Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
Website: journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw
ISSN 2502-3489 (online) ISSN 2527-3213 (print)
KONSEP DAN PENERAPAN TAKWIL MUHAMMAD QURAISH
SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISHBAH
Dedi Junaedi
STKIP Siliwangi Bandung
Jln. Terusan Jendral Sudirman, Cimahi 40526, Indonesia
E-mail: dedijunaedi585@gmail.com
_________________________
Abstract
The problem of
ta’wi>l
in Qur‘anic studies is regarded as one of the controversial issues. It requires a holistic study
on
ta’wi>l
. Some scholars still criticized the takwil as a method of understanding of the Qur‘an. Some qur‘anic
commentators who did not give their commentaries will say
Alla>hu a’lamu bi mura>dihi
(It is only God who knows
the meaning). However, another commentator did not agree with them. They then use
ta’wi>l
. One of qur‘anic
scholars who used
ta’wi>l
is Muhammad Quraish Shihab. He is an Indonesian qur‘anic commentator. One of his
works is ‗Tafsir al-Mishbah‟. It can be called as a remarkable work of tafsir. He used the different method of
qur‘anic interpretation. He has a deep linguistic approach and comprehensive understanding. He also uses an
approach of
tafsi>r bi al-ra’yi
that also used the traditional source as well.
Keywords:
Al-Mishbah; Muhammad Quraish Shihab;
ta’wi>l
.
__________________________
Abstrak
Permasalahan takwil dalam metode penafsiran Alquran masih dianggap kontroversial. Terlihat misalnya, dari sikap
sebagian ulama yang masih mempermasalahkan metode takwil sebagai metode memahami Alquran. Karenanya,
sebagian ahli tafsir cenderung tidak membahas masalah takwil ini ketika memahami Alquran. Ketika membahas
ayat yang membutuhkan takwil mereka pun cukup mengucapkan
Alla>hu a’lamu bi mura>dihi
(hanya Allah yang
lebih mengetahui artinya). Namun, sebagian ahli tafsir lain tidak setuju dengan pandangan tersebut dan berani
menggunakan takwil. Salah satunya adalah ahli tafsir kontemporer Indonesia, Muhammad Quraish Shihab. Salah
satu karyanya, ‗Tafsir al-Mishbah‟, bisa disebut sebagai tafsir yang berusaha menempatkan Alquran sebagai
petunjuk utama yang ditujukan pada masyarakat Muslim Indonesia saat ini. Melalui karya tafsirnya, Shihab
menggunakan berbagai prinsip dan metode untuk mencapai pemahaman yang tepat dan sesuai dengan teks Alquran.
Melalui metode tahlili (analitis) yang mendalam, Shihab menunjukkan sebuah cara memahami Alquran yang
dilandasi oleh dasar-dasar keilmuan yang matang dan mumpuni. Ia lebih banyak menggunakan pendekatan
al-ra’yu
(ijtihad) tanpa mengesampingkan sumber
naqli>
(riwayat) dan pendapat ulama dahulu.
Kata Kunci:
Al-Mishbah; Muhammad Quraish Shihab; takwil.
__________________________
DOI: 10.15575/jw.v2i2.1645
Received: October 2017; Accepted: December 2017; Published: December 2017
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
224
A. PENDAHULUAN
Di kalangan umat Islam masih terdapat ke-
salahpahaman dalam memahami Alquran. Ini
boleh jadi terkait dengan karakter bahasa
Alquran yang multi-interpretatif atau berpelu-
ang untuk ditafsirkan secara beragam.
1
Karak-
ter ini sering kali menimbulkan kesalahpaham-
an dalam mengartikan sebuah konsep dalam
Alquran. Sehingga bisa menjerumuskan pada
sikap saling menyalahkan dan memandang
bahwa dirinya paling benar.
2
Salah satu konsep yang sering kali disalah-
pahami oleh kaum Muslim adalah takwil.
Istilah ini salah satunya didefinisikan dengan
mengalihkan maksud ayat ke dalam kandung-
an makna batinnya.
3
Istilah ini masih sangat
rancu dipahami oleh sebagian masyarakat.
Makna takwil dalam teks Alquran dan hadis
sejak lama telah diperdebatkan di kalangan pa-
ra ulama.
4
Pada masa dahulu, tafsir dan takwil
mempunyai makna yang sama. Perubahan
makna pun terjadi seiring dengan perkem-
bangan pendapat di kalangan ahli tafsir.
5
Tetapi pada prinsipnya, dalam tradisi tafsir,
memahami Alquran bisa dilakukan dengan
menggunakan tafsir dan juga dengan takwil
yang benar.
6
1
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‘an, Sinergitas
Internal Umat Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2013), 204.
2
Eni Zulaiha, ―Tafsir Kontemporer: Metodologi,
Paradigma dan Standar Validitasnya,‖ Wawasan: Jurnal
Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, no. 1 (30 Juni
2017), 82, doi:10.15575/jw.v2i1.780. Lihat juga Aunur
Rofiq, Tafsir Resolusi Konflik (Malang: UIN-Malik
Press, 2012), 79.
3
M Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar
Ilmu Al Qur‟an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
180.
4
Hidayatullah, ―Telaah Hadits Metaforis dalam
Shahih Bukhari,‖ dalam Jurnal Antologi Kajian Islam
(Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press,
t.th.), 16.
5
Ahmad M Al-Hushari, Tafsir Ayat-ayat Ahkam
(Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2014), 23.
6
Tafsir Alquran juga mengalami perubahan bentuk
menjadi tertulis. Meski pada awalnya ia terintegrasi
dengan riwayat-riwayat secara umum, namun pada abad
ke-3, tafsir sudah menemukan bentuknya secara
terpisah dengan disiplin ilmu yang lain. Ini ditandai
dengan kelahiran karya besar Ibnu Jari>r al-T{abari>. Lihat
Oleh karena itu, para ulama terdahulu pada
dasarnya tidak mempermasalahkan istilah
takwil. Sebagian ulama ketika memahami ayat
Alquran yang berkaitan dengan ayat-ayat
mutasha>biha>t
memilih tidak mempertanya-
kannya. Mereka cukup menyatakan bahwa
kami beriman dengan ayat itu. Tetapi, seba-
gian ulama tidak merasa puas ketika mema-
hami ayat-ayat
mutasha>biha>t
tersebut. Mereka
mengambil sikap untuk melakukan takwil.
Karenanya, takwil sebagai sebuah metodologi
dalam memahami Alquran diyakini telah mun-
cul sejak masa-masa awal sejarah perkem-
bangan tafsir.
7
Salah satu permasalahan pokok yang
diperselisihkan oleh para ahli tafsir terkait
takwil adalah tentang pemahaman terhadap
QS. Ali Imran/3: 7. Di sini dinyatakan adanya
perbedaan ayat yang "jelas atau pasti" (
muh-
ka>m
) dan yang "bermakna samar atau tidak
pasti" (
mutasha>bih
). Allah berfirman:
Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Alqur-
an) kepadamu. Di antara isinya ada ayat
muhka>m
. Ini merupakan pokok-pokok
Alquran kemudian ada ayat yang lain
Mannā‘ Al-Qaṭṭān,
Mab
āḥ
ith fi>>> 'Ul
ū
m al-Qur'
ā
n
(Riyadh: Da>r al-Ma’ārif li an-Nasyr wa at-Tawzi,
1992), 352.
7
Muh}ammad H{usayn Al-Dhahabi>,
Al-Tafsi>r wa al-
Mufassiru>n
, Juz 2 (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000),
263. Lihat juga Abdurrahman Habil, ―Tafsir-tafsir
Esoteris Tradisional Al-Qur‘an,‖ dalam Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam, ed. oleh Seyyed Hossein
Nasr, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti (Bandung:
Mizan, 2002), 32-33.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
225
(ayat-ayat)
mutasha>biha>t
. Meskipun di da-
lam hatinya ada kecenderungan kepada
jalan penyelewengan, sehingga ada orang
yang menjalankan keyakinan terhadap ayat
yang
mutasha>biha>t
dari pada Alquran untuk
menyebabkan kehancuran serta mencari-
cari jalan untuk menakwilnya, Padahal ti-
dak seorangpun yang dapat memahami
takwil kecuali Allah. Mereka berkata:
"Kami meyakini kepada ayat Alquran yang
mutasha>biha>t
, segala isi dari Rabb kami."
dan tidak ada yang dapat memperoleh
pelajaran darinya kecuali orang yang
berpikir. (QS. Ali Imran/3: 7).
Ayat Alquran tersebut menimbulkan perbe-
daan pemahaman tentang boleh tidaknya tak-
wil atas ayat-ayat
mutasha>biha>t
itu.
8
Sebagian
pendapat menyatakan bahwa semua ayat
mu-
tasha>biha>t
bisa ditakwil seluruhnya, tetapi
sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja
yang boleh ditakwil itu pun bila memenuhi
persyaratan takwil termasuk siapa saja yang
berhak melakukannya. Karena takwil itu se-
suatu yang sulit, maka diperlukan syarat
keahlian tertentu, antara lain pengetahuan
mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman ter-
masuk kaidah bahasa Arab.
Tulisan ini memfokuskan pada masalah
takwil dan penerapannya dalam Tafsir Al-
Mishbah karya Quraish Shihab dan relevansi-
nya dengan kemajuan tafsir Alquran. Kajian
ini penting tidak saja bisa memberikan keje-
lasan dan pemahaman tentang konsep takwil,
tetapi juga bisa memperkaya wacana metodo-
logis dalam kajian Alquran. Shihab termasuk
ulama tafsir kontemporer yang setuju adanya
takwil dengan syarat tetap memerhatikan
kaidah kebahasaan dan tidak hanya mengan-
dalkan akal (ra‟yu). Baginya, takwil akan me-
mudahkan dalam mencerna dan mengamalkan
ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan
zaman sekarang dan akan datang.
9
Penerapan
8
Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan;
Wacana Majas dalam Al-Qur‟an Menurut Mutazilah,
diterjemahkan oleh Abdurrahman dan Hamka Hasan
(Bandung: Mizan, 2003), 209.
9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an
(Bandung: Mizan, 1995), 91.
takwil dalam Tafsir Al-Mishbah tidak lepas
dari upaya Quraish Shihab untuk berusaha
menempatkan Alquran sebagai petunjuk uta-
ma yang ditujukan pada masyarakat Muslim
Indonesia saat ini. Melalui karya tafsirnya,
Shihab menggunakan berbagai prinsip dan
metode takwil untuk mencapai pemahaman
yang tepat dan sesuai dengan teks dan konteks
ayat Alquran. Ia menunjukkan sebuah cara
memahami Alquran yang dilandasi oleh dasar-
dasar keilmuan yang matang dan mumpuni.
Signifikansi kajian tentang takwil tidak
hanya dilihat dari sisi metodologis, tetapi juga
pragmatis. Secara metodologis, kebutuhan
untuk menakwilkan ayat merupakan salah satu
pilihan jalan ketika tidak ada jalan lain yang
bisa digunakan. Takwil dihadirkan untuk
membantu keperluan mufasir dalam menafsir-
kan ayat untuk keluar dari maksud redaksi
ayat ke dalam makna lain secara eksternal.
Hadirnya takwil boleh jadi merupakan salah
satu jalan dalam memenuhi tuntutan akan ada-
nya sebuah metodologi penafsiran yang mam-
pu menghadirkan pemahaman yang relevan
dengan perkembangan zaman.
Dalam penelusuran kajian-kajian terdahulu,
kiranya belum ada sarjana yang secara khusus
meneliti tentang konsep dan penerapan takwil
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah ini.
Sehingga kajian ini diharapkan mendapatkan
posisi yang jelas dalam memberikan kontri-
busi ilmiah tentang masalah tersebut. Bebera-
pa tulisan tentang pemikiran Quraish Shihab
memang sudah banyak dilakukan terutama di
sejumlah jurnal ilmiah. Di antaranya: ―Corak
Pemikiran Muhammad Quraish Shihab dalam
Tafsir Al-Mishbah‖ karya Atik Wartini yang
cenderung memfokuskan pada pembahasan
tentang corak penafsiran Quraish Shihab;
10
―Dimensi Sufistik dalam Pemikiran M.
Quraish Shihab: Telaah tentang Konsep Zu-
hud dan Tawakal dalam Tafsir Al-Mishbah‖
yang disusun oleh Syukri. Tulisan tersebut
menjelaskan pandangan Quraish Shihab ten-
10
Atik Wartini, ―Corak Pemikiran M. Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Misbah,‖ Hunafa: Jurnal
Studia Islamika 11, no. 1 (19 Juni 2014), 109,
doi:10.24239/jsi.v11i1.343.109-126.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
226
tang konsep zuhud dan tawakal dalam tafsir-
nya;
11
―Menggugat Bias Gender ―Para Ulama‖
yang disusun oleh Naqiyah Mukhtar yang
cenderung memfokuskan pada pemikiran
Quraish Shihab dalam masalah gender.
12
Ka-
jian ini memfokuskan pada masalah takwil
dalam Tafsir Al-Mishbah, sehingga memiliki
fokus berbeda dengan kajian para sarjana
tersebut.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tentang Tafsir Al-Mishbah
Kata Al-Mishbah berarti lampu atau lentera
yang berfungsi menjadi penerang di kegelap-
an. Shihab menggunakan nama ini agar menja-
di penerang bagi siapapun yang membacanya
menuju jalan terang (kebenaran) yang diridai
Allah.
Tafsir ini disusun dalam rentang waktu
yang cukup panjang. Shihab menyusun Tafsir
Al-Mishbah di Kairo, Mesir. Penulisan volume
1-15 dimulai pada hari Jum‘at, 8 Juni 1999
dan selesai pada hari Jum‘at, 8 Rajab 1423 H
atau 5 September 2003 hingga selesai seluruh-
nya.
13
Penerbitan Tafsir Al-Mishbah semakin
menguatkan posisi Quraish Shihab sebagai
mufasir kontemporer Indonesia yang disegani
hingga Asia Tenggara.
Sebelum menulis Tafsir Al-Mishbah, Shi-
hab sebelumnya sudah menulis sejumlah
tafsir, tetapi kurang sukses menarik perhatian
pembaca. Ia misalnya pernah menerbitkan
Tafsir Alquran al-Karim (1997) yang berisi
penafsiran atas dua puluh empat surah.
Uraiannya menggunakan metode
tah}li>li>
(ana-
litis), yakni berusaha menerangkan kandungan
Alquran secara mendalam tentang bermacam-
11
Syukri, ―Dimensi Sufistik dalam Pemikiran M
Quraish Shihab: Telaah tentang Konsep Zuhud dan
Tawakal dalam Tafsir Al Mishbah,‖ Esoterik: Jurnal
Akhlak dan Tasawuf 2, no. 1 (2016): 129–145.
12
Naqiyah Mukhtar, ―M. Quraish Shihab,
Menggugat Bias Gender ‗Para Ulama,‘‖ QUHAS.
Journal of Qur‟an and Hadith Studies 2, no. 2 (2013):
189–208.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), viii. Lihat juga M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), 759.
macam aspek sesuai dengan sistematika
urutan mushaf.
14
Tafsir tersebut kurang men-
dapat perhatian pembaca, karena dianggap
terlalu bertele-tele dalam menjelaskan kan-
dungan ayat Alquran.
15
Beliau pun akhirnya
tidak melanjutkan penulisan tafsir tersebut.
Dua tahun kemudian, Shihab memutuskan
untuk menulis sebuah tafsir yang lebih baik
dan bisa diterima masyarakat luas. Ia memilih
menulis tafsir yang berisi penjelasan maksud
dan tujuan pokok setiap surah, serta dihubung-
kan dengan ayat atau surah sebelumnya untuk
memudahkan memahami kandungan Alqur-
an.
16
Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan
masyarakat Muslim Indonesia yang kebanyak-
an selalu mengkhususkan membaca Alquran
dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti
surah Yasin, Al-Waqi‟ah, Yusuf, Al-Mulk dan
lainnya. Sebagian kebiasaan tersebut didasar-
kan pada faidah atau keutamaan surah yang
bersumber dari dalil yang daif. Misalnya,
membiasakan membaca surah Al-Waqi‟ah pa-
da hari Jum‘at dengan tujuan agar mudah
mendatangkan rejeki, membaca surah Yusuf
agar dikaruniai anak yang ganteng dan lain-
nya.
Selain itu, latar belakang penulisan Tafsir
Al-Mishbah juga didasarkan pada banyaknya
permintaan kaum Muslim Indonesia khusus-
nya. Banyak surah yang diterimanya menyam-
paikan berbagai topik permintaan, terutama
menunggu karya tafsir Quraish Shihab yang
lebih luas dan serius. Surah-surah yang diteri-
manya itulah yang kemudian menggugah hati
dan membulatkan tekad penyusunan Tafsir Al-
Mishbah.
17
Sumber penulisan Tafsir Al-Mishbah, sela-
in merujuk pada dua sumber pokok dalam
Islam (Alquran dan hadis), ia juga mengguna-
kan dua sumber lainnya, yaitu ijtihad penaf-
siran Quraish Shihab sendiri dan kutipan dari
para ahli tafsir lainnya untuk memperkuat
penafsirannya, baik salaf (ulama klasik) mau-
14
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang:
Lentera Hati, 2013), 378.
15
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 2006, xiii.
16
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 2006, xiv.
17
Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 15, 760.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
227
pun
khala>f
(ulama modern). Penulisan rujukan
pada Alquran dan hadis dibedakan dengan
pendapat ahli tafsir dan penafsirannya sendiri
dengan menggunakan bentuk tulisan miring
berupa sisipan atau tafsiran dengan tulisan
biasa. Shihab mengakui bahwa tafsirnya bukan
semata-mata hasil ijtihad penafsirannya sen-
diri. Ia banyak mendasarkan pendapatnya pada
guru besar tafsir Ibrahim Ibnu ‘Umar al-Biqa’i
(w. 885 H/1480 M) yang juga banyak diguna-
kan sebagai rujukan dalam penulisan disertasi-
nya tentang
muna>sabah
di Universitas Al-
Azhar Mesir. Selain itu, ia juga mengutip pen-
dapat Sayyid Muh}ammad Tant}awi>, Shaykh
Mutawa>li> Sha’rawi>, Sayyid Qut}b, Ibnu Ashu>r,
Muh}ammad T{abat}aba’i> dan lainnya.
18
Adapun sistematika penyajian tafsir Alqur-
an dalam Tafsir Al-Mishbah menggunakan
sistematika yang runtut. Misalnya, ketika me-
nafsirkan surah Al-Fatihah, Shihab mengurai-
kan terlebih dahulu nama-nama surah Al-Fati-
hah, susunan kronologis surah sebagai pembu-
ka Alquran, kandungan surah secara global,
dan penafsiran per-ayat.
19
Setiap ayat dipeng-
gal dengan diawali tulisan teks Arab, lalu
diterjemahkan ke dalam teks bahasa Indone-
sia. Di bawah terjemahannya diberikan penje-
lasan atau penafsiran ayatnya. Lalu ayat-ayat
itu dipisahkan menjadi sub-sub ayat. Dalam
pengelompokkan ayat, penafsir membaginya
ke dalam beberapa kelompok. Ia misalnya,
membagi tafsir Al-Fatihah ke dalam dua
kelompok, yaitu kelompok satu (ayat 1-2) dan
kelompok dua (ayat 5-7). Selanjutnya, ia men-
jelaskan kedua sub ayat yang dikelompokkan
tersebut disertai terjemahannya. Ditampilkan
pula penggalan-penggalan ayat dalam kelom-
pok tersebut untuk dianalisis dan dihubungkan
dengan surah lain yang berkaitan hingga sele-
sai.
20
Metode penafsiran Tafsir Al-Mishbah
menggunakan metode
tahli>li>
(analitis). Ia
menafsirkan ayat secara berurut dari surah Al-
Fatihah hingga An-Nas. Ia memberikan pen-
18
Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, xviii.
19
Endad Musaddad, Pemikiran Tafsir Perspektif M.
Quraish Shihab (Banten: FUD Pres, 2010), 121.
20
Musaddad, Pemikiran Tafsir, 123.
jelasan ayat dan surah secara terperinci
dengan merujuk pada pendapat para ahli tafsir,
baik menyangkut struktur kalimat, maupun
riwayat hadis yang berkaitan dengan ayat
yang dibahas. Selain itu, Shihab juga menje-
laskan aspek
muna>sabah
atau korelasi antar
ayat dan surah, sebagaimana dilakukan oleh
gurunya, Al-Biqa‘i.
21
Quraish Shihab menya-
takan:
Dalam situasi menjelaskan
kala>mullah
,
penulis berusaha dan menyuguhkan penje-
lasan tiap maksud, sub pokok surah. Setiap
sub pokok surah mempunyai kandungan
menurut para ahli. Jika bisa mengambil
inti-inti kandungan ayat, maka akan mem-
permudah memahami kandungan pokok
kala>mullah
beserta uraiannya yang terdapat
dalam 114 surah. Sehingga
kala>mullah
ter-
sebut akan dikenali lebih dekat dan mudah
dipahami serta mengamalkannya.
22
Sedangkan kecenderungan tafsir yang me-
nonjol dalam Tafsir Al-Mishbah adalah lebih
mengarah pada tafsir
bi al-ra’yi
, karena dalam
penafsirannya selalu diiringi dengan interpre-
tasi akal atau ijtihad. Tapi, bukan berarti tidak
menggunakan pendekatan tafsir
bi al-ma’thu>r
.
Penjelasan dari ayat lain dan hadis Nabi digu-
nakan sebagai penguat dari ijtihadnya. Ada-
pun corak yang menonjol di dalam penafsiran-
nya adalah sosial kemasyarakatan (
adab al-
ijtima>’i
).
23
Penjelasan-penjelasan yang disu-
guhkan biasanya selalu berhubungan dengan
kondisi umat Islam dan penjelasannya beru-
saha memberikan solusi terhadap masalah
yang dihadapi oleh kaum Muslim.
Selain itu, dilihat dari pendekatan yang di-
gunakan, tampaknya Quraish Shihab menggu-
nakan dua pendekatan sekaligus, yakni kon-
tekstual dan tekstual.
24
Tetapi bila dibanding-
21
Musaddad, Pemikiran Tafsir, 125.
22
Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, xiv.
23
Corak atau al-laun yang dimaksud dalam
penafsiran Al-Qur‘an menunjukkan bahwa pribadi yang
menafsirkan suatu teks itulah yang mewarnai teks
dalam isi penafsirannya dan pemahaman terhadap teks.
Lihat Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains
dan Sosial (Jakarta: Amzah, 2012), 145.
24
M. Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik
Tafsir (Jakarta: Azza Media, 2015), 215.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
228
kan, pendekatan tekstual lebih menonjol dari
pada kontekstual. Terlebih Tafsir Al-Mishbah
ini awalnya ditulis di Mesir, sehingga masa-
lah-masalah keindonesiaan tidak berhubungan
langsung dengan tafsir ini.
25
Tafsir ini juga
cenderung menggunakan pendekatan konteks-
tual, artinya konteks ayat dikaitkan dengan
kondisi, situasi ketika teks turun, sebagaimana
ketika menafsirkan QS Al-Nisa‘/4: 3 yang
menjelaskan kebiasaan pernikahan bangsa
Arab pra-Islam untuk menunjukkan misi
keadilan Islam.
26
2. Konsep Takwil Menurut Quraish Shihab
Menurut Quraish Shihab, pengertian takwil
secara kebahasaan atau etimologi berasal dari
kata
ala-ya’u>lu-aulan
( -) yang
berarti kembali, yakni pengembalian sesuatu
yang dapat dikembalikan kepada penyebab
awalnya.
27
Kata takwil juga diambil dari kata
ma‟al, artinya kesudahan. Maksudnya, segala
sesuatu ketika dipahami menjadikannya berbe-
da dari asalnya.
28
Sedangkan secara terminologi, takwil ada-
lah mengembalikan makna teks atau makna
harfiahnya kepada makna yang dikenal secara
umum. Ia dipahami juga dengan mengungkap
makna yang tersembunyi.
29
Shihab menegas-
kan bahwa takwil adalah mengalihkan makna
atau kalimat dari maknanya yang terlintas per-
tama kali dalam benak ke makna lain, karena
adanya indikator kuat yang bisa mengalihkan-
nya. Takwil yang tercela adalah yang indika-
tornya lemah.
30
Proses pentakwilan bisa dike-
tahui dengan pengembalian makna kata atau
kalimat. Pertama, pengembalian kata atau ka-
limat kepada pikiran yang dipahami secara
umum, selanjutnya terjadi pengembalian, ke-
dua, setelah dipahami, kata atau kalimat itu
lalu dikembalikan lagi ke makna lain, sehing-
25
Musadad, Pemikiran Tafsir, 132.
26
Shihab. Tafsir Al-Mishbah, Vol. 2, 237.
27
Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol. 7, 353.
28
Shihab, Kaidah Tafsir, 219.
29
Shihab, Kaidah Tafsir, 220.
30
M. Quraish Shihab. Logika Agama. (Jakarta:
Lentera Hati, 2017), 60.
ga muncul kandungan selanjutnya dari makna
pertama.
31
Untuk memperkuat pemahaman tentang
takwil, Quraish Shihab juga mengutip penda-
pat Al-Jurjani dalam
al-Ta’rifat
. Kata takwil
dipahami sebagai ―membelokkan kandungan
ayat dari makna lahir ke makna lain yang di-
mungkinkan, selama kandungan yang ditentu-
kan itu sejalan dengan Alquran dan hadis.‖
Dalam memahami kalimat
(mengeluarkan kehidupan dari yang mati)
misalnya, bisa dipahami dalam pengertian
―mengeluarkan seekor ayam yang menetas
dari telur.‖ Makna tersebut adalah tafsir. Teta-
pi, ia bisa juga dipahami dengan jalan takwil,
yakni ―mengeluarkan seorang Mukmin dari
kekafiran atau mengeluarkan yang pandai da-
ri kebodohan.‖
32
Lebih lanjut, Quraish Shihab juga mengutip
pendapat Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab
Mufrada>t Alfa>d} Al-Qur’a>n
. Ia mengemukakan
bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil.
Tafsir lebih banyak digunakan dalam kata dan
kosa katanya. Sedang takwil banyak diguna-
kan dalam makna dan susunan kalimatnya.
Takwil lebih banyak digunakan dalam Alqur-
an, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam
Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.
Dengan tanpa memberikan rincian definisi
tentang kedua istilah tersebut, Quraish Shihab
menyimpulkan bahwa tafsir dan takwil dalam
konteks Alquran digunakan sebagai alat atau
cara untuk memahami kata, kalimat dan ama-
nat Allah. Maka, tidak terlalu heran bila terda-
pat sebagian ahli tafsir yang langsung me-
nganggap sama di antara keduanya.
33
Sudut pandang masing-masing penafsir
cenderung menimbulkan perbedaan dalam
menilai berbagai masalah keagamaan. Seba-
gian ulama tafsir pada masa klasik cenderung
tidak membahas takwil ketika menghadapi
ayat-ayat
mutasha>biha>t
. Mereka lebih menda-
hulukan ucapan “
Allahu a’lamu bi mura>dih
”
(Allah lebih mengetahui maksudnya). Tetapi,
31
M. Quraish Shihab. Logika Agama, 219.
32
M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an, Jilid
2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 554.
33
Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Jilid 2, 554.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
229
pendapat tersebut kemudian dianggap oleh
sebagian ahli tafsir lainnya tidak memuaskan
nalar. Karenanya, yang terakhir ini pada akhir-
nya merestui penggunaan takwil. Bagi Quraish
Shihab, penjelasan kandungan ayat terkadang
mengarah pada pemahaman teks yang tidak
sama hasilnya dengan penakwilan, sehingga
hasilnya berbeda-beda.
34
Karenanya, Quraish Shihab menyatakan
bahwa pemahaman atas ayat Alquran sering
kali memunculkan perbedaan dalam menyika-
pi berbagai permasalahan keagamaan, terma-
suk dalam penggunaan takwil. Walupun pada
masa awal Islam, para ulama cenderung
enggan untuk menggunakan takwil, tetapi ge-
nerasi selanjutnya cenderung mengakui kebe-
radaan takwil sebagai metode untuk mema-
hami ayat Alquran. Quraish Shihab misalnya,
mengutip ucapan Imam Al-Suyut}i> dalam
al-
Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
. Ia menilai bahwa
metafora merupakan bagian dari ―salah satu
unsur keindahan bahasa Alquran‖, karenanya
takwil atas berbagai ayat yang mengandung
metafora itu sangat diperlukan.
Tetapi, penggunaan takwil bukan berarti
tanpa kaidah dan dasar-dasar keilmuan dan
juga hanya diterapkan teks-teks ayat yang
pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu.
Baginya, takwil bisa diterima selama kandung-
an yang ditentukan untuk memaknai susunan
kata dalam suatu ayat telah dikenal secara luas
dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada
masa turunnya Alquran. Walaupun pada perio-
de berikutnya, maksud kata ―dikenal secara
luas‖ bisa dimaknai lain, yakni selama pesan
yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu
dipahami dari akar kata redaksi bahasa ayat
itu. Kata
t}ayran
() yang berarti ―burung‖
dalam Q.S. Al-Fil ayat 3 misalnya, terambil
dari kata
t}a>ra-yat}i>ru
( berarti ―terbang.‖
Sehingga bisa diterima bila Muh}ammad
‘Abduh dalam tafsir Juz „Amma-nya mema-
hami kata tersebut dengan ―sejenis virus atau
bakteri yang beterbangan.‖ Walaupun istilah
virus beterbangan tersebut belum dikenal pada
saat Alquran diturunkan, tetapi Abduh
34
Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Jilid 1, 90.
berpendapat bahwa wujudnya sendiri sudah
ada pada saat itu secara historis.
35
Karenanya
bagi Quraish Shihab, pertumbuhan pemikiran
seorang ahli tafsir yang diperoleh melalui
kemampuannya yang bisa dipertanggungja-
wabkan bisa menjadi pegangan. Bila teks-teks
keagamaan secara zahir mengandung perten-
tangan dengan hasil kajiannya, maka ia bisa
mentakwilkannya. Hal tersebut bisa dilakukan
dengan mengabaikan redaksi ayat, tetapi de-
ngan tetap memerhatikan kaidah kebahasaan
yang tepat dan memiliki keahlian dalam bi-
dang yang ditafsirkannya.
Dengan demikian, terdapat beberapa syarat
mufasir ketika menggunakan takwil dalam
memahami teks-teks ayat Alquran, di antara-
nya: 1) Memahami
nas}
atau teks ayat dengan
makna syariatnya; 2) Memahami
maqa>s}id al-
shari>’ah
(tujuan utama pemberlakuan syariat)
yang dikandung dalam teks ayat; 3) Memaha-
mi konteks atau latar situasi dan kondisi reali-
tas yang dibicarakan oleh teks ayat; 4) Memi-
liki wawasan luas dan batas-batas keilmuan
yang benar.
Selain itu, agar terhindar dari kesalahpa-
haman kiranya penting memahami komponen-
komponen yang tercakup dalam kaidah tafsir
dan takwil yang benar. Pertama, memerhati-
kan ketentuan-ketentuan dalam menafsirkan
Alquran; Kedua, memahami sistematika yang
harus ditempuh dalam penafsiran; Ketiga, me-
nguasai patokan-patokan khusus untuk mem-
bantu pemahaman ayat-ayat Alquran yang
berasal dari ilmu bantu, seperti bahasa Arab,
us}u>l al-fiqh
dan lainnya.
36
Karenanya, salah satu kaidah takwil adalah
setiap hasil penakwilan tidak boleh berten-
tangan dengan tujuan syariat yang telah diga-
riskan oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila pe-
nakwilannya berlawanan dengan tujuan
syariat, maka tidak bisa diterima.
37
Dengan
demikian, takwil dalam pandangan Qurash
Shihab dipahami sebagai pengalihan makna ke
dalam makna lain ketika terdapat kandungan
35
Shihab. Kaidah Tafsir, 225.
36
Ahmad Izzan, Studi Kaidah Tafsir Al-Qur‟an
(Bandung: Humaniora, 2012), 3.
37
Shihab. Kaidah Tafsir, 225.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
230
ayat yang sulit dipahami atau maknanya tidak
lurus bila tidak mengalihkannya kepada
makna lain. Tetapi, takwil tersebut bisa dilaku-
kan dengan syarat harus memiliki indikator-
indikator kebahasaan dan logika yang benar
pada saat mengalihkan maknanya.
38
3. Penerapan Takwil dalam Tafsir Al-
Mishbah
Kajian ini memfokuskan pada penerapan
takwil Quraish Shihab terhadap ayat-ayat yang
bertemakan antropomorfisme (paham yang
menyerupakan wujud Allah dengan wujud
manusia). Quraish Shihab misalnya, menak-
wilkan ayat-ayat Alquran yang menyebutkan
tentang ―wajah Allah‖ yang ditakwilkan de-
ngan ―dzat dan totalitas-Nya‖, bukan wajah
yang sama sebagaimana manusia; ―tangan
Allah‖ berarti kekuasaan dan karunia besar-
Nya; ―mata Allah‖ berarti pengawasan dan
pemeliharaan-Nya; ―kedatangan Allah‖ berarti
datangnya keputusan Allah; ―Allah bersema-
yam di atas Arasy‖ berarti kekuasaan Allah;
―kursi Allah‖ berarti kekuasaan atau ilmu-Nya
dan lainnya.
Selain itu, Quraish Shihab juga menakwil-
kan ayat bahwa ―Allah adalah penerang langit
dan bumi‖ dengan beberapa makna, di
antaranya: 1) agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad yaitu Islam; 2) ketauhidan atau
akidah Islam; 3) jalan kebenaran; 4) utusan
Allah terakhir, yaitu Muhammad; 5) cahaya
siang; 6) penerang bulan; 7) sebagai petunjuk
saat seorang Muslim melewati jembatan di
akhirat kelak; 8) keterangan tentang perkara
yang haram dan halal yang terdapat dalam
kitab suci Taurat, Injil, Zabur dan Alquran 9)
bermakna keadilan.
Menurut Quraish Shihab, Alquran menje-
laskan makna tertentu atau substansi dari
hakikat sesuatu tentang tibanya masa suatu
peristiwa tanpa menjelaskan kapan terjadinya.
Ia misalnya, menjelaskan keniscayaan hari
kiamat, tetapi tidak diketahui kapan terjadinya.
Mereka yang mencari-cari takwilnya adalah
mereka yang membicarakan, kapan, hari apa,
38
Shihab. Kaidah Tafsir, 226.
tahun berapa hari kiamat terjadi.
39
Demikian
juga, jika berbicara tentang Zat Allah, mereka
yang membicarakannya, misalnya dengan
mengutip ayat (Allah
adalah cahaya langit dan bumi) dengan tujuan
agar Zat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman
ini merupakan takwil yang terlarang, karena
tidak sesuai dengan ayat: ... ...
―...sesuatu apapun tidak ada yang sama
menyerupai Allah.‖ (QS. Asy-Syura [42]:
11.
40
Hal ini sesuai dengan ayat bahwa ―ada
orang-orang yang mencari dengan sungguh-
sungguh takwilnya.‖ Ini mengandung isyarat
bahwa mereka hanyalah mencari-cari dan
mereka memahaminya bukan hanya tahu dan
mampu.
41
Penerapan takwil lainnya yang dilakukan
Quraish Shihab adalah ketika menafsirkan
ayat kursi dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia
menakwilkan kalimat ―kursi Allah meliputi
langit dan bumi‖ Al-T{abat}aba’i> dalam
Tafsi>r
Al-Miza>n
menakwilkannya sebagai kedu-
dukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua
makhluk-Nya. Keluasan ―Kursi Allah‖ berarti
ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Dengan de-
mikian, makna kursi yang dimaksud adalah
kedudukan ketuhanan yang mengendalikan
langit dan bumi beserta isinya. Ini mengisya-
ratkan pula bahwa benda-benda itu terkontrol
dengan baik. Adapun yang dimaksud kelua-
sannya adalah bahwa pengetahuan Allah
meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.
Quraish Shihab tampaknya sependapat de-
ngan penafsiran Al-T{abat}aba’i tersebut. Ia
menakwilkan ―kursi Allah‖ dengan ilmu atau
kekuasaan-Nya yang mencakup atau meliputi
langit dan bumi. Ia mengilustrasikan tentang
kekuasan Allah tersebut seperti kekuasaan
penguasa dalam kehidupan dunia. Para pe-
nguasa dikelilingi oleh pendukung-pendukung
yang mengakrabkan diri dengan mereka dan
mereka pun membutuhkannya untuk lebih
39
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya
(Tangerang: Lentera Hati, 2010), 51.
40
Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol. 2, 21.
41
Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol. 2, 22.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
231
memantapkan kekuasaannya. Menurut Quraish
Shihab, di akhirat tidak demikian, karena raja
dan penguasa tunggal ketika itu adalah Allah.
Allah yang memiliki sifat-sifat berbeda
dengan sifat-sifat makhluk itulah yang
dijelaskan oleh ayat ini sehingga dikenal
dengan ayat kursi.
42
Ayat kursi adalah ayat
yang paling agung di antara seluruh ayat-ayat
Alquran, karena dalam ayat ini disebutkan
tidak kurang enam belas kali, bahkan tujuh
belas kali, kata yang menunjuk kepada Allah.
Sifat-sifat Allah yang dikemukakan dalam
ayat kursi ini disusun sedemikian rupa sehing-
ga menampik setiap bisikan negatif yang dapat
menghasilkan keraguan tentang pemeliharaan
dan perlindungan Allah atas makhluk-Nya.
Dalam ayat ini dilukiskan, betapa dugaan
tentang keterbatasan pemeliharaan dan perlin-
dungan-Nya yang mungkin terlintas dalam
benak manusia dihapus oleh Allah dengan
menggunakan kata
(kekuasaan atau ilmu-Nya mencakup langit
dan bumi). Bahkan alam raya seluruhnya bera-
da dalam genggaman tangan-Nya.
Contoh lainnya adalah takwil yang dila-
kukan oleh Quraish Shihab atas ayat tentang
―tangan‖ (al-yad) yang diserupakan dengan
Allah. Quraish Shihab menjelaskan cara-cara
yang berbeda yang telah ditempuh oleh ulama
lainnya di dalam memahami kata tersebut.
Boleh jadi keragaman cara seperti mendiam-
kan, memaknai apa adanya, dan menakwilkan
ingin disuguhkan oleh Quraish Shihab. Ini
adalah suatu pilihan. Baginya, kata kunci
dalam memahami ayat-ayat Alquran adalah
bagaimanapun Allah berbeda dengan makh-
luk-Nya. Dua kata ―tangan‖ tidak dijelaskan
secara detail, tetapi ia lebih memerhatikan
pada makna konteks, seperti ketika
menafsirkan Q.S. Al-Ma‘idah/5: 64:
...
Dan Yahudi mengatakan: Terbelenggu ta-
ngan Allah. Padahal tangan mereka yang
42
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 1, 547.
terbelenggu lalu Yahudi yang dilaknat. Pe-
nyebabnya yang mereka katakan. Melain-
kan tangan Allah sangat terbuka kedua-
nya... (QS. Al-Maidah [5] : 64),
Permasalahan tentang antropomorfisme
kata al-yad (tangan) tersebut mengandung be-
berapa pengertian. Al-Raghib al-Asfahani>
setidaknya menyebutkan lima makna yang
dikandung, yaitu
al-jarih}a
(bentuk sebenarnya)
yang berarti memberikan afirmasi atas makna
tajassum
, nikmat, kekuasaan, kekuatan atau
pertolongan.
43
Aliran Mu‘tazilah berpendapat
Allah tidak memiliki sifat.
44
Ash‗ariyyah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
―tangan‖ adalah kekuasaan Allah.
45
Ahmad
Mus}t}afa al-Maraghi> juga mengartikan kata
tersebut dengan beberapa makna seperti kema-
hapemurahan Allah dalam memberi nikmat
kepada makhluk-Nya, kekuasaan dan kehen-
dak, dan nikmat.
46
Adapun Quraish Shihab
justru lebih tertarik menjelaskan penggunaan
kata tangan dalam bentuk
muthanna>
(dual).
Baginya, hal tersebut menunjukkan betapa
keluasan anugerah dan kekuasaan Allah.
Karena satu tangan saja menunjukkan kekua-
saan dan keluasan apalagi dengan keduanya.
47
Dari pemaparan tersebut dapat ditegaskan
kembali terlihat bahwa dalam soal sifat-sifat
Allah dan ayat-ayat yang berkenaan dengan
antropomorfisme, Quraish Shihab menakwil-
kannya. Tetapi, ia tidak mengikuti penafsiran
kaum Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah. Ia tampak-
nya tidak menganggap tema perdebatan itu
sebagai perkara penting. Di samping itu, ia
juga memperlihatkan sikap menjauhkan diri
dari fanatisme terhadap satu aliran teologi
tertentu.
43
Al-Raghib Al-Asfahani>,
Mu’jam Mufrada>t Alfa>d}
al-Qur’a>n
(Beirut: Da>r al-Fikri, t.th.), 576.
44
Abi H{asan 'Ali bin Isma'il Al-Ash’ari>,
Al-Iba>nah
‘an Us}u>liyah
(Beirut: Maktabah Da>r al-Bayan, 1999),
41.
45
Ibnu Qadamah,
Sharh Lum’atu al-‘Itiqa>d
(Mesir:
Da>r al-Furqa>n, 2008), 40.
46
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi
(Beirut: Dâr al-Fikri, 1974), 137.
47
Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 4, 135-136; Vol.
12, 170, dan Vol. 13, 187.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
232
Dengan demikian, Quraish Shihab dalam
melakukan takwil lebih mengedepankan upaya
menangkap pesan ayat sebagai bagian dari
petunjuk daripada menempatkan ayat tersebut
sebagai dalil untuk menguatkan pandangan
teologi yang dianutnya. Dengan kata lain,
penerapan konsep takwil yang dilakukan oleh
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah rela-
tif terjaga dari tendensi-tendensi yang berada
di luar fungsi takwil itu sendiri sebagai alat
atau cara untuk memahami kata, kalimat dan
pesan-pesan Allah. Artinya, ia tidak menggu-
nakan takwil untuk kepentingan kelompok
atau aliran teologi tertentu. Ia berpegang pada
keyakinan bahwa untuk mendapatkan petunjuk
Allah dilakukan dengan cara memahami
Alquran dengan kaidah tafsir dan takwil yang
benar. Menafsirkan Alquran berarti memberi
penjelasan tentang ayat Alquran sesuai dengan
potensi yang dimiliki oleh penafsir. Pemaham-
an yang beragam membuat pemahaman atas
teks Alquran juga beragam.
48
4. Takwil Quraish Shihab dan Perkem-
bangan Tafsir Alquran
Penjelasan tentang relevansi penerapan
takwil Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Mishbah dengan perkembangan tafsir Alquran
bukan perkara yang mudah. Penulis mencoba
menguraikan masalah tersebut dengan memfo-
kuskan pada aspek penggunaan bahasa dan
diperkuat dengan penggunaan ra‟yu atau
ijtihad dalam penafsirannya.
Ini terlihat dari penjelasannya tentang tak-
wil dalam Tafsir Al-Mishbah. Quraish Shihab
misalnya, mengutip pendapat Al-Suyu>t}i> yang
menilai bahwa metafora sebagai salah satu
unsur keindahan bahasa Alquran, karenanya
takwil atas berbagai ayat yang mengandung
metafora itu sangat diperlukan.
Tetapi, bukan berarti penerapan takwil atas
ayat yang mengandung metafora itu dilakukan
tanpa kaidah dan dasar-dasar penafsiran yang
benar. Tidak pula berarti takwil hanya diterap-
kan pada ayat-ayat yang pernah ditakwilkan
oleh para ahli tafsir dari generasi terdahulu.
48
Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 1, xix
Perkembangan masyarakat yang mengarah
pada potensi ilmu pengetahuan yang positif
dan hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan bisa juga dijadikan
pegangan dalam melakukan takwil atas ayat
Alquran. Sehingga jika pada makna zahirnya
teks-teks keagamaan seperti ayat Alquran itu
bertentangan dengan perkembangan dan temu-
an ilmu pengetahuan tersebut, maka tidak ada
jalan lain kecuali dengan menakwilkannya.
49
Selain itu, menurut Quraish Shihab, peru-
bahan zaman dan perkembangan ilmu penge-
tahuan di dunia Islam telah merubah sikap dan
penerimaan para ulama terhadap takwil. Pada
saat ini, hampir seluruh ulama tafsir mengakui
perlunya takwil dalam berbagai bentuknya dan
menerapkannya. Walaupun pada masa awal
Islam, para ulama tafsir tampak enggan untuk
menerapkan takwil, tetapi pada masa-masa
berikutnya mereka sepakat mengakui kebera-
daannya dan menerapkannya dalam memaha-
mi teks-teks keagamaan termasuk ayat Al-
quran.
Hal ini merupakan perkembangan tafsir
yang cenderung lebih baik dari sebelumnya
dalam memperlakukan takwil. Ia digunakan
dalam memahami ayat, daripada mengabaikan
teks ayat sama sekali tentunya masih dalam
batas-batas yang dibenarkan Alquran dan
ulama tafsir. Karena, bukankah Alquran sendi-
ri mengakui adanya redaksi yang
mutasha>-
biha>t
itu dan ulama pun telah sepakat untuk
menggunakan takwil itu sebagai bagian dari
ijtihad penafsiran.
50
Secara historis, kesungguhan para ulama
untuk memahami Alquran dengan jalan
mengerahkan segala kemampuannya (ijtihad)
sebenarnya telah lahir sejak era Islam awal.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa para
sahabat tidak berpindah pada ayat lain sebe-
lum ayat yang telah dipelajarinya bisa dipaha-
mi dengan baik. Mereka senantiasa meng-
ajukan pertanyaan kepada Nabi Muhammad
setiap menemukan ayat yang sulit dipahami
maknanya. Usaha ini kemudian berlanjut dari
generasi ke generasi berikutnya.
49
Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 252.
50
Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 252.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
233
Seiring dengan kebutuhan kaum Muslim
akan petunjuk Alquran, tafsir sebagai media
untuk memahami Alquran semakin berkem-
bang. Jika pada masa sahabat dan tabiin, tafsir
yang digunakan berupa penukilan riwayat-
riwayat hadis dari Nabi dan generasi sebelum-
nya, maka seiring dengan pembukuan keil-
muan Islam, tafsir mengalami perubahan
bentuk menjadi tertulis. Meski pada awalnya,
tafsir terintegrasi dengan riwayat-riwayat
hadis secara umum, tetapi pada abad ke-3
hijriyah, tafsir sudah menemukan bentuknya
secara terpisah dengan disiplin keilmuan Islam
yang lain.
Perkembangan tafsir sampai beberapa gene-
rasi sepeninggal Nabi Muhammad belum
mampu sepenuhnya mengatasi masalah yang
ditemukan dalam memahami ayat-ayat
mutasha>biha>t
. Hal ini dibuktikan dengan se-
buah riwayat yang dikutip oleh Al-Suyu>t}i>
yang bersumber dari Sulaiman ibn Yasi>r.
Diceritakan bahwa ada salah seorang sahabat
yang terkenal dengan nama Ibnu S{ubagh
datang ke Madinah untuk menanyakan ayat-
ayat yang
mutasha>biha>t
kepada ‘Umar ibn al-
Khat}t}ab. Setelah Ibnu S{ubagh bertemu dan
mengajukan pertanyaan, ‗Umar memukul
wajahnya dengan batang kurma yang telah
disiapkan. Akibatnya, kepala Ibnu S{ubagh pun
berdarah.
51
Riwayat lain menyebutkan bahwa
‗Umar menulis surah kepada Abu> Mu>sa al-
Ash’ari> yang saat itu menjabat Gubernur
Basrah agar mengisolasi Ibnu S{ubagh dari
komunitas umat Islam. Jika riwayat ini benar,
maka di sini kita menangkap sebuah kesan
bahwa pada masa sahabat, penafsiran ayat-
ayat
mutasha>biha>t
dianggap suatu hal yang
tabu.
Pada masa-masa selanjutnya, tafsir Alquran
mengalami perkembangan pesat. Ia tidak ha-
nya terbatas pada penjelasan-penjelasan yang
diambil dari riwayat hadis dan pendapat
sahabat (
al-tafsi>r
bi al-ma’thu>r
), tetapi juga
bersumber dari penalaran atau yang dikenal
dengan
al-tafsi>r bi al-ra’yi
. Kelahiran tafsir
51
Al-Suyu>t}i>,
Al-Itqa>n fî> ‘Ulu>m al-Qur'a>n
, Juz 2
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1979), 5.
yang didasarkan pada nalar, tidak terlepas dari
beberapa hal, yakni pengaruh filsafat, realitas
objektif ayat-ayat Alquran yang pada umum-
nya memuat prinsip-prinsip global serta keber-
adaan kata-kata bermakna ambigu, dan kebo-
lehan menggunakan rasio sebagaimana yang
disebutkan di dalam sumber-sumber normatif.
Selain tafsir, upaya untuk memahami ayat-
ayat Alquran dilakukan pula dengan pende-
katan takwil, yakni pemberian makna atas
fakta-fakta tekstual dari Alquran sehingga
yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriah
redaksi kata pada teks Alquran, tetapi pada
makna dalam yang dikandungnya (makna
bathin).
Secara historis, takwil sudah dikenal sejak
awal perkembangan sejarah Islam. Hanya saja
terdapat keengganan untuk menggunakannya
dalam memahami Alquran. Dalam memahami
ayat-ayat
mutasha>biha>t
, kelompok ini cende-
rung menyerahkan sepenuhnya kepada Allah
atau dengan cara mengartikan apa adanya.
Sayang sikap seperti ini menimbulkan keti-
dakpuasan di kalangan sebagian ulama. Kare-
na sikap yang ditunjukkan oleh kelompok ter-
dahulu tidak sepenuhnya mendudukkan Al-
quran sebagai petunjuk kehidupan secara
proporsional.
52
Padahal banyak di antara ayat-
ayat
mutasha>biha>t
yang berkenaan dengan
pengenalan zat Allah dan sifat-sifat-Nya yang
merupakan bagian terpenting dari ajaran
Islam. Boleh jadi inilah yang menyebabkan
pembahasan tentang takwil dan ayat-ayat yang
bernuansa metaforis dalam Alquran terus
berkembang.
Berbeda dengan masa awal, pada masa
selanjutnya takwil semakin banyak dilakukan
seiring dengan semakin menguatnya peran
nalar di dalam menyingkap makna-makna
Alquran. Penggunaan takwil tersebut, antara
lain terlihat pada pembahasan ayat-ayat Al-
quran yang dilakukan oleh para ahli teologi
khususnya dari kalangan Mu‘tazilah yang
mendasarkan pada teologi rasional. Di sini
terlihat bahwa peran rasio, yang antara lain
mengambil bentuk takwil, semakin mening-
52
Shihab, Membumikan Al-Qur„an, 90.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
234
kat, seiring dengan dinamika kehidupan yang
terus berkembang membuat lahirnya sejumlah
masalah keagamaan yang tidak lagi bisa
dijelaskan oleh sumber-sumber tradisional
seperti Alquran, hadis dan pendapat para
sahabat.
53
Mereka berkeyakinan bahwa tidak
selamanya tafsir tradisional mampu menjawab
masalah-masalah realitas yang telah meng-
alami perubahan dan perkembangan zaman.
Inilah yang mendorong lahirnya perkembang-
an penafsiran Alquran, yaitu usaha yang dila-
kukan oleh para ahli tafsir atau takwil dan
cendekiawan Muslim yang mengadaptasikan
ajaran-ajaran Alquran dengan tuntutan za-
man.
54
Berdasarkan pertimbangan tersebut, me-
nguatnya peran rasio, termasuk pelibatan
metode takwil dalam memahami ayat-ayat
mutasha>biha>t
, selain harus dipandang sebagai
bagian dari kecenderungan positif, juga harus
diterima sebagai bagian dari kebutuhan dalam
memahami ayat Alquran. Apalagi bila dihu-
bungkan dengan ayat-ayat yang berkaitan
dengan zat dan sifat Tuhan. Fitrah yang paling
mendasar dimiliki oleh manusia adalah penga-
kuan akan keberadaan Zat yang Maha Me-
nguasai. Konsekuensi logisnya adalah muncul
keingintahuan akan Zat yang Maha Kuasa itu.
Berkat rahmat-Nya, Allah kemudian menurun-
kan wahyu dan anugerah akal sebagai sarana
untuk memenuhi kebutuhan itu. Walaupun
bisa dipastikan bahwa pengenalan terhadap
yang Maha Kuasa hanya dapat sampai pada
batas konsepsi, tidak pada pengetahuan
mengenai wujud-Nya secara mutlak.
Namun, pelibatan rasio dalam memahami
ayat Alquran dan juga penggunaan takwil,
tidak dilakukan dengan cara liar, serampangan
dan sekehendak hati. Ia harus dibatasi oleh
syarat-syarat khusus yang terkait dengan
materi ayat yang dapat ditafsirkan dengan
nalar, prosedur penarikan makna serta kriteria
pihak yang dibenarkan menafsirkan Alquran
dengan nalar. Quraish Shihab menggaris-
53
Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 91.
54
Jazim Hamidi, Metolodi Tafsir Fazlur Rahman
Terhadap Ayat-ayat Hukum dan Sosial (Malang: Tim
UB Press, 2013), 3.
bawahi bahwa tidak tepat menakwilkan suatu
ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan
akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang
terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih berten-
tangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebaha-
saan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat
itu sendiri. Karenanya, dianggap tidak tepat
mentakwilkan Alquran hanya menggunakan
akal dan meninggalkan aspek kebahasaan
yang terkandung dalam ayat, bahkan bertenta-
ngan dengan ketentuan kebahasaan.
55
Dengan
demikian bisa ditegaskan bahwa takwil akan
sangat membantu dalam memahami dan
membumikan Alquran sebagai pedoman hidup
kaum Muslim di tengah kehidupan modern
dewasa ini dan masa-masa yang akan
datang.
56
C. SIMPULAN
Takwil dalam pandangan Quraish Shihab
berarti mengembalikan makna kandungan
kepada makna yang bukan makna zahirnya
atau mengungkap kandungan yang tersembu-
nyi. Ia merupakan alat atau cara untuk mema-
hami kata, kalimat, serta amanat Allah. Sya-
ratnya, ketika menakwilkan harus memiliki
indikator-indikator kebahasaan dan logika
dalam pengalihannya.
Penerapan takwil akan mempermudah da-
lam memahami kandungan Alquran pada saat
sekarang dan akan datang. Tetapi, diperlukan
kehati-hatian dalam menakwilkan Alquran
sehingga tidak tepat menakwilkan ayat dengan
hanya mengandalkan pemikiran saja. Takwil
harus menggunakan kaidah kebahasaan yang
dipahami dari ayat sehingga tidak boleh ber-
tentangan dengan kaidah kebahasaan yang
dapat mengabaikan ayat tersebut.
Relevansi penerapan takwil dengan peru-
bahan perkembangan penafsiran Alquran
terjadi setelah takwil tidak terlalu berkembang
pada generasi awal Islam atau salaf. Tetapi,
situasi pun kemudian berubah seiring dengan
55
Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 91.
56
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, trans. oleh
Firdaus (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 185. Lihat juga
Abdul Chaer, Perkenalan Awal dengan Al-Qur‟an
(Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 1.
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
235
pesatnya penggunaan akal atau nalar dalam
memahami Alquran. Saat ini sebagian besar
para ulama tafsir sepakat menggunakan takwil
sebagai salah satu metode untuk memahami
ayat Alquran. Dengan kata lain, meski genera-
si awal Islam setuju menggunakan tafsir dan
menolak untuk menerapkan takwil, tetapi
generasi selanjutnya cenderung mengakui
keberadaannya. Ini dilakukan seiring dengan
perubahan waktu dan perkembangan zaman
yang menuntut perkembangan positif dalam
penafsiran Alquran. Takwil merupakan salah
satu jalan dalam merespons perkembangan
zaman tersebut dalam menyelesaikan berbagai
problem keagamaan yang tidak ada jalan lain
selain melakukan takwil terhadapnya.
Wallahu‟alam.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid.
Diterjemahkan oleh Firdaus. Jakarta:
Bulan Bintang, 1979.
Al-Asfahani>, Al-Raghib.
Mu’jam Mufrada>t
Alfa>d} Al-Qur’a>n
. Beirut: Da>r al-Fikri, t.t.
Al-Ash’ari>, Abi H{asan 'Ali bin Isma'il.
Al-
Iba>nah ‘an Us}u>liyah
. Beirut: Maktabah
Da>r al-Bayan, 1999.
Al-Dhahabi>, Muh}ammad H{usayn.
Al-Tafsi>r
wa al-Mufassiru>n
. Juz 2. Cairo:
Maktabah Wahbah, 2000.
Al-Hushari, Ahmad M. Tafsir Ayat-ayat
Ahkam. Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2014.
Al-Maraghi>, Ah}mad Mus}t}afa.
Tafsi>r al-
Maraghi>
. Beirut: Da>r al-Fikr, 1974.
Al-Suyu>t}i>.
Al-Itqa>n fî> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n
. Juz 2.
Beirut: Da>r al-Fikr, 1979.
Chaer, Abdul. Perkenalan Awal dengan Al-
Qur‟an. Jakarta: Rineka Cipta, 2014.
Habil, Abdurrahman. ―Tafsir-tafsir Esoteris
Tradisional Al-Qur‘an.‖ Dalam
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam,
diedit oleh Seyyed Hossein Nasr,
diterjemahkan oleh Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan, 2002.
Hamidi, Jazim. Metolodi Tafsir Fazlur
Rahman Terhadap Ayat-ayat Hukum dan
Sosial. Malang: Tim UB Press, 2013.
Hidayatullah. ―Telaah Hadits Metaforis dalam
Shahih Bukhari.‖ Dalam Jurnal Antologi
Kajian Islam. Surabaya: Pascasarjana
IAIN Sunan Ampel Press, t.t.
Izzan, Ahmad. Studi Kaidah Tafsir Al-Qur‟an.
Bandung: Humaniora, 2012.
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‘an.
Sinergitas Internal Umat Islam. Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2013.
M Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan
pengantar Ilmu Al Qur‟an/Tafsir.
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Mannā’ Al-Qaṭṭān.
Mab
āḥ
ith f
ī
‚Ul
ū
m al-
Qur'
ā
n
. Riyadh: Da>r al-Ma’ārif li al-
Nashr wa al-Tawzi>, 1992.
Mukhtar, Naqiyah. ―M. Quraish Shihab,
Menggugat Bias Gender ‗Para Ulama.‘‖
QUHAS. Journal of Qur‟an and Hadith
Studies 2, no. 2 (2013): 189–208.
Musaddad, Endad. Pemikiran Tafsir
Perspektif M. Quraish Shihab. Banten:
FUD Pres, 2010.
Qadamah, Ibnu. Syarah Lum‟atul Al-„Itiqad.
Mesir: Darul Furqan, 2008.
Rofiq, Aunur. Tafsir Resolusi Konflik.
Malang: UIN-Malik Press, 2012.
Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-ayat
Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah, 2012.
Shihab, M. Quraish. Al-Qur‟an dan
Maknanya. Tangerang: Lentera Hati,
2010.
———. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera
Hati, 2013.
———. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung:
Mizan, 1995.
———. Tafsir al-Mishbah. Vol. 1. Jakarta:
Lentera Hati, 2006.
———. Tafsir al-Mishbah. Vol. 15. Jakarta:
Lentera Hati, 2006.
Syukri. ―Dimensi Sufistik dalam Pemikiran M
Quraish Shihab: Telaah tentang Konsep
Zuhud dan Tawakal dalam Tafsir Al
Mishbah.‖ Esoterik: Jurnal Akhlak dan
Tasawuf 2, no. 1 (2016): 129–45.
Ulinnuha, Muhammad. Rekonstruksi
Metodologi Kritik Tafsir. Jakarta: Azza
Media, 2015.
Wartini, Atik. ―Corak Pemikiran M. Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Misbah.‖
Hunafa: Jurnal Studia Islamika 11, no. 1
Dedi Junaedi
Konsep dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017): 223-236
236
(Juni 2014): 109–26.
doi:10.24239/jsi.v11i1.343.109-126.
Zaid, Nashr Hamid Abu. Menalar Firman
Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an
Menurut Mutazilah. Diterjemahkan oleh
Abdurrahman dan Hamka Hasan.
Bandung: Mizan, 2003.
Zulaiha, Eni. ―Tafsir Kontemporer:
Metodologi, Paradigma dan Standar
Validitasnya.‖ Wawasan: Jurnal Ilmiah
Agama dan Sosial Budaya 2, no. 1 (30
Juni 2017): 81–94. doi:10.15575/jw.
v2i1.780.