Available via license: CC BY-NC 4.0
Content may be subject to copyright.
Pendahuluan
Feminisme selalu mempertanyakan penindasan
dan ketidakadilan yang menyebabkan perempuan
mengalami perlakuan yang diskriminatif,
pelecehan, perendahan dan marginalisasi dalam
hampir semua sistem dan struktur masyarakat.
Teologi feminis tidak dapat dengan gampang
dan sederhana dirumuskan sebagai teologi oleh
perempuan dan tentang perempuan semata.
Teologi feminis bukanlah tentang perempuan
itu sendiri (ego-logy), melainkan tentang Allah.
Ketika perempuan berteologi, maka teologinya
berdasarkan fakta dan pengalaman di bawah
terang Firman Tuhan serta tindakan nyata menuju
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Oleh
karena itu advokasi bagi kesederajatan dan
persahabatan serta upaya menuju suatu cara hidup
baru yang sederajat dalam struktur dan sistem
gereja dan masyarakat merupakan agenda dari
perjuangan teolog feminis. Termasuk di dalamnya
adalah pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan
terhadap simbol-simbol agama, relasi perempuan
dan laki-laki yang androsentris, serta relasi
antar manusia yang bias seks dan menyatakan
visi yang otentik dari penebusan sebagai suatu
bentuk pembebasan dari seksisme yang ternyata
berdampak tidak adil bagi perempuan.
Kesadaran seperti ini memang mestinya
berangkat dari interpretasi dan eksplorasi
terhadap Alkitab untuk mencari visi dan makna
pembebasan yang dimaksud. Dengan demikian
teologi feminis adalah teologi yang didorong
untuk melakukan advokasi terhadap kesederajatan
(equality) dan kemitraan (partnership) yang di
dalamnya perempuan dan laki-laki mengupayakan
transformasi dan pembebasan harkat dan
martabat manusia yang masih tertindas dalam
kehidupan gereja dan masyarakat luas.1 Artikel
ini mencoba menggambarkan teologi feminis
menurut perspektif Kristen Protestan yang melihat
bahwa masalah ketidakadilan dan kekerasan
adalah masalah teologi yang dikategorikan sebagai
pelanggaran iman. Sehingga perlu adanya upaya
1 John Titaley, Teologi Feminis dan Sumbangannya bagi
Pendidikan Teologi dan Gereja di Indonesia, dalam Bendalina
Soik dan Stephen Suleeman, Bentangkanlah Sayapmu, (Jakarta :
Persetia,1999), 9-10
FEMINISME DARI PERSPEKTIF PROTESTAN
Vic. Dianita Aprissa L. Taranau, M.Si,
Dosen STT GKS dan sekretaris Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi (Peruati) cabang Sumba.
Abstrak
Artikel ini mencoba menggambarkan teologi feminis menurut perspektif Kristen Protestan yang melihat bahwa
masalah ketidakadilan dan kekerasan adalah masalah teologi yang dikategorikan sebagai pelanggaran iman.
Sehingga perlu adanya upaya untuk mereinterpretasi Alkitab dan membacanya dengan mata baru agar dapat
menemukan wajah Yesus yang dalam pelayananNya. Berdasarkan penelitian didapatkan Kalangan Protestan
memahami segala bentuk kekerasan fisik maupun nonfisik, makro maupun mikro, bukan lagi sekedar bentuk
pelanggaran HAM tetapi juga sebagai pelanggaran iman. Namun, Gereja pun dapat menjadi lembaga yang
paling diskriminatif terhadap perempuan.
Kata Kunci: Feminisme, Perempuan, Protestan, Alkitab
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014
112
untuk mereinterpretasi Alkitab dan membacanya
dengan mata baru agar dapat menemukan wajah
Yesus yang dalam pelayananNya mengangkat
prinsip kesetaraan dan berpihak kepada
perempuan dan kaum termarjinalkan.
Feminisme Dari Perspektif Protestan
Selama berabad-abad, gereja mengembangkan
teologinya sejalan dengan pola pikir patriarkal yang
membahayakan perempuan karena menyangkal
martabat perempuan sebagai ciptaan Allah yang
diciptakan menurut citra Allah, sebagaimana
laki-laki. Margaretha2 dengan tegas mengatakan
bahwa ini adalah teologi kekerasan karena
mendorong pelanggaran hak-hak perempuan dan
secara spiritual membunuh kaum perempuan.
Teologi kekerasan juga mengubur potensi,
talenta dan kreativitas perempuan melalui peran-
peran streotipe domestik sehingga perempuan
kehilangan kebebasannya untuk hidup sebagai
citra Allah sebagaimana dimaksudkan oleh Allah
(Kej 1:26-28). Teologi ini justru menempatkan
perempuan sebagai makhluk subordinat dan
karenanya hak-haknya bisa dilanggar. Di sisi
lain teologi ini menempatkan laki-laki sebagai
spesies manusia yang beruntung karena Allah
menciptakan mereka sebagai manusia utuh dan
menganugerahi mereka keistimewaan termasuk
dominasi terhadap perempuan.
Teologi kekerasan tidak hanya mendistorsi
hakikat laki-laki dan perempuan selaku manusia
tetapi juga Allah. Sebab melalui gambaran konsep
kemanusiaan yang sudah terdistorsi ini, Allah
juga digambarkan tidak adil dan tidak mengasihi
kaum perempuan, dan pada gilirannya mereka
dimarjinalkan dalam masyarakat. Oleh karena
itu diskursus teologi dan konsep Alkitabiah
yang mendehumanisasi perempuan perlu untuk
direkonstruksikan karena tidak menyampaikan
Kabar Baik dari Allah pengasih yang menciptakan
laki-laki dan perempuan secara setara dan
memperlakukan mereka dengan penuh kasih.3
2 Margaretha Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian
(Jakarta : Yakoma-PGI, Persetia, M21, 2009 ), 15-16
3 Margaretha Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan
Perdamaian., 16
Dari sudut pandang agama Kristen Protestan,
gereja sebagai persekutuan yang percaya kepada
Allah di dalam Yesus Kristus harus menjadi
pembela keadilan, karena keadilan adalah
kehendak Allah bagi dunia. Para nabi Perjanjian
Lama maupun para penulis kitab-kitab Injil dan
surat-surat dalam Perjanjian Baru, menekankan
dengan sungguh aspek ini. Para nabi, Yesus dan
para rasul lainnya melihat keadilan sebagai salah
satu pokok penting bagi seluruh pemberitaan
mereka. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian
Baru malah menghubungkan secara erat antara
masalah keadilan dengan masalah ibadah kepada
Allah. Tidak ada ibadah yang sejati kepada
Allah apabila tidak disertai dengan upaya-upaya
memberlakukan keadilan dan kebenaran dalam
masyarakat. Nabi Yesaya dan Amos, malah
mengatakan bahwa Allah tidak tahan mendengar
bunyi lagu-lagu rohani yang dinyanyikan di Bait
Suci dan tidak tahan memandang segala bentuk
persembahan yang dibawa, kecuali kalau keadilan
dalam masyarakat dibiarkan bergulung-gulung
seperti air dan kebenaran seperti sungai yang
mengalir (Amos 5:21-24), atau apabila nasib para
janda dan yatim piatu yang miskin diperhatikan
(Yesaya 1:10-20). Yesus pun mengidentikan
dirinya dengan para miskin yang menderita dan
mengatakan “Apapun yang kamu lakukan terhadap
salah satu saudaramu yang hina itu maka kamu telah
melakukannya terhadap Aku” (Matius 25:31-46).4
Dalam kaitannya dengan itu, kalangan
Protestan memahami segala bentuk kekerasan
fisik maupun nonfisik, makro maupun mikro,
bukan lagi sekedar bentuk pelanggaran HAM
tetapi juga sebagai pelanggaran iman.5 Kekerasan
merupakan masalah teologi bahkan dikategorikan
sebagai dosa terhadap Allah sendiri. Walaupun
demikian, dalam kenyataannya korban kekerasan
di kalangan perempuan terus berjatuhan, dan
sepertinya lembaga-lembaga agama termasuk gereja
Protestan tidak mampu berbuat banyak untuk
mencegahnya, atau sekurang-kurangnya memberi
keadilan kepada para perempuan korban apa yang
4 Margaretha Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian,
51-52
5 Margaretha Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian,
53
Vic. Dianita Aprissa L. Taranau, M.Si: Feminisme dari Perspektif Protestan
113
menjadi haknya. Berbagai kasus kekerasan dalam
rumah tangga terus terjadi, begitu juga kasus-
kasus pelecehan seksual di tempat kerja maupun
di tempat umum, kasus-kasus perceraian yang
dilakukan secara sepihak tanpa persetujuan istri,
penganiyaan terhadap tenaga kerja perempuan
dan lain-lain yang terus berlangsung, merupakan
bukti tentang banyaknya kasus kekerasan terhadap
perempuan. Demikian juga kasus-kasus kekerasan
struktural yang membuat perempuan menjadi
korban paling menderita seperti kemiskinan dan
seterusnya, belum tertangani dengan baik, malah
justru semakin meningkat. Lebih menyedihkan
lagi, bahwa kaum perempuan korban kekerasan
seringkali tidak memperoleh keadilan yang
menjadi haknya. Sebaliknya, justru semakin
dikorbankan termasuk oleh lembaga-lembaga
agama yang seharusnya memperjuangkan keadilan
bagi mereka.
Bahkan gereja yang seharusnya menjadi
tempat bagi perempuan dalam memperjuangkan
keadilan dan kesetaraan, malah dapat menjadi
lembaga yang paling diskriminatif terhadap
perempuan. Senada dengan itu Marianne
mengatakan bahwa gereja seringkali tidak sadar
bahwa perempuan juga adalah gambar Allah,
Imago Dei. Gereja sering kali terkungkung dalam
pemikiran bahwa perempuan diciptakan hanya
untuk menjadi “penolong” laki-laki, sebagai
implikasi dari kata “ezer” (penolong yang sepadan).
6 Padahal kata yang sama dalam bahasa Ibrani ini
dalam Perjanjian Lama dilekatkan kepada Allah
sebagai “penolong” bangsa Israel (Mazmur 121).
Ayat ini ditafsirkan secara negatif yang menunjuk
kepada inferioritas dan subordinasi terhadap
perempuan, padahal jika ditafsirkan secara
berbeda yang dapat mengangkat superioritas
perempuan dan kesetaraan.
Ketidaksetaraan adalah penyebab utama
bagi penghapusan segala bentuk diskriminasi,
penindasan dan kekerasan khususnya kekerasan
terhadap perempuan, yang pada gilirannya dapat
memicu kekerasan-kekerasan yang lain. Karena itu,
menentang kekerasan pertama-tama dan terutama
6 Marianne Katoppo, Compassionate and Free : An Asian
Woman’s Theologi (Geneva : WWC Publication, 1979), 15
membutuhkan upaya membangun suatu budaya
baru, budaya nirkekerasan dan perdamaian yang
menyokong hidup melalui promosi kesetaraan dan
keadilan bagi semua orang. 7
Sosok Yesus Dan Perempuan Menurut
Feminsisme Perpektif Kristen
Alkitab sebagai salah satu sumber iman (sola
scriptura) agama Kristen Protestan, juga melukiskan
prinsip kesetaraan yang tampak dalam kehidupan
Yesus bersama komunitasNya dan dalam komunitas
Kristen awal. Yesus adalah seorang Yahudi namun
tidak terdistorsi dalam budaya Yahudi yang bias
gender melainkan menunjukkan wajahNya yang
penuh kasih dan bela rasa terhadap mereka yang
tertindas secara khusus terhadap perempuan.
Marghareta8 menggambarkan bahwa kaum
perempuan menemukan Yesus sebagai wajah
seorang sahabat, yang selalu memihak kepada
mereka, khususnya yang dimarjinalkan (Yohanes
8:1 dst tentang Perempuan yang Berzinah). Yesus
digambarkan sebagai seorang yang sangat peduli
terhadap perempuan sehingga Dia membahas isu-
isu teologi dengan mereka (Yohanes 8:1 dst tentang
Perempuan Samaria; Lukas 10:38 dst, tentang
Maria dan Marta), Yesus juga dilukiskan sebagai
seorang yang sangat terbuka terhadap perempuan
dan menerima kritik mereka dan dibarui oleh
kritik itu (Markus 7:24). Di mata Yesus, kaum
perempuan bukanlah obyek, sebagaimana mereka
diperlakukan dalam budaya Yahudi, melainkan
subyek. Sebagai seorang rabbi Yahudi, Yesus
sadar benar tentang hal-hal yang dipraktikkan
oleh laki-laki Yahudi saat bersyukur kepada
Allah, bahwa mereka tidak diciptakan sebagai
budak-budak, bukan Yahudi atau perempuan.
Tetapi Yesus memilih mengabaikan sikap-sikap
Yahudi tradisional itu dan memperlakukan kaum
perempuan dengan bela rasa dan pengampunan
penuh.
Marianne menunjukkan pula bahwa
sebenarnya perempuan adalah pribadi yang bebas
7 Margaretha Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan
Perdamaian., 103
8 Margaretha Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian,
16-25
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014
114
dan bukanlah obyek semata. Hal ini dikemukakan
oleh Marianne dengan mengangkat sosok Maria
yang adalah seorang perawan ketika sedang
mengandung Yesus dan belum dijamah oleh
Yusuf sebagai tunangannya (Injil Lukas pasal 1).
Maria yang adalah seorang perawan ketika sedang
mengandung Yesus menunjukkan bahwa Maria
adalah pribadi yang merdeka dan tidak menjadi
subyek dari manusia lain.9 Maria juga adalah
pribadi yang bebas bertindak dan mengambil
keputusan. Dalam konteks dimana perempuan
tidak dihargai, danggap bukan siapa-siapa dan
tidak memiliki kekuatan di dalam segala aspek
kehidupan, Maria mampu menampilkan diri
sebagai pribadi bebas yang terlepas dari belenggu
patriarki dan norma-norma lazim yang berlaku di
masyarakat. Ketika Maria menerima kehendak
Allah untuk mengandung dan melahirkan Yesus
dalam kondisi perawan, yaitu sebelum ia resmi
menjadi istri Yusuf, itu adalah keberanian untuk
bertindak dan mengambil keputusan secara
bebas. Saat menerima tanggung jawab untuk
mengandung tangggung jawab dengan segala
konsekuensinya, Maria tidak bertanya kepada
ayahnya atau kepada Yusuf, yang pada saat itu telah
menjadi suaminya, walaupun pada saat itu mereka
masih berada pada tahap pertama perkawinan
tradisi Yahudi. Maria menunjukkan kondisi
beriman yang melayani dan mentaati kehendak
Allah dalam kebebasan dan keberanian. Maria
adalah pribadi yang bebas dan tegas. Ketegasan
Maria menyebut dirinya sebagai hamba Tuhan
adalah keberanian untuk menyatakan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Maria secara tegas
menyetarakan dirinya dengan para hamba Tuhan
yang didominasi laki-laki.10 Maria sebenarnya
bukanlah siapa-siapa. Maria hanyalah bagian dari
kaum yang termarjinalkan dan tidak memiliki
apa-apa untuk dibanggakan atau sekedar dihargai
dalam konteks itu, namun keberaniannya mampu
membawa inspirasi bagi perempuan masa kini
bahwa perempuan adalah setara dengan laki-laki.
9 . Marianne Katoppo, Compassionate and Free, 21
10 Fretty Udang, Maria, dalam Asnath Natar, Ketika
Perempuan Berteologi : Berteologi Feminis Kontekstual, (Yogyakarta :
Tamana Pustaka Kristen, 2012), 52
Sejalan dengan itu Elizabeth Fiorenza,11
memaparkan bahwa sejarah perempuan dalam
gerakan Yesus dan gerakan misi Kristen awal
adalah sejarah kemuridan yang setara. Yesus dan
gerakannya adalah bagian terpadu dari Yudaisme.
Yesus adalah seorang Yahudi, begitu juga para
pengikutnya yang pertama dalam gerakan Yesus
dan dalam gerakan misioner Kristen adalah juga
perempuan dan laki-laki Yahudi. Oleh karena
itu, Fiorenza berpendapat bahwa teologi feminis
Kristen dapat menerima kembali awal mula
kemuridan yang sederajat dari kekristenan purba
hanya dan apabila ia memahami dan menjelaskan
bahwa akar-akar kekristenan adalah Yahudi dan
bahwa kisah dasar feminis Kristen adalah juga
kisah tentang perempuan Yahudi dan visi mereka.
Dengan demikian untuk melihat mengapa
perempuan-perempuan Yahudi memasuki visi dan
gerakan Yesus, maka tidak hanya menganalisis
dan mengidentifikasi struktur-struktur patriarkal
Yunani-Romawi, tetapi juga perlu mengkaji
struktur-struktur patriarkal Yudaisme. Berkaitan
dengan itu, Fiorenza melihat bahwa praksis
dan visi Yesus dan gerakanNya paling tepat
dipahami sebagai suatu gerakan pembaharuan
alternatif Yahudi terhadap struktur-struktur
patriarkal yang dominan ketimbang sebagai
suatu gerakan oposisi terhadap nilai dan praksis
Yudaisme. Untuk memperoleh informasi
mengenai status dan peranan perempuan dalam
kehidupan yang sesungguhnya, Fiorenza berusaha
merekonstruksikan pengalaman historis kaum
perempuan Yahudi pada awal keKristenan yang
tersedia dalam teks-teks dan sumber-sumber
historis laki-laki Yahudi dan Kristen melalui
hermeunetika kecurigaan feminis.12
Pertama, diantara rekonstruksi tersebut,
Fiorenza melihat visi dan dan pemberitaan Yesus
tentang basileia (kerajaan) Allah sebagai praksis
keutuhan yang inklusif. Bagi Yesus basileia Allah
sudah ada (Matius 3:10), dimana keselamatan
11 Elisabeth Schüssler Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan
Itu, (Jakarta : BPK-GM, 1995), 135-312.
12 Ruth Ketzia Wangkai, Menemukan Visi Baru Spiritualitas
Orang Minahasa, dalam Asnath Natar, Perempuan Indonesia
Berteologi Feminis dalam Konteks, (Jogjakarta : Pusat Studi Feminis
UKDW, 2004), 102-110.
Vic. Dianita Aprissa L. Taranau, M.Si: Feminisme dari Perspektif Protestan
115
dan keutuhan eskatologis Israel sebagai umat
pilihan Allah sudah tersedia dan dapat dialami
kini, dan bukan nanti. Dalam visi inilah Yesus
memperlihatkan kekhasan gerakannya yang
menekankan perayaan dan pesta bersama. Karena
itu yang menjadi pusat perhatian Yesus adalah
orang banyak sebagai locus kehadiran Allah, dan
bukan pada kesucian Bait Allah dan Taurat.
Realitas basileia bagi Yesus bukan terutama
kekudusan melainkan keutuhan dan keselamatan
yang dialami oleh semua orang tanpa kecuali.
Semua orang diundang : perempuan dan laki-laki,
pelacur, orang berdosa, dan orang Farisi dalam
Perjamuan Besar (bdk. Matius 22:1-14). Pendeknya,
basileia Allah hadir dan tersedia untuk dialami
setiap kali Yesus mengusir setan, menyembuhkan
orang sakit, mengisahkan orang-orang terhilang
dan ditemukan kembali, orang-orang yang tidak
diundang dan kini diundang, orang yang terakhir
akan menjadi yang pertama. Begitu pula kuasa
basileia Allah itu diwujudkan dalam persekutuan
meja Yesus dengan orang-orang miskin, orang-
orang berdosa, para pemungut cukai, pelacur,
orang-orang sakit, dan semua orang yang tidak
tergolong pada bangsa yang kudus.
Kedua, Fiorenza memaparkan kemuridan
yang setara dalam gerakan Yesus terungkap dalam
penggambaran Yesus mengenai Allah-Sofia13. Allah-
Sofia ini dialami dalam praksis dan pelayanan
Yesus sebagai Allah yang penuh rahmat bagi semua
orang. Ia memanggil semua orang Israel, dan
khususnya mereka yang miskin, lumpuh, terbuang,
berdosa, pelacur, asalkan terlibat dalam perspektif
dan kuasa basileia. Jadi, bukan orang-orang benar
dan saleh dari Israel, melainkan mereka yang
cacat dan pecundang secara sosial. Realitas Allah-
Sofia ini diungkapkan pula melalui perempuan-
perempuan Galilea yang menjadi murid-murid
Yesus. Kaum perempuan Galilea ini tidak hanya
menentukan bagi perluasan gerakan Yesus kepada
orang-orang Yahudi, tetapi juga bagi kelanjutan
gerakan itu sendiri setelah Yesus ditangkap dan
dihukum mati. Allah-Sofia dari Yesus inilah yang
tidak hanya memungkinkan kaum perempuan
13 Tradisi-tradisi Yesus yang paling tua memahami Allah dari
kebaikan yang penuh rahmat ini dalam Gestalt seorang perempuan
sebagai Sofia (hikmat) yang ilahi.
menjadi pemimpin, tetapi juga memampukan
gerakan Yesus menjadi kemuridan yang sederajat.
Ketiga, Fiorenza memaparkan tentang
gerakan Yesus sebagai gerakan pembebasan
struktur-struktur patriarkal melalui praksis
kemuridan yang inklusif. Yesus tidak hanya
membebaskan kaum perempuan dan laki-laki
dari penderitaan dan penyakit, tetapi membiarkan
dirinya disentuh oleh orang-orang sakit dan
berdosa. Kenyataan ini menunjukan betapa
kemuridan Yesus dan praksis gerakan Yesus
yang inklusif itu menerobos ke dalam etos
keagamaan patriarkal yang dominan. Dengan
demikian gerakan Yesus membebaskan mereka
yang didehumanisasikan oleh struktur-struktur
androsentrik-patriarkal.
Bertolak dari pembahasan di atas mengenai
kemuridan yang setara, Fiorenza menyimpulkan
bahwa peranan perempuan tidaklah sepele atau
hanya dipinggirkan, tetapi di tengah-tengah,
dan karena itulah sangat penting bagi praksis
“solidaritas dari bawah”, sebab sebagai sebuah
visi feminis, visi basileia Yesus memanggil semua
orang perempuan tak terkecuali agar kembali utuh
dan menemukan diri mereka yang sejati, serta
bersikap solider dengan perempuan-perempuan
yang miskin, mereka yang cacat, dan kaum
terbuang dari masyarakat gereja kita. Yesus,
manusia yang mengidentifikasikan diri dengan
kaum perempuan, menyerukan sebuah kemuridan
yang sederajat yang masih perlu ditemukan dan
diwujudkan oleh kaum perempuan dan laki-laki
masa kini.
Selanjutnya, kemuridan yang setara itu
tampak pula dalam di dalam gerakan misi Kristen
awal yang memungkinkan partisipasi penuh dan
kepemimpinan perempuan di dalamnya dalam
sebuah model misionari keliling dan jemaat-jemaat
rumah sebagai pusat misi Kristen awal. Praktek
mitra-mitra dalam gerakan Yesus tampaknya
diikuti oleh gerakan misi Kristen pula. Surat-surat
Paulus menyebutkan kaum perempuan sebagai
rekan-rekan sekerja Paulus dan bukan sebagai
“pembantu” atau “penolong”. Sastra Paulus
dan Kisah Para Rasul mengukuhkan pengakuan
bagi kaum perempuan sebagai misionaris dan
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014
116
pemimpin yang terkemuka dalam gerakan Kristen
awal, dan sebaliknya menolak struktur-struktur
komunitas ala Yunani-Romawi yang dibangun
menurut keluarga patriarkal atau patriarkalisme
kasih yang kemudian digunakan oleh gereja dalam
membangun struktur masyarakatnya.
Perlunya Membaca Alkitab dengan Mata
Baru
Dalam upaya mencari sosok Yesus yang penuh
kasih serta mendukung prinsip kesetaraan dalam
Alkitab, maka teks-teks dalam Alkitab sebagai
salah satu sumber iman kalangan Protestan perlu
dibaca dengan mata ‘baru’. Alkitab yang menjadi
salah satu sumber iman khusunya bag kalangan
Protestantisme seharusnya menjadi sumber
pembebasan bagi perempuan, akan tetapi tidak
dipungkiri bahwa Alkitab yang ditulis dan atau
dikumpulkan oleh subjek tertentu pada konteks
tertentu dipengaruhi oleh budaya patriarki.
Budaya patriarki ini adalah konteks sosial dalam
penulisan kitab Perjanjian Lama dan Baru yang
turut mempengaruhi ideologi agama dalam
berbagai level. 14 Sejarah kekristenan selama 2
milenium menggambarkan bagaimana Alkitab
sebagai salah satu pertumbuhan iman tersebut
ternyata digunakan oleh penguasa/pejabat gereja/
laki-laki untuk melakukan dominasi, penindasan
dan penguasaan.
Dalam proses selanjutnya gereja-gereja
Protestan di dunia melalui Dewan Gereja-gereja
Dunia (DGD) memberi perhatian besar pada
situasi dan kondisi perempuan yang mengalami
penindasan berlapis (kelas, seks, ras, dsb)
menetapkan Dekade Oikumenis Gereja-gereja
dalam Solidaritas Dengan Perempuan tahun 1988-
1989 lalu selanjutnya Dekade Oikumenis Gereja-
gereja Mengatasi Kekerasan. Dua dekade tersebut
yang diikuti oleh Gereja-gereja di Indonesia (PGI),
seharusnya dapat merubah status dan kondisi
perempuan di dalam gereja yang kemudian meluas
ke dalam masyarakat, namun kenyataannya masih
terdapat diskriminasi atas dasar jenis kelamin
sehingga kehidupan berkeluarga, bermasyarakat
14 Rosemary R. Ruether, Sexism and God Talk: Toward a
Feminist Theology, (Boston:Beacon Press, 1983), 22
dan berbangsa belum mencerminkan kesetaraan
dan keadilan gender. Ideologi patriarki masih
sangat kuat tertanam, terpelihara dan tersosialisasi
lintas generasi, serta mewujud dalam perilaku
personal maupun publik.
Dengan demikian perlu untuk me-
reinterpretasi teks-teks Alkitab yang selama ini
disoroti dari sudut pandang laki-laki semata, yakni
membaca Alkitab dengan mata baru sebagai salah
satu tafsir feminis yang mencoba membaca Alkitab
dari perspektif korban. Ketika terjadi kekerasan
dalam rumah tangga atau adanya budaya bias
gender yang mengakibatkan perempuan menjadi
korban, seringkali ayat-ayat Alkitab ditafsir secara
keliru bahkan dipakai untuk melanggengkan
kekerasan.
Kita pun dipanggil untuk merekonstruksi
konsep-konsep Alkitab dari perspektif perempuan
yang dapat memupuk kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan dan persaudaraan dengan sesama
manusia. Berteologi dari perspektif perempuan
dapat menolong kita merekonstruksi paradigma
hubungan tak setara dan mengasingkan yang
telah digunakan berabad-abad menjadi hubungan
– hubungan yang adil dan setara. Pada dasarnya
inilah esensi kekristenan sebagaimana dikatakan
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia
“dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau Yunani,
tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-
laki atau perempuan, karena kamu semua adalah
satu di dalam Kristus Yesus. ”( Gal 3:28).15 Dengan
kata lain teologi Kristen harus mengukuhkan
Kabar Baik dari perbuatan Allah dalam dunia
agar tatanan dunia lama yang menindas dapat
ditransformasikan ke arah tataran yang adil dan
berlandaskan kasih.
Simpulan
Kalangan Protestan memahami segala bentuk
kekerasan fisik maupun nonfisik, makro maupun
mikro, bukan lagi sekedar bentuk pelanggaran
HAM tetapi juga sebagai pelanggaran iman.
Kekerasan merupakan masalah teologi bahkan
dikategorikan sebagai dosa terhadap Allah sendiri.
15 Margaretha Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan
Perdamaian., 17
Vic. Dianita Aprissa L. Taranau, M.Si: Feminisme dari Perspektif Protestan
117
Namun demikian kekerasan dan ketidakadilan
masih terus berlanjut baik di ruang privat maupun
di ruang publik. Gereja pun dapat menjadi
lembaga yang paling diskriminatif terhadap
perempuan, karena selama berabad-abad gereja
mengembangkan teologinya sejalan dengan pola
pikir patriarkal yang membahayakan perempuan
karena menyangkal martabat perempuan sebagai
ciptaan Allah yang diciptakan menurut citra Allah,
sebagaimana laki-laki. Hal ini disebut sebagai teologi
kekerasan karena mendorong pelanggaran hak-
hak perempuan dan secara spiritual membunuh
perempuan. Teologi kekerasan menyebabkan
terkikisnya talenta dan kreativitas perempuan
melalui peran-peran streotipe domestik sehingga
perempuan kehilangan kebebasannya untuk hidup
sebagai citra Allah sebagaimana dimaksudkan
oleh Allah. Teologi kekerasan menempatkan
perempuan sebagai maklhuk subordinat dan
karenanya hak mereka bisa dilanggar. Itulah alasan
pokok mengapa segala bentuk diskursus teologi
dan konsep Alkitabiah yang mendehumanisasi
perempuan perlu di reinterpretasi karena tidak
menyampaikan Kabar Baik dari Allah Pengasih
yang menciptakan perempuan dan laki-laki secara
setara dan memperlakukan mereka dengan penuh
kasih.
Kita pun dipanggil untuk membaca Alkitab
dengan mata baru yakni membaca Alkitab dari
perspektif korban serta berteologi dari perspektif
perempuan sehingga kita dapat menemukan wajah
Yesus yang penuh kasih terhadap perempuan dan
kaum termarjinalkan. Dengan membaca Alkitab
dengan mata baru kita dapat melihat sosok-sosok
perempuan Yahudi sebagai perempuan yang
bebas dan tidak menjadi subyek dari maklhuk
lain. Peranan perempuan tidaklah sepele atau
hanya dipinggirkan, tetapi di tengah-tengah,
dan karena itulah sangat penting bagi praksis
“solidaritas dari bawah”, sebab sebagai sebuah visi
feminis, visi basileia (kerajaan) Yesus memanggil
semua orang perempuan tak terkecuali agar
kembali utuh dan menemukan diri mereka yang
sejati, serta bersikap solider dengan perempuan-
perempuan yang miskin, mereka yang cacat, dan
kaum terbuang dari masyarakat gereja kita. Yesus,
manusia yang mengidentifikasikan diri dengan
kaum perempuan, menyerukan sebuah kemuridan
yang sederajat yang masih perlu ditemukan dan
diwujudkan oleh kaum perempuan dan laki-laki
masa kini.
Daftar Pustaka
Fiorenza, Elisabeth S. Untuk Mengenang Perempuan
Itu. Jakarta : BPK-GM, 1995.
Katoppo, Marianne. Compassionate and Free :
An Asian Woman’s Theologi. Geneva : WWC
Publication, 1979.
Ririmase, Margaretha. Perempuan, Kekerasan dan
Perdamaian. Jakarta : Yakoma-PGI, Persetia,
M21, 2009.
Ruether, Rosemary R. Sexism and God Talk: Toward
a Feminist Theology. Boston:Beacon Press, 1983.
Titaley, John. Teologi Feminis dan Sumbangannya
bagi Pendidikan Teologi dan Gereja di
Indonesia, dalam Bendalina Soik dan Stephen
Suleeman, Bentangkanlah Sayapmu. Jakarta :
Persetia,1999.
Udang, Fretty. Maria, dalam Asnath Natar,
Ketika Perempuan Berteologi : Berteologi Feminis
Kontekstual. Yogyakarta : Tamana Pustaka
Kristen, 2012.
Wangkai, Ruth Ketzia. Menemukan Visi Baru
Spiritualitas Orang Minahasa, dalam Asnath
Natar, Perempuan Indonesia Berteologi Feminis
dalam Konteks. Jogjakarta : Pusat Studi Feminis
UKDW, 2004.