Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online) 29
FAKTOR-FAKTOR MEMPENGARUHI KETIMPANGAN WILAYAH DI PROVINSI
JAWA TIMUR, INDONESIA
Fitrah Sari Islami
Email: fitrahsariislami21@gmail.com
Nugroho SBM
Department of Economics, Diponegoro University
Email: nugroho.sbm@gmail.com
Abstrak
Ketimpangan wilayah merupakan salah satu masalah yang umum terjadi di Negara
sedang berkembang termasuk di Indonesia. Jawa Timur merupakan provinsi yang nilai
ketimpangannya cukup tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lain yang berada di Pulau
Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui keadaan ketimpangan di Provinsi Jawa
Timur 2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan wilayah di Provinsi
Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan 1) Indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan
wilayah, 2) Analisis regresi linear berganda (Ordinary Least Square) dengan waktu penelitian
tahun 2001-2015. Penelitian ini menggunakan software Eviews 9.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa
Timur cenderung meningkat dengan nilai indeks Williamson lebih dari 1. Hasil analisis
regresi linear berganda dalam penelitian ini ada tiga
dan berpengaruh terhadap ketimpangan wilayah yaitu variabel investasi, angkatan kerja dan
IPM serta dua variabel yang tidak signifikan yaitu variabel pertumbuhan ekonomi,
pengeluaran pemerintah.
Kata Kunci: Ketimpangan Wilayah, Indeks Williamson, Jawa Timur
Abstract
Regional inequalities are one of the most common issues in developing countries
including in Indonesia. East Java is the pro vince with the quiet high inequalities value
compared to the other provinces in Java Island. This study aims to: 1) to calculate the
inequality value in East Java Province, 2) to classify the regions in East Java Province using
Klassen Typology, 3) to determine factors that affect inequalities value in East Java Province.
The methods used in this study were 1) Williamson Index to calculate the inequalities
values, 2) Multiple linear regression analysis (Ordinary Least Square) during 2001 – 2015
using Eviews 9 software.
The result of the study showed that the level of regional inequalities in East Java
Province tends to increase with the Williamson index value more than 1. The result of
multiple linear regression analysis, the variable of investment, labor forced and HDI were
resulted to significant and it affect to the regional inequalities, meanwhile the variable of
economic growth, and government expenditure were insignificant.
Keyword: inequalities, Williamson Index, Klassen Typology, East Java
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
30 p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online)
PENDAHULUAN
Pembangunan harus dipandang sebagai
suatu proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar
atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional,
di samping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan
ketimpangan pendapatan, serta
pengentasan kemiskinan (Todaro dan
Smith, 2006). Indikator yang biasa
digunakan untuk mengukur pembangunan
ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi
yang dihasilkan dari pembangunan
tersebut. Pertumbuhan ekonomi akan lebih
berarti apabila diikuti dengan pemerataan
dari hasil-hasil pembangunan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang adil dan merata.
Salah satu upaya pemerintah pusat
dalam mendorong percepatan
pertumbuhan ekonomi di daerah yaitu
melalui peraturan perundang-undangan
(Kuncoro, 2004). Undang-undang tersebut
yaitu UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1
tentang otonomi daerah. Otonomi daerah
adalah pemberian hak, wewenang, dan
kewajiban kepada daerah untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Hal ini bertujuan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat serta peningkatan daya saing
daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Tabel 1.1 menunjukkan besarnya
tingkat ketimpangan wilayah yang terjadi
di Pulau Jawa dan Provinsi Jawa Timur
memiliki tingkat ketimpangan tertinggi
selama 5 tahun terakhir jika dibandingkan
dengan Provinsi lainnya. Provinsi Jawa
Timur menunjukkan angka indeks pada
tahun 2011 sebesar 0,979, tahun 2012
sebesar 0,981, tahun 2013 sebesar 0,982,
tahun 2014 sebesar 0,989 dan pada tahun
2015 sebesar 0,991. Keadaan tersebut
terlihat bahwa Provinsi Jawa Timur selain
memiliki angka indeks ketimpangan paling
tinggi dibandingkan provinsi lain dan juga
angkanya selalu meningkat bahkan
mendekati angka 1 dari tahun ke tahun.
Provinsi DI Yogyakarta memiliki angka
indeks ketimpangan yang terus menurun
dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2011
sebesar 0,476 menjadi sebesar 0,470 pada
tahun 2015.
Tabel 1. Indeks Williamsom Pulau Jawa
Tahun 2011-2015
Provinsi
2011
2012
2013
2014
2015
DKI Jakarta
0,655
0,492
0,493
0,497
0,507
Jawa Barat
0,719
0,731
0,742
0,736
0,729
Jawa Tengah
0,697
0,704
0,670
0,666
0,635
DIY
0,476
0,474
0,472
0,472
0,470
Jawa Timur
0,979
0,981
0,982
0,989
0,991
Banten
0,703
0,710
0,709
0,626
0,625
Sumber : BPS (diolah)
Kesenjangan wilayah dan pemerataan
pembangunan menjadi permasalahan
utama dalam pertumbuhan ekonomi
wilayah.Pola pembangunan yang tidak
merata serta perbedaan karakteristik di
setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Timur menjadi awal masalah yang timbul
sehingga menyebabkan pola pertumbuhan
ekonomi di setiap wilayah menjadi
berbeda-beda. Jika dilihat pertumbuhan
ekonomi Provinsi Jawa Timur rata-rata
presentasenya cukup tinggi dibanding
Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DI
Yogyakarta. Akan tetapi, dari kondisi
ketimpangan yang terjadi di Provinsi Jawa
Timur berdasarkan perhitungan Indeks
Williamson (Tabel 1) justru memiliki
angka tertinggi dibandingkan dengan 5
provinsi lainnya yang berada di Pulau
Jawa bahkan angkanya mendekati angka 1.
Banyak faktor yang mempengaruhi
ketimpangan suatu wilayah. Myrdal dalam
Jhingan (1990) mengatakan bahwa
ketimpangan yang terjadi dalam suatu
wilayah dikarenakan besarnya dampak
balik (backwash effect) yang ditimbulkan
dibandingkan dengan dampak sebar
(spread effect). Dampak balik berupa
perpindahan modal atau investasi
menyebabkan ketimpangan semakin besar
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online) 31
antara wilayah satu dengan lainnya.
Disamping itu, ada faktor-faktor lain yang
mempengaruhi ketimpangan wilayah
diantaranya angkatan tenaga kerja dan
indeks pembangunan manusia.
Menurut Tarigan (2005), PDRB
perkapita adalah total PDRB suatu daerah
atau negara yang dibagi dengan jumlah
total penduduk didaerah atau negara
tersebut. Pendapatan Domestik Regional
Bruto per kapita adalah salah satu
indikator yang digunakan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat
kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian maka semakin tinggi PDRB
perkapita maka semakin tinggi pula
kesejahteraan masyarakatnya. Selain untuk
mengetahui tingkat kesejahteraan
masyarakatnya, PDRB perkapita juga
memiliki pengaruh terhadap ketimpangan
pendapatan suatu wilayah.
Menurut Sjafrizal (2012), Faktor yang
mempengaruhi ketimpangan antar wilayah
yaitu 1) perbedaan sumber daya alam, 2)
faktor demografis termasuk kondisi tenaga
kerja, 3) alokasi dana pembangunan antar
wilayah baik investasi pemerintah maupun
investasi swasta, 4) konsentrasi kegiatan
ekonomi wilayah, dan 5) mobilitas barang
dan jasa.Investasi merupakan faktor
penting dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah. Investasi dibagi
menjadi dua yaitu investasi yang dilakukan
swasta (penanaman modal asing (PMA)
dan penanaman modal dalam negeri
(PMDN)) dan investasi yang dilakukan
pemerintah. Investasi swasta mempunyai
peranan penting untuk meningkatkan
perekonomian suatu wilayah melalui
penyerapan tenaga kerja pada wilayah
tersebut. Akan tetapi, menurut Myrdal
(1957) dalam Jhingan (2010)
mengungkapkan bahwa investasi akan
menyebabkan terjadinya ketimpangan. Hal
ini disebabkan karena tidak semua
kabupaten/kota menjadi sasaran investasi.
Pembangunan ekonomi dapat
dikatakan berhasil apabila suatu
wilayah/daerah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan
taraf hidup masyarakat secara merata atau
yang lebih dikenal dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Rendah
atau tingginya IPM akan berdampak pada
tingkat produktivitas penduduk, semakin
rendah IPM maka tingkat produktivitas
penduduk juga akan rendah kemudian
produktivitas yang rendah akan
berpengaruh pada rendahnya pendapatan,
begitu pula sebaliknya semakin tinggi IPM
maka akan semakin tinggi tingkat
produktivitas penduduk yang kemudian
mendorong tingkat pendapatan menjadi
semakin tinggi. Permasalahan yang terjadi
adalah IPM pada tiap daerah itu berbeda,
hal ini menjadikan IPM salah satu faktor
yang berpengaruh pada ketimpangan
pendapatan antar daerah/wilayah
(Tambunan, 2004). Berikut ini bisa kita
lihat perkembangan indeks pembangunan
manusia di Provinsi Jawa Timur dari tahun
2011 sampai dengan 2015
Tabel 2. Perkembangan Indeks
Pembangunan Manusia
Provinsi Jawa Timur tahun
2011-2015
Tahun
Nilai IPM
2011
66.06
2012
66.74
2013
67.55
2014
68.14
2015
68.95
Sumber : BPS (diolah)
Berdasarkan Tabel 2 dijelaskan bahwa
tingkat Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) di Jawa Timur selama 5 tahun terus
mengalami peningkatan. Pada tahun 2011
nilai IPM sebesar 66,06 dan terus
meningkat sampai pada tahun 2015
sebesar 68,95. Terdapat tiga indikator yang
menjadi komposisi sebagai perbandingan
pengukuran IPM yakni, tingkat kesehatan,
tingkat pendidikan dan standar kehidupan
dimana ketiga indikator ini saling
mempengaruhi satu sama lain. Jadi, untuk
meningkatkan IPM pemerintah harus
memperhatikan ketiga unsur tersebut
disamping itu perlu juga diperhatikan
faktor-faktor pendukung lainnya, seperti
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
32 p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online)
kesempatan kerja, infrastruktur dan
pertumbuhan ekonomi.
Menurut penelitian yang telah
dilakukan oleh Mopangga (2011)
ditemukan bahwa kondisi ketimpangan di
Provinsi Gorontalo diawal pembangunan
cenderung meningkat (divergence) dan
berangsur menurun (convergence) seperti
yang ditunjukkan oleh kurva ketimpangan
pembangunan dalam HipotesaNeo-Klasik.
Secara simultan, perbedaan pada PDRB
per kapita, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) dan Rasio Belanja Infrastruktur
(RBI) sangat signifikan sebagai sumber
utama ketimpangan di Provinsi Gorontalo.
Pada model dengan menggunakan Indeks
Willliamson, PDRB per kapita signifikan
serta IPM dan RBI sangat signifikan
sebagai sumber ketimpangan di Provinsi
Gorontalo. Berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rama Nurhuda, M. R.
Khairul Muluk, Wima Yudo Prasetyo
tentang Analisis Ketimpangan
Pembangunan (Studi di Provinsi Jawa
Timur Tahun 2005-2011) yang
menggunakan analisis indeks wiliamson,
hipotesis Kuznets, dan regresi berganda,
dari analisis tersebut menghasilkan nilai
ketimpangan yang tergolong rendah,
dikarenakan nilai indeks wiliamson yang
mendekati 0. Selain itu, hipotesis Kuznets
juga berlaku di Provinsi ini. Dari empat
variabel tersebut, PAD dan IPM
berpengaruh negatif terhadap ketimpangan
pembangunan.
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas maka penulis tertarik
untuk membahas tentang ketimpangan
wilayah yang terjadi di Provinsi Jawa
Timur pada tahun 2005-2015, maka
muncul pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
Bagaimana ketimpangan di
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur
serta pengaruh PDRB Per Kapita, investasi
dan indeks pembangunan manusia
terhadap ketimpangan wilayah di Provinsi
Jawa Timur tahun 2005-2015.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
ketimpangan di Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Timur, serta melihat
pengaruh PDRB Per Kapita, investasi dan
indeks pembangunan manusia terhadap
ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa
Timur tahun 2005-2015.
LANDASAN TEORI
Teori Pertumbuhan Neo Klasik
Teori pertumbuhan ekonomi
merupakan bagian penting dalam
melakukan analisa perkembangan ekonomi
di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan
pertumbuhan ekonomi merupakan salah
satu unsur utama dalam suatu
pembangunan ekonomi dan mempunyai
implikasi kebijakan yang cukup luas, baik
terhadap wilayahnya maupun terhadap
wilayah lain.
Solow (1996), berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi merupakan
rangkaian kegiatan yang bersumber pada
manusia, akumulasi modal, pemakaian
teknologi modern dan hasil (output).
Adapun pertumbuhan penduduk dapat
berdampak positif dan dapat berdampak
negatif. Oleh karenanya, menurut Robert
Solow pertambahan penduduk harus
dimanfaatkan sebagai sumber daya yang
positif.
Teori pertumbuhan neoklasik berawal
dari suatu asumsi sederhana, yaitu:
perekonomian akan mencapai kondisi
pertumbuhan yang konstan (steady state)
Asumsi yang digunakan untuk
menjelaskan Model Solow-Swan antara
lain :
1. Produksi menggunakan 3 input utama
yaitu; modal (K), tenaga kerja (L) dan
teknologi (T), sehingga fungsi produksi
diformulasikan :
Y(t)= F[K(), L(t), T(t)] ........... (2.1)
2. Perekonomian tertutup, dengan
formulasi :
Y(t) = (t) + I(t)..............(2.2)
dan keseimbangan perekonomian
tertutup adalah:
(t) = I(t)............................ (2.3)
3. Tabungan adalah sebagian dari output
yang tidak dikonsumsi, sehingga :
S(t) = sY(t)..............................(2.4)
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online) 33
4. Modal bersifat homogen dan
terdepresiasi dengan tingkat konstan
(), sehingga penambahan akan positif
jika investasi baru lebih besar dari
depresiasi capital.
K(t)=I(t)-K(t) =
K(t).......... (2.5)
5. Populasi (L) dan tekologi (A) tumbuh
konstan dan bersifat eksogen, dengan
tingkat pertumbuhan :
................................(2.6)
......................(2.7)
Fungsi produksi pada persamaan (2.1)
memiliki beberapa properti, yaitu; (1)
constant return to scale, (2) positive and
diminishing return to privateinputs, (3)
inada condition dan (4) essentiality.
Persamaan fundamental dari Model
Solow-Swan, sebagai berikut :
k(t)= sy(t)( + + )k(t)...... (2.8)
Berdasarkan asumsi dan properti tersebut,
Model Solow-Swan digambarkan dalam
Gambar 1.
y(t)
Sumber : Dornbusch , 2008
Gambar 1.Output dan Investasi pada
Steady State
Pada suatu waktu, perekonomian akan
mencapai kondisi steady state. Kondisi
steady state merupakan kondisi ketika
pendapatan perkapita dan elemen produksi
perkapita lainnya tumbuh konstan. Kondis
steady state diformulasikan pada
persamaan :
sy(t) = ( + + ) k(t) ...........(2.9)
Oleh karena itu, dalam Model Solow-
Swan, y,k, dan c tumbuh konstan pada
kondisi steady state. Agar y,k, dan c
konstan, maka Y,K,dan C harus tumbuh
pada tingkat pertumbuhan ( + ).
Dengan demikian, pertumbuhan jangka
panjang bergantung pada faktor eksogen.
Berdasarkan Model Solow-Swan,
setiap input berkontribusi dalam
pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana
diformulasikan :
Dengan adalah kontribusi modal,
adalah kontribusi tenaga kerja dan
adalah kontribusi teknologi. Persamaan
(2.9) disebut sebagai growth accounting,
dengan [
]merupakan input produksi
selain modal dan tenaga kerja yang
diharapkan mampu untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Model Solow-Swan menyimpulkan
bahwa mesin pertumbuhan adalah
perkembangan teknologi. Akan tetapi,
model tersebut mengasumsikan bahwa
teknologi bersifat eksogen. Dengan
demikian, Model Solow-Swan
meninggalkan celah yang belum dapat
dijelaskan. Romer dan Lucas (1980)
mengembangkan Model Solow-Swan
dengan menjadikan teknologi sebagai
faktor endogen. Model Romer menunjukan
bahwa total produksi ditentukan oleh
perilaku-perilaku agen ekonomi. Dalam
salah satu model pertumbuhan endogen,
model K, modal harus didefinisikan
dalam arti yang lebih luas, yaitu : modal
fisik dan modal manusia agar terjadi
pertumbuhan yang berkelanjutan.
Teori Ketimpangan Wilayah
Ketimpangan pembangunan antar
wilayah merupakan aspek yang umum
terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu
daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya
disebabkan oleh adanya perbedaan
kandungan sumberdaya alam dan
perbedaan kondisi demografi yang terdapat
k
k
y =
sy (t)
(δ + nL +
C
D
A
B
y
s
y
0
k
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
34 p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online)
pada masing-masing wilayah (Sjafrizal,
2008).
Mubyarto (1995) membedakan
ketimpangan menjadi 3, yaitu:
1. Ketimpangan antar sektor, yaitu
sektor industri dan pertanian.
2. Ketimpangan antar daerah,
Ketimpangan ini dapat terjadi
akibat perbedaan sumber daya yang
dimiliki.
3. Ketimpangan antar golongan
ekonomi. Ketimpangan jenis ini
adalah yang paling berat.
Ketimpangan ini sangat mungkin
terjadi di dalam sistem
perekonomian yang cenderung
liberal atau kapitalis.
Menurut Hipotesis Neo-Klasik pada
permulaan proses pembangunan suatu
negara, ketimpangan pembangunan antar
wilayah cenderung meningkat. Proses ini
akan terjadi sampai ketimpangan tersebut
mencapai titik puncak. Setelah itu, bila
proses pembangunan terus berlanjut maka
secara berangsur-angsur ketimpangan
pembangunan antar wilayah tersebut akan
menurun. Sehingga bila mencermati
hipotesis tersebut, dapat disimpulkan
bahwa awal pembangunan suatu negara
pada umumnya ketimpangan antar daerah
akan meningkat akan tetapi setelah
mengalami proses yang terus menerus
bahwa ketimpangan tersebut akan
kesenjangan pendapatan dan tingkat
pendapatan per kapita berbentuk U terbalik
(Reverse U-shape Curve). Pada awal
proses pembangunan, ketimpangan dalam
distribusi pendapatan naik sebagai akibat
dari proses urbanisasi dan industrialisasi
dan pada akhir proses pembangunan
ketimpangan menurun.
Kebenaran Hipotesis Neo-Klasik ini
kemudian diuji Kebenaranya oleh G.
Williamson pada tahun 1966 melalui studi
tentang ketimpangan pembangunan antar
wilayah pada negara maju dan negara
sedang berkembang dengan menggunakan
data timeseries dan cross-section. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
Hipotesis Neo-Klasik yang diformulasikan
secara teoritis ternyata terbukti benar
secara empirik. Ini berarti bahwa proses
pembangunan suatu negara tidak otomatis
dapat menurunkan ketimpangan
pembangunan antar wilayah, tetapi pada
tahap permulaan justru terjadi hal yang
sebaliknya.
Gambar 2. Kurva Kuznets
Menurut Sjafrizal (2012) Beberapa
faktor utama yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan antar wilayah, yaitu,
perbedaan kandungan sumber daya alam,
perbedaan kondisi demografis, Kurang
lancarnya mobilitas barang dan jasa,
konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah,
alokasi dana pembangunan antar wilayah.
Ketimpangan pembangunan telah
memberikan berbagai dampak terhadap
daerah dan masyarakat. Adapun yang
menjadi dampak dari ketimpangan tersebut
adalah, banyak wilayah-wilayah yang
masih tertinggal dalam pembangunan,
belum berkembangnya wilayah-wilayah
strategis dan cepat tumbuh, wilayah
perbatasan dan terpencil kondisinya masih
terbelakang, kesenjangan pembangunan
antara kota dan desa (Bappenas, 2016)
Dampak utama dari ketimpangan
pembangunan adalah pengangguran,
kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber
daya manusia. Dampak ini merupakan
dampak turunan dari kurangnya lapangan
kerja di suatu daerah bersangkutan, yang
disebabkan kurangnya investasi baik dari
Titik balik
Waktu
ketimpangan
Sumber : Todaro (2006)
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online) 35
pemerintah maupun swasta, dan
mengakibatkan terjadinya pengangguran.
Jika pengangguran terjadi maka biasanya
disusul terjadinya kemiskinan. Kemiskinan
mengakibatkan kualitas sumber daya
manusia (generasi berikutnya) cenderung
rendah, karena terbatasnya kemampuan
untuk menikmati pendidikan akibat
rendahnya pendapatan masyarakat bahkan
cenderung tidak ada sama sekali, sehingga
masyarakat lebih fokus untuk memenuhi
kebutuhan yang paling krusial yaitu
makanan dan minuman.
Tingkat ketimpangan wilayah dapat
dihitung menggunakan beberapa metode
yaitu indeks Williamson, Tipologi
Klassen, Indeks Entrophy Theil dan
ketimpangan berdasarkan konsep PDRB
per kapita relatif.
Indeks Williamson
Untuk mengetahui tingkat
ketimpangan antar wilayah menggunakan
indeks ketimpangan regional (regional
inequality) yang dinamakan indeks
ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 2012)
...........(2.11)
Dimana:
Yi = PDRB per kapita daerah i
Y = PDRB per kapita rata-rata seluruh
daerah
fi = Jumlah penduduk daerah i
n = Jumlah penduduk seluruh daerah
Indeks Williamson berkisar antara 0
<VW < 1, di mana semakin mendekati nol
artinya wilayah tersebut semakin tidak
timpang. Sedangkan bila mendekati satu
maka semakin timpang wilayah yang
diteliti (Sjafrizal, 2012).
METODE PENELTIAN
Jenis data dalam penelitian ini adalah
data kuantitatif dan sumber data yang
digunakan adalah data sekunder. Menurut
Anto Dajan (2000) yang dimaksud dengan
data sekunder yaitu data yang diterbitkan
atau digunakan oleh organisasi yang bukan
pengolahannya. Data yang digunakan
dalam penelitian adalah data sekunder.
Penelitian juga didukung dengan data dari
pustaka-pustaka dan penelitian
sebelumnya. Penelitian ini akan
menganalisis di Provinsi Jawa Timur
dengan data runtut waktu (time series)
selama tahun 2005-2015. Lembaga
pengumpul data dalam penelitian ini antara
lain:
Badan Pusat Statistik (BPS) Statistik
Indonesia dalam beberapa terbitan.
Badan Penanaman Modal Provinsi
Jawa Timur.
Literatur-literatur serta informasi-
informasi tertulis baik yang berasaldari
institusi terkait maupun internet, yang
berhubungan dengan topik penelitian
untuk memperoleh data sekunder.
Dalam penelitian ini untuk menjawab
permasalahan maka model yang digunakan
pada data time series ini adalah model
regresi berganda menggunakan Ordinary
Least Square (OLS). Model yang
digunakan adalah sebagai berikut :
Model umum regresi linear berganda
yaitu :
Y = β0 + β1X1+β2X2+β3X3+µt… (3.1)
Model fungsi yang akan digunakan
untuk mengetahui ketimpangan wilayah di
Provinsi Jawa Timur yaitu:
KW =β0+ β1G+β2I+β3IPM +µt…(3.2)
KW= Ketimpangan wilayah di Provinsi
Jawa Timur, G= Pertumbuhan Ekonomi di
Provinsi Jawa Timur, I = Investasi di
Provinsi Jawa Timur, IPM= Indeks
pembangunan manusia di Provinsi Jawa
1 3 = koefisien
regresi variabel independen, µ= error
term, t= time series.
Analisis Ketimpangan Wilayah
Williamson dalam Sjafrizal (2012)
meneliti hubungan antara ketimpangan
wilayah dengan tingkat pembangunan
ekonomi. Penelitiannya menggunakan data
ekonomi negara yang sudah maju dan
negara berkembang. Ternyata ditemukan
bahwa selama tahap awal pembangunan,
disparitas regional menjadi semakin lebar
dan pembangunan terkonsentrasi di
daerah-daerah tertentu. Untuk meng-
analisis ketimpangan wilayah yaitu dengan
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
36 p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online)
menggunakan nilai Indeks Williamson
Provinsi Jawa Timur dapat diformulasikan
sebagai berikut :
...........(2.11)
Dimana:
Yi = PDRB per kapita daerah i
Y = PDRB per kapita rata-rata seluruh
daerah
fi = Jumlah penduduk daerah i
n = Jumlah penduduk seluruh daerah
Indeks williamson besarnya antara nol
dan satu. Semakin kecil angka yang
dihasilkan menunjukkan ketimpangan
yang semakin kecil pula atau dapat
dikatakan makin merata. Tetapi jika angka
yang didapat mendekati satu maka
ketimpangan semakin lebar.
HASIL
Analisis Ketimpangan Wilayah Provinsi
Jawa Timur
Ketimpangan wilayah antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
dihitung dengan menggunakan metode
perhitungan Indeks Willliamson. Data
yang diperlukan antara lain data PDRB
provinsi dan kabupaten/kota dan jumlah
penduduk provinsi dan kabupaten/kota.
Dimana menurut Sjafrizal (2012) apabila
nilai indeks williamson mendekati angka 1
maka ketimpangan yang terjadi cenderung
tinggi dan semakin menjauh dari angka 1
ketimpangan yang terjadi cenderung
rendah.
Gambar 4.1 menunjukkan tren
ketimpangan wilayah antar kabupaten/kota
di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-
2015 diamati melalui perhitungan Indeks
Williamson terlihat bahwa tingkat
ketimpangan wilayah di Jawa Timur
mengalami fluktuasi dan cenderung tinggi
karena besarnya nilai yang sangat tinggi
yaitu mendekati angka 1 dan bahkan ada
yang nilainya justru melebihi angka 1. 1
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Siti
Herni Rochana tentang kesenjangan
ekonomi antar wilayah pada era otonomi
daerah di Indonesia (2013) bahwa pada
tahun 2003-2011 nilai indeks williamson
PDRB per kapita kabupaten/kota di
Indonesia nilainya lebih dari 1.
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 3. Indeks Williamson Provinsi
Jawa Timur Tahun 2001-
2015
Deteksi Penyimpangan Asumsi Klasik
Deteksi asumsi klasik dilakukan karena
dalam model regresi perlu memperhatikan
adanya penyimpangan atas asumsi klasik.
Pada hakekatnya jika asumsi klasik tidak
dipenuhi maka variabel-variabel yang
menjelaskan akan menjadi tidak efisien
Deteksi Multikolinearitas
Deteksi multikolonieritas merupakan
salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
sebuah model. Multikolonieritas adalah
adanya korelasi antar variabel independen.
Dalam penelitian ini untuk menguji ada
tidaknya multikolinieritas dapat dilihat dari
nilai VIF ( Variance Inflation Factor).
Tabel 3. Perhitungan VIF
Variable
Coefficient
Variance
Uncentered
VIF
Centered
VIF
C
0.015368
3638.197
NA
G
5.96E-06
51.90688
1.370027
I
7.90E-14
88.96825
4.375734
AK
2.79E-17
2631.404
2.058724
IPM
2.74E-06
3019.405
1.763408
GE
5.90E-19
5.344052
2.636179
Sumber : Data eviews, diolah 2017
Berdasarkan tabel 3 diatas, terlihat
bahwa nilai VIF besarnya tidak lebih dari
10 (berkisar antara 1.370027 sampai
4.375734) yang artinya bahwa model
dalam penelitian ini terbebas dari
multikolinearitas.
Deteksi Heteroskedastisitas
Pada penelitian ini, uji heteros-
kedastisitas dilakukan dengan mengguna-
0,8
0,9
1
1,1
1,2
2001 2003 2005 20072009 2011 2013 2015
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online) 37
kan White’s robust standard errors bahwa
nilai prob. Chi square dari Obs*R-Square
0.1065 yang artinya model dalam
penelitian ini terbebas dari penyakit
heteroskedastisitas.
Deteksi Autokorelasi
Berdasarkan hasil diperoleh nilai
Durbin Watson (d) sebesar 0.0001.Dari
ujiDurbin Watson diketahui nilai dL dan du
dengan jumlah variabel bebas 5 adalah 1-G
(0.5326), 2-I (0.8949), 3-AK (0.6971), 4-
IPM (0.4542) dan 5-PAD (0.2919). nilai d
sebesar 0.3530 maka pengambilan
keputusannya adalah data tersebut
menolak H0 dan ada autokolerasi. Untuk
mengatasi autokolerasi maka model
tersebut mengunakan GLS dengan diberi
perlakuan cross-section SUR (Seemingly
Unrelated Regression) dan cross-section
SUR (PCSE) standard errors and
covariance. Sehingga asumsi autokolerasi
dapat diabaikan.
Tabel 4. Hasil Estimasi Variabel Yang
Mempengaruhi Ketimpangan
Wilayah
Variabel
Koefisien
Konstanta
1.063.848
7,446617
G
-0,002815
-0,968578
I
-2,36127
**-12,81056
IPM
0,002007
1,062428
R-squared
0,845717
F-statistic
73,08818
Prob(F-statistic)
0,000000
Durbin-Watson stat
0,515270
Sumber: Outpu Eviews 9, 2017
**Keterangan signifikan t. tabel < t.
statistik pada level >0,05
Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determasi (R2) mengukur
seberapa jauh model dalam menerangkan
variasi variabel dependen.Nilai koefisien
determasi adalah antara nol dan satu. Dari
hasil regresi yang ditunjukan oleh Tabel 4,
menunjukkan bahwa nilai koefisien
determasi atau R2 adalah sebesar
84,57%variabel pertumbuhan ekonomi
(G), investasi (I) dan indeks pembangunan
manusia (IPM). Sedangkan 16,43%
sisanya dipengaruhi oleh variabel di luar
model penelitian.
Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Berdasarkan persamaan didapatkan
nilai F-hitung sebesar 73,088 lebih besar
dari F-tabel yaitu 2,84 dan nilai
probabilitas F-hitung 0,000 lebih kecil dari
0,05 (5%). Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa variabel independen
secara bersama-sama memiliki pengaruh
terhadap ketimpangan wilayah Provinsi
Jawa Timur.
Uji Signifikansi Parsial (Uji Statistik t)
Variabel pertumbuhan ekonomi dan
indeks pembangunan manusia menunjuk-
kan arah hubungan negatif dan secara
statistik tidak signifikan terhadap
ketimpangan wilayah, pada tingkat
= 5%. Artinya bahwa
variabel pertumbuhan ekonomi dan indeks
pembangunan manusia tidak memiliki
pengaruh terhadap ketimpangan wilayah di
Provinsi Jawa Timur pada periode 2005-
2015. Variabel investasi memiliki arah
hubungan yang negatif dan secara statistik
memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap ketimpangan wilayah, pada
tingkat signifikansi alpha 5%. Artinya
bahwa setiap peningkataninvestasi akan
menurunkan tingkat ketimpangan di
Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan nilai
koefisien 2,36127 dan nilai t tabel < t
statistik (1,684<12,810), bahwa dapat di
interpretasikan setiap peningkatan
investasi sebesar 1% akan menurunkan
tingkat ketimpangan di Provinsi Jawa
Timur sebesar 2,36127%. Pengaruh faktor
investasi memberikan efek yang besar
terhadap penurunan tingkat ketimpangan
di Provinsi Jawa Timur berdasarkan hasil
estimasi regresi variabel pada Tabel 4.
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
38 p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online)
Intrepetasi Hasil Estimasi
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel
4 diketahui bahwa variabel investasi (I),
secara signifikan mempengaruhi
ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa
Timur. Sedangkan variabel pertumbuhan
ekonomi (G), dan indeks pembangunan
manusia (IPM) tidak memiliki pengaruh
secara signifikan terhadap ketimpangan
wilayah di Provinsi Jawa Timur.
Pertumbuhan ekonomi baik secara
langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap masalah
ketimpangan. Ketimpangan dalam
pembagian pendapatan adalah
ketimpangan dalam perkembangan
ekonomi antara berbagai daerah pada suatu
wilayah yang akan menyebabkan pula
ketimpangan tingkat pendapatan perkapita
antar daerah (Kuncoro, 2004).
Pertumbuhan ekonomi yang cepat belum
tentu dapat terjadi keberhasilan dalam
pembangunan. Justru pertumbuhan
ekonomi yang cepat akan berdampak
terhadap ketimpangan dan distribusi
pendapatan, karena sejatinya pertumbuhan
ekonomi tidak selalu diikuti dengan
pemerataan. Ada semacam trade off
antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dengan pemerataan pendapatan dalam
suatu pembangunan ekonomi. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Chan
(1993) yang menunjukkan bahwa begitu
kondisi ekonomi di China mengalami
peningkatan, maka ketimpangan
pendapatan justru meningkat. Dalam
artikel yang ditulis Subarna K. Samanta,
Allison Heyse (2006) disebutkan bahwa
terdapat hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dengan ketimpangan pendapatan.
Orientasi mencapai laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dalam
distribusi pembangunan yang lebih merata
sehingga menciptakan ketimpangan.
Menurut Adhisasmita (2005) bahwa
investasi merupakan sarana bagi proses
kumulatif, mengarah ke atas di daerah
yang bernasib baik dan mengarah ke
bawah di daerah yang bernasib tidak baik.
Di daerah perkotaan yang sedang
mengalami perkembangan, kenaikan
permintaan akan mendorong pendapatan
dan permintaan, yang selanjutnya
menaikkan investasi, dan demikian
seterusnya. Di daerah-daerah lainnya
dimana perkembangan sangat lamban
maka permintaan terhadap modal untuk
investasi adalah rendah sebagai akibat dari
rendahnya penawaran modal dan
pendapatan yang cenderung makin rendah.
Dari hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sri
Danawati dkk (2016) bahwa investasi
memiliki hubungan yang positif dan tidak
signifikan terhhadap ketimpangan.
Berbanding terbalik dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hidayat (2014) yang
meneliti ketimpangan di Provinsi Jawa
Tengah yang menjelaskan bahwa variabel
investasi memiliki berpengaruh negatif
signifikan terhadap ketimpangan antar
daerah.
Hasil penelitian ini sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hidayat
(2013) menjelaskan bahwa variabel indeks
pembangunan manusia tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
ketimpangan antar daerah. Namun,
menurut penelitian yang dilakukan oleh
Mopangga (2011) yang menyatakan bahwa
variabel indeks pembangunan manusia
memiliki pengaruh yang sangat besar
sebagai sumber ketimpangan sama seperti
yang telah dijelaskan oleh Dumairy (2010)
bahwa IPM memiliki pengaruh terhadap
ketimpangan wilayah karena kualitas
pembangunan manusia besar pengaruhnya
terhadap pemabnguan daerah. Teori
ekonomi tentang teori modal manusia
dipelopori oleh para pemenang nobel ilmu
ekonomi, yaitu Gary Becker, Edwar
Dension dan Theodore Schultz. Teori ini
menjelaskan bahwa manusia yang
memiliki tingkat pendidikan yang lebih
tinggi yang diukur juga dengan lamanya
waktu sekolah,akan memiliki pekerjaan
dan upah yang lebih besar dibanding yang
pendidikannya rendah. Apabila upah
mencerminkan produktivitas, semakin
banyak orang yang memiliki pendidikan
MEDIA EKONOMI DAN MANAJEMEN
Vol. 33 No. 1 Januari 2018
p-ISSN: 0854-1442 (Print) e-ISSN: 2503-446X (Online) 39
tinggi, semakin tinggi produktivitas dan
hasilnya ekonomi akan bertambah lebih
tinggi (Jhingan, 2010).
PENUTUP
Kesimpulan
Tingkat ketimpangan wilayah antar
kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi
Jawa Timur tahun 2001-2015 mengalami
fluktuasi dan cenderung tinggi karena
besarnya nilai yang sangat tinggi yaitu
mendekati angka 1 bahkan untuk tahun
2001-2010 nilai indeks Williamson lebih
dari 1. Sehingga perlu dilakukan penelitian
untuk dapat mengatasi ketimpangan
wilayah antar kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Timur.
Dari hasil analisis regresi terkait
dengan pengaruh G, I, IPM dapat
disimpulkan bahwa variabel pertumbuhan
ekonomi memiliki pengaruh negatif dan
tidak signifikan, variabel I memiliki
hubungan negatif dan signifikan dan
variabel IPM memiliki hubungan positif
dan tidak signifikan.
Implikasi Kebijakan
Kebijakan pemerintah yang sebaiknya
dilakukan adalah salah satunya dengan
meningkatkan kualitas IPM dan
pertumbuhan ekonomi agar ketimpangan
semakin menurun.
Keterbatasan Penelitian
Pertama, penelitian hanya
menggunakan 3 variabel, padahal masih
ada variabel lain yang memungkinan
berpengaruh terhadap ketimpangan
wilayah di Provinsi Jawa Timur. Kedua,
tahun yang digunakan hanya 10 tahun
sehingga harus menggunakan data
interpolasi.
DAFTAR PUSTAKA
Dajan, A. (2000). Pengantar Metode
Statistik, Jilid I, II, LP3ES. Jakarta
Dornbusch, R. (2008). Makroekonomi.
Jakarta: Penerbit Media Global
Edukasi.
Ghozali, I. (2005). Aplikasi Analisis
Multivariate dengan Program SPSS.
Edisi Ketiga. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro: Semarang
Jhingan, M. L. (2010). Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Kuncoro, M. (2004). Otonomi dan
Pembangunan Daerah: Reformasi,
Perencanaan, Strategi, dan Peluang.
Yogyakarta: Erlangga
Mopangga, H. (2011). Analisis
Ketimpangan Pembangunan dan
Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi
Gorontalo. Gorontalo: Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Negeri Gorontalo.
Mubyarto. (1995). Pengantar Ekonomi
Pertanian. PT. Pustaka LP3ES
Indonesia, anggota IKAPI. Jakarta
Nurhuda, R. (2013). Analisis Ketimpangan
Pembangunan (Studi Di Provinsi
Jawa Timur Tahun 2005-2011).
Jurnal Administrasi Publik (JAP),
1(4), 110-119.
Rochana, S. H. (2013). Kesenjangan
Ekonomi Antar Wilayah Pada Era
Otonomi Daerah Di Indonesia.
Bandung: Perencanaan Wilayah dan
Kota.
Sjafrizal. (2012). Ekonomi Wilayah dan
Perkotaan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Tambunan, T. (2004). Perekonomian
Indonesia: Teori dan Temuan
Empiris. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Tarigan, R. (2004). Ekonomi Regional
Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Todaro, M. P. dan Smith, S. C. (2006).
Pembangunan Ekonomi. Jakarta:
Erlangga.