Conference PaperPDF Available

ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN SEKTOR PERTANIAN, KEHUTANAN, DAN PERIKANAN SERTA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN DI PANTURA JAWA BARAT

Authors:

Abstract

Kekayaan sumber daya alam di Indonesia begitu melimpah, baik di darat maupun perairan yang menjadi penggerak ekonomi di tingkat daerah hingga nasional. Salah satu provinsi yang menyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) terbanyak adalah Jawa Barat (14,17 persen). Sebanyak 33,88 persen PDRB Jawa Barat berasal dari wilayah pantura yang terdiri atas Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kota Cirebon. Pantura Jawa Barat dikenal sebagai wilayah sentra pertanian, kehutanan, dan perikanan serta pertambangan dan penggalian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi optimalisasi berbagai sektor yang bertumpu pada sumber daya alam darat dan perairan di Pantura Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah ex post facto dengan menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 hingga 2015 yang dianalisis menggunakan ‘multiplier effect‘ model Tiebout (dengan ‘Locational Quotient‘ atau LQ), Model Rasio Pertumbuhan (MRP) yang terdiri atas Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr), dan analisis ‘overlay‘. Berdasarkan analisis ini diketahui bahwa pemanfaatan sumber daya darat dan perairan di berbagai sektor yang tercermin dari pertambangan dan penggalian sebagai sektor unggulan di Pantura Jawa Barat dengan nilai multiplier effect (LQ), RPs, dan RPr selama lima tahun sebesar 22,50 (1,87), 1,40, dan -0,15. Hal ini berarti sektor pertambangan dan penggalian merupakan spesialisasi ekonomi di Pantura Jawa Barat. Melalui penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman bagi pemerintah dan masyarakat dalam rangka optimalisasi pemanfataan sumber daya alam darat dan perairan guna menggairahkan marwah pembangunan yang berkelanjutan.
Prosiding Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | Bandung, 13 Desember 2016
Optimalisasi Sumber Daya Alam Matra Darat dan Matra Lautan
untuk Ketahanan Pangan dan Kesehatan dalam Konteks Nasionalisme
ISSN: 2580-1333 Halaman 100 dari 108
Departemen Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia
ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN SEKTOR PERTANIAN, KEHUTANAN, DAN
PERIKANAN SERTA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
DI PANTURA JAWA BARAT
Moh. Dede1, Rizal Sahidin Banyu Sewu2 , Meisa Yutika3, Fatich Ramadhan4
1Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia
Jalan Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40254, m.dede.geo@gmail.com
2Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Padjadjaran
Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung 40132, jovanadriandavion@gmail.com
3Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Jalan A.H. Nasution No. 105 Bandung 40614, meisa.eca8@gmail.com
4Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia
Jalan Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40254, fatich35@gmail.com
ABSTRAK
Kekayaan sumber daya alam di Indonesia begitu melimpah, baik di darat maupun perairan yang
menjadi penggerak ekonomi di tingkat daerah hingga nasional. Salah satu provinsi yang
menyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) terbanyak adalah Jawa Barat (14,17 persen).
Sebanyak 33,88 persen PDRB Jawa Barat berasal dari wilayah pantura yang terdiri atas Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan
Kota Cirebon. Pantura Jawa Barat dikenal sebagai wilayah sentra pertanian, kehutanan, dan
perikanan serta pertambangan dan penggalian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
optimalisasi berbagai sektor yang bertumpu pada sumber daya alam darat dan perairan di Pantura
Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah ex post facto dengan menggunakan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 hingga 2015 yang dianalisis menggunakan multiplier effect
model Tiebout (dengan Locational Quotientatau LQ), Model Rasio Pertumbuhan (MRP) yang terdiri
atas Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr), dan
analisis overlay. Berdasarkan analisis ini diketahui bahwa pemanfaatan sumber daya darat dan
perairan di berbagai sektor yang tercermin dari pertambangan dan penggalian sebagai sektor
unggulan di Pantura Jawa Barat dengan nilai multiplier effect (LQ), RPs, dan RPr selama lima tahun
sebesar 22,50 (1,87), 1,40, dan -0,15. Hal ini berarti sektor pertambangan dan penggalian merupakan
spesialisasi ekonomi di Pantura Jawa Barat. Melalui penelitian ini diharapkan memberikan
pemahaman bagi pemerintah dan masyarakat dalam rangka optimalisasi pemanfataan sumber daya
alam darat dan perairan guna menggairahkan marwah pembangunan yang berkelanjutan.
Kata Kunci: analisis overlay, LQ, multiplier effect, MRP, Pantura Jawa Barat
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik yang tersebar di darat
(terestrial) maupun di perairan (akuatis). Keberadaan sumber daya alam darat dan perairan dalam
perekomian nasional secara langsung tergambar pada sumbangan sektor pertanian, kehutananan,
dan pertambangan serta sektor pertambangan dan penggalian terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) atau Gross National Product (GNP) dengan rata-rata tahunan sebesar 23,16 persen dalam
rentang tahun 2011 s.d. 2015 (BPS, 2015 hlm. 67-70). Hal ini menjadikan kekayaan sumber daya alam
terestrial dan akuatis di Indonesia berpotensi sebagai pasar investasi baru di dunia selain Brazil, Peru,
Rusia, dan Afrika Selatan yang sering disebut sebagai Commodity-Rich Countries dengan pangsa pasar
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 101 dari 108
Indonesia yang terdiri atas bahan baku (10 persen) dan energi (17 persen) (S&P Global Division, 2011
hlm. 16-20; David, 2011; Sauter, dkk., 2012).
Produk Domestik Bruto (PDB) di suatu negara merupakan hasil gabungan dari berbagai
produk domestik bruto pada tingkat regional yang dikenal sebagai Produk Domestik Regional Bruto
(BPS Jawa Barat, 2016 hlm. 1). Salah satu provinsi yang menyumbang produk domestik regional bruto
(PDRB) terbanyak yaitu 14,17 persen bagi PDB Nasional pada tahun 2013 dengan presentase sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan serta sektor pertambangan dan penggalian sebesar 10,25
persen (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2013). Di Jawa Barat
sendiri, terdapat kawasan Pantura Jawa Barat yang menyumbangkan 33,88 persen nilai PDRB.
Kenyataannya, Hanya sekitar 12 persen PDRB Pantura Jawa Barat berasal dari sektor primer, seperti
pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan penggalian, padahal lebih dari 30 persen
wilayahnya merupakan lahan yang dimanfaatkan pada sektor-sektor tersebut (BPS Kabupaten
Bekasi, 2016 hlm. 92; BPS Kabupaten Cirebon, 2016 hlm. 92; BPS Kabupaten Indramayu, 2016 hlm. 67;
BPS Kabupaten Subang, 2016 hlm. 61; BPS Kota Cirebon, 2016 hlm. 72). Secara geografis, Pantura
Jawa Barat memiliki potensi pertanian dan perikanan yang tinggi sebagai wilayah dataran rendah dan
pesisir bila dibandingkan dengan wilayah yang memiliki corak pegunungan (Sultani, 2016 hlm. 14).
Oleh karena itu, penentuan pengembangan berbagai sektor unggulan di suatu wilayah baik
bersifat regional maupun nasional dalam rangka awal optimalisasi pembangunan harus dilakukan.
Hal ini diharapkan agar sesuai dengan misi Provinsi Jawa Barat yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daeerah Tahun 2013-2018 yaitu membangun perkonomian serta
meningkatnya pembangunan ekonomi regional di Jawa Barat dapat terwujud dengan baik (Pemprov
Jawa Barat, 2013 hlm. V-3).
Atas dasar hal tersebut, tujuan penelitian pada artikel ini dimaksudkan untuk mengetahui
potensi optimalisasi berbagai sektor ekonomi yang bertumpu pada sumber daya alam darat dan
perairan di Pantura Jawa Barat. Dengan lingkup bahwa berbagai macam pemanfaatan sumber daya
alam darat dan perairan di berbagai sektor tercermin di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan
serta sektor pertambangan dan penggalian yang didasarkan pada nilai pendapatan pada masing-
masing sektor yang memberikan sumbangsih berarti terhadap perekenonomian (Raven, Hassenzahl,
dan Berg, 2013 hlm. 30).
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data PDRB dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 hingga
2015 meliputi Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang,
Kabupaten Subang, Kota Cirebon, dan Provinsi Jawa Barat yang kemudian dianalisis menggunakan
multiplier effect model Tiebout, Locational Quotien atau LQ, Model Rasio Pertumbuhan (MRP) yang
terdiri atas Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr),
dan analisis overlay yang kemudian diinterpretasikan oleh penulis. Metode penelitian yang
digunakan adalah ex post facto mempergunakan data PDB dan PDRB dengan nilai harga konstan,
karena nilai harga konstan mampu menunjukan laju pertumbuhan ekonomi secara riil dan
menyeluruh pada setiap sektor dari tahun ke tahun tanpa terpengaruh oleh inflasi (BPS Jawa Barat,
2016 hlm. 2). Selain itu, pemilihan penggunaan data pendapatan (PDRB) merupakan pilihan terbaik
bila didandingkan dengan data tenaga kerja. Hal ini terjadi karena bobot dan distribusi tenaga kerja
berbeda-beda dan dipengaruhi oleh SDM (Tarigan, 2015 hlm. 31).
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 102 dari 108
Gambar 1. Kerangka Operasional
C. TINJAUAN TEORITIS
1. Multiplier Effect dan Locational Quotient
Dalam teori basis ekonomi, perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh besarnya
permintaan ekspor (demand) oleh sektor basis (Tarigan, 2015 hlm. 28; Mankiw, 2012 hlm. 556).
Sedangkan sektor non basis merupakan sektor yang mencukupi kebutuhan internal wilayah tersebut
saja atau subsisten (Dicken dan Lloyd, 1990 hlm. 390).
Penentuan kemampuan tiap sektor ekonomi (basis dan non basis) dapat menggunakan
locational quotient (LQ) sebagai sebagai langkah awal untuk memahami sektor basis disuatu wilayah
sebagai pemacu pertumbuhan (Gantara dan Achamadi, 2012 hlm. 1). Sedangkan, multiplier effect atau
pengganda basis didasarkan pada hubungan berbagai sektor pembentuk ekonomi yang saling terkait
serta memiliki ketergantungan dalam ekonomi di suatu wilayah. Sehingga, setiap perubahan pada
sektor basis sebagai salah satu sektor pembentuk ekonomi, akan mempengaruhi perubahan struktur
ekonomi secara keseluruhan di suatu wilyah (Manacika, 2010 hlm. 11; Sukma 2015 hlm. 104).
Perhitungan multiplier effect dan locational quotient dapat dilakukan dengan menggunakan
data pendapatan atau ketenagakerjaan, baik dalam bentuk tunggal maupun data berseri (data
series).
a. Menentukan Sektor Basis dan Non Basis dengan LQ
  




Dengan ketentuan, jika nilai LQ > 1 maka sektor tersebut merupakan sektor basis, tetapi
apabila nilai LQ ≤ 1 disebut sebagai sektor non basis (Tarigan, 2015 hlm. 35; Muta’ali, 2015 hlm. 95).
b. Menentukan Nilai Pengganda Basis (PB)
Nilai pengganda basis yang tinggi diinterpretasikan sebagai kemampuan kinerja
sektor basis dalam menunjang kinerja sektor non basis yang menyebabkan pertumbuhan
dan pembangunan wilayah menjadi tinggi. Nilai pengganda basis ditentukan oleh YTotal
merupakan PDRB Total, YBasis merupakan pendapatan sektor basis, Ynon basis merupakan pendapatan
sektor non basis, dan LQ adalah Locational Quotient



  

Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 103 dari 108
2. Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP)
Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Analisis MRP merupakan alat analisis untuk
melihat deskripsi kegiatan atau sektor ekonomi yang potensial berdasarkan pada kriteria
pertumbuhan struktur ekonomi wilayah baik eksternal maupun internal (Nisa, 2014 hlm. 55). Analisis
MRP ini dibagi lagi ke dalam dua kriteria, yaitu Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Rasio
Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr). Berikut ini penjelasan beberapa kriteria dalam analisis MRP.
a. Rasio pertumbuhan wilayah studi (RPs) yaitu perbandingan antara pertumbuhan pendapatan.
Dalam hal ini ialah pertumbuhan PDRB sektor i di wilayah kajian dengan pertumbuhan
pendapatan PDRB sektor i di wilayah referensi (kabupaten/kota/kawasan terhadap Provinsi).
  
 

Keterangan :
Eij = Perubahan PDRB sektor i di wilayah
Eij = PDRB sektor i di wilayah j pada awal tahun penelitian
Ein = Perubahan PDRB sektor i secara nasional/provinsi
Ein = PDRB sektor i secara nasional/provinsi pada awal tahun penelitian
Jika RPs lebih besar dari 1 maka RPs dikatakan (+), berarti pertumbuhan suatu sektor
produksi tertentu di tingkat kabupaten atau kota lebih tinggi dari pertumbuhan sektor produksi
tertentu provinsi dan jika RPs lebih kecil dari 1 dikatakan (-), berarti pertumbuhan suatu sektor
produksi tertentu di tingkat kabupaten/kota/kawasan lebih rendah dari pertumbuhan sektor provinsi
(Sabar, 2015 hlm. 54).
b. Rasio pertumbuhan wilayah referensi (RPr) yaitu perbandingan antara laju pertumbuhan
pendapatan kegiatan i di wilayah referensi dengan laju pertumbuhan total kegiatan (PDRB)
wilayah referensi (Provinsi).
 
 
 
Keterangan:
Ein = Perubahan PDRB sektor i secara nasional/provinsi
Ein = PDRB sektor i secara nasional/provinsi pada awal tahun penelitian
En = Perubahan PDRB nasional/provinsi
En = Total PDRB nasional/Provinsi pada awal tahun penelitian
Jika nilai RPr > 1 diberi notasi positif (+) yang menunjukkan pertumbuhan suatu sektor
tertentu dalam wilayah referensi (provinsi/nasional) lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB total
wilayahnya, sedangkan nilai RPr < 1 diberi notasi negatif (-) yang menunjukkan pertumbuhan suatu
sektor tertentu dalam wilayah referensi (provinsi/nasional) lebih rendah dari pertumbuhan PDRB
total wilayahnya (Putra, 2013 hlm. 37).
3. Analisis Overlay
Analisis Overlay digunakan untuk menentukan sektor unggulan dengan menggabungkan
alat analisis untuk menyaring hasil analisis yang paling baik. Nilai positif (+) merupakan sektor
unggulan dan begitu juga sebaliknya (Sabar, 2015 hlm. 54). Notasi positif berarti koefisien komponen
lebih dari satu dan negatif kurang dari satu.
Terdapat tiga kriteria dalam analisis overlay (Sabar, 2015 hlm. 54-55), yaitu :
a. RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai positif (+), berarti sektor tersebut mempunyai potensi
daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibanding sektor yang sama di
tingkat provinsi.
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 104 dari 108
b. RPr bernilai negatif (-), sedangkan RPs dan LQ bernilai positif (+), berarti sektor tersebut
merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi di kabupaten/kota/kawasan.
c. RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai negatif (-), berarti sektor tersebut kurang memiliki daya
saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan sektor yang sama
pada tingkat provinsi.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Demi kemudahan penyajian data hasil analisis, maka nama tiap-tiap sektor dan wilayah
Administrasi di Pantura Jawa Barat disingkat dengan kode-kode pada tabel 1.
Tabel 1. Keterangan Singkatan Nama Wilayah dan Sektor Kajian
Singkatan
Jenis
Keterangan
KB
Wilayah Administrasi
Kabupaten Bekasi
KC
Wilayah Administrasi
Kabupaten Cirebon
KI
Wilayah Administrasi
Kabupaten Indramayu
KK
Wilayah Administrasi
Kabupaten Karawang
KS
Wilayah Administrasi
Kabupaten Subang
KoC
Wilayah Administrasi
Kota Cirebon
PKP
Sektor Ekonomi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
PP
Sektor Ekonomi
Pertambangan dan Penggalian
1. Locational Quotient (LQ) dan Pengganda Basis (PB) di Pantura Jawa Barat
Berdasarkan pengolahan data, diketahui bahwa Nilai LQ (Locational Quotient) pada sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan (PKP) sebesar 0,77 (sektor non basis) serta sektor
pertambangan dan penggalian (PP) sebesar 1,87 (sektor basis) selama tahun 2011 hingga 2015. Oleh
karena itu, di kawasan Pantura Jawa Barat didapatkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian
yang menjadi sektor basis di kawasan Pantura Jawa Barat. Hasil selengkapnya disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor Pertambangan dan
Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
Tahun
LQ Kawasan Pantura Jawa Barat
Rataan
LQ
Notasi
KB
KC
KI
KK
KS
KoC
PKP
2011
0,17
2,04
1,62
0,49
3,30
0,04
1,28
-
PP
2011
0,87
0,58
5,19
1,35
5,73
0,00
2,29
+
PKP
2012
0,17
2,12
1,75
0,48
3,54
0,04
1,35
-
PP
2012
0,78
0,64
6,41
1,20
4,88
0,00
2,32
+
PKP
2013
0,18
2,17
1,86
0,49
3,59
0,04
1,39
-
PP
2013
0,63
0,71
7,14
1,27
5,22
0,00
2,50
+
PKP
2014
0,17
2,18
1,93
0,49
3,69
0,04
1,42
-
PP
2014
0,63
0,74
7,33
1,30
5,58
0,00
2,60
+
PKP
2015
0,17
2,17
2,07
0,49
3,91
0,05
1,48
-
PP
2015
0,64
0,77
7,85
1,30
5,62
0,00
2,70
+
Rata-Rata LQ Sektor PKP Kawasan Pantura Jawa Barat (Non Basis)
-
Rata-Rata LQ Sektor PP Kawasan Pantura Jawa Barat (Basis)
+
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 105 dari 108
Tabel 3. PB Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor Pertambangan dan
Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
Tahun
PB Wilayah Kawasan Jawa Barat
Rataan
PB
LQ
Kawasan
PB
Kawasan
KB
KC
KI
KK
KS
KoC
PKP
2011
-
5,44
6,84
-
3,37
-
5,22
0,74
-
PP
2011
-
-
6,50
25,04
5,89
-
15,77
1,80
18,73
PKP
2012
-
5,68
6,67
-
3,38
-
5,24
0,75
-
PP
2012
-
-
5,91
32,63
7,97
-
15,50
1,82
21,51
PKP
2013
-
5,80
6,38
-
3,35
-
5,18
0,77
-
PP
2013
-
-
5,71
34,15
7,91
-
15,92
1,86
23,24
PKP
2014
-
6,17
6,25
-
3,31
-
5,24
0,78
-
PP
2014
-
-
5,61
35,26
7,46
-
16,11
1,91
24,03
PKP
2015
-
6,71
6,19
-
3,22
-
5,37
0,81
-
PP
2015
-
-
5,53
37,34
7,59
-
16,82
1,98
24,98
Rata-Rata PB Kawasan
22,50
Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang
menjadi sektor basis hanya berada di 3 wilayah, yaitu Kabupaten Cirebon (2,13), Kabupaten
Indramayu (1,84), dan Kabupaten Subang (3,60). Sedangkan, pada sektor pertambangan dan
penggalian terlihat yang menjadi sektor basis, terjadi di 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Indramayu
(6,78), Kabupaten Karawang (1,28), dan Kabupaten Subang (5,40). Selain itu, dari tabel 2 juga dapat
diketahui bahwa wilayah dataran fluvial di Kabupaten Bekasi dan Kota Cirebon sudah tidak
diorientasikan untuk kegiatan di sektor primer. Hal ini yang menyebabkan kedua sektor tersebut
(PKP dan PP) sudah tidak menjadi sektor basis.
Guna mengetahui dampak pengganda basis sektor unggulan di kawasan Pantura Jawa
Barat, digunakanllah analisis multiplier effect. Dari analisis ini, diketahui bahwa sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan tidak mempunyai pengganda basis atau PB karena LQ wilayah tersebut
terhadap Jawa Barat yang tidak terpenuhi. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian (PP)
memilki nilai PB sebesar 22,50. Hal ini berarti setiap perubahan 1 angka pada sektor PP akan
mengakibatkan perubahan pada sektor non basis sebesar 22,50 kali. Hasil selengkapnya mengenai
pengganda basis di kawasan Pantura Jawa Barat tersaji pada tabel 3.
Berdasarkan tabel tersebut pula, diketahui bahwa Kabupaten Karawang memiliki
pengganda basis sebesar 33,8 dengan laju perubahan sebesar 12,3 dari tahun 2011 hingga 2015 pada
sektor pertambangan dan penggalian, angka ini menunjukan bahwa sektor tersebut merupakan
sektor unggulan. Bahkan laju perubahan nilai PB di Kabupaten Karawang diatas PB kawasan Pantura
Jawa Barat yang memiliki nilai sebesar 6,25.
2. Model Rasio Pertumbuhan (MRP) di Pantura Jawa Barat
Melalui analisis model rasio pertumbuhan, diketahui bahwa sektor pertambangan dan
penggalian (pp) memiliki pertumbuhan yang rendah di tingkat provinsi, tetapi mempunyai
pertumbuhan yang tinggi di tingkat kawasan Panturan Jawa Barat. Sedangkan sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan memiliki pertumbuhan yang rendah baik di Pantura Jawa Barat maupun
Provinsi Jawa Barat. Hasil selengkapnya mengenai model rasio pertumbuhan di Pantura Jawa Barat
dan Provinsi Jawa Barat tersaji pada tabel 4 dan 5.
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 106 dari 108
Tabel 4. RPs Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor Pertambangan dan
Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
RPs dan Notasi Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 s.d. 2015
KB
Not.
KC
Not.
KI
Not.
KK
Not.
KS
Not.
KoC
Not.
PKP
-1,78
-
-0,21
-
2,00
+
0,00
-
0,87
-
0,40
-
PP
6,35
+
-1,82
-
-3,09
-
2,85
+
3,90
+
0,00
+
Tabel 5. MRP Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor Pertambangan dan
Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
RPs Pantura Jawa Barat
RPr Provinsi Jawa Barat
Nilai
Notasi
Nilai
Notasi
PKP
0,58
-
0,14
-
PP
1,41
+
-0,15
-
3. Analisis Overlay di Pantura Jawa Barat
Analisis overlay menggunakan LQ rata-rata sebagai kriteria kontribusi selama periode 2011
hingga 2015. Sedangkan untuk kriteria pertumbuhan menggunakan analisis MRP, tepatnya
menggunakan nilai RPs rata-rata selama periode 2011 hingga 2015 di Pantura Jawa Barat.
Tabel 6. Hasil Analisis Overlay Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (PKP) serta Sektor
Pertambangan dan Penggalian (PP) di Kawasan Pantura Jawa Barat
Tahun 2011 hingga 2015
Sektor
RPs Pantura
Jawa Barat
RPr Provinsi
Jawa Barat
LQ Pantura
Jawa Barat
Hasil
Overlay
Nilai
Notasi
Nilai
Notasi
Nilai
Notasi
PKP
0,58
-
0,14
-
0,77
-
- - -
PP
1,41
+
-0,15
-
1,87
+
+ - +
Berdasarkan analisis ini, diketahui bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan di
Kawasan Pantura Jawa Barat kurang memiliki daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih
unggul dibandingkan dengan sektor yang sama di Provinsi Jawa Barat. Sementara itu, sektor
pertambangan dan penggalian merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi di kawasan Pantura Jawa
Barat. Dari analisis ini pula terlihat bahwa sektor yang langsung bertumpu pada pemanfataan sumber
daya alam di kawasan Pantura Jawa Barat belum memliki daya saing kompetitif maupun komparatif
yang lebih unggul dibanding sektor yang sama di tingkat Provinsi Jawa Barat. Hal ini menunjukan
bahwa optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam baik terrestrial dan akuatis di Pantura Jawa
Barat masih belum optimal dan hanya unggul pada sektor pertambangan dan penggalian.
E. PENUTUP
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sektor basis yang bertumpu secara langsung dengan
sumber daya alam baik terrestrial dan akuatis di kawasan Pantura Jawa Barat bertumpu pada sektor
pertambangan dan penggalian selama periode 2011 hingga 2015. Sektor ini memiliki pengganda basis
22,50. Selain itu, berdasarkan analisis model rasio pertumbuhan juga diketahui bahwa sektor
pertambangan dan penggalian di kawasan Pantura Jawa Barat memilki pertumbuhan yang melebihi
pertumbuhan sektor yang sama di Provinsi Jawa Barat. Akhirnya, semua model analisis tersebut
disatukan dalam bentuk analisis overlay yang menujukan bahwa sektor pertambangan dan
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 107 dari 108
penggalian di Pantura Jawa Barat memiliki potensi daya saing yang unggul di Provinsi Jawa Barat.
Diharapkan melalui penelitian ini mampu meningkatkan marwah dan upaya pembangunan ekonomi
yang bertumpu pada sektor-sektor unggulan, khususnya yang berbasis pada optimalisasi
pemanfataan sumber daya alam baik di tingkat regional maupun nasional dapat berjalan dengan baik
dan berkelanjutan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik [BPS]. (2015). Produk Domestik Bruto Indonesia Triwulanan 2011-2015. Jakarta:
BPS.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi [BPS Kab. Bekasi]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Bekasi menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Bekasi: BPS Kab. Bekasi.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon [BPS Kab. Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Cirebon menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Sumber: BPS Kab. Cirebon.
Badan Pusat Statistik Kota Cirebon [BPS Kota Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto Kota
Cirebon menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Cirebon: BPS Kota Cirebon.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu [BPS Kab. Indramayu]. (2016). Produk Domestik Regional
Bruto Kabupaten Indramayu menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Indramayu BPS Kab.
Indramayu.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat [BPS Jawa Barat]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi Jawa Barat menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Bandung: BPS Prov. Jabar.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang [BPS Kab. Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional
Bruto Kabupaten Karawang menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Karawang: BPS Kab. Cirebon.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang [BPS Kab. Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Subang menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Sumber: BPS Kab. Subang.
David. (2011). Top Resource-Rich Countries with Exposure to Emerging Markets. Tersedia [dalam
jaringan] http://topforeignstocks.com/2011/07/30/top-resource-rich-countries-with-exposure-
to-emerging-markets/. Diakses 4 Desember 2016.
Gantara, W. P. dan T. Achmadi. (2012). “Model Pengembangan Wilayah Untuk Pembangunan
Pelabuhan: Studi Kasus Pantai Selatan Jawa Timur”. Jurnal Teknik Pomits (Publikasi Ilmiah
Online Mahasiswa ITS), Vol. 1, No. 1, hlm. 1-6.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2013). DKI Jakarta, Jawa Timur,
dan Jawa Barat Penyumbang Terbesar PDB Kuartal IV-2013. Tersedia [dalam jaringan]
https://www.ekon.go.id/berita/view/dki-jakarta-jawa-timur-dan.516.html. Diakses 4
Desember 2016.
Lloyd, P. E. dan P. Dicksen. (1990). Location in Space (Theoretical Perspectives in Economic Geography).
New York: Harper & Row.
Manacika, I. K. (2010). Dampak Pariwisata Terhadap Permintaan Output Sektor Pertanian di Provinsi
Bali. Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.
Mankiw, N. G. (2012). Essentials of Economic. Mason: Cengage Learning.
Muta'ali, L. (2015). Teknik Analisis Regional. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM.
Nisa, H. (2014). Analisis Potensi dan Pengembangan Wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Skripsi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Diponegoro.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat [Pemprov Jawa Barat]. (2013). Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat. Bandung: Bappeda Jabar.
Putra, A. N. (2013). Analisis Potensi Ekonomi Kabupaten dan Kota Di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Raven, P. H., D. M. Hassenzahl, dan L. R. Berg. (2013). Environment. New York: Jhon Wiley and Sons.
Seminar Nasional Epicentrum 5.5 | http://geografi.upi.edu/
Halaman 108 dari 108
S&P Global Division. (2011). S&P Global BMI, S&P/IFCI Methodology. New York: S&P Dow Jones Indices
LLC.
Sabar, W. (2015). “Sektor Potensial Pengembangan Ekonomi Wilayah”. Jurnal EcceS (Economics,
Social, and Development Studies), Vol 2 (1), hlm. 48-61.
Sauter, M. B., C. B. Stockdale, dan P. Ausick. (2012). The World’s Most Resource-Rich Countries.
Tersedia [dalam jaringan] http://247wallst.com/special-report/2012/ 04/18/the-worlds-most-
resource-rich-countries/ . Diakses 4 Desember 2016.
Sukma, A. F. (2015). “Efek Pengganda Infrastruktur Pekerjaan Umum dalam Perekonomian Provinsi
Bali”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, vol. 26, no. 2, hlm. 100-110, Agustus 2015. DOI:
10.5614/jpwk.2015.26.2.3
Sultani, A. M. (2016). “Pengembangan Wilayah Berbasis Pendekatan Sosial Ekonomi di Kabupaten
Barru Provinsi Sulawesi Selatan”. Jurnal Planomadani, vol. 5 (1) 2016. ISSN 2301 - 878X.
Syahrullah, D. (2012). Analisis pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendidikan, dan
Pengangguran terhadap Kemiskinan di Provinsi Banten Tahun 2009-2012. Skripsi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis.
Tarigan, R. (2015). Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
... The impact of global warming and pollutants is felt by almost all people who live in cities and villages, highlands and lowlands. Cirebon as a coastal area which is one of the regional fishery commodity centers [9]. This region is able to supply fish needs for other regions. ...
Article
Full-text available
Climate change and environmental pollution are interrelated global phenomena. Communities whose lives depend on natural resources have felt many negative impacts from both. Coastal communities, which mostly depend on the capture fisheries, are a vulnerable group to these threats. The study aims to reveal the adaptation of coastal communities in Cirebon, Indonesia to facing climate change and environmental pollution. This research is located in Gebang Cirebon Regency. Data were obtained from field observations and unstructured interviews which were synthesized to know their adaptive behaviour. We found the adaptation of coastal communities through non-environmentally fishing gears, expansion of fishing areas, burden of debt and capital, not optimal fisherman regeneration, and changes in occupation. Despite changes in mindset, attitude, and behaviour, these adaptations have the potential to threaten a regional and national economy because the fisheries sector is the main contributor of gross domestic product. Declining yield catches and the desire to obtain high economic benefits quickly without paying attention to sustainability, are also the main driving factors for the emergence of maladaptive behaviour in coastal communities. Without serious attention, climate change and environmental pollution will trigger socio-economic impacts that are worse than COVID-19 pandemic.
... pangan sebesar 10,47 % dan tanaman hortikultura sebesar 7,58 %. Jawa Barat merupakan Provinsi yang memiliki potensi pertanian yang besar, salah satu sentra pertanian yang menjadi penyuplai pangan bagi masyarakat Indonesia (Dede et al., 2018;Rachmat, 2013). Strategi pengembangan sektor pertanian Provinsi Jawa Barat, tertuang dalam Visi, Misi, Tujuan, Sasaran dan Indikator Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Jawa Barat Tahun 2018-2023. ...
Article
Full-text available
This paper aims to study collaboration between actors in the horticultural agricultural entrepreneurship ecosystem in West Java. The research method used in this paper is descriptive – qualitative analysis, with an analytical focus on quadruple helix collaboration between farming actors, government, universities and the agricultural industry, analyzing the knowledge transfer process carried out between the actors involved, to develop agricultural entrepreneurship. The research results explain that strengthening human resources and agricultural institutions is the main aspect in creating a competitive and productive agricultural entrepreneurship ecosystem. In its implementation, these programs have helped farmers in developing their farming businesses, both in terms of on-farm cultivation and farming management. However, on the other hand, program implementation in the field is still limited and not sustainable. To overcome this, synergistic collaboration is needed between the actors involved (government, universities, industry and farming actors). Information openness and intense communication can help the synergy process, so that the actors involved can mutually strengthen each other, making it easier to achieve activity outcomes, namely creating a conducive, productive and competitive agricultural entrepreneurship ecosystem.
... Pembangunan sektor pertanian bukan hanya sebatas bagaimana memproduksi produk pertanian dalam menyediakan stok pangan nasional, tetapi juga memiliki peran yang cukup besar kontribusinya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan dan perekonomian nasional maupun regional serta penyediaan bahan baku bagi industri olahan yang berbasis tanaman pangan (Dede, Sewu, Yutika, & Ramadhan, 2018). Beras yang merupakan salah satu produk dari pertanian belakangan ini mengalami banyak masalah dalam hal penyediaan stok untuk kebutuhan nasional. ...
Article
Full-text available
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan sebagian besar wilayah ini Indonesia terdiri dari lahan pertanian maka dari itu Indonesia dijuluki sebagai negara agraris. Sektor pertanian dituntut terus berperan dalam perekonomian nasional. Peranan sektor pertanian yang tangguh seperti yang diharapkan dalam proses pembangunan, setidaknya mencakup empat aspek: Pertama, kemampuannya dalam menyediakan pangan bagi rakyat. Kedua, memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat. Ketiga, menghemat dan menghimpun devisa dan yang keempat, sebagai dasar yang memberikan dukungan terhadap sektor yang lain. Tujuan dari kegiatan pengoperasian mesin perontok padi pada sistem lorong hembus ini adalah menghasilkan masyarakat yang terampil dan tanggap akan teknologi tepat guna sekaligus mempunyai motivasi terkhususnya petani Kenagarian Andiang Kecamatan Suliki Kabupaten 50 Kota. Melalui kegiatan ini juga masyarakat memperoleh pengetahuan baru tentang teknologi yang dapat membantu petani untuk mengoperasikan mesin perontok padi. Hasil dari pelaksanaan kegiatan ini memberikan maanfaat yang signifikan terhadap proses kerja petani dalam pengoperasian mesin perontok padi. Tingkat kepuasan dan penilaian petani terhadap mesin perontok padi ini sangat tinggi karena efektif secara konstruksi dan efisien secara operasionalnya.
... Keberadaan khlorofil-a dengan kadar yang tinggi saat ini sulit ditemukan pada radius puluhan kilometer dari dermaga, sehingga merugikan nelayan. Ironisnya, bila sektor perikanan dan kelautan di Gebang mengalami penurunan berpotensi mempengaruhi produktivitas sektor lain, karena berperan sebagai sektor basis (Dede et al., 2016). ...
Article
Full-text available
Kecamatan Gebang merupakan salah satu wilayah pesisir di Cirebon yang cukup dinamis. Selama periode 1915-2019, garis pantai Gebang cenderung mengalami akresi yang mencapai 585 Ha dengan fenomena abrasi tidak signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak fisik maupun sosial dinamika perubahan garis pantai di Kecamatan Gebang. Data perubahan garis pantai diperoleh dari peta topografi Hindia Belanda dan citra satelit Landsat. Selama 104 tahun, lahan akresi sebagian besar telah berubah menjadi tambak dan penggaraman seluas 487,89 Ha, vegetasi mangrove seluas 41,92 Ha dan sisanya berupa sawah, badan air, lahan terbangun, lahan kosong, perkebunan, dan semak. Akresi tidak selamanya menguntungkan bagi masyarakat, namun membawa dampak merugikan bagi nelayan. Akresi menyebabkan kekeruhan bagi perairan Gebang, sehingga kadar khlorofil-a yang optimal sulit ditemukan pada radius belasan kilometer dari dermaga secara signifikan dengan r-square 0,84. Akresi juga berdampak pada penurunan salinitas sebesar 3,79 ppt yang menyebabkan kerugian bagi petani garam, selain disebabkan oleh kehadiran bangunan rekayasa pantai. Dari segi ekonomi, perubahan garis pantai memiliki dampak yang variatif bagi penduduk sekitar di antara nelayan, petani garam, dan petambak ikan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk dampak negatif dari perubahan garis pantai agar kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sosial-ekonomi dapat terjaga.
... Bad policy decreasing social-economic has other implication in disaster management especially low resilience of society [6][7][8]. Mount Sinabung eruption bring multiplier effect to social-economic conditions and livelihood in regional scale because some basic sector and functionality of infrastructures were change by the disaster [9,10]. The study thus aims to explore the underlying factors of the returning relocated inhabitants from the relocation area to their home village and those who refused to move and stayed at the red zone area. ...
Article
Full-text available
Mount Sinabung has long been dormant. Since 2010, the great giant has woken up from the big sleep and has periodically been erupting ever since. The series of eruption resulted in catastrophic damage to many of the surrounding area, resulted in inhabitable villages. Many of the relocated inhabitants returned to their home village for one or more reasons while some others never moved at all. This indicated that there are some problems in the relocation policy. As a part of the research project ‘The Socio-Economic Impact of Relocation Policy to the Communities Affected by Mount Sinabung Eruption’, this study aims to explore the underlying factors of the returning relocated inhabitants from the relocation area to their home village and those who chose to stay in the andger area. The results demonstrated that the loss of source of income and the lack of alternative livelihood strategy are the main reasons to leave the relocation area. The secondary reason is the difficult access to children’s education and the problematic policy. From the results we learned that housing quality and the supporting facility are not the only factor that needs to be considered in the relocation plan.
... Kegiatan pertambangan merupakan salah satu sector yang berkontribusi besar terhadap PDB di Indonesia (Dede, Sewu, Yutika, & Ramadhan, 2018;Mangilaleng, Rotinsulu, & Rompas, 2015;Sulaksono, 2015) yang secara tidak langsung juga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, sektor pertambangan dan penggalian pada Triwulan I 2020 memberikan kontribusi sebesar 6,82 persen dari total PDB (BPS, 2020). ...
Article
Full-text available
Penegakan hukum pengelolaan tambang merupakan salah satu upaya pengendalian dalam mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam tanpa menimbulkan eksternalitas negative terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hukum pengelolaan tambang khususnya tambang galian C di Indonesia, penerimaan masyarakat terhadap produk hukum tersebut baik pelaku usaha tambang maupun masyarakat sekitar area tambang, dan alternative strategi yang dapat digunakan pemerintah dalam penerapan produk hukum tersebut. Metode pendekatan penelitian adalah kajian kepustakaan. Hasil penelitian ini adalah telah terdapat Undang-Undang dan Peraturan yang mengatur tentang pengelolaan tambang Galian C di berbagai daerah tambang di Indonesia, namun kesadaran hukum masyarakat khususnya pelaku usaha masih rendah dengan semakin banyaknya penambangan illegal dan pelanggaran aturan penambangan. Alternatif strategi yang dapat diambil pemerintah antara lain adanya penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan, diadakannya sosialisasi produk hukum dari skala rendah, dan adanya kegiatan pengawasan dan rehabilitasi kerusakan.
... In the long term, the lack of supervision and inaccurate environmental management of coal-fired power plants will lead to a bad policy that triggers poor execution for the community and Mundu Bay as open ecosystems. Whereas fisheries and marine activities are the basic sectors that have a multiplier effect on the socio-economic in Cirebon, it has a strong influence on other i.e industry and service sectors (Dede et al., 2016). ...
Article
Full-text available
The presence of Cirebon coal-fired power plant I and II caused negative effects to coastal morphology and the quality of marine waters. This also have negative impacts to the fisherman around that sea. This study aims to examine the impact of the Cirebon coal-fired power plant on the water quality of Mundu Bay, Cirebon Regency. Water quality is determined based on total suspended solids (TSS), sea surface temperatures (SST), chlorophyll-A, and salinity in the range 1999 – 2019. Data collection was carried out using satellite imagery of Landsat-5 TM, Landsat- 7 ETM+, and Landsat-8 OLI verified with in-situ field measurements, Sentinel-2 A MSI, and MODIS Aqua imageries. Changes in water quality due to the infrastructure of the two power plants are known through the Mann-Whitney U-Test and Spearman’s correlation analysis. This research shows that two Cirebon coal-fired power plant has a significant effect on changes in the quality of Mundu Bay waters. Changes in water quality are shown by a significant increase in TSS concentrations and SST values accompanied by a decrease in chlorophyll-A levels and salinity levels. Changes in the quality of these waters also disrupt marine biota habitat and cause fishermen in around are difficult to get the ideal catchment yield.
... Laut Jawa merupakan bagian dalam Perairan Indonesia yang menarik untuk diteliti. Ada beberapa alasan utama mengapa perairan ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, diantaranya perairan ini mempunyai potensi sumber daya hayati laut yang besar terutama perikanan laut [1], dan berhadapan langsung dengan beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dan Cirebon yang berfungsi sebagai lokasi pemukiman, perdagangan, perhubungan, perkembangan industri dan sektor lainnya [2]. Perairan Laut Jawa khususnya yang tersebar di wilayah utara Pulau Jawa antara Surabaya, Semarang, Banjarmasin dan Makassar merupakan jalur pelayaran yang padat. ...
Article
Full-text available
The Java Sea is an interesting part of Indonesian waters to be studied, because it has a great of marine biological resources, especially for marine fisheries. Until now, wave model data has become the main tool for providing sea wave height information, this condition is caused by the limited observation equipment to obtain ocean data. This study aims to understand the sea wave height patterns in the Java Sea using the Wavewatch-III model, and to determine the accuracy of the Wavewatch-III model data with observation data. Based on the output of the Wavewatch-III model, the significant wave height (Hs) in the Java Sea during the West Season period (DJF) obtained a range between 0.2 m - 1 m, with the dominant direction of the sea wave from the West, in the Transition Season I (MAM) period, the significant wave height in the Java Sea obtained a range between 0.4 m - 0.8 m, and the dominant direction of sea waves comes from the Southeast to the Northwest, in the East Season (JJA), significant wave height in the Java Sea obtained a range between 0.6 m - 1.4 m, with the dominant direction of sea waves coming from the Southeast to the Northwest, and in the Transition II (SON), significant wave height in the Java Sea obtained a range between 0.2 m - 0.4 m, with the dominant direction of sea waves coming from the Southeast to the West. The significant wave height peaks in the Java Sea occur during the East Season (JJA). The results of Wavewacth-III comparison with ECMWF, obtained a good correlation value, while comparison with observational data, obtained a low correlation value, and the wave height value of Wavewatch-III is higher than observation. The results of the comparison of the Wavewacth-III model with the ECMWF model show that Wavewatch-III has good performance with a CF value of 0.04, and an error value of 35.5%. While the comparison of the Wavewatch-III model to the observation data, a low correlation value is obtained, which is only 0.32 and the Hs value of the Wavewatch-III model is higher than the observation.
Article
Full-text available
This paper aims to study the collaboration between actors in the horticultural agricultural entrepreneurship ecosystem in West Java. The research method used in this paper is descriptive - qualitative analysis, with the focus of analysis on the quadruple helix collaboration between farming actors, government, universities and the agricultural industry, analyzing the knowledge transfer process carried out among the actors involved, to develop agricultural entrepreneurship. The results explain that strengthening human resources and agricultural institutions are the main aspects in creating a competitive and productive agricultural entrepreneurship ecosystem. In its implementation, the programs have helped farmers in the development of farming, both in terms of onfarm cultivation and farm management. But on the other hand, the implementation of the program in the field is still limited and not sustainable. To overcome this, synergistic collaboration is needed among the actors involved (government, universities, industry and farming actors). Information disclosure and intense communication can help the synergy process, so that the actors involved can strengthen each other, facilitating the achievement of activity outcomes, namely creating a conducive, productive and competitive agricultural entrepreneurship ecosystem.
Article
Full-text available
Permasalahan yang dihadapi Indonesia pada tahun 2020-2021 adalah minimnya produksi pangan yang mengakibatkan Indonesia harus melakukan Import beras dari negara tetangga. Hal ini dimungkinkan karena masih belum serius dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani. Kabupaten Pasaman Barat merupakan salah satu daerah perbatasan provinsi Sumatera Barat yang luas akan lahan pertaniannya. Salah satu wilayah di Pasaman Barat yang mayoritas masyarakatnya bertani padi adalah Kenagarian Parit. Para petani padi di Kenagarian Parit masih banyak menghadapi permasalahan-permasalahan dalam penangan padi, terutama pada pasca panen. Dari pemantauan tim pengabdian dan info yang didapatkan dari kelompok tani KWT-Bundo Ramai Sejahtera, petani masih kekurangan alat dalam penanganan pada pasca panen, sehingga petani masih banyak melakukan perontokan dengan cara memukulkan padi pada alat yang masih sederhana. Kegiatan yang bersifat konvensional ini menjadikan lambatnya penanganan padi pada pasca penen. Dampak dari keterlambatan penanganan pada pasca panen dapat mengakibatkan susut hasil panen dan menurunnya kualitas gabah. Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat telah dilaksanakan terhadap masyarakat khalayak sasaran. Dalam pelaksanaan tujuan kegiatan telah tercapai. Dari evalusai yang dilakukan telah terjadi peningkatan pengatahuan masyarakat di Kenagarian Parit untuk memanfaatkan teknologi pada penanganan padi pada pasca panen. Peningkatan nilai ekonomis yang dihasilkan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di Kenagarian Parit.
Article
Full-text available
Pelabuhan merupakan pintu gerbang dalam terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat tercipta apabila didukung oleh beberapa faktor yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia masing – masing daerah. Sumber daya alam dapat berupa sektor poyensial suatu daerah yang dapat dikembangkan sehingga dapat di ekspor ke luar daerah. Untuk mencari sektor yang potensial di tiap daerah Jawa Timur Selatan, maka digunakanlah beberapa metode analisis diantaranya yaitu Location Quotient dan Shift Share. Metode Shift Share memiliki tiga komponen yaitu Differential Shift, Proportional Shift dan Regional Share. Dari hasil perhitungan analisis yaitu LQ dan Shift Share, maka dapat dilihat bahwa Sektor Pertanian, Pertambangan, Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan dan sektor Jasa merupakan sektor potensial. Biaya transportasi distribusi muatan ekspor dari Pelabuhan Tanjung Wangi ke Benoa yang paling minimum adalah Rp 16.350.021 dengan DWT 1050 ton dan biaya angkut per ton sebesar Rp 15.571. Dengan BOR pelabuhan sebesar 85.57%, maka panjang dermaga yang dibutuhkan sebesar 573 meter.
Article
Full-text available
Abstrak. Infrastruktur merupakan salah satu sektor yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Efek pengganda dapat digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa besar peran infrastruktur dalam perekonomian. Melalui efek multiplier juga dapat dilakukan perbandingan berbagai sektor dalam perekonomian sehingga pada akhirnya akan dapat diketahui sektor mana yang paling dominan dalam perekonomian di suatu wilayah. Dengan kata lain semakin tinggi efek multipliernya maka semakin besar pula peran sektor tersebut dalam perekonomian. Artikel ini mencari tahu seberapa besar efek multiplier infrastruktur Pekerjaan Umum (PU) dalam perekonomian Provinsi Bali. Infrastruktur disini dibatasi hanya untuk infrastruktur PU dengan pertimbangan karena Kementerian Pekerjaan Umum merupakan Kementerian yang mengurusi infrastruktur dengan porsi anggaran terbesar dalam APBN. Sementara pemilihan Provinsi Bali dilandasi atas pemikiran bahwa Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi termaju di Indonesia dengan perekonomian yang sudah bertumpu pada sektor tersier. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah analisis input-output dengan bersumber dari Tabel Inter Regional Input Output (IRIO) Provinsi Bali Tahun 2005 untuk menghitung 3 efek multiplier yaitu output multiplier (OM), single household income multiplier (SHIM) dan simple employment multiplier (SEM). Berdasarkan analisis yang dilakukan maka ditemukan bahwa peran infrastruktur PU dalam perekonomian Provinsi Bali ternyata tidak terlalu besar. Kemampuan infrastruktur PU dalam menggerakkan perekonomian, meningkatkan pendapatan rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja masih sangat kecil terutama jika dibandingkan dengan sektor industri.Kata kunci. Infrastruktur, analisis input-output, efek pengganda, Bali Abstract. Infrastructure is one of sectors which can encourage regional economic growth in a region. Multiplier effect can be used as a tool to determine the role of infrastructure in the economy. Multiplier effect also can be used to compare sectors in economy so in the end it can be revealed the dominant sector in a region. The higher the multiplier effect, the bigger the sector role in the economy. This article tried to determine the multiplier effect of PU infrastructure in Bali Province economy. Infrastructure here was limited only to PU infrastructure because the Ministry of Public Work (PU) is the Ministry that administer infrastructure with bigest allocation budget from the state budget (APBN). Meanwhile Bali Province was chosen because Bali is one of the most developed provinces in Indonesia. The method used in this article was input – output analysis by using 2005 Bali Province inter regional input output (IRIO) table. There are 3 (three) multiplier effects revealed: output multiplier (OM), single household income multiplier (SHIM) and simple employment multiplier (SEM). The conclusion is that the ability of PU infrastructure to generate the economy, raise the household income and absorb the employment is insignificant compared to the industrial sectors.Keywords. Infrastructure, input – output analysis, multiplier effect, Bali
Book
Tujuan penyusunan buku ini adalah untuk membantu para pembaca, memahami bahwa isi buku ini merupakan bagian tidak terpisahkan dan sangat penting dalam kelangsungan pembangunan regional masa sekarang dan masa yang akan datang. Buku ini berisi materi yang dapat digunakan baik oleh tenaga pengajar maupun mahasiswa, serta para pembaca umumnya untuk menambah wawasan berpikir dan ilmu yang berkenaan dengan Ekonomi dan Bisnis. Buku ini terdiri dari 11 Bab yang membahas tentang: Bab 1 Definisi dan Ruang Lingkup Ekonomi Regional Bab 2 Konsep Ekonomi Regional Bab 3 Konsep Pendapatan Regional Bab 4 Teori Basis Ekonomi Bab 5 Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Bab 6 Analisis Potensi Relatif Perekonomian Wilayah Bab 7 Aglomerasi Ekonomi dan Biaya Transportasi Bab 8 Konsep Ekonomi Perkotaan Bab 9 Teori Lokasi Bab 10 Kebijakan Regional Bab 11 Peluang Dan Tantangan Kerjasama Perekonomian Regional Buku ini dapat terwujud dan diterbitkan hanya dengan modal semangat kolaborasi yang solid tim penulis yang berasal dari berbagai Perguruan Tinggi dan Instansi. Penyusunan buku ini juga merupakan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karawang menurut Lapangan Usaha
  • Badan Pusat Statistik Kabupaten
  • Karawang
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang [BPS Kab. Cirebon]. (2016). Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karawang menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Karawang: BPS Kab. Cirebon.
Top Resource-Rich Countries with Exposure to Emerging Markets. Tersedia
  • David
David. (2011). Top Resource-Rich Countries with Exposure to Emerging Markets. Tersedia [dalam jaringan] http://topforeignstocks.com/2011/07/30/top-resource-rich-countries-with-exposureto-emerging-markets/. Diakses 4 Desember 2016.
DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat Penyumbang Terbesar PDB Kuartal IV-2013. Tersedia [dalam jaringan] https
  • Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik
  • Indonesia
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2013). DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat Penyumbang Terbesar PDB Kuartal IV-2013. Tersedia [dalam jaringan] https://www.ekon.go.id/berita/view/dki-jakarta-jawa-timur-dan.516.html. Diakses 4
Location in Space (Theoretical Perspectives in Economic Geography)
  • P E Lloyd
  • P Dicksen
Lloyd, P. E. dan P. Dicksen. (1990). Location in Space (Theoretical Perspectives in Economic Geography). New York: Harper & Row.
Dampak Pariwisata Terhadap Permintaan Output Sektor Pertanian di Provinsi Bali. Tesis Program Pasca Sarjana
  • I K Manacika
Manacika, I. K. (2010). Dampak Pariwisata Terhadap Permintaan Output Sektor Pertanian di Provinsi Bali. Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.
Essentials of Economic
  • N G Mankiw
Mankiw, N. G. (2012). Essentials of Economic. Mason: Cengage Learning.
Teknik Analisis Regional
  • L Muta 'ali
Muta'ali, L. (2015). Teknik Analisis Regional. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM.