ArticlePDF Available

WOWINE DALAM KEBUDAYAAN MARITIM WAKATOBI BUTON: ANALISIS PIERRE BOURDIEU

Authors:
  • Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo

Abstract

Wowine (female) has a very shining and very sad footprint in the history of maritime culture Wakatobi Buton. Wowine's glorious times were when Queen Wakaa-kaa and Ratu Bulawambona came to power in Buton (Zahari, 1977/1978; Zaenu, 1984). At that time, wowine has a very strategic position in the government system of the Sultanate of Buton. Wowine's involvement in the government system of the Sultanate of Buton, not only occupied his role as queen but also became one of the conditions worthy or not someone become Sultan. The idea of wowine in the maritime culture of Wakatobi Buton was born from the research using Pierre Bordiau approach to see the habits, the realm of maritime Wakatobi Buton in the past, present, and future. This paper shows that the involvement of women in the Sultanate government system of Buton is responsible for the welfare and salvation of the empire. In the life of Buton people, women are responsible for several things, (1) taking care of the child, (2) seeking sustenance together with husband, (3) educating children, and (4) doing deeds, “amala or hope” to protect the husband's safety while in outdoors. It is further explained that the empress in the Sultanate of Buton served to: (1) become the head of Sarana Bawina, (Head of the Women's Council of the Sultanate of Buton), (2) safeguard the welfare and health of the sultan, and (3) educate the women in the sultanate. The findings were based on the method used, namely literature study and field study. Library study (script) to find information about the existence of women in the maritime culture Wakatobi Buton in the past. Field observations and interviews to determine the current condition of women in the maritime culture of Wakatobi Buton.
Unit Penelitian dan Penerbitan
Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada
SASDAYA,
Gadjah Mada Journal of Humanities
ISSN: 2548-3218 (print); ISSN : 2549-3884 (online); website: https://jurnal.ugm.ac.id/sasdayajournal/index
Wowine dalam Kebudayaan Matirim Wakatobi Buton: Analisis Pierre Bourdieu
(Wowine in the Matirim Culture of Wakatobi Buton: Pierre Bourdieu Analysis)
Penulis/Author(s) : Sumiman Udu
Sumber/Source : SASDAYA, Gadjah Mada Journal of Humanities, Vol. 2, No. 1 (November
2017), pp. 267-282
DOI:
Penerbit : Unit Penelitian dan Publikasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, Indonesia
[267- 2 8 2 ] S u m i m a n U d u | 267
WOWINE DALAM KEBUDAYAAN MATIRIM WAKATOBI BUTON:
ANALISIS PIERRE BOURDIEU1
Sumiman Udu2
ABSTRACT
Wowine (female) has a very shining and very sad footprint in the history of
maritime culture Wakatobi Buton. Wowine's glorious times were when Queen
Wakaa-kaa and Ratu Bulawambona came to power in Buton (Zahari, 1977/1978;
Zaenu, 1984). At that time, wowine has a very strategic position in the
government system of the Sultanate of Buton. Wowine's involvement in the
government system of the Sultanate of Buton, not only occupied his role as queen
but also became one of the conditions worthy or not someone become Sultan.
The idea of wowine in the maritime culture of Wakatobi Buton was born from
the research using Pierre Bordiau approach to see the habits, the realm of
maritime Wakatobi Buton in the past, present, and future. This paper shows that
the involvement of women in the Sultanate government system of Buton is
responsible for the welfare and salvation of the empire. In the life of Buton
people, women are responsible for several things, (1) taking care of the child, (2)
seeking sustenance together with husband, (3) educating children, and (4) doing
deeds, amala or hope‛ to protect the husband's safety while in outdoors. It is
further explained that the empress in the Sultanate of Buton served to: (1)
become the head of Sarana Bawina, (Head of the Women's Council of the
Sultanate of Buton), (2) safeguard the welfare and health of the sultan, and (3)
educate the women in the sultanate. The findings were based on the method
used, namely literature study and field study. Library study (script) to find
information about the existence of women in the maritime culture Wakatobi
Buton in the past. Field observations and interviews to determine the current
condition of women in the maritime culture of Wakatobi Buton.
Keywords : Wowine, Culture, Wakatobi, habitus by Pierre Bourdieu
1 Artikel ini pernah disampaikan pada Koferensi Internasional di Bandung tahun 2017.
Artikel telah mengalami beberapa perubahan dan mengakomodasi masukan dari
konferensi.
2 Dosen di FKIP Universitas Halu Oloe Kendari Sulawesi Tenggara, penulis bisa
dihubungi email: sumiman_u@yahoo.co.id
268 | SAS D A YA , G a d j a h M a d a J o u r n a l of Humanities, Vol. 2, No. 1, No vem ber 2017
PENGANTAR
Wakatobi merupakan salah satu wilayah barata dari empat bharata3 yang ada
di kesultanan Buton yaitu bharata Kaedupa. Sebagai salah satu bharata, Wakatobi
tentunya masih memiliki keterkaitan budaya dengan kesultanan Buton. Oleh karena
itu, ketika membicarakan tentang wowine di dalam kebudayaan maritim Wakatobi,
maka sesungguhnya kita sedang membicarakan tentang peran perempuan di dalam
kebudayaan Buton. Di satu sisi, jika melihat entitas kebudayan serta pandangan
hidup orang Buton, maka sesungguhnya bangsa Buton adalah bangsa maritim.
Hampir seluruh sistem hidup mereka menggunakan istilah perahu dan pelayaran.
Bagi orang Wakatobi Buton, hidup dianggap sebagai pelayaran. Tubuh adalah
perahu, perkawinan merupakan wadah yang mengikat laki-laki dan perempuan
dalam sebuah perahu yang mereka namakan sebagai keluarga. Dan menjalani
sebuah perkawinan sama dengan melakukan pelayaran. Bahkan dalam hal yang
lebih jauh, kematian dianggap sebagai sebuah pelayaran (lihat Bula Malino karya
Muhammad Idrus Kaimuddin). Dengan demikian, maka membicarakan perempuan
di dalam kebudayaan maritim Wakatobi, sesunguhnya adalah membicarakan
perempuan di dalam kebudayaan Buton itu sendiri.
Kalau kita menengok jauh ke belakang, maka kita akan menemukan
bagaimana sejarah perempuan Buton itu mengalami pasang surut yang panjang.
(Udu, 2009: 1, Rabani, 1997) mengatakan bahwa Perempuan pernah mengalami
masa-masa gemilang di dalam sejarah kesultanan Buton. Keterlibatan perempuan di
dalam sistem pemerintahan kerajaan Buton dapat dilihat dari keberadaan ratu Buton
pertama dan ratu Buton kedua. Raja Buton pertama adalah Ratu Wakaa-kaa dan raja
keduanya adalah Ratu Bulawambona (Zahari, 1977/1978; Zaenu, 1984). Sejak awal
kerajaan Buton telah memposisikan perempuan pada posisi strategis dalam sistem
kepemimpinannnya. Keterlibatan perempuan dalam sistem pemerintahan
kesultanan Buton tersebut, bukan saja menjadikan perempuan sebagai ratu. Tetapi
juga masuk dalam sistem pemerintahan. Salah satu persyaratan dalam pemilihan
sultan Buton adalah apakah istri calon Sultan tersebut layak atau tidak untuk
menjadi permaisuri (Schoorl, 2003: 217). Jika tidak layak, maka calon sultan tersebut,
tidak akan diangkat menjadi sultan Buton (2009: 2).
Pentingnya penelusuran konsep mengenai keterlibatan perempuan di dalam
kebudayaan maritim Wakatobi, mengingat bahwa betapa besar peran perempuan di
dalam sistem kepemimpinan di dalam kesultanan Buton di masa lalu. Dimana
perempuan Wakatobi Buton pernah pernah mengalami masa-masa yang gemilang
dan sistem ini diterapkan dalam kerajaan Buton selama beberapa abad4. Selama itu
pula, keterlibatan perempuan dalam kebudayaan maritim Wakatobi Buton begitu
besar. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan perempuan sebagai ratu dan sebagai
oputa bawine (yang mulia permaisuri) dan sara bawine (Dewan Perempuan) dalam
3 Empat bharata yang ada di kesultanan Buton yaitu (1) Kaedupa, (2) Tiworo, (3) Wuna
dan (4) Kulisusu.
4 Yakni sejak raja pertama sampai sultan terakhir yaitu Sultan La Ode Walihi pada tahun
1960-an
[267- 2 8 2 ] S u m i m a n U d u | 269
sistem pemerintan kesultanan Buton (Udu, 2009: 2). Di samping itu, di dalam dunia
pelayaran, perempuan Buton adalah penentu sukses atau tidaknya seorang suami di
luar rumah, akan banyak ditentukan oleh ketengangan seorang istri di dalam rumah.
demikian juga sebaliknya, keselamatan istri dan anak-anak di dalam rumah akan
ditentukan oleh bagaimana perilaku suami di luar rumah (perahu) dan tempat
rantau.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang keterlibatan perempuan dalam
kebudayaan maritim Wakatobi Buton, maka penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Pierre Bourdieu sehingga dapat dipetakan habitus
perempuan maritim Wakatobi Buton, serta berbagai ranah yang mereka lewati
dalam peradaban itu. Oleh karena itu, diperlukan studi pustaka dan studi lapangan
untuk mengetahui berbagai informasi mengenai eksistenti perempuan di dalam
kebudayaan maritim Wakatobi Buton di masa lalu, sedangkan pengamatan dan
wawancara dilakukan untuk mengetahui eksistensi perempuan di dalam
kebudayaan Wakatobi Buton yang ada dewasa ini. Selanjutnya data dianalisis
dengan metode deskriptif analisis untuk menjelaskan habitus, ranah, yang dilewati
oleh perempuan dalam kebudayaan maritim Wakatobi Buton yang meliputi masa
lalu, sekarang, dan masa yang akan datang.
POTENSI PEREMPUAN DALAM KEBUDAYAAN MARITIM
Untuk menjelaskan peran perempun di dalam kebudayaan maritim Wakatobi
Buton, maka kita tidak dapat melepaskan diri bagaimana peran perempuan di dalam
sistem kesultanan Buton. Oleh karena itu, peran perempuan di dalam kebudayaan
maritim Wakatobi Buton diuraikan sebagai berikut.
1. Habitus Perempuan dalam Ranah Pemerintahan
Keterlibatan perempuan dalam bidang pemerintahan kesultanan Buton, dapat
dilihat keberadaan perempuan sebagai ratu pertama dan ratu kedua kerajaan Buton
(Udu, 2009: 2). Ini menunjukkan bahwa perempuan waktu itu memegang peranan
penting dalam sistem pemerintahan kerajaan Buton. Tetapi setelah raja Buton kelima
sekaligus sultan Buton pertama (Lakilaponto/Latimba-timbanga) (Zuhdi, 1995: 54),
kedudukan perempuan di dalam pemerintahan kesultanan Buton sudah mengalami
kemerosotan. Sejak saat itu, perempuan tidak pernah lagi menduduki posisi sebagai
sultan dalam pemerintahan kesultanan Buton (Udu, 2009: 3). Kondisi ini, membawa
perempuan tidak lagi menduduki jabatan sebagai raja hingga menyantunya
kesultanan Buton pada tahun19605 dengan NKRI.
Walaupun perempuan tidak dapat lagi menduduki posisi sebagai sultan,
tetapi perempuan masih terlibat dalam sistem pemerintahan kesulatanan Buton.
Keterlibatan perempuan tersebut dapat dilihat dari adanya prosesi pelantikan istri
sultan sebagai Oputa Bawina (permaisuri) yang hampir sama dengan upacara untuk
5 Pada tahun 1960-an, sultan terakhir Buton wafat dan tidak diperbolehkan lagi untuk
melantik sultan pengganti.
270 | SAS D A YA , G a d j a h M a d a J o u r n a l of Humanities, Vol. 2, No. 1, No vem ber 2017
pelantikan sultan. Pelaksana upacara itu ialah istri para pejabat yang terlibat dalam
upacara pelantikan sultan (Berg, 1939: 519; Udu, 2009: 3).
Dalam tugasnya sebagai oputa bawina (yang mulia permasuri), perempuan
memiliki peran penting yaitu menjaga keselamatan dan kesejahteraan kesultanan.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Schoorl (2003: 217) bahwa, peran
perempuan dalam menjaga tingkat kesejahteraan kesultanan dan masyarakat Buton
masih dianggap sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari peran oputa bawina
(permasiuri) yang menjaga keselamatan kesultanan dari berbagai macam penyakit,
bencana dan panen yang gagal. Ia juga secara khusus menjaga kesehatan sultan.
Berdasarkan analisis Pierre Bourdieu, dijelaskan bahwa salah satu syarat
seseorang dapat sukses di sebuah ranah paling tidak harus memiliki empat modal
yaitu (1) modal kultural, (2) modal sosial, (3) modal simbolik dan (4) modal finansial.
Kalau melihat syarat sultan Buton adalah kelayakan istri untuk menjadi permaisuri,
maka ada beberapa habitus yang harus dimiliki oleh seorang permaisuri dalam
sistem pemerintahan kesultanan Buton, (1) harus memiliki kemampuan untuk
mengelola aspek finansial, (2) harus memiliki habitus6 untuk melindungi kesultanan
dari musibah, wabah, (3) harus memiliki kemampuan batiniah untuk melindungi
sultan dan kesultanan.
Di sini, modal kultural yang harus dimiliki oleh seorang permaisuri harus
memiliki dan memahami faham Buton sebagai modal kultural mereka. Seorang
perempuan Buton juga harus menjadi guru bagi anak-anak dan perempuan di dalam
kesultanan Buton. Oleh karena itu, seorang perempuan harus memiliki habitus
dibidang pendidikan, baik mengenai ilmu tentang faham kebutonan yang berbasis
pada kangkilo dan faham sufisme, maupun berbagai ilmu pengetahuan tentang
keduniaan. Oleh karena itu, seorang perempuan maritim Wakatobi paling tidak
harus memiliki beberapa modal kultural yang berkembang di dalam kebudayaan
Wakatobi Buton di atas.
Kalau kita merujuk pada sejarah perempuan Buton, maka perempuan
bertanggung jawab atas beberapa hal, yaitu (1) merawat anak, (2) mencari rezeki
bersama-sama dengan suami, (3) mendidik anak, dan (4) melakukan amalan, (amala)
untuk melindungi keselamatan suami disaat berada di luar rumah (Udu, 2006: 145;
Udu, 2009: 3). Sehubungan dengan tanggung jawab tersebut, diuraikan dalam Sarana
Azali dan Sarana Susua bahwa perempuan berkewajiban untuk mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan perawatan dan dan pendidikan anak-anak di dalam
kesultanan. Di sini, merupakan ranah paling penting dalam konteks pengembangan
kebudayaan maritim Wakatobi Buton, dimana kita harus mengembalikan marwah
6 Habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui
proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara
berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus
seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah
begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis.
https://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-
pierre-bourdieu/ diakses pada tanggal 16 Mei 17
[267- 2 8 2 ] S u m i m a n U d u | 271
keluarga sebagai lembaga pendidikan terpenting dalam sejarah perkembangan
seorang individu.
Jika rumah kita kembalikan marwahnya menjadi lembaga pendidikan
terpenting, maka perempuan dalam kebudayaan matirim wakatibu Buton
hendaknya harus memiliki habitus yang sangat luar biasa. Karena perempuan
adalah guru pertama dalam ranah keluarga. Masa depan generasi maritim Wakatobi
Buton, akan terletak pada kemampuan seorang ibu dalam mendidik anak-anakanya.
Di samping itu, keberadaan perempuan dapat dilihat dari pandangan hidup
masyarakat Buton yang memandang bahwa kesuksesan hidup hanya dapat diraih
jika ada keharmonisan suami istri dalam keluarga. Segala percekokan dalam rumah
tangga akan berdampak negatif pada masa depan kehidupan mereka, sebaliknya
keharmonisan keluarga akan berdampak positif pada kesuksesan keluarga.
Demikian juga dalam sistem pemerintahan, bahwa keharmonisan keluarga
kesultanan akan berdampak pada keselamatan dan kesejahteraan keluarga,
sebaliknya jika permaisuri tidak dapat menjalankan tugasnya dalam mendampingi
sultan, maka akan berdampak negatif bagi jalannya pemerintahan (Udu, 2009: 3).
Seorang perempuan dalam kebudayaan maritim Wakatobi Buton harus
mampu tampil sebagai pemimpin, ketika suaminya berada di luar rumah. Dia harus
mampu mengambil kebijakan, menjaga keamanan, menjaga kesejahteraan, hingga ia
menjadi guru bagi anak-anaknya. Dalam doktrin kebudayaan maritim Wakatobi
Buton masih terpatri bahwa keselamatan suami di luar rumah akan ditentukan oleh
kemampuan istri yang melindunginya dari dalam rumah, demikian sebaliknya,
keselamatan perempuan dan anak anak di dalam rumah akan dipengaruhi oleh
perilaku suami selama berada di luar rumah. Doktrin ini kemudian melahirkan
sebuah konsep, saling menjaga yang apabila kita kembalikan kepada konsep sara
patanguna, maka konsep (1) pomaamasiaka (saling mengasihi), (2) popiapiaraka (saling
memelihara), (3) pomaemaeaka (saling menakutkan), (4) poangkaangkataka (saling
menghormati) menjadi habitus yang harus dimiliki oleh perempuan dalam
kebudayaan maritim Wakatobi.
Mengapa seorang istri harus melindungi suaminya dari dalam rumah yang
secara rasional tidak mungkin terjadi, karena konsentrasi suami di luar rumah akan
ditentukan oleh ketenangan istri di luar rumah. Mereka akan selalu menyangi anak-
anak dan suaminya dengan berusaha untuk mencurahkan seluruh cinta kasihnya
pada anak-anak dan suaminya. Perempuan di dalam rumah juga akan selalu
berusaha untuk selalu memelihara kehormatan anak-anak, suami, keluarga,
kampung, hukum dan agamanya selama suaminya berada di luar rumah. Mereka
akan malu pada diri sendiri, ketika mereka mempermalukan keluarga, tidak mampu
menjaga anak-anak, tidak mampu menjaga pergaulannya sendiri. Mereka akan takut
jangan sampai suaminya malu karena perbuatannya, mereka akan rela menderita
termasuk meminta pada mertua atau orang tuanya, selagi dia masih bisa, demi
menjaga harga diri suaminya. Karena sekali ia meminta, maka sama dengan ia
mempermalukan suaminya di hadapan orang lain. Di sanalah, mereka harus
menjadi manejer keuangan yang tangguh, yang mampu meramalkan masa depan
dengan baik. Di ranah ini, terkadang perempuan sudah dapat menjadi kekuatan
ekonomi keluarga, menjadi petani dan sekaligus menjadi nelayan.
272 | SAS D A YA , G a d j a h M a d a J o u r n a l of Humanities, Vol. 2, No. 1, No vem ber 2017
Di sisi yang lain, dewasa ini paham tersebut sudah mulai dilupakan oleh
masyarakat Wakatobi Buton sendiri. Bahkan kalau melihat beberapa refleksi budaya
tentang karakter budaya yang meliputi hubungan laki-laki dan perempuan, aspek
kesetiaan (turu) dalam kehidupan rumah tangga, tinggah setipis kulit bawang, hal
ini dapat dilihat dari teks lagu Wakatobi berikut.
La’amo tolu komba na langkesu
nulolahamo te mia hele
umura ara sata’o na langkesu
koumangga aku kua ngkumatemo
baru saja tiga bulan saya berangkat
kau sudah mencari orang lain
mungkin kalau satu tahun saya berangkat
kau akan menganggapku sudah meninggal
Dari teks tersebut di atas, terlihat betapa habitus yang membuat perempuan
Wakatobi menjadi tangguh sudah mulai memudar, tara (sabar, tabah dan tahan)
yang menjadi simbol dari karakter turu (loyal) pada cinta dan tujuan yang pernah
mereka bangun terhempas hanya karena mereka ditinggalkan. Masa tiga bulan,
sudah mampu menggeser cinta dan kesetiaan mereka. Bagaimana kalau seperti
masa-masa silam, perempuan Wakatobi Buton yang ditinggal bertahun-tahun
bahkan puluhan tahun, tetapi mereka tetap setia menunggu kedatangan suami,
sabar mendidik anak-anak, serta berhatan mempertahankan harga diri keluarga.
Mereka akan rela untuk mati dengan sikap mereka yang berpegang teguh pada
kebenaran (toro).
Dalam pemilihan bupati/walikota di daerah eks kesultanan Buton misalnya,
tidak lagi mempertimbangkan kelayakan istri apakah ia dapat menjadi panutan atau
tidak. Karena perempuan tidak lagi dijadikan sebagai salah satu persyaratan dalam
pemilihan bupati dan walikota, maka masyarakat Buton telah melupakan konsepsi
kepemimpinan yang berwawasan jender. Pada hal di masa lalu, sistem
kepemimpinan dan tatanan budaya masyarakat Buton sangat menghargai
keberadaan perempuan dalam pemerintahan (Udu, 2009: 3).
2. Habitus dalam Ranah Budaya
Kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat Buton dipengaruhi oleh
sistem pelapisan masyarakat. Ada empat lapisan masyarakat dalam masyarakat
Buton, yaitu kaomu7, walaka8, maradika9 dan batua10. Berdasarkan pelapisan tersebut,
7 Lapisan tertinggi dalam masyarakat Buton, yang hampir sama dengan ‚kaum ningrat‛.
Mereka ini terdiri dari keturunan menurut garis bapak dari pasangan raja pertama.
8 Lapisan kedua, yaitu mereka yang berasal dari keturunan bapak dari para pendiri
kerajaan Buton. Lelaki kaomu dalam menikahi perempuan walaka. Lapisan ini dapat
memberhentikan penguasa. Lapisan ini terdiri dari tiga golongan yaitu tapi-tapi,
kumbewaha, dan tanailandu.
[267- 2 8 2 ] S u m i m a n U d u | 273
laki-laki dapat menikahi perempuan yang sederajat dengannya atau perempuan
yang lebih rendah derajatnya, tetapi perempuan tidak dapat menikahi laki-laki yang
berada pada kelas sosial di bawahnya (Munafi, 2001). Pelapisan ini, sesungguhnya
adalah ranah dimana perempuan semakin tidak berdaya menghadapi kulturnya
sendiri. Perepuan sudah dianggap sebagai manusia kelas dua, perempuan sudah
menjadi manusia yang tersubordinasi. Kebudayaan maritim Wakatobi Buton seakan
lupa pada sejarah yang membesarkan namanya.
Berdasarkan pelapisan masyarakat Buton di atas, rupanya perempuan masih
diposisikan dalam posisi subordinasi. Mengapa laki-laki dapat menikah dengan
perempuan di bawahnya, sedangkan perempuan tidak dapat menikah dengan laki-
laki di bawah strata sosialnya? Rupanya aspek sosial kultural tersebut telah
melenceng dari undang-undang martabat tujuh yang termaktub dalam sarana Wolio
yang memberikan penghargaan kepada masyarakat atas karyanya. Dimana yang
dihormati itu ada empat banyaknya (1) karena keberaniannya, (2) karena
kealimannya, (3) karena mengorbankan hartanya, dan (4) karena membawa
kepandaiannya di jalan pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan pemerintah Wolio
(Niampe, 2007: 220-221).
Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton, pelapisan
masyarakat tersebut tidak ada, sehingga bagi mereka yang paham tentang martabat
tujuh (Sarana Wolio), tidak memberikan gelar ‚ode11 pada nama anak-anaknya.
Sedangkan pada keluarga yang tidak faham akan berpegang teguh pada strata sosial
tersebut, dan bagi mereka yang berasal dari kaomu dan walaka akan memberikan
gelar la ode’ dan wa ode’ di depan nama anak-anak mereka. Sehingga dalam proses
pernikahan pun akan selalu mempertanyakan strata sosial12.
Sehubungan dengan strata sosial tersebut, tidak sedikit keluarga yang
menggunakan gelar ode itu yang malu ketika mempersoalkan mahar dengan
masyarakat yang tidak menggunakan ‘ode’ bagi anak-anak mereka. Tetapi setelah
membuka silsilah dan sejarah, mereka yang tidak menggunakan gelar ode’ itu
ternyata justru mereka yang lebih pantas untuk mendapatkan gelar ‘ode’ tersebut.
Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton, perempuan
dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Karena masyarakat
Buton mengenal hukum pobinci-binciki kuli yang meliputi pomaa-masiaka, popia-
9 Maradika atau biasa juga disebut papara merupakan lapisan masyarakat Buton yang
merdeka dan tinggal di lingkungan kadie (desa). Mereka dapat memegang jabatan di
lingkungan kadie, tetapi mereka tidak dapat mempimpin di pusat kerajaan.
10 Batua merupakan lapisan masyarakat Buton yang tidak merdeka disebabkan karena
perbuatan mereka, misalnya melanggar adat, tidak mampu membayar hutang. Tetapi di
sisi yang lain, ada anggapan bahwa batua bukan lapisan masyarakat melainkan
komunitas masyarakat yang terhukum saja.
11 Bagi sebagain masyarakat Buton ‘ode’ dianggap sebagai penanda lapisan sosial
masyarakat, sementara undang-undang mengganggap bahwa itu adalah penghargaan
atas orang-orang yang berjasa pada kesultanan.
12 Hasil wawancara dengan lakina Mandati
274 | SAS D A YA , G a d j a h M a d a J o u r n a l of Humanities, Vol. 2, No. 1, No vem ber 2017
piaraka, poangka-angkataka pomae-maeaka. Saling menyayangi, saling memelihara,
saling menghormati dan saling takut menakutkan (Putra, 2000: 86). Manusia
dihormati bukan karena jenis kelaminnya melainkan karena karyanya. Hal ini dapat
dilihat dari pemberian gelar kepada perempuan Buton (Wa Ode Wau) yang telah
menggunakan hartanya dalam pembangunan benteng Buton. Sebelumnya ia belum
mempunyai gelar ‘ode’, tetapi karena jasanya, ia dihormati dan dianugerahi dengan
gelar ‘ode’13. Selanjutnya, seseorang yang bergelar ‘ode’ tidak tertutup kemungkinan
untuk dicabut dari namanya apabila ia melanggar adat atau hukum yang membuat
harkat dan martabatnya di turunkan. Sebagai contoh, seorang sultan (oputa igogoli)
yang terbukti mengganggu istri orang dihukum mati oleh dewan Siolimbona.
Dalam menjalankan peranya baik di dalam ranah domestik maupun di ranah
publik, perempuan dalam kebudayaan maritim Wakatobi Buton hendaknya
memahami konsep kangkilo awalu14 dan kangkilo ahiri15 yang kemudian
dimanifestasikan di dalam konsep tara, turu, toro. Melalui konsep tara seorang
perempuan Wakatobi harus memiliki sifat tabah, sabar dalam menghadapi berbagai
tantangan dalam hidupnya. Mereka tidak boleh putus asa, baik yang menyangkut
masalah di ranah domestik maupun masalah yang mereka hadapi di ranah publik.
Perempuan Wakatobi harus memiliki habitus sebagai orang yang sabar, tabah dan
tidak mudah putus asa.
Selanjutnya, habitus lain yang harus dimiliki oleh perempuan waritim
Wakatobi Buton adalah turu, yaitu sebuah habitus dimana perempuan maritim
Wakatobi Buton memiliki prinsip yang loyal. Seorang perempuan harus loyal pada
tujuan hidup dirinya sebagai seorang perempuan, ibu, dan seorang istri. Mereka
harus mampu berjuang mati-matian, sampai titik darah penghabisan untuk menjaga
tujuan hidup mereka, baik sebagai seorang individu, istri, ibu dan sebagai anggota
masyarakat Wakatobi. Mereka harus tunduk dan patuh pada nilai-nilai budaya yang
beredar di dalam masyarakatnya.
Dalam konteks sebagai seorang individu, istri dan ibu perempuan harus
memiliki kemampuan untuk mengabdi, dan loyal pada cita-cita yang dibangunnya,
13 Dalam perkembangan terakhir, ada beberapa tokoh nasional yang dianugerahi dengan
gelar ‘ode’, antara lain adalah mantan anggota DPR RI untusan dari Buton La Ode Jeni
Hasmar, Wa Ode Puan Maharani dan yang terakhir adalah pemberian gelar ode kepada
menteri agama RI
14 Kangkilo awalu merupakan sebuah konsep budaya dimana seseorang dalam
kebudayaan maritim Wakatobi Buton harus mampu mensucikan semua hal yang masuk
ke dalam tubuhnya melalui lima panca indranya. Mereka harus mampu mensucikan tiga
dimensi dirinya, yaitu fisik, pikiran dan rasa.
15 Kangkilo akahiri merupakan konsep budaya yang menjelaskan tentang bagaimana
masyarakat Buton menjaga kesucian tindakan, pikiran dan rasanya agar apapun yang
mereka kerjakan, pikiran, dan rasakan jangan mengganggu atau mengotori fisik yang
lain, pikiran yang lain, dan rasa yang lain. Konsep ini diarahkan agar manusia Buton
selalu berusaha untuk menjadi rahmatan lililalamain, bukan mengambil barang orang,
mengambil istri atau suami orang, termasuk merusak lingkungan (membuah sampah
sebarang), membicara orang lain (bergunjing)
[267- 2 8 2 ] S u m i m a n U d u | 275
cita-cita keluarganya, maupun pada cita-citanya sebagai ibu yang kelak akan
melahirkan anak-anak hebat. Anak-anak hebat tidak akan lahir dari seorang ibu
yang tidak memberikan kasih sayang dan harapan. Dada seorang istri adalah
tembok terakhir seorang suami ketika hatinya gundah, demikian juga dada seorang
ibu adalah benteng terakhir sekaligus mata air yang membuat setiap anak nyaman
dalam menyandarkan hidupnya, membangun harapannya.
Sementara habitus lain dalam kebudayaan kebudayaan maritim Wakatobi
adalah aspek toro atau tetap berpegang teguh pada aturan dan tujuan hidup yang
dibangu di dalam keluarga dan masyarakat. Dia harus objektif, adil dan tidak
memihak pada siapapun, kecuali pada kebenaran yang tuntun oleh ajaran
agamanya. Di sini, perempuan sejati harus mampu memahami empat pintu tanah
Buton16 dalam menyelesaikan berbagai persoalan, sehingga di dalam ranah ini
perempuan adalah guru demokrasi yang paling penting.
Sudah saatnya untuk melibatkan anggota keluarga dalam berbagai
pengambilan keputusan. Di ranah ini perempuan harus dilibatkan dalam
pengambilan keputusan, sehingga mereka memiliki pengetahuan tentang
konsekuensi dari kebijakan yang diambil dalam keluarganya.
3. Habitus dalam Ranah Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, peran perempuan dalam pemerintahan kesultanan
Buton dapat dilihat dari adanya tugas perempuan (permaisuri) dalam menjaga
kesejahteraan kesultanan. Ini merupakan tugas penting seorang permaisuri dalam
mendampingi sultan. Dalam tugasnya untuk menjaga kesejahteraan kesultanan ini,
permaisuri memegang tanggung jawab yang berat, antara lain ia harus selalu
melakukan semedi (amala) dan ia tidak diperkenankan untuk keluar rumah demi
melindungi kesultanan dari gagal panen (Schoorl, 2003: 217; Udu, 2009: 5). Dalam
ranah ekonomi, perempuan Wakatobi hendaknya memiliki habitus dalam bidang
manajemen keuangan yang baik. Dia harus memiliki kemampuan untuk
menentukan mana kebutuhan dan mana keinginan. Dengan kemampuan untuk
memisahkan dua aspek ini, perempuan kita akan mampu menentukan skala
prioritas dalam pengelolaan keuangan keluarga. Perempuan yang tidak memiliki
manejemen keuangan yang baik, biasa dikenal dengan perempuan padang pasir,
karena sebanyak apapun penghasilan suami, maka semua akan habis, karena ia tidak
dapat membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan.
Dalam ranah kesultanan, seorang permaisuri memegang peranan penting
dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton, karena keselamatan dan
kesejahteraan kesultanan berada di tangannya. Sehubungan dengan tugas
16 Empat pintu tanah Buton adalah empat cara penyelesaian masalah yaitu (1) gau yakni
setiap orang yang terkait dengan masalah diberikan ruang untuk membicarakan
masalah dari sudut pandang yang dia miliki. (2) pombala, yaitu tahapan penyeleksian
berbagai informasi yang terkait dengan masalah, sehingga akan menemukan akar
masalah, (3) musyawarah dan (4) mufakat.
276 | SAS D A YA , G a d j a h M a d a J o u r n a l of Humanities, Vol. 2, No. 1, No vem ber 2017
keselamatan kesultanan tersebut, Wa Ode Wau dalam membantu permaisuri
bersedia untuk mendanai pembangunan benteng Wolio di zaman sultan La Buke.
Selanjutnya, jika kesultanan mengalami gagal panen dan terjadi musim paceklik,
maka yang disalahkan bukan sultan, tetapi yang disalahkan adalah permaisuri (Udu,
2009: 5).
Dalam pandangan masyarakat Buton, kesejahteraan keluarga sangat
ditentukan oleh perempuan17. Seorang pedagang yang berlayar dengan perahu
karoro ke luar daerah, rezekinya ditentukan oleh keberadaan istri di dalam rumah.
Kesuksesan suami di dalam bidang ekonomi merupakan kesuksesan istri di dalam
rumah. Inilah yang menjadikan perempuan maritim Wakatobi Buton memiliki peran
penting dalam pengelolaan ekonomi keluarga dan kesultanan Buton. Dengan
demikian, di dalam kesuksesan seorang laki-lak, sesungguhnya ada perempuan
hebat yang selalu menuntun jalannya. Perempuan seharusnya dapat menjadi
permasuri dalam novel Taj Mahal, dimana ia akan hadir untuk melihat suaminya
dari jauh, jika suaminya masih berjalan dengan normal dalam pembangunan
ekonomi dan pemerintahan, tetapi ia akan tampil lebih depan jika suaminya sudah
berhenti karena masalah. Seorang istri dalam kebudayaan maritim Wakatobi Buton
juga harus tampil seperti istrinya Mochtar Riady yang tampil sebagai penyelamat
ekonomi keluarga (menjahit) ketika suaminya bangkrut, walaupun saat ini menjadi
orang sukses di Indonesia (pemilik Lippo Group) (Riady, 2014).
Jika sebuah keluarga mengalami kesuksesan di bidang ekonomi, maka
pertanyaan orang-orang Buton adalah ‚siapa istrinya?‛, bukan ‚siapa suaminya‛,
karena dalam pemahaman orang-orang Buton bahwa dunia luar sangat dipengaruhi
oleh keharmonisan di dalam keluarga. Bahkan dalam beberapa kasus terakhir,
perempuan Wakatobi Buton telah mengalam keunggulan dalam dunia bisnis.
Mereka telah menguasai hampir beberap pasar di Wakatobi. bahkan mereka juga
sudah bertugas sebagai pembeli barang di Makassar, Surabaya dan Jakarta.
Lebih jauh dijelaskan bahwa, dalam menjaga kesejahteraan sosial tersebut,
masyarakat percaya bahwa untuk memulai pembukaan lahan pertanian atau
mengawali panen harus dimulai oleh seorang perempuan cantik dan banyak
anaknya serta berkecukupan dalam kehidupan keluarganya18. Karena perempuan
cantik dan banyak anak serta berkecukupan tersebut merupakan simbol dari
keberuntungan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan di dalam
sistem pemerintahan terutama dalam bidang ekonomi sangat penting. Keterlibatan
perempuan dalam bidang ekonomi dewasa ini semakin besar, hal ini dapat dilihat
dari banyak perempuan yang terlibat dalam dunia perdagangan di Buton.
Dengan demikian, diperlukan beberapa habitus untuk seorang perempuan
yang dapat sukses di ranah ekonomi, yaitu dia juga harus tabah, sabar, memberikan
17 Hasil wawancara dengan La Ode Balawa, ia mengatakan bahwa kesuksesan
masyarakat Buton sedikit banyak dipengaruhi oleh keberadaan perempuan di dalam
rumah.
18 Kasus ini dapat ditemukan pada kuburan perempuan cantik dan banyak anak yang
kuburannya adalah di sebelah timur benteng Patua.
[267- 2 8 2 ] S u m i m a n U d u | 277
pelayanan yang menarik. Di samping itu, perempuan maritim Wakatobi juga harus
memiliki sifat turu (loyal) pada tujuan dan komiteman yang ingin dibangunnya. Di
sini, diperlukan juga upaya untuk terus menerus memperbaharui harapannya, dan
berkimiten untuk mewujudkan setiap fase dari harapan yang dibangunnya.
Selanjutnya mereka juga harus objektif, rasional dan selalu berada pada nilai-nilai
kebutonan yang dibangun dalam konsep kangkilo dan sara patanguna.
Kesuksesan perempuan maritim Wakatobi dalam ranah ekonomi tentunya
tidak dapat dipisahkan dari modal budaya, modal sosial, modal simbolik dan serta
finansial yang mereka miliki. Namun, modal budaya, modal sosial merupakan aspek
penting untuk berkembangnya modal finansial. Orang-orang yang berjuang di ranah
ekonomi modal utamanya adalah kepercayaan, yang didapatkan dari sifat saabar,
tahan, tidak mudah putus asa, serta mereka yang memiliki sifat turu atau komitmen
pada setiap harapan yang dibangunnya. Di samping itu, mereka juga harus selalu
berpegang teguh pada nilai-nilai moral, terutama pada aspek nilai-nilai budaya yang
dibangun di dalam ranah ekonomi tersebut.
4. Habitus di Ranah Pendidikan
Perempuan adalah literasi hidup yang paling besar perannya di dalam
pendidikan anak-anaknya. Oleh karena itu, seorang perempuan hebat hendaknya
memiliki kebiasaan membaca, dan berdiskusi sebagai ruang untuk membentuk
habitus di dalam ranah pendidikan. Ia harus mampu hidup sebagai sumber rujukan
bagi anak-anaknya. Untuk itu, seorang perempuan maritim Wakatobi hendaknya
mampu memiliki kemampuan membaca minimal 2 buku perhari. Mereka juga harus
mampu menjadi guru-guru bagi anak-anaknya, lingkungannya dan masyarakatnya.
Di dalam ranah pendidikan, permaisuri (oputa bawine) berperan sebagai guru
di dalam lingkungan kerajaan. Dalam tugasnya sebagai guru tersebut, perempuan
memegang peran strategis dalam menanamkan konsep kepada generasi Buton di
masa depan. Masa depan Kesultanan Buton berada di tangan perempuan sebagai
guru. Oleh karena itu, permaisuri harus memiliki ilmu yang tinggi. Baik ilmu
keduniaan maupun ilmu-ilmu kebatinan (amala) (Udu, 2009: 6, Udu, 2015; 53-56).
Di bidang sastra, masyarakat Buton mengenal Wa Ode Samarati sebagai
sastrawan. Ia menulis kabanti yang berjudul Kanturuna Molingkana (lampu dalam
perjalanan) (Niampe, 1998: 61). Keberadaan penyair perempuan tersebut, tentunya
berhubungan dengan tugas-tugas perempuan (permaisuri dan Sarana Bawine) dalam
memberikan pendidikan bagi perempuan di lingkungan istana. Perempuan bukan
hanya menjadi guru yang mentransfer ilmu pada anak-anaknya, tetapi yang paling
penting adalah perempuan yang mampu memberikan inspirasi bagi anak-anaknya.
Mereka harus mampu membangun mimpi dan harapan bagi anak-anaknya.
Perempuan hebat adalah membangun mimpi anak-anaknya, dan membantunya
untuk mencari tangga pertama dalam mewujudkan mimpi itu. Selanjutnya, tidak
sedikit perempuan yang menghabisi mimpi dari anak-anaknya, mereka adalah
predator bagi anak mereka sendiri, tidak pernah membiarkan anak-anak mereka
tumbuh berpikir, bahkan tidak jarang perempuan dan suami yang melahirkan anak-
278 | SAS D A YA , G a d j a h M a d a J o u r n a l of Humanities, Vol. 2, No. 1, No vem ber 2017
anak mereka tanpa kepada dan dada yang terlubang. Hingga mereka selalu
memberikan pikiran mereka kepada anak anak mereka, mereka memberikan
perasaan mereka kepada dada anak-anak mereka. Dalam ranah ini, perempuan
maritim seharusnya menjadi sumber inspirasi dan sumber pengharapan bagi anak-
anak mereka. Ibu yang hebat, akan mampu membuat target hidup yang selalu
membangkitkan inspirasi bagi anak-anak dan masyarakatnya.
Di zaman kesultanan Buton, tugas perempuan (permaisuri) dalam bidang
pendidikan ini dilakukan mulai sejak proses pendidikan calon ibu di dalam
lingkungan kesultanan, terutama mengenai ilmu berumah tangga (bdk. Udu, 2006: 6;
Udu, 2009: 6). Karena menurut orang-orang Buton, pendidikan seseorang sudah
harus dimulai sejak dalam proses pembuatannya. Jadi calon ibu sudah harus
mempelajari ilmu berumah tangga yang diajarkan oleh permaisuri bersama-sama
dengan sara bawine (Dewan Perempuan). Konteks tradisi sombo’a19 merupakan
momentum kaderisasi perempuan dalam kebudayaan maritim Wakatobi Buton. Di
sini, seorang perempuan harus membentuk habitusnya, sehingga ia mampu bersaing
di dalam ranah pendidikan, sebagai seorang ibu yang harus mendidik anak,
masyarakat dan lingkungannya.
Untuk kepentingan ilmu berumah tangga inilah masyarakat Buton mengenal
kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa (Rusdin, 2002: 117; Udu, 2007: 3). Sebab
ilmu berumah tangga ini merupakan puncak ilmu pengetahuan di dalam
masyarakat Buton. Karena ilmu berrumahtangga tersebut berhubungan dengan
berbagai bidang kehidupan selanjutnya. Di sinilah perempuan (permaisuri) diatur
dalam sarana susua untuk merawat dan mendidik anak-anak dan perempuan Buton
yang ada di lingkungan kesultanan. Perempuan maritim Wakatobi hendaknya
memiliki habitus untuk dapat bertahan di dalam berbagai ranah, termasuk di dalam
ranah pendidikan. Perempuan dalam kebudayaan maritim Wakatobi hendaknya
mendapatkan ranah pendidikan yang baik, mulai dari rumah tangga, sekolah, dan
masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat Buton dewasa ini, pendidikan anak-anak
seperti ini tidak lagi menjadi tanggung jawab perempuan. Sehingga peran
pendidikan ini lebih banyak diserahkan ke guru-guru di sekolah. Dan peran sara
Bawine untuk melakukan pendidikan mengenai ilmu berumah tangga kepada gadis-
gadis dalam kegiatan sombo’a tidak lagi maksimal atau bahkan sudah terlupakan.
Akibatnya ilmu tentang berumah tangga seperti ini tidak didapatkan lagi oleh gadis-
gadis Buton yang kelak akan mendirikan rumah tangga. Maka tidak heran, peran
pendidik yang dulu diperankan oleh perempuan sudah tidak ada dalam masyarakat
Buton. Dan parahnya lagi kegiatan sombo (pingitan) tinggal dilakukan sebagai ritual
belaka tanpa menyentuh esensinya sebagai sarana pendidikan ilmu berumah tangga
bagi masyarakat Buton.
19 Sombo’a merupakan tradisi pengkaderan anak-anak perempuan Wakatobi yang
berlanjut selama berbulan-bulan. Mereka akan diajari berbagai ilmu sebagai habitus
mereka ketika menjalani hidup di usia dewasa, termasuk di dalam ranah ekonomi.
[267- 2 8 2 ] S u m i m a n U d u | 279
5. Habitus dalam Ranah Politik
Kemampuan seorang perempuan yang mau memasuki ranah politik, harus
multitalenta. Ia harus mampu bermain di dalam dua ranah yang berbeda dalam
waktu bersamaan, karena ia harus tetap mampu menjaga perannya di ranah
domestik dan perannya di ranah publik. Untuk itu, perempuan maritim Wakatobi
harus benar-benar menjaga kesemimbangan ini.
Untuk melihat keterlibatan perempuan dalam ranah politik, maka sejak awal
perempuan Buton telah dinobatkan menjadi raja. Di samping itu, juga dikenal sara
bawine (dewan perempuan) yang dipimpin oleh permaisuri. Keterlibatan sarana
bawine (dewan perempuan) ini bertugas untuk menjaga keselamatan dan
kesejahteraan kesultanan. Di samping itu, sara bawine ini tentunya bertugas untuk
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di dalam kesultanan Buton. Misalnya,
tugas perempuan di bidang adat dan budaya, bidang pendidikan dan lain-lain (Udu,
2009: 7).
Di dalam masyarakat Buton, khususnya masyarakat Wangi-Wangi mengenal
tarian honari mosega. Dalam performansi tarian ini, perempuan masuk mendahului
kaum laki-laki. Ini menunjukkan bahwa dalam hal negosiasi dan peperangan
perempuan Buton lebih banyak unggul di banding dengan laki-laki. Di samping itu,
tarian ini merupakan ingatan kolektif masyarakat Buton tentang strategi perang
dalam menghadapi musuh. Hal ini merupakan aplikasi konsep politik bangsa Buton
yang terdapat dalam kitab Bula Malino karya Muhamad Idrus Kaimuddin
sebagaimana pernyataan (La Ode Malim, 1983: 16) yang mengatakan bahwa jika
musuh datang dengan kekuatannya hadapi dengan kelembutanmu tapi jangan
minta dilindungi, jika musuh datang dengan kepintarannya hadapi dengan
kebodohanmu, tapi jangan berguru, jika musuh datang dengan kekayaanya, hadapi
dengan kemiskinanmu, tapi jangan meminta, dan jika musuh datang dengan
kelemahannya, maka lindungilah dan perlakukanlah dengan baik.
Di dalam undang-undang tentang partai politik, perempuan sudah diberi
ruang untuk mengisi 30% dari setiap partai. Namun, dalam konteks Wakatobi
keberadaan perempuan belum sepunuhnya tampil sebagai sebuah prestasi yang
membanggakan, walaupun saat ini Wakatobi memiliki ruang ekspresi wowine
sebagai ruang perjuangan yang digagas oleh para perempuan yang duduk di
legislatif, ekskutif baik di pusat maupun di daerah. Ini kita perlu apresiasi bahwa
perempuan Wakatobi sudah mampu bersaing di ranah publik, tetapi ingat, bahwa
perempuan tidak boleh melupakan ranah domestik. Tentunya di kedua ranah ini,
laki-laki dan perempuan seharusnya harus saling bersubsitusi dalam berbagai
momentum. Walaupun ketika laki-laki ditempatkan di ranah domestik, maka
mereka akan mengalami masalah, karena mereka tidak akan sanggup.
Dewasa ini, keterlibatan perempuan dalam sistem pemerintahan tidak lagi
nampak dalam sistem pemerintahan di daerah-daerah ex-kesulatanan Buton. Hal ini
dapat dilihat dari keterlibatan perempuan di dalam pemerintahan kabupaten/kota
yang rata-rata dikuasai oleh kaum laki-laki. Dengan demikian, keterlibatan
perempuan di dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton di masa lalu, dewasa ini
keterlibatan perempuan dalam kebudayaan maritim Wakatobi sudah mulai nampak,
280 | SAS D A YA , G a d j a h M a d a J o u r n a l of Humanities, Vol. 2, No. 1, No vem ber 2017
mulai dari legislatif di DPRD, DPD dan DPR RI pernah lahir dari Wakatobi. Di
samping itu, di dalam wilayah kesultanan Buton, ada tiga orang wakil bupati yang
dijabat oleh seorang perempuan.
Dalam konteks Wakatobi modern, habitus yang dibutuhkan untuk dapat
survive adalah tidak adanya politik balas dendam. Seorang perempuan Wakatobi
maritim, hendaknya memiliki habitus untuk memberikan ampunan dan memaafkan
musuh-musuh politiknya. Karena banyak contoh politisi yang hanya tercatat sebagai
representasi kejahatan atas tindakannya yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Upaya yang dilakukan oleh Hitler, yang menghabisi semua lawan-lawan politiknya
berakhir dengan nasib yang naas, dan dicatat dalam sejarah sebagai sejarah
kejahatan manusia. Di sini perempuan harus memiliki kemampuan untuk memiliki
sifat keibuan, dimana seorang politisi harus memiliki tingakat kesabaran, ketabahan,
dan mampu memaafkan. Tanpa ada upaya memaafkan, maka tidak mungkin kita
dapat membangun masyarakat dengan baik.
IDEOLOGI YANG MEMPENGARUHI PEREMPUAN
DALAM KEBUDAYAAN MARITIM WAKATOBI
Untuk lebih memahami peran perempuan di dalam sistem pemerintahan
kesultanan Buton tersebut, perlu dibongkar ideologi yang membentuk peran
perempuan dalam kehidupan masyarakat Buton. Di dalam masyarakat Buton,
perempuan tidak melakukan pekerjaan berat karena mereka dihormati. Tetapi,
rupanya tidak semua perempuan senang dengan jalan pikiran ini. Hal ini disebabkan
karena dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa jika perempuan memenuhi kewajiban
dalam rumah tangganya, ia akan masuk surga lebih dahulu dari suaminya. Lagi
pula, semua ‚hiasan‛ di surga adalah perempuan dan perempuan yang setia akan
menjadi bidadari.
Dalam mistisme Buton, hubungan laki-laki dan perempuan dilihat sebagai
model semua hal lain ciptaan Tuhan. Itu dipakai untuk membandingkan serta
mencapai pemahaman yang lebih baik. Tuhan menciptakan manusia sebagai model
untuk semua mahluk lain. Semua mahluk harus sesuai dengan asal mula manusia,
cara terjadinya manusia. Ini juga mencakup hubungan kasih sayang antara ayah dan
ibu dalam proses lahirnya manusia.
Selanjutnya dalam mistisme Buton, orang mengenal mirajnya, naiknya
manusia ke surga. Kaum sufi berupaya menjalin hubungan dengan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Ia berserah diri kepada Tuhan, harapan perwujudan. Ia berdoa dengan
cara itu sambil memikirkan tahap-tahap terjadinya manusia. Jika seorang sufi tidak
mengikuti tahap-tahap ini maka ia akan sesat. Doa seorang sufi dapat diketahui
terkabul apabila mendapat perasaan yang hangat dan enak seperti dalam
persetubuhan. Menurut kepercayaan adat Buton, Nabi Muhamad memiliki perasaan
seperti itu ketika tiba di surga sewaktu mirajnya (bdk. Schoorl, 2003: 218).
Semua itu berarti bahwa dalam kebudayaan Buton, hubungan suami istri
sangat dihargai. Dari sini dapat disimpulkan bahwa perempuan juga amat dihargai
sebagai kekuatan yang sebenarnya adalah inti kekuatan dari setiap peradaban. Tidak
[267- 2 8 2 ] S u m i m a n U d u | 281
salah apabila dalam kebudayaan Buton, menyebutkan bahwa negeri adalah
perempuan dan anak-anak. Mereka ruang kebangkitan sebuah bangsa, ruang masa
depan sebuah bangsa. Lemahnya perempuan (seorang ibu) akan juga melemahkan
sebuah kekuasaan.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa keterlibatan
perempuan di dalam sistem pemerintahan kerajaan Buton pada memegang peranan
penting, tetapi setelah Buton menjadi sebuah kesultanan perempuan tidak lagi
menduduki posisi-posisi strategis.
Setelah Buton menjadi kesultanan perempuan telah berada dalam ketegangan
budaya, di satu sisi dihargai tetapi di sisi yang lain tidak lagi diberi kesempatan
sebagaimana laki-laki. Sehingga banyak perempuan Buton yang ingin dititiskan
sebagai laki-laki. Lebih jauh lagi, selain bidang ekonomi peran perempuan Buton
dewasa ini sudah hampir hilang di dalam sistem pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Malim, La Ode. 1958. Membara di Api Tuhan. Ujung Pandang: Balai Bahasa Ujung
Pandang
Munafi, La Ode Abdul. 2001. Langke dalam Kehidupan Orang Buton di Sulawesi
Tenggara (Kajian Strukturalisme tentang Pranata Migrasi. Bandung : Tesis
Program Pascasarjana Universitas Padjajaran
Niampe, La. 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung :
Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
Putra, Maia Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki
dalam Lembaga Kitabullah. Makassar: yayasan AUA Menyingsing Pagi
Rabani, L.O., 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat
Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi
Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.
Riady, Mochtar. 2014. Otobiografi Mochtar Riady: Manusia Ide. Jakarta: Penerbit
Kompas.
Rusdin, Ali. 2002. Kaluku Panda: Telaah Filologis Naskah Wolio. Bandung: Tesis
Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Udu, S. 2009. ‚Perempuan dalam Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton: Suatu
Tatanan Yang Terlupakan‛ dalam Kepemimpinan yang Berprespektif
Gender. Sisparyadi (editor). Yogyakarta: Diterbitkan oleh Pusat Studi
Wanita Universitas Gadjah Mada dan PT Bigraf Bayu Indra Grafika.
Udu, Sumiman. 2006. Citra Perempuan dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis.
Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
282 | SAS D A YA , G a d j a h M a d a J o u r n a l of Humanities, Vol. 2, No. 1, No vem ber 2017
Udu, Sumiman. 2007. Konsep Seks Masyarakat Buton dalam Naskah Kabanti Kaluku
Panda Atuwu Incana Dempa: Tinjauan Semiotik dan Etnografi. Bima NTB:
Makalah Simposium Internasional Manassa tanggal 26-28 Juli 2007.
Udu, S., 2015. Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti Sebagai Media Komunikasi Kultural
Dalam Masyarakat Wakatobi. Humaniora, 27(1), Pp.53-66.
Zaenu, La Ode. 1984. Buton dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
Zahari, Abdul Mulku. 1977/1978. Sejarah dan Adat Wil Darul Butuni. Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan Depdiknas.
Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Jakarta:
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
... Here, we can see the dynamics of the image of women in the Buton oral tradition. Even in the stories of Wa Ode Iriwondu, Wa Ndiu-ndiu, and several other stories, women are often used as objects of male torture (Udu, 2019b). ...
... This is a space for cultural dialogue that must revisit various images of women in various Buton oral traditions. Therefore, this research will focus on how the image of Wolio women in various oral traditions (folk tales) that exist (Udu, 2019b). ...
... Mereka hanya mampu menangis dan tidak boleh diketahui oleh anak-anak mereka. Mereka menjaga moral karena bagi mereka keselamatan lelaki di tengah laut akan ditentukan oleh moral mereka atau amala mereka yang ada di rumah (Udu, 2019). Sebuah kesadaran betapa perempuan sebagai ruang pertahanan dalam system pelayaran perahu karoro. ...
Article
Full-text available
bhanti-bhanti Tradition, Collective Memory, Wakatobi-Maluku Wakatobi people have a collective memory of Maluku as the brother country of their ancestors. But on the other hand, they also have a collective memory about the country of Sanggila (the nickname for Ternate and Tobelo) which always comes to arrest the people of Wakatobi Buton to be used as slaves who are traded in the country of Maluku. Therefore, their collective memory is in the tension between traumatize and romanticism. Research on collective memory will be carried out through an ethnographic perspective, so that it is hoped that it will be able to capture the various perspectives of the Wakatobi people about Maluku. Ethnographic data will be traced through bhanti-bhanti texts that have grown and developed within the Wakatobi community as their collective memory. Furthermore, field data will be obtained from the Wakatobi community, which so far has been integrated with the Maluku people. The results of this study indicate that the Wakatobi people have some collective memories about traumatic matters in the history of their relationship with Maluku, but on the other hand they also have a long romantic history with their relatives from Maluku.
... Thus, the construction of bhisa bhawine in the life of the Butonese has been supported by the realities of history, culture, politics, the physical environment, and social experiences. This has been shown by Zahari (1977) Abdullah (2003) and Udu (2017). This is the form of construction contained in reality as a bhawine figure. ...
... Barangkali karakter itu pula yang membuat orang-orang Buton mudah dikenal oleh orang-orang di luar Buton. Keberanian (basmalah), malu (santun), takut, kasih, pelihara, insyaf, dan awine, sikap yang mencitrakan perempuan (Rosdin 2015, 192) adalah sebagaian dari sifat-sikap orang Buton (Udu 2017). ...
Article
Full-text available
Produksi naskah selalu memiliki tujuan. Tujaun awal adalah dokumentasi nilai-nilai yang harus diketahui oleh masyarakat intern dan dunia di luar mereka. Nilai itu kemudian diajarkan, diterapkan dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Untuk memperkuat nilai, maka elemen sufistik, sebagaimana yang umum berlaku dalam naskah-naskah Nusantara selalu disematkan. Penamaan selalu mengikuti nilai terpenting dalam sebuah naskah. penamaan itu terkait erat dengan makna terdalam dari sebuah naskah. Sebagai gambaran, naskah Kabhanti Ajonga Yinda Malusa yang berarti Pakaian yang tidak luntur, jelas mempunyai kekuatan makna.
Membara di Api Tuhan
  • La Malim
  • Ode
Malim, La Ode. 1958. Membara di Api Tuhan. Ujung Pandang: Balai Bahasa Ujung Pandang
Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik
  • La Niampe
Niampe, La. 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah. Makassar: yayasan AUA Menyingsing Pagi
  • Maia Putra
  • Papara
Putra, Maia Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah. Makassar: yayasan AUA Menyingsing Pagi
Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987
  • L O Rabani
Rabani, L.O., 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.
Otobiografi Mochtar Riady: Manusia Ide
  • Mochtar Riady
Riady, Mochtar. 2014. Otobiografi Mochtar Riady: Manusia Ide. Jakarta: Penerbit Kompas.
Kaluku Panda: Telaah Filologis Naskah Wolio
  • Ali Rusdin
Rusdin, Ali. 2002. Kaluku Panda: Telaah Filologis Naskah Wolio. Bandung: Tesis Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton
  • Pim Schoorl
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
‚Perempuan dalam Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton
  • S Udu
Udu, S. 2009. ‚Perempuan dalam Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton: Suatu Tatanan Yang Terlupakan‛ dalam Kepemimpinan yang Berprespektif Gender. Sisparyadi (editor). Yogyakarta: Diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada dan PT Bigraf Bayu Indra Grafika.
Citra Perempuan dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis
  • Sumiman Udu
Udu, Sumiman. 2006. Citra Perempuan dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Konsep Seks Masyarakat Buton dalam Naskah Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa: Tinjauan Semiotik dan Etnografi. Bima NTB: Makalah Simposium Internasional Manassa tanggal
  • Sumiman Udu
Udu, Sumiman. 2007. Konsep Seks Masyarakat Buton dalam Naskah Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa: Tinjauan Semiotik dan Etnografi. Bima NTB: Makalah Simposium Internasional Manassa tanggal 26-28 Juli 2007.