of the shift of Javanese in the Samin communityin the domestic domain. The data were collected from two locations where the Samincommunity lives, i.e. Tambak Hamlet, Sumber Village, Kradenan District and TanduranHamlet, Kemantren Village, Kedungtuban District. The data were ethnographicallyanalyzed. The findings show that there is a shift of Javanese in the Samin community from the ngoko Javanese to the krama Javanese. The ngoko language, which is the characteristic of Javanese in the Samin community, is used in a variety of domains. However, due to a variety of causes, the Samin community does not use the ngoko Javanese for all purposes. It is used only in the domestic domain and neighborhood involving the members of the Samin community only. In other domains such as social and educational domains, the ngoko Javanese is not used anymore and there is a shift to the krama Javanese.
Pilihan Kode pada Wacana Konsultasi Siswa kepada Guru di SMK Ma"arif 4 Kebumen. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
  • B Darwati Dan
  • Wahyudi Djoko
  • Santoso
Darwati dan B. Wahyudi Djoko Santoso. 2017. Pilihan Kode pada Wacana Konsultasi Siswa kepada Guru di SMK Ma"arif 4 Kebumen. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 5(2): 184-191.
Wujud Pilihan Kode Tutur Mahasiswa Aceh pada Ranah Pergaulan di Semarang
  • Umi Kholidah
  • Dan Haryadi
Kholidah, Umi dan Haryadi. 2017. Wujud Pilihan Kode Tutur Mahasiswa Aceh pada Ranah Pergaulan di Semarang. Jurnal SELOKA. 6(2): 208-217.
Pergeseran Bahasa Jawa dalam Ranah Keluarga pada Masyarakat Multibahasa di Wilayah Kabupaten Brebes
  • Hari Mardikantoro
  • Bakti
Mardikantoro, Hari Bakti. 2007. Pergeseran Bahasa Jawa dalam Ranah Keluarga pada Masyarakat Multibahasa di Wilayah Kabupaten Brebes. Jurnal Humaniora Volume 19 NO.1 Februari halaman 43-51.
Kode dan Alih Kode" dalam Jurnal Widyaparwa No. 22 Tahun
  • Soepomo Poedjoseodarmo
Poedjoseodarmo, Soepomo. 1978. "Kode dan Alih Kode" dalam Jurnal Widyaparwa No. 22 Tahun 1982. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, halaman 1-43.
  • B W J Santoso
  • H B Mardikantoro
  • A Pudjitriherwanti
Santoso, B. W.J., Mardikantoro, H.B., & Pudjitriherwanti, A. 2011. Artikel Penelitian, 1-20. http://journal.unnes.ac.id
Kode dan Kesantunan dalam Rapat Dinas Berspektif Gender dan Jabatan
  • Wahyudi Santoso
Santoso, Wahyudi, Joko. 2013. Kode dan Kesantunan dalam Rapat Dinas Berspektif Gender dan Jabatan. http://journal.unnes.ac.id/
Can Code Switching Enhance Learners" Academic Achievement
  • L Simasuki
  • C Kasanda
  • T Smit
Simasuki, L., Kasanda, C., & Smit, T. 2015. Can Code Switching Enhance Learners" Academic Achievement?. Internasional Journal of English Language Teaching. 8(2).
Campur Kode pada Masyarakat Etnik Jawa-Sunda: Kaman Sosiolinguistik dalam Ranah Pemerintahan di Kabupaten Brebes
  • Tommi Yuniawan
Yuniawan, Tommi. 2005. Campur Kode pada Masyarakat Etnik Jawa-Sunda: Kaman Sosiolinguistik dalam Ranah Pemerintahan di Kabupaten Brebes. Jurnal HUMANIORA. 17(1): 89-99.