PresentationPDF Available

Muktazilah: Penamaan, Sejarah dan Lima Prinsip Dasar (Ushul Al-Khamsah)

Authors:

Abstract

Membahas asal dan nama Muktazilah kemudian prinsip dasar mereka (ushul al-khamsah)
MUKTAZILAH: PENAMAAN, SEJARAH DAN
LIMA PRINSIP DASAR (USHUL AL-KHAMSAH)
Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Islamic Thought
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Zainul Kamal, MA,
Dr. Yunasril Ali, Dr. Qomaruddin Hidayat
Jumal Ahmad
NIM: 21171200000008
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
-------------------------------------------------------------------------------------------
2
-------------------------------------------------------------------------------------------
3
Ucapan Terima Kasih
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Mu‟tazilah: Penamaan, Sejarah dan
Lima Prinsip Dasar (Ushul Al-Khamsah).
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dengan bahan
rujukan baik buku, jurnal, majalah atau makalah dari internet yang bisa kami
akses yang tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para dosen
mata kuliah Islamic Thought, khususnya Bapak. Prof. Dr. Abdil Aziz Dahlan
yang menjadi dosen pembimbing dalam kelas Islamic Thought selama satu
semester. Kajian di kelas, saran dan nasehatnya sangat menginspirasi dalam
penulisan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Mu‟tazilah:
Penamaan, Sejarah dan Lima Prinsip Dasar (Ushul Al-Khamsah) ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Jakarta, 24 Desember 2017
Jumal Ahmad
-------------------------------------------------------------------------------------------
4
MUKTAZILAH: PENAMAAN, SEJARAH DAN
LIMA PRINSIP DASAR (USHUL AL-KHAMSAH)
Jumal Ahmad
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl.Kertamukti No.5, Pisangan Barat, Cireundeu, Ciputat Timur, Tangsel
E-mail: ahmadbinhanbal@gmail.com
PENDAHULUAN
Pihak luar Mu'tazilah menamakan mereka dengan kaum Mu‟attilah,
kaum al-Qadariyah, kaum al-Wa‟idiyah dan Jahmiyah. Sementara Mu'tazilah
menyebut dirinya sebagai Ahl al-„adl wa al-tauhid, Ahlul Haq, Al-Firqatun
Najiyah dan Al-Munazzihuun Allah „Anin Naqshi.
Ada dua pendapat tentang lahirnya Mu'tazilah. Pertama bahwa
Mu‟tazilah mulai muncul sejak peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan
al-Bashri, di mana dari Hasan Bashri muncul ucapan “I‟tazala „Anna”. Dari kata-
kata tersebut muncullah kemudian sebutan Mu‟tazilah bagi Washil dan para
pengikutnya. Kedua, Mu‟tazilah ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut
peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib dengan
pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Saidina Ali ibn Abi
Thalib melawan pasukan Mu‟awiyah. Kedua peperangan ini terjadi karena
persoalan politik.
Mu‟tazilah sempat eksis pada masa dinasti Umayyah dan mengalami
puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah. Pada masa Umayyah, Mu'tazilah masih
berkisar tentang pelaku dosa besar dan sudah muncul lima ajaran pokok
Mu‟tazilah yang harus dipegang oleh penganutnya. Pada masa Abbasiyah,
Mu'tazilah memiliki kebebasan dan leluasa dalam mengembangkan ajaran-
ajarannya.Bahkan pada masa Al-Ma'mun Mu‟tazilah berubah menjadi mazhab
resmi negara. Bahkan dalam mengekspresikan kefanatikannya terhadap
Mu‟tazilah, beliau menggunakan kekuasaannya memaksa rakyat untuk mengikuti
aliran kepercayaan yang dianutnya tersebut dengan melakukan Mihnah.
-------------------------------------------------------------------------------------------
5
Mu‟tazilah adalah aliran yang mendasarkan faham keagamaan mereka
pada lima ajaran ini. Lima ajaran ini adalah : 1) “at-tauhid” keesaan Tuhan, 2)
“al-adl” keadilan Tuhan, 3) “al-wa‟du wal wa‟id” janji dan ancaman 4) “al-
manzilah bainal manzilatain” posisi antara dua posisi dan 5) “amar makruf nahi
mungkar” (menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran).
Dimana seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu‟tazilah kecuali jika
sudah mengakui dan menerima lima dasar ajaran Mu‟tazilah (al-ushul al-
khamsah).
PEMBAHASAN
PENAMAAN MUKTAZILAH
Tidak ada kesepakatan di antara para ahli tentang asal nama Muktazilah.
Tetapi nama itu sering dinisbahkan kepada sekelompok orang yang menganut
paham teologi rasional yang muncul setelah peristiwa perdebatan antara Hasan
Al-Bashri dan Washil bin Atha‟. Di sisi lain, masih diperdebatkan tentang siapa
yang memberikan nama Muktazilah kepada Washil dan pengikutnya, dari orang
yang menentang mereka, atau mereka sendiri yang mengambil nama itu.
Muktazilah Secara Bahasa dan Istilah
Muktazilah secara bahasa diambil dari kata  yang
bermakna  yang berarti memisahkan diri. Dalam Al-Quran disebutkan

 yang artinya jika kalian tidak beriman kepadaku maka
jangan bersamaku.
1
Maka Muktazilah secara bahasa berarti memisahkan diri (al-
infishaal wat tanahhii)
2
Dan secara istilah, Muktazilah berarti nama sebuah
kelompok yang muncul pada awal abad kedua hijriyah, yang menggunakan akal
1
QS. Ad-Dhukhan ayat 21
2
Qamus Al-Muhiith, Juz 4 Hal. 15
-------------------------------------------------------------------------------------------
6
dalam membahas teologi Islam. Pengikut Washil bin Atha
3
yang keluar dari
Majlis Hasan Al-Bashri
4
.
5
Ada anggapan lain bahwa kata Mu'tazilah mengandung arti tergelincir,
dan karena tergelincirnya aliran Mu'tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi
nama Mu'tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Kata I’tazala berasal dari kata
akar a’zala yang berarti”memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir.
Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang dekat bunyinya
dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Mu'tazilah tidak bisa
berasal dari kata zalla.
Mu‟tazilah memiliki banyak nama, berikut ini penjelasan ringkas yang
menunjukkan dua pendapat tentang penamaan Mu‟tazilah. Satu pendapat berasal
dari pihak luar, dan satu pendapat lagi dari kaum Mu‟tazilah sendiri.
Nama yang diberikan pihak luar
Pihak luar, selain memberi nama Mu‟tazilah, juga memberikan nama-
nama lain. Kaum Ahlussunnah Waljamaah menamakan mereka dengan kaum
Mu’attilah yakni golongan yang menafikan sifat Tuhan. Mereka berpendapat
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri pada zat. Ada yang
menjuluki dengan istilah kaum al-Qadariyah, karena mereka menganut paham
manusia memiliki kebebasan berkehendak dan kemampuan berbuat. Ada yang
menamakan dengan al-Wa’idiyah, karena mereka mengajarkan paham ancaman
Tuhan terhadap orang-orang yang tidak taat pasti berlaku.
Dan ada yang menjuluki Mu‟tazilah dengan Jahmiyah karena kedua
kelompok ini banyak memiliki persamaan dalam hal meniadakan ru‟yah dan
shifat, Al-Quran adalah makhluk dan dalam masalah keyakinan lainnya, bahkan
3
Washil bin Atha lahir tahun 80 H, murid dari Hasan Al-Bashri, tidak keluar
dari majlisnya sampai terjadi kasus al-manzilah bainal manzilatain. Pendiri kelompok
Muktazilah. Menulis beberapa kitab seperti Ashnaf Al-Murjiah, Ma’ani Al-Quran. Wafat
pada tahun 131 H.
4
Abu Said Al-Hasan bin Abi Hasan bin Yasar Al-Bashri, termasuk pembesar
pada masa Tabi‟in. Ayahnya adalah maula Zaid bin Tsabit ra dan ibnunya maula Ummu
Salamah ra. Wafat 110 di Bashrah.
5
Al-Jurjaani, At-Ta’riifaat, hal. 238
-------------------------------------------------------------------------------------------
7
Bukhari dan Imam Ahmad menyamakan Mu‟tazilah dengan Jahmiyah dalam
bukunya Ar-Radd alal Jahmiyah dimana yang dimaksud Jahmiyah adalah
kelompok Mu‟tazilah.
6
Nama yang diberikan pihak Mu’tazilah
Mu‟tazilah menyebut dirinya sebagai Ahl al-‘adl wa al-tauhid
sebagaimana disebutkan oleh As-Sahrastani, namun menurut Harun Nasution,
walaupun lebih senang disebut Ahl al-‘adl wa al-tauhid, mereka tidak menolak
disebut Mu‟tazilah. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu‟tazilah dapat
disimpulkan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Al-Qadhi
Abd al-Jabbar misalnya mengatakan bahwa dalam al-Quran terdapat kata I’tazala
yang mengandung arti menjauhi yang salah atau tidak benar, dengan demikian
Mu‟tazilah mengandung arti pujian. Ia juga menambahkan adanya hadits nabi
yang menerangkan bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang
paling patuh dan terbaik di antaranya adalah golongan Mu‟tazilah.
7
Mereka juga menyebut dirinya sebagai Ahlul Haq, Al-Firqatun Najiyah
dan Al-Munazzihuun Allah ‘Anin Naqshi. Mereka menyebutkan demikian karena
menganggap berada dalam kebenaran dan selainnya dalam kebatilan.
8
SEJARAH LAHIRNYA MUTAZILAH
Asal Nama Muktazilah
Setelah mengetahui arti kata Mu‟tazilah secara bahasa dan istilah dan
nama lain Mu‟tazilah, kita mempelajari asal penamaan Mu‟tazilah itu sendiri.
Ketika membahas asal Muktazilah, ahli sejarah terbagi menjadi dua kaca mata
yaitu kaca mata politik dan kaca mata agama.
6
Awad bin Abdullah Al-Mu‟tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa
Mauqifu Ahlus Sunnah Minha, hal. 21-24
7
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 90
8
Awad bin Abdullah Al-Mu‟tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa
Mauqifu Ahlus Sunnah Minha, hal.26
-------------------------------------------------------------------------------------------
8
Pendapat Pertama dari kaca mata Agama
Pendapat yang mengatakan bahwa nama Mu‟tazilah mulai muncul sejak
peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan al-Bashri, di mana dari Hasan
Bashri muncul ucapan I’tazala ‘Anna”. Dari kata-kata tersebut muncullah
kemudian sebutan Mu‟tazilah bagi Washil dan para pengikutnya.
Pendapat mayoritas ini dipegang oleh penulis buku buku firaq seperti
Al-Baghdadi dan As-Sahrastani. Mereka meriwayatkan bahwa Wasil bin Atha‟
telah berbeda dengan gurunya Hasan Bashri
9
. Washil bin Atha‟ ber-pendapat
bahwa bagi orang yang melakukan dosa besar sedang ia tidak bertaubat, maka
pada hari akhirat kelak ia berada di antara dua tempat (antara surga dan neraka)
yang diistilahkan dengan Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain. Washil bin Atha‟
kemudian memisahkan diri dari gurunya dan diikuti oleh beberapa murid Hasan
Bashri, seperti „Amr ibn „Ubayd. Atas peristiwa ini Hasan al-Bashri mengatakan:
“Washil menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘anna)”. Kemudian mereka digelari
kaum Mu‟tazilah.
10
Ada riwayat lain tentang penyebutan nama Mu‟tazilah sebagaimana
disebutkan Ibnu Khalkan, Qatadah ibn Da‟amah pada suatu hari masuk ke Mesjid
Bashrah dan menuju ke majelis „Amr ibn „Ubaid yang disangkanya adalah Hasan
al-Bashri. Setelah ternyata yang didapatinya bukan majelis Hasan al-Bashri, ia
berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu‟tazilah”.
Semenjak itu mereka disebut kaum Mu‟tazilah.
11
Mu‟tazilah ini muncul disebabkan karena persoalan agama.
12
Mu‟tazilah
inilah yang kemudian melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan
9
Namanya adalah Abu Said Al-Hasan bin Abil Hasan bin Yasar Al-Bashri.
Sangat dihormati dan ulama besar dari kalangan Tabi‟in. Ayahnya maula Zaid bin Tsabit
dan ibunya maula dari Ummu Salamah. Wafat tahun 110 H.
10
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan
Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 93. Peristiwa tersebut
menurut Ahmad Amin semata- mata bertema agama, bukan bertema politik. Lihat
Ahmad Amin, Fajrul Islam, h. 288-289.
11
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta: UI Press, 1972), hal. 38-39. Lihat juga Wafayatul A’yan: 4 hal.85
12
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 89
-------------------------------------------------------------------------------------------
9
Mu'tazilah, yaitu “Ilmu Kalam” yang berisi perpaduan antara Filsafat dan Logika
dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan baru,
konsepsi-konsepsi filsafat mengenai teologi Islam .
Dari kaca mata Politik
Nama Muktazilah pernah muncul satu abad sebelum munculnya
Muktazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha‟. Sebutan Mu‟tazilah ketika itu
merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan urusan politik,
dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.
Secara khusus sebutan Mu‟tazilah itu ditujukan kepada mereka yang
tidak mau ikut peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi
Thalib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Saidina
Ali ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu‟awiyah. Kedua peperangan ini terjadi
karena persoalan politik.
13
Akibat perang ini umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok
mengenai pelaku dosa besar yang dipelopori oleh Khawarij yang menganggap
bahwa Ali dan pendukung arbitase adalah pelaku dosa besar karena mereka
mengambil hukum tidak berdasarkan hukum Allah SWT sehingga mereka dicap
kafir. Pernyataan ini dibantah oleh kelompok Murjiah, menurut mereka pelaku
dosa besar tetap mukmin dan persoalan dosanya dikembalikan kepada Allah
SWT. Reaksi dari dua kelompok tersebut, memicu timbulnya kelompok baru
yaitu Muktazilah, menurut mereka pelaku dosa besar tempatnya antara mukmin
dan kafir (al-manzilah bainal manzilatain).
14
Mutazilah sempat eksis pada masa dinasti Umayyah dan mengalami
puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah. Berikut penjelasan singkat
perkembangan Mutazilah pada masa Umayyah dan Abbasiyah.
13
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 89
14
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal
TAPIs Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011 hal.95
-------------------------------------------------------------------------------------------
10
Mu’tazilah pada masa Dinasti Umayyah
Muktazilah muncul di masa Umayyah dengan pendirinya Washil bin
Atha‟. Mu‟tazilah pada fase pertama ini masih bersifat sederhana yaikni berkisar
tentang pelaku dosa besar, akan tetapi pada masa ini muncul lima ajaran pokok
Mu‟tazilah yang harus dipegang oleh penganutnya. Pada masa ini Mu‟tazilah
tidak menunjukkan sikap anti pemerintahan, sehingga bisa tumbuh secara damai.
“Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, kaum Mu‟tazilah dapat hidup tenteram
karena tidak menunjukkan sikap ekstrim terhadap pemerintahan yang berkuasa
sehingga aliran ini tetap eksis dan berkembang”.
15
Pada masa Umayyah, Filsafat mulai muncul dan semakin menampakkan
diri ketika khalifah Abdul Malik Ibn Marwan menjadikan Alexandria, Antioch
dan Bactra menjadi kota-kota pusat ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian
memberi kan pengaruh yang cukup besar bagi pemikiran umat Islam pada masa
itu. Banyak dari pemuka agama dan para intelektual Islam yang mulai
terpengaruh dengan filsafat yang lebih banyak menggunakan rasio dan akal ini,
sehingga mereka mulai membaurkan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani
tersebut, begitu pula dengan aliran Mu‟tazilah yang memang tumbuh pada masa
itu pula.
16
Pada masa Umayyah, Mu'tazilah tidak mendapat dukungan dari
pemerintah yang berkuasa; karena pemerintahan pada saat itu masih sibuk
mengurusi persoalan politik pemerintahan yang terjadi dan sibuk dengan
perluasan wilayah, sehingga mereka hanya bersifat satu aliran teologi saja. Masa
pemerintahan bani Umayyah terkenal dengan suatu era agresif, dimana perhatian
tertumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Badri Yatim
menyebutkan bahwa “teologi rasional Mu‟tazilah muncul diujung pemerintahan
bani Umayyah, namun pemikiran-pemikirannya yang komplek dan sempurna
baru dirumuskan pada masa pemerintahan bani Abbasyiah priode pertama,setelah
15
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta,
1996, hal. 40
16
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1973, hal.11
-------------------------------------------------------------------------------------------
11
kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam
Islam”.
17
Mu’tazilah pada masa Dinasti Abbasiyah
Pada periode Abbasiyah, Mu‟tazilah lebih berkembang dan menonjolkan
diri, karena Mu‟tazilah ini menjadi garda depan pemerintah ketika mulai terjadi
penyerangan-penyerangan oleh orang-orang non Islam terhadap Islam, sehingga
aliran ini menjadi terkemuka dan banyak tokoh Mu‟tazilah yang terkenal.
Meskipun filsafat tidak menjadi tujuan utama dari Mu‟tazilah, melainkan
sebagai alat untuk menolak serangan-serangan lawannya. Namun dengan adanya
filsafat itu mereka serta merta memasuki fase baru dalam sejarah mereka. Karena
filsafat telah menimbulkan revolusi pikiran yang penting bagi kehidupan mereka.
Setelah mereka mengenal persoalan-persoalannya dan memperdalamnya, maka
mereka mencintai filsafat karena filsafat itu sendiri.
18
Pada periode khalifah Abu Ja‟far al Mansur, Mu‟tazilah mulai lebih
menonjolkan diri; hal ini dikarenakan Al Mansur sendiri adalah seorang yang
cinta ilmu pengetahuan dan suka menggunakan akal pikirannya. Selain itu salah
seorang pemuka Mu‟tazilah yaitu Amr Ibnu Ubaid adalah seorang teman dekat
Abu Ja‟far Al Mansur sebelum beliau menjadi khalifah, sehingga Mu‟tazilah
dapat memiliki kebebasan dan leluasa dalam mengembangkan ajaran-ajarannya.
Pada masa Harun al Rasyid, khalifah kelima dari bani Abbasyiah,
Mu‟tazilah mulai terangkat karena banyak diantara mereka yang menjadi
penasihat dan pendidik putra-putri khalifah dan Mu‟tazilah mulai mengadakan
pendekatan-pendekatan kepada penguasa saat itu.
Mu‟tazilah berkembang pesat pada masa Al Ma‟mun. Beliau adalah
seorang intelektual yang cerdas, pintar dan cinta kepada ilmu pengetahuan.
Beliau memilih Mu‟tazilah yang rasional dan liberal. Mu‟tazilah pada priode ini
disebut aliran Baghdad; hal ini dikarenakan washil bin Atha‟ pernah mengutus
17
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo
Persada Jakarta, 2000, hal. 57
18
A Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001, hal. 74
-------------------------------------------------------------------------------------------
12
muridnya yang bernama Bisyir al Mu‟tamar untuk menjadi pemimpin Mu‟tazilah
di Bashrah. Selain hal tersebut, Al Ma‟mun memindahkan ibu kota dari Al
Hasyimiah yang didirikan di dekat kota Kuffah ke Baghdad, sehingga dengan
demikian secara otomatis kota Baghdad menjadi jantung kota dan pusat segala
kegiatan masyarakatnya. Terutama sebagai pusat peradaban baik dalam bidang
seni, politik, agama dan ilmu pengetahuan.
19
Menjadinya al Ma‟mun sebagai penganut Mu‟tazilah, maka kedudukan
Mu‟tazilah berubah menjadi mazhab resmi negara. Kemudian al Ma‟mun mulai
mengadakan majlis-majlis besar untuk membahas ilmu-ilmu pengetahuan dari
aliran Mu‟tazilah. Beliau menjadikan istana negaranya untuk menjadi tempat-
tempat pertemuan ahli pikir dari semua aliran yang ada. Bahkan dalam
mengekspresikan kefanatikannya terhadap Mu‟tazilah, beliau menggunakan
kekuasaannya memaksa rakyat untuk mengikuti aliran kepercayaan yang
dianutnya tersebut dengan melakukan Mihnah
20
.
Peristiwa Mihnah ini mengalami puncaknya pada tahun 218 Hijriyah
ketika Al-Makmun menginstruksikan kepada Ishaq bin Ibrahim Al-Khuza‟i
untuk mengumpulkan para ulama guna melakukan pengujian (fit and proper test)
bagaimana sikap mereka terhadap pernyataan Khalqul Quran. Al-Makmun juga
menulis kepadanya untuk memeriksa tujuh orang yaitu; Muhammad bin Sa‟ad,
Abu Muslim Al-Mustamli, Yazid bin Harun, Yahya bin Ma‟in, Abu Khaitsamah
Zuhari bin Harb, Ismail bin Abu Mas‟ud, Ismail bin Daud dan Ahmad bin
Ibrahim Al-Daruqi. Awalnya mereka tidak berkomentar tentang kemakhlukan
Al-Quran, namun belakangan di bawah ancaman pedang mereka bertaqiyyah
dengan mengatakan sebagaimana yang dikatakan Al-Makmun, contohnya Yahya
bin Ma‟in yang mengatakan: “kami memberi komentar karena takut terhadap
ancaman pedang”. Dan parahnya, sikap ulama tersebut dijadikan sebagai bentuk
19
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta,
1996, hal. 64
20
Kata Mihnah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya mencobai, menguji.
Sedangkan Mihnah dalam konteks aliran Mu‟tazilah adalah pengujian keyakinan
terhadap para ahli fiqh dan ahli Hadits tentang kemakhlukan Al Qur‟an, serta sangsi
hukum yang harus mereka terima sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut.Lihat:
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, hal.77
-------------------------------------------------------------------------------------------
13
rekomendasi dan dukungan tentang pernyataannya, karena para pengusung ajaran
Jahmiyah itu selanjutnya menyeru kepada masyarakat untuk menerima doktrin
tersebut dengan menyertakan jawaban para ulama di atas, akibatnya banyak dari
mereka yang terpengaruh dengan seruan bid‟ah ini sehingga terjadilah fitnah
yang amat besar.
Kemudian Al-Makmun memerintahkan kepada Ishaq bin Ibrahim untuk
memanggil ulama periode kedua, di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal,
Qutaibah bin Sa‟id, Bisyr bin Al-Walid, Abu Hasan Al-Ziyadi, Ali bin Abu
Muqatil, Sa‟dawaih Al-Washiti, Ali bin Ja‟di, Ishaq bin Abu Israil, Ibnu Al-Hars,
Ibnu Aliyah Al-Akbar, Yahya bin Abdul Hamid Al-Umari, Abu Nashr Al-Tamr,
Abu Ma‟mar Al-Qathi‟i, Muhammad bin Hatim bin Maimun, Muhammad bin
Nuh, Al-Fadhl bin Ghanim, Ubaidillah bin Umar Al-Qawariri, Al-Hasan bin
Hammad Sajadah dan lainnya. Setelah mereka terkumpul Ishaq bin Ibrahim
membacakan surat dari khalifah Al-Makmun kepada mereka.
Empat orang saja yang tetap tegar tidak mengakui pernyataan tesebut,
keempatnya adalah Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh, Al-Hasan bin
Hammad Sajadah dan Ubaidillah bin Amr Al-Qawariri, dan akhirnya mereka
dibelenggu dengan rantai besi. Keesokan harinya mereka diinterogasi kembali,
Sajadah mengakui kemakhlukan Al-Quran, lalu ia dilepaskan dari belenggunya
dan dibiarkan pergi, hari berikutnya giliran Al-Qawariri yang mengakui bahwa
Al-Quran itu makhluk sehingga ia dilepaskan menyusul rekannya Sajadah,
hingaa yang tetap ditahan adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh.
Sebelum meninggal dunia al Ma‟mun menulis surat wasiat kepada
penggantinya yaitu Abu Ishak Muhammad al Mu‟tashim, agar tetap terus
melaksanakan mihnah. Al Mu‟tashim sendiri dibesarkan dalam suasana
ketentaraan, sehingga beliau lebih menyenangi kemiliteran dari pada ilmu
pengetahuan, sehingga Mu‟tazilah tidak lagi mendapat prioritas yang utama.
Mihnah sendiri tetap dilaksakan, hanya saja sebatas pemenuhan surat wasiat.
Akan tetapi bagi yang membangkang ia akan diberi hukuman tegas. Dalam
pelaksanaan wasiat ini al Mu‟tashim melakukan mihnah dengan lebih kejam
kepada para ulama. Bahkan sebagian ada yang dibunuh. Ahmad Ibnu Hambal
-------------------------------------------------------------------------------------------
14
dicambuk dan dipenjarakan karena faham khalq Al Qur‟an dan ia menerimanya
dengan tabah.
21
Setelah al Mu‟tashim meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Ja‟far
Harun al Watsiq. Pada periode ini mihnah tetap dilaksanakan, bahkan ia sendiri
yang membunuh pembangkang yang menolak mihnah. Kemudian ia meninggal
dunia. Khaliafah selanjutnya adalah Abu Ja‟far Al Mutawakkil. Al Mutawakkil
bukan penganut Mu‟tazilah, sehingga pada masanya, mihnah hanya berlangsung
2 tahun saja. Kemudian ia menurunkan aliran ini dari mazhab resmi negara dan
membebaskan Ahmad Ibnu Hambal.
Tokoh Muktazilah
Dalam perkembangannya, Muktazilah tidak hanya berpusat di kota
Basrah sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang
merupakan ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh
pendukungnya maka kita harus melihatnya dari kedua kota tersebut.
Menurut analisa Yoesoef Sou‟yb, antara kedua daerah tersebut terdapat
beberapa perbedaan karakteristik, yaitu : Pertama, Pemuka Mu‟tazilah di Basrah
cenderung menghindari jabatan birokrasi di pemerintahan maupun di pengadilan.
Dengan demikian mereka dapat lebih fokus pada bidang agama dan keilmuan
dan dapat mengemukakan pemikiran secara leluasa tanpa terikat dengan
kepentingan pemerintah atau pihak lainnya. Sedangkan di Bagdad, mereka
menggunakan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan dengan tujuan untuk
mendapat dukungan sekaligus perlindungan. Kedua, Pemuka di Basrah
menyebarkan paham tanpa pemaksaan dan kekerasan, melainkan lebih banyak
menanti kesadaran umat untuk mengikutinya. Sedangkan di Bagdad, terkadang
berusaha secara sungguh-sungguh dan melakukan kekerasan agar masyarakat
mengikuti aliran Mu‟tazilah.
22
21
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta,
1996, hal. 82
22
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam,
(Jakarta: PustakaAl-Husna, 1982), cet.I, h.265.
-------------------------------------------------------------------------------------------
15
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Bashrah:
1. Washil ibn Atha (80-131 H). Ia dilahirkan di Madinah dan kemudian
menetap di Bashrah. Ia merupakan tokoh pertama yang melahirkan aliran
Mu‟tazilah. Karenanya, ia diberi gelar kehormatan dengan sebutan
Syaikh al-Mu‟tazilah wa Qadimuha, yang berarti pimpinan sekaligus
orang tertua dalam Muktazilah.
2. Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-
Allaf. Ia lahir di Bashrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia lebih
populer dengan panggilan al-Allaf karena rumahnya dekat dengan tempat
penjualan makanan ternak. Gurunya bernama Usman al-Tawil salah
seorang murid Washil ibn Atha.
3. Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham. Tahun kelahirannya tidak
diketahui, dan wafat tahun 231 H . Ia lebih populer dengan sebutan Al-
Nazhzham.
4. Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i. Dilahirkan di Jubba sebuah
kota kecil di propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H dan wafat tahun 267
H. Panggilan akrabnya ialah Al-Jubba‟i dinisbahkan kepada daerah
kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah tiri dan juga guru dari pemuka
Ahlussunnah Waljamaah Imam Abu Hasan al-Asy‟ari.
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Baghdad:
1. Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M). Ia merupakan pendiri
Mu‟tazilah di Bagdad.
2. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M). Ia pemuka yang
mengarang buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap serangan
ibn Al-Rawandy.
3. Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075-1144
M). Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di
Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah
menelorkan karya tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
-------------------------------------------------------------------------------------------
16
4. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani al-
Asadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray
Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Qadi Abdul Jabbar. Ia hidup
pada masa kemunduran Mu‟tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha
mengembangkan dan menghidupkan paham-paham Mu‟tazilah melalui
karya tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan
berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah dan Al-Mughni fi Ahwali
Wa al-Tauhid..
LIMA PRINSIP DASAR (AL-USHUL AL-KHAMSAH) MUKTAZILAH
Secara umum Muktazilah adalah kelompok yang menolak sifat azali bagi
Allah SWT yang bertujuan untuk mempertahankan konsep Tauhid mutlak bagi
Allah SWT. Mereka berpendapat seperti ini karena: Pertama, Mengcounter
golongan Al-Musyabbihah dan Al-Mujassimah yang meyerupakan Allah dengan
makhluk dan menyamakan Allah dengan makhluk. Kedua, Menolak pendapat
agama Thanawi yaitu agama yang menduakan Allah yang keduanya adalah azali
dan qadim. Muktazilah berpendapat bahwa menetapkan ma‟na (setiap yang ada
pada zat dan wajib baginya dari segi hukum) akan menisbahkan dua Tuhan.
Muktazilah menafikan semua sifat Allah SWT, tetapi yang dinafikan adalah
ma‟na yang terkandung di dalam nama-nama itu yang dianggap akan
membawakan penisbahan berbilangnya qadim. Ketiga, Menolak pendapat
Kristen yang menganggap bahwa Tuhan ada oknum oknum yaitu Bapak, Anak
dan Ruh Kudus. Keempat, Menolak pendapat Yahudi yang menggambarkan
Allah SWT seperti makhluk.
23
As-Sahrastani menjelaskan beberapa faktor terjadinya perbedaan
pandangan yang menyebabkan lahirnya sekte atau golongan dalam Islam:
Pertama, masalah sifat dan keesaan Allah SWT, termasuk sifat azali-Nya,
sebagian ada yang menerima atau mengakui sifat Allah dan sebagian ada yang
23
Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal
Islamiyyat, Vol.15 No.3-14, hal. 4
-------------------------------------------------------------------------------------------
17
menolaknya. Begitu juga tentang sifat yang wajib, mustahil dan jaiz. Masalah ini
menjadi ajang perdebatan di antara golongan Asyariyah, Karamiyah, Mujassimah
dan Muktazilah. Kedua, masalah qadha, qadar, keadilan Allah, jabar dan kasab,
keinginan berbuat baik dan jahat dan masalah yang berada di luar kemampuan
manusia. Masalah ini diperdebatkan oleh Qadariyah, Najariyah, Asyariyah dan
Karamiyah. Ketiga, masalah janji (wa’ad), wa’id (ancaman) dan asma Allah.
Masalah ini diperdebatkan oleh Murji‟ah, Wa‟diyah, Muktazilah, Asyariyah dan
Karamiah. Keempat, masalah wahyu, akal, kenabian dan imamah. Sebagian
golongan menyatakan imam sudah ditunjuk oleh Nabi dan sebagian yang lain
menyatakan imam harus dipilih, sementara mengenai cara penggantian imam,
ada yang mengatakan melalui penunjukan dan ada yang mengatakan melalui
pemilihan. Masalah ini diperdebatkan oleh Syiah, Khawarij, Muktazilah,
Karmiyah dan Asyariyah.
24
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu‟tazilah berpegang
pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat
dijangkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap
masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal,
mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal mereka tolak.
Muktazilah sering disebut filosof Islam karena banyak dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat Yunani dan logika dalam menemukan landasan-landasan
paham mereka. Penyebabnya adalah karena mereka menemukan dalam filsafat
Yunani, keserasian dengan kecenderungan pemikiran mereka, kemudian mereka
jadikan sebagai metode berpikir dan berargumentasi. Dan ketika pihak dari luar
Islam berusaha meruntuhkan dasar ajaran Islam dengan argumentasi logis,
Muktazilah dengan gigih menolak mereka dengan menggunakan metode diskusi
dan debat.
25
24
Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal LIA, No.2, Desember 2013, Th
XIV, hal. 128
25
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 94
-------------------------------------------------------------------------------------------
18
Menurut pemuka Mu‟tazilah, Abu al-Husain al-Khayyat, seseorang
belum bisa diakui sebagai anggota Mu‟tazilah kecuali jika sudah mengakui dan
menerima lima dasar ajaran Mu‟tazilah (al-ushul al-khamsah).
26
Sehingga
Mu‟tazilah adalah aliran yang mendasarkan faham keagamaan mereka pada lima
ajaran ini. Lima ajaran ini adalah : 1) at-tauhid keesaan Tuhan, 2) al-adl
keadilan Tuhan, 3) al-wa’du wal wa’id janji dan ancaman 4) al-manzilah
bainal manzilatainposisi antara dua posisi dan 5) amar makruf nahi mungkar
(menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran).
Keesaan Tuhan (At-Tauhid)
Al-Quran menurut Muktazilah kedudukannya sebagai pelengkap dari
kekuatan akal manusia, menurut mereka akal mempunyai kekuatan luar biasa
yang memungkinkan melakukan empat hal penting dalam kehidupan meskipun
tidak mendapatkan bimbingan wahyu, yaitu 1) akal manusia dapat mengetahui
Tuhan, 2) akal manusia bisa berterima kasih kepada Tuhan atas apa yang
diberikan Tuhan, 3) akal manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana
yang burukk, 4) dengan akal manusia bisa mengerjakan kebaikan dan menjauhi
keburukan.
27
Imam Al Asy‟ari dalam kitabnya: Maqolat al Islamiyyin, menyebutkan
pengertian Tauhid menurut Mu'tazilah sebagai berikut : Allah itu Esa, tidak ada
yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda) bukan pribadi (syahs), bukan jauhar
(substansi), bukan aradl (non essential property), tidak berlaku padanya masa.
Tiada tempat baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada
makhluk yang menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya, tiada
melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak
bisa digambarkan dengan akal pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan
26
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah,
1966), h.22.
27
Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal
An-Nur, Vol.4 No.2, 2015, hal. 241.
-------------------------------------------------------------------------------------------
19
Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain- Nya, tiada
pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.
28
Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa pikiran-pikiran Mu'tazilah
mengambil istilah-istilah filsafat seperti syahs, jauhar, aradl, teladan
(contah/idea) dan sebagainya. Prinsip Tauhid ini dipertahankan dan diberi
argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul betul murni.
Pemahaman Tauhid di atas juga berimplkasi pada pernyataan
kemakhlukan Al-Quran sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus shifat
karena dianggap mengotori keesaan Allah.
Beberapa contoh pendapat Mu‟tazilah terkait konsep Tauhid pendapat
Muktazilah tentang ayat yang menunjukkan Tuhan punya tangan, tangan di sini
diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat dalam
Arsy‟ diartikan bahwa Tuhan menguasai dan sebagainya. Alasan Mu'tazilah
menta‟wilkan ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan secara harfiah tidak
masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan mengurangi
kesucian Tuhan sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan Tuhan Yang Maha
Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti tidak berjisim,
tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang pada prinsipnya tidak
sama dengan sifat makhluk.
Contoh lainnya dalam masalah melihat Tuhan. dikatakan bahwa Tuhan
tidak berjisim, maka juga tidak berarah. Jika Tuhan tidak berarah, maka manusia
tidak dapat melihat-Nya karena setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada
pada suatu tempat atau arah, disamping dibutuhkan beberapa syarat seperti
adanya cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian itu mustahil bagi
Allah.
29
28
Imam Al-Asy‟ari, Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushalliin, (Dar
Faraznir, 1980, cet.3), hal.156
29
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan
Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 92
-------------------------------------------------------------------------------------------
20
Keadilan Tuhan (Al-Adl)
Keadilan Tuhan bagi Mu'tazilah erat hubungannya dengan keesaan
Tuhan (At-Tauhid). Kalau At-Tauhid adalah mensucikan Tuhan dari adanya
persamaan dengan makhluk, maka Al-Adl adalah mensucikan Tuhan dari
perbuatan dhalim. Keadilan Tuhan adalah salah satu sendi pokok setalah
keesaan Tuhan dalam pokok ajaran Muktazilah. Mereka bangga menamakan diri
sebagai ahlul ‘adl wat tauhid. Meskipun seluruh kaum muslimin mengakui
bahwa Allah adalah Maha Adil, namun Muktazilah memberi penekanan khusus
pada keadilan Tuhan.
Ada tiga hal pokok yang menjadi penekanan Muktazilah sehubungan
dengan prinsip keadilan yaitu: Pertama, Allah mengarahkan makhluknya kepada
suatu tujuan dan bahwa Allah menghendaki yang terbaik bagi hamba-Nya.
Kedua, Allah tidak menghendaki keburukan, maka dari itu tidak memerintahkan
yang buruk. Ketiga, Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-Nya yang baik
maupun yang buruk; manusia itu bebas dan ia menciptakan perbuatannya dan itu
menjadi dasar adanya pahala dan hukuman.
Menurut Muktazilah, Tuhan yang Maha Bijaksana tidak akan bertindak
secara semena-mena, akan tetapi dalam tindakan-Nya itu terkandung
kebijaksanaan dan tujuan. Orang bijak mungkin berbuat untuk kepentingan
dirinya atau untuk kepentingan orang lain, akan tetapi Tuhan mustahil berbuat
untuk kepentingan diri-Nya sendiri karena mengejar kepentingan diri sendiri
adalah pertanda kekurangan. Oleh karena itu pastilah Tuhan berbuat baik untuk
kepentingan orang lain dalam hal ini makhluk-Nya.
Maka kebaikan dan kemaslahatan makhluk adalah tujuan yang
terkandung dalam perbuatan Tuhan. Demi keadilan-Nya Allah tidak akan pernah
berbuat buruk atau dzalim terhadap makluk-Nya. Bahkan menurut suatu
pandangan Muktazilah, Tuhan wajib melakukan yang terbaik bagi hamba-Nya.
30
Konsekuensi lanjut dari keadilan menurut Muktazilah bahwa manusia
menciptakan perbuatannya. Penegasan ini untuk menjelaskan arti tanggung
30
Drs. H. Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta
Press, Ciputat, hal. 48
-------------------------------------------------------------------------------------------
21
jawab manusia. Menurut mereka, tidak adil jika manusia tidak menciptakan
perbuatannya sehingga Tuhan menghukumnya atas sesuatu yang ia tidak berdaya
apa apa terhadapnya. Konsekuensi selanjutnya Muktazilah memberikan
penghargaam yang tinggi kepada kemampuan manusia dan kompetensi akalnya
untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Menurut Muktazilah baik dan
buruk itu bersifat dzati (objektif), padanya terdapat suatu kualitas yang dapat
dipatoki untuk menentukan baik dan buruk.
31
Janji dan Ancaman (Al-Wa’du dan Al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan. Mereka
yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala berupa syurga dan ancaman
akan menjatuhkan siksa yaitu neraka sebagai yang disebutkan di dalam Al-
Qur‟an, pasti dilaksanakan karena Tuhan sendiri sudah menjanjikan hal yang
demikian itu.
Siapa yang berbuat baik akan dibalas kebaikan dan siapa yang akan
berbuat jahat akan dibalas pula dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari dunia
penuh dengan ketaatan dan taubat, ia berhak akan pahala dan mendapatkan
tempat di syurga..Sebaliknya siapa yang keluar dari dunia sebelum taubat dari
dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan diabadikan di dalam neraka.
Namun demikian menurut Mu'tazilah, siksa yang diterimanya akan lebih ringan
jika dibandingkan dengan yang kafir sama sekali.
Posisi antara dua posisi (Al-Manzilah bainal Manzilatain)
Al-Manzilah baina al-Manzilatain merupakan ajaran dasar pertama yang
lahir di kalangan Muktazilah. Ini adalah satu istilah khusus yang digunakan oleh
kaum Mu‟tazilah untuk merespon fenomena yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat pada masa pemerintahan Amirul Mukmini Ali bin Abi Thalib. Yakni
ketika terjadi selisih paham antara kaum khawarij dan Murjiah menyangkut
31
Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid
Edisi Pertama, September- Desember 1993, hal. 13
-------------------------------------------------------------------------------------------
22
perkara kafir dan mengkafirkan orang muslim yang kedapatan telah melakukan
dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa
digolongkan kedalam orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama saja
dengan orang kafir. Atau tegasnya, menurut kaum khawarij mereka itu adalah
kafir.
Sebaliknya, menurut kelompok murjiah, sepanjang imannya masih utuh
walaupun seseorang telah melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia
masih tetap dianggap orang muslim. Alasan kelompok ini sederhana, bahwa
urusan hati siapa yang tahu. Dan iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang hatinya
masih beriman maka dia adalah tetap orang muslim.
Kaum Mu‟tazilah tampil ditengah-tengah mereka dengan mengatakan
bahwa untuk perkara seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang
yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni
antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah
termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam
golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu‟tazilah yang digagas
oleh Washil ibn Atha. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
selain syirik, tidak mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah
suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di
bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. jalan tengah ini diambilnya dari:
1. Ayat-ayat Quran dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil
jalan tengah dalam segala sesuatu.
2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa ke-utamaan (fadilah)
ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.
-------------------------------------------------------------------------------------------
23
Amar Makruf Nahi Mungkar
Ajaran ini berhubungan dengan pembinaan moral, dimana dalam
membina moral umat, Muktazilah berpendapat bahwa amar ma‟ruf nahi mungkar
sebagai suatu bentuk dari kontrol sosial wajib dijalankan. Kalau dapat cukup
dengan seruan, tetapi kalau terpaksa dengan kekerasan.
32
Sejarah mencatat, Mu'tazilah pernah memakai kekerasan dalam
menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni Ahmad ibn
Hambal terpaksa masuk penjara karena berbeda pendapatnya mengenai status Al-
Qur‟an, dalam peristiwa Mihnah”, semacam ujian monoloyalitas bagi pejabat-
pejabat negara.
32
Drs. H. Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta
Press, Ciputat, hal. 49
-------------------------------------------------------------------------------------------
24
Bahan Rujukan
Buku
A Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001
Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta Press,
Ciputat, Cet. 1 tanpa tahun.
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs
Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan
Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo
Persada Jakarta, 2000
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonedia Abad XX, Serambi Ilmu Semesta, Cet. 1, 2004
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1973
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
Jakarta: UI Press, 1972
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982), cet.I.
Jurnal
Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal
An-Nur, Vol.4 No.2, 2015
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013
Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal
Islamiyyat, Vol.15 No.3-14
Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid
Edisi Pertama, September- Desember 1993
... Mutazilah mengambil jalan tengahnya, pendapat ini didasarkan pada ayat-ayat Alquran dan as-Sunnah (Hadis) yang menganjurkan jalan tengah (moderat) dalam menyikapi segala suatu hal, kemudian pemahaman Plato yang mengatakan jika ada suatu tempat di antara hal buruk dan hal yang baik, dan pikiran-pikiran Aristoteles ysng menjadi keutamaan, ialah mengambil jalan tengah di antara dua jalan yang begitu berlebihan (Ahmad, 2017). Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239 DOI: 10.15575/jpiu.11742 ...
... Mutazilah akan menempuh dan merealisasikan ajaran-ajarannya walaupun dengan cara kekerasan, sejarah juga mencatat bahwa Mutazilah pernah membuat kegaduhan yang menyebabkan kekerasan terjadi dalam rangka untuk mewujudkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Mutazilah agar dapat diterima (Ahmad, 2017). ...
Article
Full-text available
This study aims to examine Ushul al-Khamsah Mutazilah (at-Tauhid, al-'Adl, al-Wad wa al-waid, al-Manzilah Baina al-Manzilatain, Amr Maruf Nahy Munkar) in the view of the Tebuireng ulama who is from the Ashariyah. The research method used qualitative with the type of field research to obtain data and kalam science as an umbrella for theory and analysis. The results and discussion of this research include the Mutazilah theology, the concept of Ushul al-Khamsah Mutazilah and the views of the Tebuireng ulama, while the ulama of Terbuireng believes that the concept of Ushul al-Khamsah in Mutazilah theology is more applicable in life and looks more at the anthropocentric side. This research concludes that the Tebuireng ulama are more personally adapted to using theology in their social and religious life in the community, judging from which it brings benefits to themselves and society.
... Prinsip tersebut ialah "At-Tauhid" iaitu keesaan Tuhan, "Al-Adl" iaitu keadilan Tuhan, "Al-Wa'du wal Wa'id" iaitu janji dan ancaman, "Al-Manzilah bainal Manzilatain" iaitu posisi antara dua posisi dan terakhir ialah "Amar Makruf Nahi Mungkar" yang bererti menyuruh untuk berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran. Prinsip-prinsip ini adalah dasar asas dalam ajaran Muktazilah dan seseorang tidak dikatakan sebagai ahli Muktazilah sehingga kelima-lima prinsip ini diakui dan diterima (Ahmad, 2017). ...
Thesis
Full-text available
Objektif kajian ini adalah untuk mengkaji secara kuantitatif tahap pengetahuan mahasiswa FPPI terhadap konsep qada dan qadar, tahap kefahaman mahasiswa FPPI terhadap perbuatan manusia dalam konsep qada dan qadar dan tahap kefahaman mahasiswa FPPI terhadap ketentuan Allah dalam konsep qada dan qadar. Kajian ini diukur menggunakan kaca mata aliran Muktazilah dan Asyairah. Pengkaji menggunakan kaedah kajian deskriptif yang melibatkan frekuensi, peratusan dan min. Selain itu, pengkaji juga menggunakan kaedah tinjauan dengan menggunakan soalan terbuka dalam soal selidik untuk mengetahui lebih mendalam mengenai kefahaman responden terhadap elemen-elemen yang dikaji. Hasil dapatan kajian ini didapati nilai min keseluruhan yang tinggi dan sederhana tinggi yang terdapat pada elemen-elemen memberi indikasi bahawa majoriti responden yang terdiri daripada mahasiswa FPPI cenderung kepada aliran Asya’irah.
Article
One school of Kalam/Islamic theology that once flourished in antiquity was Mu'tazila flow. Flow pattern known as rational and liberal thought that was growing and evolving so rapidly and peaked in the Abbasid era in particular Khalifah Al- Ma'mun because of the support and protection of the khalifah. But then, the glory and the gold period did not last long, it eventually flew into decline. It was caused by a variety of factors, most importantly; they had done violence coercion and even torture of a number of scholars in the event of al - mihnah when imposing the concept of "Al-Quran beings". The violence was bad for the flow Mu'tazila antagonizing people. They were followed also by the beginning of a new stream of traditional and more moderate, Ash'arite. This stream got a lot of sympathy among the people. The Mu'tazila flow was progressively weaker and eventually disappear from the Islamic world.
  • Ahmad Zaeny
  • Idiologi Dan Politik Kekuasaan Kaum
  • Muktazilah
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011
Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan Muktazilah
  • Analiansyah
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013
Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo Persada Jakarta
  • Badri Yatim
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo Persada Jakarta, 2000
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta
  • Harun Nasution
  • Teologi Islam
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 1972
yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam
  • Joesoef Sou
Joesoef Sou"yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982), cet.I.
Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran
  • Jamal Jurnal Khaitunnas
Jurnal Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal An-Nur, Vol.4 No.2, 2015
Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah
  • Rosder Mudasir Bin
Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal Islamiyyat, Vol.15 No.3-14
  • Pengantar Hanafi
  • Islam
Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001