ArticlePDF Available

Daya Saing Usahatani Tebu terhadap Komoditas Eksisting di Wilayah Kerja Pabrik Gula Wonolangan Kabupaten Probolinggo Tahun 2018

Authors:

Abstract

p>This study aims to describe in general the performance of Wonolangan Sugar Factory and to analyze the comparison of sugarcane farming with a non-sugarcane commodity in the working area of Wonolangan Sugar Factory. Wonolangan Sugar Factory is located in Probolinggo Regency, almost 90% of sugarcane raw material is obtained from Lumajang Regency. Commodities that become competitors and the main choice of farmers to be cultivated are rice, maize, and onion. The data used in this study are primary and secondary data. The sampling method used is purposive with in-depth interview technique. Portrait performance of Wonolangan Sugar Factory in the last 5 years is very fluctuating caused by various factors such as climate impacts that are less supportive, the motivation of farmers to grow sugarcane, government policy in the sugar industry. To maintain the smoothness of the mill in the implementation of milling, Wonolangan Sugar Factory has several strategies both on the farm (garden) and off-farm (sugarcane processing at the factory). Based on the comparison of Sugar Business Result (SHU) of sugarcane and non-sugarcane planting pattern, it appears that the analysis shows that sugarcane farming with one Ratoon Cane (RC) category in paddy field can only compete with the pattern of non-cane maize farming throughout the year in South Sugar Factory Wonolangan.</p
57
ISSN 2599-2570 (Online)
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
ISSN 2613-9456 (Print)
DOI: http://dx.doi.org/10.20961/carakatani.v33i1.19562
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
Daya Saing Usahatani Tebu terhadap Komoditas Eksisting
di Wilayah Kerja Pabrik Gula Wonolangan Kabupaten Probolinggo Tahun 2018
Trikuntari Dianpratiwi*1), Evan Pratama Wibowo1), Heru Wibowo2)
1)Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Kota Pasuruan, Jawa Timur
2)Pabrik Gula Wonolangan, PT. Perkebunan Nusantara XI
*Corresponding author: trikuntari.dianpratiwi@gmail.com
Abstract
This study aims to describe in general the performance of Wonolangan Sugar Factory and to analyze
the comparison of sugarcane farming with a non-sugarcane commodity in the working area of
Wonolangan Sugar Factory. Wonolangan Sugar Factory is located in Probolinggo Regency, almost
90% of sugarcane raw material is obtained from Lumajang Regency. Commodities that become
competitors and the main choice of farmers to be cultivated are rice, maize, and onion. The data used
in this study are primary and secondary data. The sampling method used is purposive with in-depth
interview technique. Portrait performance of Wonolangan Sugar Factory in the last 5 years is very
fluctuating caused by various factors such as climate impacts that are less supportive, the motivation of
farmers to grow sugarcane, government policy in the sugar industry. To maintain the smoothness of the
mill in the implementation of milling, Wonolangan Sugar Factory has several strategies both on the
farm (garden) and off-farm (sugarcane processing at the factory). Based on the comparison of Sugar
Business Result (SHU) of sugarcane and non-sugarcane planting pattern, it appears that the analysis
shows that sugarcane farming with one Ratoon Cane (RC) category in paddy field can only compete
with the pattern of non-cane maize farming throughout the year in South Sugar Factory Wonolangan.
Keywords: Competitiveness; Farming; Non-sugarcane; Sugarcane; Wonolangan sugar factory
Cite this as: Dianpratiwi, T., Wibowo, E.P., & Wibowo, H. 2018. Daya Saing Usahatani Tebu terhadap Komoditas
Eksisting di Wilayah Kerja Pabrik Gula Wonolangan Kabupaten Probolinggo Tahun 2018. Caraka Tani: Journal
of Sustainable Agriculture. 33(1), 57-67. doi:http://dx.doi.org/10.20961/carakatani.v33i1.19562
PENDAHULUAN
Tebu pada dasarnya merupakan salah satu
komoditas penghasil gula yang patut mendapat
perhatian khusus oleh pemerintah. Tebu saat ini
bukan menjadi komoditas pilihan utama petani,
tetapi komoditas lain seperti padi, jagung, dan
bawang merah-lah yang menjadi pilihan utama
untuk dibudidayakan. Sebelum diterbitkannya
Inpres No. 5 Tahun 1998 (pencabutan Inpres
No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat
Intensifikasi), komoditas tebu sangat mudah
diperoleh Pabrik Gula (PG) sebagai bahan baku
untuk diolah menjadi gula. Sutiarso (2018) dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa agribisnis
selain tebu terkhusus pada bawang merah
di Kabupaten Probolinggo masih dalam kategori
menguntungkan dan layak diusahakan, baik
secara finansial maupun ekonomi, serta masih
memiliki daya saing, baik keunggulan kompetitif
maupun keunggulan komparatif.
Minimnya perhatian dan proteksi ketat dari
pemerintah terhadap komoditas tebu seperti
pendistribusian pupuk, adanya Harga Eceran
Tertinggi (HET) gula, dan kredit usaha tani yang
semakin rumit juga mempengaruhi daya saing
usahatani tebu. Hal tersebut tentunya berpengaruh
pada penurunan produksi dan produktivitas tebu,
khususnya di sentra produksi tebu di Jawa yang
pada akhirnya berdampak juga adanya pergeseran
pengusahaan tebu dari lahan sawah ke lahan
kering (Soentoro et al., 1999).
Produktivitas tebu dipengaruhi oleh berbagai
faktor, tidak hanya tipe lahan (sawah atau tegalan)
tetapi juga penggunaan sarana produksi dan
teknik budidaya. Sebagai contoh, produktivitas
tebu di Kabupaten Madiun dan Kediri pada lahan
sawah dan tanam awal cenderung lebih rendah
dibandingkan di lahan tegalan dan sebaliknya
58
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
untuk tebu keprasan. Sementara produktivitas
tebu di lahan sawah Kabupaten Malang dan
Jember relatif lebih tinggi daripada di lahan
tegalan. Namun rendemen yang diperoleh petani
antar kabupaten relatif sama, berkisar 6,0 - 6,8%
dengan pola bagi hasil petani rata-rata 66%.
Potensi usahatani tebu lahan kering di pulau Jawa
masih dapat ditingkatkan produktivitasnya
melalui perbaikan manajemen usahatani yang
diikuti oleh kebijakan pemerintah terhadap
insentif harga gula dan penyediaan kredit
usahatani. Disisi lain Pulau Jawa juga merupakan
sentra produksi beras, sehingga akan bersaing
ketat dalam pemanfaatan lahan yang ada.
Keuntungan usahatani tebu secara ekonomi dapat
dipandang sebagai cerminan efisiensi ekonomi
suatu usaha. Usahatani tebu di Kabupaten Madiun
dan Kabupaten Kediri tidak mempunyai
keunggulan komparatif sedangkan di Kabupaten
Malang dan Jember menunjukkan keunggulan
komparatif (Ariani et al., 2004).
Pabrik Gula Wonolangan merupakan salah
satu pabrik yang terletak di Kabupaten
Probolinggo dan sangat berdekatan dengan pabrik
se-saudaranya di lingkup PG-PG di PTPN XI.
Pabrik yang berbatasan dengan PG Wonolangan
diantaranya: (1) Bagian Selatan: PG Jatiroto
(Kabupaten Lumajang), (2) Bagian Barat:
PG Kedawung (Kabupaten Pasuruan), dan (3)
Bagian Timur: PG Gending dan PG Pajarakan
(Kabupaten Probolinggo). Keseluruhan
PG tersebut masih aktif dalam memproduksi gula.
Tidak mudah mendapatkan bahan baku tebu untuk
setiap tahun masa giling PG tersebut. Persaingan
dengan PG-PG di sekitarnya dan persaingan
dengan komoditas non-tebu menjadi tantangan
yang kuat bagi PG Wonolangan. Salah satu cara
yang ditempuh adalah bentuk kemitraan yang
diterapkan membuat Pabrik Gula memberikan
segala kemudahan kepada petani agar mudah
mendapatkan fasilitas seperti bibit, pupuk dan
sistem pengangkutan tebu ke pabrik gula. Hal ini
dilakukan untuk menjamin seluruh kegiatan
penanaman tebu berjalan lancer (Maulidiah,
2012).
Oleh sebab itu sebagai salah satu contoh,
pengembangan tebu di Kabupaten Lampung
Utara dilakukan dengan beberapa strategi antara
lain: a) Mengembangkan potensi lahan usahatani
tebu yang ada (eksisting), b) Melakukan
penyuluhan proses pengolahan produk sampingan
tebu agar optimal untuk tambahan pendapatan
petani dan menambah luas lahan untuk budidaya
tebu, c) Membangun kemitraan dengan PG dan
menetapkan program yang mendukung
peningkatan produksi tebu seperti program
bantuan sarana produksi untuk petani tebu
(Ahadis et al., 2012).
Pemilihan lokasi di wilayah kerja
PG Wonolangan memiliki beberapa argumen
diantaranya: 1) Salah satu pabrik gula yang
memiliki wilayah kerja Kabupaten Lumajang dan
Kabupaten Probolinggo, 2) Meskipun wilayah
kerja PG Wonolangan terhimpit tetapi tetap
memiliki posisi tawar yang tinggi, 3) Belum
adanya penelitian mengenai daya saing usahatani
tebu di wilayah kerja PG Wonolangan, dan
4) Terdiri dari beberapa komoditas non-tebu yang
menjadi pesaing yaitu bawang merah, padi, dan
jagung. Maka dari itu, perlu adanya kajian lebih
lanjut mengenai daya saing usahatani tebu dengan
komoditas eksisting di wilayah kerja
PG Wonolangan.
Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan secara umum kinerja
PG Wonolangan di Industri Pergulaan Nasional
dan menganalisis perbandingan usahatani tebu
dengan komoditas non-tebu di wilayah kerja
PG Wonolangan. Manfaat penelitian ini adalah
untuk memberikan masukan untuk pembuat
kebijakan baik di lingkup PG Wonolangan dan
PTPN XI, maupun pihak pemerintah
(Kementerian BUMN) untuk mengelola dan
mengembangkan PG Wonolangan serta usahatani
tebu rakyat di wilayah PG tersebut.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara sengaja
pada bulan maret 2018 di Wilayah Kerja
PG Wonolangan yaitu di Kabupaten Probolinggo
dan Kabupaten Lumajang. Lokasi penelitian
dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah Timur,
wilayah Barat, dan wilayah Selatan. Sampel
kebun dipilih secara sengaja dengan
pertimbangan mampu mewakili seluruh kondisi
wilayah kerja PG Wonolangan. Wilayah tersebut
meliputi:
1. Wilayah Barat : Desa Banjarsari dan
Desa Tongas Wetan
2. Wilayah Timur : Desa Dringu, Desa
Sumber Kedung, dan Desa Sumendi
3. Wilayah Selatan : Desa Triwung Lor dan
Desa Salak
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
59
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan
metode survei. Menurut Singarimbun (1989)
penelitian survei adalah penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data yang pokok. Teknik penentuan
informan dalam penelitian ini secara sengaja
(Purposive Sampling) dengan kriteria petani yang
merupakan tokoh pertanian, mempunyai
pengalaman berusahatani cukup panjang, dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan, baik
di wilayah masing-masing tebu maupun non-tebu.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer
dan sekunder. Data primer terdiri atas data
usahatani non-tebu (jagung, bawang merah,
kedelai, dan padi yang diperoleh dari hasil
wawancara kepada petani non-tebu) dan data
usahatani tebu. Data sekunder meliputi data lima
tahun terakhir potret kinerja Pabrik Gula
Wonolangan, data laba rugi Tebu Sendiri (milik
PG) per kebun MT 2016/2017 kategori Plant
Cane dan Ratoon Cane di lahan sawah dan tegal,
Rencana Strategi berdasarkan Rapat Kerja
Monitoring dan Evaluasi PG Wonolangan bulan
Februari 2018 yang semuanya diperoleh dari
PG Wonolangan.
Teknik Analisis Data
1. Deskriptif Kualitatif
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Moleong (2008)
menjelaskan bahwa penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang menggambarkan dan
melukiskan keadaan obyek penelitian pada
saat sekarang sebagaimana adanya
berdasarkan fakta-fakta. Penelitian ini
merupakan usaha untuk mengungkapkan
masalah atau keadaan atau peristiwa
sebagaimana adanya sehingga hanya bersifat
sebagai pengungkap fakta. Hasil penelitian
ditekankan untuk memberikan gambaran
secara obyektif tentang keadaan yang
sebenarnya dari obyek yang diteliti. Tujuan
deskriptif kualitatif dalam penelitian ini yaitu
untuk memberikan gambaran secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-
fakta penelitian. Fakta-fakta tersebut yaitu
tentang kinerja PG Wonolangan dan respon
petani terhadap komoditas yang
dibudidayakan. Besarnya pengaruh rendemen
terhadap peluang petani menjalankan
usahatani tebu sesuai pilihan kelembagaan
yang ada maka sangat diperlukan upaya untuk
meningkatkan rendemen baik dari aspek
manajemen penentu (pengambil keputusan)
maupun aspek pelaksanaan usahatani dan
efisiensi PG (Priyadi, 1997).
2. Analisis Usaha
Tujuan dilakukan analisis usaha adalah
melihat alokasi pengeluaran kegiatan
usahatani bisa dijangkau oleh penerimaan
sehingga pendapatan dapat dimaksimalkan.
Untuk melakukan pendekatan tersebut
dilakukan pengambilan teknis budidaya yang
diterapkan di lahan tersebut dan rincian biaya
yang akan dialokasikan, untuk dilakukan
analisis usahatani. Kebutuhan biaya pada
masing-masing pekerjaan diestimasikan dalam
bentuk biaya pekerjaan secara rinci pada
masing-masing tahap pekerjaan budidaya tebu.
Biaya lain terkait usahatani tebu seperti tenaga
kerja, biaya tebang, muat dan angkut
didapatkan dengan melakukan survei biaya
wajar di sekitar wilayah yang dikaji. Banyak
penelitian usahatani tebu menunjukkan bahwa
keuntungan yang diperoleh petani sesuai
dengan upaya yang dilakukan menjadi faktor
penentu luas tanam tebu. Maka sulit
diharapkan perluasan tanaman tebu tanpa
upaya membangun sistem pergulaan yang
menguntungkan petani tebu. Untuk
memanfaatkan potensi on farm tebu yang
sangat besar diperlukan langkah strategis
antara lain perbaikan kinerja pabrik, perbaikan
skala usahatani dan sistem pembiayaan
(Bantacut, 2010).
Berdasarkan informasi teknis dan tingkat
harga, dilakukan identifikasi unsur-unsur
manfaat dan biaya yang timbul pada budidaya
tebu yang dilakukan pada lahan tersebut.
Dengan menggunakan hasil identifikasi unsur
biaya serta informasi harga yang relevan, maka
ekspektasi nilai arus penerimaan dan arus
biaya usaha budidaya dapat diidentifikasi.
Arus penerimaan merupakan arus nilai produk
utama dan produk ikutannya, dalam hal ini
produk utama adalah gula dan produk ikutan
adalah tetes. Sedangkan arus biaya merupakan
arus nilai pengeluaran baik untuk investasi
maupun untuk operasional kegiatan produksi.
60
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potret Kinerja PG Wonolangan
PG Wonolangan merupakan salah satu pabrik
gula yang berada di bawah naungan
PT. Perkebunan Nusantara XI dengan core
bussiness adalah produksi gula. PG Wonolangan
dalam memasok kebutuhan giling tiap tahunnya
mengambil dari tebu rakyat (TR) petani. Sekitar
90% pasokan tebu berasal dari TR dan 10%
sisanya berasal dari tebu sendiri (TS). Dengan
komposisi pasok tebu rakyat yang tinggi, pihak
manajemen PG Wonolangan melakukan sistem
bermitra dengan petani agar memenuhi kebutuhan
pasoknya dalam masa giling. Kemitraan antara
petani tebu dan pabrik gula bermula sejak pabrik
gula kekurangan pasokan bahan baku tebu dan
menggiling tebu dibawah kapasitas giling,
sedangkan petani tidak memiliki jaminan pasar
dan membutuhkan pengolahan lebih lanjut agar
tebu lebih bernilai. Dengan demikian, terdapat
hubungan saling membutuhkan antara pabrik gula
dan petani tebu rakyat (Maulidia, 2012). Untuk
melihat lebih rinci produksi TR dan TS serta
kinerja Pabrik Gula Wonolangan adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Kinerja PG Wonolangan Tahun 2013 2017
Kategori
Luas Lahan
(ha)
Produktivitas
(ton/ha)
Produksi
Tebu
(ton)
Rendemen
(%)
Total Gula yang
dihasilkan
(ton)
Kap. Giling
(ton/hari)
KES
KIS
TR
4.102,78
67.02
274.956,4
6,79
18.668,13
1.856,40
1.677,90
3.772,56
64.20
242.213,6
7,50
18.154,78
1.820,40
1.651,60
4.219,03
60.80
256.503,5
8,59
22.045,40
1.867,60
1.800,30
3.372,24
70.93
239.198,6
5,99
14.331,50
1.859,20
1.693,50
2.342,30
81.71
191.378,8
7,07
13.527,04
1.972,50
1.777,50
Rata-Rata
3.561,78
67,62
240.850,2
7,20
17.345,37
1.875,22
1.720,16
TS
398,25
60,08
23.928,20
7,89
1.887,37
1.856,40
1.677,90
303,93
48,56
14.757,90
8,79
1.297,12
1.820,40
1.651,60
208,68
61,30
12.791,20
9,69
1.239,50
1.867,60
1.800,30
58,11
102,08
5.932,60
6,58
390,49
1.859,20
1.693,50
386,32
88,66
34.250,17
8,66
2.967,18
1.972,50
1.777,50
Rata-Rata
271,06
67,63
18.332,01
8,49
1.556,33
1.875,22
1.720,16
TS + TR
4.501,03
66,40
298.884,60
6,88
20.555,50
1.856,40
1.677,90
4.076,49
63,04
256.971,50
7,57
19.451,90
1.820,40
1.651,60
4.427,69
60,82
269.294,70
8,65
23.284,90
1.867,60
1.800,30
3.430,35
71,46
245.131,20
6,01
14.721,99
1.859,20
1.693,50
2.728,62
82,69
225.628,92
7,31
16.494,21
1.972,50
1.777,50
Rata-Rata
4.335,07
63,45
275.050,27
7,67
21.097,43
1.875,22
1.720,16
Sumber: Data Sekunder PG Wonolangan (2018) diolah.
Berdasarkan Tabel 1, tampak bahwa luas lahan
tebu rakyat di wilayah PG Wonolangan senantiasa
mengalami penurunan dari tahun 2015 hingga
2017, hal tersebut karena banyak petani beralih
budidaya ke komoditas lain. Berdasarkan data
BPS yang menjadi pesaing komoditas tebu adalah
bawang merah, padi, dan jagung. Luas panen
masing-masing komoditas pesaing di kabupaten
probolinggo adalah bawang merah (5.529 ha),
padi (66.657 ha) dan jagung (59.859 ha).
Sedangkan tebu sendiri hanya memliki luas panen
hanya sebesar 4.019 ha (BPS, 2017). Fluktuatif
lahan tebu tersebut disebabkan banyak petani
yang beralih ke komoditas lain. Dari sisi produksi
mengalami penurunan dikarenakan terkena
dampak el nino di tahun 2017. Secara tidak
langsung, bobot tebu berkurang, namun dampak
el nino juga berdampak positif pada rendemen
yang dihasilkan, ditunjukkan dengan rendemen
meningkat 1,3% pada tahun 2017.
Selain dari sisi luas dan produksi, komoditas
tebu juga belum mampu bersaing dengan bawang
merah, jagung, dan padi. Berdasarkan data BPS
menunjukkan padi mampu memiliki tingkat
produktivitas 5,45 ton/ha, jagung 4,33 ton/ha, dan
bawang merah paling tinggi hingga 7,27 ton/ha.
Ketiga komoditas tersebut bisa menghasilkan
hingga 2-3 kali panen dalam satu tahun.
Dimungkinkan produksi tebu belum bisa bersaing
dipengaruhi oleh faktor iklim, fasilitasi sarana
produksi dan pengaruh lingkungan sosial yang
mayoritas petani Probolinggo menanam tanaman
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
61
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
pangan dan hortikultura. Sehingga banyak petani
yang enggan menanam tebu atau tetap menanam
tanaman yang biasa ditanam (non-tebu).
Pada saat ini fasilitas pupuk sebagai sarana
produksi sangat sulit diperoleh oleh petani
dikarenakan kebijakan pemerintah yang
membatasi distribusi pupuk kalangan petani tebu.
Menurut Tunjungsari (2014) mengemukakan
bahwa pupuk memiliki pengaruh yang positif
terhadap produksi tebu sampai dengan batas
tertentu. Pemupukan yang sesuai akan
meningkatkan jumlah produksi tebu per satuan
luas lahan. Oleh sebab itu, sarana produksi seperti
pupuk juga harus diertimbangkan pemerintah agar
petani tidak enggan dalam budidaya tebu.
Selain dari faktor pupuk, pemeliharaan sifat
fisik tanah juga berpengaruh terhadap
produktivitas tebu. Sifat fisik tanah yang baik
akan mendukung berbagai proses penting
di dalam tanah, seperti kehidupan organisme
dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman.
Kelangkaan air sering menjadi kendala atau
pembatas usahatani dalam pengelolaan lahan
kering. Oleh karena itu, inovasi teknologi
pengelolaan air dan iklim sangat diperlukan,
meliputi irigasi suplemen, prediksi iklim serta
pemetaan masa tanam dan pola tanam
(Prihatiningrum, 2010).
Usaha agar pasokan tebu bisa tetap stabil maka
seharusnya setap pabrik gula memiliki strategi
baik di on farm maupun off farm. Menurut
Prawiro (2011) untuk mendukung peningkatan
produksi gula di Jawa Timur telah dilakukan
berbagai kegiatan, baik di sektor on farm maupun
off farm. Secara garis besar perbaikan sektor
on farm dilakukan melalui penyediaan sarana
produksi, bibit unggul, penerapan standar baku
budidaya, rehabilitasi tanaman melalui bongkar
ratoon dan rawat ratoon, precision farming, dan
lain-lain. Sementara di sektor off farm dilakukan
peningkatan kapasitas giling dan rehabilitasi
pabrik. Kegiatan perbaikan on farm yang cukup
nyata pengaruhnya di Jawa Timur adalah bongkar
ratoon. Tanaman yang sudah dikepras lebih dari
3 kali dibongkar dan diganti dengan varietas tebu
unggul baru. Penggantian ini disertai dengan
upaya pemupukan dalam dosis, komposisi dan
waktu yang tepat, pengairan dan perawatan
lainnya, sesuai dengan baku teknis. Bibit ditanam
berjenjang dengan luasan sesuai kebutuhan dan
pelaksanaan pembangunan melibatkan petani
(Koperasi Petani Tebu Rayat) dan PG Maka dari
itu, PG Wonolangan juga memiliki beberapa
strategi yang ditempuh baik on farm maupun
off farm pada musim giling 2018, diantaranya:
1. Strategi On Farm:
a. Menambah areal tebu di area perkebunan
swasta yang berada di sekitar
PG Wonolangan, antara lain: a) Area milik
PT. LBM Lokasi di Bentar Probolinggo
dengan potensi perluasan tahun 2018 seluas
100 ha, tahun 2019 seluas 300 ha, b) Areal
milik perkebunan Gunung Ringgit dengan
potensi perluasan 75 ha, c) Areal milik
Pemerintah Kota Probolinggo dengan
potensi perluasan 2 ha, d) Areal milik
perkebunan PT. Kalijeruk dengan potensi
perluasan sebesar 100 ha, e) Perluasan
daerah Triwung Lor yang saat ini
didominasi komoditas jagung dengan
potensi perluasan 200 ha.
b. Peningkatan Produktivitas TR dan TS
dengan sasaran protas minimal 800
kuintal/ha dan protas TS minimal 900
kuintal/ha dengan langkah sebagai beikut:
a) Pemberian blotong ke kebun TS maupun
TR secara gratis, b) Pemberian pupuk
maksimal sesuai dengan rekomendasi
dosis, c) Mengupayakan pemberian air
secara maksimal dengan memanfaakan
sumber-sumber air yang ada
c. Penebangan tepat waktu sesuai jadwal
dengan kualitas MBS (Manis, Bersih,
Segar) dengan sosialisasi melalui Forum
Temu Kemitraan Wilayah (FTK-W)
dengan strategi antara lain: a) Mapping
wilayah dan petani bagi petugas PG,
b) Pembinaan dan pengawalan secara
intensif, c) Pelayanan Prima,
d) Pemasangan patok tebang, e) Kontrak
tenaga tebang 130% dari kapasitas harian,
f) Tebang “Plontos” (bersih dari akar, daun,
sogolan atau tebu muda)
2. Strategi Off Farm:
Masalah inefisiensi PG membentang dari
sisi budidaya (on farm) yaitu produktivitas
tebu yang rendah dan kualitas panen tebu yang
tidak sesuai dengan kriteria MBS, sampai
kepada sisi pabrik (off farm) yaitu biaya
produksi gula di pabrik yang belum mencapai
posisi ekonomis karena penggunaan bahan
bakar yang tidak efisien. Dikatakan tidak
efisien karena ampas yang dihasilkan dalam
proses penggilingan tebu tidak mencukupi
sebagai bahan bakar sehingga harus disuplesi
dengan bakan bakar yang lain, masalah
62
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
rendemen, biaya perawatan pabrik yang tinggi,
rendahnya produktivitas tenaga kerja dan
terbatasnya nilai tambah produk (Ahmad et al.,
2016). Maka PG Wonolangan membangun
strategi di sisi off farm dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Peningkatan kapasitas giling melalui:
a) Pergantian Drum Buyer KTR No. 3 dan
5 Ex PG Gending, b) Penggantian
Penggerak Gilingan 2, c) Relokasi
Evaporator LP 1400 Ex PG Kanigoro,
d) Relokasi Pan Masak A dan D Ex
PG Kanigoro, e) Relokasi Putaran Low
Grade Ex PG Kanigoro dan
PG Asembagus.
2) Penurunan kehilangan POL (Efisiensi
Pabrik) melalui: a) Modifikasi Pisau Cane
Knife dan Unigrator untuk menaikkan
effisiensi gilingan (Preparation Index), b)
Relokasi Rotary Vacum Vilter Ex
PG Semboro, c) Pemasangan Chiller untuk
air pendingin palung D, d) Pengadaan
pompa vacum kap 5500 m3/jam,
e) Pembuatan Spray Pond Kap 500 m3/jam.
3) Peningkatan kualitas produk melalui:
a) Pemasangan saringan vibro di gilingan,
b) Redesain defaktor dan bejana sulfitir,
c) Redesain Single Tray untuk
penegendapan nira, penambahan
ketinggian level feed launder,
d) Pembuatan sulfur melter, e) Pembuatan
remelter, f) Pembuatan cyclone debu gula.
Pabrik Gula dalam berbagai keterbatasan telah
melakukan upaya untuk memperbaiki kinerja,
tetapi mengalami berbagai kendala, antara lain:
1. Kesulitan memperloleh lahan
2. Pengembangan lahan tebu ke lahan kering
sehingga biaya angkut tebu meningkat, karena
lokasi lahan kering pada umumnya jauh dari
Pabrik Gula sehingga membutuhkan biaya
angkut lebih tinggi
3. Jumlah produksi gula kurang dari 250.000
kuintal per tahun, sehingga harga pokok
produksi mahal (tidak bersaing)
4. Mutu bahan baku (tebu) belum optimal
sehingga biaya produksi PG tidak efisien
5. Kapasitas giling PG rendah (di bawah 2.000
Ton Cane per Day) (Bantacut, 2010).
Analisis Daya Saing Usaha
1. Analisis Usahatani Non-Tebu
Secara umum, usahatani non-tebu di
wilayah kajian memliki variasi komoditas
yang dibudidayakan. Setiap komoditas yang
dibudidayakan memiliki nilai sisa hasil usaha
(SHU) yang bervariatif pula tergantung dari
pendapatan dan biaya yang dikeluarkan.
Menurut Nurjayanti dan Naim (2014),
komponen biaya usahatani terdiri dari biaya
tetap dan biaya variabel, dimana pada
penelitian ini biaya tetap adalah biaya sewa
lahan, sedangkan biaya variabel meliputi biaya
tenaga kerja, dan biaya bahan (pupuk,
herbisida, dan sebagainya). Pada segi
pendapatan diperoleh melalui hasil produksi
usahatani non-tebu dikalikan harga jual. Maka
dari itu, berkut kami sajikan produksi
usahatani non-tebu per hektar per musim.
Tabel 2. Produksi Usahatani Non-Tebu per hektar per musim
No.
Desa
Komoditas
Produktivitas
(ton/ha)
Biaya
(Rp)
Pendapatan
(Rp)
SHU/musim
(Rp)
Persentase SHU
(%)
1.
Wilayah
Timur
Jagung
4,45
11.419.575
17.800.000
6.738.475
59,01
Padi
4,8
11.885.025
24.000.000
12.114.975
101,93
Bawang Merah
1,5
22.778.963
25.500.000
2.721.038
11,95
Kedelai
1,6
8.533.250
10.400.000
2.425.000
28,42
2.
Wilayah
Barat
Padi
5,3
10.895.275
25.440.000
14.544.725
133,5
Jagung
4,13
9.511.972
16.200.000
6.688.028
70,31
3.
Wilayah
Selatan
Padi
4,95
10.551.983
23.760.000
13.208.017
125,17
Jagung
5,07
12.653.344
19.920.000
7.266.656
57,43
Sumber: Analisis Data Primer, 2018
Komoditas non-tebu yang terdapat di desa
sampel adalah padi, jagung, bawang merah,
dan kedelai. Produktivitas padi antara 4,8 - 5,3
ton/ha dengan SHU antara Rp 12.114.975,-
hingga Rp 14.544.725,-/ha dan persentase
SHU antara 101,93 - 133,5%. Produktivitas
jagung berkisar antara 4.13 - 5.07 ton/ha
dengan SHU berkisar antara Rp 6.688.028,-
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
63
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
hingga Rp 7.266.656,-/ha dan persentase SHU
antara 57,43 - 70,31%. Produktivitas bawang
merah 1,5 ton/ha dengan SHU Rp 2.721.038,-
/ha, dan persentase SHU sebesar 11,95%.
Produktivitas kedelai 1,6 ton/ha dengan SHU
Rp 2.425.000,-/ha, dan persentase SHU
sebesar 28,42%. Semua tanaman non-tebu
di 3 wilayah sampel (padi, kedelai, jagung, dan
bawang merah) mempunyai persentase SHU
positif yang menunjukkan bahwa semuanya
mengalami keuntungan dalam usahatani
komoditas non-tebu. Tampak bahwa usahatani
padi dan jagung dapat memberikan SHU
dengan nilai besar, namun perlu diketahui
bahwa usahatani tersebut juga membutuhkan
modal yang besar terutama perawatan, rawan
dalam gagal panen, dan harga jual yang
berfluktuatif.
2. Analisis Usahatani Tebu di Wilayah Kerja
PG Wonolangan
Usahatani tebu terdiri dari 2 kategori
tanaman yaitu Plant Cane (Tanaman Awal)
dan Ratoon Cane (Tanaman Keprasan) baik
pada lahan sawah maupun tegal. Tebu
membutuhkan waktu panen hingga 1 tahun,
jadi dalam satu tahun petani hanya bisa
menanam tebu saja. Hasil secara kualitas
maupun kuantitas pada masing kategori
tanaman juga berbeda-beda. Maka dari itu,
SHU dalam usahatani tebu juga berbeda-beda
setiap kategori tanaman baik tegal maupun
sawah. Beikut tabel analisis usahatani tebu di
masing-masing wilayah sampel
PG Wonolangan:
Tabel 3. Analisis Usahatani Tebu di Wilayah Kerja Bagian Timur PG Wonolangan.
No.
Uraian
Sawah
Plant Cane
Ratoon Cane
1.
Produksi Tebu (ton/ha)
103
85,6
2.
Rendemen (%)
7,26
7,78
3.
Bagi Hasil Gula Tani (66%)
4,94
4,40
4.
Bagi Hasil Tetes (3% tebu)
3,09
2,57
5.
Harga Gula (Rp ,-/ton)
10.500.000
10.500.000
6.
Harga Tetes (Rp ,-/ton)
1.800.000
1.800.000
7.
Biaya (Rp)
48.243.895
39.301.224
8.
Pendapatan
a. Gula Tani (Rp)
51.821.154
46.151.582
b. Tetes Tani (Rp)
5.562.000
4.622.400
Jumlah Pendapatan (Rp)
57.383.154
50.773.982
9.
Hasil Usahatani (Rp)
9.139.259
11.472.759
10.
Persentase Usaha (%)
18,94
29,19
Sumber Analisis Data Primer, 2018
Tabel 3 menunjukkan usahatani tebu desa
sampel wilayah Timur secara ekonomi
memiliki persentase SHU positif di semua
kategori, baik Plant Cane (PC) dan Ratoon
Cane (RC) di lahan sawah yang berarti
usahatani tebu di desa sampel wilayah Timur
juga mempunyai prospek yang
menguntungkan di lahan sawah pada PC
maupun RC. Namun jika dibandingkan antar
kategori maka persentase SHU tertinggi
diperoleh pada kategori RC di lahan sawah
yaitu 29,19%, sedangkan terendah adalah
persentase SHU pada kategori PC di lahan
sawah. Hal ini disebabkan biaya yang
dibutuhkan pada RC lebih rendah daripada PC
meskipun terdapat penurunan produktivitas
pada RC, sedangkan pada PC lahan tegal
dibutuhkan biaya bibit dan pengolahan lahan.
Kisaran persentase SHU usahatani tebu di desa
sampel wilayah Timur adalah 18,94 - 29,19%
dengan nilai SHU antara Rp 9,1 juta hingga
Rp 11,4 juta per hektar per musim tanam.
Biaya berpengaruh signifikan terhadap
pendapatan petani tebu, ini menunjukkan
bahwa dengan biaya yang tinggi yaitu sewa
lahan, bibit, pupuk, herbisida, tenaga kerja,
dan produktivitas tinggi dapat memaksimalkan
pendapatan petani dari usahatani tebu
(Sutrisno, 2009).
64
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
Tabel 4. Analisis Usahatani Tebu di Wilayah Kerja Bagian Barat PG Wonolangan.
No.
Uraian
Sawah
Tegal
Plant Cane
Ratoon Cane
Plant Cane
Ratoon Cane
1.
Produksi Tebu (ton/ha)
106,9
69,4
70,4
70,4
2.
Rendemen (%)
7,05
7,78
8,44
8,44
3.
Bagi Hasil Gula Tani (66%)
4,97
3,56
3,92
3,92
4.
Bagi Hasil Tetes (3% tebu)
3,21
2,08
2,11
2,11
5.
Harga Gula (Rp ,-/ton)
10.500.000
10.500.000
10.500.000
10.500.000
6.
Harga Tetes (Rp,-/ton)
1.800.000
1.800.000
1.800.000
1.800.000
7.
Biaya (Rp)
52.749.153
34.990.146
38.998.150
29.903.150
8.
Pendapatan
a. Gula Tani (Rp)
52.227.599
37.417.288
41.176.397
41.176.397
b. Tetes Tani (Rp)
5.772.600
3.747.600
3.801.600
3.801.600
Jumlah Pendapatan (Rp)
58.000.199
41.164.888
44.977.997
44.977.997
9.
Hasil Usahatani (Rp)
5.251.046
6.174.741
5.979.847
15.074.847
10.
Persentase Usaha (%)
9,95
17,65
15,33
50,41
Sumber: Analisis Data Primer, 2018
Tabel 4 menunjukkan persentase SHU desa
sampel wilayah Barat yang sama dengan desa
sampel wilayah Timur. Secara ekonomi
usahatani tebu memiliki persentase SHU
positif di semua kategori (PC dan RC di lahan
sawah serta PC dan RC di lahan tegalan), yang
berarti usahatani tebu di desa sampel wilayah
Barat juga mempunyai prospek yang
menguntungkan baik di lahan sawah maupun
tegalan pada PC maupun RC. Namun jika
dibandingkan antar kategori maka persentase
SHU tertinggi diperoleh pada kategori RC
di lahan tegal yaitu 50,41%, sedangkan
terendah adalah persentase SHU pada kategori
PC di lahan sawah yaitu 9,95%. Hal ini
disebabkan biaya yang dibutuhkan pada RC
lebih rendah daripada PC meskipun terdapat
penurunan produktivitas pada RC tegal.
Sedangkan pada PC lahan sawah dibutuhkan
biaya bibit dan pengolahan lahan, serta biaya
sewa lahan sawah yang sangat mahal. Kisaran
persentase SHU usahatani tebu di desa sampel
bagian barat adalah 9,95 - 50,41% dengan nilai
SHU antara Rp 5 juta hingga Rp 15 juta
per hektar per musim tanam.
Tabel 5. Analisis Usahatani Tebu di Wilayah Kerja Bagian Selatan PG Wonolangan.
No.
Uraian
Sawah
Tegal
PC
RC
PC
RC
1.
Produksi Tebu (ton/ha)
111,7
111,7
70
70
2.
Rendemen (%)
6,74
6,74
7,46
7,46
3.
Bagi Hasil Gula Tani (66%)
4,97
4,97
3,45
3,45
4.
Bagi Hasil Tetes (3% tebu)
3,35
3,35
2,1
2,1
5.
Harga Gula (Rp ,-/ton)
10.500.000
10.500.000
10.500.000
10.500.000
6.
Harga Tetes (Rp ,-/ton)
1.800.000
1.800.000
1.800.000
1.800.000
7.
Biaya (Rp)
53.019.269
43.924.269
38.730.543
29.635.543
8.
Pendapatan
a. Gula Tani (Rp)
52.173.059
52.173.059
36.188.460
36.188.460
b. Tetes Tani (Rp)
6.031.800
6.031.800
3.780.000
3.780.000
Jumlah Pendapatan (Rp)
58.204.859
58.204.859
39.968.460
39.968.460
9.
Hasil Usahatani (Rp)
5.185.590
14.280.590
1.237.917
10.332.917
10.
Persentase Usaha (%)
9,78
32,51
3,2
34,87
Sumber Analisis Data Primer, 2018
Tabel 5 menunjukkan persentase SHU yang
sama dengan di desa sampel wilayah Barat dan
Timur. Secara ekonomi usahatani tebu desa
sampel wilayah Selatan memiliki persentase
SHU positif disemua kategori (PC dan RC
di lahan sawah serta PC dan RC di lahan
tegalan), yang berarti usahatani tebu di desa
sampel wilayah Selatan juga mempunyai
prospek yang menguntungkan baik di lahan
sawah maupun tegalan pada PC maupun RC.
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
65
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
Namun jika dibandingkan antar kategori maka
persentase SHU tertinggi diperoleh pada
kategori RC di lahan tegal yaitu 34,87%,
sedangkan terendah adalah persentase SHU
pada kategori PC di lahan tegal yaitu 3,2%.
Hal ini disebabkan biaya yang dibutuhkan
pada RC lebih rendah daripada PC. Hal ini
disebabkan pada PC lahan tegal dibutuhkan
biaya bibit, pengolahan lahan, dan pengairan
yang sangat besar karena iklim dan lahan yang
kering. Kisaran persentase SHU usahatani tebu
di desa sampel wilayah Selatan adalah 3,2 -
34,87% dengan nilai SHU antara Rp 1,2 juta
hingga Rp 10,3 juta per hektar per musim
tanam. Adanya persaingan antara tanaman
tebu dan padi, mendorong terjadinya
pergeseran areal pertanaman tebu rakyat dari
lahan sawah ke lahan kering. Daya saing
usahatani tebu terhadap komoditas alternatif
pada lahan sawah dipengaruhi oleh
produktivitas hablur, serta perbandingan harga
gula dan harga dasar gabah. Sedangkan pada
lahan kering komoditas tebu memiliki daya
saing lebih tinggi (Malian dan Syam, 1996).
3. Analisis Daya Saing Usahatani Tebu terhadap
Non-Tebu
Menganalisa daya saing usahatani tebu
terhadap non-tebu harus diasumsikan selama
1 tahun, dikarenakan tebu memiliki masa
panen yang lebih lama dibandingkan usahatani
non-tebu. Pada penelitian ini, disetiap wilayah
kajian memiliki pola tanam usahatani non-tebu
yang bervariasi dalam satu tahun.
Tabel 6. Daya Saing Usahatani Tebu terhadap Usahatani Non-Tebu di Wilayah Timur
No.
Pola Tanam
Biaya
(Rp)
Pendapatan
(Rp)
SHU
(Rp)
Rendemen
(%)
SHU
daya saing
(Rp)
Rendemen
daya saing
(%)
1.
Padi//Jagung//
Jagung
34.724.175
57.820.000
23.095.825
2.
Padi//Padi// Jagung
35.189.625
63.400.000
28.210.375
3.
Kedelai//Bawang
Merah//Bawang
Merah
54.091.175
58.850.000
5.317.075
4.
Tebu
PC Sawah
48.243.895
57.383.154
9.139.259
7,26
28.210.375
9,93
RC Sawah
39.301.224
50.773.982
11.472.759
7,78
28.210.375
10,6
Sumber: Data Primer Diolah, 2018
Pola usahatani yang memiliki SHU tertiggi
adalah padi // padi // jagung. Berdasarkan
Tabel 6, maka SHU usahatani tebu
dibandingkan non-tebu dalam masa satu tahun
(satu okupasi) lebih tinggi dari pada SHU
padi // padi // jagung. Atau dengan kata lain
daya saing tebu di desa sampel wilayah timur
adalah kuat. Khusus untuk PC sawah, untuk
mampu bersaing dengan pola tanam non-tebu
yang ada, maka usahatani tebu di desa sampel
wilayah timur harus dapat mencapai rendemen
9,93%, pada harga gula Rp 10.500,-/kg sesuai
kondisi pada tahun giling 2017. Usahatani RC
sawah dapat bersaing pada rendemen 10,6%.
Tabel 7. Daya Saing Usahatani Tebu terhadap Usahatani Non-Tebu di Wilayah Barat
No.
Pola Tanam
Biaya
(Rp)
Pendapatan
(Rp)
SHU
(Rp)
Rendemen
(%)
SHU
daya saing
(Rp)
Rendemen
daya saing
(%)
1.
Padi//Padi// Jagung
31.302.522
64.536.000
33.233.478
2.
Jagung// Jagung//
Jagung
28.535.917
44.000.800
15.464.883
3.
Tebu
PC Sawah
52.749.153
58.000.199
5.251.046
7,05%
33.233.478
10,83%
RC Sawah
34.990.146
41.164.888
6.174.741
7,78%
33.233.478
13,41%
PC Tegal
38.998.150
44.977.997
5.979.847
8,44%
33.233.478
14,03%
RC Tegal
29.903.150
44.977.997
15.074.847
8,44%
33.233.478
12,16%
Sumber: Data Primer Diolah, 2018
66
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
Pola tanam non-tebu yang dominan di desa
sampel bagian Barat adalah Padi // Padi //
Jagung (Musim Hujan // Musim Kering I //
Musim Kering II). Berdasarkan Tabel 7, SHU
usahatani tebu dibandingkan dengan non-tebu
dalam masa satu tahun (satu okupasi) lebih
tinggi SHU non-tebu. Untuk mampu bersaing
dengan pola tanam tersebut maka usahatani
tebu di desa sampel wilayah Barat harus dapat
mencapai rendemen PC sawah 10,83% dan RC
Sawah 13,41% pada harga gula Rp 10.500,-/kg
sesuai kondisi pada tahun giling 2017.
Selanjutnya usahatani tebu RC sawah untuk
dapat bersaing harus mencapai rendemen
14,03% dan RC tegal harus mencapai
rendemen 12,16%.
Tabel 8. Daya Saing Usahatani Tebu terhadap Usahatani Non-Tebu di Wilayah Selatan
No.
Pola Tanam
Biaya
(Rp)
Pendapatan
(Rp)
SHU
(Rp)
Rendemen
(%)
SHU
daya saing
(Rp)
Rendemen
daya saing
(%)
1.
Padi// Padi// Jagung
33.757.311
65.064.000
31.306.689
2.
Jagung// Jagung//
Jagung
37.960.033
53.998.400
16.038.367
3.
Padi// Jagung//
Jagung
33.757.311
65.064.000
31.306.689
4.
Tebu
PC Sawah
53.019.269
58.204.859
5.185.590
6,74
16.038.367
8,14
RC Sawah
43.924.269
58.204.859
14.280.590
6,74
16.038.367
6,97
PC Tegal
38.730.543
39.968.460
1.237.917
7,46
16.038.367
10,51
RC Tegal
29.635.543
39.968.460
10.332.917
7,46
16.038.367
8,64
Sumber: Data Primer Diolah, 2018
Pola tanam non-tebu yang dominan di desa
sampel bagian Selatan adalah jagung // jagung
// jagung. Berdasarkan Tabel 8, SHU usahatani
tebu dibandingkan non-tebu dalam masa satu
tahun (satu okupasi) lebih tinggi SHU. Untuk
mampu bersaing dengan pola tanam tersebut
maka usahatani tebu di desa sampel wilayah
selatan harus dapat mencapai rendemen PC
sawah 8,14% dan RC Sawah 6,97%, pada
harga gula Rp 10.500,-/kg sesuai kondisi pada
tahun giling 2017. Selanjutnya usahatani tebu
PC tegal untuk dapat bersaing harus mencapai
rendemen 10,51% dan RC tegal harus
mencapai rendemen 8,64%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kinerja PG Wonolangan tahun 2013 - 2017
masih sangat fluktuatif, disebabkan ada berbagai
faktor yang diduga mempengaruhi. Salah satu
faktor tersebut adalah perubahan iklim yang
ekstrem (el nino). Oleh sebab itu, untuk menjaga
kestabilan pasok tebu musim giling 2018 maka
PG Wonolangan merancang strategi baik secara
on farm maupun off farm. Hasil analisis daya
saing usahatani tebu terhadap komoditas non-tebu
didapatkan bahwa seluruh wilayah di PG
Wonolangan baik Timur, Selatan, dan Barat,
secara persentase usaha belum mampu bersaing
atau mengalami persaingan yang sangat kuat
dengan tanaman non-tebu. Hal ini dilihat dari
SHU yang diperoleh petani masih lebih rendah
dibanding non-tebu. Hanya 1 wilayah yang
memiliki SHU dengan selisih sedikit dengan
komoditas non-tebu yaitu wilayah selatan dengan
kategori RC sawah.
Saran
Strategi on farm yang diperlukan untuk
mencapai kinerja PG Wonolangan yang stabil
adalah perbaikan dari sisi on farm yaitu
pembinaan kepada petani tebu agar dapat
menghasilkan kualitas budidaya tebu yang
optimum, pembinaan yang dilakukan dapat
berupa pemberian fasilitas kebutuhan sarana
produksi (kredit, pupuk bersubsidi, herbisida, dan
lain-lain), dan secara intensif melakukan
pengawalan sejak awal pengolahan lahan,
pemilihan varietas, penyediaan benih, tanam,
perawatan, sampai kepada manajemen TMA
(Tebang, Muat, Angkut). Sisi off farm,
manajemen PG Wonolangan bisa melakukan
penerapan sistem analisis rendemen individu
(ARI) yang berguna untuk memberikan apresiasi
kepada petani, meningkatkan kualitas tebangan,
dan penentuan rendemen secara transparan, adil,
dan akurat. Dari seluruh perbaikan baik dari segi
Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 57-67
67
Copyright © 2018 Universitas Sebelas Maret
on farm maupun off farm tentunya akan
berdampak pada peningkatan SHU disisi petani
sehingga bisa berdaya saing dengan komoditas
non-tebu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahadis. H., Hasyim. A.I., & Kasymir, E. 2012.
Analisis Daya Saing Dan Strategi Peningkatan
Produksi Gula Melalui Program Akselerasi Di
Kabupaten Lampung Utara. Bandar Lampung:
Magister Ekonomi Pertanian/Agribisnis
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Ahmad, Z.T., Made S.S., & Lucia E.W. 2016.
Meningkatkan Daya Saing Pabrik Gula di
Indonesia Era Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA).Journal Riset Ekonomi dan
Manajemen. 16(2), 225-236.
Ariani, M., Askin, A., & Hestina, J. 2004. Analisis
Daya Saing Usahatani Tebu di Propinsi Jawa
Timur. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Balitbangtan, Departemen Pertanian.
Badan Pusat Statistik [BPS] Lumajang. 2017.
Kabupaten Lumajang dalam Angka.
Lumajang: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik [BPS] Probolingo. 2017.
Kabupaten Probolinggo dalam Angka.
Probolinggo: Badan Pusat Statistik.
Bantacut, T. 2010. Swasembada Gula: Prospek
dan Strategi Pencapaiannya. Jurnal Pangan.
19(3), 245-256.
Instruksi Presiden Nomer 5. 1998. Penghentian
Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5
Tahun 1997 Tentang Program Pengembangan
Tebu Rakyat. Jakarta: Biro Hukum dan
Perundang-undangan Republik Indonesia.
Instruksi Presiden Nomer 9. 1975. Intensifikasi
Tebu Rakyat. Jakarta.
Malian, A.H., & Syam, A. 1996. Daya Saing
Usahatani Tebu di Jawa Timur. FAE Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 14(1), 1-
11.
Maulidiah, F. 2012, Perkembangan Kemitraan
Petani Tebu dengan PG Krebet Baru, Perilaku
Ekonomi Petani Tebu. Prodi Pendidikan
Sejarah, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang, Malang.
Moleong. 2011. Metode Penelitian Kualitatif
(Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Nurjayanti, E.D., & Syaifun, N. 2014. Analisis
Kelayakan Usahatani Tebu (Studi Kasus
Petani Tebu Mitra PG. Pakis Baru di
Kecamatan Tayu Kabupatn Pati).
MEDIAGRO. 10(1), 60-68.
Prawiro, M.K. 2011. Usahatani Tebu (Sacharum
officinarum) Antara Sistem Bongkar Ratoon
dengan Sistem Rawat Ratoon di wilayah
Kecamatan Prambon. [Skripsi] Surabaya:
Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Prihatiningrum, A.E. 2010. Uji Produktivitas
Model PKP 240 Pada Tanaman Tebu Varietas
BL di Lahan Kering Mumbul Kabupaten
Jember. Jurnal Agrofish. 7(1), 28-36.
Priyadi, U. 1997. Pelaksanaan Usahatani Tebu
Pasca Pencabutan Inpres Nomor 5 Tahun 1997
(Program Pengembangan TRI) di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. UNISIA. 33(73),
17-36.
Singarimbun, E. 1989. Metode Penelitian Survai
(Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Peneitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial.
Soentoro, N.I., & Ali, A.M.S. 1999. Usaha Tani
Dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa. Dalam
Ekonomi Gula di Indonesia. Bogor: Penerbit
Institut Pertanian.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Sutiarso, E. 2018.Analisis Daya Saing Agribisnis
Bawang Merah di Kabupaten Probolinggo.
Jember: Universitas Muhamadiyah Jember.
Sutrisno, B. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Petani
Tebu Pabrik Gula Mojo Sragen. Jurnal
Ekonomi Manajemen Sumberdaya. 10(2), 155-
164.
Tunjungsari, R. 2014. Analisis Produksi Tebu di
Jawa Tengah. JEJAK Journal of Economics
and Policy. 7(2), 100-102. doi:
10.15294/jejak.v7i1.359
... The study by Pratiwi, Wibowo, and Wibowo (2021) in Probolinggo Regency stated that the lack of attention and strict protection from the government such as fertilizer distribution, the existence of the highest retail price (HET) of sugar, and farm business credit affect the competitiveness of sugarcane farming. The aforementioned factors certainly affects the shrinkage of sugarcane production and productivity (Pratiwi et al., 2021). ...
... The study by Pratiwi, Wibowo, and Wibowo (2021) in Probolinggo Regency stated that the lack of attention and strict protection from the government such as fertilizer distribution, the existence of the highest retail price (HET) of sugar, and farm business credit affect the competitiveness of sugarcane farming. The aforementioned factors certainly affects the shrinkage of sugarcane production and productivity (Pratiwi et al., 2021). ...
... The private cost ratio (PCR) value for sugarcane farming is 1.048 (> 1), suggesting that sugarcane farming in the growing season did not have the potential to be developed further because it did not have a competitive advantage. Several studies also mentioned that sugarcane farming is unable to compete with other commodity farming activities in the domestic market (Pratiwi et al., 2021;Warr, 2014). ...
Article
Full-text available
The sugarcane based sugar industry is a source of income for sugarcane farmers and workers in the industry. However, farmers often complain about the high price and cost of farming, which result in a decrease in the quality of sugarcane. The survival of sugarcane farmers is threatened, including those in Kampung Beru Village as one of the largest suppliers of sugarcane for Takalar Sugar Factory. This study aims to explore the competitiveness of sugarcane farming based on competitive and comparative advantages. Data collection was carried out through interviews and focus group discussion (FGD) involving 76 farmers. Policy analysis matrix (PAM) was utilized for data analysis. The results showed that the private cost ratio (PCR) value, an indicator of competitive advantage, was >1 (1.048), suggesting that sugarcane farming does not have a competitive advantage. Domestic resource cost ratio (DRCR) as an indicator of comparative advantage had a value of >1 (1.795), indicating that sugarcane farming also has no comparative advantage. Sugarcane farming has extremely low competitiveness. Hence, the government is advised to increase sugarcane productivity by conducting campaigns to use superior seeds, increase the efficiency of production facilities, revise purchase price standards, and regulate the marketing system.JEL Classification A10; B40; B55
... One of the steps taken is to start allocating input assistance budgets to sugarcane commodities, which can significantly contribute to locallygenerated revenue (PAD). If related agencies, companies, or other institutions can assist with the right quality, target, and time for farmers, increased production can occur sustainably (Pratiwi et al., 2018;Sunarti, 2021). ...
Article
Full-text available
The decline in the productivity of the national sugarcane commodity has become an issue in the last ten years. When domestic demand for sugar is increasing, the decline in productivity indicates a crisis in sugarcane production. At the same time, the involved institutions and strategic programs to encourage sugarcane production have not been well identified. The research aims to determine the institutions that are expected to play a role and the strategic programs that are prioritized in increasing sugarcane production in Southeast Sulawesi, Indonesia. This study uses Interpretative Structural Modeling (ISM) to formulate complexity, hierarchy (levels) and classification among elements. The results showed that of the 14 sub-elements of the acting institutions studied, five institutions were key actors for increasing production, namely banking institutions; universities; agricultural, plantation and fisheries offices; industry, trade, cooperatives, & Small and Medium Enterprises (SMEs') offices; and private companies. Then, from the 13 sub-elements of the strategic programs, there are five strategic programs that also serve as the key programs, namely extension/assisting farmers; addition of plantation labor; providing access to capital; variations of profit-sharing and buying systems of sugarcane; and accuracy of time and adequacy of the supply of raw materials to the mills. This means that these institutions must play an important role, as well as strategic programs that must be carried out effectively to address the issue of sugarcane production in the country. Thus, researchers recommend involving all stakeholders in conducting strategic programs with the key actors as the leading driving institutions.
... The corn production cost is relatively cheaper and had faster cash flow; these are the reasons why maize farming is more in demand. In addition, maize farming income is also higher than sugarcane farming (Marpaung et al., 2010;Pratiwi, Wibowo and Wibowo, 2018;Zainuddin and Wibowo, 2018). This is the reason farmers switch to growing corn instead of sugarcane. ...
Article
Full-text available
The decrease of the smallholder sugarcane area is the major problem for the Indonesian plantation white sugar industry. This study aims to analyze factors that affecting the decrease of the smallholder sugarcane area. This study uses a panel data econometric model; using cross-sectional data from five provinces of smallholder sugarcane base area (East Java, Central Java, Lampung, West Java, and Yogyakarta) with monthly time series from 2014 to 2018. Estimates use the generalized least square (GLS) method. The results showed that the decrease of the smallholder sugarcane area was significantly affected by: (1) the decrease of sugar factories that were actively operating, (2) the increase of labor wages in the estate crops sector, (3) land competition with corn commodities, and (4) the increase of residential areas due to growth of population. The opening of new sugar factories out of Java Island is an alternative to encourages land clearing for smallholder sugarcane areas.
... Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan jumlah bahan baku tebu, namun akan menurunkan rendemen. Hal ini karena kandungan air jauh lebih banyak dibandingkan kandungan gula di dalam batang tebu [11]. Sebaliknya, apabila curah hujan rendah, maka bahan baku tebunya sedikit, tetapi berpotensi untuk mendongkrak rendemen. ...
... Sugarcane productivity can be improved through molecular biology technological innovations (Da Silva et al., 2013), such as the development of sugarcane cultures that can adapt to climate change. Dianpratiwi et al. (2018) explain that several strategies that can be done to increase the productivity of sugarcane plants include increasing sugarcane farming area, adding organic fertilizer, ensuring the maximum water supply and cutting sugarcanes according to the level of maturity. ...
Article
Full-text available
Madura has widely potential farming business of sugarcane and has enough raw material to build a mini sugar mill. Sugarcane is cultivated in Madura, particularly in four regencies, namely Bangkalan, Sampang, Pamekasan and Sumenep. To decide the location of mini sugar mill in one of the regencies requires decision support system (DSS). This study aimed to determine the priority of mini sugar mill location in Madura. This research used primary and secondary data. The primary data were collected using questionnaires. Then, the results of evaluation from the experts, on the items of questions, were analyzed with analytical hierarchy process (AHP). This was accomplished using Expert Choice 2000 software. Analysis of the selection of mini sugar mill location considered six criteria, namely the land suitability level, existing infrastructure, the potential of raw materials, the availability of labor, social capital and institutions. The selected criteria were further classified into sub-criteria to clarify the definitions of operational criteria and facilitate assessment for respondents. The results show that social capital had the greatest influence on decision making, followed by the land suitability level and the potential of raw materials. The finding in this research is that the mini sugar mill location is given priority in Bangkalan Regency, Madura. The conclusion of this research is that AHP analysis can be used as a method to take accurate decision in determining the location of sugarcane factory in certain area of sugarcane farming business development.
Article
Full-text available
Dompu District locates in Province of West Nusa Tenggara that was characterized as dry climate. The climate change also contributed to exacerbating the effect of drought in that area. Sugar cane farming was introduced to this district on 2015 to supply sugar on east of Indonesia. This study aimed to descript the partnership between sugar company and small farmer on dry land sugar cane farming in Dompu District, West Nusa Tenggara Province. This research was conducted by interviewed informants of the officer of sugar cane farmer groups. The result shown that the type of partnership between sugar company and sugar cane farmer was pattern of plasma-nucleus. The sugar company as the nucleus of partnership gave a free technical assistant and sugar cane seed. Sugar cane farmer obligate to manage the farming according to instruction of technical assistant and financed sugar cane farming cost but seed, i.e. cost of worker, fertilizer, pesticide, transportation of sugar cane and cost of tractor rent. Sugar cane farming in dry climate land of Dompu District was able to contribute farmer family income.
Article
Full-text available
The government of Indonesia has planned to achieve self-sufficiency of white sugar in the year of 2014; it is about four years ahead. This available time is considered to be very short to change the status of the country from net importer to self-producer. The national sugar production in 2009 was 2.52 million ton while the consumption was 4.55 million ton consisted of 2.70 million ton direct (household) consumption and 1.85 million ton industrial consumption. The balance (2.03 million ton) was imported from several countries. It has been projected that the sugar demand will increase to 5.32 million ton in 2014 due to population and industrial (mainly food and beverage) growth which will consist of 2.96 million ton direct consumption and 2.36 million ton industrial uses. Normal effort to add production without addition of new factory would increase production up to 3.60 million ton at which the need for import will be 1.72 million ton. Therefore, self-sufficiency of sugar would not be possible through normal practices as usual. This paper discusses constraints and possible efforts to achieve the targeted self-sufficiency. At the end, it presents the success factors of Thailand sugar industry that should be considered as benchmarks of efforts. This paper concludes with a set of recommendations of programs to meet national white sugar self-sufficiency. keywords : sugar self-sufficiency, prospect, lesson learned from Thailand
Article
strong>Indonesian Provinsi Jawa Timur merupakan daerah penghasil gula terbesar di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir produksi gula terus meningkat dan memberikan kontribusi lebih dari 50 persen produksi gula nasional. Sebagai komoditas yang kegiatannya banyak melibatkan masyarakat, industri gula telah memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam kaitan ini pemerintah daerah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan untuk mengatur pelaku pasar yang terlihat dalam sistem agribisnis gula. Dua kebijaksanaan yang ditujukan kepada petani tebu adalah penetapan pola glebagan yang menentukan batasan areal tebu seluas 30 persen dari luas wilayah, serta penetapan wilayah kerja pabrik gula. Kedua kebijaksanaan itu telah menghilangkan kesempatan petani untuk memilih komoditas yang ingin diusahakan serta memperoleh penerimaan usahatani yang lebih tinggi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran areal pertanaman tebu rakyat dari lahan sawah ke lahan kering. Hal ini disebabkan oleh penerimaan usahatani tebu pada lahan sawah lebih rendah dibandingkan dengan komoditas alternatif. Sedangkan untuk tebu yang diusahakan pada lahan kering, tingkat penerimaan yang diperolh pada sebagian besar lokasi penelitian lebih tinggi. Untuk mempertahankan pertanaman tebu pada lahan sawah diperlukan perhatian terhadap faktor utama yang menentukan daya saing, yaitu produktivitas hablur serta perbandingan harga provenue gula dan harga dasar gabah. Dalam kaitan ini berbagai program hendaknya diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman tebu, serta perbaikan efisiensi dan kinerja pabrik gula.
Article
The 1930s was the heyday of the Indonesian sugar industry that is capable of exporting to many countries and has become the country an exporter of sugar to two after Cuba, but the situation is reversed since 1967 in which Indonesia would import sugar from Brazil, India, and Thailand in order to meet the needs raw material consumption and food and beverage industry. The results showed that the cost of sugar production is very uneconomical because of inefficiency that stretches from the cultivation to processing in the factory so difficult to obtain profit margins. Target and beyond sugar self-sufficiency can not be achieved because highly regulated, there is no synergy and tends to conflicts of interests among ministries or agencies, and internal conflicts often occur between the sugar mill and the disharmony between sugarcane farmers by the sugar mill officials.In the competition of the sugar industry are more stringent, in the era of the Asean Economic Community, it means the level of efficiency of sugar factories in the country need special attention, the same thing also applies to industrial users of sugar, and sugar as a raw material components contribute to the creation of products food and beverage efficient so as to compete with similar products from other countries. Observing how the intense competition in the Asean Economic Community is based on free trade, the yield of sugar that’s a cost efficient production is very important and urgent at this time, including work to improve the welfare of farmers.
Article
Tujuan penelitian yang akan dicapai adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani menentukan pilihan kelembagaan usahatani tebu, menganlisis secara deskriptif variabel-variabel yang mempengaruhinya serta mengkaji variabel yang mendorong keberlangsungan eksistensi usaha PG Maduksimo. Temuan penelitian yang diperoleh antara lain peluang petani menentukan pilihan kelembagaan usahatani tebu secara serempak dipengaruhi oleh luas lahan, rendemen, pendidikan responden, pengalaman responden dan biaya menjalankan usahatani tebu. Disamping itu, ternyata pasokan tebu dari luar wilayah Propinsi DIY mempunyai peranan yang signifi kan untuk keberlangsungan giling PG. Implikasi kebijakan yang dapat dapat ditempuh untuk mendorong petani menjalankan usahtani tebu, tidak cukup hanya memberi insentif kepada para pemilik lahan tetapi juga diperlukan dorongan semua pihak dalam pengembangan usahatani tebu serta dorngan dalam menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam menyediakan areal usahatani tebu.
Analisis Daya Saing Usahatani Tebu di Propinsi Jawa Timur. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
  • M Ariani
  • A Askin
  • J Hestina
Ariani, M., Askin, A., & Hestina, J. 2004. Analisis Daya Saing Usahatani Tebu di Propinsi Jawa Timur. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Balitbangtan, Departemen Pertanian.
Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
  • Moleong
Moleong. 2011. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Usahatani Tebu (Sacharum officinarum) Antara Sistem Bongkar Ratoon dengan Sistem Rawat Ratoon di wilayah Kecamatan Prambon
  • M K Prawiro
Prawiro, M.K. 2011. Usahatani Tebu (Sacharum officinarum) Antara Sistem Bongkar Ratoon dengan Sistem Rawat Ratoon di wilayah Kecamatan Prambon. [Skripsi] Surabaya: Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur.
Uji Produktivitas Model PKP 240 Pada Tanaman Tebu Varietas BL di Lahan Kering Mumbul Kabupaten Jember
  • A E Prihatiningrum
Prihatiningrum, A.E. 2010. Uji Produktivitas Model PKP 240 Pada Tanaman Tebu Varietas BL di Lahan Kering Mumbul Kabupaten Jember. Jurnal Agrofish. 7(1), 28-36.
Jakarta: Lembaga Peneitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
  • E Singarimbun
Singarimbun, E. 1989. Metode Penelitian Survai (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Peneitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Memahami Penelitian Kualitatif
  • Sugiyono
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.