Content uploaded by Moh. Dede
Author content
All content in this area was uploaded by Moh. Dede on Aug 04, 2017
Content may be subject to copyright.
Prosiding Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | Bandung, 13 Desember 2016
Optimalisasi Sumber Daya Alam Matra Darat dan Matra Lautan
untuk Ketahanan Pangan dan Kesehatan dalam Konteks Nasionalisme
ISSN: 2580-1333 Halaman 100 dari 108
Departemen Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia
ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN SEKTOR PERTANIAN, KEHUTANAN, DAN
PERIKANAN SERTA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
DI PANTURA JAWA BARAT
Moh. Dede1, Rizal Sahidin Banyu Sewu2 , Meisa Yutika3, Fatich Ramadhan4
1Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia
Jalan Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40254, m.dede.geo@gmail.com
2Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Padjadjaran
Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung 40132, jovanadriandavion@gmail.com
3Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Jalan A.H. Nasution No. 105 Bandung 40614, meisa.eca8@gmail.com
4Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia
Jalan Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40254, fatich35@gmail.com
ABSTRAK
Kekayaan sumber daya alam di Indonesia begitu melimpah, baik di darat maupun perairan yang
menjadi penggerak ekonomi di tingkat daerah hingga nasional. Salah satu provinsi yang
menyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) terbanyak adalah Jawa Barat (14,17 persen).
Sebanyak 33,88 persen PDRB Jawa Barat berasal dari wilayah pantura yang terdiri atas Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan
Kota Cirebon. Pantura Jawa Barat dikenal sebagai wilayah sentra pertanian, kehutanan, dan
perikanan serta pertambangan dan penggalian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
optimalisasi berbagai sektor yang bertumpu pada sumber daya alam darat dan perairan di Pantura
Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah ex post facto dengan menggunakan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 hingga 2015 yang dianalisis menggunakan ‘multiplier effect‘
model Tiebout (dengan ‘Locational Quotient‘ atau LQ), Model Rasio Pertumbuhan (MRP) yang terdiri
atas Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr), dan
analisis ‘overlay‘. Berdasarkan analisis ini diketahui bahwa pemanfaatan sumber daya darat dan
perairan di berbagai sektor yang tercermin dari pertambangan dan penggalian sebagai sektor
unggulan di Pantura Jawa Barat dengan nilai multiplier effect (LQ), RPs, dan RPr selama lima tahun
sebesar 22,50 (1,87), 1,40, dan -0,15. Hal ini berarti sektor pertambangan dan penggalian merupakan
spesialisasi ekonomi di Pantura Jawa Barat. Melalui penelitian ini diharapkan memberikan
pemahaman bagi pemerintah dan masyarakat dalam rangka optimalisasi pemanfataan sumber daya
alam darat dan perairan guna menggairahkan marwah pembangunan yang berkelanjutan.
Kata Kunci: analisis overlay, LQ, multiplier effect, MRP, Pantura Jawa Barat
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik yang tersebar di darat
(terestrial) maupun di perairan (akuatis). Keberadaan sumber daya alam darat dan perairan dalam
perekomian nasional secara langsung tergambar pada sumbangan sektor pertanian, kehutananan,
dan pertambangan serta sektor pertambangan dan penggalian terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) atau Gross National Product (GNP) dengan rata-rata tahunan sebesar 23,16 persen dalam
rentang tahun 2011 s.d. 2015 (BPS, 2015 hlm. 67-70). Hal ini menjadikan kekayaan sumber daya alam
terestrial dan akuatis di Indonesia berpotensi sebagai pasar investasi baru di dunia selain Brazil, Peru,
Rusia, dan Afrika Selatan yang sering disebut sebagai Commodity-Rich Countries dengan pangsa pasar
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 101 dari 108
Indonesia yang terdiri atas bahan baku (10 persen) dan energi (17 persen) (S&P Global Division, 2011
hlm. 16-20; David, 2011; Sauter, dkk., 2012).
Produk Domestik Bruto (PDB) di suatu negara merupakan hasil gabungan dari berbagai
produk domestik bruto pada tingkat regional yang dikenal sebagai Produk Domestik Regional Bruto
(BPS Jawa Barat, 2016 hlm. 1). Salah satu provinsi yang menyumbang produk domestik regional bruto
(PDRB) terbanyak yaitu 14,17 persen bagi PDB Nasional pada tahun 2013 dengan presentase sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan serta sektor pertambangan dan penggalian sebesar 10,25
persen (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2013). Di Jawa Barat
sendiri, terdapat kawasan Pantura Jawa Barat yang menyumbangkan 33,88 persen nilai PDRB.
Kenyataannya, Hanya sekitar 12 persen PDRB Pantura Jawa Barat berasal dari sektor primer, seperti
pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan penggalian, padahal lebih dari 30 persen
wilayahnya merupakan lahan yang dimanfaatkan pada sektor-sektor tersebut (BPS Kabupaten
Bekasi, 2016 hlm. 92; BPS Kabupaten Cirebon, 2016 hlm. 92; BPS Kabupaten Indramayu, 2016 hlm. 67;
BPS Kabupaten Subang, 2016 hlm. 61; BPS Kota Cirebon, 2016 hlm. 72). Secara geografis, Pantura
Jawa Barat memiliki potensi pertanian dan perikanan yang tinggi sebagai wilayah dataran rendah dan
pesisir bila dibandingkan dengan wilayah yang memiliki corak pegunungan (Sultani, 2016 hlm. 14).
Oleh karena itu, penentuan pengembangan berbagai sektor unggulan di suatu wilayah baik
bersifat regional maupun nasional dalam rangka awal optimalisasi pembangunan harus dilakukan.
Hal ini diharapkan agar sesuai dengan misi Provinsi Jawa Barat yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daeerah Tahun 2013-2018 yaitu membangun perkonomian serta
meningkatnya pembangunan ekonomi regional di Jawa Barat dapat terwujud dengan baik (Pemprov
Jawa Barat, 2013 hlm. V-3).
Atas dasar hal tersebut, tujuan penelitian pada artikel ini dimaksudkan untuk mengetahui
potensi optimalisasi berbagai sektor ekonomi yang bertumpu pada sumber daya alam darat dan
perairan di Pantura Jawa Barat. Dengan lingkup bahwa berbagai macam pemanfaatan sumber daya
alam darat dan perairan di berbagai sektor tercermin di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan
serta sektor pertambangan dan penggalian yang didasarkan pada nilai pendapatan pada masing-
masing sektor yang memberikan sumbangsih berarti terhadap perekenonomian (Raven, Hassenzahl,
dan Berg, 2013 hlm. 30).
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data PDRB dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 hingga
2015 meliputi Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang,
Kabupaten Subang, Kota Cirebon, dan Provinsi Jawa Barat yang kemudian dianalisis menggunakan
multiplier effect model Tiebout, Locational Quotien atau LQ, Model Rasio Pertumbuhan (MRP) yang
terdiri atas Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr),
dan analisis overlay yang kemudian diinterpretasikan oleh penulis. Metode penelitian yang
digunakan adalah ex post facto mempergunakan data PDB dan PDRB dengan nilai harga konstan,
karena nilai harga konstan mampu menunjukan laju pertumbuhan ekonomi secara riil dan
menyeluruh pada setiap sektor dari tahun ke tahun tanpa terpengaruh oleh inflasi (BPS Jawa Barat,
2016 hlm. 2). Selain itu, pemilihan penggunaan data pendapatan (PDRB) merupakan pilihan terbaik
bila didandingkan dengan data tenaga kerja. Hal ini terjadi karena bobot dan distribusi tenaga kerja
berbeda-beda dan dipengaruhi oleh SDM (Tarigan, 2015 hlm. 31).
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 102 dari 108
Gambar 1. Kerangka Operasional
C. TINJAUAN TEORITIS
1. Multiplier Effect dan Locational Quotient
Dalam teori basis ekonomi, perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh besarnya
permintaan ekspor (demand) oleh sektor basis (Tarigan, 2015 hlm. 28; Mankiw, 2012 hlm. 556).
Sedangkan sektor non basis merupakan sektor yang mencukupi kebutuhan internal wilayah tersebut
saja atau subsisten (Dicken dan Lloyd, 1990 hlm. 390).
Penentuan kemampuan tiap sektor ekonomi (basis dan non basis) dapat menggunakan
locational quotient (LQ) sebagai sebagai langkah awal untuk memahami sektor basis disuatu wilayah
sebagai pemacu pertumbuhan (Gantara dan Achamadi, 2012 hlm. 1). Sedangkan, multiplier effect atau
pengganda basis didasarkan pada hubungan berbagai sektor pembentuk ekonomi yang saling terkait
serta memiliki ketergantungan dalam ekonomi di suatu wilayah. Sehingga, setiap perubahan pada
sektor basis sebagai salah satu sektor pembentuk ekonomi, akan mempengaruhi perubahan struktur
ekonomi secara keseluruhan di suatu wilyah (Manacika, 2010 hlm. 11; Sukma 2015 hlm. 104).
Perhitungan multiplier effect dan locational quotient dapat dilakukan dengan menggunakan
data pendapatan atau ketenagakerjaan, baik dalam bentuk tunggal maupun data berseri (data
series).
a. Menentukan Sektor Basis dan Non Basis dengan LQ
Dengan ketentuan, jika nilai LQ > 1 maka sektor tersebut merupakan sektor basis, tetapi
apabila nilai LQ ≤ 1 disebut sebagai sektor non basis (Tarigan, 2015 hlm. 35; Muta’ali, 2015 hlm. 95).
b. Menentukan Nilai Pengganda Basis (PB)
Nilai pengganda basis yang tinggi diinterpretasikan sebagai kemampuan kinerja
sektor basis dalam menunjang kinerja sektor non basis yang menyebabkan pertumbuhan
dan pembangunan wilayah menjadi tinggi. Nilai pengganda basis ditentukan oleh YTotal
merupakan PDRB Total, YBasis merupakan pendapatan sektor basis, Ynon basis merupakan pendapatan
sektor non basis, dan LQ adalah Locational Quotient
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 103 dari 108
2. Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP)
Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Analisis MRP merupakan alat analisis untuk
melihat deskripsi kegiatan atau sektor ekonomi yang potensial berdasarkan pada kriteria
pertumbuhan struktur ekonomi wilayah baik eksternal maupun internal (Nisa, 2014 hlm. 55). Analisis
MRP ini dibagi lagi ke dalam dua kriteria, yaitu Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Rasio
Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr). Berikut ini penjelasan beberapa kriteria dalam analisis MRP.
a. Rasio pertumbuhan wilayah studi (RPs) yaitu perbandingan antara pertumbuhan pendapatan.
Dalam hal ini ialah pertumbuhan PDRB sektor i di wilayah kajian dengan pertumbuhan
pendapatan PDRB sektor i di wilayah referensi (kabupaten/kota/kawasan terhadap Provinsi).
Keterangan :
∆Eij = Perubahan PDRB sektor i di wilayah
Eij = PDRB sektor i di wilayah j pada awal tahun penelitian
∆Ein = Perubahan PDRB sektor i secara nasional/provinsi
Ein = PDRB sektor i secara nasional/provinsi pada awal tahun penelitian
Jika RPs lebih besar dari 1 maka RPs dikatakan (+), berarti pertumbuhan suatu sektor
produksi tertentu di tingkat kabupaten atau kota lebih tinggi dari pertumbuhan sektor produksi
tertentu provinsi dan jika RPs lebih kecil dari 1 dikatakan (-), berarti pertumbuhan suatu sektor
produksi tertentu di tingkat kabupaten/kota/kawasan lebih rendah dari pertumbuhan sektor provinsi
(Sabar, 2015 hlm. 54).
b. Rasio pertumbuhan wilayah referensi (RPr) yaitu perbandingan antara laju pertumbuhan
pendapatan kegiatan i di wilayah referensi dengan laju pertumbuhan total kegiatan (PDRB)
wilayah referensi (Provinsi).
Keterangan:
∆Ein = Perubahan PDRB sektor i secara nasional/provinsi
Ein = PDRB sektor i secara nasional/provinsi pada awal tahun penelitian
∆En = Perubahan PDRB nasional/provinsi
En = Total PDRB nasional/Provinsi pada awal tahun penelitian
Jika nilai RPr > 1 diberi notasi positif (+) yang menunjukkan pertumbuhan suatu sektor
tertentu dalam wilayah referensi (provinsi/nasional) lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB total
wilayahnya, sedangkan nilai RPr < 1 diberi notasi negatif (-) yang menunjukkan pertumbuhan suatu
sektor tertentu dalam wilayah referensi (provinsi/nasional) lebih rendah dari pertumbuhan PDRB
total wilayahnya (Putra, 2013 hlm. 37).
3. Analisis Overlay
Analisis Overlay digunakan untuk menentukan sektor unggulan dengan menggabungkan
alat analisis untuk menyaring hasil analisis yang paling baik. Nilai positif (+) merupakan sektor
unggulan dan begitu juga sebaliknya (Sabar, 2015 hlm. 54). Notasi positif berarti koefisien komponen
lebih dari satu dan negatif kurang dari satu.
Terdapat tiga kriteria dalam analisis overlay (Sabar, 2015 hlm. 54-55), yaitu :
a. RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai positif (+), berarti sektor tersebut mempunyai potensi
daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibanding sektor yang sama di
tingkat provinsi.
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 104 dari 108
b. RPr bernilai negatif (-), sedangkan RPs dan LQ bernilai positif (+), berarti sektor tersebut
merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi di kabupaten/kota/kawasan.
c. RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai negatif (-), berarti sektor tersebut kurang memiliki daya
saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan sektor yang sama
pada tingkat provinsi.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Demi kemudahan penyajian data hasil analisis, maka nama tiap-tiap sektor dan wilayah
Administrasi di Pantura Jawa Barat disingkat dengan kode-kode pada tabel 1.
Tabel 1. Keterangan Singkatan Nama Wilayah dan Sektor Kajian
Singkatan
Jenis
Keterangan
KB
Wilayah Administrasi
Kabupaten Bekasi
KC
Wilayah Administrasi
Kabupaten Cirebon
KI
Wilayah Administrasi
Kabupaten Indramayu
KK
Wilayah Administrasi
Kabupaten Karawang
KS
Wilayah Administrasi
Kabupaten Subang
KoC
Wilayah Administrasi
Kota Cirebon
PKP
Sektor Ekonomi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
PP
Sektor Ekonomi
Pertambangan dan Penggalian
1. Locational Quotient (LQ) dan Pengganda Basis (PB) di Pantura Jawa Barat
Berdasarkan pengolahan data, diketahui bahwa Nilai LQ (Locational Quotient) pada sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan (PKP) sebesar 0,77 (sektor non basis) serta sektor
pertambangan dan penggalian (PP) sebesar 1,87 (sektor basis) selama tahun 2011 hingga 2015. Oleh
karena itu, di kawasan Pantura Jawa Barat didapatkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian
yang menjadi sektor basis di kawasan Pantura Jawa Barat. Hasil selengkapnya disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor Pertambangan dan
Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
Tahun
LQ Kawasan Pantura Jawa Barat
Rataan
LQ
LQ
Kawasan
Notasi
KB
KC
KI
KK
KS
KoC
PKP
2011
0,17
2,04
1,62
0,49
3,30
0,04
1,28
0,74
-
PP
2011
0,87
0,58
5,19
1,35
5,73
0,00
2,29
1,80
+
PKP
2012
0,17
2,12
1,75
0,48
3,54
0,04
1,35
0,75
-
PP
2012
0,78
0,64
6,41
1,20
4,88
0,00
2,32
1,82
+
PKP
2013
0,18
2,17
1,86
0,49
3,59
0,04
1,39
0,77
-
PP
2013
0,63
0,71
7,14
1,27
5,22
0,00
2,50
1,86
+
PKP
2014
0,17
2,18
1,93
0,49
3,69
0,04
1,42
0,78
-
PP
2014
0,63
0,74
7,33
1,30
5,58
0,00
2,60
1,91
+
PKP
2015
0,17
2,17
2,07
0,49
3,91
0,05
1,48
0,81
-
PP
2015
0,64
0,77
7,85
1,30
5,62
0,00
2,70
1,98
+
Rata-Rata LQ Sektor PKP Kawasan Pantura Jawa Barat (Non Basis)
0,77
-
Rata-Rata LQ Sektor PP Kawasan Pantura Jawa Barat (Basis)
1,87
+
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 105 dari 108
Tabel 3. PB Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor Pertambangan dan
Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
Tahun
PB Wilayah Kawasan Jawa Barat
Rataan
PB
LQ
Kawasan
PB
Kawasan
KB
KC
KI
KK
KS
KoC
PKP
2011
-
5,44
6,84
-
3,37
-
5,22
0,74
-
PP
2011
-
-
6,50
25,04
5,89
-
15,77
1,80
18,73
PKP
2012
-
5,68
6,67
-
3,38
-
5,24
0,75
-
PP
2012
-
-
5,91
32,63
7,97
-
15,50
1,82
21,51
PKP
2013
-
5,80
6,38
-
3,35
-
5,18
0,77
-
PP
2013
-
-
5,71
34,15
7,91
-
15,92
1,86
23,24
PKP
2014
-
6,17
6,25
-
3,31
-
5,24
0,78
-
PP
2014
-
-
5,61
35,26
7,46
-
16,11
1,91
24,03
PKP
2015
-
6,71
6,19
-
3,22
-
5,37
0,81
-
PP
2015
-
-
5,53
37,34
7,59
-
16,82
1,98
24,98
Rata-Rata PB Kawasan
22,50
Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang
menjadi sektor basis hanya berada di 3 wilayah, yaitu Kabupaten Cirebon (2,13), Kabupaten
Indramayu (1,84), dan Kabupaten Subang (3,60). Sedangkan, pada sektor pertambangan dan
penggalian terlihat yang menjadi sektor basis, terjadi di 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Indramayu
(6,78), Kabupaten Karawang (1,28), dan Kabupaten Subang (5,40). Selain itu, dari tabel 2 juga dapat
diketahui bahwa wilayah dataran fluvial di Kabupaten Bekasi dan Kota Cirebon sudah tidak
diorientasikan untuk kegiatan di sektor primer. Hal ini yang menyebabkan kedua sektor tersebut
(PKP dan PP) sudah tidak menjadi sektor basis.
Guna mengetahui dampak pengganda basis sektor unggulan di kawasan Pantura Jawa
Barat, digunakanllah analisis multiplier effect. Dari analisis ini, diketahui bahwa sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan tidak mempunyai pengganda basis atau PB karena LQ wilayah tersebut
terhadap Jawa Barat yang tidak terpenuhi. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian (PP)
memilki nilai PB sebesar 22,50. Hal ini berarti setiap perubahan 1 angka pada sektor PP akan
mengakibatkan perubahan pada sektor non basis sebesar 22,50 kali. Hasil selengkapnya mengenai
pengganda basis di kawasan Pantura Jawa Barat tersaji pada tabel 3.
Berdasarkan tabel tersebut pula, diketahui bahwa Kabupaten Karawang memiliki
pengganda basis sebesar 33,8 dengan laju perubahan sebesar 12,3 dari tahun 2011 hingga 2015 pada
sektor pertambangan dan penggalian, angka ini menunjukan bahwa sektor tersebut merupakan
sektor unggulan. Bahkan laju perubahan nilai PB di Kabupaten Karawang diatas PB kawasan Pantura
Jawa Barat yang memiliki nilai sebesar 6,25.
2. Model Rasio Pertumbuhan (MRP) di Pantura Jawa Barat
Melalui analisis model rasio pertumbuhan, diketahui bahwa sektor pertambangan dan
penggalian (pp) memiliki pertumbuhan yang rendah di tingkat provinsi, tetapi mempunyai
pertumbuhan yang tinggi di tingkat kawasan Panturan Jawa Barat. Sedangkan sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan memiliki pertumbuhan yang rendah baik di Pantura Jawa Barat maupun
Provinsi Jawa Barat. Hasil selengkapnya mengenai model rasio pertumbuhan di Pantura Jawa Barat
dan Provinsi Jawa Barat tersaji pada tabel 4 dan 5.
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 106 dari 108
Tabel 4. RPs Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor Pertambangan dan
Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
RPs dan Notasi Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 s.d. 2015
KB
Not.
KC
Not.
KI
Not.
KK
Not.
KS
Not.
KoC
Not.
PKP
-1,78
-
-0,21
-
2,00
+
0,00
-
0,87
-
0,40
-
PP
6,35
+
-1,82
-
-3,09
-
2,85
+
3,90
+
0,00
+
Tabel 5. MRP Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor Pertambangan dan
Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
RPs Pantura Jawa Barat
RPr Provinsi Jawa Barat
Nilai
Notasi
Nilai
Notasi
PKP
0,58
-
0,14
-
PP
1,41
+
-0,15
-
3. Analisis Overlay di Pantura Jawa Barat
Analisis overlay menggunakan LQ rata-rata sebagai kriteria kontribusi selama periode 2011
hingga 2015. Sedangkan untuk kriteria pertumbuhan menggunakan analisis MRP, tepatnya
menggunakan nilai RPs rata-rata selama periode 2011 hingga 2015 di Pantura Jawa Barat.
Tabel 6. Hasil Analisis Overlay Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor
Pertambangan dan Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat
Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
RPs Pantura
Jawa Barat
RPr Provinsi
Jawa Barat
LQ Pantura
Jawa Barat
Hasil
Overlay
Nilai
Notasi
Nilai
Notasi
Nilai
Notasi
PKP
0,58
-
0,14
-
0,77
-
- - -
PP
1,41
+
-0,15
-
1,87
+
+ - +
Berdasarkan analisis ini, diketahui bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan di
Kawasan Pantura Jawa Barat kurang memiliki daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih
unggul dibandingkan dengan sektor yang sama di Provinsi Jawa Barat. Sementara itu, sektor
pertambangan dan penggalian merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi di kawasan Pantura Jawa
Barat. Dari analisis ini pula terlihat bahwa sektor yang langsung bertumpu pada pemanfataan sumber
daya alam di kawasan Pantura Jawa Barat belum memliki daya saing kompetitif maupun komparatif
yang lebih unggul dibanding sektor yang sama di tingkat Provinsi Jawa Barat. Hal ini menunjukan
bahwa optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam baik terrestrial dan akuatis di Pantura Jawa
Barat masih belum optimal dan hanya unggul pada sektor pertambangan dan penggalian.
E. PENUTUP
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sektor basis yang bertumpu secara langsung dengan
sumber daya alam baik terrestrial dan akuatis di kawasan Pantura Jawa Barat bertumpu pada sektor
pertambangan dan penggalian selama periode 2011 hingga 2015. Sektor ini memiliki pengganda basis
22,50. Selain itu, berdasarkan analisis model rasio pertumbuhan juga diketahui bahwa sektor
pertambangan dan penggalian di kawasan Pantura Jawa Barat memilki pertumbuhan yang melebihi
pertumbuhan sektor yang sama di Provinsi Jawa Barat. Akhirnya, semua model analisis tersebut
disatukan dalam bentuk analisis overlay yang menujukan bahwa sektor pertambangan dan
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 107 dari 108
penggalian di Pantura Jawa Barat memiliki potensi daya saing yang unggul di Provinsi Jawa Barat.
Diharapkan melalui penelitian ini mampu meningkatkan marwah dan upaya pembangunan ekonomi
yang bertumpu pada sektor-sektor unggulan, khususnya yang berbasis pada optimalisasi
pemanfataan sumber daya alam baik di tingkat regional maupun nasional dapat berjalan dengan baik
dan berkelanjutan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik [BPS]. (2015). Produk Domestik Bruto Indonesia Triwulanan 2011-2015. Jakarta:
BPS.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi [BPS Kab. Bekasi]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Bekasi menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Bekasi: BPS Kab. Bekasi.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon [BPS Kab. Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Cirebon menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Sumber: BPS Kab. Cirebon.
Badan Pusat Statistik Kota Cirebon [BPS Kota Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto Kota
Cirebon menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Cirebon: BPS Kota Cirebon.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu [BPS Kab. Indramayu]. (2016). Produk Domestik Regional
Bruto Kabupaten Indramayu menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Indramayu BPS Kab.
Indramayu.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat [BPS Jawa Barat]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi Jawa Barat menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Bandung: BPS Prov. Jabar.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang [BPS Kab. Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional
Bruto Kabupaten Karawang menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Karawang: BPS Kab. Cirebon.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang [BPS Kab. Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Subang menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Sumber: BPS Kab. Subang.
David. (2011). Top Resource-Rich Countries with Exposure to Emerging Markets. Tersedia [dalam
jaringan] http://topforeignstocks.com/2011/07/30/top-resource-rich-countries-with-exposure-
to-emerging-markets/. Diakses 4 Desember 2016.
Gantara, W. P. dan T. Achmadi. (2012). “Model Pengembangan Wilayah Untuk Pembangunan
Pelabuhan: Studi Kasus Pantai Selatan Jawa Timur”. Jurnal Teknik Pomits (Publikasi Ilmiah
Online Mahasiswa ITS), Vol. 1, No. 1, hlm. 1-6.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2013). DKI Jakarta, Jawa Timur,
dan Jawa Barat Penyumbang Terbesar PDB Kuartal IV-2013. Tersedia [dalam jaringan]
https://www.ekon.go.id/berita/view/dki-jakarta-jawa-timur-dan.516.html. Diakses 4
Desember 2016.
Lloyd, P. E. dan P. Dicksen. (1990). Location in Space (Theoretical Perspectives in Economic Geography).
New York: Harper & Row.
Manacika, I. K. (2010). Dampak Pariwisata Terhadap Permintaan Output Sektor Pertanian di Provinsi
Bali. Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.
Mankiw, N. G. (2012). Essentials of Economic. Mason: Cengage Learning.
Muta'ali, L. (2015). Teknik Analisis Regional. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM.
Nisa, H. (2014). Analisis Potensi dan Pengembangan Wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Skripsi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Diponegoro.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat [Pemprov Jawa Barat]. (2013). Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat. Bandung: Bappeda Jabar.
Putra, A. N. (2013). Analisis Potensi Ekonomi Kabupaten dan Kota Di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Raven, P. H., D. M. Hassenzahl, dan L. R. Berg. (2013). Environment. New York: Jhon Wiley and Sons.
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 108 dari 108
S&P Global Division. (2011). S&P Global BMI, S&P/IFCI Methodology. New York: S&P Dow Jones Indices
LLC.
Sabar, W. (2015). “Sektor Potensial Pengembangan Ekonomi Wilayah”. Jurnal EcceS (Economics,
Social, and Development Studies), Vol 2 (1), hlm. 48-61.
Sauter, M. B., C. B. Stockdale, dan P. Ausick. (2012). The World’s Most Resource-Rich Countries.
Tersedia [dalam jaringan] http://247wallst.com/special-report/2012/ 04/18/the-worlds-most-
resource-rich-countries/ . Diakses 4 Desember 2016.
Sukma, A. F. (2015). “Efek Pengganda Infrastruktur Pekerjaan Umum dalam Perekonomian Provinsi
Bali”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, vol. 26, no. 2, hlm. 100-110, Agustus 2015. DOI:
10.5614/jpwk.2015.26.2.3
Sultani, A. M. (2016). “Pengembangan Wilayah Berbasis Pendekatan Sosial Ekonomi di Kabupaten
Barru Provinsi Sulawesi Selatan”. Jurnal Planomadani, vol. 5 (1) 2016. ISSN 2301 - 878X.
Syahrullah, D. (2012). Analisis pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendidikan, dan
Pengangguran terhadap Kemiskinan di Provinsi Banten Tahun 2009-2012. Skripsi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis.
Tarigan, R. (2015). Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.