ArticlePDF Available

Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)

Authors:

Abstract

Most Muslims understand that inheritance law is the law that its formulation can not be changed, so that the reform of inheritance law in Islam is not widely practiced by Muslims, such as the formulation of the distribution of 2: 1 for men and women, many of them regard it as pemanent formulation. Therefore, inheritance law reform is done rarely, it is different with Islamic family laws that are many changed. However, it does not mean all Muslims consider it is a rule that can not be changed, but there are some people who believe that the law of inheritance in Islam can be changed in accordance with social conditions. The social conditions can influence the occurrence of a law, including inheritance law in Islam. It can be found in the thought of two figures, namely Hazairin and Munawwir Sjadzali. Both Hazairin and Munawwir Sjadzali suggest new thought about inheritance law in Islam. [Kebanyakan umat Islam memahami bahwa hukum waris adalah hukum yang rumusannya tidak dapat dirubah, sehingga pembaharuan mengenai hukum kewarisan dalam Islam tidak banyak dilakukan oleh umat Islam, misalnya rumusan tentang pembagian 2 : 1 untuk laki-laki dan perempuan yang kebanyakan dari mereka menganggapnya sebagai rumusan yang pasti. Oleh karena itu, pembaharuan hukum kewarisan ini tidak banyak dilakukan, hal ini berbeda dengan hukum keluarga Islam yang mengalami banyak pembaharuan. Meskipun demikian, tidak berarti semua umat Islam menganggapnya sebagai aturan yang tidak boleh dirubah, akan tetapi ada beberapa tokoh yang beranggapan bahwa hukum kewarisan dalam Islam dapat berubah sesuai dengan kondisi sosial yang ada. Kondisi sosial ini dapat memberikan pengaruh terhadap berlakunya suatu hukum, termasuk juga hukum kewarisan dalam Islam. Hal tersebut dapat ditemukan dalam pemikiran dua tokoh Nasional, yaitu Hazairin dan Munawwir Sjadzali. Keduanya menawarkan pemikiran baru mengenai hukum kewarisan dalam Islam].
99
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
HUKUM WARIS DAN WASIAT (Sebuah Perbandingan antara
Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)
Rosidi Jamil
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: rosidij@ymail.com
Abstract
Most Muslims understand that inheritance law is the law that its formulation can not be changed, so that the
reform of inheritance law in Islam is not widely practiced by Muslims, such as the formulation of the distribution
of 2: 1 for men and women, many of them regard it as pemanent formulation. Therefore, inheritance law reform
is done rarely, it is different with Islamic family laws that are many changed. However, it does not mean all
Muslims consider it is a rule that can not be changed, but there are some people who believe that the law of
inheritance in Islam can be changed in accordance with social conditions. The social conditions can inuence
the occurrence of a law, including inheritance law in Islam. It can be found in the thought of two gures,
namely Hazairin and Munawwir Sjadzali. Both Hazairin and Munawwir Sjadzali suggest new thought about
inheritance law in Islam.
[Kebanyakan umat Islam memahami bahwa hukum waris adalah hukum yang rumusannya tidak
dapat dirubah, sehingga pembaharuan mengenai hukum kewarisan dalam Islam tidak banyak
dilakukan oleh umat Islam, misalnya rumusan tentang pembagian 1 : 2 untuk laki-laki dan perempuan
yang kebanyakan dari mereka menganggapnya sebagai rumusan yang pasti. Oleh karena itu,
pembaharuan hukum kewarisan ini tidak banyak dilakukan, hal ini berbeda dengan hukum keluarga
Islam yang mengalami banyak pembaharuan. Meskipun demikian, tidak berarti semua umat Islam
menganggapnya sebagai aturan yang tidak boleh dirubah, akan tetapi ada beberapa tokoh yang
beranggapan bahwa hukum kewarisan dalam Islam dapat berubah sesuai dengan kondisi sosial yang
ada. Kondisi sosial ini dapat memberikan pengaruh terhadap berlakunya suatu hukum, termasuk juga
hukum kewarisan dalam Islam. Hal tersebut dapat ditemukan dalam pemikiran dua tokoh Nasional,
yaitu Hazairin dan Munawwir Sjadzali. Keduanya menawarkan pemikiran baru mengenai hukum
kewarisan dalam Islam].
Kata Kunci: Hukum Waris, Wasiat, Hazairin, Munawwir Sjadzali
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama mempunyai ajaran
yang mengatur segala urusan umatnya, baik yang
berkaitan dengan masalah ibadah, mu’amalah,
maupun siyasah, dengan artian bahwa Islam
tidak hanya berbicara tentang hubungan ma-
nusia dengan tuhannya, tapi juga berbicara
tentang hubungan manusia dengan bangsa
dan negaranya. Dalam aturan tersebut yang
dijadi kan acuan utama oleh umat Islam adalah
al-Qur’an dan Hadits, keduanya menjadi
sumber yang paling otentik dalam mencipatakan
sebuah aturan yang kemudian kita dapat meng-
istilahkannya dengan Hukum Islam.
Setelah Nabi Muhammad wafat yang hanya
mewariskan al-Qur’an dan Hadits kepada
umatnya, permasalahan hukum yang dianggap
tidak diatur secara jelas dalam kedua sumber
tersebut harus dipecahkan oleh para sahabat,
mereka melakukan ijtihad sendiri untuk dapat
memberikan jawaban terhadap suatu perma-
salahan hukum yang ada. Meskipun demikian,
dalam melakukan ijtihad ini al-Qur’an dan
Hadits tidak bisa ditinggalkan, keduanya tetap
menjadi sumber hukum utama dalam meru-
muskan suatu permasalahan hukum.
Karena dalam perkembangannya ijtihad ini
tidak hanya dilakukan oleh satu orang saja, maka
produk hukum yang dihasilkannya tidak selalu
sama, ia seringkali menghasilkan keberagaman
hukum meskipun berdasarkan pada sumber
hukum yang sama. Hal ini terjadi bukan hanya
100
Rosidi Jamil
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
karena adanya perbedaan pemikiran manusia
dan metode yang digunakannya, tapi juga karena
adanya faktor eksternal yang berupa kondisi
sosial, ekonomi, bahkan politik yang melingkupi
sang mujtahid dalam proses melakukan ijtihad,
yang mana beberapa kondisi tersebut dapat
mempengaruhi terhadap proses istinbath hukum
yang dilakukan oleh mujtahid. Oleh karena itu,
menjadi wajar ketika terjadi perbedaan pendapat
dalam permasalahan hukum Islam antara Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Sya’i, dan
Imam Ahmad bin Hanbal.
Berdasarkan kenyataan tersebut, pada per-
kembangan berikutnya ulama qh menjadikan
hukum Islam sangat dinamis. Hukum Islam ini
dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial yang
ada. Hal demikian ini dilakukan karena Islam
merupakan agama untuk semua bangsa, bukan
hanya untuk bangsa arab. Oleh karena itu, ulama
qh tidak bisa mengabaikan kondisi sosial yang
ada disekitarnya untuk dijadikan pertimbang-
an dalam memutuskan suatu permasalahan
hukum. Karena dalam permasalahan ini suatu
kaidah mengatakan bahwa “suatu hukum dapat
berubah karena berubahnya zaman, tempat, dan
keadaan”.1
Perbedaan pendapat tentang permasalahan
hukum Islam ini juga terjadi di kalangan umat
Islam Indonesia. Mereka tidak selalu seragam
dalam menetapkan suatu hukum Islam yang
dapat diberlakukan di Indonesia, ada yang lebih
cendrung menetapkannya secara tekstual dan
mengikuti pendapat ulama klasik, ada pula
yang menetapkannya secara kontekstual dan
sangat berbeda dengan pendapat ulama klasik.
Kelompok yang pertama cenderung meng-
abaikan adat yang sudah mengakar di Indonesia,
sedangkan kelompok yang kedua cenderung
ber pandangan bahwa hukum Islmam di Indo-
nesia tidak harus sama dengan hukum Islam
yang ada di Arab, Mesir, dll. dan menjadikan
adat dan budaya Indonesia sebagai salah satu
sumber hukum Islam di Indonesia. Oleh karena
itu, mereka memandang bahwa menetapkan
hukum yang disesuaikan dengan kondisi sosial
budaya bangsa Indonesia sangat diperlukan, hal
ini dapat dilakukan dengan tetap mengacu pada
dasar-dasar hukum Islam yang telah mapan,
seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah, ‘urf,
dan prinsip “perubahan hukum karena per-
ubahan masa dan tempat”. Sehingga lahirlah
konsep Fiqh Indonesia (Hasbi, 1940), Madzhab
Nasional (Hazairin, 1950-an), Pribumisasi Islam
(Abdurrahman Wahid, 1988), Reaktualisasi
Ajaran Islam (Munawir dkk., 1988), dan Zakat
Sebagai Pajak (Masdar F. Mas’udi, 1991).2
Perbedaan yang terjadi di kalangan umat
Islam Indonesia ini menyangkut banyak hal,
diantaranya adalah tentang warits dan wasiat.
Di mana pada awalnya, pandangan ulama Indo-
nesia tentang waris dan wasiat ini tidak jauh ber-
beda dengan pandangan ulama terdahulu. Akan
tetapi, seiring dengan perkembangan zaman yang
kemudian di Indonesia muncul Fiqh Indonesia,
Madzhab Nasional dan yang lain nya, hukum
waris dan wasiat tersebut mulai men dapat
sorotan dari umat Islam Indonesia, khususnya
dari pemerhati hukum Islam. Hal ini tidak lepas
dari anggapan bahwa ulama klasik kurang tepat
dalam memahami aturan waris dan wasiat yang
ada di al-Qur’an, sekaligus juga kurang tepat
untuk diterapkan dalam konteks keindonesia-
an. Oleh karena itu, dintara pemerhati hukum
Islam di Indonesia berusaha merumuskan
konsep waris dan wasiat yang menurut mereka
sesuai dengan aturan yang termaktub dalam
al-Qur’an dan sekaligus juga sesuai dengan
kon disi sosial budaya masyarakat Indonesia.
Diantara pemerhati hukum Islam di Indo-
nesia tersebut adalah Hazairin dan Munawir
Sjadzali. Yang mana keduanya mempunyai
konsep yang berbeda dengan pendahulunya ter-
kait tentang hukum waris dan wasiat. Meskipun
pandangan kedua tokoh ini tidak berbeda se cara
keseluruhan, namun ada beberapa hal yang
mempunyai perbedaan yang sangat mendasar
1 Muslih Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 195
2 Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermeneutika (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2014), hlm. 37
101
Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
dengan pandangan mayoritas ulama yang jadi
pen dahulunya. Berdasarkan kenyataan tersebut,
penyusun menganggap sangat diperlukan tulis-
an yang membahas tentang pemikiran Hazairin
dan Munawir Sjadzali mengenai hukum waris
dan wasia, oleh karenanya, penyusun men coba
untuk membahasnay dalam tulisan yang di-
beri judul “Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah
Per bandingan antara Pemikiarn Hazairin dan
Munawwir Sjadzali)”. Yang mana tulisan ini akan
mencoba menguraikan pandangan kedua tokoh
pemerhati hukum Islam di Indonesia ter sebut
terkait tentang hukum waris dan wasiat yang
menurut keduanya sesuai dengan konteks ke-
indonesiaan.
B. BiograHazairindanMunawwirSjadzali
Hazairin merupakan salah satu tokoh yang
begitu gigih dalam menyuarakan dan mem bela
hukum Islam agar bisa diterima dan diapli-
kasikan di Nusantara ini. Putra tunggal dari
pa sangan Zakaria Bahari dengan Aminah ini di-
lahir kan pada tanggal 28 November 1906 di Bukit
Tinggi. Ayah Hazairin adalah seorang guru ngaji
yang berasal dari Bengkulu. Sedangkan ibunya
berdarah Minang. Kakek Hazairin, Abu Bakar
merupakan seorang muballigh pada masa -
nya. Dari ayah dan kakeknya tersebut Hazairin
men dapatkan dasar pelajaran ilmu agama dan
Bahasa Arab yang kemudian pem be lajaran ter-
sebut banyak berpengaruh terhadap pem ben-
tukan watak Hazairin.3
Hazairin memulai karir pendidikannya
bukan dari tanah kelahirannya, melainkan di-
mulai dari tanah Bengkulu, tepatnya di Hollands
Inlandsche School (HIS), di sini Hazairin tamat
pada tahun 1920. Meskipun sekolah ini hanya
di khususkan bagi anak-anak Belanda dan
anak orang yang mempunyai kedudukan dan
martabat tertentu, seperti kaum ningrat dan Cina,
tapi Hazairin tetap bisa di HIS. Setelah Hazairin
menamatkan sekolahnya di HIS, kemudian
Hazairin melanjutkan pendidikannya ke Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang,
dan tamat pada tahun 1924. Meskipun pada saat
menyelesaikan MULO Hazairin tergolong masih
muda, tapi dia mempunyai semangat yang tinggi
dalam melanjutkan pendidikannya. Sehingga
dia melanjutkan ke Algemene Middelbare School
(AMS) dan lulus pada tahun 1927. Setelah itu
Hazairin melanjutkan sekolah tingginya di
Batavia (Jakarta) pada jurusan Hukum Adat.
Keberhasilan Hazairin dalam menempuh
pendidikannya membuat pemerintah Belanda
mengangkatnya sebagai pegawai yang diper-
bantukannya pada Ketua Pengadilan Negeri
Padang Sidempuan, Sumatera Utara, sekaligus
sebagai Pegawai Penyidik Hukum Adat Tapanuli
Selatan dan Karesidenan Tapanuli pada tahun
1938-1942. Sebelum Hazairin diberi tugas ter-
sebut, di bertugas sebagai Asisten Dosen pada
Sekolah Tinggi Hukum Batavia pada tahun 1935-
1938. Pengalaman Hazairin tidak hanya itu,
tapi juga ketika Jepang berkuasa di negeri ini,
dia diangkat sebagai Penasihat Hukum sampai
Indo nesia merdeka. Dia juga pernah menjabat
sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tapanuli
Selatan, dan merangkap Ketua Komite Nasional
Indonesia (KNI) dan Anggota Pemerintahan
Tapanuli, Asisten Residen, dan Kepala Luhak
(Majalah Tempo, 1981; 219).
Selain pejuang, Hazairin juga dikenal se-
bagai politisi. Dia pernah menjadi pimpinan
Partai Indo nesia Raya (PIR) bersama Wongso-
negoro pada tahun 1948. Berkat posisinya di
PIR, Hazairin kemudian diberi tugas untuk
memangku jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri
(Agustus 1953-November 1954) dalam Kabinet
Alisastroamidjojo. Pada saat Hazairin memim-
pin PIR, partai tersebut pecah dan melahirkan
PIR Hazairin dan PIR Wongsonegoro. Perpe-
cah an ini disebabkan terjadinya perbedaan pan-
dangan dalam menyikapi kebijakan ekonomi
yang dijalankan oleh Menteri Ekonomi, Mr Iskaq
Tjokrohadisuryo (PNI), yang oleh partai opo-
sisi (Masyumi) dinilai sebagai politik ekonomi
3 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam; Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII
Press, 2010, hlm. )51
102
Rosidi Jamil
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
nasionalis yang lebih memberikan keuntungan
kepada etnis Cina daripada kepada pribumi (Ali
Sastroamidjojo, 1974).4
Selain Hazairin termasuk pejuang dan politisi,
dia juga termasuk pakar Hukum Adat yang pro-
duktif. Dia banyak melahirkan karya tulis yang
tidak hanya berkaitan dengan Hukum Adat, tapi
juga menulis tentang agama dan negara. Diantara
karyanya adalah “Hukum Kekeluargaan Nasional”,
“Hukum Baru di Indonesia”, “Ilmu Pengetahu an
Islam dan Masyarakat”, “Negara Tanpa Penjara”.
Dan yang terakhir adalah “Tinjauan Mengenai
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974”.
Munawwir Sjadzali di Desa Karanganom,
Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 7 November
1925.5 Beliau merupakan anak tertua dari pa-
sangan Abu Aswad Hasan Sjadzali dan Tas’iyah
Putri Badruddin. Karir penididikan Munawir
Sjdzali dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah di kam -
pungnya sendiri. Selain di Madrasah Ibtidaiyah,
beliau juga menempuh pendidikan SD dan
SMP di Solo (1937-1940), dan kemudian beliau
me lanjutkan pendidikannya pada SMA dan
Sekolah Tinggi Islam Manba’ul ‘Ulum, Solo.6
Se telah merampungkan pendidikannya di salah
satu madrasah terkenal di Solo tersebut, beliau
melanjutkan studi ke Universitas Exter, Inggris.
Sedangkan pendidikan Pascasarjana yang di-
tempuh oleh beliau di Universitas Georgetown,
Amerika Serikat, selesai pada tahun 1959. Setelah
Munawir menempuh pendidikannya sampai
pada jenjang pascasarjana, beliau tidak langsung
terjun dalam dunia kajian keislaman, beliau
mengikuti kursus diplomatik dan konsuler
Departemen Luar Negeri. Oleh karena itu, se-
pertinya Munawwir lebih memilih untuk men-
jadi diplomat.7
Munawir Sjadzali hidup dalam lingkung an
keluarga yang sangat religius. Sehingga tidak
heran jika Munawir mempunyai pemahaman
agama yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh latar
belakang ayahnya yang pada masa mudanya
men jadi petualang ke berbagai pesantren untuk
menuntut ilmu agama, diantaranya adalah ke
Pesantren Jamsaren (Solo), Pesantren Termas
(Pacitan), dan Pesantren Tebuireng (Jombang).
Tidak hanya lingkungan ini yang membantu
Munawir dalam banyak memahami ilmu agama,
tapi juga karena beliau menempuh pendi di-
kan nya di lembaga yang banyak mengajarkan
tentang ilmu-ilmu keagamaan.
Munawir mempunyai pengalaman yang
sangat banyak, baik dalam bidang birokrasi
maupun yang lainnya. Dan pengalaman tersebut
tidak hanya didapatkan di dalam negeri, tapi
juga di luar negeri. Tugas yang pernah diemban-
nya di dalam negeri diantaranya adalah Kepala
Bagian Amerika Utara (1959)-1963), Kepala Biro
Tata Usaha Pimpinan Depertemen Luar Negeri
(1969-1970), Kepala Biro Umum Departemen
Luar Negeri (1975-1976), Staf Ahli Menteri Luar
Negeri, dan Direktur Jenderal Politik Depar temen
Luar Negeri, dan menjadi Menteri Agama RI se-
lama dua periode (1983-1993). Sedangkan karier
yang menjadi pengalamannya di luar negeri
adalah dimulai sejak beliau bertugas di Arab/
Timur Tengah. Selain itu, beliau menjalan kan
tugas berturut-turut di Washington DC (1956-
1959), Sekretaris I KBRI di Kolombo (1963-
1968). Setelah itu beliau menjabat sebagai Wakil
Kepala Perwakilan RI di London (1971-1974).
Selanjutnya beliau diangkat sebagai Duta Besar
RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar, dan
Perserikatan Keemirtanan Arab (1976-1980).
Selain itu, beliau juga pernah men jadi Peng-
hubung Markas Pertempuran di Jawa Tengah/
Pembantu Sukarela Wali Kota Solo (1945-1949),
diperbantukan pada Sekber Konferensi Asia
Afrika di Jakarta (1954-1955), dan pernah jadi
Ketua Komnas HAM.
4 Ibid, 53-54
5 Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan” dalam M. Wahyuni Nafis, Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Munawwir
Sjadzali, MA., cet. I (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm 7
6 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 85
7 Jalaluddin Rahmat, “Ijtihad dalam Sorotan”, Seri Kumpulan Makalah Cendikiawan Muslim; Tentang Biogra Tokoh (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 9
103
Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
Sedangkan pengalamannya dalam bidang
akademik juga banyak. Beliau pernah menjadi
Guru SD Islam Ungaran, Semarang (1944-1945),
pernah menjadi anggota Associate Member
International Institute for Strategic Studies di
London, menjadi Lektor Tamu pada Institute of
Islamic Studies McGill University, Canada (Maret-
Mei 1994), menjadi Lektor Tamu pada Uni ver sitas
Leiden, Belanda (April, 1995). Dan men da pat kan
gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama
Islam dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta (1994).8
Meskipun Munawir mempunyai banyak
kesibukan, dia tidak menjadikannya alasan
untuk tidak menulis. Dari tangannya telah lahir
bebe rapa karya tulis yang bagus, diantaranya
adalah “Islam dan Tata Negara”, “Ijtihad dalam
Sorotan” Munawir Sjadzali dkk., Bandung; Mizan,
“Dari Lembah Kemiskinan” Munawir Sjadzali
dkk.,“Ijtihad Kemanusiaan”
C. Pemikiran Hazairin
Sebagai seorang pemikir muslim di Indo-
nesia, Hazairin berpandangan bahwa negara
dan bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila
dan berkonstitusi UUD 1945, akan mencapai
kebahagiaan, kadilan, dan kemakmuran apabila
mendapat keridlaan Tuhan Yang Maha Esa.
Keridlaan Tuhan YME ini dapat terwujud jika
hukum yang berlaku di Indonesia adalah berpe-
doman pada hukum agama, atau sekurang-
kurangnya hukum yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama.9
Oleh karena itu ,Hazairin di sini termasuk
orang yang menyerang teori receptie yang me-
ngatakan bahwa hukum Islam yang berlaku di
Indonesia adalah hukum yang diterima oleh
hukum adat .Teori rereceptie ini oleh Hazairin
disebut sebagai teori iblis ,bahkan ia mengata-
kan dengan tegas bahwa teori receptie adalah
teori yang memusuhi berlakunya hukum agama
di Indonesia.
Berkaitan dengan pembaharuan hukum
Islam di Indonesia, khususnya mengenai
pem bagian harta waris, dalam bukunya yang
ber judul Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
al-Qur’an, Hazairin berpandangan bahwa pada
hakikatnya hukum kewarisan yang ada dalam
al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang ber-
corak bilateral, yaitu sistem yang mana setiap
orang menghubungkan dirinya dengan hak
keturunan ibu dan ayahnya.10 Meskipun teori ini
bersumber dari al-Qur’an yang ditafsirkan atas
fenomina yang ada dalam masyarakat Indonesia,
teori seakan-akan merupakan teori yang sama
sekali baru.
Dalam ilmu faraidl, setiap orang mendapat-
kan bagian tertentu dan dalam keadaan tertentu.
Akan tetapi dalam hal ini Hazairin berbeda adalah
hal pembagian untuk saudara. Selain itu, Hazairin
juga berbeda dalam hal sisa harta warisan setelah
dibagi kepada smua ahli waris nya.
Jika dalam pembagian waris itu masih ada
sisa, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pen-
dapat. Selain itu, Hazairin juga berbeda dalam
hal golongan ahli waris, jika ulama klasik
meng golongkannya kepada Dzawi al-Qarabah,
Dzawi al-Arham, dan Dzawi al-furudl, maka
Hazairin di sini mebaginya ke dalam Dzawi al-
furudl, ‘Ashabah, dan Mawaly,11 yaitu ahli waris
pengganti yang menjadi ahli waris karena tidak
ada yang menghubungkan antara mereka dan
si pewaris.12 Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk mengatasi bagian warisan cucu dari garis
keturunan perempuan sebagai Dzawi al-arham.
Pandangan ini jelas berbeda dengan sistem
kewarisan patrineal yang dirumuskan oleh ahli
qh Islam. Dalam memahami nash, baik itu al-
Qur’an maupun Hadits, Hazairi mempunyai
metode tersendiri, yaitu dengan melakukan
perbandingan antara segala ayat yang berkaitan
8 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 85
9 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2001), hlm. 40
10 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral; Menurut al-Qur’an (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 11
11 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral; Menurut al-Qur’an (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 18
12 Ibid, 31
104
Rosidi Jamil
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
dengan sebuah pokok persoalan, meskipun
keterkaitan antara ayat yang satu dengan yang
lainnya sangat jauh dan menjadikannya sebagai
satu kesatuan yang utuh dan saling menerangkan
antara ayat tersebut, sehingga corak penafsiran
ini tidak membolehkan mengartikan suatu
ayat yang menjadi bagian dari keseluruhan itu
secara terlepas dari keseluruhannya itu. Hal ini
Hazairin mendasarkan pada ayat al-Quran Surat
Ali Imran ayat 7 yang berbunyi;













































)






Ayat ini oleh Hazairin diterjemahkan dengan,
Dia, Allah, yang menurunkan al-Qur’an itu ke-
padamu, Ayat-ayatnya ada yang bermuat ke
tentuan-
ketentuan pokok, ada pula yang berupa permpamaan
..... orang-orang yang sungguh-sungguh berilmu
berkata: kami beriman ke padanya.... semua ayat-ayat
itu adalah dari Tuhan kami....” (QS. Ali Imran [3]:
7). 13
D. Formulasi Kewarisan Islam Menurut
Hazairin
1. Sistem Kewarisan Menurut Hazairin
Hazairin berpandangan bahwa sistem ke-
warisan tidak dapat dilepaskan dari bentuk
kekeluargaan yang berpangkal pada sistem
keturunan yang dipengaruhi pula oleh bentuk
perkawinan. Pada prinsipnya, ada tiga macam
sistem garis keturunan, yaitu;
a. Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang
yang menimbulkan kesatuan ke luarga besar
seperti klan dan marga dengan meng hu-
bungkan garis keturunan kepada ayah (laki-
laki). Misalnya keluarga masya rakat Bata.
b. Matrilineal, yaitu yaitu sistem kekeluargaan
yang yang menimbulkan kesatuan keluarga
besar seperti klan dan marga dengan meng-
hubungkan garis keturunan kepada ibu
(perempuan). Contohnya pada keluarga
masyarakat Minang di Sumatera Barat.
c. Parental atau bilateral, yaitu sistem keke-
luargaan yang menimbulkan kesatuan
ke luarga besar seperti tribe dan rumpun
dengan kebebasan menghubungkan ketu-
runan nya kepada ayah maupun ibunya.14
Berdasarkan pada tiga macam sistem ter-
sebut, Hazairin mengatakan bahwa terdapat tiga
landasan teologis normatif yang menyatakan
bahwa sistem kekeluargaan yang diinginkan al-
Qur’an adalah bilateral, diantaranya adalah:
a. Jika memperhatikan QS. Al-Nisa’ ayat 23
dan 24, maka akan ditemukan adanya izin
untuk saling kawin antara orang-orang yang
bersaudara sepupu. Hal ini menunjukkan
bahwa al-Qur’an cenderung kepada sistem
kekeluargaan bilateral.
b. QS. Al-Nisa’ ayat 11 menjelaskan bahwa se-
mua anak, baik laki-laki maupun perem puan
menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Hal
ini adalah merupakan sistem bilateral.
c. QS. Al-Nisa’ ayat 12 dan 176 menjadikan
sau dara (seayah atau seibu) sebagai ahli
waris.15
Berdasarkan landasan ini, Hazairin menyim-
pulkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an mengarahkan
hukum waris itu berdasarkan sistem bilateral.
Akan tetapi, bagi Hazairin, dengan hanya meng-
ungkapkan sistem ini tidaklah cukup, tapi dia
juga menawarkan konsep bilateral seperti apa
yang diinginkan al-Qur’an.
Langkah berikutnya adalah harus dicari
per bandingannya dengan masyarakat bilateral.
Hazairin menjelaskan bahwa terdapat sistem
kewarisan yang ada di Indonesia, yaitu;
a. Sitem kewarisan individual, sistem ini
dengan ciri-ciri bahwa harta peninggalan
dapat dibagi-bagikan pemiliknya kepada
ahli waris, seperti dalam masyarakat bila-
13 Ibid, 3
14 Ibid, hlm. 9
15 Ibid, hlm. 13-14
105
Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
teral di Jawa dan dalam masyarakat patri-
lineal di tanah Batak.
b. Sistem kewrisan kolektif, cirinya adalah
harta peninggalan itu diwarisi oleh sekum-
pulan ahli waris secara bersama-sama.
Harta tersebut tidak dapat dibagi-bagikan
pemiliknya kepada ahli warisnya, dan
hanya boleh dibagikan pemakaiannya ke-
pada ahli waris. Sistem ini dapat dilihat pada
masyarakat Minang di Sumatera Barat.
c. Sistem kewrisan mayorat, dalam sistem ini
hanya anak tertua yang berhak mewrisi
se luruh harta peninggalan si pewris. Pola
seperti ini bisa dilihat pada masyarakat
patrilineal yang beralih-alih di Bali (hak
mayorat anak laki-laki tertua), dan di tanah
Semendo di tanah Sumatera Selatan (hak
ma yorat anak perempuan tertua).16
Penggabungan antara hukum masyarakat
dengan huku kewarisan akan menghasilkan
pola kewarisan yang dipengaruhi oleh hukum
masyarakat. Akan tetapi hukum kewarisan
tersebut tidak harus dipersepsikan dalam satu
hukum masyarakat, karena satu hukum ke-
warisan dapat terjadi pada berbagai hukum
masyarakat. Misalnya kewarisan individual
bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat
bilateral, tapi dapat juga ditemui dalam masya-
rakat patrilineal seperti di tanah Batak. Demikian
juga kewarisan mayorat dapat ditemui dalam
masyarakat patrilineal yang beralih-alih di tanah
Semendo dan bisa pula ditemui pada masya-
rakat bilateral pada suku Dayak di Kalimantan
Barat.17
Namun, berdasarkan beberapa sistem ke-
warisan yang tersebut di atas, Hazairin ber-
pandangan bahwa yang sesuai dengan al-Qur’an
adalah sistem kewarisan individual. Sistem ini
berdasarkan pada pandangan bahwa dengan
matinya pewaris, maka harta-hartanya dengan
sendirinya berpindah kepada ahli warisnya.
Sistem ini juga menghendaki bahwa dengan
matinya si pewris, maka ahli warisnya dapat
diketahui dengan pasti.18 Kemudian, menurut
Hazairin, dalam al-Qur’an terdapat bebe-
rapa ayat yang secara substantif mengandung
unsur-unsur individual. QS al-Nisa’ ayat 7 dan
33 mengandung prinsip-prinsip bagi sistem
kewarisan individual, yaitu adanya ahli waris
yang berhak mendapatkan bagian yang pasti,
dalam hal ini QS. Al-Nisa’ sengaja menyebut
bagiannya. Dengan demikian, Hazairin menyim-
pulkan bahwa sistem kewarisan menurut al-Qur’an
adalah termasuk sistem individual bi la teral.
Jika ditelaah, ternyata sistem hukum kewa-
risan Hazairin ini mirip dengan asas hukum
kewarisan Islam, yaitu;
1. Peralihan harta dari seseorang yang telah
mati kepada ahli waris berlaku dengan
sendirinya,
2. Bilateral, yaitu seseorang berhak menerima
harta warisan dari kedua pihak garis ke-
turunan,
3. Individual, yaitu harta warisan dapat dibagi
untuk dimiliki oleh perorangan,
4. Keadilan yang berimbang, yaitu keseim-
bangan antar hak dan kewajiban dan ke-
seimbangan antara yang diperoleh dengan
keperluannya,
5. Kewrisan hanya semata akibat kematian,
yaitu jika seseorang yang mempunyai harta
dan belum meninggal, maka hartanya tidak
dapat beralih kepada orang lain.
2. Penggolongan Ahli Waris Menurut
Hazairin
Hazairin menggolongkan ahli waris tidak
sama dengan penggolongan ulama klasik,
yang mana jika mengacu pada penggolongan
ulama klasik ahli waris itu terdiri dari Dzul
faraidl, ‘ashabah, dan dzul arham. Sedangkan
penggolongan Hazairin adalah sebagai berikut;
16 Ibid, hlm. 13
17 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam; Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005),
hlm. 78
18 Ibid, hlm. 16
106
Rosidi Jamil
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
a. Dzul Faraidl
Dzul Faraidl adalah orang yang mempunyai
bagian tertentu atau ahli waris yang mem-
peroleh bagian warisan tertentu dan dalam
keadaan tertentu. Yang termasuk dalam go-
longan ini menurut Hazairin adalah a) anak
perempuan yang tidak beserta dengan anak
laki-laki atau menjadi mawali bagi anak
laki-laki yang telah meninggal lebih dulu,
b) ayah jika ada anak laki-laki dan/atau
pe rem puan, c) ibu, d) seorang atau lebih
sau dara laki-laki dan perempuan, e) suami,
f) istri, dan g) mawali sebagai pengganti.
Diantara mereka ada yang selalu menjadi
dzul faraidl saja, yaitu ibu, suami, dan istri,
dan ada pula yang sesekali menjadi ahli
waris yang bukan dzul faraidl, yaitu anak
pe rempuan, ayah, saudara laki-laki, dan
sau dara perempuan.
b. Dzul Qarabat
Dzul Qarabt ini adalah orang yang menerima
sisa harta dalam keadaan tertentu, yang
termasuk dalam golongan ini diantara nya
adalah anak laki-laki dari ahli waris laki-
laki, sesperti anak laki-laki dari ahli waris
laki-laki atau perempuan.
c. Mawali
Mawali ini adalah orang yang mewarisi
harta sebab menggantikan kedudukan orang
tua mereka yang telah meninggal lebih
dulu.19
3. Keadilan Gender dalam Kewarisan Islam
Menurut Hazairin
Ciri khas yang ditawarkan Hazairin dalam
konsep kewarisan bilateral adalah mawali.
Konsep ini dipandang memenuhi standard
keadilan gender. Mawali ini disebut sebagai
pengurangan dominasi laki-laki dalam hukum
kewarisan Islam sebelumnya. Dalam kewaris an
Sya’iyah, anak perempuan menjadi ‘ashabah
bukan atas kedudukannya sendiri sebagai
‘ashabah, akan tetapi disebabkan adanya anak
laki-laki yang menariknya sebagai ‘ashabah. Hal
ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan
Hazairin, dia memandang bahwa anak laki-
laki dan perempuan mempunyai hak dan ke-
dudukan yang sama sebagai ahli waris. Kebe-
radaan keduanya bersifat mandiri dan tidak ada
ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.
Terkait dengan ini ada beberapa kemungkinan
yang akan diperoleh mawali, yaitu;
a. Ahli waris pengganti yang semula dinya-
ta kan bukan sebagai ahli waris dapat ber-
ubah menjadi ahli waris. Kemungkinan
ini terjadi bagi orang yang dalam konsep
kewarisan Sya’i disebut dzawil arham.
Namun dalam konsep kewarisan bilateral
status nya menjadi ahli waris pengganti yang
menggantikan ayah/ibunya yang telah
lebih dulu meninggal,
b. Ahli waris pengganti yang semula terhijab
menjadi mewarisi. Dalam kewarisan sya’i
ahli waris golongan ini adalah orang yang
statusnya sebagai ahli waris yang terhijab
oleh kelompok ahli waris yang derajatnya
lebih dekat. Dalam kewarisan bilateral,
kelompok ini bisa saja menjadi ahli waris,
sebab walaupun derajatnya lebih jauh ia
meng gantikan ayah/ibunya, maka bagian-
nya adalah menggantikan bagian orang
yang digantikannya,
c. Bagian mawali yang tadinya sedikit karena
menggantikan orang yang mendapatkan
bagian lebih banyak,
d. Bagian ahli waris yang semula mendapatkan
bagian banyak menjadi lebih sedikit. Kasus
yang seperti ini bisa terjadi jika orang yang
menggantikan lebih dari satu orang, sebab
harus dibagi sesuai dengan jumlah mereka,
dengan ketentuan dua untuk laki-laki dan
satu untuk perempuan.20
19 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam; Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press,
2005), hlm. 82-83
20 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam; Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005),
hlm. 166
107
Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
4. Wasiat Menurut Hazairin
Menurut Hazairin ayat-ayat yang berkaitan
dengan wasiat tidak ada yang dinasakh. Dia
berpandangan bahwa ayat tentang wasiat kepada
kepada ahli waris masih dapat diberlakukan.
Hanya saja karena karena pembagian harta
waris kepada keluarga sudah ditetapkan dalam
al-Qur’an, maka wasiat tersebut hanya berlaku
dalam hal-hal khusus mengenai ayah, ibu, anak,
dan saudara-saudara. Misalnya diantara mereka
ada yang sakit lumpuh berlarut-larut sehingga
banyak membutuhkan banyak biaya pengobatan,
atau seorang anak yang mem punyai bakat yang
membutuhkan banyak biaya unruk dapat me-
ngembangkannya, atau se orang saudara yang
sangat terlantar hidupnya yang bukan karena
kesalahannya, atau adanya tang gungan hidup
yang besar dibandingkan dengan saudara-sau-
dara yang lain. Terhadap bebe rapa keadaan
isti mewa ini ukuran ma’ruf itu terbatas kepada
kebutuhan istimewa dari anggota keluarga yang
bersangkutan. Dalam hal wasiat ini sudah ada
batasan umum yang ditentu kan, yaitu tidak boleh
melebihi 1/3 dari harta peninggalan.
E. Pemikiran Munawwir Sjadzali
Munawwir Sjadazali mempunyai bebe rapa
pandangan baru terkait dengan isu keaga ma an
dan kenegaraan, diantaranya adalah tentang
“selalu terbukanya pintu ijtihad”, “Hukum
Islam bersifat dinamis dan elastis”, dan “ke-
adil an menjadi dasar kemaslahatan”, dll.
Dalam kaitannya dengan konsep qath’i-dzanni,
Munawir menawarkan konsep yang ber beda
dengan ulama klasik. Yang mana konsep
qath’i-dzanni ini yang merupakan teori pokok
yang dikembangkan oleh para ulama untuk
me mahami al-Qur’an dalam perspektif pena-
laran Hukum Islam.21 Sebagai istilah, konsep
qath’i-dzanni ini bisa dikatakan “aman” dari
gugatan karena keserupaanya dengan muhkam-
mutasyabih. Akan tetapi keduanya mempunyai
perbedaan dalam penggunaanya. Jika qath’i-
dzanni digunakan untuk memahami ayat-ayat
hukum, maka muhkam-mutasyabih digunakan
untuk ayat-ayat yang selain hukum.22
Meskipun Munawir menawarkan rekon-
struksi terhadap konsep qath’i-dzanni, akan
tetapi dia tidak memberikan penjelasan lebih
jauh mengenai rumusan yang ditawarkannya.
Munawwir hanya menunjukkan beberapa bukti
sejarah yang dianggap sebagai penyimpangan
hukum dari ketentuan ayat yang bersifat qath’i
yang dilakukan oleh beberapa sahabat nabi.
Selain menawarkan rekonstruksi terhadap kon-
sep ini, Munawair juga berpandangan bahwa
beberapa kaidah qh dan ushul qh yang mem-
punyai relevansi sampai sekarang. Oleh karena
itu, hal tersebut bisa dijadikan acuan dalam me-
lakukan reaktualisasi hukum Islam.
Bertitik tolak dari hal di atas, Munawwir
men dorong umat Islam untuk melakukan ijtihad
secara berani dan jujur. Hanya dengan cara ini,
menurutnya Islam bisa lebih responsif ter hadap
permasalahan yang berlaku secara tem poral di
Indonesia. Sedangkan yang menjadi landasan
hukum gagasan reaktualisasi yang ditawarkan
Munawwir adalah al-Qur’an dan Hadits. M enurut
Munawwir dalam al-Qur’an dan Hadits terda-
pat apa yang dsebut dengan nasakh. Yang mana
dengan nasakh ini dalam ayat-ayat al-Qur’an
ada ayat yang berisikan tentang pergeseran atau
bahkan pembatalan terhadap hukum yang ada.
Sehingga dengan ini Munawwir berkesimpulan
bahwa jika hanya dalam kurun waktu 22 tahun
terdapat pembaharuan terhadap hukum yang
ada, maka menjadi mustahil jika pada waktu
yang jaraknya lebih jauh setelah diturunkannya
al-Qur’an pada saat ini tidak ada pembaharuan.
Bagi Munawwir, pembaharuan terhadap hukum
Islam bisa saja menjadi sebuah keniscayaan.
Selain berpijak pada al-Qur’an dan Hadits,
Munawwir mendasarkan gagasannya tentang
21 Al Yasa Abu Bakar, “Beberapa teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya”, dalam Eddi Rudiana Arif, dkk., Hukum Islam di Indonesia
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), hlm. 173
22 Masdar F. Mas’udi, “Mendekati Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformatif” dalam Iqbal Abdul Ra’uf Saimina, Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Putaka Panjimas, 1988), hlm. 182
108
Rosidi Jamil
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
reaktualisasi ajaran Islam pada tindakan Umar
bin Khattab. Dimana selama Umar menjabat
sebagai khalifah seringkali mengeluarkan
kebijakan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
bunyi ayat al-Qur’an. Misalnya bisa dilihat pada
kasus pembagian harta rampasan perang yang
tidak sesuai dengan bunyi ayat al-Qur’an Surat
al-Anfal ayat 41 yang berbunyi;

















1)






“ketauilah sesungguhnya apa saja yang kamu
peroleh sebagai rampasan perang, maka sesung-
guhnya seperlima dari harta tersebut adalah
untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil,
de mikian jika kamu beriman kepada Allah dan
kepada apa yang kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada
hari bertemunya dua pasukan.” QS. Al-Anfal
[8]: 41.2
Dalam kaitannya dengan kedudukan laki-
laki dan perempuan, Munawwir mengatakan
bahwa Islam mengajarkan prinsip persamaan
antara semua manusia, Islam tidak mengajarkan
adanya perbedaan manusia hanya karena
perbedaan ras, suku, dan bangsa. Dalam hal ini
Munawwir mengacu pada QS. Al-Hujurat ayat
13 yang berbunyi;



 

 

 
 
 


 



)


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perem-
puan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal” (al-Hujurat [49]: 13).
Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri
adalah bahwa ketentuan hukum waris dalam
Islam sudah diuraikan dalam al-Qur’an secara
rinci dan sistematis, dengan artian bahwa setiap
orang yang meninggal dan mempunyai harta
peninggalan, maka orang-orang yang menjadi
ahli warisnya akan mendapatkan bagian tertentu
dan dalam keadaan tertentu. Hal ini yang ke-
mudian dijadikan dasar oleh ulama untuk me-
nen tukan pembagian harta warisan kepada orang
yang berhak menerimanya.
Dalam rumusan ulama klasik, harta warisan
yang akan diperoleh oleh ahli waris laki-laki
dan perempuan mempunyai sistem kalkulasi
yang berbeda. Hitungannya adalah bahwa se-
orang perempuan akan mendapatkan harta
peninggalan yang lebih sedikit daripada laki-
laki, sistem kalkulasinya adalah 2:1. Dengan
artian bahwa perempuan berhak mendapat kan
harta warisan separuh dari laki-laki. Namun,
bagi Munawwir konsep tersebut perlu diragukan
keadilannya. Berdasarkan penelitian dan ke-
nyataan yang terjadi di masyarakat yang oleh
hakim di berbagai daerah yang kuat keislamannya
dilaporkan kepadanya ter nyata terjadi tindakan
yang menyimpang dari ke tentuan al-Qur’an
tentang rumusan 2:1 tersebut.
Jika melihat prakteknya dalam kehidupan
masyarakat, mereka seringkali tidak melakukan
pembagian waris sesuai dengan ketetapan al-
Qur’an. Selain itu, rumusan 2:1 ini terkadang
mem buat kepala keluarga mengambil tindakan
preventif, yang mana seseorang semasa hidup-
nya telah membagikan harta kekayaan mereka
kepada anak-anak dan anggota keluarga mereka
dengan bagian yang tidak membedakan antara
laki-laki dan perempuan. Sehingga ketika orang
tersebut meninggal dunia, harta yang di mili ki-
nya tinggal sedikit atau bahkan tidak ada sama
sekali kecuali harta yang disiapkan untuk ke-
perluan perawatan janazah. Meskipun hal ini
tidak bertentangan dengan ketentuan agama,
tapi tindakan ini telah melumpuhkan semangat
untuk menciptakan keadilan yang diinginkan
agama.
Selanjutnya Munawwir Sjdzali juga mema-
parkan tentang pengalaman peribadinya kepada
seorag ulama terkemuka dalam nasihat waris
23 QS. Al-Anfal [8]: 41
24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surakarta: Media Insani Publishing, 2007), hlm. 182
109
Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
bagi tiga orang anak laki-laki dan tiga orang anak
perempuan. Tiga orang anak laki-laki tersebut
telah banyak menghabiskan harta karena me -
reka menyelesaikan studi mereka di luar negeri.
Sedangkan anak-anak perempuan tidak mene-
ruskan ke perguruan tinggi kecuali hanya belajar
di sekolah-sekolah kejuruan dengan biaya yang
jauh lebih murah.
Menurut Munawir jika dia meninggal dunia
maka menurut ketentuan yang ada, anak laki-
laki akan memperoleh bagian dua kali lipat dari
bagian anak-anaknya yang perempuan, padahal
anak laki-lakinya telah banyak menghabiskan bila
dibandingkan dengan anak-anak perempuan. Di
sini keadilan akan terganggu jika anak-anak
perempuan akan memperoleh bagian waris lebih
kecil dari bagian anak laki-laki.25
Ulama terkemuka tersebut ternyata hanya
memberitakan bahwa apa yang beliau laku-
kan sendiri dan para ulama lainnya di lakukan
di mana selagi hidup, mereka menghibahkan
harta mereka kepada anak-anak mereka tanpa
mem bedakan jenis kelamin dengan bagian
yang sama rata diantara mereka. Dan apabila
mereka meninggal dunia, harta mereka yang
tinggal sedikit akan dibagi secara faraidl Islam.
Belum lagi laporan hasil penelitian Mahasiswa
di Aceh bahwa 81 % masyarakat setempat lebih
suka meminta fatwa waris di Pengadilan Negeri
daripada ke Pengadilan Agama.26
Dari seluruh kenyataan tersebut, secara ide
masyarakat muslim menrima kopnsep waris
antara laki-laki dan perempuan 2:1, akan tetapi
perakteknya masyarakat menjalankan sistem
pembagian 1:1 antara laki-laki dan perempuan.
Masyrakat muslim sendiri tanpa disadari telah
melakukan suatu dekonstruksi sistem kalkulasi
2:1 menjadi 1:1, maka bagi Munawir per soalan
tersebut harus dikirkan dan mencari kemung-
kinan agar dapat diterapkan secara legal di
Pengadilan Agama tanpa harus sembunyi-sem-
bunyi dengan melakukan hilah hibah atau cara
lain, tetap harus berdasarkan hukum yang di-
dukung oleh penafsiran baru dalam al-Qur’an.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa
Munawir mengatakan bahwa hukum waris
Islam seperti yang telah ditentukan al-Qur’an
dan Hadits itu utidak akomodatif, justru sikap
masya rakat sendiri yang tidak lagi percaya pada
keadilan yang ingin diwujudkan oleh kewrisan
Islam.
Kehadiran pemikiran tentang reaktuali sasi
kewarisan Islam ini, lahir dengan seperangat
argumentasi tekstual maupun kontekstual.
Jelaslah bahwa penyimpangan dari faraidl tidak
selalu berdasar pada tipisnya iman umat Islam,
melainkan dipengaruhi budaya dan struktur
sosial masyarakat Indonesia yang sedemikin rupa.
Pemikiran Munawir ini dapat dipahami kalau
melihat struktur budaya Indonesia yang jauh
ber beda ketika ayat waris diturunkan kepada
masya rakat arab yang kental dan kuat budaya
patriarkinya. Bahwa wanita Indonesia sekarang
tidak hanya sebagai orang yang mengurus dapur
saja, kasur, dan sumur belaka, tetapi mereka
punya peran yang sama dengan laki-laki dalam
kesejajaran. Suami dan istri sama-sama bahu
mem bahu mencari nafkah untuk mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga atas
dasar gotong royong, masing-masing bekerja me-
nopang kokohnya kehidupan keluarga. Dalam
bentuk seperti inilah menjadi adil apabila anak
laki-laki dan perempuan mendapat bagian waris
yang sama.
Formulasi pembagian waris 2:1 dalam qh
Islam yang selama ini dipahami sebagai ke-
tentuan yang sudah nal, oleh Munawir hal
tersebut bukan dianggap sebagai ketentuan yang
harus diterapkan sesuai dengan teks yang ada.
Munawir menganggap formulasi pembagian
warisan 2:1 dianggap tidak qath’i,27 benar tidak-
nya ketentuan itu harus diukur sejauh mana
25 Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Iqbal Abdurrauf Saimina, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam
(Jakarta: Panjimas, 1980), hlm. 63
26 Ibid, hlm. 64
27 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 61-62
110
Rosidi Jamil
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
ia mencerminkan keadilan-keadilan sebagi
perinsip muhkamat universal yang diacunya.
Menurutnya, sebagi ketentuan operasional yang
kontekstual (dzanni), kita harus memahaminya
dari konteks sosial ketika ajaran (waris) itu di-
canangkan.28
Dalam konteks ini, Munawir mengajak
untuk selalu memperhatikan dua hal. Pertama,
membandingkan dengan realitas sebelumnya
ketika perempuan tidak diberi hak mewarisi,
bahkan menjadi bagian dari harta yang di waris-
kan. Dalam pandanagn Munawir, penetapan
syari’at yang memberikan hak waris kepada
kaum perempuan merupakan keputusan yang
revolusioner dan radikal ketika itu.29 Dengan arti
lain bahwa perempuan yang sebelumnya tidak
memperoleh bagian warisan, kemudian oleh
Islam diberi hak untuk menerimanya meski pun
hanya setengah dari bagian laki-laki.30 Memang
ada yang beranggapan bahwa alasannya kurang
jelas jika kemudian yang menjadi per soalan
adalah kenapa waktu itu Islam tidak se kaligus
memberikan bagian yang sama antara laki-
laki dan perempuan, akan tetapi ajaran Islam
seringkali diberlakukan secara bertahap seba-
gai mana dalam permasalahan pengharaman
khamr. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa
jiwa ayat waris dalam al-Qur’an pada dasarnya
adalah merupakan usaha untuk meningkatkan
hak dan derajat perempuan, hal tersebut mesti-
nya terus dilakukan dan tidak boleh berhenti.
Dan oleh karena kehidupan modern yang ada
saat ini memberikan kewajiban yang lebih
besar kepada perempuan dibanding pada masa
lalu, sehingga perempuan saat ini juga dapat
memberikan peran yang sama dengan laki-laki,
maka dianggap merupakan hal yang logis jika
hak-hak perempuan dalam bagian waris diting-
katkan dari yang asalnya hanya menda pat kan
bagian separuh dari bagian laki-laki menjadi
men dapatkan bagian yang sama.31
Dengan demikian Islam sebenarnya telah
menetapkan sebuah norma bahwa perempuan
dan laki-laki adalah sama-sama sebagai subyek
yang mewarisi. Kedua, untuk menjawab per-
masalahan yang berupa kuantitas (jumlah) bagian
waris perempuan hanya separuh dari bagian laki-
laki, harus dilihat dari setting sosial ekonominy,
terutama dalam kehidupan ke luarga ketika itu
yang menyebabkan nafka keluarga sepenuhnya
menjadi tanggung jawab laki-laki.32 Tetapi, yang
dipertanyakan Munawir adalah apakah struktur
ekonomi dalam keluarga masya rakat masih
seperti itu?.
Dalam pemikiran Munawir, apabila ternyata
latar belakang dan ekonomi keluarga yang men-
jadi basicnya sudah berubah, dan karena itu
muatan keadilan pun berkurang maka tidak ada
halangan sedikitpun untuk melakukan modi kasi
terhadap ketentuan waris 2:1. Menurut Munawir
yang terpenting adalah ajaran prinsip dalam
Islam tentang keadilan tetap ditegakkan.33
F. Analisis Pemikiran Hazairin dan Munawwir
Sjadzali tentang Hukum Waris
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa
konsep keadilan dalam hukum waris tidak hanya
mempunyai satu formulasi, tapi ia mempunyai
lebih dari satu formulasi yang dibentuk oleh
kon disi sosial yang berbeda-beda. Karena apa
yang dianggap adil oleh satu golongan ma sya-
rakat belum tentu dianggap adil oleh golong an
masyarakat yang lain. Oleh karena itu, hukum
kewarisan Islam tidak selamanya di pahami
sebagai hukum yang mempunyai rumusan yang
tetap dan tidak dapat berubah sebagaimana
28 Ibid, hlm. 62
29 Ibid, hlm. 2
30 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan: Tafsir Ayatu al-Ahkam min al-Aqur’an, vol I (Kuwait: Daru al-Qur’an al-
Karim, 1972), hlm. 436
31 M. Atho’ Mudzhar, “Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam”, dalam Jurnal Studi Islam Profetika,
vol. 1 No. 1, 1999 (Surakarta: UMS, 1999), hlm. 119
32 Ibid, hlm. 61-62
33 Ibid, hlm. 62
111
Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
yang dipahami oleh kebanyakan umat Islam
selama ini, tapi hukum kewarisan Islam ini
sama dengan hukum-hukum yang lain yang
dapat berubah sesuai dengan situasi dan kon-
disi yang melingkupinya. Bahkan perubahan
zaman sekalipun dapat mempengaruhi terhadap
perubahan hukum. Sehingga tidak dapat di-
pungkiri jika pembaharuan terhadap hukum
Islam gencar dilakukan di negara-negara Muslim
seiring dengan perkembangan zaman yang laju-
nya tidak dapat dibendung.
Karena hukum waris juga sama dengan
hukum-hukum yang lain yang dapat berubah,
maka menjadi salah jika umat Islam hanya berpijak
pada hukum kewarisan yang dirumuskan oleh
ulama klasik. Karena hukum kewarisan yang di-
buat pada masa lalu juga tidak bisa dilepaskan
dari kondisi yang melingkupi hukum tersebut.
Berangkat dari kenyataan ini, tidak heran jika
kemudian Hazairin dan Munawwir Sjadzali
me nawarkan beberapa formulasi yang berbeda
dengan konsep kewarisan Islam klasik. Karena
keduanya memandang bahwa dalam hukum
kewarisan yang selama ini berlaku ada beberapa
hal yang dianggap tidak sejalan dengan nilai
dasar keislaman, yaitu keadilan. Yang mana
dengan formulasi yang berbeda pula, Hazairin
dan Munawwir bertujuan untuk sama-sama
men ciptakan keadilan dalam konsep kewarisan
Islam. Dengan arti lain, formulasi yang berbeda
dari dua tokoh nasional ini mempunyai satu
tujuan, yaikni untuk memberikan keadilan. Yang
mana konsep keadilan yang lahir dari dua for-
mulasi yang berbeda ini tidak lain disebabkan
oleh kondisi yang disaksikan oleh kedua tokoh
ter sebut yang kemudian mempengaruhi cara
ber kir keduanya.
Misalnya kita lihat konsep mawali yang
ditawarkan oleh Hazairin. Dengan konsep ini
Hazairin ingin mengurangi dominasi laki-laki
atas perempuan sebagaimana yang selama ini
ber laku dalam hukum kewarisan Islam. Di mana
jika mengacu pada konsep kewarisan Sya’iyah
anak laki-laki bisa saja menarik anak perem-
puan bisa menjadi ‘ashabah. Dengan ini dapat
dipahami bahwa anak perempuan mempunyai
ketergantungan terhadap anak laki-laki. Inilah
yang kemudian oleh Hazairin dianggap tidak
memberikan keadilan gender. Oleh karena
itu, dengan konsep mawalinya ini Hazairin
me mandang bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai hak dan kedudukan yang sama
se bagai ahli waris. Yang mana keberadaan
kedua nya bersifat mandiri dan tidak ada keter-
gantungan antara yang satu dengan yang lain-
nya.
Dari salah satu konsep kewarisan yang
ditawarkan Hazairin ini menunjukkan bahwa
hukum kewarisan yang selama ini berlaku ter-
nyata telah mencederai keadilan. Pemahaman
ini tidak berarti Hazairin ingin menyalahkan
konsep yang ada, tapi ia ingin menunjukkan
bahwa konsep ini merupakan rumusan yang
sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini.
Karena konsep mawali ini tidak bisa dilepaskan
dari kepakaran Hazairin mengenai hukum
adat. Yang mana Hazairin melihat konsep ke-
warisan yang ada di Indonesia tidak ada yang
sama dalam memperlakukan laki-laki dan pe-
rem puan. Dengan arti lain bahwa meski pun
di satu daerah seorang laki-laki tertua berhak
mewarisi seluruh harta pewaris, dan di daerah
lain seorang perempuan tertua berhak mewarisi
seluruh harta pewaris, namun bukan berarti
laki-laki dan perempuan di sini mempunyai
ketergantungan. Karena keduanya berlaku di
daerah yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dalam
konsep kewarisan mayorat. Oleh karena ini
pulalah, konsep waris bilateral yang tidak mem-
beda-bedakan garis keturunan oleh Hazairin di-
anggap yang paling sesuai dengan konsep yang
ada dalam al-Qur’an. Dan dengan konsep yang
berbeda-beda di setiap daerah tersebu Hazairin
yang dikenal sebagai pendiri Madzhab Nasional
ini ingin menyeragamkan konsep waris Islam
yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia.
Karena umat Islam di Indonesia yang juga mem-
berlakukan hukum adat masih ada yang mem-
beda-bedakan garis keturunan, yang hal ini
di anggap tidak memberikan keadilan gender.
112
Rosidi Jamil
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
Berbeda Hazairin, berbeda pula Munawwir
Sjdzali. Munawwir Sjdzali di sini menawarkan
perubahan yang lebih revolusioner. Karena
Munawwir tidak hanya melihat kesamaan hak
dan kedudukan antara laki-laki dan perem-
puan, tapi juga bagian harta warisan yang akan
di peroleh laki-laki dan perempuan menurut
Munawwir mempunyai besaran yang sama.
Dalam permasalahan ini Munawwir sangat
berani mengusulkan perubahan terhadap
hukum kewarisan Islam. Melalui gagasannya
yang berupa ‘Reaktualisasi Ajaran Islam’, men-
coba menyentuh rumusan yang menurut ke-
banyakan umat Islam tidak boleh disentuh. Yaitu
rumusan tentang pembagian 2:1 antara laki-laki
dan perempuan. Yang mana Munawwir menge-
mukakan bahwa rumusan tersebut saat ini
tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Karena
dengan memberlakuan rumusan tersebut, maka
nilai dasar agama yang berupa keadilan akan
ter cederai. Karena bagi Munawwir budaya di
Indonesia tidak seperti budaya di Arab yang
men jadikan perempuan berada di bawah laki-
laki. Sehingga laki-laki berhak mendapatkan
bagian yang lebih banyak. Sedangkan di Indo-
nesia laki-laki dan perempuan sama-sama
bekerja. Di Indonesia, suami dan istri berada
pada posisi yang saling memberi dan saling
meng untungkan, sehingga mereka dianggap
sebagai mitra yang berada pada posisi yang
sama. Selain karena pertimbangan kebudayaan
tersebut, Munawwir menyaksikan banyak kasus
yang menyelewengkan konsep waris karena
dianggap tidak memberikan keadilan. Misal-
nya jika ada seseorang yang ingin membagikan
harta nya secara sama kepada para ahli warisnya,
mereka melakukannya dengan cara hibbah,
sehingga jika orang tersebut meninggal maka
hartanya tinggal sedikit, atau bahkan habis yang
kemudian tidak ada harta warisan yang perlu
dibagikan lagi.
Kenyataan tersebutlah yang disaksikan
Munawwir yang kemudian memberikan
rumus an 1:1 antara laki-laki dan perempuan.
Munculnya rumusan ini tidak lahir dari ruang
hampa, tapi ia muncul dari kegelisahan-kege-
lisahan dari apa yang dilihatnya dalam praktek
masyarakat. Pengalamannya sebagai Menteri
Agama yang sering mendapatkan laporan tentang
praktek keagmaan di kalangan masyarakat
juga telah menggiring Munawwir untuk dapat
mencari solusi dan rumusan baru dalam mereak-
tualisasikan hukum kewarisan Islam. Karena
Munawwir melihat bahwa kebanyakan cara ber-
islam nya seseorang dapat dianggap mendua, di
satu sisi dia ingin menerapkan hukum kewarisan
Islam, namun di sisi lain dia mencari jalan lain
yang dianggap lebih memberikan keadilan. Cara
seperti inilah yang kemudian dapat dianggap
bahwa orang tersebut telah meragukan keadilan
yang ada dalam hukum kewarisan Islam. Dengan
demikian, orang tersebut sepertinya ber anggap-
an bahwa ada cara lain yang lebih adil daripada
hukum waris Islam.
Rumusan yang ditawarkan Munawwir ini
lagi-lagi tidak ingin menyalahkan rumusan yang
ada sebelumnya. Muanawwir di sini ingin me-
ngatakan bahwa karena budaya di Indonesia
berbeda dengan budaya yang ada di Arab, maka
rumusan 2:1 dianggap tidak adil jika diterapkan
di Indonesia. Rumusan tersebu bisat saja akan
dianggap jika diberlakukan di luar Indonesia.
Karena sebagaimana sudah disinggung di atas,
bahwa adanya hukum tidak bisa dipisahkan dari
konteks ruang dan waktu yang melingkupi nya.
Sebab konteks tersebut memberikan pengaruh
terhadap adanya perubahan dalam hukum,
ter masuk juga dalam hukum kewarisan. Oleh
karena itu, rumusan 1:1 tidak bermaksud ingin
me rubah rumusan bagian waris 2:1 antara laki-
laki dan perempuan, tapi rumusan tersebut ingin
mengemukakan bahwa aturan hukum waris
bisa saja tidak sama yang disesuaikan dengan
konteks di mana hukum itu diberlakukan.
Ru musan ini ingin mengatakan pula bahwa
ke tentuan pembagian waris yang ada dalam al-
Qur’an yang selama ini dianggap sebagai qath’i
oleh kebanyakan umat Islam bukan merupa-
kan ketentuan hukum yang terlarang untuk
dirubah, akan tetapi terhadap ketentuan tersebut
113
Hukum Waris dan Wasiat (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali)
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
dimungkinkan untuk dilakukan perubahan
sesuai dengan konteks yang ada.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat
di pahami bahwa, baik Hazairin mau pun
Munawwir, ingin menunjukkan bahwa keten-
tuan hukum waris Islam berada pada posisi yang
sama dengan hukum yang lain dalam hal ada nya
kemungkinan untuk dilakukan pembaharu an.
Selama ini diantara yang menghambat adanya
pembaharuan terhadap hukum waris Islam ada-
lah adanya anggapan bahwa ketentuan hukum
waris adalah merupakan ketentuan yang sudah
pasti dan tidak dapat dirubah. Oleh karena itu,
pembaharuan terhadap hukum waris sangat
lamban, berbeda dengan hukum perkawinan
yang selama ini sudah banyak dilakukan pem-
baharuan terhadapnya.
Rumusan yang ditawarkan Hazairin dan
Munawwir telah membuka peluang terhadap
adanya pembaharuan dalam hukum kewarisan
Islam secara umum, dan dalam hukum kewarisan
Islam di Indonesia secara khusus. Hal ini perlu
dilakukan tidak lain untuk dapat menciptakan
keadilan bagi setiap manusia tanpa melihat jenis
klamin dan kelas sosial. Karena jika mengacu
pada dua formulasi di atas, yang menjadi dasar
utama dalam adalah nilai keadilan. Dengan arti
lain, rumusan ketentuan hukum waris yang ada
dalam hukum Islam bukanlah merupakan hal
yang tetap dan tidak dapat berubah, ketentuan
tersebut dapat berubah karena ia merupakan
hasil ijtihad manusia yang bersumber dari
al-Qur’an dan Hadits. Karena hasil ijtihad ma-
nusia merupakan produk yang meruang dan
mewaktu, maka ia tidak bisa menjadi aturan yang
mutlak. Ia juga terikat oleh ruang dan waktu yang
sewaktu-waktu dapat berubah.
Jika ketentuan hukum waris Islam dapat
berubah, maka ada nilai dasar yang terkandung
dalam hukum waris tersebut yang tidak dapat
berubah, yaitu keadilan. Karena dua formulasi
yang berbeda yang ditawarkan Hazairin dan
Munawwir itu didasarkan pada nilai keadilan,
maka dalam melakuakn pembaharuan terhadap
hukum waris tidak boleh menghilangkan nilai
tersebut. Keadilan ini yang menjadi dasar dari
kedua formulasi aturan waris yang berbeda
dapat dianggap sebagai hal yang qath’i (tidak
dapat berubah). Sehingga aturan waris yang
dapat berubah-ubah harus berpijak pada nilai
yang tidak dapat berubah, yaitu keadilan.
G. Penutup
Pemikiran Hazairin tentang kewarisan
dapat disebut dengan bilateral individual, yang
mana maksudnya adalah konsep kewarisan
yang mendasarkan garis keturunannya kepada
ayah maupun ibu yang bagian harta warisnya
dapat diketahui setelah orang yang mempunyai
harta warisan meninggal dunia. Dalam konsep
Hazairin ini yang paling menonjol adalah
tentang kesmaan hak dan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan. Menurutnya, hukum
waris yang selama ini diikuti oleh umat Islam
di Indonesia adalah hukum waris yang bias
gender, yang mana hukum waris ini cenderung
lebih mengistimewakan kedudukan laki-laki
daripada perempuan. Hal ini oleh Hazairin
ditunjukjan dengan adanya konsep mawali dalam
pemikiran hukum kewarisannya, yang mana
konsep ini dianggap sebagai pengurangan do-
minasi laki-laki atas perempuan dalam hukum
kewarisan. Sedangkan wasiat kepada ahli waris
menurut Hazairin masih dapat diberlakuka sam-
pai sekarang, hanya saja wasiat ini dapat di ber-
lakukan dalam keadaan khusus dan tidak boleh
melampaui 1/3 harta peninggalan.
Berbeda dengan Hazairin, Munawir malah
ber pandangan bahwa antara laki-laki dan
perem puan tidak hanya sama dalam hak dan
kedudukannya, tapi juga dalam hal pem bagian
warisnya. Munawir berpandangan bahwa
rumusan 2:1 kepada laki-laki dan perem puan
harus diragukan keadilannya, yang mana me-
nurut Munawir pembagian tersebut harus dilihat
dari setting sosial budayanya. Sehingga dalam
masyarakat tertentu rumusan 2:1 tersebut dapat
di rekonstruksi menjadi 1:1. Hal ini dilakukan,
selain karena menurut Munawir rumusan 2:1 ini
dalam praktiknya dalam kehidupan masyarakat
114
Rosidi Jamil
Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H
banyak terjadi penyim pangan, adalah untuk
dapat memberikan ke adilan bagi semua pihak.
Konsep kewarisan yang berbeda di atas
memberikan pemahaman bahwa setiap orang
mempunyai cara pandang berbeda dalam hal
apapun, termasuk juga dalam hukum waris.
Akan tetapi perbedaan cara pandang tersebut
tidak untuk saling menyalahkan yang lain, cara
pandang tersebut tidak lain adalah disebabkan
oleh situasi dan kondisi lingkungan yang telah
mempengaruhinya. Karena kedua tokoh nasional
tersebut dengan formulasi hukum warisnya
yang berbeda sama-sama ingin mencipta kan
salah satu nilai dasar yang ada dalam Islam,
yaitu keadilan. Sehingga dari tujuan ini dapat
di pahami bahwa keadilan dalam hukum waris
dapat diciptakan dengan cara melakukan adap-
tasi dengan kondisi sosial yang ada. Dengan
demikian, aturan hukum waris yang selama ini
dipahami oleh kebanyakan umat Islam sebagai
hukum yang tetap tidak menjadi terlarang
untuk dilakukan pembaharuan terhadapnya.
Yang ter penting pembaharuan tersebut bertujuan
untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan
bagi umat manusia. Dengan arti lain, Hazairin
dan Munawwir di sini ingin mengemukakan
bahwa keadilan itu tidak semata-mata dilihat
dari aturan hukum yang ada, tapi juga dilihat
dari kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi
di mana hukum itu akan diterapkan. Sehingga
hukum waris Islam, yang juga merupkan hasil
ijtihad manusia, yang selama ini oleh ke banya-
kan umat Islam dianggap nal jika diterapkan
di Indonesia tidak akan memberikan rasa ke-
adilan, sehingga tidak heran jika umat Islam
di Indonesia, jika mengacu pada praktik yang
disaksikan Munawwir, mencari cara lain yang
dianggap lebih adil dalam memberikan harta
peninggalannya kepada ahli warisnya. Hal ini
terjadi karena adanya anggapan bahwa hukum
waris Islam yang lebih mengistimewakan laki-
laki daripada perempuan tidak memberikan
rasa keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawai’ al-Bayan:
Tafsir Ayatu al-Ahkam min al-Aqur’an, vol I,
Kuwait: Daru al-Qur’an al-Karim, 1972.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan
Islam; Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin,
Yogyakarta: UII Press, 2005.
Arif, Eddi Rudiana, dkk., Hukum Islam di Indonesia,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral; Menurut
al-Qur’an, Jakarta: Tintamas, 1982.
Mudzhar, M. Atho’, “Dampak Gender Terhadap
Perkembangan Hukum Islam”, dalam Jurnal
Studi Islam Profetika, vol. 1 No. 1, 1999,
Surakarta: UMS, 1999.
Nas, M. Wahyuni, Kontekstualisasi Ajaran Islam
70 Tahun Prof. Munawwir Sjadzali, MA.,
Jakarta: Paramadina, 1995.
Raq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press, 2001.
Rahmat, Jalaluddin, “Ijtihad dalam Sorotan” Seri
Kumpulan Makalah Cendikiawan Muslim;
Tentang Biogra Tokoh. Bandung: Mizan,
1996.
Saimina, Iqbal Abdul Ra’uf, Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jakarta: Putaka Panjimas, 1988.
Sjadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta:
Paramadina, 1997.
Sjadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam”
dalam Iqbal Abdurrauf Saimina, Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Panjimas,
1980.
Usman, Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih versus Hermeneutika.
Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press,
2014.
... Menurut Hazairin, ketentuan waris yang terdapat dalam Alquran bercorak bilateral yaitu sebuah sistem kewarisan yang menghubungkan ahli waris baik dari pihak ayah maupun ibu. 5 Corak penafsiran hermeneutik yang berbeda juga ditunjukkan oleh Muhammad Syahrur sebagai salah satu tokoh pemikir kontemporer Islam. Menurut Syahrur, terdapat batasan maksimum dan minimum dalam konsep-konsep hukum yang ditetapkan Allah sehingga hukum Islam bersifat pasti sekaligus bersifat fleksibel untuk berijtihad diantara batasanbatasan terk. ...
... 4) Ketentuan bagian waris saudara seibu terpisah dengan ketentuan bagian waris saudara kandung atau seayah. 5) Kakek mempunyai kedudukan yang sama seperti ayah secara mutlak ketika ayah meninggal lebih dahulu. 6) Kata walad dalam ayat waris menunjuk pada pengertian anak secara umum baik anak laki-laki maupun perempuan. ...
Article
Full-text available
This study intends to analyze the hermeneutics of Ibn Abbas on the verses of inheritance in the Koran and their implications for the Islamic inheritance model. This research is a juridical normative study using content analysis and conceptual approaches. The results of research on Ibn Abbas's hermeneutics show that: first, daughters get a 2/3 portion if they are three or more in quantity. Second, in the case of gharawayn, the mother gets 1/3 of all inheritance not 1/3 of the remaining. Third, brothers or sisters can prevent the mother from getting 1/3 into 1/6 if they are 3 or more in quantity. Fourth, the grandfather has the same position as the father absolutely when the father died first. Fifth, the word "walad" refers to children generally, both male and female. Sixth, kalalah is interpreted as a person who dies without having children and parents. The word "children" includes boys and girls while parents include father and grandfather. Seventh, there is no 'aul in Islamic inheritance based on the logical thought that there can be no division of inheritance exceeding the amount of the inheritance itself.
... Salah satu hukum Islam yang menjelaskan tentang aturan sesama manusia yakni tentang hukum waris (ilmu Faroid). Jamil (Jamil 2017); Asysyafira (Assyafira 2020); dan Abdillah (Abdillah dan Anzaikhan 2022) dan (Al-Majlis Al-A'la Li al-Shu'un al-Islamiyyah 1990) menjelaskan bahwa ilmu ini mempelajari tentang bagaimana cara pembagian harta yang diwariskan oleh orang meninggal kepada seseorang yang memiliki hak menerima harta tersebut. ...
Article
Full-text available
p style="text-align: justify;">The law of inheritance is a study that has been stipulated in the Qur'an in detail. This study examines how Munawir Syadali thinks about the division of inheritance and the factors behind the emergence of this thought. This study uses a qualitative approach with a literature study type. The data collection method is document analysis and uses content analysis techniques. The results of this study indicate that H. Munawir Sjadzali's thoughts on verse 11 of Surah An-Nisa' are related to the law of inheritance division, namely to equalize the division of inheritance between sons and daughters. Analysis of Munawir's biography, thoughts, and interpretation methods shows his hermeneutic approach, emphasizing the spirit of justice behind the text of the Qur'an compared to mere literal interpretation. This approach, which takes into account the current social and cultural context, differs from traditional interpretations that adhere to the 2:1 ratio stated in the verse. Several factors have shaped Munawir's views, including his educational background, partnership experience, and commitment to Islamic reform. He prioritizes freedom of thought and contextualization of Islamic teachings, so that they are relevant in the modern world. Although his approach is provocative, he conveys to broader and deeper discussions about the interpretation of the Qur'an and the law of mawarith.</p
Article
Full-text available
This research explores the application of the receptie a contrario theory in its implementation in the inheritance law of the Minangkabau customary society. This research is a normative juridical research with conceptual and philosophical approaches. Data source analysis is conducted on primary legal materials in the form of expert interviews and laws and regulations, and secondary legal materials in the form of research results on Islamic law and customary law. Based on the research results, it can be concluded that the theory of receptie a contrario still applies to inheritance issues in Minangkabau. Although the Minangkabau people are famous for their adherence to customs, they consider breaking customs shameful. However, the Minangkabau community has explicitly stated that their customary inheritance law refers to Islamic inheritance law by recognizing that children and wives are heirs of their parents/husbands. In contrast, previously, the customary heirs recognized were nieces (kemenakan). This research confirms that the application of the receptie a contrario theory still applies to inheritance issues in Minangkabau. In addition, it also contributes to explaining to the broader community that inheritance in Minangkabau, although it adheres to matrilineal kinship lines, has implemented Islamic law.
Article
Full-text available
Abstrak Konsep fikih Indonesia merupakan gagasan yang menjadi ciri khas dari pelaksanaan hukum Islam di Indonesia yang sesuai dengan karakter dan nuansa masyarakat Indonesia. Munculnya konsep fikih Indonesia tidak terlepas dari gagasan para tokoh penting yang memberikan kontribusi pemikiran terhadap hukum Islam di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian pustaka yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menelaah berbagai literatur yang terkait dengan konsep fikih Indonesia yang digagas oleh beberapa tokoh penting beserta gagasannya. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif melalui analisa pemikiran dari tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam membumikan fikih Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemikiran fikih Indonesia oleh Hazairin melahirkan konsep mazhab Indonesia atau mazhab Syafi'i plus Indonesia yang diproyeksikan dengan memasukkan hukum Islam dalam tata hukum nasional. Kemudian Munawir Syadzali dengan konsep ijtihad kemanusiaan melalui positivisasi hukum Islam. Beberapa tawaran dan metodologi yang dicetuskan mempunyai kesamaan cita-cita, yaitu menginginkan format fikih baru yang sesuai dengan realitas sosial di Indonesia. Kata Kunci: Kontekstualisasi dan Pembumian; Fikih Indonesia; Hazairin; Munawir Sjadzali. Abstract The concept of Indonesian fiqh is an idea that is characteristic of the implementation of Islamic law in Indonesia which is in accordance with the character and nuances of Indonesian society. The emergence of the concept of Indonesian fiqh cannot be separated from the ideas of important figures who contributed ideas to Islamic law in Indonesia. This research is library research carried out by collecting and reviewing various literature related to the concept of Indonesian fiqh which was initiated by several important figures and their ideas. The data analysis technique uses qualitative descriptive analysis through analysis of the thoughts of influential figures in grounding Indonesian fiqh. The results of the research show that Hazairin's thoughts on Indonesian fiqh gave
Article
Full-text available
Research The problem of inheritance seems to never end to be discussed, although the rules regarding Islamic inheritance have been very detailed and regulated in the Qu r ’ an, but there are still problems caused in social life. This paper wants to explain how the development of inheritance law in Indonesia, this paper itself directs Hazairin's thoughts in bringing about the renewal of the concept of Islamic inheritance in Indonesia. This research is literature research or often referred to as normative juridical , because this research does not use primary data sources, but only uses secondary data sources in the form of primary legal materials and secondary legal materials and if necessary also uses tertiary legal materials. The research shows that Hazairin believes the inheritance law system desired by the Qur’ an is bilateral, this belief is extracted from the interpretation of the inheritance verses contained in the Qur’ an itself. The influence of Hazairin's thought has very implications for the national legal system, this can be marked by the application of successor heirs in the Compilation of Islamic Law which is the main reference of religious courts in Indonesia (;). Permasalahan waris seperti tidak pernah habis untuk dibahas, walaupun aturan tentang waris Islam sudah sangat detail diatur dalam Alquran namun tetap saja ada permasalahan yang ditimbulkan dalam kehidupan sosial. Tulisan ini ingin menjelaskan bagaimana perkembangan hukum waris di Indonesia, tulisan ini sendiri mengarahkan pemikiran Hazairin dalam membawa pembaharuan konsep waris Islam di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau sering disebut dengan yuridis normatif , karena penelitian ini tidak memakai sumber data primer, melainkan hanya memakai sumber data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta jika diperlukan juga memakai bahan hukum tersier. Hasli penelitian menunjukkan bahwa Hazairin berkeyakinan sistem hukum waris yang diinginkan oleh Alquran adalah sistem bilateral, keyakinan ini digali dari penafsiran ayat-ayat waris yang terdapat dalam Alquran sendiri. Pengaruh dari pemikiran Hazairin tersebut sangat berimplikasi dalam tata hukum nasional, hal ini bisa ditandai diterapannya ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan rujukan utama Pengadilan Agama di Indonesia
Article
Full-text available
This research aims to analyze the philosophical reasons for Husein Muhammad's thoughts about the importance of the equal distribution of inheritance between men and women in Islamic inheritance law, as well as the method of legal reform that he uses when understanding verses about inheritance. This research is field research. Data was collected through virtual interviews. Data analysis was descriptive qualitative, with maslahah theory, and historical and sociological approaches. The research findings show that one of the reasons why verses about inheritance need to be reinterpreted, according to Husein, is because these verses fall into the category of mutashabihat verses (interpretable) so they need to be reinterpreted by looking at the current context. Another reason is that the inheritance verses that regulate section 2:1 for men and women in the Prophet's era were only intended for the context of society at that time, where women had no inheritance rights, and even women were used as objects of inheritance. Nowadays, the existence of women is growing. That way the portion of their inheritance should be reformed and adapted to current socio-cultural developments. Husein emphasized that gender bias occurs due to bias when interpreting the Qur’an, and the influence of patriarchal culture.
Article
Full-text available
The distribution of inheritance in Islam recognizes the principle of ijbari, namely the transfer of inherited property to its heirs, which has been determined in Islamic law covering aspects of heirs, legacy, part of inheritance, and heirs. Regarding the division of legacy between male and female heirs, there is a principle of li al-dzakari mitsl al-hadz al-untsaian (the male part is like two female parts). Unfortunately, the provision is not applied in the distribution of inheritance in Enau River Village, which gives the portion of inheritance to girls more than 2:1 than boys. This paper aims to describe the practice of heritage sharing in Sungai Enau Village because of and alternative distribution of legacy its heritage following Islamic law. The results of this paper found that some Muslim communities in Sungai Enau village are majority Muslim (65%) their inheritance by a method of internal family deliberation with the consent of all heirs. The result of this deliberation is that the heir son gets a share of the inheritance more than twice as much as the heir son. The main reason for giving a portion of the inheritance to girls is more than twice as much as boys are that girls care more, help more, and take care of their parents (especially heirs) than boys. Although the provision is not following the opinion of the majority of jurists of scholars who give inheritance to the heir’s men are twice as much as women (2:1), and that is following the principle of li al-dzakari mitsl al-hadz al-untsaian. Still, the division meets the heir’s sense of justice for the heirs and is supported by local religious leaders’ opinions. This paper analyzes the case and provides an alternative to the distribution of inheritance following the jurists’ views.
Article
Full-text available
The Banjar people are scattered throughout various districts/cities within the South Kalimantan region. In solving inheritance problems, the community seems to use the compromise method by engineering/modifying the farâidh provisions with consideration of a sense of justice, propriety, and benefit. In fact, in many cases, the excesses are not quite reasonable when they are associated with the four phenomenal inheritance variants explored with a qualitative approach. On this basis, the objectives and research problems are formulated in two focus areas: what is the inheritance phenomenon of the Banjar people of South Kalimantan and the meaning behind it? Through in-depth interviews and participant observation of more than 50 informants, data about inherited assets that are not inherited, mandatory wills that have not yet become applied law, grants that bring good fortune to all daughters of the heirs, and delays in the distribution of inheritance. The results of the research here clearly differ from the previous writings because the answers to the research questions are also analyzed using a sociological approach. Two variants of which are still not following farâidh provisions, and the meaning behind the phenomenon of community inheritance is a manifestation or manifestation of the motto "Jangan Bacakut Papadaan." Masyarakat Banjar tersebar di berbagai daerah kabupaten/kota dalam wilayah Kalimantan Selatan. Dalam proses penyelesaian masalah harta warisan, masyarakat tampak mempunyai kecenderungan untuk melakukan metode kompromi dengan upaya rekayasa/modifikasi antara ketentuan farâidh dengan pertimbangan rasa keadilan, kepatutan, dan kemaslahatan. Padahal dalam banyak hal yang menjadi eksesnya, tidak cukup beralasan ketika dihubungkan dengan empat varian kewarisan fenomenal yang digali dengan pendekatan kualitatif. Atas dasar ini, tujuan dan masalah penelitian dirumuskan pada dua fokus pembahasan: Bagaimana fenomena kewarisan masyarakat Banjar Kalimantan Selatan dan makna di balik itu.? Melalui metode wawancara mendalam, dan observasi partisipan terhadap lebih dari 50 orang informan, ditemukan data mengenai: Harta bawaan yang tidak diwariskan, wasiat wajibah yang masih belum menjadi hukum terapan, hibah yang membawa hikmah keberuntungan bagi semua anak perempuan pewaris, dan penundaan pembagian harta warisan. Hasil penelitian di sini, secara jelas telah membedakan dengan tulisan terdahulu, karena jawaban atas pertanyaan penelitian juga dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Dua varian diantaranya masih belum sesuai dengan ketentuan farâidh, dan makna di balik fenomena kewarisan masyarakat tersebut menjadi wujud atau manifestasi dari motto “Jangan Bacakut Papadaan.”.
Article
Full-text available
Internet has changed the way how knowledge is spread. This paper describes the spread of Muslim feminist ideas in Indonesia. It answers the questions of what constitute feminist ideas, how Muslim feminist ideas spread before and after the Digital Era and what challenges and opportunities provided by the internet that hinder and help the spread of these ideas. Muslim feminism has spread in Indonesia since the early 1990s through the translation of the works of non-Indonesian Muslim feminists such as Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer and Amina Wadud. Since 2010, the increasing use of internet among Indonesians has made the spread of Muslim feminist ideas faster. However, it is challenging that conservative groups also mobilized the internet to oppose Muslim feminist ideas. Another challenge is that not all Indonesian Muslims have easy access to the internet and therefore Indonesian Muslim feminists still have to adopt various offline media such as seminars or radio to spread their ideas. [Internet telah mengubah cara penyebaran pengetahuan. Artikel ini akan menjelaskan penyebaran ide-ide feminis Muslim di Indonesia. Artikel ini akan menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan ide-ide feminis Muslim, bagaimana ide-ide feminis Muslim tersebar sebelum dan sesudah Era Digital dan tantangan serta kesempatan apa yang diberikan oleh internet yang menghalangi dan membantu penyebaran ide-ide ini. Feminis Muslim telah tersebar di Indonesia sejak awal tahun 1990-an melalui penerjemahan karya-karya Muslim feminis yang bukan dari Indonesia seperti Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud. Sejak tahun 2010, meningkatnya penggunaan internet dikalangan orang Indonesia telah membuat penyebaran ide-ide Muslim feminis lebih cepat. Akan tetapi, terdapat tantangan yaitu bahwa kelompok konservatif pun menggunakan internet untuk menentang ide-ide feminis Muslim. Tantangan lainnya adalah bahwa tidak semua Muslim Indonesia memiliki akses yang mudah terhadap internet, oleh karena itu para feminis Muslim Indonesia masih juga harus menggunakan berbagai media di luar jaringan seperti seminar atau radio untuk menyebarkan ide-ide mereka.]
Article
Full-text available
This research was to explore the importance of the inheritance rights of women towards the inheritance rights of deceased brothers who were applied in the Pandeglang district, Banten. The object of this research is inheritance law in the Islamic Law Compilation. The secondary source of this research is the Religious Court Decision Number 69/Pdt.P/2013/PA.Pdlg. The interviews related to this research were conducted in Cimanuk sub-district, Pandeglang district. This research is a collaborative research of library and field research which is qualitative model. The collected data is processed by selecting and classifying data. Then the data is analyzed by comparing and interpreting. This study found that in general, the Cimanuk ulama or community leaders gave the asabah (remaining assets) portion to deceased brothers or sisters, both siblings and brothers who inherited along with the daughters. However, there are also those who argue that a brother or sister, both siblings and a father is veiled by a daughter, so that they do not get part of the inheritance inheritance. It was also found that in principle the determination had been made by the people of Cimanuk sub-district. The conclusion of this study is the provisions in the Pandeglang Religious Court Decision Number 69/Pdt.P/2013/PA.Pdlg. November 7th, 2013 shows the difference with the provisions in the Islamic Law Compilation. KHI has a stipulation that girls do not prevent (hijab) their brothers,inheritance right, while the Religious Court rulings show that girls can obstruct the inheritance rights of brothers.
Rawai' al-Bayan: Tafsir Ayatu al-Ahkam min al-Aqur'an, vol I, Kuwait: Daru al-Qur'an al-Karim
  • Muhammad Al-Shabuni
  • Ali
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawai' al-Bayan: Tafsir Ayatu al-Ahkam min al-Aqur'an, vol I, Kuwait: Daru al-Qur'an al-Karim, 1972.
Filsafat Hukum Kewarisan Islam
  • Abdul Anshori
  • Ghofur
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam; Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Hukum Kewarisan Bilateral; Menurut al-Qur'an
  • Hazairin
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral; Menurut al-Qur'an, Jakarta: Tintamas, 1982.
Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam
  • M Mudzhar
  • Atho
Mudzhar, M. Atho', "Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam", dalam Jurnal Studi Islam Profetika, vol. 1 No. 1, 1999, Surakarta: UMS, 1999.
Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof
  • M Nafis
  • Wahyuni
Nafis, M. Wahyuni, Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Munawwir Sjadzali, MA., Jakarta: Paramadina, 1995.
Ijtihad dalam Sorotan Seri Kumpulan Makalah Cendikiawan Muslim; Tentang Biografi Tokoh
  • Jalaluddin Rahmat
Rahmat, Jalaluddin, "Ijtihad dalam Sorotan" Seri Kumpulan Makalah Cendikiawan Muslim; Tentang Biografi Tokoh. Bandung: Mizan, 1996.
Reaktualisasi Ajaran Islam" dalam Iqbal Abdurrauf Saimina
  • Munawir Sjadzali
Sjadzali, Munawir, "Reaktualisasi Ajaran Islam" dalam Iqbal Abdurrauf Saimina, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Panjimas, 1980.
Ushul Fikih versus Hermeneutika
  • Yudian Wahyudi
Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih versus Hermeneutika. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2014.