Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
238 |Vol. 11, No. 2, Juli - Desember 2013
FILOSOFI FILOSOFI
FILOSOFI FILOSOFI
FILOSOFI PERPER
PERPER
PERTUNJUKAN TUNJUKAN
TUNJUKAN TUNJUKAN
TUNJUKAN WW
WW
WAA
AA
AYY
YY
YANG PURANG PUR
ANG PURANG PUR
ANG PURWW
WW
WAA
AA
A
Djoko Sulaksono
Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS)
Jl. Ir. Sutami No. 36 A (+62-271) 646624 Surakarta 57126
E-mail: ciptaningmintaraga@yahoo.com
HP. +6285292829999
Abstract:Abstract:
Abstract:Abstract:
Abstract: Purwa Puppet (Wayang Purwa) is one of traditional art which has
existed for thousand years. It is internalized in man’s life. The puppet
show describes the life cycle of a man; from the first day until he died. It
is showed implicitely by the
gunungan,
when it is moved by the
dalang
until it is embedded for the last time (
tancep kayon
).
Abstrak:Abstrak:
Abstrak:Abstrak:
Abstrak: Wayang
purwa
adalah salah satu kesenian tradisional yang sudah
berumur ribuan tahun sehingga sudah mendarah-daging pada kehidupan
masyarakat Jawa. Pertunjukan bayang-bayang ini menggambarkan kehi-
dupan manusia dari lahir sampai meninggal. Semua digambarkan secara
tersirat mulai dari gunungan digerakkan sampai dengan gunungan di-
tancapkan untuk yang terakhir kali atau
tancep kayon
.
Kata KunciKata Kunci
Kata KunciKata Kunci
Kata Kunci: wayang, profetik, Islam, makna filosofis, kehidupan.
A. PENDAHULUAN
Pengembangan karakter atau kebudayaan suatu bangsa tidak pernah dapat
melepaskan diri dari nilai-nilai tradisi yang telah mendasari dan membesar-
kannya. Kelahiran karya sastra diprakondisi oleh kehidupan sosial budaya
tempat pengarang hidup, sehingga sikap dan pandangan hidup pengarang
terhadap masalah yang diceritakan dalam karyanya juga mencerminkan
kehidupan sosial budaya masyarakatnya (Chatman dalam Nurgiyantoro, 1998:
1). Seperti di Indonesia, khususnya Jawa, wayang merupakan tradisi dan budaya
yang telah mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan ek-
sistensi bangsa Indonesia, khususnya yang beretnis Jawa.
Dalam pertunjukan wayang dibicarakan berbagai masalah kehidupan
manusia dan kemanusiaan. Cerita wayang kulit dapat dipakai sebagai sumber
pencarian nilai-nilai, karena di dalamnya terdapat berbagai macam ajaran dan
nilai etis yang bersumber dari berbagai agama serta sistem filsafat dan etika
(Amir, 1997: 16). Pertunjukan wayang purwa merupakan bentuk kesenian
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan WW
WW
Wayang Purwa (hal. 238-246)ayang Purwa (hal. 238-246)
ayang Purwa (hal. 238-246)ayang Purwa (hal. 238-246)
ayang Purwa (hal. 238-246)
| 239ISSN : 1693 - 6736
tradisional yang paling disukai masyarakat Indonesia, Jawa pada khususnya.
Bagi masyarakat Jawa, cerita wayang telah menjadi salah satu sumber
tontonan,
tuntunan
, dan
tatanan
. Nilai-nilai filosofis dan ajaran-ajaran yang terkandung
di dalamnya adalah nilai-nilai luhur yang telah mampu melewati ujian dari
waktu ke waktu. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, pertunjukan wayang
tidak pernah berhenti, padahal wayang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Hal ini terbukti dengan masih adanya pertunjukan wayang sampai sekarang.
Walaupun sudah banyak perubahan jalan ceritanya, tetapi hal itu tidak me-
ngurangi isi yang terkandung di dalamnya.
Tulisan ini berusaha untuk mengupas tentang filosofi wayang yang men-
jadi tontonan, tuntunan, dan tatanan bagi
masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat Jawa. Kisah-kisah dalam wayang sendiri dapat menjadi inspirasi
sebagaimana Sunan Kalijaga berdakwah melalui wayang.
B. WAYANG DAN SASTRA WAYANG
Perkataan wayang mengandung berbagai pengertian, yakni gambaran
tentang suatu tokoh, boneka, atau boneka pertunjukan yang berjalan berkali-
kali, lalu lalang, tidak tetap, samar-samar, remang-remang (Mulyono dalam
Sutardjo, 2006: 49). Sebenarnya, kata ‘wayang’ berkaitan dengan kata
hyang
,
yang berarti
leluhur
. Akar kata
hyang
adalah
yang
, maksudnya bergerak berkali-
kali, simpang siur, lalu lalang, melayang. Wayang dapat pula berarti suksma,
roh, yang melayang, yang mengitar. Makna dan arti
hyang
dapat dirinci menjadi
dua, yakni (1) sukma, roh, (2) orang telah meninggal (
leluhur
). Maka dari itu,
dalam pertunjukan wayang purwa itu menghasilkan bayangan (
wayangan
)
sehingga dinamakan wayang atau
shadow play
‘pertunjukan atau permainan
bayangan’ (Sutardjo, 2008: 58).
Wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli yang berarti
bayang
atau bayang-bayang yang berasal dari akar kata
yang
dengan mendapat
awalan
wa
menjadi kata
wayang.
Kata-kata di dalam bahasa Jawa yang mem-
punyai akar kata
yang
dengan berbagai variasi vokalnya antara lain adalah
layang
,
dhoyong, puyeng, reyong
, yang berarti: selalu bergerak, tidak tetap,
samar-samar dan sayup-sayup. Kata
wayang,
hamayang
pada waktu dulu
berarti: mempertunjukkan
bayangan.
Lambat laun menjadi pertunjukan
bayang-bayang. Kemudian menjadi seni pentas bayang-bayang atau wayang
(Sri Mulyono,1979: 51-52).
Sastra wayang adalah jenis sastra Jawa Kuna yang menampilkan kisah
tokoh-tokoh wayang yang bersumber dari
Ramayana, Mahabharata,
dan
Pustaka
Raja Purwa.
Jumlah sastra wayang sangat banyak. Sebagian gubahanya dalam
240 |Vol. 11, No. 2, Juli - Desember 2013
Jurnal Kebudayaan IslamJurnal Kebudayaan Islam
Jurnal Kebudayaan IslamJurnal Kebudayaan Islam
Jurnal Kebudayaan Islam
bentuk tembang macapat dan selebihnya dalam bentuk (prosa). Selain kedua
bentuk itu, naskah sastra wayang juga digubah dalam bentuk
pakem pedha-
langan
yang berisi teks pedalangan lengkap yang terdiri atas narasi dalang,
dialog tokoh wayang,
sulukan
, dan
gendhing-gendhing
pengiring yang disertai
dengan
sasmita-sasmita gendhing
. Fungsi pakem pedalangan (
pakem pedha-
langan jangkep
) sesungguhnya tidak untuk dinikmati sebagai bahan bacaan
tetapi sebagai tuntunan teknis bagi para dalang dan terutama bagi para calon
dalang.
Pakem pedhalangan
jangkep
Dewasa ini juga dihasilkan dengan cara
mentranskripsi seutuhnya rekaman pergelaran wayang. Transkripsi itu
kemudian disunting dan diterbitkan. Naskah hasil transkripsi dapat dinilai
sebagai bentuk transformasi sastra lisan. Selain
pakem pedhalangan jangkep
,
ada pula teks lain yang berfungsi sebagai tuntunan para dalang, terutama dalam
hal penguasaan lakon wayang, yaitu yang dikenal dengan sebutan
pakem
balungan
. Isinya dari awal sampai akhir pergelaran wayang dalam pola yang
sudah baku. Tiap adegan memuat nama tempat, tokoh-tokoh, yang tampil, dan
inti pembicaraan ataupun persoalan yang terjadi dalam adegan tersebut.
Meskipun uraiannya serba singkat, bagi dalang sudah cukup memadai sebagai
sebagai pegangan untuk mempergelarkan
lakon
’cerita’ tertentu yang dipilih-
nya berdasarkan pakem balungan tadi. Jumlah naskah
pakem balungan
ini
dalam khasanah kesusastraan Jawa cukup banyak dan sebagian telah diter-
bitkan, antara lain oleh Balai Pustaka, dilengkapi dengan ilustrasi tokoh-tokoh
wayang purwa.
Sastra wayang yang ada di dalam khasanah kesusastraan modern Jawa
Baru kebanyakan berupa transformasi dari sumber-sumber sastra Jawa Kuna.
Proses transformasi tersebut terjadi setelah para sastrawan yang menggubahnya
didapat dari sumber kuno itu. Karya gubahan itu merupakan tanggapan dirinya
atas karya sastra yang dijadikan sumber karyanya. Gubahan itu ada yang sepe-
nuhnya berinduk pada sumbernya dan sebagian lainnya hanya terbatas pada
hal-hal yang menarik perhatiaannya.
Saduran atau bentuk gubahan baru lainnya sebagai proses transformasi
berdasarkan penafsiran dirinya atas teks yang menjadi sumber gubahannya.
Tidak mustahil jika terjadi penyimpangan yang kadang-kadang amat jauh dari
sumber aslinya sebagai bentuk resepsi pembaca sesuai dengan kaidah yang
berlaku pada zamannya.
Lakon-lakon wayang purwa, yang semula hanya terbatas pada cerita
pakem, yang masih dengan ketat berinduk pada sumber ceritanya, misalnya
Ramayana, Mahabharata,
baik yang tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, Jawa
Tengahan, maupun Jawa Baru, dalam masa-masa selanjutnya mengalami per-
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan WW
WW
Wayang Purwa (hal. 238-246)ayang Purwa (hal. 238-246)
ayang Purwa (hal. 238-246)ayang Purwa (hal. 238-246)
ayang Purwa (hal. 238-246)
| 241ISSN : 1693 - 6736
kembangan yang sangat pesat. Dengan begitu, lahirlah lakon-lakon gubahan
baru yang masih tetap menampilkan tokoh-tokoh utama wayang purwa tetapi
dengan garapan yang sangat bervariasi dan dikenal dengan istilah
carangan.
Jumlah naskah sastra wayang cukup banyak. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa peminat dan perhatian masyarakat terhadap sastra wayang. Di kalangan
masyarakat Jawa yang belum seberapa mengenal buku-buku cetakan, maka
mereka harus menyalin naskah sastra wayang (Prabowo. dkk, 2007:275-277).
Berbagai macam jenis wayang yang ada di Indonesia, yaitu wayang kulit,
wayang golek Sunda, wayang Betawi, wayang
sasak
, wayang
timplong
, wa-
yang
krucil
, wayang
thengul
, wayang
jemblung
, wayang
cepak
, wayang kancil,
wayang
beber
, wayang orang, wayang topeng, wayang
suluh
, wayang wahyu,
dan lain-lain. Dari sekian banyak jenis wayang, yang paling populer dan mem-
punyai usia ribuan tahun adalah adalah wayang kulit. Cerita-cerita pokoknya
bersumberkan kitab
Mahabharata
dan
Ramayana
yang bernafaskan
kebudayaan dari filsafat Hindu, India, tetapi telah diserap ke dalam kebudayaan
setempat (Walujo, 2000: xi).
C. PERLENGKAPAN DAN MAKNA FILOSOFIS PERTUNJUKAN WA-
YANG
Dalam pertunjukan bayang-bayang itu diperlukan berbagai perlengkapan
yang memperlancar jalannya cerita yaitu:
KelirKelir
KelirKelir
Kelir
Berasal dari akar kata
lir
sama dengan
lar
yang mengandung arti
terbentang. Jadi
kelir
berarti sesuatu yang terbentang atau
tergelar
. Bayangan
yang dipertunjukkan tampak pada
kelir
.
BlencongBlencong
BlencongBlencong
Blencong
Berasal dari akar kata
cang
sama dengan
cong
yang berarti tidak lurus
(bandingkan dengan kata
mencong
,
menceng
dan lain sebagainya). Hal ini
karena
blencong
adalah lampu yang dipakai dalam pertunjukan wayang yang
mempunyai sumbu tidak lurus.
KothakKothak
KothakKothak
Kothak
Berasal dari akar kata
thak
sama dengan
thik
yang mengandung arti dua
benda yang bertemu (
gathuk
). Jadi
kothak
adalah tempat untuk menyimpan
wayang;
kothak
tersebut terbuat dari kayu, terdiri dari dua bagian yang diper-
temukan tanpa engsel, yaitu bagian
wadhah
dan bagian “tutup” yang terpisah.
KepyakKepyak
KepyakKepyak
Kepyak
Berasal dari akar kata
pyak
sama dengan
pyek
yang mengandung arti
242 |Vol. 11, No. 2, Juli - Desember 2013
Jurnal Kebudayaan IslamJurnal Kebudayaan Islam
Jurnal Kebudayaan IslamJurnal Kebudayaan Islam
Jurnal Kebudayaan Islam
bunyi dari dua kata atau beberapa kepingan yang bertemu.
Kepyak
adalah
suatu alat yang terdiri dari 3 atau 4 kepingan tembaga atau kuningan yang
dibunyikan dalam pertunjukan wayang dan mengeluarkan bunyi
pyak.
DhalangDhalang
DhalangDhalang
Dhalang
Berasal dari akar kata
lang
dan mengandung arti selalu berpindah tempat
(
langlang
).
Dhalang
adalah orang yang memainkan pertunjukan wayang kulit.
Dalam melaksanakan pekerjaannya, ia selalu berpindah tempat, yaitu men-
dalang di tempat yang satu kemudian mendalang lagi di tempat lain.
Manusia hidup dari lahir sampai meninggal tidak lepas dari 3M, yaitu
metu
,
manten
, dan
mati
;
atau masa kehamilan, kelahiran dan masa bayi, masa kanak-
kanak, remaja, masa dewasa (perkawinan, keluarga), masa kematian (Supadjar,
1985: 194). Pertunjukan wayang
purwa
apabila dicermati menggambarkan fil-
safat hidup manusia mulai dari proses kelahiran sampai kematian secara runtut.
Dimulai dengan gunungan yang tidak berada di tengah-tengah kelir maka
barulah ada gerak, yang berarti bahwa ada kehidupan, yaitu bayi akan lahir.
Berikut makna filosofis pertunjukan wayang purwa.
Kendhaga pecahKendhaga pecah
Kendhaga pecahKendhaga pecah
Kendhaga pecah
Gunungan ditarik ke bawah kemudian masing-masing gunungan dipegang
dengan tangan kanan dan kiri untuk dipisahkan, yang satu ditancapkan di
simpingan kanan dan satunya ditancapkan di simpingan kiri. Dipegangnya
gunungan otomatis menyebabkan gunungan tersebut bergerak atau pindah
tempat, hal ini melambangkan seorang ibu yang akan melahirkan, perutnya
bergerak-gerak karena bayi yang ada dalam kandungan sudah ingin keluar.
Pemisahan kedua gunungan tersebut melambangkan pecah atau terbelahnya
‘
kendhaga
’atau selaput pembungkus bayi (lapisan plasenta).
Air kawahAir kawah
Air kawahAir kawah
Air kawah
Dua orang parekan atau emban perempuan yang sama rupa, sama warna
bahkan sama segala-galanya. Hal ini melambangkan sebelum bayi lahir pasti
didahului dengan pecahnya air kawah yang dalam bahasa Jawa disebut ‘
kakang
kawah
’. Dipergunakannya emban perempuan karena perempuan adalah simbol
kehalusan.
Sang bayi lahirSang bayi lahir
Sang bayi lahirSang bayi lahir
Sang bayi lahir
Setelah parekan atau emban keluar, kemudian wayang raja atau pemimpin
yang keluar. Jika
jejer
Ngamarta, maka yang keluar pertama adalah Puntadewa,
jika Ngastina maka Duryudana, kemudian adik-adiknya. Jika yang keluar
pertama bukan raja maka biasanya adalah pemimpin atau sesepuh. Wayang raja
melambangkan seseorang atau anak yang lahir.
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan WW
WW
Wayang Purwa (hal. 238-246)ayang Purwa (hal. 238-246)
ayang Purwa (hal. 238-246)ayang Purwa (hal. 238-246)
ayang Purwa (hal. 238-246)
| 243ISSN : 1693 - 6736
Ari-ari keluarAri-ari keluar
Ari-ari keluarAri-ari keluar
Ari-ari keluar
Setelah raja keluar, maka segera disusul oleh adik-adiknya. Jika Punta-
dewa yang keluar maka akan disusul oleh Bima, Arjuna, Nakula atau Sadewa.
Hal ini melambangkan setelah bayi keluar maka akan segera disusul oleh ari-
arinya. Dalam bahasa Jawa, kata
ari
sama artinya dengan adik (karena hukum
Van Der Tuuk, (RDL) misal ada
Ruhur
,
Duhur
, dan
Luhur
).
Menurut Sutardjo (2008: 68-70), pertunjukan wayang semalam suntuk
apabila dicermati penuh
tontonan
‘hiburan’,
tuntunan
‘ajaran’, dan
tataning urip
‘penuh aturan hidup dan kehidupan manusia’. Dalam pertunjukan wayang juga
menggambarkan proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa dan ke-
matian. Hal tersebut terlihat dalam setiap adegan pertunjukan wayang, yaitu:
a.a.
a.a.
a. Pathet NemPathet Nem
Pathet NemPathet Nem
Pathet Nem
. .
. .
. Periode ini berlangsung dari jam 21.00 sampai dengan
jam 00.00 (atau jam 9 malam sampai dengan jam 12 malam). Periode ini
melambangkan periode anak-anak. Sesuai dengan suasana tersebut, maka
gamelan dan lagu dalam
Pathet Nem
ini ditandai dengan
kayon
(
gunungan
)
ditancapkan condong kekiri. Periode
Pathet Nem
ini dibagi menjadi 6
adegan
(
jejeran
) yaitu:
Pertama
, jejeran (adegan) raja. Raja setelah selesai bersidang
diterima oleh permaisuri untuk bersantap bersama.
Jejeran
ini melambangkan
“bayi yang mulai diterima dan mulai diasuh kembali oleh ibunya”. Bayi ketika
baru lahir biasanya yang pertama kali merawat adalah dukun, bidan, atau orang
lain, bukan ibunya. Hal ini karena sang ibu tentu harus beristirahat dulu setelah
tenaganya terkuras pada saat melahirkan.
Kedua
, adegan
Paseban Jawi.
Adegan
ini melambangkan seorang anak yang sudah mulai mengenal dunia luar
kemudian mereka ingin mengenal dan memasukinya, tidak perduli apakah itu
baik atau kurang baik.
Ketiga
, adegan
Jaranan
(pasukan binatang/gajah, babi
hutan)..
..
. Adegan ini melambangkan watak anak atau seorang anak yang belum
dewasa biasanya memiliki watak/sifat seperti binatang, yaitu anak tersebut
tidak memeperhatikan aturan yang ada, tetapi hanya memikirkan diri sendiri,
egois. Mudah marah jika diejek oleh temannya, merasa paling, dan lain seba-
gainya.
Keempat
, adegan
Perang Ampyak
(menghadapi rintangan). Adegan ini
melambangkan perjalanan seorang anak yang sudah beranjak dewasa yang
mulai menghadapi banyak kesukaran, hambatan dan rintangan. Namun semua
rintangan dan hambatan itu dapat dilalui dengan aman.
Kelima
, adegan
Sabrangan
yaitu adegan raksasa. Adegan ini melambangkan seorang anak yang
sudah dewasa, tetapi watak-wataknya masih didominasi oleh keangkaraan,
emosi, dan nafsu. Pada masa ini, seorang anak sedang ingin diperhatikan segala
tingkah lakunya, maka untuk mendapatkan perhatian tersebut kadang mereka
melakukan hal yang sebenarnya kurang baik dan membahayakan.
Kelima
,
244 |Vol. 11, No. 2, Juli - Desember 2013
Jurnal Kebudayaan IslamJurnal Kebudayaan Islam
Jurnal Kebudayaan IslamJurnal Kebudayaan Islam
Jurnal Kebudayaan Islam
adegan terakhir dari Pathet Nem adalah
perang gagal
. Maksud dari adegan ini
yaitu suatu perang yang belum diakhiri dengan suatu kemenangan atau keka-
lahan atau hanya berpapasan, atau masing-masing mencari jalan lain. Adegan
ini melambangkan suatu tataran hidup manusia masih dalam fase/tataran ragu-
ragu, belum mantap, karena belum ada suatu tujuan yang pasti.
b.b.
b.b.
b.Pathet SangaPathet Sanga
Pathet SangaPathet Sanga
Pathet Sanga.
Periode ini berlangsung dari jam 00.00 sampai dengan
jam 03.00 (atau jam 12 malam sampai jam 3 pagi). Periode ini ditandai dengan
gunungan
yang berdiri tegak di tengah-tengah kelir seperti pada waktu mulai
pergelaran.
Pathet Sanga
ini dibagi menjadi 3 adegan (
jejeran
) yaitu:
Pertama
,
adegan
bambangan
, yaitu adegan seorang satria berada di tengah hutan atau
sedang menghadap seorang pendeta. Adegan ini melambangkan suatu masa,
bahwa manusia sudah mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan.
Kedua
, perang
kembang
, yaitu adegan perang antara raksasa
Cakil
berwarna
kuning,
Rambut Geni
berwarna merah,
Pragalba
berwarna hitam,
Galiuk
berwarna hijau, melawan seorang satria yang diikuti oleh punakawan. Adegan
ini melambangkan suatu tataran/tingkat, bahwa manusia sudah mulai mampu
dan berani memenangkan atau mengalahkan nafsu-nafsu angkaranya (
sufiah,
aluamah, amarah
dan
mulhimah
). Hampir dalam setiap pertunjukan wayang
purwa, keempat raksasa ini selalu muncul dan pasti mati kemudian muncul lagi.
Keempat raksasa ini adalah lambang nafsu dalam diri manusia yang tidak akan
bisa mati ataupun dibunuh, mereka hanya menghilang untuk sementara waktu
dan suatu saat akan muncul kembali.
Ketiga
, jejer/adegan
sintren
, yaitu suatu
adegan seorang satria yang sudah menetapkan pilihannya dalam menempuh
jalan hidupnya. Hidup memang penuh dengan pilihan, dengan tidak memilih
pun sebenarnya kita sudah memilih. Seseorang dalam hidupnya kadang bi-
ngung ketika harus memilih sesuatu yang dirasa sama baik padahal hanya boleh
memilih satu hal. Ketika pikiran sudah tidak mampu untuk berfikir maka
biasany meminta pertimbangan seseorangan untuk memberikan arahan,
bagaimana baiknya dia harus memilih atau menentukan sikap. Dalam cerita
wayang Mahabharata, yang biasanya dimintai petunjuk oleh Pandhawa adalah
Semar, Kresna, Abiyasa, Widura dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh ini dimintai
petunjuk karena sudah dianggap
ngerti sakdurunge dumadi, jalma limpad
seprapar tamat.
c.c.
c.c.
c. Pathet ManyuraPathet Manyura
Pathet ManyuraPathet Manyura
Pathet Manyura
. Periode ini berlangsung dari jam 03.00 sampai
dengan jam 06.00 (atau dari jam 3 pagi sampai jam 6 pagi). Periode ini ditandai
dengan gunungan (
kayon
) condong ke kanan. Adapun
Pathet Manyura
ini
dibagi menjadi 3
adegan/jejeran
yaitu:
Pertama
,
jejer manyura.
Di dalam adegan
ini tokoh utama di dalam
lakon
/cerita sudah berhasil dan mengetahui dengan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan
Djoko Sulaksono: Filosofi Pertunjukan WW
WW
Wayang Purwa (hal. 238-246)ayang Purwa (hal. 238-246)
ayang Purwa (hal. 238-246)ayang Purwa (hal. 238-246)
ayang Purwa (hal. 238-246)
| 245ISSN : 1693 - 6736
jelas akan tujuan hidupnya. Mereka sudah dekat dengan sesuatu yang dicita-
citakan. Untuk dapat dekat/mencapai citan-citanya, mereka harus senantiasa
berdoa dan berusaha tanpa kenal lelah bahkan berani mati demi mencapai
tujuannya.
Kedua
, perang
brubuh
, yaitu suatu adegan perang yang diakhiri
dengan suatu kemenangan dan banyak jatuh korban. Adegan ini melam-
bangkan manusia sudah dapat menyingkirkan segala rintangan dan berhasil
menumpas segala hambatan hingga berhasil mencapai tujuan. Dalam adegan
ini biasanya Bima melakukan
joged
tayung
. Setelah Bima selesai melakukan
joged
tayung
, maka pertunjukan wayang akan selesai (jika bukan Bima, biasa-
nya dimainkan oleh tokoh lain yang merupakan murid Bathara Bayu). Bima
adalah murid sekaligus titisan Bathara Bayu. Bayu artinya angin, angin adalah
udara yang bergerak. Angin dalam tubuh manusia adalah nafas. Setelah manusia
berhenti bernafas maka otomatis meninggal.
Ketiga
, tancep
kayon
. Sebagai
penutup dari pergelaran wayang tersebut, diadakan tarian Bima atau Bayu yang
berarti angin, nafas. Kemudian gunungan (
kayon
) ditancapkan di tengah-
tengah lagu.
Adegan
yang terakhir ini melambangkan proses maut, jiwa me-
ninggalkan alam fana dan menuju kepada kehidupan alam baka, kekal dan
abadi. Sekarang pertunjukan wayang sudah tidak lagi sampai pukul 06.00 tetapi
biasanya hanya sampai jam 04.00 karena untuk menghormati mereka yang
beragama Islam supaya tetap dapat menunaikan ibadah shalat Subuh.
d.d.
d.d.
d.JogedJoged
JogedJoged
Joged
Golek Golek
Golek Golek
Golek. Adegan ini merupakan adegan terakhir dari seluruh
pergelaran wayang, yaitu dalang menarikan/memainkan boneka dari kayu yang
disebut
golek
. Adegan ini melambangkan bahwa para penonton diharapkan
mencari sendiri
nggoleki
apa makna
, intisari lakon
atau cerita pergelaran
wayang semalam suntuk itu yang sesuai dengan harkat dan pengalaman
hidupnya masing-masing. Dengan demikian, diharapkan setelah menonton
pertunjukan wayang purwa tidak hanya mendapatkan kantuk dan lelah tetapi
bisa
ngonceki
makna yang terkandung dalam pertunjukan tersebut karena
makna-makna tersebut lebih banyak pada yang tersirat daripada tersurat.
D. SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan
beberapa hal berikut ini.
Pertama
, adanya banyak adegan dalam wayang yang
dipertunjukkan untuk menghibur, juga untuk menyampaikan pesan-pesan
kemanusiaan.
Kedua
, wayang memiliki makna filosofis pada setiap adegan
sehingga ada makna yang tersurat dan tersirat. Pertunjukan wayang purwa
apabila dicermati menggambarkan filsafat hidup manusia, mulai dari proses
kelahiran sampai kematian secara runtut.
246 |Vol. 11, No. 2, Juli - Desember 2013
Jurnal Kebudayaan IslamJurnal Kebudayaan Islam
Jurnal Kebudayaan IslamJurnal Kebudayaan Islam
Jurnal Kebudayaan Islam
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. 1997.
Nilai-nilai Etis dalam Wayang.
Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Nurgiyantoro, Burhan.1998.
Teori Pengkajian Fiksi
. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939.
Baoesastra Djawa.
Batavia. J.B. Wolters Uit-
gevers Maatschappij. NV.
Prabowo, Dhanu Priyo. Dkk. 2007.
Glosarium Istilah Sastra Jawa
. Yogyakarta:
Narasi.
Supadjar, Damardjati. 1985.
Etika dan Tatakrama Jawa Dahulu dan Masa Kini
.
Yogyakarta: Direktorat Kebudayaan Departemen P dan K.
Sutardjo, Imam. 2008.
Kajian Budaya Jawa
. Surakarta: FSSR UNS.
Walujo, Kanti. 2000.
Dunia Wayang Nilai Estetis, Sakralitas dan Ajaran Hidup
.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.