Content uploaded by Dermawan Waruwu
Author content
All content in this area was uploaded by Dermawan Waruwu on Jul 26, 2018
Content may be subject to copyright.
15
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
KAWASAN PUJA MANDALA WUJUD KEARIFAN LOKAL DAN
DESTINASI WISATA SPIRITUAL DALAM PENGEMBANGAN MODEL
TOLERANSI DI INDONESIA
Oleh :
Dermawan Waruwu
Universitas Dhyana Pura Bali
E-mail: waruwu28@ymail.com
ABSTRACT
Indonesia region is famous for the diversity of ethnicity, religions, races, and
groups.SARAnuancedconicteverhitIndonesia,andcommunitieslostproperties,casualities
and it impact their psychological health. Law seemed powerless to stem the anarchy of a
few. The prohibition and destruction of places of worship injure the values of Pancasila, the
1945 Constitution, national unity, and the Homeland. It is worth giving appreciation to the
people who are predominantly Hindu Bali is precisely respect for diversity over the years. Puja
Mandala region is a local wisdom and the manifestation of tolerance in Bali because it has
veplacesof worship sidebyside, which is:theGreatMosqueofAgung Ibnu Batutah, the
Catholic Church of Maria Bunda Segala Bangsa, the Church of GerejaKristenProtestandi
Bali jemaat Bukit Doa, Vihara BuddhaGuna,and Jagatnatha Temple. Puja Mandala Region
become spiritual travel during this time. Therefore, the model can be replicated by regional
other areas, so that people can appreciate individual differences and future generations to live
in peace.
Keywords: Puja Mandala, Tolerance, Local Wisdom, and Spiritual Tourism.
ABSTRAK
Wilayah Indonesia terkenal dengan keberagaman suku, agama, ras, dan antar golongan.
Konik bernuansa SARA pernah melanda Indonesia, sehingga masyarakatnya kehilangan
harta benda dan korban jiwa serta mengalami trauma psikologis. Hukum seakan tak berdaya
membendung tindakan anarkis segelintir orang. Pelarangan dan pengrusakan tempat ibadah
mencederai nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Patut memberi
apresiasi kepada masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu justru menghargai
keberagaman selama ini. Kawasan Puja Mandala merupakan kearifan lokal dan wujud
toleransi di Bali karena memiliki 5 tempat ibadah saling berdampingan, yaitu: Masjid Agung
Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Gereja Kristen Protestan di Bali
jemaat Bukit Doa, Vihara Buddha Guna, dan Pura Jagatnatha. Kawasan Puja Mandala menjadi
wisata spiritual selama ini. Oleh sebab itu, model kawasan ini dapat ditiru oleh daerah lain,
sehingga masyarakat dapat menghargai setiap perbedaan dan generasi mendatang hidup dalam
kedamaian.
Kata kunci: Puja Mandala, Toleransi, Kearifan Lokal, dan Wisata Spiritual.
16
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
masyarakat mudah sekali menjadi sumber
konik selama ini. Pemahaman tentang
mayoritas kadangkala dijadikan dasar untuk
menghegemoni yang minoritas. Toleransi
antar umat beragama pun sering terabaikan
karena prinsip mayoritas dan minoritas
tersebut. Oleh sebab itu, kita sebagai warga
negara yang masih menjunjung tinggi nilai-
nilai Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal
Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) memiliki keyakinan bahwa konik
bernuansa keberagaman (agama) pasti ada
solusinya.
Masyarakat Bali yang mayoritas
penduduknya beragama Hindu justru belajar
memahami betapa pentingnya toleransi dalam
kebaragaman tersebut. Semua agama yang
telah diakui oleh pemerintah, yaitu: Hindu,
Kristen, Katolik, Islam, Budha, dan Kong Hu
Chu hidup rukun di Pulau Seribu Pura ini. Salah
satu bentuk kerukunan dan keharmonisan ini
diwujudkan melalui keberadaan kawasan
Puja Mandala yang terdapat 5 (lima) tempat
ibadah saling berdampingan. Dengan
demikian, miniatur keberagaman yang
berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika, dan NKRI terdapat di Pulau Bali
dengan pariwisatanya yang terkenal dengan
bernafaskan kebudayaan Hindu.
Konsep, Teori, dan Metode
Konsep yang digunakan dalam artikel ini
adalah: Puja Mandala, Toleransi di Bali, Wisata
Spiritual, dan Bhineka Tunggal Ika. Teori
yang digunakan antara lain: Teori Hegemoni,
Teori Mediasi, dan Teori Negosiasi. Teori ini
digunakan untuk membedah permasalahan
yang terjadi pada konik bernuansa agama
atau keberagaman lainnya, sehingga toleransi
di Bali pada khususnya dan Indonesia
pada umumnya dapat terwujud melalui
pengenalan model kawasan Puja Mandala
di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Artikel
Pendahuluan
Wilayah Indonesia terkenal dengan
keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan
seni. Keberagaman ini menjadi kearifan lokal
masyarakat Indonesia yang tidak dimiliki
oleh bangsa lain. Namun wilayah Indonesia
pernah dilanda oleh konik yang bernuansa
keberagaman tersebut. Pelarangan maupun
pengrusakan tempat ibadah menjadi senjata
ampuh untuk membinasakan sesamanya.
Anggota masyarakat kehilangan harta benda
dan bahkan korban jiwa. Sebagian anggota
masyarakat mengalami trauma psikologis
sampai saat ini akibat dari konik tersebut.
Keberagaman yang menjadi keunikan dan
kearifan lokal bangsa Indonesia telah dijadikan
oleh individu atau kelompok tertenntu sebagai
sumber konik selama ini. Makna toleransi
yang terdapat dalam semboyan Bhineka
Tunggal Ika seakan-akan tinggal kenangan.
Pada dasarnya, semboyan Bhineka
Tunggal Ika telah memberikan tempat yang
strategis dalam bertoleransi di negeri ini.
Akan tetapi, semangat toleransi ternyata
terkoyak oleh kebengisan moral seseorang
yang ingin menggantikan Pancasila sebagai
dasar negara. Dangkalnya pemahaman agama
dan berkembangnya paham radikalis yang
sedang mengglobal saat ini semakin sulit
untuk mewujudkan toleransi di negeri tercinta
ini. Hukum seolah tak berdaya membendung
tindakan anarkis segelintir orang yang tidak
menghargai kebhinekaan bangsa Indonesia.
Intimidasi terhadap kelompok minoritas
seakan-akan dilegalkan di tengah masyarakat
plural. Aspek agama sebagai lumbung-
lumbung nilai spiritual digunakan oleh
segelintir elit politik untuk membinasakan
sesamanya demi meraih kekuasaan yang tidak
bermoral. Hampir seluruh lini kehidupan
masyarakat sedang terinfeksi virus intoleransi
yang seakan tiada hentinya sampai hari
ini. Setiap perbedaan yang ada di tengah
17
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
ini ditulis dengan menggunakkan sumber-
sumber yang berdasarkan pada wawancara,
studi dokumentasi, dan observasi langsung
di kawasan Puja Mandala. Teknik analisis
data menggunakan analisis data kualitatif
yang didukung dengan data kuantitatif. Unit
pengamatan berupa orang, benda, dokumen,
proses kegiatan peribadatan dan reaksi
masyarakat di kawasan Puja Mandala tersebut.
Penentuan informan dilakukan dengan teknik
purposive sampling, yaitu teknik penentuan
informan berdasarkan ketokohan seseorang
dan umat yang beribadah serta wisatawan yang
berdoa maupun berwisata di kawasan ini. Data
kualitatif dan kuantitatif selanjutnya dianalisis
dan dideskripsikan sehingga menghasilkan
artikel yang berkualitas. Artikel ini diharapkan
dapat dipakai sebagai model atau rujukan bagi
masyarakat demi terciptanya toleransi dan
kerukunan umat beragama di seluruh wilayah
Indonesia.
Pembahasan
Segala konik yang terjadi di wilayah
Indonesia selama ini tidak sesuai dengan spirit
nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika, dan NKRI. Bangsa Indonesia
merdeka dari penjajah serta mengalami
kemajuan sampai saat ini merupakan hasil
jerih lelah semua elemen bangsa. Kunci
kesuksesan bangsa Indonesia pada masa lalu
menuju ke masa depan dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai toleransi pada setiap lini
kehidupan sosial masyarakatnya. Keberadaan
kawasan Puja Mandala menjadi bukti bahwa
masyarakat Bali yang mayoritas beragama
Hindu telah menghargai keberagaman
di daerahnya selama ini. Dalam artikel
ini diuraikan beberapa hal penting dalam
mewujudkan toleransi di wilayah Indonesia
dengan berpedoman pada kawasan Puja
Mandala tersebut.
Kawasan Puja Mandala
Istilah Puja Mandala terdiri dari
dua suku kata, yaitu: Puja dan Mandala.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Poerwadarminta, 2005), kata puja berarti
upacara penghormatan kepada dewa-dewa,
sedangkan mandala berarti lingkaran dan
lingkungan. Puja Mandala dapat diartikan
sebagai tempat beribadah dan penghormatan
kepada Tuhan sesuai agama dan kepercayaan
masyarakat yang beribadah di kawasan
tersebut. Dalam kawasan ini terdapat 5 (lima)
tempat ibadah yang saling berdampingan.
Sekitar tahun 1990an, masyarakat yang
beragama Islam di Nusa Dua mengalami
kesulitan melaksanakan ibadah karena tidak
ada masjid di daerah ini. Sementara kebijakan
pemerintah tentang pendirian tempat ibadah
harus mendapat persetujuan dari masyarakat
di sekitarnya. Dalam mengatasi persoalan itu,
maka Joop Ave selaku Menteri Pariwisata
dan Kebudayaan berkoordinasi dengan
pemerintah daerah Bali serta tokoh-tokoh
masyarakat untuk membangun satu kawasan
tempat ibadah yang saling berdampingan.
Pemerintah daerah dan tokoh masyarakat
Bali mendukung tujuan mulia ini dalam
memberikan contoh nyata tentang toleransi
di tengah masyarakat plural di Bali. Dalam
konteks ini, kedudukan pemimpin sangat
strategis dalam membuat sebuah perubahan
di daerahnya masing-masing (Junaedi dan
Waruwu, 2016).
Kawasan Puja Mandala mulai
dibangun tahun 1994 atas bantuan PT. Bali
Tourism Development Center (BTDC) yang
memberikan tanah 2 hektar untuk dijadikan
sebagai kawasan tempat ibadah. Lokasi ini
terletak di Desa Bualu, sekitar 12 km dari
bandara internasional Ngurah Rai Bali.
Pembangunan tempat ibadah diserahkan
kepada umat beragama dengan luas tanah dan
tinggi bangunan harus sama. Tempat ibadah
18
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
yang pertama sekali selesai pembangunannya,
yaitu: Masjid Agung Ibnu Batutah (Islam),
Gereja Maria Bunda Segala Bangsa (Katolik),
dan Gereja Kristen Protestan di Bali jemaat
Bukit Doa (Kristen). Pada tahun 1997
diresmikan oleh menteri agama pada waktu
itu bernama Tarmidzi Taher. Sementara
Wihara Buddha Guna (Buddha) selesai sekitar
tahun 2003 dan Pura Jagatnatha (Hindu)
selesai tahun 2005 (Nadifa, 2016). Klenteng
belum ada karena agama Kong Hu Chu baru
disahkan oleh pemerintah Indonesia setelah
pembangunan kawasan tersebut. Bentuk dan
posisi kelima tempat ibadah ini dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Gambar: Kawasan Puja Mandala
(Dokumen: Dermawan Waruwu, 2016)
Sejarah keberadaan kawasan Puja
Mandala tentunya tidak terlepas dari sikap
kesahajaan dan toleransi yang ditanamkan
oleh masyarakat Hindu di Bali selama ini. Hal
ini sejalan dengan nasihat yang disampaikan
oleh Suhardana bahwa umat Hindu hendaknya
dapat mengembangkan sifat-sifat manis,
lemah lembut, dan ramah tamah. Dengan
berbicara manis kita akan memperoleh berkah
dan simpati dari orang lain. Jadikanlah semua
manusia itu saudara (Suhardana, 2011).
Kehadiran Puja Mandala dapat dikatakan
sebagai miniatur keberagaman Indonesia dan
satu-satunya kawasan di dunia yang memiliki
lima tempat ibadah yang saling berdampingan.
Model Toleransi Ala Bali
Bali dikenal dengan julukan Pulau
Seribu Pura dan Pulau Dewata menunjukkan
bahwa daerah ini penduduknya mayoritas
beragama Hindu. Kondisi mayoritas ini tidak
menghalangi mereka untuk mewujudkan
sikap toleransi sebagai perekat sosial
19
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
masyarakatnya. Istilah toleransi berasal dari
bahasa latin “tolerare” yang artinya menahan
diri, bersikap sabar, membiarkan individu
lain berpendapat, berlapang dada, tenggang
rasa terhadap individu yang berlainan
pandangan, keyakinan, dan juga agama
(Roswidyaningsih, 2014). Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta,
2005) menjelaskan bahwa toleransi merupakan
sifat atau sikap menghargai, membiarkan, dan
membolehkan orang lain memiliki perbedaan
pendapat, kepercayaan, kebiasaan, dan
sebagainya dari kebiasaannya sendiri. Dengan
demikian, toleransi adalah sikap membiarkan
dan menghormati perbedaan individu atau
kelompok masyarakat dalam menjalankan
agamanya tanpa mengganggu kepentingan
orang lain di sekitarnya.
Kawasan Puja Mandala menjadi
model toleransi ala Bali. Model toleransi
ini merupakan satu-satunya di Indonesia
bahkan dunia sampai saat ini. Setiap
anggota masyarakat di daerah ini tidak
terlalu mementingkan prinsip mayoritas
dan minoritas. Masyarakat Bali menjamin
kebebasan untuk menjalankan agama dan
keyakinan orang lain karena dilekatkan
dengan nilai-nilai toleransi yang tepat. Nilai
toleransi yang tepat artinya setiap orang yang
berada di Bali tetap menghormati agama dan
budaya masyarakat Hindu yang telah menjadi
kearifan lokal masyarakatnya selama ini.
Setiap agama pasti memiliki ajaran
moral yang menjadi pegangan bagi perilaku
penganutnya. Tidak ada satupun agama di
dunia ini yang mengharapkan pemeluknya
berbuat kejahatan atau pun menyakiti
sesamanya. Semua agama mengajarkan
tentang kebenaran, keadilan, dan sikap saling
mengasihi satu sama lain (Sairini, 2006).
Semua manusia merindukan kedamaian pada
tempatnya berada. Masyarakat Bali yang
memiliki sikap toleransi menunjukkan bahwa
mereka telah memelihara nilai-nilai warisan
leluhur bangsa Indonesia (Roswidyaningsih,
2014).
Toleransi yang dipahami oleh masyarakat
Bali serta penduduk pendatang selama ini
bermuara pada sikap saling menghargai
setiap agama serta perbedaan antara anggota
masyarakat. Selama masyarakat menghargai
berbagai perbedaan yang ada di sekitarnya,
maka keharmonisan dan kedamaian dapat
terwujud dengan baik. Sistem kebersamaan
inilah yang melahirkan sebuah kebudayaan
baru karena setiap anggota kelompok merasa
dirinya terikat satu dengan yang lainnya.
Sikap toleransi antar umat beragama
yang terjalin di kawasan Puja Mandala
menunjukkan bahwa kebebasan dalam
menjalankan keyakinan agamanya masing-
masing merupakan hak dasar yang dimiliki
oleh setiap umat manusia di dunia ini. Dengan
memberikan kebebasan bagi orang lain dalam
menjalankan agamanya merupakan amanat
yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika, dan semangat NKRI.
Kerukunan dan keharmonisan yang terjalin
di kawasan Puja Mandala selama ini sangat
dirasakan oleh semua anggota masyarakat
yang berada di daerah tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara kepada
anggota masyarakat yang beribadah maupun
yang tinggal di sekitar kawasan Puja Mandala
mengungkapkan bahwa selama ini tidak
konik yang terjadi antar umat beragama.
Kawasan Puja Mandala justru menjadi sarana
atau model untuk mempererat hubungan
sosial antar anggota masyarakat maupun umat
beragama di daerah ini. Setiap umat diajak
untuk bekerjasama dalam menjaga keamanan
maupun dalam kegiatan keagamaan. Hal ini
ditegaskan oleh Liana (2014) bahwa jika ada
kegiatan keagamaan dalam waktu bersamaan,
umat beragama saling berinteraksi satu sama
lain untuk mempererat kerukunan tersebut.
20
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Pemerintah dan masyarakat Bali
merupakan kunci utama terwujudnya
toleransi antar umat beragama di Bali selama
ini. Peran pemerintah sangat strategis dalam
membuat setiap kebijakan sehingga tetap
tercipta kerukunan dan keharmonisan anggota
masyarakatnya. Oleh sebab itu, pemerintah
pusat hendaknya mengevaluasi kembali
tentang persyaratan pendirian tempat ibadah
di seluruh Indonesia, sehingga tidak menjadi
alat bagi individu atau kelompok tertentu
dalam memecah belah bangsa Indonesia
tercinta ini (Waruwu dan Gaurifa, 2015).
Apabila pemerintah salah dalam kebijakannya
maka masyarakat pasti mengalami konik
yang berkepanjangan seperti saat ini.
Peraturan pemerintah tentang
pembatasan penderian tempat ibadah dengan
segala persyaratannya dapat menjadi alat
bagi sekelompok masyarakat mayoritas pada
suatu daerah untuk menindas umat minoritas.
Fakta ini bukan rahasia lagi dalam kehidupan
keagamaan dan keberagaman di Indonesia
selama ini. Oleh sebab itu, marilah kita belajar
dari pemerintah daerah dan masyarakat Bali
yang memberi contoh tentang sikap hidup
yang menghargai agama orang lain. Dengan
demikian, sikap toleransi ala Bali ini sangat
penting untuk terus diwujudkan dalam segala
lini kehidupan bermasyarakat di seluruh
wilayah Indonesia.
Filosos Tri Hita Karana Memperkuat
Toleransi di Bali
Masyarakat Bali yang mayoritas
beragama Hindu memiliki losos hidup
yaitu Tri Hita Karana. Dalam losos ini
mengandung makna tentang sikap damai
dengan Tuhan, damai dengan sesama, dan
damai dengan alam di sekitarnya. Nilai-nilai
losos inilah yang tetap dipegang oleh
masyarakat Bali sampai saat ini (Wiweka,
2014). Setiap anggota masyarakat harus
tetap menjaga kedamaian antar sesama
manusia sebagai wujud umat yang percaya
kepada Tuhan. Keunikan seni dan budaya ini
menggambarkan tentang simbol keindahan
alam yang terdapat di daerah ini. Oleh
sebab itu, losos Tri Hita Karana semakin
menguatkan kearifan lokal masyarakatnya
sampai saat ini.
Konsep Tri Hita Karana ini
diimplementasikan melalui keberadaan
kawasan Puja Mandala tersebut. Hubungan
harmonis yang terjalin antara anggota
masyarakat Desa Bualu pada khususnya dan
masyarakat Bali pada umumnya menunjukkan
bahwa konsep kedamaian dengan sesama
telah diwujudkan di kawasan ini. Kendati
masyarakatnya mayoritas beragama Hindu,
tetapi prinsip berdamai dan menerima
sesamanya yang berbeda suku, agama, dan
etnis dapat terlihat dalam keharmonisan di
kawasan Puja Mandala selama ini. Seseorang
yang telah mendalami ajaran agama Hindu
secara benar pasti tidak membenci dan berkata
kasar kepada orang lain, sehingga menjadi
teladan di masyarakat (Suhardana, 2011).
Masyarakat Bali yang mayoritas
beragama Hindu justru menjadi kekuatan
untuk bertoleransi kepada semua orang.
Apalagi daerah ini sebagai daerah pariwisata
semakin mengasihi orang lain yang berasal
dari berbagai penjuru dunia. Menurut Tauq
(2007: 155) sebagai penganjur teori negosiasi
menjelaskan bahwa agar sebuah konik
dapat diselesaikan, maka para pelaku harus
mampu memisahkan perasaan pribadinya
dengan masalah-masalah umum berdasarkan
kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah
tetap. Oleh sebab itu, prinsip mayoritas yang
dianut oleh masyarakat Bali sangat berbeda
dengan keberadaan mayoritas dari daerah
lain di seluruh Indonesia. Keberadaan agama,
suku, ras, atau golongan yang mayoritas pada
suatu daerah justru memungkinkan terjadinya
21
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
konik di tengah-tengah masyarakatnya.
Mereka melakukan hegemoni kepada
kelompok minoritas (Barker, 2005). Prinsip
mayoritas di daerah Bali bukanlah sesuatu
yang dijadikan lebih berkuasa atau lebih hebat
dari yang lain, tetapi justru masyarakatnya
melindungi kelompok minoritas pada setiap
wilayahnya, termasuk pendirian tempat
ibadah di kawasan Puja Mandala tersebut.
Setiap tempat ibadah di daerah ini
terdapat perpaduan antara arsitektur seni dan
budaya Bali dengan nilai agamanya masing-
masing. Perpaduan inilah yang menjadi ciri
khas kawasan Puja Mandala sampai hari ini.
Kearifan lokal masyarakat Bali diwujudkan
melalui seni dan budaya yang berciri khas
agama Hindu. Takwin (2009) mengatakan
bahwa Hindu selain sebagai agama, merupakan
satu pola pemikiran dan juga menjadi dasar
aturan dalam pembentukan masyarakat. Oleh
sebab itu, keharmonisan antara penganut umat
beragama yang berbeda-beda telah menjadi
spirit bagi setiap umat manusia di dunia ini
dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan
dalam masyarakatnya. Interaksi sosial yang
terjalin antara semua elemen masyarakat
di kawasan Puja Mandala menjadi sumber
inspirasi bagi kehidupan dan peradaban
generasi berikutnya.
Kawasan Puja Mandala Ibarat Keluarga
Kawasan Puja Mandala ibarat satu
keluarga atau satu rumah yang anggotanya
terdiri dari berbagai karakter dan kepribadian.
Kendati anggota keluarga memiliki perbedaan
karakter dan kepribadian, namun setiap
anggota keluarga tidak mungkin dipisahkan
satu dengan lainnya. Sesungguhnya dunia
ini adalah satu keluarga besar (Suhardana,
2011). Dalam keluarga tentu memiliki
caranya masing-masing dalam bergerak,
berekspresi, maupun berkomunikasi. Semua
perbedaan ini dapat kuatkan dengan nilai-nilai
kebersamaan seperti sopan santun, etika, dan
adat istiadat yang harus dipatuhi oleh semua
anggota keluarga tersebut. Dengan demikian,
keberadaan kawasan Puja Mandala ibarat
satu keluarga yang saling menghormati serta
menyayangi dalam segala bentuk perbedaan
yang ada.
Keberadaan kawasan Puja Mandala
memberikan kontribusi positif bagi
masyarakat Bali pada khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya dalam
menghargai agama orang lain. Setiap orang
yang berkunjung di kawasan Puja Mandala ini
semakin memiliki wawasan dan pengetahuan
baru tentang pentingnya nilai-nilai toleransi
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan oleh penulis pada bulan Nopember
2016 kepada beberapa tokoh agama,
pengunjung, dan masyarakat di kawasan ini
mengatakan bahwa keberadaan Puja Mandala
adalah contoh nyata toleransi di Bali dan satu-
satunya di dunia. Hal ini dikatakan oleh Jro
Mangku Bajra selaku tokoh agama Hindu
mengatakan bahwa Puja Mandala terbentuk
atas dasar rasa toleransi antar umat beragama,
sehingga tidak ada kendala-kendala yang
dihadapi oleh umat selama ini. Hal senada
juga ditegaskan oleh Bapak Anton pengurus
agama Budha mengatakan bahwa toleransi di
sini sangat tinggi dan masing-masing umat
tetap menjaga suasana yang tenang dan damai.
Begitu pula pengurus Masjid
mengungkapkan pengalamannya di kawasan
ini ketika bersiap untuk shalat Dzuhur
sekitar jam 12.05. Pada saat itu bukan
bedug yang dibunyikan melainkan lonceng
gereja yang berdentang hingga puluhan kali.
Setelah selesai bunyi lonceng gereja barulah
petugas muadzin mengaktifkan microphone
untuk mengumandangkan adzan. Sikap ini
merupakan kesepakatan antara tokoh agama
di daerah ini. Hal ini diakui oleh Suster
Margaret yang mengatakan bahwa pada saat
22
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
umat Islam melaksanakan sholat Jumat bukan
bedug yang dibunyikan melainkan lonceng
gereja karena pada jam yang sama umat
Katolik mengadakan doa angelus.
Pada perayaan Nyepi pernah bertepatan
pada hari Jum’at. Pada saat Nyepi ini terdapat
empat hal (catur brata penyepian) yang
tidak bisa dilakukan oleh umat Hindu, yaitu:
tidak menyalakan api, tidak bekerja, tidak
berpergian, dan tidak bersenang-senang.
Semua umat Hindu diharuskan untuk berdiam
diri serta berdoa seraya menginstropeksi diri
selama penyepian itu berlangsung. Begitu
pula semua orang yang berada di Bali dilarang
keluar selama penyepian itu berlangsung.
Setiap hari raya Nyepi semua orang
yang berada di Bali tidak diperbolehkan
melakukan aktivitas di luar rumah selama 24
jam serta malam harinya tidak diperbolehkan
menyalakan lampu atau pun televisi.
Kendati demikian, masyarakat Hindu di Bali
memberikan kebebasan kepada umat Islam
untuk melaksanakan ibadahnya (sholat Jum’at)
di masjid tanpa harus menggunakan pengeras
suara pada waktu itu. Selama peribadatan
berlangsung pecalang (petugas keamanan
adat) membantu menjaga keamanan agar
umat Islam dapat beribadah dengan tenang.
Sikap toleransi masyarakat Bali ini terhadap
umat lain selama ini telah menunjukkan sikap
kepedulian dan toleransi antar sesamanya.
Oleh sebab itu, sikap toleransi yang sudah
diterapkan oleh masyarakat Bali atau
Puja Mandala selama ini dapat ditiru oleh
masyarakat di seluruh Indonesia.
Menurut Bapak Kristian selaku anggota
Gereja Kristen Protestan di Bali jemaat
Bukit Doa menjelaskan bahwa pada hari
raya Paskah yang diperingati oleh agama
Katolik dan Kristen, biasanya kawasan ini
dijaga oleh petugas keamanan desa adat.
Begitu pula pengurus masjid ikut membantu
mengatur kelancaran lalulintas di jalan raya.
Sebaliknya, ketika saudara-saudara kita
yang beragama Islam, Hindu, dan Budha
melaksanakan hari rayanya, maka umat
Kristen dan Katolik bergantian membantu
serta menjaga keamanan. Hal ini dilakukan
sebagai komitmen dalam bertoleransi yang
sudah terjalin bersama umat selama ini. Hal
ini sejalan dengan pendapat Waruwu (2017:
89) bahwa kawasan Puja Mandala sebagai
simbol dari berbagai keberagaman yang ada
di Indonesia, namun tetap hidup harmonis
antara umat lainnya.
Setiap pengurus rumah ibadah di daerah
selalu kompak serta mengadakan pertemuan
secara berkala untuk mengintensifkan
komunikasi antar umat beragama. Pertemuan
ini dilakukan sebagai langkah awal untuk
menghindari adanya kemungkinan konik
yang terjadi di tengah-tengah umatnya.
Hal ini sejalan dengan teori mediasi yang
dikemukakan oleh Muslih (2007: 108) bahwa
ada empat model mediasi, yaitu: mediasi
kompromi (settlement mediation), mediasi
fasilitasi (fasilitative mediation), mediasi
terapi dan rekonsiliasi (transformative and
mediation), dan mediasi normatif (normative/
evaluative mediation). Menurut Kahane
(2004) masalah yang kompleks hanya dapat
dipecahkan secara damai, jika orang-orang
yang menjadi bagian dari masalah tersebut
bekerja sama secara kreatif untuk memahami
situasi mereka dan memperbaikinya. Oleh
sebab itu, setiap perbedaan atau pun konik
dapat menjadikan masyarakat semakin
dewasa apabila adanya mediasi dan kerjasama
yang baik.
Puja Mandala Kawasan Wisata Spiritual
Kawasan Puja Mandala selama ini telah
menjadi miniatur toleransi umat beragama
di Indonesia maupun dunia. Beberapa tokoh
agama serta pemerintah dari berbagai daerah
pernah mengunjungi kawasan Puja Mandala
23
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
tersebut. Pada tahun 2010 delegasi FKUB
Provinsi Kalimantan Selatan melakukan
studi banding yang sekaligus mengadaan
pertemuan dengan FKUB Provinsi Bali
pada waktu itu. Pada tahun 2015 peserta
Parliamentary Event on Interfaith Dialog dari
17 negara menjadikan kawasan Puja Mandala
sebagai model toleransi yang patut ditiru oleh
negaranya masing-masing.
Keberadaan Puja Mandala bukan saja
sebagai wujud toleransi umat beragama di
Bali, tetapi kawasan ini telah menjadi daya
tarik bagi wisatawan domestik maupun
mancanegara selama ini. Hal ini diungkapkan
oleh Ibu Tuti bersama keluarganya yang
berasal dari Jawa Timur sangat terkesan
dengan keberadaan tempat ibadah yang saling
berdampingan ini. Kawasan ini menjadi
salah satu destinasi pariwisata spiritual
karena masyarakat dapat berdoa, beribadah,
dan sekaligus menikmati keunikan tempat
ibadah yang saling berdampingan tersebut
(Widyastuti dan Waruwu, 2017: 10). Oleh
sebab itu, hampir semua wisatawan belajar
tentang kearifan lokal masyarakat Bali yang
tetap menghormati agama lain. Kawasan
Puja Mandala merupakan sebuah model dan
langkah strategis untuk mengurangi konik
antar umat beragama yang pernah terjadi
selama ini.
Dengan adanya daya tahan sosial
yang tangguh melalui sikap toleransi,
maka masyarakat mampu mengatasi setiap
perubahan sosial, ekonomi, politik, dan segala
konik yang terjadi selama ini (Koswara,
2009). Dalam konteks ini, nilai-nilai toleransi
sangat penting untuk dikembangkan di
seluruh wilayah Indonesia agar masyarakat
mampu menghadapi berbagai dinamika sosial
dan pluralisme di sekitarnya (Abdullah,
2010). Pluralisme merupakan gagasan tentang
kemajemukan serta kesadaran timbul sebagai
anggota masyarakat yang hidup dalam
kedamaian dan kesejahteraan (Penyusun
Karakter Undhira, 2016).
Kawasan Puja Mandala merupakan
lokasi yang biasa dilalui oleh wisatawan selama
ini. Kawasan ini berada di pinggir jalan menuju
destinasi wisata seperti Nusa Dua, Uluwatu,
Garuda Wisnu Kencana, Dreamland, dan lain-
lain. Sebagian besar wisatawan yang melalui
kawasan Puja Mandala ini biasanya berhenti
untuk beribadah atau berdoa serta menikmati
keunikan kawasan tersebut. Hampir semua
wisatawan kagum melihat kerukunan umat
beragama yang terjalin di Pulau Bali selama
ini. Oleh sebab itu, kawasan Puja Mandala
bukan saja sebagai tempat ibadah, tetapi
menjadi kawasan wisata spiritual bagi setiap
orang yang mengunjunginya.
Penutup
Kawasan Puja Mandala sebagai wujud
toleransi ala Bali. Dalam mewujudkan toleransi
di wilayah Indonesia, maka setiap orang harus
belajar dari masyarakat Bali. Setiap perbedaan
dapat menjadi keindahan apabila setiap orang
senantiasa menghargainya. Ungkapan “Unity
in Diversity” berimplikasi bagi seluruh
masyarakat Indonesia agar semakin kuat dan
bersatu di tengah-tengah perubahan global
saat ini. Setiap perbedaan suku, agama, ras,
dan antargolongan agar semakin harmonis,
sehingga tidak menjadi alat bagi elit politik
atau kelompok tertentu untuk memecah belah
bangsa ini. Toleransi antar umat beragama
sangat didambakan oleh masyarakat Bali,
Indonesia, dan dunia secara keseluruhan.
Dengan sikap toleransi yang tinggi ini dapat
membangun peradaban bangsa Indonesia dan
menjadi modal dalam pembangunan nasional.
Setiap perbedaan dapat disikapi dengan
prinsip kekeluargaan, sehingga mampu
menginspirasi anggota masyarakat lainnya
untuk menciptakan keharmonisan pada setiap
level kehidupan sosialnya.
24
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Dengan demikian, keberadaan kawasan
Puja Mandala telah mencerminkan sikap
toleransi yang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika,
dan NKRI. Kawasan Puja Mandala telah
membuat keunikan tersendiri bagi wisatawan
selama ini. Kawasan ini menjadi model bagi
setiap daerah untuk membangun tempat ibadah
yang saling berdampingan, sehingga konik
bernuasa SARA dapat dicegah sejak dini.
Pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat,
dan masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam
mewujudkan toleransi di daerahnya masing-
massing. Oleh sebab itu, seluruh masyarakat
Indonesia dapat mewujudkan semangat
kebhinekaan ini demi terciptanya kedamaian
dan keharmonisan generasi mendatang.
Daftar Pustaka
Abdullah, Masykuri. 2010. Pluralisme Agama
dan Kerukunan Dalam Keragaman
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Bentang.
Junaedi, I Wayan Ruspendi dan Dermawan
Waruwu. 2016. Kepemimpinan dan
Transformasi Ekonomi: Kajian Desa
Blimbingsari. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Kahane, Adam. 2004. Menuntaskan Masalah
PelikTanpaKoni. Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer.
Koswara, Vemmie D. 2009. Sains dan
Teknologi 2: Berbagai Ide untuk
Menjawab Tantangan & Kebutuhan
oleh Ristek. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Liana, Luta Rachma. 2014. http://iphtml5.
com/rfhh/toey/basic (diakses, 23 Pebruari
2017).
Muslih, M.Z. 2007. Pengantar Mediasi Teori
dan Praktek. Dalam M. Mukhsin Jamil
(ed). Mengelola Konik Membangun
Damai. Semarang: WMC (Walisongo
Mediation Centre), pp. 107-124.
Nadifa, Shinta. 2016. http://indahnyaberbeda.
blogspot.co.id/2016/07/puja-mandala-
sebagai-perwujudan (diakses, 4
Pebruari 2017).
Poerwadarminta, W.J.S. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Roswidyaningsih, L. 2014. Pengaruh
Tingkat Toleransi Beragama Terhadap
Interaksi Sosial di Desa Sampetan
KecamatanAmpelKabupatenBoyolali.
Salatiga: Unpublished undergraduate
of SekolahTinggi Agama Islam Negeri
Salatiga.
Sairini, Weineta, dkk. 2006. KerukukanUmat
BeragamaPilarUtamaKerukunan
Berbangsa. Jakarta: PT. BPK Gunung
Mulia.
Suhardana, K.M. 2011. Intropeksi Diri:
BahanKajianKoreksiDiriUmatHindu.
Surabaya: Paramita.
Takwin, Bagus. 2009. FilsafatTimur:Sebuah
Pengantar ke Pemikiran-pemikiran
Timur. Yogyakarta: Jalasutra.
Tauq, Imam. 2007. Relasi Negara dan
Masyarakat Dalam Diskursus Konik
di Indonesia. Dalam M. Mukhsin Jamil
(ed). Mengelola Konik Membangun
Damai. Semarang: WMC (Walisongo
Mediation Centre), pp. 61-84.
25
Kawasan Puja Mandala Wujud Kearifan Lokal ..........(Dermawan Waruwu, hal 15 - 25)
Vidya Samhita
Jurnal Penelitian Agama, III (1) 2017
p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445
Tim Penyusun Tujuh Karakter. 2016. Tujuh
Karakter Universitas Dhyana Pura.
Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Widyastuti, Ni Kadek dan Dermawan Waruwu.
2017. Pariwisata Spiritual:DayaTarik
Wisata Palasari Bali. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Waruwu, Dermawan dan Suardin Gaurifa.
2015. GerejaPecah:PerspektifKajian
Budaya. Yogyakarta: Sunrise.
Waruwu, Dermawan. 2017. Kawasan Puja
Mandala Wujud Toleransi di Bali. Dalam
Proseding Seminar Nasional. Menggali
Kearifan Lokal Untuk Merawat
Kebhinekaan Menghadapi Tantangan
Intoleransi. Denpasar: Institut Hindu
Dharma Negeri, pp. 84-95.
Wiweka, Kadek. 2014. Analisis Konsep Tri
Hita Karana Pada Daya Tarik Warisan
Budaya: Studi Kasus Puri Agung
Karangasem, Bali. Dalam JUMPA
(Jurnal Master Pariwisata). Denpasar:
Program Studi Magister Kajian
Pariwisata dan Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Vol. 1, No. 1, Juli
2014, pp. 139-160.
View publication statsView publication stats