Content uploaded by Fathul Lubabin Nuqul
Author content
All content in this area was uploaded by Fathul Lubabin Nuqul on Feb 19, 2018
Content may be subject to copyright.
Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
157
PENDAHULUAN
Maraknya pemberitaan tentang peri-
laku seks menyimpang, seperti pelecehan,
sexual abuse, dan free sex menjadi
ancaman bagi generasi muda, khususnya
anak-anak yang masih kosong dalam pe-
ngetahuannya tentang seks. Berdasarkan
data KPAI (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia) kasus sexual abuse mengalami
peningkatan dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir.
Rendahnya kesadaran orangtua dalam
memberikan perlindungan kepada anak,
menjadi salah satu faktor penyebab
meningkatnya kasus penyimpangan seks,
seperti sexual abuse (Gatra, 2015). Dari
hasil penelitian KPAI, 70% orangtua belum
mampu mengasuh anak mereka menggu-
nakan metode yang sesuai dengan perkem-
bangan zaman sekarang (KPAI, 2016).
Pendidikan seks yang diberikan sejak
dini mampu mengurangi potensi risiko
yang timbul akibat perilaku seksual, seperti
unwanted pregnancy dan penularan
penyakit seksual, sehingga membantu me-
ningkatkan kualitas hubungan yang positif
pada anak (Odek, 2006).
Perlunya pendidikan seks bagi setiap
individu tidak hanya untuk melindungi diri
dari perilaku menyimpang seks, namun
juga memberikan pemahaman kepada anak
tentang batasan-batasan sebagai seorang
laki-laki dan perempuan (Justicia, 2016).
Akan tetapi, kenyataan yang ada di
EKSPLORASI PERSEPSI IBU TENTANG PENDIDIKAN SEKS
UNTUK ANAK
Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul
UIN Maulana Malik Ibrahim, Jl. Gajayana No.50 Lowokwaru, Kota Malang
e-mail : shofwamaliyah@gmail.com
Abstract
Sex education is the provision of information about sex that aims to reduce the potential risk of
sexual behavior. This effort is still taboo in the community, so parents feel hesitant to provide
teaching about sex to children. The purpose of this study is to determine the perception of
parents to sex education provided to children from an early age. This research was conducted in
Jambesari village, Poncokusumo, Malang by using phenomenology approach and involving 5
mothers. The results show that parents perceive sex education as taboo, vulgar and
inappropriate to convey to children, thus affecting the involvement and form of education
provided by parents to children. The results also show that the need for the competence of sexual
education is important to be done by parents.
Keywords: Parent, sexual education, child
Abstrak
Definisi pendidikan seks adalah pemberian informasi tentang seks yang bertujuan untuk
mengurangi potensi risiko akibat perilaku seks yang negatif. Namun istilah tersebut masih asing
di beberapa kalangan masyarakat, sehingga orangtua merasa ragu untuk memberikan pengajaran
tentang seks kepada anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi orangtua
terhadap pendidikan seks yang diberikan kepada anak sejak dini. Penelitian ini dilakukan di Desa
Jambesari, Poncokusumo, Malang dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dan
melibatkan 5 orangtua (ibu) sebagai subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
orangtua menganggap pendidikan seks sebagai hal yang tabu, vulgar dan tidak pantas untuk
disampaikan kepada anak, sehingga berpengaruh terhadap keterlibatan dan bentuk pendidikan
yang diberikan oleh orangtua kepada anak.
Kata Kunci: Orangtua, pendidikan seks, anak
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 – 166
158
Indonesia saat ini orangtua masih meng-
anggap pendidikan seks merupakan hal
tabu untuk disampaikan kepada anak
(Counterman dan Kirkwood, 2013).
Kebanyakan orangtua beranggapan
bahwa pendidikan seks hanya berisi tentang
pemberian informasi alat kelamin dan
berbagai macam posisi dalam hubungan
seks (Lestari dan Prasetyo, 2014). Kesim-
pangsiuran tentang arti pendidikan seks
yang sebenarnya, menjadikan masyarakat
memiliki persepsi bahwa pendidikan seks
terlalu vulgar apabila diberikan pada anak-
anak (Justicia, 2016). Masyarakat awam
cenderung memiliki anggapan bahwa pe-
ngetahuan tentang seks adalah ranah untuk
orang dewasa dan anak-anak akan mengerti
dengan sendirinya saat mereka dewasa.
Rahmawati (2012) menjelaskan bahwa
anak yang tidak menerima pendidikan seks
memiliki risiko untuk melakukan perilaku
seks yang negatif di masa mendatang
(remaja). Hal tersebut dikarenakan anak
mencari tahu pada sumber yang tidak tepat,
sehingga berpotensi mendapatkan pema-
haman yang keliru tentang seks yang
menyebabkan anak melakukan perilaku
menyimpang (Ambarwati, 2013).
Persepsi orangtua terhadap pendidikan
seks didefinisikan sebagai cara pandang
(positif maupun negatif) orangtua kaitannya
dengan mengajarkan dan memberikan
pemahaman kepada anak tentang hal-hal
yang berhubungan dengan seks sesuai
pengalaman yang diperoleh orangtua
(Akpama, 2013; Dyson, 2010). Pendidikan
seks meliputi pengembangan self-respect
pada anak, pemahaman tentang istilah seks,
penanaman nilai-nilai tentang hubungan
interpersonal, dan komunikasi tentang topik
seks (Sule, Akor, Toluhi, Suleiman, Akpihi
dan Ali, 2015).
Persepsi menjadi penting untuk diteliti
dalam pendidikan seksual, karena persepsi
menentukan cara pandang dan sikap pada
dunianya dalam hal ini pendidikan seksual.
Persepsi memungkinkan seseorang me-
maknai dan mengkategorikan sebuah objek
untuk kemudian ditindaklanjuti menjadi
sikap dan perilaku. Dalam konteks ini
persepsi yang dimiliki oleh seorang ibu
akan menentukan cara ibu melaksanakan
pendidikannya.
Nyarko, Adentwi, Asumeng dan Ahulu
(2014) mengatakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi sikap
orangtua dalam memberikan pendidikan
seks kepada anak, yaitu persepsi umum
masyarakat dan sistem kayakinan sosial,
faktor religi, orangtua serta pendidik.
Herjanti (2015) juga mengatakan bahwa
pola dan bentuk pendidikan yang diberikan
oleh orangtua akan berbeda satu dengan
yang lain, hal tersebut disebabkan setiap
orang mendapatkan informasi dari pengala-
mannya secara personal.
Beberapa negara juga menerapkan
pendidikan seks dengan bentuk dan tujuan
yang berbeda. Swedia misalnya, yang
menjadi pelopor sex education pertama di
Eropa menerapkan pendidikan seks untuk
mendukung dan mempersiapkan generasi
muda dalam bertanggung jawab terhadap
kehidupannya, terutama yang berkaitan
dengan seksualitas (Kelefang, 2008).
Sedangkan di Amerika pendidikan seks
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
warganya tentang perilaku seks yang sehat
(Knowles, 2012).
Permasalahan yang terjadi di Indonesia
kaitannya dengan pemberian pendidikan
seks adalah orangtua masih merasa
sungkan membicarakan topik seksual
kepada anak, mereka menganggap hal
tersebut tabu dan belum perlu disampaikan
kepada anak (Ambarwati, 2013).
Kebanyakan orangtua mengabaikan kebu-
tuhan anak akan pendidikan seks (Esohe,
2015). Padahal pendidikan seks mem-
berikan banyak dampak positif bagi anak,
termasuk mengurangi kehamilan di usia
dini dan penyakit menular seks (Kirby,
2011).
Pendidikan seks pada dasarnya
memiliki tujuan untuk memberikan penga-
jaran dan pemahaman kepada anak tentang
hal-hal yang berkaitan dengan seks,
sehingga anak tidak terjerumus ke dalam
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
159
pergaulan yang tidak sehat dan terhindar
dari hal-hal negatif yang timbul akibat
perilaku seksual yang keliru. Hal tersebut
sesuai dengan hasil identifikasi oleh The
U.S. Department of Health and Human
Services yang menyatakan bahwa terdapat
sebanyak 28 bukti yang merujuk pada
keberhasilan program pendidikan seks
sejak dini, diantaranya mencegah kehamil-
an dini, mengurangi jumlah perilaku
hubungan seksual di bawah umur dan
mengurangi perilaku seksual yang berisiko
lainnya (Knowles, 2012:4).
Peran orangtua dalam memberikan
pengajaran tentang seks sangat penting,
terutama ibu. Sebagaimana diketahui bah-
wa “al-ummu madrasah al-ula” ibu meru-
pakan madrasah pertama bagi anak.
Pengetahuan ibu tentang pendidikan seks
memiliki pengaruh terhadap penerapan
pendidikan seks kepada anak (Ambarwati,
2013).
Untuk itu, penelitian ini melibatkan ibu
sebagai subjek penelitian. Adapun lokasi
yang dipilih untuk melakukan penelitian ini
adalah Desa Jambesari, Kecamatan Ponco-
kusumo, Kabupaten Malang. Pemilihan
lokasi penelitian didasarkan pada banyak-
nya kasus pelanggaran norma seksual yang
dilakukan oleh anak dan remaja.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan meng-
gunakan metode fenomenologi untuk
memperoleh pemahaman tentang pandang-
an orangtua dalam memberikan pendidikan
seks kepada anak. Pendekatan fenomeno-
logi dipilih untuk mempermudah dalam
mengungkap makna dari pendidikan seks
yang dimunculkan oleh subjek. Oleh karena
itu fokus dari penelitian ini adalah tentang
makna pendidikan seks bagi orangtua yang
dipresentasikan melalui keterlibatan orang-
tua dalam memberikan pendidikan seks
kepada anak dan bentuk pendidikan seks
yang selama ini sudah diberikan kepada
anak.
Subjek dalam penelitian ini dipilih
berdasarkan pertimbangan peneliti, guna
mendapatkan pemahaman secara spesifik
tentang problem riset dan fenomena yang
terkait dalam penelitian. Penelitian ini
melibatkan 5 orang ibu yang memiliki
pengalaman mengasuh anak (NW, WT, SR,
RP, SK). Alasan pemilihan subjek karena
ibu merupakan pendidik pertama yang
memberikan pendidikan kepada anak
sebelum anak menerima pendidikan dari
orang lain, sehingga penting untuk
mengetahui pola pengasuhan mereka dalam
memberikan pendidikan seks kepada anak.
Pengambilan data dilakukan peneliti
dengan melakukan pendekatan kepada
masyarakat, survei lapangan dan untuk
memperoleh gambaran data yang valid
tentang keadaan lingkungan subjek, peneliti
melakukan live in di salah satu rumah
warga selama satu minggu. Selama kurun
waktu tersebut peneliti melakukan wawan-
cara dan observasi terhadap subjek
penelitian. Wawancara dilakukan atas per-
setujuan subjek dengan pemilihan tempat
dan waktu yang juga didasarkan pada
kesediaan subjek.
HASIL PENELITIAN DAN PEM-
BAHASAN
Persepsi Orangtua terhadap Pendidikan
Seks
Pendidikan seks merupakan istilah
yang jarang ditemui di kalangan masyara-
kat, khususnya masyarakat desa. Kurang-
nya akses informasi menjadi salah satu
faktor yang membuat pendidikan seks tidak
dikenal oleh masyarakat. Hal tersebut
sebagaimana yang diungkapkan subjek SK
bahwa selama ini belum pernah ada penyu-
luhan tentang pendidikan seks di Desa
Jambesari,
“Di sini belum pernah diadakan
penyuluhan tentang pendidikan
seks, orangtua zaman dulu juga
tidak pernah mengajarkan tentang
pendidikan seks”
Istilah seks sering diartikan sebagai
hubungan antara laki-laki dan perempuan
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 – 166
160
yang sifatnya pribadi, sebagaimana di-
katakan:
“Pendidikan seks hal saru, karena
biasanya hanya membicarakan seks
dengan suami, malu jika dijelaskan
kepada orang lain.” (NW, SR, RP)
“Seks atau jima’ itu berhubungan
dengan suami-istri yang mewajibkan
mandi besar, tidak etis kalau
dijelaskan kepada anak.” (WT)
“Pendidikan seks dapat memicu anak
mengetahui tentang hubungan badan
antara laki-laki dan perempuan”
(SK).
Definisi tersebut memunculkan ang-
gapan saru bagi kebanyakan orang, oleh
karenanya topik yang berkaitan dengan
seks jarang dibicarakan di kalangan masya-
rakat. Hal tersebut sesuai dengan fakta di
lapangan yang disampaikan subjek, bahwa
masyarakat cenderung tertutup dan meng-
hindari pembahasan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan seks, sebagaimana di-
katakan :
“Di desa masalah seks itu tertutup,
orang di sini malu membicarakan
tentang seks, karena hal tersebut
saru.” (WT, SR)
Anggapan saru pada hal yang
berkaitan dengan seks, menjadikan orang-
tua juga memiliki anggapan yang sama
pada istilah pendidikan seks. Oleh karena-
nya orangtua tidak setuju apabila pendidi-
kan seks diberikan kepada anak. Pen-
didikan seks dianggap memuat hal-hal yang
tabu, sehingga orangtua cenderung menen-
tang apabila pendidikan seks diberikan
sejak dini, sebagaimana dikatakan :
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
161
“Saya marah jika anak diberikan
penjelasan tentang hal yang saru,
anak tidak seharusnya diajarkan
tentang hal-hal tabu.” (NW)
Orangtua beranggapan bahwa pen-
didikan seks akan memicu anak untuk
mencari tahu tentang hal-hal yang berkaitan
dengan seksualitas, disebabkan anak memi-
liki rasa penasaran dan keingintahuan yang
tinggi, sehingga orangtua merasa khawatir
apabila anak meniru perilaku seksual,
“Anak sering merasa penasaran, jika
diberikan pendidikan seks bisa
memicu anak mengetahui tentang
hubungan seks, kemudian dipraktek-
kan dengan temannya.” (WT, RP,
SK).
“Anak masih kecil, belum memahami
hal yang seperti itu. Nanti setelah
dewasa anak akan tahu tanpa harus
diberikan pelajaran.” (NW, WT, SR)
Fakta yang ditemukan di lapangan
menyebutkan bahwa para subjek tidak
pernah mendapatkan pengajaran tentang
hal-hal yang berkaitan dengan seks dari
orangtuanya, sebagaimana dikatakan :
“Orangtua zaman dulu yang terpen-
ting adalah mengajarkan sholat dan
mengaji, tidak pernah memberikan
pendidikan seks.” (NW, WT, SR, RP,
SK)
“Belajar tentang seks secara mandiri,
belajar dari suami.” (NW, RP)
Beberapa subjek memahami topik
tersebut secara mandiri saat mereka sudah
menikah, sehingga pengetahuan yang mere-
ka dapat tentang seks hanya sebatas
hubungan badan antara laki-laki dan
perempuan.
Untuk mempermudah memahami per-
sepsi orangtua terhadap pendidikan seks di
Desa Jambesari, Poncokusumo, Malang,
disajikan dalam Gambar 1. Skema menje-
laskan tentang bagaimana persepsi orangtua
terhadap pendidikan seks terbentuk. Dapat
dilihat bahwa terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi persepsi orangtua, yaitu
persepsi umum masyarakat Jambesari yang
menganggap seks merupakan hal saru dan
tidak pantas untuk diperbincangkan secara
umum, pengalaman orangtua yang tidak
pernah mendapatkan pengajaran tentang
seks sebelumnya dan kurangnya informasi
seputar pendidikan seks.
Ketiga faktor tersebut membentuk
pemahaman yang keliru tentang makna
pendidikan seks sebenarnya. Pengertian
tentang istilah pendidikan seks sebagai hal
yang tabu dipengaruhi oleh makna dari
istilah ‘seks’ yang diartikan sebagai
hubungan badan antara suami-istri. Orang-
tua cenderung menganggap pendidikan
seks memberikan informasi tentang hal
tabu, seperti hubungan seksual dan hal-hal
yang berhubungan dengan alat kelamin.
Anggapan tersebut membentuk per-
sepsi orangtua bahwa pendidikan seks
terlalu vulgar dan tidak pantas apabila
disampaikan kepada anak. Menurut
orangtua pendidikan seks dapat memicu
anak untuk mengetahui dan mencari tahu
tentang hal-hal yang berhubungan dengan
seks, sehingga dikhawatirkan anak akan
meniru perilaku seks yang negatif. Oleh
karenanya orangtua berpendapat bahwa
saat ini anak belum membutuhkan penjelas-
an tentang seks, mereka akan mengetahui
dengan sendirinya ketika dewasa.
Keterlibatan dan Bentuk Pendidikan Seks
Desa Jambesari memiliki peringkat
tinggi kaitannya dengan perilaku menikah
di usia dini, hal tersebut sebagaimana
dikatakan oleh Kepala Desa Jambesari,
Poncokusumo, Malang:
“Iya memang benar di sini menikah
usia di bawah umur itu banyak,
biasanya ya lulusan SD, SMP itu
sudah menikah kalau di sini.”
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 – 166
162
Salah satu penyebab terjadinya
fenomena pernikahan dini tersebut adalah
unwanted pregnancy atau hamil sebelum
menikah. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Mudin Desa Jambesari, Poncokusumo,
Malang:
“Banyak mbak pernikahan dini di
sini, alasannya juga macem-macem,
tapi kebanyakan biasanya sudah
pacaran lalu yang perempuan hamil.”
Peran ibu masih kurang, hal ini
ditunjukkan oleh orangtua di Desa
Jambesari. Mereka menganggap bahwa
pendidikan seks mengandung unsur tabu,
sehingga tidak pantas apabila disampaikan
kepada anak. Orangtua merasa malu mem-
bicarakan hal-hal yang berkaitan dengan
seks kepada anak.
Peran orangtua dalam mencegah
penyimpangan perilaku pada anak hanya
sebatas melakukan pengawasan kepada
anak. Bentuk pengawasan yang dilakukan
adalah dengan memastikan anak tetap di
rumah dan tidak pergi terlalu jauh dari
lingkungan rumah.
Pada subjek NW keterlibatan dalam
memberikan pendidikan seks diwujudkan
dalam bentuk meluangkan waktu untuk
menasehati anak tentang masalah pergaul-
an, hal tersebut dilakukan oleh NW untuk
mencegah anaknya salah dalam memilih
pergaulan.
Keterlibatan subjek WT dilakukan
dengan memberikan pengajaran dan pema-
haman tentang hal-hal yang terjadi saat
anak menginjak usia baligh. WT juga
memberikan pemahaman tentang aturan
batas aurat laki-laki maupun perempuan
sesuai dengan panduan syari’at. Meskipun
Subjek juga tidak terlalu memahami
bagaimana mekanisme terjadinya proses
aqil baligh.
Adapun pada subjek SR, RP dan SK
bentuk keterlibatan ditunjukkan dengan
melakukan pengawasan terhadap anak serta
mengenal lingkungan tempat anak bermain
tanpa melakukan komunikasi tentang hal-
hal yang berhubungan dengan seks.
Meskipun demikian subjek meyakini
bahwa pendidikan agama dianggap sebagai
cara untuk membentengi anak dari
pengaruh negatif pergaulan bebas yang
berakibat pada penyimpangan perilaku
seksual. Sehingga orangtua memberikan
pengajaran dan pemahaman tentang agama,
dengan harapan mampu dijadikan sebagai
batasan norma bagi anak, sebagaimana
dikatakan oleh subjek NW :
“Makanya penting lah ya istilahnya
anak itu disuruh ngaji, sembayangnya
yang bener, biar gak macem-macem.
Kalau dia tahu agama kan gak
mungkin macem-macem, gak berani,
ingat sama dosa ya.” (NW)
Faktor yang Memengaruhi Persepsi Ibu
terhadap Pendidikan Seksual
Berdasarkan temuan di lapangan, para
subjek diketahui tidak pernah mendapatkan
pengajaran tentang hal-hal yang berkaitan
dengan seks dari orangtua-nya dan masih
merasa kurang dengan informasi yang
dimiliki, misalnya WT :
“Saya enggak belajar khusus, saya
belajarnya ya di pondok itu. ya tahu-
tahu sendiri. Kan orangtua saya itu…
ya memang saya lahir itu kayake
sudah tua semua eh (tertawa). Kayak
awam kalau terhadap hukum-hukum
kayak gitu.
Beberapa subjek memahami topik
tersebut secara mandiri saat mereka sudah
menikah, sehingga pengetahuan yang me-
reka dapat tentang seks hanya sebatas
hubungan badan antara laki-laki dan
perempuan. Misalnya NW mengatakan,
“Masalah begituan nanti juga bisa sendiri
setelah menikah”.
Di samping faktor pengalaman dan
modelling pola asuh, kurangnya akses
informasi tentang pendidikan seksual ter-
kini juga memengaruhi persepsi dan keter-
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
163
libatan orang tua pada pendidikan seks
anak-anak.
Data penelitian ini menunjukkan bawa
pendidikan seks masih dianggap sebagai
hal yang tabu oleh orangtua khususnya ibu.
Kurangnya informasi tentang pendidikan
seks menimbulkan kesimpangsiuran mak-
na dari istilah tersebut. Menurut Justicia
(2016) kesimpangsiuran tentang arti
pendidikan seks yang sebenarnya men-
jadikan masyarakat memiliki persepsi
negatif tentang pendidikan seks. Masya-
rakat cenderung menyamakan makna
pendidikan seks dengan istilah seks itu
sendiri.
Nyarko dkk. (2014) mengatakan
bahwa terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi persepsi orangtua terhadap
pendidikan seks, salah satu di antaranya
yaitu persepsi umum masyarakat. Eko,
Osuchukwu, Osonwa dan Offiong (2013)
juga mengatakan bahwa di beberapa
masyarakat pendidikan seks terlihat tabu
dan tidak pantas untuk diperbincangkan.
Masyarakat Jambesari menganggap segala
sesuatu yang berkaitan dengan seks meru-
pakan hal tabu dan tidak pantas untuk
dibicarakan secara umum. Oleh karenanya
sikap masyarakat cenderung tertutup pada
topik pembahasan tentang seks.
Anggapan tabu yang berkembang di
kalangan masyarakat menjadikan orangtua
merasa malu dan enggan mendiskusikan
hal-hal yang berkaitan dengan seks kepada
anaknya. Anak-anak tidak diberikan pendi-
dikan seks disebabkan alasan cultural yang
menganggap pendidikan seks tidak penting
dan melanggar adat kesopanan (Odek,
2006). Anggapan tersebut juga membuat
orangtua merasa ragu untuk memberikan
pendidikan seks kepada anak (Coleman dan
Charles, 2009).
Pengalaman orangtua juga menjadi
faktor yang memengaruhi persepsinya ter-
hadap pendidikan seks. Hal tersebut dise-
babkan setiap orangtua memiliki latar
belakang dan pengalaman tentang seks
yang berbeda. Herjanti (2015) mengemu-
kakan bahwa salah satu cara memperoleh
pengetahuan adalah berdasarkan pengalam-
an yang pernah dialami di masa lalu.
Alasan lain pendidikan seks tidak
sesuai bila diberikan kepada anak, karena
anak belum memahami tentang topik yang
berkaitan dengan seksualitas, sehingga
anak tidak membutuhkan penjelasan
tentang topik tersebut. Orangtua memiliki
anggapan bahwa anak akan mengetahui
dengan sendirinya ketika mereka tumbuh
dewasa.
Orangtua merupakan sekolah pertama
bagi anak, karena anak pertama kali
mendapat pendidikan dari orangtuanya, hal
tersebut menjadikan keterlibatan orangtua
dalam memberikan pendidikan seks sangat
penting untuk menjalankan fungsinya
sebagai pendidik pertama dan utama bagi
anak.
Zelnik dan Kim (1982) mengungkap-
kan bahwa jika orangtua bersedia
mendiskusikan seks dengan anaknya, maka
anak cenderung menunda perilaku seksual
premarital. Ambarwati (2013) juga menje-
laskan bahwa terdapat hubungan positif
yang signifikan antara pengetahuan ibu
tentang pendidikan seks dengan penerapan
pendidikan seks pada anak. Nyarko dkk.
(2014) menjelaskan bahwa pendidikan seks
merupakan pendidikan yang memiliki
tujuan untuk mengurangi potensi risiko
akibat perilaku seksual yang negatif.
Beberapa perilaku seksual yang negatif
adalah free sex, unwanted pregnancy, dan
early marriage.
Kenyataannya pada zaman sekarang,
mencegah perilaku seks yang menyimpang
tidak cukup hanya dengan memberikan
pendidikan tentang agama saja, namun
dibutuhkan pengajaran yang lebih komuni-
katif dan interaktif dalam menyampaikan
informasi terkait seks kepada anak.
Menurut Ololade, Ibukunoluwa, Titilayo
dan Saratu (2014) menyatakan bahwa
pengasuhan orangtua yang permisif dalam
memberikan pendidikan seks meningkatkan
risiko anak melakukan premarital sex atau
hubungan seks sebelum menikah.
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 – 166
164
Perlunya keterlibatan orangtua dalam
memberikan pendidikan seks dapat mengu-
rangi risiko perilaku seks yang negatif di
kalangan anak-anak. Hal tersebut disebab-
kan pendidikan seks memberikan pema-
haman tentang batasan yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, sehingga anak
terhindar dari tindakan yang seharusnya
tidak dilakukan karena ketidaktahuannya
(Crisalli, 2010).
SIMPULAN DAN SARAN
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
penafsiran yang keliru tentang pendidikan
seks diperoleh dari lingkungan. Sebagian
besar masyarakat Jambesari menganggap
pendidikan seks adalah hal negatif sehingga
tidak patut untuk diberikan, terlebih kepada
anak-anak. Anggapan negatif tersebut
dibangun karena masyarakat kekurangan
informasi tentang pendidikan seks, sehing-
ga stimulus yang didapatkan oleh orangtua
tentang pendidikan seks adalah hal-hal tabu
yang tidak pantas untuk dibicarakan dengan
anak-anak.
Persepsi negatif tentang pendidikan
seks pada anak menimbulkan konsekuensi
perilaku orangtua yang menolak terhadap
pemberian pendidikan seks kepada anak,
sehingga orangtua cenderung kurang dalam
keterlibatan dan melakukan pengawasan
kepada anak. Hal tersebut berisiko terhadap
tingginya pergaulan bebas, pernikahan dini
dan kehamilan yang tidak diinginkan di
Desa Jambesari.
Saran dari hasil penelitian tersebut
diharapkan lembaga desa untuk mengada-
kan program penyuluhan tentang pendi-
dikan seks kepada masyarakat. Sedangkan
untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk
membahas tentang latar belakang pendidi-
kan dan kondisi ekonomi orangtua sebagai
faktor yang memengaruhi persepsi orangtua
terhadap pendidikan seks.
DAFTAR PUSTAKA
Akpama, E.G. (2013). Parental Perception
of Teaching of Sex Education to
Adolescent in Secondary School in
Cross River State, Nigeria, Journal of
Research & Method in Education,
1(3), 31-34.
Ambarwati, R. (2013). Peran Ibu dalam
Penerapan Pendidikan Seksual pada
Anak Usia Pra Sekolah,
Wonosobo: Prosiding Konferensi
Nasional PPNI Jawa Tengah, Hal.
197-201.
Coleman, H. & Charles, G. (2009). Sexual
Behavior and Development in Young
Children, Canada: The National
Child Traumatic Stress Network.
Counterman, L. & Kirkwood, D. (2013).
Understanding Healthy Sexuality
Development in Young Children,
NAEYC. www.naeyc.org
Crisalli, L. (2010). The Early Educator’s
Role in the Prevention of Child
Sexual Abuse and Exploitation,
Child Beginning Workshop Child
Sexual Abuse.
www.childcareexchange.com
Dyson, S. (2010). Parents and Sex
Education: Parents’ Attitude to
Sexual Health Education in WA
Schools, Melbourne: Australian
Research Center in Sex, Health and
Society.
Esohe, K. (2015). Parents Perception of the
Teaching of Sexual Education in
Secondary Schools in Nigeria,
International Journal of Innovative
Science, Engineering & Technology,
2(1), 89-99.
Herjanti. (2015). Pola Asuh Orang Tua
tentang Pendidikan Seks, Jurnal Ilmu
Kebidanan Indonesia, Halaman 93-
106.
Eko, J.E., Osuchukwu, N.C., Osonwa,
O.K., & Offiong, D.A. (2013).
Perception of Students’ Teachers’
and Parents’ towards Sexuality
Education in Calabar South Local
Government Area of Cross River
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks untuk Anak (Shofwatun Amaliyah & Fathul Lubabin Nuqul)
165
State, Nigeria, Journal of
Sociological Research, 4(2), 225-240,
ISSN 1948-5468 2013.
Justicia, R. (2016). Program Underwear
Rules untuk Mencegah Kekerasan
Seksual Pada Anak Usia Dini, Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, 9(2),
217-232.
Kelefang, B. (2008). Sexuality Education in
Sweden: A Study Based on Research
and Young People’s Service
Providers in Gothenburg,
Department of Social Work. Page 1-
47.
Kirby, D. (2011). The Impact of Sex
Education on The Sexual Behavior
Young People, New York: United
Nations, Department of Economic
and Social Affairs. No 2011/12, hal.
1-19.
Knowles, J. (2012). Sex Education in
United States, New York: Katharine
Dexter McCormick Library and
Education Division of Planned
Parenthood Federation of
America. Page 1-13.
Lestari, E. & Prasetyo, J. (2014). Peran
Orang Tua dalam Memberikan
Pendidikan Seks Sedini Mungkin Di
Tk Mardisiwi Desa Kedondong
Kecamatan Kebonsari Kabupaten
Madiun, NUGROHO-Jurnal Ilmiah
Pendidikan, 2(2), 124-131.
Nyarko, K., Adentwi, K.I., Asumeng, M.,
& Ahulu, L.D. (2014). Parental
Attitude towards Sex Education at the
Lower Primary in Ghana,
International Journal of Elementary
Education, 3(2), 21-29.
Odek, T. (2006). Cultural Challenges and
Sex Education in Mageta Island,
Kenya, Kenya: Afrika Regional
Sexuality Resource Centre. Page 1-
26.
Ololade, O., Ibukunoluwa, A., Titilayo, O.,
& Saratu, A. (2014). Sexuality
Education in Christian Homes:
Knowledge and Perception of Young
People in Ife Central Local
Government Osun State,
International Journal of Science and
Research, 5(2), 697-700.
Rahmawati, N. (2012). Gambaran Perilaku
Seksual pada Anak Usia Sekolah
Kelas 6 Ditinjau dari Media Cetak
dan Media Elektronik, Jurnal
Keperwatan Masyarakat.
Sule, H.A., Akor, J.A., Toluhi, O.J.,
Suleiman, R.O., Akpihi, L., & Ali,
O.U. (2015). Impact of Sex Educati-
on in Kogi State, Nigeria, Journal of
Education and Practice, 6(3), 34-41.
Zelnik, M. & Kim, Y.J. (1982). Sex
Education and Its Association with
Teenage Sexual Activity, Pregnancy
and Contraceptive Use, Family
Planning Perspectives, 14, 117-119.
https://www.gatra.com/hukum-1/52038-
kpai-pelecehan-seksual-akibat-
rendahnya-kesadaran-perlindungan-
anak.html (diakses pada 2 Desember
2016)
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-
pelecehan-seksual-pada-anak-
meningkat-100/ (diakses pada 2
Desember 2016)
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol.. 4, No. 2, Hal : 157 – 166
166