ArticlePDF Available

COMMUNITY STRUCTURE AND SPATIAL DISTRIBUTION OF FISH JUVENILE IN MANGROVE AND SEAGRASS HABITATS IN PRAMUKA ISLAND

Authors:

Abstract

p> This study was aimed to investigate the community structure of fish juvenile, spatial distribution and similarity from both adjacent habitats of mangrove and seagrass. This study was conducted in the eastern part of Pramuka island from April to June 2015. The samples were collected by using line transect method in three observation area s that were spatially connected i.e., mangrove, transition and seagrass zones. The result of the study from three observation zones revealed that there w ere found 24 species of fishes from 15 families i.e., Siganidae (4 species), Apogonidae (3 species), Ger - reidae (2 species) , Terapontidae (2 species) , Gobiidae (2 species), Labridae (2 species), Mugilidae, Nemipteridae, Hemiramphidae, Sphyraenidae, Monacanthidae, Atherinidae, Pomacentridae, Lut - janidae , and Lethrinidae ( each of them 1 species). According to community structure, the adjacent ob - servation zone s did not show a significant difference in the number of species, abundance , and bio - mass. According to fish distribution, fish species in transition zone and seagrass zone were relatively similar and dominated by Gerres oblongus , Fibramia lateralis , and Siganus canaliculatus . Mean - while, in mangrove zone revealed a significant different of fish species than in transition and seagrass zones. In mangrove zone, fish species was dominated by Gerres oblongus and Siganus guttatus . Keywords: spatial distribution, juvenile, mangrove, seagrass, pramuka Island, Siganidae </p
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Hlm. 187-199, Juni 2016
@Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 187
STRUKTUR KOMUNITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL JUVENIL IKAN PADA
HABITAT MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA
COMMUNITY STRUCTURE AND SPATIAL DISTRIBUTION OF FISH JUVENILE
IN MANGROVE AND SEAGRASS HABITATS IN PRAMUKA ISLAND
Fathul Amin1*, M Mukhlis Kamal1, dan Am Azbas Taurusman2
1Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-IPB, Bogor
2Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB, Bogor
*E-mail: fathul.amin88@gmail.com
ABSTRACT
This study was aimed to investigate the community structure of fish juvenile, spatial distribution and
similarity from both adjacent habitats of mangrove and seagrass. This study was conducted in the
eastern part of Pramuka island from April to June 2015. The samples were collected by using line
transect method in three observation areas that were spatially connected i.e., mangrove, transition
and seagrass zones. The result of the study from three observation zones revealed that there were
found 24 species of fishes from 15 families i.e., Siganidae (4 species), Apogonidae (3 species), Ger-
reidae (2 species), Terapontidae (2 species), Gobiidae (2 species), Labridae (2 species), Mugilidae,
Nemipteridae, Hemiramphidae, Sphyraenidae, Monacanthidae, Atherinidae, Pomacentridae, Lut-
janidae, and Lethrinidae (each of them 1 species). According to community structure, the adjacent ob-
servation zones did not show a significant difference in the number of species, abundance, and bio-
mass. According to fish distribution, fish species in transition zone and seagrass zone were relatively
similar and dominated by Gerres oblongus, Fibramia lateralis, and Siganus canaliculatus. Mean-
while, in mangrove zone revealed a significant different of fish species than in transition and seagrass
zones. In mangrove zone, fish species was dominated by Gerres oblongus and Siganus guttatus.
Keywords: spatial distribution, juvenile, mangrove, seagrass, pramuka Island, Siganidae
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas juvenil ikan, distribusi spasial dan
similaritas dari kedua habitat yang berdekatan yaitu habitat mangrove dan lamun. Penelitian dilakukan
di bagian timur pulau Pramuka pada bulan April - Juni 2015. Pengambilan sampel menggunakan
metode transek garis pada tiga zona pengamatan yang terkoneksi spasial yaitu zona mangrove, tran-
sisi, dan lamun. Hasil penelitian dari ketiga zona pengamatan menunjukkan terdapat 24 spesies ikan
dari 15 famili yaitu Siganidae (4 spesies), Apogonidae (3 spesies), Gerreidae (2 spesies), Terapontidae
(2 spesies), Gobiidae (2 spesies), Labridae (2 spesies), Mugilidae, Nemipteridae, Hemiramphidae,
Sphyraenidae, Monacanthidae, Atherinidae, Pomacentridae, Lutjanidae, dan Lethrinidae (masing-
masing 1 spesies). Berdasarkan struktur komunitas, perbedaan antar habitat pengamatan yang ber-
dekatan tidak berbeda nyata menurut parameter jumlah jenis, kelimpahan, dan biomassa ikan. Ber-
dasarkan distribusi, spesies ikan di zona transisi dan lamun relatif sama yang didominasi oleh Gerres
oblongus, Fibramia lateralis, dan Siganus canaliculatus, sedangkan di zona mangrove relatif berbeda
dengan zona transisi dan lamun yang didominasi oleh Gerres oblongus dan Siganus guttatus.
Kata kunci: distribusi spasial, juvenil, mangrove, lamun, pulau Pramuka, Siganidae
I. PENDAHULUAN
Kepulauan Seribu merupakan salah
satu yang termasuk dalam kawasan pesisir
yang secara geografis memiliki peran penting
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah baik
dalam bidang perikanan, jasa transportasi
laut maupun pariwisata (Sachoemar, 2008).
Pulau Pramuka merupakan bagian dari ka-
wasan pesisir di Kepulauan Seribu yang se-
Struktur Komunitas dan Distribusi Spasial Juvenil Ikan . . .
188 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
cara administratif dijadikan sebagai pusat pe-
merintahan dan perumahan penduduk sehing-
ga memiliki kepadatan penduduk yang cukup
tinggi (DKKJI, 2015). Hal tersebut memicu
aktivitas masyarakat yang terus meningkat
sehingga berpotensi memberi ancaman terha-
dap kelestarian habitat pesisir tersebut. Pulau
Pramuka secara ekologi terdiri dari tiga habi-
tat utama yaitu mangrove, lamun dan terum-
bu karang yang saling terkoneksi satu sama
lain. Secara spasial konektivitas ekologis
yang paling dekat dari tiga habitat tersebut
adalah antara habitat mangrove dengan la-
mun dimana terdapat zona transisi yang me-
rupakan zona campuran antara keduanya.
Adanya konektivitas diantara habitat tersebut
tentunya menimbulkan suatu sistem interaksi
yang juga saling berkaitan antara satu dengan
lainnya.
Beberapa bentuk interaksi yang ter-
jadi seperti interaksi fisik, nutrien ataupun
bahan-bahan organik dan partikulat sehingga
mampu memberikan stabilitas lingkungan.
Habitat mangrove dan lamun memberikan
nutrisi penting dari dekomposisi bahan orga-
nik dan sumber penting detritus sehingga
membentuk dasar dari jaring makanan serta
mampu menyediakan air yang lebih jernih
bagi habitat terumbu karang, sementara habi-
tat terumbu karang dengan struktur fisiknya
mampu menurunkan aliran pasang surut se-
hingga memberikan tekanan air yang lebih
rendah bagi habitat mangrove dan lamun
(Kathiresan, 2014). Begitulah seterusnya in-
teraksi tersebut berlangsung sehingga men-
ciptakan kestabilan lingkungan yang sangat
mendukung bagi berbagai biota yang berada
didalamnya, terutama ikan yaitu pada stadia
juvenil.
Stadia juvenil menurut Kendall et al.
(1983) adalah akhir transformasi dari larva
yang ditandai dengan hilangnya karakter lar-
va seperti mulai terbentuknya pigmen warna,
sisik dan sirip yang lengkap sehingga karak-
ter juvenil sudah seperti ikan dewasa, dimana
perbedaannya adalah pada ukuran dan kema-
tangan organ reproduksi yang belum ber-
fungsi. Kelangsungan hidup juvenil ikan
umumnya lebih banyak disediakan oleh ha-
bitat mangrove dan lamun diantaranya yaitu
sebagai daerah asuhan dan perlindungan,
sumber makanan dan tempat mencari makan
(Nagelkerken et al., 2000; Nakamura and
Tsuchiya, 2008; Verweij et al., 2008). Pada
beberapa ikan, pemanfaatan habitat mang-
rove dan lamun umumnya sebagai habitat da-
sar terutama pada stadia juvenil sebelum ber-
migrasi ke terumbu karang pada fase dewasa
(Harm et al., 2012; Huijbers et al., 2008).
Hal tersebut menunjukkan pentingnya konek-
tivitas antar habitat dalam menunjang kelang-
sungan hidup ikan terutama bagi ikan-ikan
yang bersifat migrasi dari satu habitat ke ha-
bitat lainnya.
Konektivitas habitat mangrove dan la-
mun di pulau Pramuka yang secara spasial le-
taknya berdekatan sangat penting dan men-
dukung terutama bagi juvenil ikan. Hal ter-
sebut menyebabkan terjadinya dinamika ju-
venil ikan sehingga menimbulkan beberapa
pertanyaan: (1) apakah terdapat perbedaan
dalam struktur komunitas juvenil ikan meli-
puti jumlah jenis, kelimpahan dan biomassa
antara kedua habitat yang berdekatan; (2)
apakah terdapat perbedaan distribusi jenis
ikan serta bagaimana pola similaritas dari ha-
bitat yang berdekatan berdasarkan distribusi
tersebut. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan
untuk mengetahui seperti apa struktur komu-
nitas, distribusi spesies dan similaritas habitat
yang berdekatan yaitu habitat mangrove dan
lamun sehingga diharapkan dapat dijadikan
sebagai masukan bagi pengambil kebijakan
dalam pengelolaan ekosistem pesisir di wila-
yah pulau Pramuka.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan
Contoh
Pengambilan contoh dilakukan di per-
airan sekitar Pulau Pramuka, Kepulauan Seri-
bu pada bulan April - Juni 2015 dengan fre-
kuensi sampling 1x/bulan. Penentuan zona
pengamatan berdasarkan pada konektivitas
spasial dari habitat mangrove dan lamun
Amin et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 189
yang berada di sebelah timur pulau Pramuka.
Zona 1 mewakili area mangrove (vegetasi
mangrove), zona 2 mewakili area transisi
(vegetasi mangrove dan lamun) dan zona 3
mewakili area lamun (vegetasi lamun), se-
lengkapnya disajikan pada Gambar 1. Luasan
pengamatan ditentukan pada lokasi yang me-
wakili vegetasi tersebut yaitu zona mangrove
(20 m x 160 m), zona transisi (15 m x 120 m)
dan zona lamun (100 m x 160 m) yang terba-
gi ke dalam 3 garis transek (A, B, C) yang di-
tarik tegak lurus dari daratan ke arah laut
dengan jarak antar garis transek ± 80 m.
2.2. Pengambilan dan Identifikasi Contoh
Pengambilan sampel juvenil ikan di-
lakukan secara harian dengan cara mengam-
bil contoh ikan yang berada dalam area sapu-
an wilayah garis transek. Sampling dilakukan
dari pagi sore hari (sekitar jam 09.00-
17.00 WIB). Menurut Ramdhan (2011), tipe
pasang surut di pulau Pramuka termasuk da-
lam tipe pasang surut campuran condong ha-
rian tunggal yaitu terjadi 2 kali pasang dan 1
kali surut. Pasang tertinggi terjadi pada wak-
tu malam (21.00 - 23.00 WIB) dan siang hari
(13.00 - 15.00 WIB), sedangkan surut teren-
dah terjadi pada pagi hari (03.00 - 06.00
WIB). Sampling ikan dilakukan mengguna-
kan jaring insang dengan mesh size 1 cm,
panjang 10 m dan tinggi 1,2 m (luas jaring =
12 m2). Cara pengambilan sampel juvenil
ikan yaitu jaring dibentangkan secara meling-
kar, setelah kedua tali bertemu maka jaring
diseret secara menyapu sejauh 5 m (luas per
unit sampling: 12 m x 5 m = 60 m2) hingga
menjadi lingkaran kecil agar ikan terkumpul,
kemudian sampel diambil dan dimasukkan ke
dalam wadah sampel. Selanjutnya dilakukan
pengawetan sampel dengan formalin 4%,
kemudian diganti dengan alkohol 70% ketika
di laboratorium. Selanjutnya sampel juvenil
ikan diidentifikasi dengan berpedoman pada
Kottelat et al. (1993); Allen et al. (1999);
Kuiter and Tonozuka (2001); Allen et al.
(2003); White et al. (2013).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di pulau Pramuka (Keterangan angka: 1= Zona Mangrove, 2
= Zona Transisi, 3 = Zona Lamun).
2
3
1
Struktur Komunitas dan Distribusi Spasial Juvenil Ikan . . .
190 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
2.3. Analisis Data
2.3.1. Struktur Komunitas Ikan
Analisis struktur komunitas ikan dili-
hat berdasarkan parameter jumlah taksa (spe-
sies), kelimpahan dan biomassa ikan. Kom-
posisi jenis ikan dilihat berdasarkan hasil
identifikasi yang dilakukan sesuai dengan
tingkatan taksonominya yaitu mulai dari or-
do, famili dan spesies. Sedangkan untuk ke-
limpahan dan biomassa komunitas ikan dili-
hat berdasarkan rerata hasil pengukuran da-
lam luasan unit pengamatan. Selanjutnya un-
tuk melihat signifikansi antar habitat berda-
sarkan parameter tersebut secara statistik di-
lakukan uji ANOVA (Analysis of Variance).
2.3.2. Distribusi
Distribusi spesies ikan pada habitat
atau stasiun pengamatan dilakukan berdasar-
kan analisis nMDS (non-Metric Multidimen-
sional Scaling) menggunakan software Ply-
mouth routines in multivariate ecological re-
search (PRIMER) versi 5.2 sehingga tergam-
bar suatu pola distribusi berdasarkan letak
atau jarak plot dalam konfigurasinya. Letak
atau posisi plot yang berdekatan bahkan ter-
tutupi secara bersama satu sama lain meng-
gambarkan pola distribusi yang sama atau
mirip, sedangkan letak plot yang berjauhan
menggambarkan pola distribusi yang ber-
beda. Indikasi baik buruknya konfigurasi ter-
sebut dapat dilihat dari nilai stress. Konfi-
gurasi yang lebih baik ditentukan oleh nilai
stress yang lebih rendah yaitu < 0,25. Jika
nilai stress > 0,25 maka dapat dikatakan
model konfigurasi tersebut tidak dapat diper-
gunakan (Hobbs et al., 2007 dalam Sutomo
dan Darma, 2011).
2.3.3. Similaritas
Tingkat similaritas diantara habitat
dilakukan berdasarkan analisis similaritas
Bray-Curtis juga menggunakan software
PRIMER versi 5.2 yang mampu mengelom-
pokkan zona pengamatan berdasarkan spe-
sies ikan yang menjadi karakteristik penciri
dalam kelompok habitat tersebut. Spesies
ikan penciri habitat tersebut dilihat berdasar-
kan anilisis SIMPER (Similarity of Percen-
tage) yang mampu mengidentifikasi spesies
mana yang menjadi pembeda serta seberapa
besar persentase kontribusi spesies tersebut
disuatu habitat. Spesies ikan yang menjadi
penciri dalam suatu grup atau kelompok ada-
lah yang memiliki kelimpahan tinggi secara
konsisten dalam pengambilan contoh, sehing-
ga menjadi penciri atau pembeda yang baik
dalam kelompok (Clarke and Gorley, 2001).
Dengan demikian, berdasarkan karakteristik
penciri antar habitat tersebut dapat dilihat
persentase kesamaan antar habitat yang di-
bandingkan.
Analisis similaritas disajikan dalam
bentuk cluster atau dendrogram sehingga ter-
gambar hirarki kelompok atau habitat yang
dibandingkan. Tingginya tingkat kesamaan
antar habitat ditunjukkan oleh tingginya nilai
persentase similaritas. Menurut Krebs
(1989), indeks Bray - Curtis adalah sebagai
berikut :
keterangan: B= Disimilaritas (Indeks Keti-
daksamaan) Bray - Curtis, S= Similaritas (In-
deks Kesamaan) Bray - Curtis, Xij = Jumlah
individu spesies ke-i dalam setiap contoh
(pengamatan) ke-j, Xik= Jumlah individu spe-
sies ke-i dalam setiap contoh (pengamatan)
ke-k, Selanjutnya untuk indeks similaritas (S)
= 1 - B
Selanjutnya untuk melihat signifi-
kansi antar habitat berdasarkan similaritas
tersebut dilakukan uji ANOSIM (Analyisis of
Similarity). Signifikansi tersebut dapat dilihat
berdasarkan nilai Global R serta taraf signifi-
kansinya. Menurut Chapman and Underwood
(1999) menyatakan nilai Global R berkisar
antar 0 (tidak dapat dibedakan) hingga 1 (se-
mua similaritas data dalam group < simila-
ritas data antar group). Selanjutnya berdasar-
kan level signifikansinya, terdapat perbedaan
nyata jika signifikansi level < 5% (p < 0,05)
dan sangat nyata jika signifikansi level < 1%
(p < 0,01).
Amin et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 191
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Komposisi jenis ikan yang ditemukan
dari hasil pengamatan terdiri dari 5 ordo, 15
famili dan 24 spesies dengan total kelimpa-
han 3.222 individu dalam luasan total area
pengamatan 2,16 ha (Tabel 1). Sebagian be-
sar ikan termasuk dalam ordo Perciformes
yaitu sebanyak 10 famili dan 20 spesies. Fa-
mili dengan jumlah spesies terbanyak secara
berturut-turut adalah Siganidae (4 spesies),
Apogonidae (3 spesies), Gerreidae, Terapon-
tidae, Gobiidae dan Labridae (2 spesies),
Mugilidae, Nemipteridae, Hemiramphidae,
Sphyraenidae, Monacanthidae, Atherinidae,
Pomacentridae, Lutjanidae dan Lethrinidae
(1 spesies). Berdasarkan perbedaan tipe habi-
tat habitat, keragaman spesies tertinggi terda-
pat di zona lamun yaitu 17 spesies dan tidak
berbeda jauh dengan zona mangrove dan
transisi masing-masing yaitu 16 dan 15 spe-
sies. Selanjutnya secara kelimpahan dan bio-
massa tertinggi hingga terendah secara
berturut-turut yaitu terdapat pada zona tran-
sisi, lamun dan mangrove.
Secara persentase kelimpahan berda-
sarkan famili, famili ikan yang kelimpahan-
nya tertinggi secara berturut-turut yaitu Ger-
reidae (56,11%), Apogonidae (27,81%), Si-
ganidae (6,18%), Atherinidae (3,32%), Ne-
mipteridae (2,42%) dan Hemiramphidae
(1,58%), sedangkan famili lainnya dengan
persentase yang lebih rendah yaitu < 1%.
Jenis famili yang mendominasi tersebut rela-
tif sama dengan hasil pengamatan Unsworth
et al. (2009) dimana jenis famili yang domi-
nan diantaranya yaitu Atherinidae, Apogoni-
dae dan Siganidae
Berdasarkan data jenis ikan pada Ta-
bel 1, beberapa jenis ikan yang ditemukan
termasuk jenis ikan-ikan ekonomis penting
menurut White et al. (2013) dan Peristiwady
(2006) diantaranya yaitu ikan Baronang (Si-
ganus sp.), Kapasan atau Putihan (Gerres
sp.), Belanak (M. engeli), Kembang waru
atau Jenaha (L. fulviflamma), Ketambak (Le-
thrinus sp.), Pasir-pasir (P. trivittatus),
Kerong-kerong (T. jarbua) dan Baracuda (S.
barracuda). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa pentingnya peranan habitat mangrove
dan lamun tersebut bagi produksi ikan yang
mana jika kelestarian juvenil ikan tersebut
terganggu, maka produksi ikan dewasa tang-
kapan juga menurun.
Selanjutnya untuk melihat pola distri-
busi kelimpahan spesies ikan pada tiap zona
pengamatan tergambar dari konfigurasi hasil
analisis nMDS (Gambar 2). Konfigurasi atau
susunan distribusi tersebut berdasarkan kom-
posisi jenis ikan yang memiliki kelimpahan
yang tinggi secara konsisten sehingga mem-
berikan karakter dalam suatu plot. Selan-
jutnya letak atau posisi antar plot satu dengan
plot lainnya dapat menggambarkan pola dis-
tribusinya.Keterangan kode plot stasiun pe-
ngamatan yaitu:
A. Habitat
1. M: mangrove
2. T: Transisi
3. L: Lamun
B. Bulan
1. A: April
2. M: Mei
3. J: Juni
C. Transek
1. a: Transek a
2. b: Transek b
3. c: Transek c
Hasil analisis nMDS tersebut menun-
jukkan bahwa pola konfigurasi tersebut ter-
masuk dalam konfigurasi yang baik (nilai
stress= 0,13). Berdasarkan konfigurasinya,
secara umum distribusi spesies ikan di zona
transisi (kode “T”) relatif lebih dekat dengan
zona lamun (kode “L”), sedangkan zona
mangrove (kode “M”) dengan letak yang
lebih jauh bahkan terlihat lebih mengelom-
pok sendiri. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa distribusi kelimpahan spesies ikan di
zona transisi secara konsisten lebih dekat de-
ngan zona lamun.
Selanjutnya untuk melihat tingkat ke-
samaan atau similaritas antar zona pengama-
tan berdasarkan kelimpahan ikan di sajikan
pada Gambar 3.
Struktur Komunitas dan Distribusi Spasial Juvenil Ikan . . .
192 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
Tabel 1. Komposisi jenis dan biomassa ikan pada zona pengamatan di pulau Pramuka.
Tingkatan Taksonomi
Spesies
Mangrove
Transisi
Lamun
Ind.
gram
Ind.
gram
Ind.
gram
Ordo Atheriniformes
Famili Atherinidae
Atherinomorus
endrachtensis
59
141,2
35
90,87
13
16,2
Ordo Beloniformes
Famili
Hemiramphidae
Zenarchopterus dispar
42
115,66
9
14,79
-
-
Ordo Mugiliformes
Famili Mugilidae
Moolgarda engeli
26
160,57
-
-
-
-
Ordo Percifomes
Famili Apogonidae
Cheilodipterus
quinquelineatus
1
1,51
-
-
3
3,99
Fibramia Lateralis
78
70,68
474
485,42
335
326,09
Sphaeramia orbicularis
1
11,44
3
4,44
1
10,2
Famili Gerreidae
Gerres oblongus
558
1237,4
677
1383,41
562
1595,02
Gerres oyena
9
19,57
2
7,62
-
-
Famili Gobiidae
Amblygobius
stethophthalmus
1
7,37
19
106,14
8
40,5
Pseudogobiopsis
oligactis
-
-
1
5,01
1
0,7
Famili Labridae
Halichoeres
chloropterus
-
-
-
-
1
6,28
Halichoeres argus
-
-
2
4,89
2
6,71
Famili Lethrinidae
Lethrinus laticaudis
-
-
-
-
1
4,18
Famili Lutjanidae
Lutjanus fulviflamma
1
8,06
-
-
4
6,15
Famili Nemipteridae
Pentapodus trivittatus
10
85,92
38
213,31
30
179,34
Famili Pomacentridae
Dischistodus fasciatus
2
27,75
-
-
-
-
Famili Siganidae
Siganus canaliculatus
6
15,72
27
39,39
34
40,57
Siganus guttatus
95
214,15
16
16,54
4
3,69
Siganus javus
-
-
-
-
1
0,61
Siganus virgatus
-
-
8
5,58
8
10,4
Famili Sphyraenidae
Sphyraena barracuda
4
32,6
-
-
-
-
Famili Terapontidae
Lagusia micracanthus
-
-
1
0,81
-
-
Terapon Jarbua
1
15,81
-
-
-
-
Ordo
Tetraodontiformes
Famili Monacanthidae
Acreichthys tomentosus
-
-
1
5,08
7
25,57
Gambar 2. Konfigurasi distribusi ikan pada zona pengamatan.
Amin et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 193
Gambar 3. Dendrogram similaritas zona pe-
ngamatan.
Berdasarkan dendrogram similaritas
habitat pada Gambar 3, terlihat bahwa zona
lamun dan zona transisi dikelompokkan se-
cara bersama dalam satu group dengan per-
sentase 55,22%, Sedangkan zona mangrove
secara hirarki terpisah dari group tersebut di-
mana memiliki persentase kesamaan yang le-
bih rendah yaitu sebesar 48,44%.
3.2. Pembahasan
Hasil penelitian yang dilakukan me-
nunjukkan bahwa secara umum habitat yang
berdekatan tidak memiliki perbedaan dalam
hal jumlah jenis ikan. Meskipun demikian,
secara komposisi jenis terlihat spesies ikan
tertentu yang hadir disetiap habitat memiliki
kelimpahan yang sangat berbeda antar habitat
satu dengan lainnya diantaranya seperti spe-
sies Fibramia lateralis, Atherinomorus en-
drachtensis, Siganus guttatus, Siganus cana-
liculatus dan Pentapodus trivittaus. Selain
itu, terdapat spesies ikan yang hanya terda-
pat di suatu habitat tertentu diantaranya se-
perti Moolgarda engeli dan Sphyraena bar-
racuda yang hanya ditemukan pada habitat
mangrove, Siganus virgatus dan Acreichtys
tomentosus yang ditemukan pada habitat la-
mun dan transisi. Adanya perbedaan kelim-
pahan spesies tersebut dapat dikarenakan pre-
frensi spesies terhadap suatu habitat tertentu.
Secara kelimpahan dan biomassa, an-
tar habitat yang berdekatan menunjukkan
adanya variasi rereta kelimpahan dan bio-
massa ikan secara spasial, selengkapnya di-
sajikan pada Gambar 4.
Berdasarkan hasil pada Gambar 4,
terlihat bahwa rerata kelimpahan tertinggi
secara berturut-turut terdapat pada zona tran-
sisi, lamun dan mangrove. Kelimpahan pada
zona transisi sebesar 0,48 ± 0,06 ind m-2,
zona lamun sebesar 0,37 ± 0,06 ind m-2, se-
dangkan pada zona mangrove sebesar 0,33 ±
0,03 ind m-2. Secara rata-rata dari hasil ter-
sebut diketahui bahwa kelimpahan ikan di
Pulau Pramuka sebesar 0,39 ind m-2 atau
setara dengan 3.900 individu per hektar. Ha-
sil uji statistik yang dilakukan menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata
parameter kelimpahan antar habitat berdeka-
tan tersebut.
Selanjutnya secara biomassa, rerata
biomassa ikan pada Gambar 4 juga menun-
jukkan hasil yang sama dimana biomassa ter-
tinggi secara berturut-turut juga terdapat pada
zona transisi, lamun dan mangrove. Biomas-
sa pada zona transisi sebesar 0,88 ± 0,32 g
m2, zona lamun sebesar 0,84 ± 0,37 g m-2,
Gambar 4. Rerata kelimpahan dan biomassa ikan.
Struktur Komunitas dan Distribusi Spasial Juvenil Ikan . . .
194 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
sedangkan pada zona mangrove sebesar 0,80
± 0,32 g m-2. Hasil uji statistik yang dilaku-
kan juga menunjukkan bahwa antar zona ter-
sebut tidak berbeda nyata terhadap biomassa.
Secara struktur komunitas, hasil terse-
but mengindikasikan bahwa struktur komu-
nitas ikan diantara habitat yang berdekatan ti-
dak berbeda berdasarkan parameter jumlah
jenis, kelimpahan dan biomassa ikan. Hal ter-
sebut dapat dikarenakan faktor kedekatan
spasial diantara habitat sehingga memberikan
suatu konektivitas yang erat antar habitat da-
lam pergerakan juvenil ikan. Selain itu, ke-
dua habitat tersebut baik mangrove maupun
lamun secara umum memiliki peranan yang
sama dalam mendukung kelangsungan hidup
juvenil ikan. Departemen Kehutanan (2008)
menyatakan bahwa penyebaran mangrove di
pulau Pramuka tidak memiliki zonasi spesies
serta bukan merupakan jenis mangrove yang
tumbuh secara alami. Hal ini menegaskan
bahwa meskipun mangrove di Pulau Pramu-
ka merupakan mangrove non-estuari dan bu-
kan mangrove alami, namun kehadiran habi-
tat mangrove tersebut sangat mendukung ba-
gi juvenil ikan. Sejalan dengan Ikejima et al.
(2003) dan Unsworth et al. (2009) yang me-
nyatakan bahwa baik mangrove estuari mau-
pun non-estuari dan lamun memiliki fungsi
yang sama sebagai nursery habitat bagi kum-
pulan jenis ikan.
Secara habitat, kelimpahan dan bio-
massa yang tinggi pada zona transisi dapat
disebabkan oleh struktur fisik habitat yang
lebih kompleks karena zona tersebut me-
rupakan campuran dari kedua habitat sehin-
gga memiliki kestabilan kondisi yang lebih
mendukung bagi juvenil ikan. Sejalan dengan
Huijbers et al. (2008) menyatakan kelimpa-
han juvenil ikan di habitat berdekatan secara
ekologis lebih tinggi dibandingkan dengan
habitat tunggal atau terpisah. Lebih lanjut
Prabhakaran et al. (2013) dan Unsworth et al.
(2008), juga menyatakan struktur fisik habi-
tat yang subur umumnya memiliki keterse-
diaan sumber makanan yang tinggi dan re-
siko predasi yang rendah sehingga banyak di-
temukan kumpulan ikan-ikan kecil (schoo-
ling) di habitat tersebut.
Pada zona lamun, kelimpahan dan bio-
massa lebih tinggi dibandingkan dengan zona
mangrove disebabkan adanya spesies ikan
tertentu yang berasosiasi dengan tanaman la-
mun tersebut dalam jumlah yang besar
(schooling) sehingga memberikan proporsi
yang tinggi terhadap kelimpahan di habitat
tersebut. Meskipun demikian, perbedaan
yang tidak berbeda nyata antar zona tersebut
secara statistik mengindikasikan bahwa seca-
ra umum kelimpahan antar habitat yang ter-
koneksi erat secara spasial memiliki kelim-
pahan yang relatif sama.
Selanjutnya berdasarkan perbedaan sta-
dia ikan diantara habitat, sebagian besar ikan
yang dikumpulkan berada pada stadia juve-
nil, selengkapnya disajikan pada Gambar 5.
Hasil pada Gambar 5 menunjukkan sta-
dia juvenil berkisar antara 97,87 - 99,
Gambar 5. Persentase stadia ikan di beberapa tipe habitat.
Amin et al
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 195
21%, sedangkan untuk stadia dewasa hanya
berkisar antara 0,79 2,13%. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa habitat mangrove
dan lamun di Pulau Pramuka sangat men-
dukung sebagai daerah asuhan (nursery
ground) bagi komunitas juvenil ikan, teruta-
ma untuk ikan-ikan yang ketika dewasa ber-
migrasi ke perairan yang lebih dalam. Seja-
lan dengan hasil penelitian Harm et al.
(2012) yang menunjukkan komunitas ikan di
habitat mangrove dan lamun didominasi oleh
stadia juvenil, sedangkan di habitat terumbu
karang didominasi oleh stadia dewasa. Lebih
lanjut Kimirei et al. (2011) juga menyatakan
beberapa jenis ikan karang seperti Lutjanus
fulviflamma, Lethrinus lentjan, Lethrinus ha-
rak dan Siganus sutor menghabiskan stadia
juvenilnya (ukuran < 15 cm ) di perairan
dangkal (mangrove dan lamun) dan bermig-
rasi ke perairan yang lebih dalam seperti te-
rumbu karang pada ukuran yang lebih besar
(> 15 cm).
Dari hasil pengamatan, sebanyak 20
spesies dari jumlah total 24 spesies ikan
berada pada stadia juvenil, sedangkan 4 spe-
sies lainnya berada pada stadia juvenil dan
dewasa. Spesies yang hanya ditemukan pada
stadia juvenil didominasi oleh jenis ikan
yang termasuk kategori ikan besar dimana
pada stadia dewasa memiliki panjang maksi-
mum > 30 cm seperti dari famili Siganidae,
Gerreidae, Sphyraenidae, Lutjanidae dan
Terapontidae. Sedangkan spesies yang dite-
mukan pada stadia dewasa didominasi oleh
jenis ikan kecil (small fishes) dimana pada
stadia dewasa juga memiliki ukuran yang
kecil. Spesies small fishes tersebut diantara-
nya seperti Sphaeramia orbicularis yang ha-
nya memiliki panjang maksimum 11,5 cm
dan Pseudogobiopsis oligactis dengan pan-
jang maksimum 8 cm (Allen et al., 1999),
dan Amblygobius stethophthalmus dengan
panjang maksimum 8,5 cm (Kuiter and To-
nozuka, 2001). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa selain sebagai daerah asuhan, habitat
mangrove dan lamun diduga juga berperan
sebagai daerah pemijahan khususnya bagi
ikan-ikan small fishes.
Selanjutnya berdasarkan distribusi-
nya, hasil analisis nMDS pada Gambar 2 me-
nunjukkan bahwa secara umum distribusi ke-
limpahan spesies ikan di zona lamun relatif
lebih dekat dengan zona transisi, sedangkan
zona mangrove dengan letak yang lebih jauh
dan terlihat lebih mengelompok sendiri. Se-
cara habitat, distribusi spesies dengan kelim-
pahan yang sangat tinggi dibandingkan spe-
sies lainnya serta mendominasi disemua tipe
habitat adalah spesies Gerres oblongus. Me-
nurut White et al. (2013), spesies dari famili
Gerreidae sangat menyukai perairan pantai
dangkal dan dekat dengan daratan. Hal itu
mengindikasikan bahwa spesies tersebut
dapat bermigrasi secara bebas diantara habi-
tat yang berdekatan tersebut dikarenakan du-
kungan habitat baik dalam faktor lingkungan
ataupun ketersediaan sumberdaya makanan.
Lebih lanjut Abreyami dan Sivashanthini
(2008) menyatakan bahwa kebiasaan makan
Gerres oblongus termasuk dalam omnivora,
dimana sumber makanan utamanya yaitu al-
gae, diatom, makrofita, mollusca, crustacea
dan polychaeta. Selain itu, tingginya kelim-
pahan Gerres oblongus tersebut kemungki-
nan juga terkait dengan musim pemijahan
yang mana puncak pemijahannya terjadi pada
bulan Oktober Februari (Shutarshan, 2011).
Di zona lamun dan transisi, distribusi
kelimpahan jenis ikan secara umum yaitu
dari spesies Fibramia lateralis, Siganus
canaliculatus, Siganus virgatus dan Penta-
podus trivittatus. Hasil pengamatan di lapa-
ngan menunjukkan adanya kumpulan
(Schooling) spesies Fibramia lateralis pada
dedaunan tumbuhan lamun Enhalus acoroi-
des. Hal tersebut dapat dikarenakan adanya
asosiasi spesies Fibramia lateralis terhadap
tumbuhan lamun, sejalan dengan Edrus dan
hartati (2013) yang menyatakan umumnya
spesies dari famili Apogonidae merupakan
penghuni tetap padang lamun.
Meskipun demikian, jika dilihat se-
cara kelimpahan pada Tabel 1, beberapa spe-
sies yang tergolong penghuni lamun seperti
Fibramia lateralis, Pentapodus trivittatus
dan Amblygobius stethophthalmus menun-
Struktur Komunitas dan Distribusi Spasial Juvenil Ikan . . .
196 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
jukkan kecendrungan kelimpahan yang lebih
tinggi pada habitat transisi. Hal tersebut me-
ngindikasikan bahwa pentingnya kehadiran
habitat lain yang berdekatan dalam mendu-
kung kelimpahan ikan dihabitat tersebut, di-
mana habitat transisi merupakan zona perte-
muan antara habitat mangrove dengan lamun.
Selanjutnya distribusi kelimpahan
spesies dari famili Siganidae yaitu Siganus
canaliculatus juga lebih banyak ditemukan
pada habitat lamun dan transisi. Randall et al.
(1997) dalam Grandcourt et al. (2007) me-
nyebutkan bahwa stadia juvenil Siganus
canaliculatus banyak ditemukan bergerom-
bol pada area bervegetasi seperti lamun dan
makroalga, dimana makanan utamanya ada-
lah filamen alga. Lebih lanjut juga disebut-
kan kumpulan Siganus canaliculatus banyak
ditemukan disekitar petakan terumbu karang
(Woodland, 1999). Sejalan dengan penelitian
kondisi lamun di pulau Pramuka yang juga
terdapat pecahan terumbu karang (reef cest).
Spesies dari famili Siganidae lainnya yaitu
Siganus virgatus juga menunjukkan kelim-
pahan yang sama antara habitat lamun dan
transisi.
Di zona mangrove, distribusi kelim-
pahan jenis ikan di dominasi oleh spesies
Siganus guttatus, Atherinomorus endrach-
tensis dan Zenarchopterus dispar. Tingginya
kelimpahan Siganus guttatus kemungkinan
terkait dengan faktor lingkungan yaitu Sali-
nitas yang lebih rendah di zona tersebut.
Sejalan dengan Woodland (1999) menyata-
kan spesies Siganus guttatus lebih menyukai
perairan pesisir dengan salinitas rendah. Hal
tersebut diperkuat dengan Komatsu et al.
(2006) yang menyebutkan stadia juvenil Si-
ganus guttatus banyak bermigrasi dan mene-
tap ke mulut sungai atau area estuarine. Mes-
kipun mangrove di Pulau Pramuka merupa-
kan mangrove non-estuarine yang mana ma-
sukan air tawar hanya terjadi pada saat hujan,
namun hasil pengamatan kualitas air di lapa-
ngan menunjukkan salinitas di habitat mang-
rove tersebut lebih rendah dibandingkan ha-
bitat transisi dan lamun. Selain itu, terdapat
juga spesies yang hanya ditemukan di habitat
mangrove seperti Moolgarda engeli dan
Sphyraena barracuda. Stadia juvenil kedua
spesies tersebut umumnya banyak ditemukan
di mangrove dalam mencari makan (Kottelat
et al., 1993).
Selanjutnya berdasarkan similaritas,
hasil analisis similaritas Bray-Curtis pada
Gambar 3 menunjukkan bahwa zona transisi
(kode “T”) yang secara spasial terletak dian-
tara zona mangrove dan lamun dikelompok-
kan dalam satu group dengan zona lamun
(kode “L”) yaitu dengan persentase simila-
ritas 55,22%. Sedangkan zona mangrove (ko-
de “M’) secara hirarki terpisah dari kelom-
pok tersebut dengan persentase similaritas
yang lebih rendah yaitu 48,44%. Pola simi-
laritas tersebut berdasarkan pada spesies ikan
yang menjadi karakter penciri disetiap habi-
tat, disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan data, Spesies Gerres ob-
longus memiliki persen kontribusi yang sa-
ngat tinggi di semua tipe habitat (berkisar an-
tara 73,59% - 88,22%). Spesies Fibramia la-
teralis memiliki persen kontribusi yang rela-
tif sama baik di habitat transisi maupun
lamun (20,85% 22,4%), sedangkan spesies
Siganus guttatus yang menjadi penciri di ha
bitat mangrove memiliki persentase kontri
busi yang lebih rendah yaitu sebesar 5,02%.
Tabel 2. Persen kontribusi spesies penciri habitat.
No
Spesies
Kontribusi spesies (%)
Mangrove
Transisi
Lamun
1
Gerres oblongus
88,22
75,83
73,59
2
Fibramia lateralis
-
20,85
22,4
3
Siganus gutttatus
5,02
-
-
Amin et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 197
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa besar-
nya kontribusi dari habitat mangrove dan la-
mun di Pulau Pramuka dalam mendukung
spesies-spesies tersebut.
Selanjutnya hasil uji Analysis of Simi-
larity (ANOSIM) berdasarkan distribusi ke-
limpahan jenis ikan di setiap habitat, diketa-
hui persentase tingkat perbedaan antara habi-
tat mangrove dengan transisi adalah 0,1%
atau 0,001 (berbeda sangat nyata), begitu
juga halnya antara habitat mangrove dengan
lamun. Sedangkan antara habitat transisi de-
ngan lamun, persentase tingkat perbedaannya
adalah sebesar 68,2% atau 0,682 (tidak ber-
beda nyata). Secara keseluruhan tingkat per-
bedaan antar zona menunjukkan terdapat per-
bedaan yang sangat nyata (Global R = 0,116,
p < 0,001), dimana perbedaan terjadi antara
habitat mangrove dengan kedua habitat lain-
nya yaitu lamun dan transisi.
Secara distribusinya, kajian ini mem-
berikan gambaran bahwa adanya konektivitas
spasial diantara habitat yang berdekatan me-
miliki peranan yang sangat penting bagi ju-
venil ikan terutama yaitu adanya pilihan ha-
bitat yang mendukung kelangsungan hidup
juvenil ikan tersebut. Beberapa pola distri-
busi juvenil ikan dari kajian ini secara umum
yaitu; 1) Spesies yang bermigrasi secara be-
bas diantara habitat seperti Gerres oblongus,
2) Spesies yang preferensinya pada habitat
lamun dan transisi seperti Fibramia lateralis,
Pentapodus trivittatus, Siganus canaliculatus
dan Siganus virgatus, 3) Spesies yang pre-
ferensinya pada habitat mangrove seperti Si-
ganus guttatus, Atherinomorus endrachtensis
dan Moolgarda engeli.
Secara umum, kajian yang telah dila-
kukan menegaskan bahwa habitat mangrove
dan lamun di pulau Pramuka sangat mendu-
kung bagi sebagian besar juvenil ikan. Hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa > 97%
juvenil ikan sangat bergantung terhadap habi-
tat mangrove dan lamun di Pulau Pramuka,
terutama bagi juvenil ikan-ikan ekonomis
seperti Gerres oblongus yang memiliki per-
sen kontribusi > 73% dan ikan dari famili Si-
ganidae yang memiliki keragaman spesies
tertinggi (4 spesies) serta menjadi salah satu
ikan tangkapan utama masyarakat di Pulau
Pramuka. Hal tersebut mengindikasikan bah-
wa pentingnya kedua habitat yang berde-
katan tersebut secara tak langsung bagi peri-
kanan tangkap.
Selain itu, secara distribusinya terlihat
sebagian besar jenis ikan yang dominan ter-
distribusi di semua habitat meskipun dengan
kelimpahan yang berbeda-beda antar habitat.
Hal ini memberikan gambaran bahwa konek-
tivitas spasial diantara habitat yang berde-
katan memiliki peranan yang sangat penting
bagi pergerakan juvenil ikan terutama yaitu
adanya pilihan habitat bagi juvenil ikan ter-
sebut Meskipun demikian, kecendrungan dis-
tribusi ikan antar habitat yang berdekatan ter-
sebut akan berbeda-beda tergantung dengan
pilihan habitat yang mendukung bagi juvenil
ikan tersebut.
IV. KESIMPULAN
Secara struktur komunitas, perbedaan
antar habitat pengamatan yang berdekatan
tidak berbeda nyata berdasarkan parameter
jumlah jenis, kelimpahan dan biomassa ikan.
Secara distribusi ikan menurut habitat, spe-
sies ikan di zona transisi dan lamun relatif sa-
ma yang didominasi oleh Gerres oblongus,
Fibramia lateralis dan Siganus canalicula-
tus, sedangkan di zona mangrove relatif ber-
beda yang lebih didominasi oleh Gerres ob-
longus dan Siganus guttatus. Hasil analisis
similaritas berdasarkan distribusi kelimpa-
han jenis ikan menunjukkan bahwa zona
transisi dan lamun relatif sama dan berbeda
sangat nyata dengan zona mangrove.
UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ini merupakan bagian dari ha-
sil kegiatan penelitian institusi FPIK IPB
Pengembangan Perikanan Baronang Ter-
padu”. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada LPPM IPB yang telah mendanani
sebagian dari penelitian ini, serta rekan-rekan
dan staff Laboratorium Biologi Makro De-
Struktur Komunitas dan Distribusi Spasial Juvenil Ikan . . .
198 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
partemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
FPIK, IPB atas fasilitas dan bantuan yang
diberikan. Ucapan terima kasih juga disam-
paikan kepada anonymous reviewer yang te-
lah banyak memberikan masukan dan ko-
mentar untuk memperbaiki tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abreyami, B. dan K. Sivashanthini. 2008.
Some aspects on the feeding of Ger-
res oblongus (Cuvier, 1830) dwelling
from the Jaffna lagoon. J. Biological
Sciences, 11(9):1252-1257.
Allen, G., R. Swainston, and J. Ruse. 1999.
Marine fishes of tropical and south-
east Asia, a field guide for anglers
and divers. Periplus Edition. Austra-
lia. 292p.
Allen, G., R. Steene, P. Humann, and N. De-
loach. 2003. Reef fish identification
tropical pacific. New World Publica-
tion INC. Florida. 457p.
Chapman, M.G. and A.J. Underwood. 1999.
Ecological patterns in multivariate
assemblages: information and inter-
pretation of negative values in ANO-
SIM test. Marine Ecology, 180:257-
265.
Clarke, K.R. and R.N. Gorley. 2001. Ply-
mouth routines in multivariate ecolo-
gical research (PRIMER) V 5.2: User
manual/tutorial. Primer-E Ltd. 90p.
Departemen Kehutanan. 2008. Taman Nasio-
nal Kepulauan Seribu. Departemen
Kehutanan. Jakarta. 9hlm. http://
www.dephut.go.id/uploads/files/TN_
Kep_Seribu 2008.pdf. [diunduh 14
April 2015].
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis
Ikan. 2015. Profil kawasan konservasi
Provinsi DKI Jakarta. Direktorat
Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan.
Jakarta. 29hlm.
Edrus, I.S. dan S.T. Hartati. 2013. Kompo-
sisi jenis, kepadatan dan keanekaraga-
man juvenil ikan pada padang lamun
gugus Pulau Pari. Bawal, 5(1):9-22.
Effendi, I. 2009. Pengantar akuakultur. Pe-
nebar Swadaya. Jakarta. 188hlm.
Grandcourt, E., T. Abdessalaam, F. Francis,
and A. Shamsi. 2007. Population bio-
logy and assesment ot the White-
Spotted Spinefoot, Siganus canalicu-
latus (Park, 1979) in the Southern A-
Rabian Gulf. J. Appl. Ichtyol., 23:53-
59.
Harm, J.J., J. Saunders, and M.R. Speight.
2012. Distribution of fish in seagrass,
mangroves and coral reefs: life-stage
dependent habitat use in Honduras. J.
Biology Trop., 60(2):683-698.
Huijbers, C.M., E.M. Mollee, and I. Nagel-
kerken. 2008. Post-larval French
grunts (Haemulon flavolineatum) dis-
tinguish between seagrass, mangrove
and coral reef water: Implications for
recognition of potential nursery habi-
tats. J. Experimental Marine Biology
and Ecology, 357:134-139.
Ikejima, K., P. Tongnunui, T. Medej, and T.
Taniuchi. 2003. Juvenile and small fi-
shes in a mangrove estuary in Tang
province, Thailand: seasonal and ha-
bitat differences. Estuarine, Coastal
and Shelf Science, 56:447-457.
Kathiresan, K. 2014. Interconnectivity of co-
astal ecosystem. J. Geo Marine Sci-
ence, 43(6):979-988.
Kendall, A.W., E.H. Ahlstrom, and H.G.
Moser. 1983. Early life history stages
of fishes and their characters. In: On-
togeny and systematic of fishes. Ba-
sed on an international symposium
dedicated to the memory of Elbert
Halvor Ahlstrom. National Marine Fi-
sheries Service. US. 22p.
Kimirie, I.A., I. Nagelkerken, B. Griffioen,
C. Wagner, and Y.D. Mgaya. 2011.
Ontogenetic habitat us by mangrove/
seagrass-associated coral reef fishes
shows flexibility in time and space.
Estuarine, Coastal and Shelf Science,
92:47-58.
Komatsu, T., S. Nakamura, and M. Naka-
mura. 2006. A sex cord-like structure
Amin et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 199
and some remarkable features in early
gonadal sex differentiation in the ma-
rine teleost Siganus guttatus (Bloch).
J. of Fish Biology, 68:236-250.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari,
dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan air
tawar Indonesia bagian barat dan Su-
lawesi. Periplus Editions. Jakarta. 344
hlm.
Kuiter, R.H. and T. Tonozuka. 2001. Picto-
rial guide to: Indonesian reef fish.
Zoonetics. Australia. 437p.
Nagelkerken, I., G. Velde, M.W. Gorissen,
G.J. Meijer, Hof, and C. Hartog.
2000. Importance of mangroves, se-
agrass beds and the shallow coral reef
as a nursery for important coral reef
fishes, using a visual census techni-
que. J. Estuarine, Coastal and Shelf
Science, 51:31-44.
Nakamura, Y. and M. Tsuchiya. 2008. Spa-
tial and temporal patterns of seagrass
habitat use by fishes at the Ryukyu
Islands, Japan. Estuarine, Coastal and
Shelf Science, 76:345-356.
Peristiwady, T. 2006. Ikan-ikan laut ekono-
mis penting di Indonesia: petunjuk
identifikasi. LIPI. Jakarta. 270hlm.
Prabhakaran, M.P., B. Nandan, P.J. Jaya-
chandaran, and P.R. Pillai. 2013. Spe-
cies diversity and community struc-
ture of ichtyofauna in the seagrass
ecosystem of Minicoy Atoll, Lak-
shadweep, India. J. of Geo Marine
Sciences., 42(3):349-359.
Ramdhan, M. 2011. Komparasi hasil penga-
matan pasang surut di perairan Pulau
Pramuka dan Kabupaten Pati dengan
prediksi pasang surut Tide Model
Driver. J. Segara, 7(1):1-12.
Sachoemar, S.I. 2008. Karakteristik lingku-
ngan perairan Kepulauan Seribu. J.
Air Indonesia, 4(2):109-114.
Shutarshan, S. 2011. Population dynamics of
Gerres oblongus (Pisces-Perciformes)
from the Jaffna Lagoon. Zoology.
Abstract. http://repo.lib.jfn.ac.lk/ujrr/
handle/123456789/708. [diunduh 13
januari 2016].
Sutomo, dan D.P. Darma. 2011. Analisis ve-
getasi di kawasan hutan danau Buyan
Tamblingan Bali sebagai dasar untuk
manajemen kelestarian kawasan. J.
Bumi Lestari, 11(1):78-84.
Unsworth, R.K.F., P.S.D. Leon, S.L. Gar-
rard, J. Jompa, D.J. Smith, and J.J.
Bell. 2008. High connectivity of
Indo-Pacific seagrass fish assembla-
ges with mangrove and coral reef ha-
bitats. J. Marine Ecology Progress
Series, 353:213-224.
Unsworth, R.K.F., S.L. Garrard, P.S. De-
Leon, L.C. Cullen, D.J. Smith, K.A.
Sloman, and J.J. Bell. 2009. Structu-
ring of Indo-Pacific fish assemblages
along the mangrove-seagrass conti-
nuum. Aquatic Biology, 5:85-95.
Verweij, M.C., I. Nagelkerken, I. Hans, and
S.M. Ruseler. 2008. Seagrass nurse-
ries contribute to coral reef fish po-
pulations. J. American Society of Lim-
nology and Oceanography, 53(4):
1540-1547.
Woodland, D.J. 1999. An examination of the
effect of ecological factors, especially
competitive exclusion, on the distri-
butions of species of an inshore, tro-
pical, marine family of Indo-Pacific
fishes (Siganidae): in proceedings of
the 5th Indo-Pacific Fish Conference,
Noumea. 890p.
White, W.T., P.R. Last, Dharmadi, R. Faizah,
U. Chodrija, B.I. Prisantoso, J.J. Po-
gonoski, M. Puckridge, and S.J.M.
Blaber. 2013. Market fishes of Indo-
nesia. Australian Centre for Interna-
tional Agricultural Research (ACI-
AR). Australia. 442p.
Diterima : 16 Desember 2015
Direview : 18 April 2016
Disetujui : 11 Mei 2016
200
... A total of 24 species of fishes from 15 families was identified. The largest family was Siganidae (4 species) [6]. ...
Article
Full-text available
Seagrass provides many ecosystem services that are of beneficial to humans, including its role as a nursery ground for some commercial fishes. This ecosystem role depends on the structural complexity of seagrass beds. Yet few studies in Indonesia sought to associate seagrass with fish. The aim of this paper is to determine fish community response to different seagrass bed density. This study was carried out in the coastal waters of Tidung Kecil Island, Kepulauan Seribu. The fish observation was conducted using underwater visual census in stationary point count. The result showed that there were 21 species and S. canaliculatus was dominantly found. Fish abundance and fish community diversity index were found to be higher in seagrass beds with high densities compared to the seagrass beds with low density. The results of this study underline seagrass density can impact upon associated fish. This study provides the contribution of seagrass for coastal fisheries as a nursery ground. It is a way to promote the seagrass ecosystem to the society, therefore it can be considered into coastal policy.
Article
Full-text available
Sei Carang waters are baronang fish habitat (Siganus guttatus). The research was to determine the length-weight correlationship and condition factors of baronang fish (S. guttatus) in Sei Carang. Sampling of baronang fish (S. guttatus) in two months (September-Oktober 2019) is taken once a week based on fishing activities and water conditions. Length-weight correlationship of female and male baronang fish (S. guttatus) were W = 2,0895E-05L2,9575 and W = 1,30073E-05L3,0424 respectively, based on this value show that female and male baronang fish (S. guttatus) in Sei Carang have isometric growth patterns (b = 3). Condition factors of female and male baronang fish (S. guttatus) were 1,735 and 1,633 respectively.
Article
Full-text available
Abstrak Data pasut air (pasut) laut sangat diperlukan dalam penentuan garis pantai dan pelaksanaan survey bathimetri. Paper ini akan membandingkan hasil pengamatan pasut di lapangan dengan suatu prediksi yang dihasilkan dari perangkat lunak Tide Model Driver (TMD). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk wilayah perairan kepulauan, tipe pasut dari data pengamatan lapangan berbeda dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD. Sedangkan untuk wilayah perairan terbuka, tipe pasut dari data pengamatan lapangan sama dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD. Abstract Tidal data for sea water level is needed to determine of the coastline and the bathymetric survey. This paper will compare the results of tidal observations in the field with a prediction generated from the Tide Model Driver (TMD) software. The results showed that for the islands waters, tipe of tidal data from the field observation is different with the tipe of tidal predictions obtained from TMD. As for the open sea water, tidal data from the field observation match with the tipe of tidal predictions obtained from TMD.
Article
Full-text available
Hutan pegunungan menjadi salah satu tempat "sanctuary" terakhir dari keanekaragaman hayati yang tersisa di Pulau Bali seperti halnya juga di Pulau Jawa. Tipe ekosistem ini menjadi penting mengingat hampir sebagian besar hutan di dataran rendah Indonesia telah mengalami kerusakan ekologis dan kepunahan keanekaragaman hayatinya. Kawasan hutan di sekitar Danau Buyan-Tamblingan yang terletak pada ketinggian antar 1.210 – 1.350 m dpl ini juga merupakan salah satu remaining tropical rain forest di Bali. Deangan demikian kawasan hutan yang letaknya berdekatan dengan kawasan hutan Cagar Alam Batukahu ini berperan penting di dalam menjaga kestabilan eksosistem, pencegah erosi dan bencana serta sebagai sumber air di daerah sekitarnya selain memiliki nilai yang tinggi untuk keanekaragaman hayatinya. Akan tetapi kini kawasan hutan pegunungan semakin terancam keberadaannya oleh karena aktivitas manusia. Seperti danau tetangganya yaitu Danau Beratan yang sudah banyak dieksploitasi untuk kepentingan pariwisata, kawasan sekitar Danau Buyan pun mulai perlahan terbuka untuk kegiatan pariwisata dengan dibukanya areal camping ground di pinggir danau Buyan. Camping ground ini mulai dibuka pada tahun 2001 dengan membabat sebagian Abstract Vegetation analysis in Buyan-Tamblingan Nature Recreation Area aimed to identified whether there were differences between the two communities in terms of vegetation structure and composition. NMDS ordination revealed data that support the hypotheses that the two communities were different (R ANOSIM=0.7 p<0,001). Species diversity was also different between these communities. Buyan area had higher diversity index (Shannon 2,00) compare to Tamblingan (1,60). Differences in tourism activities and impacts were proposed to be one of the reason behind the results. Restoration in a form of reintroduction, to reintroduce and re-planting native or local species is proposed to be conducted in the Buyan Lake areas to conserve the ecosystem and prevent exotic species to become invasives and dominates the area.
Article
Full-text available
Present study consists the species diversity, abundance and community structure of ichthyofauna in the seagrass meadow of Minicoy Atoll, Lakshadweep Islands. Two hundred and three species of fishes were recorded during the study, from four stations in the Atoll. They belonged to 2 classes, 11orders, 43 families and 93 genera. Six species belonged to the class Chondreichthyes and 197 species to Osteichthyes. Family Pomacentridae showed maximum abundance of species (22%). Station I, having close proximity to the coral reefs, observed the maximum number of families (37) and species (129) and that with minimum number was in station II (23 families and 52 species). Bray-Curtis similarity plot showed a similarity range of 22 to 52%, seasonally. Station I showed highest Shannon-Wiener diversity index (H'log2) (4.22) during August and the lowest (2.91) during June. Stations I and III showed comparatively higher abundance and diversity of fishes. Variability in seagrass habitat structure and the interaction with coral reefs influenced the species composition and diversity of fishes in Minicoy Atoll. The findings of the present investigation can be used as baseline information for the fishery resource management of the region.
Article
Full-text available
Many coral reef fish exhibit habitat partitioning throughout their lifetimes. Such patterns are evident in the Caribbean where research has been predominantly conducted in the Eastern region. This work addressed the paucity of data regarding Honduran reef fish distribution in three habitat types (seagrass, mangroves, and coral reefs), by surveying fish on the islands of Utila and Cayos Cochinos off the coast of Honduras (part of the Mesoamerican barrier reef). During July 2nd - Aug 27th 2007 and June 22nd - Aug 17th, 2008, visual surveys (SCUBA and snorkel) were performed in belt transects in different areas: eleven coral reef, six seagrass beds, and six mangroves sites. Juvenile densities and total habitat surface area were used to calculate nursery value of seagrass and mangroves. A total of 113 fish species from 32 families were found during underwater surveys. Multi-dimensional analyses revealed distinct clusters of fish communities in each habitat type by separating fish associated with seagrass beds, mangroves, and coral reefs. Coral reefs showed the highest mean fish species richness and were dominated by adult fish, while juvenile fish characterized seagrass beds and mangrove sites. Habitat use differed widely at the fish species level. Scarus iseri (Striped Parrotfish), the most abundant fish in this study, were found in all three habitat types, while Lutjanus apodus (Schoolmaster Snapper) juveniles were located primarily in mangroves before migrating to coral reefs. Many species used seagrass beds and mangroves as nurseries; however, the nursery value could not be generalized at the family level. Furthermore, for some fish species, nursery value varied between islands and sites. Our results suggest that connectivity of seagrass, mangrove, and coral reef sites at a species and site levels, should be taken into consideration when implementing policy and conservation practices.
Article
An identification of the environment characteristics of the Seribu Islands was conducted by using the physical and chemical data obtained from various sources. The characteristics of the water quality at the Seribu Island was identified as a moderate level in the middle part and better in the northern part. While in the southern part was poor due to the effect of the degraded water quality at Jakarta Bay as indicated by low transparency and high heavy metal concentration of the Cd and Pb. Keywords : Karakteristik lingkungan perairan, Kepulauan Seribu
Article
Analysis of similarities (ANOSIM) has been widely used for testing hypotheses about spatial differences and temporal changes in assemblages and particularly for detecting environmental impacts. ANOSIM generates a value of R which is scaled to lie between -1 and +1, a value of zero representing the null hypothesis. Generally, R lies between zero and +1. Values much smaller than zero have been considered unlikely because they would indicate greater dissimilarity among replicate units within samples than occurs between samples. Nevertheless, in some habitats, frequent and large negative values of R are common. In this paper, assemblages that consistently gave negative R values when analysed using ANOSIM were examined to identify patterns of differences among replicates within and between samples to test the hypothesis that particular patterns of differences generated consistent negative R values. The hypothesised patterns were then tested by analysing simple assemblages generated by computer simulation and examining the frequencies of R values. In natural assemblages, negative R values were found when assemblages were very patchy so that replicates were variable, but each sample had similar amounts of variability among replicates. Large negative values of R were particularly common when either or both samples contained an outlier, or when the assemblage being sampled had 2 different states and the replicates had sampled each of these states. Negative values of R may therefore indicate the need for stratification of the sampling design, or problems of positive correlation between the different sets of samples. When negative values occur, they should not simply be ignored as anomalies. In fact, they identify important ecological information and identify issues about the design of sampling.
Article
Coral reefs and seagrass beds reduce the water tidal flow which provides less stress on the mangroves which exist behind the other ecosystems. The adult fishes of coral reefs utilize mangroves and seagrasses, mainly as nursery grounds. Our studies in Gulf of Mannar have proved that the mangroves provide nutrients, essential for multiplication of bacteria and phytoplankton, which form the basis of complex food web in the tropical coastal environment, besides providing clean water through filtration of landward waste materials for sustenance of coral reefs and seagrass meadows.
Article
Environmental cues like sound, magnetic field, oceanic currents, water chemistry or habitat structure are believed to play an important role in the orientation of reef fish towards their settlement habitat. Some species of coral reef fish are known to use seagrass beds and mangroves as juvenile habitats. Once oceanic larvae of these fish have located a coral reef from the open ocean, they still have to find embayments or lagoons harbouring these juvenile habitats. The sensory mechanisms that are used for this are still unknown. In the present study, experiments were conducted to investigate if recruits of the French grunt (Haemulon flavolineatum) respond to habitat differences in water type, as mangrove/ seagrass water may differ in biotic and abiotic compounds from coral reef water. Our results show that post-larvae of a reef fish that is highly associated with mangroves and seagrass beds during its juvenile life stage, choose significantly more often for water from mangroves and seagrass beds than for water from the coral reef. These results provide a more detailed insight in the mechanisms that play a role in the detection of these juvenile habitats.
Article
Tropical shallow-water habitats such as mangroves and seagrass beds are widely acknowledged as important juvenile habitats for various coral reef fish species, most of which are commercially important to fisheries. Spatio-temporal variability in ontogenetic habitat use by fish among these tropical coastal ecosystems has rarely been investigated, yet there are sufficient reasons to believe that this plays an important role. In the present study, we test the spatio-temporal variability in patterns of ontogenetic habitat use by some mangrove/seagrass-associated coral reef fishes (Lethrinus harak, Lethrinus lentjan, Lutjanus fulviflamma and Siganus sutor). Abundances of these four species were investigated during two years in Tanzanian coastal waters, using underwater visual census in mangrove, seagrass, shallow and deep mudflat, and shallow and deep coral reef habitats. The study covered four distinct seasons of the year and was done at two spatially separated (>40 km) locations. Averaged across locations, seasons and years, juveniles (<=10 cm length) of the four study species had significantly higher relative densities in shallow-water (mangroves and seagrass beds) than in deep-water habitats (deep mudflats or coral reefs), whereas the opposite pattern was found for the adults (>15 cm). These findings suggest a strong and general pattern of ontogenetic habitat shifts from shallow- to deep-water habitats. However, specific habitat-use patterns of juveniles as well as adults differed significantly in time and space. Various species showed subtle to considerable flexibility in juvenile as well as adult habitat use across seasons, years, or at different locations. Furthermore, for some species the data suggest presence of ontogenetic habitat shifts at one location but lack thereof at the other location. In summary, ontogenetic habitat use needs to be considered at various spatial and temporal scales for the interpretation of habitat utilization by fish during different life stages. This is important for conservation and management of these habitats, as essential habitats or seasons may be ignored or over-emphasized with respect to their importance for fish during different parts of their life cycle.