ArticlePDF Available

Abstract and Figures

Sex education is the provision of information about sex that aims to reduce the potential risk of sexual behavior. This effort is still taboo in the community, so parents feel hesitant to provide teaching about sex to children. The purpose of this study is to determine the perception of parents to sex education provided to children from an early age. This research was conducted in Jambesari village, Poncokusumo, Malang by using phenomenology approach and involving 5 mothers. The results show that parents perceive sex education as taboo, vulgar and inappropriate to convey to children, thus affecting the involvement and form of education provided by parents to children. The results also show that the need for the competence of sexual education is important to be done by parents.
No caption available
… 
Content may be subject to copyright.
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
157
PENDAHULUAN
Maraknya pemberitaan tentang peri-
laku seks menyimpang, seperti pelecehan,
sexual abuse, dan free sex menjadi
ancaman bagi generasi muda, khususnya
anak-anak yang masih kosong dalam pe-
ngetahuannya tentang seks. Berdasarkan
data KPAI (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia) kasus sexual abuse mengalami
peningkatan dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir.
Rendahnya kesadaran orangtua dalam
memberikan perlindungan kepada anak,
menjadi salah satu faktor penyebab
meningkatnya kasus penyimpangan seks,
seperti sexual abuse (Gatra, 2015). Dari
hasil penelitian KPAI, 70% orangtua belum
mampu mengasuh anak mereka menggu-
nakan metode yang sesuai dengan perkem-
bangan zaman sekarang (KPAI, 2016).
Pendidikan seks yang diberikan sejak
dini mampu mengurangi potensi risiko
yang timbul akibat perilaku seksual, seperti
unwanted pregnancy dan penularan
penyakit seksual, sehingga membantu me-
ningkatkan kualitas hubungan yang positif
pada anak (Odek, 2006).
Perlunya pendidikan seks bagi setiap
individu tidak hanya untuk melindungi diri
dari perilaku menyimpang seks, namun
juga memberikan pemahaman kepada anak
tentang batasan-batasan sebagai seorang
laki-laki dan perempuan (Justicia, 2016).
Akan tetapi, kenyataan yang ada di
EKSPLORASI PERSEPSI IBU TENTANG PENDIDIKAN SEKS
UNTUK ANAK
Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul
UIN Maulana Malik Ibrahim, Jl. Gajayana No.50 Lowokwaru, Kota Malang
e-mail : shofwamaliyah@gmail.com
Abstract
Sex education is the provision of information about sex that aims to reduce the potential risk of
sexual behavior. This effort is still taboo in the community, so parents feel hesitant to provide
teaching about sex to children. The purpose of this study is to determine the perception of
parents to sex education provided to children from an early age. This research was conducted in
Jambesari village, Poncokusumo, Malang by using phenomenology approach and involving 5
mothers. The results show that parents perceive sex education as taboo, vulgar and
inappropriate to convey to children, thus affecting the involvement and form of education
provided by parents to children. The results also show that the need for the competence of sexual
education is important to be done by parents.
Keywords: Parent, sexual education, child
Abstrak
Definisi pendidikan seks adalah pemberian informasi tentang seks yang bertujuan untuk
mengurangi potensi risiko akibat perilaku seks yang negatif. Namun istilah tersebut masih asing
di beberapa kalangan masyarakat, sehingga orangtua merasa ragu untuk memberikan pengajaran
tentang seks kepada anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi orangtua
terhadap pendidikan seks yang diberikan kepada anak sejak dini. Penelitian ini dilakukan di Desa
Jambesari, Poncokusumo, Malang dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dan
melibatkan 5 orangtua (ibu) sebagai subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
orangtua menganggap pendidikan seks sebagai hal yang tabu, vulgar dan tidak pantas untuk
disampaikan kepada anak, sehingga berpengaruh terhadap keterlibatan dan bentuk pendidikan
yang diberikan oleh orangtua kepada anak.
Kata Kunci: Orangtua, pendidikan seks, anak
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 166
158
Indonesia saat ini orangtua masih meng-
anggap pendidikan seks merupakan hal
tabu untuk disampaikan kepada anak
(Counterman dan Kirkwood, 2013).
Kebanyakan orangtua beranggapan
bahwa pendidikan seks hanya berisi tentang
pemberian informasi alat kelamin dan
berbagai macam posisi dalam hubungan
seks (Lestari dan Prasetyo, 2014). Kesim-
pangsiuran tentang arti pendidikan seks
yang sebenarnya, menjadikan masyarakat
memiliki persepsi bahwa pendidikan seks
terlalu vulgar apabila diberikan pada anak-
anak (Justicia, 2016). Masyarakat awam
cenderung memiliki anggapan bahwa pe-
ngetahuan tentang seks adalah ranah untuk
orang dewasa dan anak-anak akan mengerti
dengan sendirinya saat mereka dewasa.
Rahmawati (2012) menjelaskan bahwa
anak yang tidak menerima pendidikan seks
memiliki risiko untuk melakukan perilaku
seks yang negatif di masa mendatang
(remaja). Hal tersebut dikarenakan anak
mencari tahu pada sumber yang tidak tepat,
sehingga berpotensi mendapatkan pema-
haman yang keliru tentang seks yang
menyebabkan anak melakukan perilaku
menyimpang (Ambarwati, 2013).
Persepsi orangtua terhadap pendidikan
seks didefinisikan sebagai cara pandang
(positif maupun negatif) orangtua kaitannya
dengan mengajarkan dan memberikan
pemahaman kepada anak tentang hal-hal
yang berhubungan dengan seks sesuai
pengalaman yang diperoleh orangtua
(Akpama, 2013; Dyson, 2010). Pendidikan
seks meliputi pengembangan self-respect
pada anak, pemahaman tentang istilah seks,
penanaman nilai-nilai tentang hubungan
interpersonal, dan komunikasi tentang topik
seks (Sule, Akor, Toluhi, Suleiman, Akpihi
dan Ali, 2015).
Persepsi menjadi penting untuk diteliti
dalam pendidikan seksual, karena persepsi
menentukan cara pandang dan sikap pada
dunianya dalam hal ini pendidikan seksual.
Persepsi memungkinkan seseorang me-
maknai dan mengkategorikan sebuah objek
untuk kemudian ditindaklanjuti menjadi
sikap dan perilaku. Dalam konteks ini
persepsi yang dimiliki oleh seorang ibu
akan menentukan cara ibu melaksanakan
pendidikannya.
Nyarko, Adentwi, Asumeng dan Ahulu
(2014) mengatakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi sikap
orangtua dalam memberikan pendidikan
seks kepada anak, yaitu persepsi umum
masyarakat dan sistem kayakinan sosial,
faktor religi, orangtua serta pendidik.
Herjanti (2015) juga mengatakan bahwa
pola dan bentuk pendidikan yang diberikan
oleh orangtua akan berbeda satu dengan
yang lain, hal tersebut disebabkan setiap
orang mendapatkan informasi dari pengala-
mannya secara personal.
Beberapa negara juga menerapkan
pendidikan seks dengan bentuk dan tujuan
yang berbeda. Swedia misalnya, yang
menjadi pelopor sex education pertama di
Eropa menerapkan pendidikan seks untuk
mendukung dan mempersiapkan generasi
muda dalam bertanggung jawab terhadap
kehidupannya, terutama yang berkaitan
dengan seksualitas (Kelefang, 2008).
Sedangkan di Amerika pendidikan seks
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
warganya tentang perilaku seks yang sehat
(Knowles, 2012).
Permasalahan yang terjadi di Indonesia
kaitannya dengan pemberian pendidikan
seks adalah orangtua masih merasa
sungkan membicarakan topik seksual
kepada anak, mereka menganggap hal
tersebut tabu dan belum perlu disampaikan
kepada anak (Ambarwati, 2013).
Kebanyakan orangtua mengabaikan kebu-
tuhan anak akan pendidikan seks (Esohe,
2015). Padahal pendidikan seks mem-
berikan banyak dampak positif bagi anak,
termasuk mengurangi kehamilan di usia
dini dan penyakit menular seks (Kirby,
2011).
Pendidikan seks pada dasarnya
memiliki tujuan untuk memberikan penga-
jaran dan pemahaman kepada anak tentang
hal-hal yang berkaitan dengan seks,
sehingga anak tidak terjerumus ke dalam
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
159
pergaulan yang tidak sehat dan terhindar
dari hal-hal negatif yang timbul akibat
perilaku seksual yang keliru. Hal tersebut
sesuai dengan hasil identifikasi oleh The
U.S. Department of Health and Human
Services yang menyatakan bahwa terdapat
sebanyak 28 bukti yang merujuk pada
keberhasilan program pendidikan seks
sejak dini, diantaranya mencegah kehamil-
an dini, mengurangi jumlah perilaku
hubungan seksual di bawah umur dan
mengurangi perilaku seksual yang berisiko
lainnya (Knowles, 2012:4).
Peran orangtua dalam memberikan
pengajaran tentang seks sangat penting,
terutama ibu. Sebagaimana diketahui bah-
wa al-ummu madrasah al-ula ibu meru-
pakan madrasah pertama bagi anak.
Pengetahuan ibu tentang pendidikan seks
memiliki pengaruh terhadap penerapan
pendidikan seks kepada anak (Ambarwati,
2013).
Untuk itu, penelitian ini melibatkan ibu
sebagai subjek penelitian. Adapun lokasi
yang dipilih untuk melakukan penelitian ini
adalah Desa Jambesari, Kecamatan Ponco-
kusumo, Kabupaten Malang. Pemilihan
lokasi penelitian didasarkan pada banyak-
nya kasus pelanggaran norma seksual yang
dilakukan oleh anak dan remaja.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan meng-
gunakan metode fenomenologi untuk
memperoleh pemahaman tentang pandang-
an orangtua dalam memberikan pendidikan
seks kepada anak. Pendekatan fenomeno-
logi dipilih untuk mempermudah dalam
mengungkap makna dari pendidikan seks
yang dimunculkan oleh subjek. Oleh karena
itu fokus dari penelitian ini adalah tentang
makna pendidikan seks bagi orangtua yang
dipresentasikan melalui keterlibatan orang-
tua dalam memberikan pendidikan seks
kepada anak dan bentuk pendidikan seks
yang selama ini sudah diberikan kepada
anak.
Subjek dalam penelitian ini dipilih
berdasarkan pertimbangan peneliti, guna
mendapatkan pemahaman secara spesifik
tentang problem riset dan fenomena yang
terkait dalam penelitian. Penelitian ini
melibatkan 5 orang ibu yang memiliki
pengalaman mengasuh anak (NW, WT, SR,
RP, SK). Alasan pemilihan subjek karena
ibu merupakan pendidik pertama yang
memberikan pendidikan kepada anak
sebelum anak menerima pendidikan dari
orang lain, sehingga penting untuk
mengetahui pola pengasuhan mereka dalam
memberikan pendidikan seks kepada anak.
Pengambilan data dilakukan peneliti
dengan melakukan pendekatan kepada
masyarakat, survei lapangan dan untuk
memperoleh gambaran data yang valid
tentang keadaan lingkungan subjek, peneliti
melakukan live in di salah satu rumah
warga selama satu minggu. Selama kurun
waktu tersebut peneliti melakukan wawan-
cara dan observasi terhadap subjek
penelitian. Wawancara dilakukan atas per-
setujuan subjek dengan pemilihan tempat
dan waktu yang juga didasarkan pada
kesediaan subjek.
HASIL PENELITIAN DAN PEM-
BAHASAN
Persepsi Orangtua terhadap Pendidikan
Seks
Pendidikan seks merupakan istilah
yang jarang ditemui di kalangan masyara-
kat, khususnya masyarakat desa. Kurang-
nya akses informasi menjadi salah satu
faktor yang membuat pendidikan seks tidak
dikenal oleh masyarakat. Hal tersebut
sebagaimana yang diungkapkan subjek SK
bahwa selama ini belum pernah ada penyu-
luhan tentang pendidikan seks di Desa
Jambesari,
Di sini belum pernah diadakan
penyuluhan tentang pendidikan
seks, orangtua zaman dulu juga
tidak pernah mengajarkan tentang
pendidikan seks
Istilah seks sering diartikan sebagai
hubungan antara laki-laki dan perempuan
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 166
160
yang sifatnya pribadi, sebagaimana di-
katakan:
“Pendidikan seks hal saru, karena
biasanya hanya membicarakan seks
dengan suami, malu jika dijelaskan
kepada orang lain.” (NW, SR, RP)
“Seks atau jima’ itu berhubungan
dengan suami-istri yang mewajibkan
mandi besar, tidak etis kalau
dijelaskan kepada anak.” (WT)
“Pendidikan seks dapat memicu anak
mengetahui tentang hubungan badan
antara laki-laki dan perempuan”
(SK).
Definisi tersebut memunculkan ang-
gapan saru bagi kebanyakan orang, oleh
karenanya topik yang berkaitan dengan
seks jarang dibicarakan di kalangan masya-
rakat. Hal tersebut sesuai dengan fakta di
lapangan yang disampaikan subjek, bahwa
masyarakat cenderung tertutup dan meng-
hindari pembahasan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan seks, sebagaimana di-
katakan :
Di desa masalah seks itu tertutup,
orang di sini malu membicarakan
tentang seks, karena hal tersebut
saru.” (WT, SR)
Anggapan saru pada hal yang
berkaitan dengan seks, menjadikan orang-
tua juga memiliki anggapan yang sama
pada istilah pendidikan seks. Oleh karena-
nya orangtua tidak setuju apabila pendidi-
kan seks diberikan kepada anak. Pen-
didikan seks dianggap memuat hal-hal yang
tabu, sehingga orangtua cenderung menen-
tang apabila pendidikan seks diberikan
sejak dini, sebagaimana dikatakan :
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
161
Saya marah jika anak diberikan
penjelasan tentang hal yang saru,
anak tidak seharusnya diajarkan
tentang hal-hal tabu.” (NW)
Orangtua beranggapan bahwa pen-
didikan seks akan memicu anak untuk
mencari tahu tentang hal-hal yang berkaitan
dengan seksualitas, disebabkan anak memi-
liki rasa penasaran dan keingintahuan yang
tinggi, sehingga orangtua merasa khawatir
apabila anak meniru perilaku seksual,
Anak sering merasa penasaran, jika
diberikan pendidikan seks bisa
memicu anak mengetahui tentang
hubungan seks, kemudian dipraktek-
kan dengan temannya.” (WT, RP,
SK).
Anak masih kecil, belum memahami
hal yang seperti itu. Nanti setelah
dewasa anak akan tahu tanpa harus
diberikan pelajaran.” (NW, WT, SR)
Fakta yang ditemukan di lapangan
menyebutkan bahwa para subjek tidak
pernah mendapatkan pengajaran tentang
hal-hal yang berkaitan dengan seks dari
orangtuanya, sebagaimana dikatakan :
Orangtua zaman dulu yang terpen-
ting adalah mengajarkan sholat dan
mengaji, tidak pernah memberikan
pendidikan seks.” (NW, WT, SR, RP,
SK)
“Belajar tentang seks secara mandiri,
belajar dari suami.” (NW, RP)
Beberapa subjek memahami topik
tersebut secara mandiri saat mereka sudah
menikah, sehingga pengetahuan yang mere-
ka dapat tentang seks hanya sebatas
hubungan badan antara laki-laki dan
perempuan.
Untuk mempermudah memahami per-
sepsi orangtua terhadap pendidikan seks di
Desa Jambesari, Poncokusumo, Malang,
disajikan dalam Gambar 1. Skema menje-
laskan tentang bagaimana persepsi orangtua
terhadap pendidikan seks terbentuk. Dapat
dilihat bahwa terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi persepsi orangtua, yaitu
persepsi umum masyarakat Jambesari yang
menganggap seks merupakan hal saru dan
tidak pantas untuk diperbincangkan secara
umum, pengalaman orangtua yang tidak
pernah mendapatkan pengajaran tentang
seks sebelumnya dan kurangnya informasi
seputar pendidikan seks.
Ketiga faktor tersebut membentuk
pemahaman yang keliru tentang makna
pendidikan seks sebenarnya. Pengertian
tentang istilah pendidikan seks sebagai hal
yang tabu dipengaruhi oleh makna dari
istilah ‘seks’ yang diartikan sebagai
hubungan badan antara suami-istri. Orang-
tua cenderung menganggap pendidikan
seks memberikan informasi tentang hal
tabu, seperti hubungan seksual dan hal-hal
yang berhubungan dengan alat kelamin.
Anggapan tersebut membentuk per-
sepsi orangtua bahwa pendidikan seks
terlalu vulgar dan tidak pantas apabila
disampaikan kepada anak. Menurut
orangtua pendidikan seks dapat memicu
anak untuk mengetahui dan mencari tahu
tentang hal-hal yang berhubungan dengan
seks, sehingga dikhawatirkan anak akan
meniru perilaku seks yang negatif. Oleh
karenanya orangtua berpendapat bahwa
saat ini anak belum membutuhkan penjelas-
an tentang seks, mereka akan mengetahui
dengan sendirinya ketika dewasa.
Keterlibatan dan Bentuk Pendidikan Seks
Desa Jambesari memiliki peringkat
tinggi kaitannya dengan perilaku menikah
di usia dini, hal tersebut sebagaimana
dikatakan oleh Kepala Desa Jambesari,
Poncokusumo, Malang:
“Iya memang benar di sini menikah
usia di bawah umur itu banyak,
biasanya ya lulusan SD, SMP itu
sudah menikah kalau di sini.
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 166
162
Salah satu penyebab terjadinya
fenomena pernikahan dini tersebut adalah
unwanted pregnancy atau hamil sebelum
menikah. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Mudin Desa Jambesari, Poncokusumo,
Malang:
Banyak mbak pernikahan dini di
sini, alasannya juga macem-macem,
tapi kebanyakan biasanya sudah
pacaran lalu yang perempuan hamil.
Peran ibu masih kurang, hal ini
ditunjukkan oleh orangtua di Desa
Jambesari. Mereka menganggap bahwa
pendidikan seks mengandung unsur tabu,
sehingga tidak pantas apabila disampaikan
kepada anak. Orangtua merasa malu mem-
bicarakan hal-hal yang berkaitan dengan
seks kepada anak.
Peran orangtua dalam mencegah
penyimpangan perilaku pada anak hanya
sebatas melakukan pengawasan kepada
anak. Bentuk pengawasan yang dilakukan
adalah dengan memastikan anak tetap di
rumah dan tidak pergi terlalu jauh dari
lingkungan rumah.
Pada subjek NW keterlibatan dalam
memberikan pendidikan seks diwujudkan
dalam bentuk meluangkan waktu untuk
menasehati anak tentang masalah pergaul-
an, hal tersebut dilakukan oleh NW untuk
mencegah anaknya salah dalam memilih
pergaulan.
Keterlibatan subjek WT dilakukan
dengan memberikan pengajaran dan pema-
haman tentang hal-hal yang terjadi saat
anak menginjak usia baligh. WT juga
memberikan pemahaman tentang aturan
batas aurat laki-laki maupun perempuan
sesuai dengan panduan syari’at. Meskipun
Subjek juga tidak terlalu memahami
bagaimana mekanisme terjadinya proses
aqil baligh.
Adapun pada subjek SR, RP dan SK
bentuk keterlibatan ditunjukkan dengan
melakukan pengawasan terhadap anak serta
mengenal lingkungan tempat anak bermain
tanpa melakukan komunikasi tentang hal-
hal yang berhubungan dengan seks.
Meskipun demikian subjek meyakini
bahwa pendidikan agama dianggap sebagai
cara untuk membentengi anak dari
pengaruh negatif pergaulan bebas yang
berakibat pada penyimpangan perilaku
seksual. Sehingga orangtua memberikan
pengajaran dan pemahaman tentang agama,
dengan harapan mampu dijadikan sebagai
batasan norma bagi anak, sebagaimana
dikatakan oleh subjek NW :
“Makanya penting lah ya istilahnya
anak itu disuruh ngaji, sembayangnya
yang bener, biar gak macem-macem.
Kalau dia tahu agama kan gak
mungkin macem-macem, gak berani,
ingat sama dosa ya.” (NW)
Faktor yang Memengaruhi Persepsi Ibu
terhadap Pendidikan Seksual
Berdasarkan temuan di lapangan, para
subjek diketahui tidak pernah mendapatkan
pengajaran tentang hal-hal yang berkaitan
dengan seks dari orangtua-nya dan masih
merasa kurang dengan informasi yang
dimiliki, misalnya WT :
Saya enggak belajar khusus, saya
belajarnya ya di pondok itu. ya tahu-
tahu sendiri. Kan orangtua saya itu…
ya memang saya lahir itu kayake
sudah tua semua eh (tertawa). Kayak
awam kalau terhadap hukum-hukum
kayak gitu.
Beberapa subjek memahami topik
tersebut secara mandiri saat mereka sudah
menikah, sehingga pengetahuan yang me-
reka dapat tentang seks hanya sebatas
hubungan badan antara laki-laki dan
perempuan. Misalnya NW mengatakan,
Masalah begituan nanti juga bisa sendiri
setelah menikah”.
Di samping faktor pengalaman dan
modelling pola asuh, kurangnya akses
informasi tentang pendidikan seksual ter-
kini juga memengaruhi persepsi dan keter-
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
163
libatan orang tua pada pendidikan seks
anak-anak.
Data penelitian ini menunjukkan bawa
pendidikan seks masih dianggap sebagai
hal yang tabu oleh orangtua khususnya ibu.
Kurangnya informasi tentang pendidikan
seks menimbulkan kesimpangsiuran mak-
na dari istilah tersebut. Menurut Justicia
(2016) kesimpangsiuran tentang arti
pendidikan seks yang sebenarnya men-
jadikan masyarakat memiliki persepsi
negatif tentang pendidikan seks. Masya-
rakat cenderung menyamakan makna
pendidikan seks dengan istilah seks itu
sendiri.
Nyarko dkk. (2014) mengatakan
bahwa terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi persepsi orangtua terhadap
pendidikan seks, salah satu di antaranya
yaitu persepsi umum masyarakat. Eko,
Osuchukwu, Osonwa dan Offiong (2013)
juga mengatakan bahwa di beberapa
masyarakat pendidikan seks terlihat tabu
dan tidak pantas untuk diperbincangkan.
Masyarakat Jambesari menganggap segala
sesuatu yang berkaitan dengan seks meru-
pakan hal tabu dan tidak pantas untuk
dibicarakan secara umum. Oleh karenanya
sikap masyarakat cenderung tertutup pada
topik pembahasan tentang seks.
Anggapan tabu yang berkembang di
kalangan masyarakat menjadikan orangtua
merasa malu dan enggan mendiskusikan
hal-hal yang berkaitan dengan seks kepada
anaknya. Anak-anak tidak diberikan pendi-
dikan seks disebabkan alasan cultural yang
menganggap pendidikan seks tidak penting
dan melanggar adat kesopanan (Odek,
2006). Anggapan tersebut juga membuat
orangtua merasa ragu untuk memberikan
pendidikan seks kepada anak (Coleman dan
Charles, 2009).
Pengalaman orangtua juga menjadi
faktor yang memengaruhi persepsinya ter-
hadap pendidikan seks. Hal tersebut dise-
babkan setiap orangtua memiliki latar
belakang dan pengalaman tentang seks
yang berbeda. Herjanti (2015) mengemu-
kakan bahwa salah satu cara memperoleh
pengetahuan adalah berdasarkan pengalam-
an yang pernah dialami di masa lalu.
Alasan lain pendidikan seks tidak
sesuai bila diberikan kepada anak, karena
anak belum memahami tentang topik yang
berkaitan dengan seksualitas, sehingga
anak tidak membutuhkan penjelasan
tentang topik tersebut. Orangtua memiliki
anggapan bahwa anak akan mengetahui
dengan sendirinya ketika mereka tumbuh
dewasa.
Orangtua merupakan sekolah pertama
bagi anak, karena anak pertama kali
mendapat pendidikan dari orangtuanya, hal
tersebut menjadikan keterlibatan orangtua
dalam memberikan pendidikan seks sangat
penting untuk menjalankan fungsinya
sebagai pendidik pertama dan utama bagi
anak.
Zelnik dan Kim (1982) mengungkap-
kan bahwa jika orangtua bersedia
mendiskusikan seks dengan anaknya, maka
anak cenderung menunda perilaku seksual
premarital. Ambarwati (2013) juga menje-
laskan bahwa terdapat hubungan positif
yang signifikan antara pengetahuan ibu
tentang pendidikan seks dengan penerapan
pendidikan seks pada anak. Nyarko dkk.
(2014) menjelaskan bahwa pendidikan seks
merupakan pendidikan yang memiliki
tujuan untuk mengurangi potensi risiko
akibat perilaku seksual yang negatif.
Beberapa perilaku seksual yang negatif
adalah free sex, unwanted pregnancy, dan
early marriage.
Kenyataannya pada zaman sekarang,
mencegah perilaku seks yang menyimpang
tidak cukup hanya dengan memberikan
pendidikan tentang agama saja, namun
dibutuhkan pengajaran yang lebih komuni-
katif dan interaktif dalam menyampaikan
informasi terkait seks kepada anak.
Menurut Ololade, Ibukunoluwa, Titilayo
dan Saratu (2014) menyatakan bahwa
pengasuhan orangtua yang permisif dalam
memberikan pendidikan seks meningkatkan
risiko anak melakukan premarital sex atau
hubungan seks sebelum menikah.
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 166
164
Perlunya keterlibatan orangtua dalam
memberikan pendidikan seks dapat mengu-
rangi risiko perilaku seks yang negatif di
kalangan anak-anak. Hal tersebut disebab-
kan pendidikan seks memberikan pema-
haman tentang batasan yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, sehingga anak
terhindar dari tindakan yang seharusnya
tidak dilakukan karena ketidaktahuannya
(Crisalli, 2010).
SIMPULAN DAN SARAN
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
penafsiran yang keliru tentang pendidikan
seks diperoleh dari lingkungan. Sebagian
besar masyarakat Jambesari menganggap
pendidikan seks adalah hal negatif sehingga
tidak patut untuk diberikan, terlebih kepada
anak-anak. Anggapan negatif tersebut
dibangun karena masyarakat kekurangan
informasi tentang pendidikan seks, sehing-
ga stimulus yang didapatkan oleh orangtua
tentang pendidikan seks adalah hal-hal tabu
yang tidak pantas untuk dibicarakan dengan
anak-anak.
Persepsi negatif tentang pendidikan
seks pada anak menimbulkan konsekuensi
perilaku orangtua yang menolak terhadap
pemberian pendidikan seks kepada anak,
sehingga orangtua cenderung kurang dalam
keterlibatan dan melakukan pengawasan
kepada anak. Hal tersebut berisiko terhadap
tingginya pergaulan bebas, pernikahan dini
dan kehamilan yang tidak diinginkan di
Desa Jambesari.
Saran dari hasil penelitian tersebut
diharapkan lembaga desa untuk mengada-
kan program penyuluhan tentang pendi-
dikan seks kepada masyarakat. Sedangkan
untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk
membahas tentang latar belakang pendidi-
kan dan kondisi ekonomi orangtua sebagai
faktor yang memengaruhi persepsi orangtua
terhadap pendidikan seks.
DAFTAR PUSTAKA
Akpama, E.G. (2013). Parental Perception
of Teaching of Sex Education to
Adolescent in Secondary School in
Cross River State, Nigeria, Journal of
Research & Method in Education,
1(3), 31-34.
Ambarwati, R. (2013). Peran Ibu dalam
Penerapan Pendidikan Seksual pada
Anak Usia Pra Sekolah,
Wonosobo: Prosiding Konferensi
Nasional PPNI Jawa Tengah, Hal.
197-201.
Coleman, H. & Charles, G. (2009). Sexual
Behavior and Development in Young
Children, Canada: The National
Child Traumatic Stress Network.
Counterman, L. & Kirkwood, D. (2013).
Understanding Healthy Sexuality
Development in Young Children,
NAEYC. www.naeyc.org
Crisalli, L. (2010). The Early Educator’s
Role in the Prevention of Child
Sexual Abuse and Exploitation,
Child Beginning Workshop Child
Sexual Abuse.
www.childcareexchange.com
Dyson, S. (2010). Parents and Sex
Education: Parents’ Attitude to
Sexual Health Education in WA
Schools, Melbourne: Australian
Research Center in Sex, Health and
Society.
Esohe, K. (2015). Parents Perception of the
Teaching of Sexual Education in
Secondary Schools in Nigeria,
International Journal of Innovative
Science, Engineering & Technology,
2(1), 89-99.
Herjanti. (2015). Pola Asuh Orang Tua
tentang Pendidikan Seks, Jurnal Ilmu
Kebidanan Indonesia, Halaman 93-
106.
Eko, J.E., Osuchukwu, N.C., Osonwa,
O.K., & Offiong, D.A. (2013).
Perception of Students’ Teachers’
and Parents’ towards Sexuality
Education in Calabar South Local
Government Area of Cross River
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
165
State, Nigeria, Journal of
Sociological Research, 4(2), 225-240,
ISSN 1948-5468 2013.
Justicia, R. (2016). Program Underwear
Rules untuk Mencegah Kekerasan
Seksual Pada Anak Usia Dini, Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, 9(2),
217-232.
Kelefang, B. (2008). Sexuality Education in
Sweden: A Study Based on Research
and Young People’s Service
Providers in Gothenburg,
Department of Social Work. Page 1-
47.
Kirby, D. (2011). The Impact of Sex
Education on The Sexual Behavior
Young People, New York: United
Nations, Department of Economic
and Social Affairs. No 2011/12, hal.
1-19.
Knowles, J. (2012). Sex Education in
United States, New York: Katharine
Dexter McCormick Library and
Education Division of Planned
Parenthood Federation of
America. Page 1-13.
Lestari, E. & Prasetyo, J. (2014). Peran
Orang Tua dalam Memberikan
Pendidikan Seks Sedini Mungkin Di
Tk Mardisiwi Desa Kedondong
Kecamatan Kebonsari Kabupaten
Madiun, NUGROHO-Jurnal Ilmiah
Pendidikan, 2(2), 124-131.
Nyarko, K., Adentwi, K.I., Asumeng, M.,
& Ahulu, L.D. (2014). Parental
Attitude towards Sex Education at the
Lower Primary in Ghana,
International Journal of Elementary
Education, 3(2), 21-29.
Odek, T. (2006). Cultural Challenges and
Sex Education in Mageta Island,
Kenya, Kenya: Afrika Regional
Sexuality Resource Centre. Page 1-
26.
Ololade, O., Ibukunoluwa, A., Titilayo, O.,
& Saratu, A. (2014). Sexuality
Education in Christian Homes:
Knowledge and Perception of Young
People in Ife Central Local
Government Osun State,
International Journal of Science and
Research, 5(2), 697-700.
Rahmawati, N. (2012). Gambaran Perilaku
Seksual pada Anak Usia Sekolah
Kelas 6 Ditinjau dari Media Cetak
dan Media Elektronik, Jurnal
Keperwatan Masyarakat.
Sule, H.A., Akor, J.A., Toluhi, O.J.,
Suleiman, R.O., Akpihi, L., & Ali,
O.U. (2015). Impact of Sex Educati-
on in Kogi State, Nigeria, Journal of
Education and Practice, 6(3), 34-41.
Zelnik, M. & Kim, Y.J. (1982). Sex
Education and Its Association with
Teenage Sexual Activity, Pregnancy
and Contraceptive Use, Family
Planning Perspectives, 14, 117-119.
https://www.gatra.com/hukum-1/52038-
kpai-pelecehan-seksual-akibat-
rendahnya-kesadaran-perlindungan-
anak.html (diakses pada 2 Desember
2016)
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-
pelecehan-seksual-pada-anak-
meningkat-100/ (diakses pada 2
Desember 2016)
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 166
166
... Pendidikan seks perlu untuk di komunikasikan orang tua kepada anaknya sedini mungkin, sebagai bekal tumbuh kembang anak. Menurut (Amaliyah & Nuqul, 2017) pendidikan seks ini bertujuan untuk dapat memberikan pengetahuan kepada anak yang berkaitan dengan topik-topik seksual guna mencegah anak tidak salah pergaulan serta terhindar dari hal-hal negatif yang muncul disebabkan karena perilaku seksual yang kurang tepat. Odek dalam (Amaliyah & Nuqul, 2017) memaparkan bahwasannya pengimplementasian pendidikan seks dapat membantu mengurangi risiko yang ditimbulkan akibat perilaku seksual, seperti kehamilan yang tidak diinginkan, dan penularan penyakit seksual, hal ini juga dapat membantu memperkuat hubungan positif pada anak. ...
... Menurut (Amaliyah & Nuqul, 2017) pendidikan seks ini bertujuan untuk dapat memberikan pengetahuan kepada anak yang berkaitan dengan topik-topik seksual guna mencegah anak tidak salah pergaulan serta terhindar dari hal-hal negatif yang muncul disebabkan karena perilaku seksual yang kurang tepat. Odek dalam (Amaliyah & Nuqul, 2017) memaparkan bahwasannya pengimplementasian pendidikan seks dapat membantu mengurangi risiko yang ditimbulkan akibat perilaku seksual, seperti kehamilan yang tidak diinginkan, dan penularan penyakit seksual, hal ini juga dapat membantu memperkuat hubungan positif pada anak. ...
Article
Komunikasi menjadi aktivitas setiap hari yang digunakan seseorang untuk berintraksi. Seperti halnya komunikasi antara orang tua dengan anak menjadi suatu hal yang sangat penting, terutama dengan anak berkebutuhan khusus yang memiliki ketergantungan lebih dengan orang tua. Sebagaimana kasus kekerasan seksual yang menyasar pada anak-anak menjadi perhatian khusus bagi orang tua untuk mengkomunikasikan pendidikan seks sejak dini kepada anak-anak. Sehingga penelitian ini berfokus pada bagaimana pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua kepada anak berkebutuhan khusus dalam mengkomunikasikan pendidikan seks. Peneliti menggunakan metode kulitatif untuk menjabarkan serta menjelaskan hasil temuan yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam. Hasil temuan peneliti menunjukan bahwa orang tua menggunakan pola komunikasi demokratis ketika mengkomunikasikan pendidikan seks dengan anak berkebutuhan khusus, yakni orang tua bersikap membebaskan anaknya disertai dengan batasan, orang tua berempati dan memahami anak berkebutuhan khusus, orang tua bersikap menghargai anak berkebutuhan khusus terkait pendidikan seks, orang tua bersikap terbuka akan pendidikan seks, orang tua bersikap mendukung pemahaman pendidikan seks anak berkebutuhan khusus. Materi-materi pendidikan seks yang diajarkan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus yakni materi pengenalan anggota identitas tubuh, pendidikan menutup aurat, pengenalan identitas gender, pendidikan ketrampilan melindungi diri dari kejahatan seksual, pendidikan identifikasi situasi yang mengarah pada eksploitasi seksual, serta pendidikan toilet training.
... Pola pendidikan yang mereka terapkan sebagian besar didasarkan pada pengalaman pribadi, yang diwariskan dari orang tua mereka sebelumnya. Dalam penelitian lain, (Amaliyah & Nuqul, 2017), menjelaskan bahwa persepsi negatif tentang pendidikan seks pada anak menimbulkan konsekuensi perilaku orangtua yang menolak terhadap pemberian pendidikan seks kepada anak, sehingga orangtua cenderung kurang dalam keterlibatan dan melakukan pengawasan kepada anak. Hal tersebut berisiko terhadap tingginya pergaulan bebas, pernikahan dini dan kehamilan yang tidak diinginkan. ...
Article
Sexual education in early childhood does not mean teaching how to have sexual relations, but rather explaining the human body's organs, their functions, and how to care for and maintain them. The presentation is carried out in stages, starting from introducing body parts and reproductive organs and their functions, understanding gender differences, separating children's beds, to teaching the importance of protecting their private parts and eyes. This research applies a qualitative descriptive method involving five parents as subjects, who have children aged 3–5 years in the Perum Griya Permata Alam Kanigoro environment, Blitar Regency. Data was collected through observation, interviews and documentation. Observations were carried out directly to identify the strategies used by parents in introducing sexual education to their children and the way they communicate with their children. Data analysis was carried out using triangulation techniques, which included data reduction, data presentation, verification and drawing conclusions. The research results show that parents apply various strategies in introducing sexual education to children, including: 1) introducing gender differences, 2) introducing sexual organs, 3) teaching toilet training, and 4) instilling shame.
... Pola pendidikan yang mereka terapkan sebagian besar didasarkan pada pengalaman pribadi, yang diwariskan dari orang tua mereka sebelumnya. Dalam penelitian lain, (Amaliyah & Nuqul, 2017), menjelaskan bahwa persepsi negatif tentang pendidikan seks pada anak menimbulkan konsekuensi perilaku orangtua yang menolak terhadap pemberian pendidikan seks kepada anak, sehingga orangtua cenderung kurang dalam keterlibatan dan melakukan pengawasan kepada anak. Hal tersebut berisiko terhadap tingginya pergaulan bebas, pernikahan dini dan kehamilan yang tidak diinginkan. ...
Article
Sexual education in early childhood does not mean teaching how to have sexual relations, but rather explaining the human body's organs, their functions, and how to care for and maintain them. The presentation is carried out in stages, starting from introducing body parts and reproductive organs and their functions, understanding gender differences, separating children's beds, to teaching the importance of protecting their private parts and eyes. This research applies a qualitative descriptive method involving five parents as subjects, who have children aged 3–5 years in the Perum Griya Permata Alam Kanigoro environment, Blitar Regency. Data was collected through observation, interviews and documentation. Observations were carried out directly to identify the strategies used by parents in introducing sexual education to their children and the way they communicate with their children. Data analysis was carried out using triangulation techniques, which included data reduction, data presentation, verification and drawing conclusions. The research results show that parents apply various strategies in introducing sexual education to children, including: 1) introducing gender differences, 2) introducing sexual organs, 3) teaching toilet training, and 4) instilling shame.
... This negative opinion has been built because the community lacks information about sexual issues, so the stimulus that parents get about sexual information is taboo that is inappropriate to talk about with their children [6]. Most parents do not want to talk about sexual issues because they feel ashamed and are afraid of misunderstanding with their adolescents [7]. ...
Article
Full-text available
Parents need to have a positive attitude in establishing sexual communication with adolescent. Sexual communication in this study is a principal means of transmitting sexual values, beliefs, expectations, and knowledge from parents to adolescent. A representative and eligible sample was randomly obtained with a total of 315 respondents. The respondents of this study were parents (41–50 years old) who had teenagers between the ages of 14 and 17 years, and had to live together for at least 6 months before the survey was conducted. Three instruments were used; scale of attitudes toward sexual communication, intention to engage sexual communication, and sexual communication behavior of parents–adolescents. Based on the results of mediation tests, it shows that parental attitudes influence parent–adolescent sexual communication behavior through the intention to engage in sexual communication (P = 0.013). A positive attitude toward sexual communication is recommended to encourage parents to conduct sexual communication with adolescents to prevent adolescents from engaging in risky sexual behavior. Keywords: attitude, intention, risky sexual behavior, sexual communication
... 142 inducement they get about sexual information is taboo which is unfitting to dialogue about with children [27]. Most parents forbid talking with their children about sexual related matters because they feel embarrassed and are frightened of misleading their children to engage in dating [2,27]. Parents' reluctance to have the willingness and the intention to propagate sexuality communication with adolescents is predicted to have an influence on the dearth of befitting and accurate sexuality information among adolescents [27,30]. ...
Article
Full-text available
Background: Most parents conceive that discussion sexual related matters are a bad practice and does not need to occur. This study investigates the parent-child communication intentions and adolescents' dating behaviour in the Assin South District, Ghana. Methods: A cross-sectional descriptive design was employed with 400 participants which comprised parents age 30-59 and older adolescents age 15-19 years. Data were analysed using frequency distribution, Pearson's chi-squared test of independence and binary logistic regression. Results: Parent-child dyad communication easiness was statistically significant related to adolescents' dating behaviour at p<0.05, (OR=2.504, 95%CI ([1.063-5.896]). Parent-child dyad do not discuss sexual health matters was statistically significant at P<0.05, (OR=0.429, 95%CI [0.187-0.985]). Parent-child dyad engage in talks for adolescents' positive social conduct was statistically significant at P<0.05, (OR=0.211, 95%CI [0.046-0.972]). Parent-child dyad engage in communication for adolescents' appropriate nurturing was also observed as statistically significant to adolescents' dating behaviour at p<0.05, (OR=0.223, 95%CI [0.051-0.978]). Parent-child dyad engage in communication to share thoughts, feelings and ensure stable relations during adulthood among adolescents was also observed as statistically significant to adolescents' dating behaviour at p<0.05, (OR=5.988, 95%CI [1.192-30.088]). Conclusion: Parents in Assin South District could guide adolescents to make informed decisions about dating if they (adolescents) choose to engage in or are already dating.
Article
Full-text available
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Metode yang digunakan yaitu sosialisasi partisipasi. Hasil pengabdian Masyarakat yaitu kegiatan Sosialisasi Pemahaman Moralitas Seksual pada Anak-Anak di SDN 17 Tanjung Batu bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa kelas 3 dan 4 tentang moralitas seksual dan pentingnya pencegahan kekerasan seksual. Kegiatan ini dilakukan dalam dua pertemuan dengan metode ceramah, bermain peran, pemutaran mini movie, diskusi tanya jawab, dan bernyanyi bersama. Siswa menunjukkan antusiasme yang tinggi, terutama saat menonton mini movie dan bernyanyi. Kuis yang diberikan juga mendapat respons positif, dengan banyak siswa yang aktif menjawab. Hasilnya, para siswa menunjukkan pemahaman yang baik terhadap materi yang disampaikan, dapat menjawab pertanyaan dengan tepat, dan mampu mereview materi dengan baik, yang menunjukkan tujuan penyuluhan tercapai dengan baik.
Article
Full-text available
Children are individuals who are still very innocent and have not been able to distinguish between the words of parents or sexual harassment. Considering that many cases of sexual harassment are committed by people closest to the child who should be the protector of the child. The family is the school or the initial foundation of a child, therefore sexual education should be given by the family to the child since the child has begun to be able to speak or since toddler age. But in reality there are still many children who don't even know the names of their body parts, which body parts can and cannot be held by others. This service aims to provide an understanding to children about the names of their body parts including the names of their genitals and provide an understanding of body parts that can and cannot be held by others, and what to do when someone else will hold their private area. This educational activity begins with planning, implementing activities and evaluation. Based on the results of the activity, it was found that after the educational activities were carried out, children understood which areas of the body could and could not be held by others and ran to ask for help from others when someone would hold their private areas.
Article
Cases of Sexual Violence in Southeast Sulawesi have been increasing from year to year, in Kendari City recorded cases of violence against women and children in the year 2022 from January 2022 to December 2022 as many as 40 cases. There were 38 cases in 2021, while in 2022 there were 40 cases. This research aims to find out the difference in the role of parents in the prevention of sexual violence in school age children between SMAN 1 Kendari and SMAN 3 Kendari. This research uses a cross sectional study design. The population in this research is all 2nd and 3rd grade students who are 758 people in SMAN 1 and 746 people in SMAN 3 in Kendari City. The sample in this research is 85 students of SMAN I Kendari and 85 students of SMAN 3 Kendari, sampling using the proportional random sampling technique using the Mann-Whitney test. Obtained the results of the research by comparing between SMAN 1 & SMAN 3 Kendari City, it is seen that there is no significant difference in the role of parents as counselors, the value of p = 0.134 is found, and there is a significant difference in the role of parents as caregivers, the value of p = 0.000 is found. This research is expected to indicate the importance of the role of parents as a key factor in creating a safe and supportive environment for PKS in children.
Technical Report
Full-text available
Di dalam kajian akademis ini ada empat pokok bahasan yang kami kaji di antaranya adalah dampak buruk kekerasan seksual, kerangka hukum internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur penghapusan kekerasan seksual, polemik RUU TPKS dan Permendikbud-ristek PPKS, dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual serta perlindungan dan pemulihan korban dan penyintas kekerasan seksual.
Article
Full-text available
This article discusses the conceptual studies relating to the prevention of sexual abuse in early childhood through underwear program rules. Program rules underwear is a place for parents and teachers to teach how to provide sex education for early childhood as an effort to prevent the occurrence of sexual abuse in children. The good efforts to prevent sexual violence by people who are closest to the child, parents and teachers. Early childhood is an individual who has the true curiosity one of which is sexual knowledge. As for the topics that are presented in this article include several things, among others, the concept of early childhood sex education, sexual abuse in early childhood, early childhood sex education.. The authors in this article so that a parent can anticipate sexual abuse in early childhood, which may be giving out advice and efforts so that the child can keep his body of people who intend to poor children. In addition, the child can know the boundaries of others as well as touch guard against malicious behavior of the people around the child. Keywords: sex education, child abuse, early childhood
Article
Full-text available
The focus of this study was to investigate the impact of family sex education in secondary schools on students in Kogi State, Nigeria. The descriptive survey design was used for the study. A total of 1,960 secondary school students were drawn by stratified random sampling from 40 schools within Kogi State, Nigeria. Three research questions were generated for the study. Data collected using a researchers' structured questionnaire were subjected to statistics of frequency counts and percentage. The results revealed that students have sexual problems, misuse of sex, high teenage pregnancies and abortion and inadequate information on sex. Among the recommendations made include the provision of adequate counseling and enlightenment programmes for students, teachers and parents on the dangers of sex misuse and abuse, and the implementation of the law against sex abuse of any form, and full enforcement of the child right act of Nigeria. Introduction Sex education is a vital aspect of health education curriculum. It provides factual knowledge to assist parents and teachers, children and adolescents to avoid sex related problems. The knowledge also includes ways of helping children develop self respect, sexual understanding, define the values of interpersonal relationships and strengthen communication skills in sex and education. This promotes a wholesome and stable sex life. It is necessary for parents and teachers to acquire scientific, social, and psychological understanding of the need for sex education. The sexual revolutions among contemporary youths recommend sex education as an imperative for adolescents that should be protected from the harmful effects of deviant sexual behaviors. In 2002, Simon Forest, the director of Sex Education Forum in the United Kingdom carried out a good work in this field. According to him, sex education which is sometime called sexuality education or sex and relationships attitudes is the process of acquiring information and forming attitudes and beliefs about sex, sexual identity, relationship and intimacy. It is also about developing young people's skills so that they make informed choices about their behaviors and feel confidence and competent about acting on these choices. Sex education is a well planned and designed education scheme to instinct the young ones and adolescent to acquire knowledge, skills and understanding of the need for sex so that they can fit into the society as desirable member of the community. In the view of the Orji and Anikweze (1998), sex education refers to instruction about sex and related issues such as the sexual organs and their functions, the reproduction process, equality between sexes, hygiene during menstruation, and dangers of unwholesome sexual activities. According to Hershel (1976), sex education is a powerful force and its true meaning has to be revealed to adolescent to enable them make rational decision based on self-control and personal code of conduct. They have also noted " teenagers seem to know enough to get into bed but not enough to stay out of trouble ". Therefore, sex education is desired to replace ignorance, fear, secrecy and guilt with knowledge understanding, openness and rationality. Jorgensen (1972) maintain that contemporary adolescents in secondary schools have access to formal sex education but indirectly in their biology, home economics and social studies. They also acquire substantial knowledge about sex and love from literature, books, novels and films. It would therefore be naïve for adults to object to instructional need for sex education for adolescents in schools. In the view of Hilgard et'al. (1971), the adolescents need sex education in order to learn the acceptable forms of expressing sexual appetite without running into the dangers of unexpected consequence.Sex education seeks both to reduce the risks of potentially negative outcome from sexual behavior like unwanted or unplanned pregnancies and infection with sexually transmitted diseases, and to enhance the quality of relationship. It is also about developing young people's ability to make decision over their entire lifetime, the need for sex education that work by which we mean that it is effective the need for sex education that contribute to this over all aim. Effective sex education develops young people's skills in negotiation, decision-making assertion and listening. Other important skills include being able to recognize pressures from other people and to resists them, deal with and challenge prejudice, seek help from adult including parents, careers and professionals through the family, community, health and welfare services the need for sexual education that work, according to Forest also help equip young people with skills to be able to differentiate between accurate and inaccurate information, discuss and range of mortal and social issues and perspectives on sex and sexuality, including different cultural
Article
Full-text available
Parents are the most important resource persons in preparing young people for adulthood but they often have difficulties communicating about sex. These skills should greatly foster young people to develop individual values and make healthy decisions. The study employed a descriptive study design; 400 young people (15-24 years old) were selected randomly from six (6) different churches. Data was gathered with a questionnaire with reliability coefficient 0.73 and analyzed using SPSS software (version 21). Results showed a high level (91.8%) of sex education knowledge; more than half (55%) were between 15 to 19 years; 52% were females and 75% of respondents' parents were educated at the tertiary level. Only 73 (18%) of the respondents were educated about sex at home often and 99 (24.8%) never did. It can thus be concluded that the prevalence of sexuality communication between young people and their parents in Christian homes is low. Programs that would help parents positively develop healthy communication skills should be developed to reduce the burden of negative sexual outcomes among young people.
Article
Full-text available
This study was aimed at assessing the perception of students, teachers and perception in Calabar south local government area of Cross River State, Nigeria. A cross sectional survey was employed and a structured questionnaire was used to generate both qualitative and quantitative data from 850 respondents using the multi-stage stratified sampling technique. Most students were within the age bracket of 13-18 476 (95.2%), teachers were mostly within 25-29 years 54 (27.0%) and parents were mostly 40-44 years of age 22 (22.0%). Most study participants shared similar opinion that sex education should cover areas such as abstinence, HIV/AIDS, sexually transmitted diseases, basis of reproduction etc. Masturbation, abortion and contraceptives were unanimously agreed not to be included in sex education content. A substantial proportion of the respondents agreed that abstinence-plus should be the main message of sex education in schools. Training for both parents and teachers should be provided by government and NGOs for accessibility of appropriate resources to develop capacity and confidence to deliver effective sexuality education to school adolescent. Policy makers need to formulate a definite, explicit, and workable sexuality education policy.
Article
Full-text available
This study was an ex-post facto research, design to determine parental perception of the teaching of introducing sex education to adolescents in secondary schools in Cross River State, as the area of study. Two null hypotheses were formulated on the basis of the identified major independent variables of nature of parental perception and parental literacy status. A 15-item questionnaire was developed, validated and tested for reliability. It was then administered to 400 respondents (parents–200 male, 200 female) from 20 churches in the entire state (7 churches from central, 7 from south and 6 from north senatorial districts). The sample was selected by stratified cluster and simple random procedure. Data was analysed using the independent t-test. Results revealed that parental perception of the teaching of sex education to adolescents in secondary schools is significantly negative; no significant difference exists between literate and illiterate parents in their perception of the teaching of sex education to adolescents in secondary schools. It was concluded that parental perception of the teaching of sex education to adolescents in secondary schools is generally negative in Cross River State. Some recommendations were enhanced as the way forward. DOI: http://dx.doi.org/10.3126/hjsa.v6i0.10714 Himalayan Journal of Sociology and Anthropology Vol.6 2014: 134-145
Article
This study investigates parental attitude towards sex education at the lower primary level of education in Ghana. In all 100 parents ranging from 20 to 60 years, with diverse socio-economic backgrounds consisting of 64 males and 36 females where sampled for the study. Out of this number, 63% reside in urban areas, whereas 37% reside in rural areas. The results indicate that about 58% of parents have an unfavourable attitude towards sex education in lower primary schools. Unsurprisingly, all the parents who held unfavourable attitude towards sex education said that children are too young for sex education at the lower primary school level. However, of the parents who held favourable attitude; 81% indicated that children are exposed a lot these days. 17% admitted that sex education will be helpful to the children and 2% said children ask questions about sex anyway and needed to be provided with answers. Finally, the results showed that there is no gender difference in parental attitude towards sex education, as well as no residency difference about sex education. However, there was a difference in parental attitude in connection to their educational level. The implications of the findings from this research are discussed.
Article
About 3/4 of young men and women living in metropolitan areas of the US have had sex education in school and about 8 out of 10 of those who have taken such a course report that they received information about different types of contraceptive methods. About 3/4 of students who have taken a course say that they were taught something about where contraceptive methods can be obtained or about possible side effects of the various methods. Young people who have had sex education are no more likely to have sexual intercourse than those who haven't; however, sexually active young women who have had sex education are less likely to have been pregnant than their counterparts who have had no such instruction. Teenage women who have had sex education are somewhat more likely to have practiced contraception at 1st intercourse but are not any more likely to have used a medically prescribed method such as the pill. Black teenage women, but not whites, who have had instruction about contraceptives are more likely to ever use a prescription method, and a higher proportion of all teenage women who have had such instruction report ever-use of a method than those who have not had such instruction. Young women who have had sex education are neither more nor less likely than those who have not to use a method every time they have intercourse. These findings are based on 2 nationwide US surveys conducted in the mid and late 1970s. author's modified
Sexuality Education in Sweden: A Study Based on Research and Young People's Service Providers in Gothenburg, Department of Social Work
  • B Kelefang
Kelefang, B. (2008). Sexuality Education in Sweden: A Study Based on Research and Young People's Service Providers in Gothenburg, Department of Social Work. Page 1-47.
The Impact of Sex Education on The Sexual Behavior Young People
  • D Kirby
Kirby, D. (2011). The Impact of Sex Education on The Sexual Behavior Young People, New York: United Nations, Department of Economic and Social Affairs. No 2011/12, hal. 1-19.
Katharine Dexter McCormick Library and Education Division of Planned Parenthood Federation of America
  • J Knowles
Knowles, J. (2012). Sex Education in United States, New York: Katharine Dexter McCormick Library and Education Division of Planned Parenthood Federation of America. Page 1-13.