ArticlePDF Available

SIMULASI GELOMBANG EKSTRIM AKIBAT SWELL DI INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL WAVEWATCH-III (THE SIMULATION OF EXTREME WAVE DUE TO SWELL IN INDONESIA USING WAVEWATCH-III MODEL)

Authors:

Abstract and Figures

ABSTRAK Posisi Indonesia yang diapit Samudera Hindia dan Pasifik, menyebabkan wilayah ini rawan terhadap ancaman gelombang tinggi yang berasal dari kedua samudera. Salah satu keadaan ekstrim terjadi pada tanggal 17-19 Mei 2007 yang menyebabkan kerusakan infrastruktur di beberapa tempat sepanjang pantai barat Sumatera hingga selatan Nusa Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan model gelombang WAVEVATCH-III dalam mensimulasikan kejadian ini. Simulasi model dilakukan menggunakan input angin Global Forcasting System (GFS) dan batimetri US Geological Survey (USGS). Hasil simulasi diverifikasi menggunakan data ERA-Interim serta catatan media massa. Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa kejadian gelombang ekstrim tanggal 17-19 Mei 2007 dipicu oleh adanya badai di Tanjung Harapan selatan Afrika. Siklon ini menyebabkan angin bertiup persisten dengan kecepatan lebih dari 22 m/s ke arah Indonesia yang berlangsung selama tanggal 9-14 Mei. Hal ini menimbulkan gelombang ekstrim dengan tinggi lebih dari 3 meter dipantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara sampai dengan Flores. Gelombang ini merupakan swell yang dibentuk oleh angin persisten tersebut dan melintasi Samudera Hindia menuju Indonesia. Verifikasi simulasi model WAVEWATCH-III berdasarkan tempat dan waktu kejadiannya menggunakan data reanalysis ERA-Interim menunjukkan korelasi sebesar 0,92-0,97 dan nilai MAE 0,13-0,45 m. Periode gelombang di daerah pantai yang tercatat berdasar simulasi ini adalah 20 detik. Panjang gelombang ratusan meter ini ketika menghantam pantai mengalami wave setup akibat gesekan dengan dasar laut sehingga menjadikan gelombang ini bersifat merusak. Selain itu pada saat gelombang ekstrim terjadi, bertepatan dengan puncak pasang surut yang menyebabkan superposisi antara swell dan pasang surut dan menambah ketinggian swell. ABSTRACT Indonesia lies between Hindia and Pacific ocean, it caused hight risk in extreme wave from both of them. One of extreme wave events occured on May 17-19, 2007. This event damaged many infrastructure over western coast of Sumatra until southern Nusa Tenggara. The purpose of this research is to investigate WAVEWATCH-III performance to simulate the extreme wave in Indonesia waters. 10 m of wind from Global Forcasting System (GFS) and bathimetry from US Geological Survey (USGS) used as input model to simulate the wind wave on global and regional domain during May 1-31, 2007, and than verified by ERA-Interim data. The simulation shown that these extreme wave event triggered by tropical cyclone in Cape of Hope, southern of Africa. The cyclone caused persistent wind more than 22 m/s speed and leads to Indonesia waters. This condition took place during May 4-10, 2007 and generated extreme wave more than 3 meter over the western coast of Sumatra, the southern coast of Java to Flores. The extreme wave considered as swell. The persistent wind generated wind sea and grown to swell leads to Indonesia waters across Hindian Ocean. The model has been verified by ERA-Interim reanalysis data, it has a good correlation (0,92-0,97) and MAE between 0,13-0,45 m. But the model data higher than ERA-Interim because the resolution of the model higher too. Based on the simulation, more than 20 seconds wave period recorded in coastal areas. This hundreds meters of wavelength having setup due to bottom friction, so these wave are destructive and dangerous. These event resembling with spring tide, so superposition about swell and tide caused wave setup.
No caption available
… 
No caption available
… 
No caption available
… 
No caption available
… 
No caption available
… 
Content may be subject to copyright.
SIMULASI GELOMBANG EKSTRIM AKIBAT SWELL DI INDONESIA...................................Muhammad Najib Habibie dkk.
99
SIMULASI GELOMBANG EKSTRIM AKIBAT SWELL DI INDONESIA
MENGGUNAKAN MODEL WAVEWATCH-III
THE SIMULATION OF EXTREME WAVE DUE TO SWELL
IN INDONESIA USING WAVEWATCH-III
1* 2 3
Muhammad Najib Habibie , Donaldi Sukma Permana , Suratno
1,2,3)Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
E-mail: najib.habibie@bmkg.go.id
Naskah masuk: 22 Mei 2013; Naskah diperbaiki: 13 Desember 2013; Naskah diterima: 24 Desember 2013
ABSTRAK
Posisi Indonesia yang diapit Samudera Hindia dan Pasifik, menyebabkan wilayah ini rawan terhadap ancaman
gelombang tinggi yang berasal dari kedua samudera. Salah satu keadaan ekstrim terjadi pada tanggal 17-19 Mei 2007
yang menyebabkan kerusakan infrastruktur di beberapa tempat sepanjang pantai barat Sumatera hingga selatan Nusa
Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan model gelombang WAVEVATCH-III dalam
mensimulasikan kejadian ini. Simulasi model dilakukan menggunakan input angin Global Forcasting System (GFS) dan
batimetri US Geological Survey (USGS). Hasil simulasi diverifikasi menggunakan data ERA-Interim serta catatan
media massa. Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa kejadian gelombang ekstrim tanggal 17-19 Mei 2007 dipicu oleh
adanya badai di Tanjung Harapan selatan Afrika. Siklon ini menyebabkan angin bertiup persisten dengan kecepatan lebih
dari 22 m/s ke arah Indonesia yang berlangsung selama tanggal 9-14 Mei. Hal ini menimbulkan gelombang ekstrim
dengan tinggi lebih dari 3 meter dipantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara sampai dengan Flores.
Gelombang ini merupakan swell yang dibentuk oleh angin persisten tersebut dan melintasi Samudera Hindia menuju
Indonesia. Verifikasi simulasi model WAVEWATCH-III berdasarkan tempat dan waktu kejadiannya menggunakan data
reanalysis ERA-Interim menunjukkan korelasi sebesar 0,92-0,97 dan nilai MAE 0,13-0,45 m. Periode gelombang di
daerah pantai yang tercatat berdasar simulasi ini adalah 20 detik. Panjang gelombang ratusan meter ini ketika
menghantam pantai mengalami wave setup akibat gesekan dengan dasar laut sehingga menjadikan gelombang ini
bersifat merusak. Selain itu pada saat gelombang ekstrim terjadi, bertepatan dengan puncak pasang surut yang
menyebabkan superposisi antara swell dan pasang surut dan menambah ketinggian swell.
Kata kunci: gelombang ekstrim, swell, WAVEWATCH-III, periode gelombang
ABSTRACT
Indonesia lies between Hindia and Pacific ocean, it caused hight risk in extreme wave from both of them. One of extreme
wave events occured on May 17-19, 2007. This event damaged many infrastructure over western coast of Sumatra until
southern Nusa Tenggara. The purpose of this research is to investigate WAVEWATCH-III performance to simulate the
extreme wave in Indonesia waters. 10 m of wind from Global Forcasting System (GFS) and bathimetry from US
Geological Survey (USGS) used as input model to simulate the wind wave on global and regional domain during May 1-
31, 2007, and than verified by ERA-Interim data. The simulation shown that these extreme wave event triggered by
tropical cyclone in Cape of Hope, southern of Africa. The cyclone caused persistent wind more than 22 m/s speed and
leads to Indonesia waters. This condition took place during May 4-10, 2007 and generated extreme wave more than 3
meter over the western coast of Sumatra, the southern coast of Java to Flores. The extreme wave considered as swell. The
persistent wind generated wind sea and grown to swell leads to Indonesia waters across Hindian Ocean. The model has
been verified by ERA-Interim reanalysis data, it has a good correlation (0,92-0,97) and MAE between 0,13-0,45 m. But
the model data higher than ERA-Interim because the resolution of the model higher too. Based on the simulation, more
than 20 seconds wave period recorded in coastal areas. This hundreds meters of wavelength having setup due to bottom
friction, so these wave are destructive and dangerous. These event resembling with spring tide, so superposition about
swell and tide caused wave setup.
Keywords :extreme wave, swell, WAVEWATCH-III, wave period
1. Pendahuluan
Pengetahuan atas karakteristik gelombang sangatlah
penting bagi banyak bidang kemaritiman seperti
keselamatan pelayaran, industri lepas pantai,
pengembangan wilayah pantai, pertahanan dan desain
kapal [1,2,3]. Sebagai negara maritim yang berada
diantara dua samudera, Indonesia mempunyai tingkat
kerawanan yang tinggi terhadap gelombang tinggi [4].
Ge lom ban g ekstrim atau gelo mbang tin ggi ,
bertanggungjawab atas banyak kecelakaan laut.
Biasanya hal ini berkaitan dengan kondisi siklon tropis
dimana tinggi gelombang sangat tinggi. Kejadian
gelombang tinggi ini biasanya sangat sedikit tanda-
tandanya dan dapat terjadi secara acak baik tempat
maupun waktunya [5].
Gelombang ekstrim dapat ditinjau dari sisi statistik
maupun akibat yang ditimbulkannya. Dari sisi statistik
kejadian ekstrim biasanya jarang terjadi, tetapi akibat
yang ditimbulkan sangat besar bagi lingkungan [6].
Kejadian ekstrim tidak hanya dipelajari sebagai
masalah statistik dengan penekanan pada masalah
frekuensi dan besaran kejadiannya, tetapi juga harus
diselidiki mengenai mekanisme dan dinamika yang
mendasarinya.
Gelombang yang besar adalah materi yang menjadi
pusat perhatian bagi pelaut, perancang kapal dan juga
arsitek bangunan lepas pantai seperti platform
pengeboran minyak [7]. Pada banyak situasi, semua
gelombang besar di laut menjadi perhatian utama,
termasuk tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas
tektonik, tetapi pada penelitian ini hanya difokuskan
pada wind wave atau gelombang yang dibentuk oleh
angin.
Simulasi dan prediksi gelombang ekstrim menjadi isu
penting pada saat ini karena meningkatnya potensi
ancaman kerusakan bagi kehidupan manusia dan
infrastruktur sosial [8]. Meningkatnya populasi dan
berkembangnya wilayah pantai untuk berbagai
kepentingan dewasa ini menambah pentingnya
informasi tentang gelombang ekstrim ini. Salah satu
kejadian yang pernah tercatat di Indonesia yaitu
gelombang tinggi tanggal 17-19 Mei 2007 yang
menghantam pantai barat Sumatera, selatan Jawa
sampai Flores. Kejadian ini mengakibatkan banyak
kerusakan infrastruktur yang sangat besar serta
menyebabkan ribuan penduduk di daerah terimbas
mengungsi menuju daerah yang lebih aman. Kejadian
ini tidak tersimulasikan dengan baik ke dua sehingga
masyarakat tidak memperoleh peringatan dini.
Model gelombang menjadi komponen utama dalam
memberikan informasi prediksi gelombang dewasa
ini. Hal ini terjadi akibat terbatasnya pengamatan in-
situ yang dilakukan untuk mengamati lautan secara
umum. Berdasarkan ketentuan WMO-No.702 [9],
untuk keperluan informasi gelombang, data dapat
diperoleh dari dua sumber utama yaitu: (a) hasil
pengukuran dan observasi, dan (b) hasil estimasi
berdasarkan data angin (wave hindcast). Data hasil
pengukuran dan observasi di lautan umumnya sangat
terbatas dan tidak kontinyu. Untuk itu penggunaan
model bukanlah menjadi masalah yang tabu.
Pada sejarahnya, model gelombang telah mengalami
perkembangan dan penyempurnaan. Dimulai dari
pembangunan model gelombang generasi pertama
dimana model ini hanya memperhitungkan linear input
dan peluruhan energi sebagai komponen utamanya
tanpa memperhitungkan gelombang nonlinear.
Kemudian dikembangkan model generasi kedua
dimana pada model ini transfer gelombang nonlinear
telah diperhitungkan dengan parameterisasi secara
sederhana. Se da ngkan untuk disipasi telah
diperhitungkan gesekan dengan dasar laut serta white
capping. Model generasi kedua dibedakan menjadi
'coupled hybrid', dan 'coupled discrete'. Dalam model
'coupled hybrid' spektrum wind sea yang dikontrol oleh
interaksi nonlinier, diasumsikan untuk menyesuaikan
dengan cepat ke bentuk quasi-equilibrium universal
yang merupakan parameter skala tunggal - biasanya
energi wind sea -atau paling tidak parameter skala
frekuensi kedua perlu diprediksi perlahan-lahan sesuai
parameters yang lain. Swell yang tidak dipengaruhi
oleh interaksi nonlinier, kemudian diperlakukan
sebagai superposisi komponen independen dengan
cara yang sama seperti pada model generasi pertama.
Model 'coupled discrete' mempertahankan representasi
di skr it spe ktr al tradis ion al, tetap i memiliki
parametrisasi transfer nonlinear dengan validitas
terbatas, sehingga potensi kelebihan dari representasi
yang lebih fleksibel dari spektrum wind sea dan
representasi keseragaman transisi swell-wind sea tidak
dapat dimanfaatkan dengan baik [10].
Model generasi ketiga merupakan penyempurnaan
dari model gelombang sebelumnya dimana model ini
merupakan sebuah model spektral lengkap dengan
representasi eksplisit pada proses fisik yang relevan
terhadap evolusi gelombang dan memberikan
gambaran dua dimensi dari laut secara lengkap. Salah
satu model generasi ketiga ini adalah WAVEWATCH-
III. Model ini dikembangkan oleh Marine Modelling
and Analysis Branch (MMAB) pada Environmental
Modelling Center (EMC) National Centers for
Environmental Prediction (NCEP) dan didistribusikan
secara online melalui http://polar.ncep.noaa.gov/
waves[11].
Model WAVEWATCH-III pernah digunakan untuk
mensimulasikan klimatologis tinggi gelombang
signifikan di wilayah Indonesia dari tahun 2000-2008.
Hasil simulasi menunjukkan adanya nilai korelasi
yang tinggi (0,77-0,94) ketika dibandingkan dengan
data satelit altimetry QuickScat [12]. Atas dasar inilah
m a k a WAV E WAT C H - I I I d i p i l i h u n t u k
mensimulasikan gelombang ekstrim di Indonesia.
Pe n e litia n in i be r tujua n un t uk menget a h ui
kemampu a n model WAVEWATC-III da l a m
mensimulasikan gelombang ekstrim yang pernah
terjadi di perairan Indonesia. Komponen yang
dianalisa adalah tinggi gelombang dan waktu
kejadiannya.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 2 TAHUN 2013 : 99-108
100
2. Metode Penelitian
Data yang digunakan dalam menjalankan model
WAVEWATCH-III adalah (1) data angin 10 m Final
Analyses (FNL) per 6 jam dari GFS (Global
Fore casting System), Na tional Ce nter fo r
Environmental Prediction (NCEP) – NOAA. Resolusi
spasial datanya adalah 1°(111 km). Data di
donwnload melalui website http://www.mmm.
ucar.edu/[13] dengan panjang data selama bulan April
dan Mei 2007. (2) data batimetri etopo resolusi 2' ( 3 x
3 km) dari US Geological Survey (USGS), website
http://www.usgs.gov/ [12]. Data reanalisis ERA-
Interim digunakan sebagai pembanding data model,
resolusinya 0,75° dan dapat diakses melalui website
ht t p : //d a t a -p o r t al. e c m wf . i n t/d a t a /d / l i cen s e /
interim_full/ dengan panjang data sebulan (Mei
20 07) [14 ]. Untuk pe ndu kun g analisa ting gi
gelombang dipantai digunakan data pasang surut bulan
Mei 2007 untuk wilayah Aceh, Bengkulu, Cilacap dan
Bali yang diperoleh dari Dinas Hidro Oseanografi
(DISHIDROS).
Persamaan yang digunakan dalam membangun model
WAVEWATCH-III adalah sebagai berikut:
S = S + S + S + S + S + S + S + S + S (1)
ln in nl ds bot db tr sc xx….
dimana di laut dalam terdiri dari tiga komponen yaitu
S yang mewakili input energi dari angin, S adalah
in nl
interaksi gelombang non linear dan S mewakili
ds
disipasi energi gelombang yang pecah akibat tegangan
permukaan tidak bisa menahan gelombang atau sering
disebut sebagai 'white capping'. Di laut dangkal proses
tambahan yang diperhitungkan meliputi interaksi
gelombang dengan dasar laut S , dan pada kondisi
bot
ekstrim sangat dangkal ditambah dengan depth-
induced bre a k i n g atau ke d a laman di m a n a
menyebabkan gelombang pecah yang disimbolkan
oleh S serta S yaitu interaksi gelombang triad[15].
db tr
Daerah dimana terjadi gelombang pecah (surf
breaking) ini biasanya berada dipantai dan digunakan
sebagai tempat berselancar.
Model dijalankan pada dua domain yaitu domain
o o o o
global (180 BB – 180 BT; 70 LS – 70 LU) dengan
o
resolusi spasial 0.5 (~55 km) dan domain regional
o o o o
Indonesia (90 BT – 150 BT; 15 LS – 15 LU) dengan
o
resolusi spasial 0.25 (~27 km). Model dijalankan
dengan metode two way nesting dimana pada daerah
boundary kedua domain baik global maupun regional
dapat saling mempengaruhi. Untuk perhitungan
numerik, model dijalankan di High Performance
Computing (HPC) dengan 24 prosesor di Puslitbang
BMKG. Spin-up model dilakukan selama dua minggu
dari kondisi calm, jadi pada 2 minggu pertama hasil
perhitungan numerik yang dilakukan belum dianalisa
dan hanya sebagai input energi sampai model
dianggap stabil.
Seting model yang diaplikasikan pada simulasi ini
adalah sebagai berikut, pada komponen diskret
spektrum, arah yang digunakan meliputi 24 arah
o
dengan penambahan arah sebesar 15 dan diawali dari
o
arah 0 . Jumlah frekuensi yang diperhitungkan adalah
25 dan rentang yang diperhitungkan antara 0,0412-
0,4056 Hz.
Parameter yang digunakan dalam model ini masih
berd asark an se ting ba waan mo del (defau lt).
Perhitungan linear input menggunakan perhitungan
berdasarkan penelitian Cavaleri dan Malanotte-
Rizzoli [16], input angin berdasar Tolman dan
Chalikov [17], interaksi gelombang nonlinear dihitung
dengan Discrete Interaction Approximation (DIA),
sedangkan untuk memperhitungkan peluruhan energi
(dissipation) berdasarkan ketentuan Tolman dan
Chalikov [16]. Perhitungan gesekan dasar laut (bottom
friction) berdasarkan Joint North Sea Wave Project
(JONSWAP), 1973, sedangkan untuk gelombang
pecah (surf breaking) diperhitungkan berdasar
penelitian Betjess dan Jennsen [18].
Untuk mensimulasikan gelombang ekstrim pada
tanggal 17-19 Mei 2007 model dijalankan selama
pertengahan April sampai akhir bulan Mei. Simulasi
pada bulan April dianggap sebagai spin-up, sedangkan
data yang dianalisa adalah bulan Mei. Untuk
mengetahui fluktuasi tinggi gelombang pada saat
kejadian, diambil data pada sepuluh titik yaitu Aceh,
Padang, Bengkulu, Lampung, Pelabuhan Ratu,
Sukabumi, Cilacap, Jogjakarta, Bali dan Flores. Data
tersebut kemudian dibandingkan dengan data ERA-
Interim dihitung nilai korelasi serta Mean Absolut
Error (MAE).
3. Hasil dan Pembahasan
Salah satu kondisi ekstrim yang pernah terjadi di
perairan Indonesia adalah kejadian gelombang tinggi
tanggal 17-19 Mei 2007. Dimana kejadian ini
mengakibatkan adanya gelombang tinggi antara 3-6
meter di sepanjang pantai barat Sumatera, selatan
Jawa hingga selatan Nusa Tenggara seperti terlihat
pada Gambar 1. Gelombang dengan tinggi 2-6 m ini
menerjang 11 provinsi (NAD, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jawa Timur, dan Bali) pada tanggal 18 Mei 2007 [19]
dan pada tanggal 19 Mei 2007 gelombang ini menjalar
ke Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
SIMULASI GELOMBANG EKSTRIM AKIBAT SWELL DI INDONESIA...................................Muhammad Najib Habibie dkk.
101
Gambar 1.Peta daerah terimbas gelombang tinggi pada kejadian tanggal 17-19 Juli 2007.
(Sumber:Satgas Penanggulangan Bencana Pusat Dep. PU)
Terjangan gelombang di sepanjang garis pantai daerah
tersebut mengakibatkan pula lumpuhnya aktivitas
kepariwisataan, rusaknya perahu nelayan, dan ribuan
warga mengungsi ke kawasan yang aman.
Di pantai selatan Jawa, daerah yang paling rentan
diterjang gelombang tinggi tersebut adalah Pelabuhan
Ratu, pantai Garut, Cianjur, pantai Pangandaran,
Bantul (Yogyakarta), serta pantai selatan Kebumen
dan Cilacap. Dalam hal ini pantai selatan Kebumen
dan Cilacap yang paling menderita diterjang
gelombang besar tersebut [19]. Faktor-faktor
penggerak yang diduga berkontribusi memicu
terjadinya gelombang besar tersebut adalah terjadinya
badai tropis dengan kecepatan angin > 35 m/s di
Tanjung Harapan (Afrika Selatan) pada tanggal 9 Mei
2007, pasang surut pada kondisi ekstrim (purnama dan
perigee), dan gelombang Kelvin [20]. Pada penelitian
ini difokuskan pada simulasi gelombang yang
dibangktikan dari energi angin (wind wave).
Pada kejadian tersebut disepanjang pantai barat
Sumatera sampai Nusa Tenggara terjadi gelombang
tinggi yang menurut Satgas Penanggulangan Bencana
Pusat Dep. PU mengakibatkan kerugian yang sangat
besar terutama rusaknya infrastruktur disepanjang
pantai, meliputi permukiman serta jalan dan juga
rus a k n y a be b e r apa ka pal. Wa l a u p un ti d ak
mengakibatkan korban jiwa tetapi kejadian ini
menimbulkan kerugian materi yang sangat banyak.
Gelombang tinggi sudah mulai terlihat menghantam
pantai barat Sumatera pada tanggal 17 Mei 2007.
Gelombang ini dipicu oleh adanya badai tanggal 9 Mei
2007 di Tanjung Harapan, selatan Afrika, dan pada
tanggal 10 Mei 2007 terlihat adanya gelombang
signifikan dengan tinggi >6 meter di daerah tersebut
yang mengarah ke Samudera Hindia. Pada tanggal 12
Mei gelombang tersebut sudah mencapai Madagaskar,
sedangkan di Tanjung Harapan gelombang dengan
tinggi lebih dari 6 meter masih terlihat dengan arah
yang sama. Hal ini berlangsung sampai tanggal 13 Mei
dan pada tanggal 14 Mei gelombang tinggi tersebut
meninggalkan Tanjung Harapan dan menjalar
mengarah ke wilayah Indonesia. Gelombang dengan
tinggi lebih dari 2,5 meter sudah mulai menerjang
pantai barat Sumatera pada tanggal 17 Mei dan pada
tanggal 18 Mei gelombang dengan tinggi lebih dari 4
meter sampai ke pantai barat Sumatera. Simulasi
gelombang secara global pada saat kejadian tersebut
terlihat seperti Gambar 2a.
Kejadian gelombang tinggi ini berhubungan dengan
kondisi angin yang bertiup di Samudera Hindia. Mulai
tanggal 9-14 Mei 2007, angin bertiup secara persisten
di wilayah Tanjung Harapan, selatan Afrika dengan
kecepatan lebih dari 22 m/s dan mengarah ke
Samudera Hindia (Gambar 2b). Angin yang kencang
dan mempunyai arah yang tetap ini menyebabkan
terbentuknya gelombang windsea yang kemudian
berkembang menjadi fully developed sea atau swell.
Swell ini merupakan wind sea yang karena energinya
b e sa r m a ka a k an t e rl e pa s d a ri d a er a h
pembentukannya, dan ini dikelompokkan dalam
gelombang nonlinier. Salah satu ciri-ciri swell adalah
arah gelombangnya pada umumnya tidak sesuai
dengan arah angin lokal. Swell umumnya terjadi di
laut lepas, dan dapat mencapai jarak yang sangat jauh
dari daerah pem bentuka nnya de ngan sedi kit
pembelokan arah [21]. Karena pada kasus ini arah
angin persisten menuju wilayah Indonesia, maka swell
yang terbentuk menuju ke wilayah tersebut dan setelah
melintasi Samudera Hindia dalam beberapa hari maka
gelombang tinggi tersebut mencapai pantai barat
Sumatera dan wilayah lain.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 2 TAHUN 2013 : 99-108
102
Gambar 2.Tinggi gelombang signifikan (a) dan arah serta kecepatan angin (b).
Gambar 3. Tinggi swell (a) dan wind sea (b) global tanggal 18 Mei 2007.
Model gelombang generasi ketiga mempunyai
kemampuan untuk memperhitungkan gelombang
nonlinier secara eksplisit, artinya perhitungan
gelombang ini telah dilakukan secara langsung bukan
melalui pendekatan ataupun parameterisasi. Hal ini
juga terlihat dari hasil simulasi gelombang secara
global yang menunjukkan bahwa simulasi swell sudah
merepresentasikan kondisi sebenarnya.
Gelombang signifikan merupakan rerata dari 1/3
gelombang tertinggi dalam periode waktu tertentu.
Pada simulasi ini didapatkan nilai tinggi gelombang
signifikan yang tinggi di Samudera Indonesia.
Gelombang ini merupakan gabungan antara swell dan
wind sea. Untuk mendeteksi jenis gelombang yang
dominan pada kejadian gelombang tinggi tersebut,
dilakukan pemisahan antara swell dan wind sea seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.
Swell mulai terbentuk di sekitar Tanjung Harapan pada
tanggal 10 Mei dan karena angin bertiup kencang
secara persisten sampai tanggal 14 Mei, maka swell
berkembang menjadi lebih besar dan menjalar
melintasi Samudera Hindia dan mencapai wilayah
In d o nesi a ta n ggal 17 M e i . Hasil sim u l asi
menunjukkan pada tanggal 14-16 Mei 2007 tinggi
gelombang Samudera Hindia didominasi oleh swell
dengan tinggi lebih dari 6 meter. Dan semakin hari,
mendekati wilayah Indonesia yang menyebabkan
gelombang yang besar dan merusak.
Wind sea dengan tinggi lebih dari 6 meter juga
terbentuk pada tanggal 10-14 Mei 2007 di sebelah
selatan Afrika dan bergerak ke timur mendekati
Madagaskar. Arah dari wind sea ini menuju Samudera
Hindia sesuai dengan arah swell yang terbentuk. Tetapi
penjalaran wind sea ini tidak sampai melintasi
Samudera Hindia. Pada saat terjadi gelombang di
wilayah Indonesia tanggal 17-19 Mei 2007, tinggi
swell di Samudera Hindia umumnya lebih besar
dibandingkan dengan wind sea, dimana swell di
Samudera Hindia bagian tengah mempunyai tinggi
sekitar 4 m, sedangkan wind sea ketinggiannya sekitar
2,5 m, hal ini menunjukkan bahwa kejadian tersebut
disebabkan oleh swell.
SIMULASI GELOMBANG EKSTRIM AKIBAT SWELL DI INDONESIA...................................Muhammad Najib Habibie dkk.
103
Gambar 4.Peak period (A) dan wind sea (B) gelombang global pada tanggal 17 Mei 2007
Gambar 5. Peta tinggi gelombang dan kondisi angin permukaan 17 Mei 2007 dengan simulasi WAVEWATCH-III
Ge lom bang yan g dis imu las ika n oleh model
WAVEWATCH-III pada saat kejadian umumnya
memiliki periode 20 detik seperti terlihat pada Gambar
4. Hal ini menunjukkan bahwa gelombang yang ada
merupakan gelombang panjang. Dengan melihat
periode gelombang yang ada bisa diestimasi panjang
gelombangnya, dari perhitungan ini panjang
gelombang yang terbentuk sekitar 625 meter.
Tentunya gelombang ini ketika bergesekan dengan
dasar laut akan mengalami peningkatan tinggi
gelombang. Sehingga tinggi gelombang di pantai akan
menjadi besar.
Periode gelombang yang tersimulasikan oleh
WAVEWATCH-III berubah dari tanggal 10-19 Mei
2007. Evolusi perubahan ini lebih mengikuti pola
perubahan swell dibandingkan periode wind sea
seperti terlihat pada Gambar 4. Hal ini menunjukkan
bahwa tinggi gelombang signifikan pada saat itu lebih
dipengaruhi oleh swell daripada wind sea.
Kondisi laut pada tanggal 17 Mei 2007 umumnya
mempunyai gelombang signifikan yang tinggi seperti
terlihat pada Gambar 5. Samudera Hindia dan laut di
selatan Afrika mempunyai tinggi gelombang
signifikan antara 4-6 meter dan mengarah ke wilayah
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 2 TAHUN 2013 : 99-108
104
Indonesia. Kondisi ini merupakan akibat dari
akumulasi kejadian siklon tropis di selatan Afrika yang
berlangsung beberapa hari. Swell yang diakibatkan
oleh siklon ini merambat ke arah timur dan akhirnya
sampai ke perairan Indonesia pada tanggal 17-19 Mei
2007. Kondisi angin pada saat kejadian tersebut di
wilayah Indonesia umumnya adalah calm.
Menurut berita dari media massa pada tanggal 17 Mei
2007 malam sekitar pukul 21.00 WIB gelombang
tinggi mulai menghantam pantai barat Sumatera
dengan ketinggian 3-4 meter. Kejadian ini dapat
d i s i m u l a s i k a n d e n ga n b ai k o l eh m o de l
WAVEWATCH-III pada waktu yang sama. Dari
simulasi ini didapatkan arah gelombang yang berbeda
dengan arah anginnya, hal ini mengindikasikan bahwa
gelombang tinggi yang terjadi bukan disebabkan oleh
angin lokal, apabila disebabkan angin lokal maka arah
gelomban gnya cender ung sama dengan arah
gelombangnya. Gelombang tinggi di pantai barat
Sumatera ini bertahan sampai tanggal 18 Mei dan
kemudian merambat ke timur menyusuri pantai
selatan Jawa seperti terlihat pada Gambar 6.
Gelombang tinggi di pantai barat Sumatera ini
mengakibatkan kerusakan di Kabupaten Aceh Barat,
Pasaman Barat dan Padang Pariaman dengan korban
mengungsi lebih dari 5000 jiwa, ratusan bangunan dan
fasilitas umum rusak.
Pada tanggal 18 Mei gelombang tinggi mulai
merambat ke pantai selatan Jawa dengan ketinggian
sekitar 3,5 m. Hal ini menyebabkan banyak kerusakan
diantaranya di 61 rumah dan ratusan warung di
Pelabuhan Ratu, serta di Garut, Tasikmalaya dan
Ciamis dengan kerusakan rumah dan perahu. Peristiwa
ini menyebabkan korban luka dan lebih dari 1.400
warga mengungsi. Pada tanggal 19 Mei gelombang
tinggi mencapai pesisir selatan Nusa Tenggara dan
kemudian meluruh pada tanggal 20 Mei 2007.
Kejadian ini sangat langka terjadi di Indonesia tetapi
bersifat merusak, banyak ahli menyebut kejadian
seperti ini sebagai Meteotsunami yaitu gelombang
besar seperti tsunami yang diakibatkan oleh faktor
meteorologi.
Gambar 6. Peta tinggi gelombang dan kondisi angin permukaan 18 Mei 2007 dengan simulasi WAVEWATCH-III
SIMULASI GELOMBANG EKSTRIM AKIBAT SWELL DI INDONESIA...................................Muhammad Najib Habibie dkk.
105
Gambar 7.Grafik fluktuasi gelombang signifikan tanggal 12-23 Mei 2007 simulasi WAVEWATCH-III.
Gambar 8. Grafik perbandingan gelombang signifikan WAVEWATCH-III danERA Interim tanggal 12-23 Mei 2007
Gambar 9.Grafik periode gelombang tanggal 12-23 Mei 2007.
Gambar 10. Pasang surut pada tanggal 12-23 Mei 2007
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 2 TAHUN 2013 : 99-108
106
Fluktuasi gelombang pada saat gelombang tinggi
menerjang Indonesia terlihat pada Gambar 7. Dan
umumnya sesuai dengan yang dilaporkan oleh media
massa dan yang terukur oleh satelit observasi pada
Gambar 8. Gelombang dengan tinggi sekitar 3 m mulai
menerjang pantai barat Sumatera sampai Nusa
Tenggara pada tanggal 17 Mei 2007. Dan gelombang
tertinggi umumnya terjadi pada tanggal 18 Mei dan
meluruh pada tanggal 19 Mei. Masing-masing daerah
umumnya mengalami puncak pada waktu yang
berbeda, Padang, Bengkulu, Lampung, Pelabuhan
Ratu sampai Sukabumi mempunyai puncak tinggi
gelombang sekitar jam 6 UTC tanggal 18 Mei, Aceh
puncaknya pukul 18 UTC, sedangkan Cilacap dan
Jogjakarta sekitar pukul 9 UTC. Wilayah Bali
mengalaminya pukul 15 sedangkan di Flores pukul 3
UTC tanggal 19 Mei. Perbedaan puncak gelombang
signifikan ini berhubungan dengan penjalaran
gelombang dari Samudera Hindia dimana di swell
yang mengarah ke Indonesia pertama kali sampai ke
Bengkulu, Lampung, Sukabumi dan Pelabuhan Ratu
dan kemudian menjalar ke utara dan timur. Swell
menjalar ke utara menyusuri pantai barat Sumatera
menuju Aceh dan ke timur menyusuri pantai selatan
Jawa menuju Bali dan NusaTenggara.
Korelasi antara simulasi WAVEWATCH-III dan ERA-
Interim sangat tinggi dengan nilai 0,92 di Padang, 0,97
di Lampung, 0,96 di Jogjakarta dan 0,96 di Bali. Hal ini
menunjukkan adanya kesamaan pola antara model
dengan observasinya. Nilai mean absolute error
(MAE) antara model dengan observasi sebesar 0,45 m
di Padang, 0,39 m di Lampung, 0,13 m di Jogjakarta
dan 0,15 m di Bali. Tinggi gelombang simulasi model
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibanding dengan
pembandingnya, hal ini terjadi karena kedua data
mempunyai resolusi yang berbeda, dimana resolusi
model adalah 0,25° sedangkan data ERA adalah 0,75°.
Data gelombang pada resolusi rendah merupakan
perata-rataan beberapa data piksel disekitarnya,
sehingga ketika pada satu piksel terdapat gelombang
yang lebih tinggi akan tereduksi. Tetapi untuk Padang
nilai model lebih rendah dibandingkan observasi,
karena letaknya yang terhalang oleh pulau sedangkan
data observasi ERA-Interim yang resolusinya lebih
rendah tidak memperhitungkan adanya pulau tersebut.
Hal ini menyebabkan nilai pembanding lebih tinggi
dibandingkan model karena reduksi energi yang
diakibatkan oleh keberadaan pulau tersebut tidak
diperhitungkan pada data ERA-Interim.
Data peak period atau periode gelombang tertinggi
juga menunjukkan fluktuasi yang hampir sama dengan
fluktuasi tinggi gelombangnya ditunjukkan pada
Gambar 9. Periode gelombang yang terbentuk sekitar
20 detik dan hal ini sama dengan panjang gelombang
sebesar 625 meter. Gelombang ini ketika memasuki
perairan dangkal akan terjadi gesekan dengan dasar
laut dan menye bab kan kenaik an ge lombang
(wavesetup). Wave setup berkontribusi secara
signifikan terhadap kenaikan elevasi muka laut. Pada
daerah continental shelves, wave setup dapat menjadi
bagian terbesar dari anomali elevasi muka laut pada
saat terjadi badai. Ketika gelombang memasuki laut
dangkal akan menyebabkan kehilangan energi dan
gaya total pada kolom air yang berlawanan dengan
arah propagasi gelombang. Hal ini akan menyebabkan
transfer momentum dan berkaitan dengan wave setup
[22]. Pada saat terjadi gelombang tinggi di beberapa
tempat, gelombang dilaporkan sangat tinggi dan dapat
merobohkan bangunan, hal ini terjadi akibat interaksi
gelombang dengan dasar laut yang menyebabkan wave
setup tersebut.
Tinggi gelombang yang disimulasikan model
WAVE WAT C H - I II um umn y a leb i h ren d a h
dibandingkan dengan pengamatan yang dicatat media
massa, hal ini diindikasikan karena interaksi
gelombang dengan pasang surut dan hal ini tidak
diperhitungkan dalam wave model. Pasang surut
menyebabkan adanya arus dan gelombang pasang
surut. Pada gelombang laut dalam arus pasang surut
tidak berpengaruh terhadap gelombang, tetapi pada
laut dangkal berpeng aruh terhadap kenaikan
gelombang [23]. Dari data pasang surut di empat lokasi
(Aceh, Bengkulu, Cilacap dan Bali) menunjukkan
bahwa antara tanggal 17-20 Mei terjadi pasang yang
tinggi seperti terlihat pada Gambar 10. Dari lokasi
tersebut menunjukkan bahwa pada tanggal 18 Mei
merupakan pun cak pasa ng. Reka man ting gi
gelombang menunjukkan bahwa pada tanggal tersebut
merupakan puncak gelombangnya khususnya di
pantai barat Sumatera dan selatan Jawa. Sedangkan
daerah Bali dan Nusa Tenggara puncaknya pada
tanggal 19 Mei.
Catatan media massa menunjukkan bahwa pada
tanggal tersebut sebagian besar wilayah Indonesia
mengalami gelombang yang tinggi dan menyebabkab
genangan di berbagai wilayah. Simulasi mengenai
genangan yang diakibatkan oleh gelombang badai
(surge) tertinggi di kawasanpesisir selatan Jawa, Bali,
dan NTB, masing-masing terjadi di Nusa Kambangan
(Jawa; 19,0 cm), Tuban (Bali; 14,7cm), Teluk
Gumbang (Lombo k; 12,2 cm), dan Tanjung
Labulawah (Sumbawa; 12,5 cm). Jarak genangan
maksimum (R ) gelombang badai pasang serta tinggi
run-up yang menyertainya (H) terjadi di Teluk
Penanjung (Jawa; R =835,2 m, H = 0,73 m), Tuban
(Bali; R = 623,5 m, H= 1,02 m), Tanjung Ringgit
(Lombok; R = 1112,3 m, H= 1,03 m),dan Teluk Cempi
(Sumbawa; R = 4136,5 m, H= 1,10 m)[20].
Tingginya gelombang yang menyebabkan genangan di
beberapa wilayah ini merupakan akibat dari
superposisi swell dengan gelombang pasang terutama
yang terjadi pada tanggal 18 Mei. Superposisi kedua
jenis gelombang ini mengakibatkan lonjakan
gelombang secara eksponensial sehingga gelombang
yang dihasilkan akan menjadi tinggi. Kenaikan air laut
akan melebihi ketinggian normal ketikaterjadi
ber s a m a an de nga n pas a n g d a n aki b a t nya
memperparah genangan. Choi, et al [24], melaporkan
bahwa gelombang laut yang diakibatkan oleh badai
akan bertambah tinggi ketika bersamaan dengan
adanya pasang surut berkisar antara 0,5 1 meter di
sekitar Laut Kuning.
SIMULASI GELOMBANG EKSTRIM AKIBAT SWELL DI INDONESIA...................................Muhammad Najib Habibie dkk.
107
4. Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa model
W AV EWAT C H - I I I s ec a r a u m u m d ap at
mensimulasikan kejadian gelombang tinggi yang
diakibatkan oleh swell dengan baik seperti kejadian
tanggal 17-19 Mei 2007 dimana terdapat korelasi yang
tinggi antara WAVEWATCH-III dengan ERA-Interim
b a ik t i n gg i g e lo m ba n g m a up u n wa k t u
kemunculannya. Perbedaan tinggi gelombang yang
dilaporkan media massa dengan simulasi model
diakibatkan oleh superposisi antara pasang surut dan
gelombang swell. Tetapi pada kasus ini faktor
dominannya adalah swell. Sedangkan perbedaan
tinggi gelombang antara model dengan data
pembanding berkaitan dengan resolusi kedua data
yang berbeda. Interaksi gelombang dengan dasar laut
pada laut dangkal berperan penting terhadap kenaikan
tinggi gelombang (wave setup) terutama di pantai
sehingga mengakibatkan genangan dan kerusakan
infrastruktur di berbagai tempat.
Saran. Untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari
interaksi antara pasang surut dengan gelombang
terhadap penambahan tinggi run up, sebaiknya
dijalankan couple model antara ocean model dengan
wave model sehingga interaksi keduanya dapat
diperhitungkan dengan baik.
Daftar Pustaka
[1] Gohari, A. A., Bahai, H. & Bazargan, H. (2009).
Simulation of significant wave height by neural
networks and its application to extreme wave
analysis. J. of Atmospheric and Oceanic
Technology, 26, 778-792.
[2] Wang, X. L & Swail V. R. (2001). Changes of
extreme wave heights in northern hemisphere
oceans and related atmospheric circulation
regimes. J. of Climate, 14, 2204-2221
[3] Jian-Guo Li, J. G. & Holt, M. (2009). Comparison
of Envisa tASAR ocean wave spectra with
buoy and altimeter data via a wave model. J. of
Atmospheric and Oceanic Technology, 26, 593-
613.
[4] Kurniawan, R., Habibie, M. N. & Permana, D. S.
(2012). Kajian daerah rawan gelombang tinggi
di Perairan Indonesia. Jurnal Meteorologi dan
Geofisika. 13(3), 201-212.
[5] Phillips, M. O., Gu, D. & Donelan, M. (1993).
Expected structure of extreme waves in a
Gaussian Sea. Part 1 : Theory and SWADE
buo y meas u r e m e nts. J. of Phy s i c a l
Oceanography. 23, 992-1000.
[6] Garrett, C. & Muller, P. (2008). Extreme events.
S u p le me n t : B u ll e ti n of Am e ri c a n
Meteorological Society.
[7] Gemmrich, J & Garrett, C. (2008). Unexpected
waves. J. of Physical Oceanography. 38, 2330-
2336.
[8] Hernández, R. P., Perrie, W,. Toulany, B. & Smith, P.
C. (2007). Modeling of two Northwest Atlantic
storms with third-generation wave models.
Weather and Forecasting. 22, 1229-1242.
[9] World Meteorolgical Organization (WMO).
(1998). Guide to Wave Forecasting and
Analysis, WMO-No. 702, Secretariat of the
World Meteorological Organisation, Geneva-
Switzerland: Author.
[10] Komen, G.L., Cavaleri, L., Domelan, M.,
Hasselmann, K., Hasselmann, S., Janssen,
P.A.E., (1994). Dynamics and Modeling of
Ocean Waves. Cambridge University Press,
Cambridge (p. 532).
[11] National Center for Environmental Prediction
(NCEP) – NOAA. (2012). (http://www.mmm.
ucar.edu/), diakses Maret 2012.
[12] Sofian, I & Wijanarto, A. B. (2010). Simulation of
significant wave height climatology using
WAVEWATCH-III. International Journal of
Geoinformatic, vol. 6 no. 4, 13-19
[13] US Geo logical Survey (US GS). (201 2).
(http://www.usgs.gov/ , diakses Maret 2012.)
[14] European Center for Medium Range Weather
Forecast (ECMWF)-ERA-Interim. (2013).
(http://data-portal.ecmwf.int/data/d/license/
interim_full/), diakses 9 Oktober 2013.
[15] Tolman, H. L. (2009). User manual and system
documentation of WAVEWATCH-III version
3.14. Environmental Modeling Center. Marine
Modeling and Analysis Branch. NCEP.
[16] Cavaleri, L. & Malanotte-Rizzoli, P. (1981).
Wind-wave prediction in shallowwater: Theory
and applications. J. Geophys. Res., 86, 10.961-
10.973.
[17] Tolman, H. L. & Chalikov, D. (1996). Source
term in a third-generation wind wave model. J.
of Physical Oceanography. 26, 2497-2518.
[18] Battjes, J. A. & Janssen, J. P . F. M., (1978).
Energy loss and set-up due to breaking of
random waves. Proc. 16th Int. Conf. Coastal
Eng., pp. 569-587. ASCE.
[19] Kompas, 19 Mei 2007. (website: www.kompas.
com) diakses tanggal 27 April 2012.
[20] Ningsih, N. S., Hadi, S., Harto, B. A., Utami, M.
D. & Rudiawan, A. P. (2010). Kajian daerah
rawan bencana gelombang badai pasang (storm
tide) di kawasan pesisir selatan Jawa, Bali, dan
Nusa Tenggara Barat. Jurnal Ilmu Kelautan.
15(4), 179-193.
[21] Young, I. R. (1999). Wind generated ocean
waves. Elsevier Science Ltd. Kidlington,
Oxford. P 228.
[22] Dean, R. G. & Bender, C. J. (2006). Static wave
setup with emphasis on damping effects by
vegetation and bottom friction. J of Coastal
Engineering. 53, 149-156.
[23] Janssen, P. A. E. M., & Onorato, M. (2007). The
intermediate water depth limit of the Zakharov
eq uati o n and con sequ e nces fo r wave
prediction. J. of Physical Oceanography. 37,
2389-2400.
[24] Choi, B. H., H. M. Eun & S. B. Woo. (2003).
Modeling of coupled tide-wave-surge process
in the Yellow Sea. J of Ocean Engineering. 30,
739-759.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 2 TAHUN 2013 : 99-108
108
... Swell can propagate hundreds kilometers from its origin area of generation. As example by Habibie et al. (2013) who simulated the extreme wave event at the southern Java on 4-10 May 2007. The strong tropical cyclone in Cape of Hope, southern ...
Article
Full-text available
The previous studies have simulated the variability of the wave within the Indonesian seas which showed that the variability of wave follows the seasonal pattern. However, their analysis only consider the influence of local wind forcings. The bias and error of their simulated wave were also unclear. In the present study, we investigate the variability of wave within the Indonesian seas and its relation with the surface wind speed using the combination of reanalysis and remote sensing data with high accuracies. We split the analysis into swell and wind wave to obtain the influence of local and remote wind forcings. We show that at the inner seas (i.e., the South China Sea, Java Sea, Flores Sea, Banda Sea and Arafura Sea), the variability of significant wave height (SWH) is majorly influenced by the variability of the speed of monsoon wind. The maximum SWH during Northwest monsoon (NWM) season is located at the South China Sea while during Southeast monsoon (SEM) season is at Arafura Sea. This indicates that the wind wave (sea) is dominant at the inner seas. At the open seas (i.e., Pacific Ocean and Indian Ocean) the variability of SWH less corresponds to the the speed of monsoon wind. The remote wind forcings control the wave variability in the open ocean area. This indicates that swell is dominant at the open seas. In general, the magnitude of SWHswell is also more than SWHsea within the Indonesian seas.
... Another possible reason is associated with the hydrodynamic regime. Sabang is located in the northwest of Indonesia and facing directly towards the Indian Ocean, and is subject to more hydrodynamic stress than the eastern part of Indonesia (Habibie et al. 2013). The hydrodynamic stress may limit the colonization and growth of sponges by affecting substrate stability, turbidity, and turbulence (Wilkinson and Evans 1989;Vinod et al. 2014). ...
Article
Full-text available
Aulia ED, Hadi TA, Utama RS. 2021. Sponge community (Porifera) in coral reef ecosystem in Sabang, Aceh Province, Indonesia. Biodiversitas 22: 3394-3402. Sponges are one of the most influential benthic organisms in coral reef ecosystems. Many studies about sponge communities have been carried out globally, from tropical to temperate regions. In Indonesia, however, sponge communities have not been adequately observed, especially their diversity and interaction with habitats. Sabang, a developing city located in the northwest of Indonesia, has a lack of information about benthic communities and no reports about sponges. This study investigated the sponge community (species richness, coverage, and morphological characters) and the interactions, both within sponges and with corals and substrates, in Sabang. The study found that the sponge richness (species and morphology) and coverage are categorized as poor, having only 24 species with seven morphologies, and coverage of 1.79 ± 1.03% (SE). The interaction analyses showed significant relationships occur among sponge variables but not between sponges and corals, nor between sponges and their substrates. These results could be attributed to the hydrodynamic-related stresses in Sabang, which are likely influenced by exposure to the open ocean, a condition that is less favorable to diversity and interaction. It is necessary to regularly monitor the condition of benthic communities in Sabang in order to better understand their stable state and detect any change over time.
... Data angin permukaan yang digunakan untuk input model Wavewatch diperoleh dari GFS, National Center for Environmental Prediction (NCEP) -NOAA, resolusi spasial data adalah 0.5 0 (≈55,5 km) [7], dan data bathymetri etopo mempunyai resolusi temporal 2' (≈ 3 x 3 km) dari US Geological Survey (USGS) [8]. Spin-up model dilakukan selama dua minggu dari kondisi calm, jadi pada dua minggu pertama hasil perhitungan numerik yang dilakukan belum dianalisa dan hanya sebagai input energi sampai model dianggap stabil [9]. ...
Article
Full-text available
The Java Sea is an interesting part of Indonesian waters to be studied, because it has a great of marine biological resources, especially for marine fisheries. Until now, wave model data has become the main tool for providing sea wave height information, this condition is caused by the limited observation equipment to obtain ocean data. This study aims to understand the sea wave height patterns in the Java Sea using the Wavewatch-III model, and to determine the accuracy of the Wavewatch-III model data with observation data. Based on the output of the Wavewatch-III model, the significant wave height (Hs) in the Java Sea during the West Season period (DJF) obtained a range between 0.2 m - 1 m, with the dominant direction of the sea wave from the West, in the Transition Season I (MAM) period, the significant wave height in the Java Sea obtained a range between 0.4 m - 0.8 m, and the dominant direction of sea waves comes from the Southeast to the Northwest, in the East Season (JJA), significant wave height in the Java Sea obtained a range between 0.6 m - 1.4 m, with the dominant direction of sea waves coming from the Southeast to the Northwest, and in the Transition II (SON), significant wave height in the Java Sea obtained a range between 0.2 m - 0.4 m, with the dominant direction of sea waves coming from the Southeast to the West. The significant wave height peaks in the Java Sea occur during the East Season (JJA). The results of Wavewacth-III comparison with ECMWF, obtained a good correlation value, while comparison with observational data, obtained a low correlation value, and the wave height value of Wavewatch-III is higher than observation. The results of the comparison of the Wavewacth-III model with the ECMWF model show that Wavewatch-III has good performance with a CF value of 0.04, and an error value of 35.5%. While the comparison of the Wavewatch-III model to the observation data, a low correlation value is obtained, which is only 0.32 and the Hs value of the Wavewatch-III model is higher than the observation.
Article
Full-text available
Sponges are one of the most influential benthic organisms in coral reef ecosystems. Many studies on sponge communities have been carried out globally, from the tropics to the sub-tropics. However, in Indonesia, the sponge community has not been sufficiently observed, especially its diversity and interactions with habitats. Manokwari, a developing city north of the Bird's Head Seascape region, Papua has a lack of information on benthic communities and no reports of sponges. This study is to examine the sponge community (diversity and distribution) in coral reef ecosystem. This study found that sponge richness (species and morphology) was categorized as “low”, with only 11 species with 8 morphological forms. The most common species included Niphates erecta, Stylissa carteri, and Pseudoceratina purpurea, while the most common growth forms were massive and encrusting, accounting respectively for 27.3% and 18.2% of the total number of species. The highest diversity was found on the island of Kaki (5 species) with the island of Nusmapi having an uneven distribution of sponges. The results of our study found that there was no relationship between sponge diversity and morphology. This baseline information is essential for management of marine biodiversity hotspots in taking decisions for marine life conservation. Spons merupakan salah satu organisme bentik yang paling berpengaruh dalam ekosistem terumbu karang. Banyak penelitian tentang komunitas spons telah dilakukan secara global, dari daerah tropis hingga sub tropis. Namun di Indonesia, komunitas spons belum cukup diamati, terutama keanekaragaman dan interaksinya dengan habitat. Manokwari, kota berkembang di utara dari wilayah Bentang Laut Kepala Burung (BLKB), Papua memiliki kekurangan informasi tentang komunitas bentik dan tidak ada laporan tentang spons. Studi ini untuk mengkaji komunitas spons (keanekaragaman dan distribusi) pada ekosistem terumbu karang. Penelitian ini menemukan kekayaan spons (spesies dan morfologi) yang dikategorikan “rendah”, dengan hanya 11 spesies dengan 8 bentuk morfologi. Spesies yang paling umum termasuk Niphates erecta, Stylissa carteri, dan Pseudoceratina purpurea, sedangkan bentuk pertumbuhan yang paling umum adalah massif dan encrusting dengan menyumbang masing-masing 27,3% dan18,2% dari total jumlah spesies. Keanekaragaman tertinggi ditemukan di pulau Kaki (5 spesies) dengan pulau Nusmapi memiliki sebaran spons tidak merata. Hasil penelitian kami menemukan tidak ada hubungan antara keanekaragaman spons dengan bentuk morfologi. Informasi dasar ini sangat penting untuk pengelolaan hotspot keanekaragaman hayati dalam perumusan keputusan untuk konservasi biota laut.
Article
Indonesian offshore and coastal areas are vulnerable to swells from Roaring Forties and cyclone disasters. However, the understanding of the characteristics and propagation mechanisms of local disastrous waves is insufficient, posing a threat to the construction, maintenance, and protection of coastal structures. This study establishes a multiple nested wave model based on the third-generation wave model WAVEWATCH III. This model includes sole forcing of Roaring Forties and combined forcing of Roaring Forties and cyclone Ernie to simulate the influence of disastrous waves under the Roaring Forties and tropical cyclones in the Indonesian offshore zone and coasts. The following results are obtained. The Indonesian offshore is prevailed by relatively stable southern to southwestern dominant swells and small wind waves under the impacts of the Roaring Forties without cyclone winds. Long propagating swells originated from the Roaring Forties dominate in nearshore coastal waters with deformed directions and strength because of the shoaling effect.
Article
Full-text available
Oil and gas exploration is mainly carried out offshore, which results in the need for an efficient means of structure for further onshore oil and gas processing. LNG Carrier is an effective and efficient means of transportation, therefore to maintain and restrain the movement of LNG Carrier during offloading to remain in a stable condition, it is necessary to build a mooring system facility. One of the critical things regarding the mooring system is the configuration of the number of moorings installed. It will affect the determination of operating limits and also the effectiveness of the installation. In this study, configurations will analyze the configuration of mooring vessel to jetty with variations in configurations 2-3-1, 3-3-2, and 4-4-3 and variations in vessel load case using operating environmental conditions and extreme conditions with swell effects. This research focuses on tension analysis in each mooring to find out the proper and effective configuration as well as obtain the operating limits that have been set.
Article
Full-text available
Related to the importance of information about ocean waves, especially for the safety of a variety activities at sea, based on data in the period 2000-2010 obtained by numerical wave model, conducted a study of high waves in the Indonesian waters.The study shows that the spatial and temporal variations in wave height and frequency of high waves have a pattern associated with monsunal wind cycle, Australia monsoon period (December, January, February) and the Australian monsoon (June, July, August). High waves prone areas in the period of monsoon Asia are generally wider than the Australia monsoon period. In the transitional period between monsoons, most of the Indonesian territorial waters are not high waves prone areas. High waves prone areas in the transitional period between monsoons are generally narrower and it were in the Indonesian waters, which became part of the South China Sea, Pacific Ocean and Indian Ocean, particularly southern part of Java to Bengkulu. Although the correlation is not significant, El-Nino led to an increasing wave height in the eastern waters of Indonesia, especially north of the equator and La-Nina led to an increasing wave height in the Indonesian waters around the Indian Ocean, especially in the southern part of Java, while the negative IODM caused increasing wave height in the northern equator of western part of Sumatra waters.
Article
Full-text available
In recent decades, the extreme wave height has become more frequent. High spatial resolution of wave model is inevitable to investigate the impact of monsoon and generate the wave atlas. The significant wave height (SWH) resulting from model estimation has a high correlation with the altimeter data (0.77-0.94), with the highest correlation in Northern Papua, and the lowest in Sulawesi Sea. The maximum SWH in Java Sea is approximately 3-3.5m, occuring in January and February. Generally, the maximum SWH in Southern Java Sea is higher than the maximum wave height in the southern coast of Kalimantan. This tends to increase the flood risk in the north coast of Java, because it coincides with the peak of wet season. When reaching 6m it can cause for example, decreasing fisheries production and preventing commodity flows that use marine transportations.
Article
Full-text available
A new third-generation ocean wind wave model is presented. This model is based on previously developed input and nonlinear interaction source terms and a new dissipation source term. It is argued that the dissipation source term has to be modeled using two explicit constituents. A low-frequency dissipation term analogous to wave energy loss due to oceanic turbulence is therefore augmented with a diagnostic high-frequency dissipation term. The dissipation is tuned for the model to represent idealized fetch-limited growth behavior. The new model results in excellent growth behavior from extremely short fetches up to full development. For intermediate to long fetches results are similar to those of WAM, but for extremely short fetches the present model presents a significant improvement (although the poor behavior of WAM appears to be related to correctable numerical constraints). The new model furthermore gives smoother results and appears less sensitive to numerical errors. Finally, limitations of the present source terms and possible improvements are discussed.
Article
Full-text available
In this study, three state-of-the-art operational forecast wave models are implemented on nested grids in order to achieve fine-resolution wave simulations (0.1) in the Gulf of Maine and related northwest Atlantic waters. These models are the Simulating Waves Nearshore (SWAN) model, the Wave Action Model (WAM), and WAVEWATCH-III (hereafter WW3). Model performance is evaluated through comparisons with field measurements. Four composite model systems are compared: WAM and WW3 implemented on three nested domains, SWAN nested within WAM, and SWAN nested within WW3. Storm case studies include two intense midlatitude winter storms from January 2000 and January 2002. Although the models are comparable in terms of their overall performance and skill, it is found that WW3 provides a better statistical fit to the observed wave data compared with the other models, and that SWAN gives slightly better results if nested within WW3, rather than within WAM.
Article
This study assesses trends in seasonal extremes (90- and 99-percentiles) of Significant Wave Height (SWH) in the North Atlantic and the North Pacific, as simulated in a 40-yr global wave hindcast using the National Centers for Environmental Prediction–National Center for Atmospheric Research reanalysis wind fields. For the last four decades, statistically significant changes in the seasonal extremes of SWH in the North Atlantic (NA) are detected only for the winter (January–March) season. These changes are found to be intimately connected with the North Atlantic oscillation (NAO). To be specific, significant increases of SWH in the northeast NA, matched by significant decreases in the subtropical NA, are found to be associated with an intensified Azores high and a deepened Icelandic low. This is consistent with the findings of previous studies based on different datasets. Changes in seasonal extremes of SWH in the North Pacific (NP) are found to be statistically significant for the winter and spring (April–June) seasons. Significant increases in the extremes of SWH in the central NP are found to be connected with a deeper and eastward extended Aleutian low. For both oceans, no significant trends of SWH are detected for the last century, though significant changes are found in the last four decades. However, multidecadal fluctuations are very noticeable, especially in the North Pacific.
Article
Extreme, or "rogue," waves are those in the tail of the probability distribution and are a matter of great concern and considerable research. They may be partly associated with non-Gaussian behavior caused by resonant nonlinear interactions. Here it is shown that even in a Gaussian sea, "unexpected" waves, in the sense of, for example, waves twice as large as any in the preceding 30 periods, occur with sufficient frequency to be of interest and importance. The return period of unexpected waves is quantified as a function of the height multiplier and prior quiescent interval for various spectral shapes, and it is shown how the return period is modified if allowance is made for nonlinear changes in wave shape and/or a buildup of one or more waves prior to the unexpected wave. The return period of "two-sided" unexpected waves, with subsequent as well as prior quiescence, is also evaluated.
Article
A wind wave forecasting model is described, based upon the ray technique, which is specifically designed for shallow water areas. The model explicitly includes wave generation, refraction, and shoaling, while nonlinear dissipative processes (breaking and bottom fricton) are introduced through a suitable parametrization. The forecast is provided at a specified time and target position, in terms of a directional spectrum, from which the one-dimensional spectrum and the significant wave height are derived. The model has been used to hindcast storms both in shallow water (Northern Adriatic Sea) and in deep water conditions (Tyrrhenian Sea). The results have been compared with local measurements, and the rms error for the significant wave height is between 10 and 20%. A major problems has been found in the correct evaluation of the wind field.
Article
Wave setup can contribute significantly to elevated water levels during severe storms. In Florida we have found that wave setup can be 30% to 60% of the total 100-year storm surge. In areas with relatively narrow continental shelves, such as many locations along the Pacific Coast of the United States, wave setup can be an even larger proportionate contributor of anomalous water levels during major storms. Wave setup can be considered as comprising two components, with the first being the well-known static wave setup resulting from the transfer of breaking wave momentum to the water column. The second, oscillating component, is a result of nonlinear transfer of energy and momentum from the primary (linear) spectrum to waves with length and time scales on the order of the wave groups.