ArticlePDF Available

FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIA

Authors:

Abstract

Sejak reformasi bergulir, Indonesia mengalami transisi demokrasi setelah selama 32 tahun di bawah rezim otoriter Soeharto. Demokrasi membuka peluang bagi lahirnya berbagai macam organisasi baik politik, ekonomi maupun agama sebagai manifestasi kebebasan berekspresi. Tak pelak, periode transisi ini juga membuka ruang bagi menjamurnya organisasi keagamaan dengan beragam karakternya. Munculnya berbagai macam organisasi islam militan seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahiddin Indonesia (MMI) dan Jamaah Islamiyah (JI) untuk menyebut beberapa nama merupakan konsekwensi logis bagi kebebasan yang ada. Namun demikian, keberadaan organisasi ini dinilai membahayakan sebab tidak jarang dalam aktifitasnya selalu menebarkan kebencian, teror dan aksi kekerasan. Lebih tragis lagi organsiasi yang disebut terakhir (JI) merupakan institusi yang disinyalir bertannggung jawab atas marakanya aksi pengeboman yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia selama ini. Realitas ini semakin menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme mengancam semangat toleransi beragama yang menjadi ciri khas Islam Indonesia. Apa saja faktor pendukung radikalisme dan terorisme tersebut? Studi ini menguraikan bahwa radikalisme dan terorisme tumbuh karena dua faktor fundamental yakni deprivasi ekonomi dan ketidakadilan politik. Dalam konteks ekonomi, studi ini menjelaskan bahwa kemiskinan mendorong radikalisme dan terorisme karena rasa frustasi berkepanjangan serta kesenjangan ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan diskriminatif pemerintah. Dalam konteks politik, radikalisme dan terorisme muncul sebagai bentuk protes kelompok islam militan dengan sistem politik sekuler (demokrasi). Pelaksanaan demokrasi memicu kelompok islam militan berupaya untuk mengganti sistem politik yang ada dengan syariat islam. Kelompok ini mengklaim bahwa Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim di dunia harus melaksanakan sistem politik Islam (Khilafah). Disisi lain, demokrasi dinilai tidak bisa memecahkan berbagai persoalan seperti kemiskinan yang tetap merajalela, moral masyarakat semakin tidak tertata dan sebagaianya. Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh dikarenakan oleh ketidakadilan global. Kebijakan (standar ganda) luar negeri AS terhadap Negara-negara Islam (timur tengah) menimbulkan reaksi keras dari kelompok Islam militan Indonesia terhadap Negara-negara barat (USA).Reaksi inilah yang pada gilirannya memicu kelompok islam militan melakukan aksi kekerasan dan ancaman teror sebagai bentuk perlawanan mereka.
0
FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA RADIKALISME DAN TERORISME DI
INDONESIA
OLEH: FATKHURI, S.IP, MA, MPP
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
Abstrak
Sejak reformasi bergulir, Indonesia mengalami transisi
demokrasi setelah selama 32 tahun di bawah rezim otoriter
Soeharto. Demokrasi membuka peluang bagi lahirnya berbagai
macam organisasi baik politik, ekonomi maupun agama sebagai
manifestasi kebebasan berekspresi. Tak pelak, periode transisi
ini juga membuka ruang bagi menjamurnya organisasi keagamaan
dengan beragam karakternya. Munculnya berbagai macam
organisasi islam militan seperti Front Pembela Islam (FPI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahiddin Indonesia
(MMI) dan Jamaah Islamiyah (JI) untuk menyebut beberapa nama
merupakan konsekwensi logis bagi kebebasan yang ada. Namun
demikian, keberadaan organisasi ini dinilai membahayakan sebab
tidak jarang dalam aktifitasnya selalu menebarkan kebencian,
teror dan aksi kekerasan. Lebih tragis lagi organsiasi yang
disebut terakhir (JI) merupakan institusi yang disinyalir
bertannggung jawab atas marakanya aksi pengeboman yang terjadi
di beberapa wilayah di Indonesia selama ini. Realitas ini
semakin menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme mengancam
semangat toleransi beragama yang menjadi ciri khas Islam
Indonesia.
Apa saja faktor pendukung radikalisme dan terorisme tersebut?
Studi ini menguraikan bahwa radikalisme dan terorisme tumbuh
karena dua faktor fundamental yakni deprivasi ekonomi dan
ketidakadilan politik. Dalam konteks ekonomi, studi ini
menjelaskan bahwa kemiskinan mendorong radikalisme dan
terorisme karena rasa frustasi berkepanjangan serta
kesenjangan ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan
diskriminatif pemerintah. Dalam konteks politik, radikalisme
dan terorisme muncul sebagai bentuk protes kelompok islam
militan dengan sistem politik sekuler (demokrasi). Pelaksanaan
demokrasi memicu kelompok islam militan berupaya untuk
mengganti sistem politik yang ada dengan syariat islam.
Kelompok ini mengklaim bahwa Indonesia dengan mayoritas
penduduk muslim di dunia harus melaksanakan sistem politik
Islam (Khilafah). Disisi lain, demokrasi dinilai tidak bisa
memecahkan berbagai persoalan seperti kemiskinan yang tetap
1
merajalela, moral masyarakat semakin tidak tertata dan
sebagaianya. Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh
dikarenakan oleh ketidakadilan global. Kebijakan (standar
ganda) luar negeri AS terhadap Negara-negara Islam (timur
tengah) menimbulkan reaksi keras dari kelompok Islam militan
Indonesia terhadap Negara-negara barat (USA).Reaksi inilah
yang pada gilirannya memicu kelompok islam militan melakukan
aksi kekerasan dan ancaman teror sebagai bentuk perlawanan
mereka.
Kata Kunci: radikalisme, terorisme, ekonomi, politik, Islam,
Indonesia
A. PENDAHULUAN
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998,
radikalisme dan terorisme menjadi ramai diperbincangkan.
Reformasi membuka kran demokrasi yang tertutup selama 32
tahun selama rezim orde baru berkuasa. Alhasil, ruang
eskpresi yang terbuka lebar mendorong lahirnya banyak
organisasi dan gerakan keagamaan. Dalam masa ini,
berbagai macam kelompok/organisasi baik politik, ekonomi,
agama dan sebagainya menemukan tempat untuk
mengekspresikan kepentingannya. Menurut Azra (2003),
munculnya kelompok radikal di Indonesia diakibatkan oleh
disamping euforia demokrasi, juga karena dicabutnya
undang-undang anti-subversi oleh Presiden Habibie yang
pada gilirannya memberikan ruang yang lebar bagi kelompok
ekstrimis untuk mengekspresikan gagasan dan aktifitas
2
mereka (hal. 50). Sependapat dengan Azra, Abuza (2007)
juga mengatakan bahwa jatuhnya rezim otoriter Soeharto
memicu lahirnya kekuatan civil society secara masif yang
pada gilirannya memberikan ruang kepada kelompok tertentu
termasuk di dalamnya kelompok radikal (uncivil) yang
mengekspresikan kepentingannya dengan cara menebarkan
kebencian dan intoleransi dengan menggunakan cara-cara
kekerasan (violence) (hal.67).
Diskursus radikalisme dan terorisme semakin memanas pasca
meletusnya peristiwa 11 September 2001 menyusul hancurnya
dua gedung kembar Word Trade Center (WTC) dan Gedung
Pertahanan Pentagon di Amerika Serikat. Banyak kalangan
barat menilai, pelaku bom tersebut dilakukan oleh
kelompok islam militan atau ekstrimis Al-Qaida pimpinan
Osama Bin Laden. Praktis sejak saat itu banyak negara-
negara barat melihat Islam sebagai agama yang identik
dengan kekerasan.Stereotype ini diperkuat dengan adanya
aksi bom lanjutan yang marak terjadi di hampir semua
belahan dunia seperti Indonesia (peristiwa Bom Bali I dan
II), negara-negara timur tengah (bom Afganistan dan
Pakistan) bahkan Eropa.
Sebagaimana diuraikan di awal, reformasi melahirkan
banyak gerakan keagamaan termasuk kelompok islam militan
(islam radikal) yang mengkonsolidasikan diri dan
menyerukan diberlakukannya syari’ah islam bahkan Negara
3
Islam (daulah islamiyah) di Indonesia. Beberapa
organisasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Front
Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Laskar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan
Jamaah Islamiyah (JI).
Secara umum, organisasi-organisasi diatas acapkali turun
jalan (demonstrasi) untuk menuntut pemerintah
memberlakukan syari’at islam dan tidak jarang kelompok
islam militan ini melancarkan aksinya dengan menggunakan
cara-cara kekerasan. Salah satu cara yang dipakai
kelompok ini adalah melakukan razia ke Kafe, diskotik,
kasino dan lain-lain terutama di bulan ramadhan. Fenomena
ini pada gilirannya memantik banyak kecaman dari publik
sebab keberadaannya tidak hanya meresahkan masyarakat
tetapi juga menimbulkan rasa takut publik akan ancaman
teror yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Dengan melihat realitas tersebut diatas, pertanyaan yang
diajukan dalam makalah ini adalah apa saja faktor-faktor
yang mendukung terbentuknya radikalisme dan terorisme di
Indonesia. Hasil penelitian literatur ini menunjukan
bahwa radikalisme dan terorisme di Indonesia disebabkan
karena dua masalah fundamental yakni deprivasi ekonomi
(kemiskinan) dan ketidakadilan politik.
4
B. Radikalisme dan terorisme: Tinjauan Teoritis
Arti Radikalisme dan Terorisme
Sebelum jauh mendiskusikan faktor-faktor penyebab
radikalisme dan terorisme, alangkah baiknya lebih dahulu
melacak apa sebenarnya arti/makna dari radikalisme dan
terorisme itu sendiri. Hal ini penting untuk menghindari
kesalahan penafsiran dan misperspesi sehingga memudahkan
kita memahami persoalan. Sebagaimana dikatakan oleh
Copland (2005) bahwa tidak hanya deskripsi teroris yang
mengalami kontradiksi satu sama lain, tetapi juga
deskripsi yang sama bisa dipakai untuk banyak orang di
dalam komunitas masyarakat yang berpartisipasi dalam aksi
teror (hal.43).
Uraian Copland di atas merefleksikan bahwa radikalisme
dan terorisme adalah masalah kompleks. Artinya, keduanya
bisa mendatangkan ruang perdebatan serta tafsiran yang
berbeda-beda sesuai dengan konteks, kepentingan dan
kondisi yang menyertainya.
Secara literal, kata radikal berasal dari bahasa latin
yang berarti akar. Sebagaimana dikutip oleh Adian
Husaini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990),
radikal diartikan sebagai secara menyeluruh”, habis-
habisan, amat keras menuntut perubahan”, dan maju
dalam berpikir atau bertindak, sedangkan radikalisme”,
diartikan sebagai: paham atau aliran yang radikal dalam
5
politik”, paham atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras
atau drastic”, sikap ekstrim di suatu aliran politik
(Republika 8/9/2009). Melihat definisi diatas, kita bisa
menganalisa, aktifitas atau tindakan dalam bentuk seperti
apa yang termasuk kategori radikal. Sementara dalam
konteks gerakan islam, aktifitas yang tergolong radikal
mempunyai beberapa kriteria tersendiri. Berkaitan dengan
hal ini, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (PPIM) (2004)
sebagaimana dikutip oleh Husaini menguraikan empat
kriteria radikal antara lain sebagai berikut:
1. mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang
mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan
sistem yang sedang berlangsung;
2. dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-
aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar
terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai
bertentangan dengan keyakinan mereka;
3. secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok
radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan
menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang
khas;
6
4. Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara
bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara
terang-terangan (Republika, 8/9/2009).
Sama halnya dengan radikalisme, terorisme mempunyai arti
ancaman dan tindakan dalam rangka membuat orang lain
takut. Secara harfiah, kata terorisme berasal dari bahasa
latin “terrere” yang berarti ‘bergetar’, dikombinasi
dengan akhiran ‘isme’ yang berarti ‘mempraktekan’ (Keling
Dkk 2009, hal. 32).
Sedangkan menurut Howard (2001), terorisme adalah salah
satu metode yang digunakan dalam peperangan. Dia
memberikan tiga kriteria aktifitas yang termasuk kategori
tindakan teror sebagai berikut:
1. aktifitas yang berhubungan dengan inisiasi propaganda
atau menarik perhatian dunia internasional dengan cara
menunjukan kemampuan (show of force);
2. aktifitas yang berhubungan dengan upaya memperlemah
musuh;
3. gerakan profokasi dan meyakinkan bahwa musuh bisa
diberdaya yang pada gilirannya dapat menarik simpati
dunia internasional bahwa tujuan-tujuan mereka telah
tercapai (Keling dkk. 2009, hal. 32).
Secara umum, terorisme termasuk tindakan kriminal yang
dilakukan oleh individu atau kelompok dalam rangka
membuat kerusakan sehingga tidak jarang mengakibatkan
7
kerusakan fasilitas publik dan jatuh korban. Hal ini
sebagaimana diuraikan oleh Henderson (2001)yang merujuk
pada definisi yang dibuat oleh Amerika bahwa terorisme
adalah aktifitas kriminal yang melibatkan
kekuatan(kekerasan) secara sengaja untuk tujuan-tujuan
tertentu (Keling dkk 2009, hal. 32).
Berkaitan dengan gerakan Islam radikal/militan, Abuza
(2007) membagi empat kategori dalam kelompok ini. Pertama
adalah muslim militan (laskar)yang melancarkan aksinya
dengan kekerasan (violence), akan tetapi hanya dalam
batas tertentu. Mereka ini disebut juga sebagai reactive
jihadists yang mana kekerasan digunakan untuk merespon
situasi atau kejadian tertentu. Kedua adalah kelompok
militan “Islamist”, yang mana gerakannya tersporadis,
cenderung menggunakan kekerasan, serta pengetahuan dan
interpretasi kelompok ini terhadap nilai-nilai islam
sangat literal (rudimentary). Ketiga adalah kelompok yang
terdiri dari mahasiswa radikal atau kelompok berbasis
kampus (university-based organizations). Kelompok ini
sangat anti terhadap barat yang mana para pengikutnya
cenderung simpatik terhadap penyebab-penyebab yang lebih
radikal. Keempat adalah organsiasi salafi murni (pure
Salafi organizations) dan organisasi dakwah seperti Hizb
ut-Tahrir yang melihat aksi politik dan aksi militer
8
sebagai gangguan dari tujuan purifikasi agama yang
menjadi agenda mereka (Abuza 2007, hal. 67).
Akar radikalisme dan terorisme
Studi tentang radikalisme dan terorisme banyak
menguraikan bahwa radikalisme dan terorisme disebabkan
oleh berbagai macam faktor seperti ekonomi dan politik.
Dari sisi ekonomi, hasil riset Djelantik (2006) di Jawa
Barat menyebutkan bahwa salah satu faktor pendukung
radikalisme dan terorisme adalah karena ketidakpuasan
publik (dissatisfaction) terhadap kebijakan pemerintah
yang tidak adil terhadap rakyat kecil. Selaras dengan
padangan Djelantik, Gottlieb (2009) juga menguraikan
bahwa dalam teori ilmu ekonomi liberal, setiap individu
mempunyai motivasi untuk hidup berkecukupan secara materi
(material well-being). Dalam kaitan ini, mereka yang
mempunyai kecukupan materi akan menerima sebuah sistem
dimana mereka tinggal dan beraktifitas secara damai,
sebaliknya mereka yang secara sosio-ekonomi mengalami
kesengsaraan (distress) dan kekurangan (deprivation)
mempunyai kecendrungan untuk berbuat radikal dan besar
kemungkinan menggunakan cara kekerasan (violent movement)
termasuk gerakan teroris (terrorist movement).
Uraian diatas merefleksikan bahwa kemiskinan akan
memudahkan kelompok tertentu untuk memperdaya mereka yang
9
miskin untuk tujuan-tujuan politis, idiologis, dan
sebagainya. Sebagaimana Hippel (2009) juga mengemukakan
bahwa kemiskinan akan memungkinkan seseorang mudah
berbuat radikal dan melakukan aksi teror sebab mereka
tertarik untuk mendapat bantuan jasa (charity) dari pihak
lain. Hipel (2009) memberikan contoh bahwa beberapa
kelompok islam dan partai politik, termasuk gerakan Al-
Qaeda dapat melebarkan pengaruhnya hanya dengan
memberikan bantuan jasa terhadap masyarakat miskin.
Menurut Hipel, kelompok teroris telah meluaskannya
pengaruhnya dan mendapatkan pengikut banyak karena
bantuan (charity) yang mereka berikan (2009, hal.53).
Hipel menunjukan fakta bahwa beberapa gerakan teroris di
Pakistan dan Afghanistan mengembangkan gerakannya dengan
cara memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin
dan terbukti beberapa orang yang melakukan bom bunuh diri
berasal dari keluarga tidak mampu.
Dalam konteks politik, radikalisme dan terorisme bisa
disebabkan oleh perlakuan diskriminatif penguasa terhadap
kelompok tertentu. Diskriminasi tersebut bisa berupa
tidak diakomodasinya aspirasi atau keinginan kelompok
tersebut sehingga mengakibatkan tindakan frontal dan
anarkis. Contohnya adalah aksi anarkisme yang dilakukan
oleh kelompok islam militan yang bertujuan untuk
mengganti sistem sekuler (demokrasi) dengan syari’ah
10
islam (daulah islamiyah). Kelompok ini beranggapan bahwa
demokrasi adalah sistem politik barat yang harus ditolak
karena tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam
kaitan ini, mengutip Crenshaw (1981), Keet menguraikan
bahwa terorisme lahir karena sebuah kegagalan perjuangan
politik dalam jangka waktu yang lama. Pada awalnya mereka
mengikuti garis politik yang telah ada, namun karena
berkali-kali gagal akhirnya membentuk faksi politik
sendiri dan melakukan aksi terorisme ( 2003, hal.24).
Dalam risetnya, Keet (2003) juga mengatakan bahwa untuk
menghindarkan potensi kekerasan atau tindakan teror,
pemimpin dalam sebuah Negara demokrasi harus mempunyai
kemampuan merespon kemauan kelompok radikal yang pada
gilirannya mengurangi informasi yang tidak simetris
sehingga potensi konflik bisa diminimalisir (hal.60).
Disisi lain, sebagaimana dikutip oleh Copland (2005),
Feliks Gross juga mengklaim bahwa terorisme lahir karena
kondisi tertentu seperti sosial dan politik, keberadaan
organisasi yang tidak sepakat dengan kondisi yang ada,
dan adanya individu yang ingin berpartisipasi. Jika salah
satu kondisi ini tidak terpenuhi maka kemungkinan prilaku
teroris tidak akan ada (hal.2). Dari penjelasan ini jelas
bahwa semua elemen saling melengkapi terjadinya aksi
terorisme. Dengan demikian, hasil interaksi semua
komponen tersebut pada akhirnya menciptakan sebuah
11
aktifitas radikal atau ekstrim. Kondisi ini menegaskan
argumentasi Copland (2005) bahwa radikalisme dan
terorisme lahir sebagai sebuah hubungan/interaksi
(interplay) antara faktor sosio-kultur masyarakat,
karakteristik individu, dan berbagai dinamika dari
organisasi teroris (hal.43).
C. Radikalisme dan Terorisme di Indonesia
Selama ini umum dipahami bahwa akar masalah radikalisme
dan terorisme adalah persoalan agama (perbedaan idiologi)
yakni Islam versus barat (non Islam). Perpsektif ini
tidak salah sebab secara umum kelompok islam radikal
menginginkan islam sebagai prinsip hidup yang harus
diadopsi dalam sistem ketatanegaraan. Namun demikian,
apakah agama (islam) betul-betul menjadi sebab kemunculan
radikalisme bahkan terorisme? Tentu saja kita tidak bisa
terburu-buru memberikan jawaban bahwa agama menjadi
faktor determinan dalam masalah ini. Dalam kaitan ini,
kita perlu mempertimbangkan akar masalah radikalisme dan
terorisme dengan menggunakan perspektif lain.
Melacak akar radikalisme dan terorisme sebetulnya sangat
kompleks. Artinya radikalisme dan terorisme tidak hanya
disebabkan oleh faktor tunggal sebagaimana disebutkan
diatas. Aspek politik, sosial dan ekonomi juga merupakan
12
bagian integral dan fundamental yang bisa menjadi sebab
kemunculan radikalisme dan terorisme.
Penting dicatat bahwa radikalisme dan terorisme bukan
fenomena baru di Indonesia. Dalam sejarahnya, radikalisme
dan terorisme disebabkan oleh adanya keinginan sekelompok
umat islam yang menginginkan permunian ajaran agama pada
masa pra-kemerdekaan. Dalam konteks ini, sebagian umat
islam dianggap tidak lagi berjalan sebagaimana ajaran
yang dianjurkan oleh Rasulullah dan tuntunan dalam Al-
Qur’an. Dus, faktor internal menjadi pemicu keberadaan
radikalisme daripada ancaman dari luar sebagaimana yang
terjadi saat ini. Faktor internal yang terjadi pada
sebelum periode modernisasi menurut Azyumardi Azra (2003)
termasuk ditandai dengan respon umat islam terhadap
kemunduran entitas politik islam dan konflik yang
berkelanjutan antar sesama umat islam (hal. 47). Menurut
Azra, banyak umat islam percaya bahwa kondisi
memprihatinkan yang dihadapi umat islam pada saat pra-
kolonial disebabkan karena degradasi moral dan sosial
umat islam sebagai dampak dari menganut kepercayaan dan
praktek agama yang salah sehingga radikalisme muncul
karena kebanyakan muslim meninggalkan atau tidak lagi
merujuk pada keaslian dan kebenaran ajaran agama hal.47).
Alhasil, beberapa kelompok umat islam merasa perlu untuk
meluruskan umat islam yang telah tersesat tidak hanya
13
dengan cara dakwah bil-lisan (ucapan) akan tetapi juga
dengan kekerasan (jihad).
Fakta ini juga menunjukan bahwa kemunculan radikalisme
dan terorisme pada masa sebelum kemerdekaan lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor idiologi (agama). Contoh dari
Gerakan ini termasuk kelompok Padri di Minangkabau
Sumatera Barat. Gerakan Padri lahir dengan agenda untuk
menyebarkan ajaran wahabi di Indonesia. Gerakan ini
muncul sejak abad 16 Masehi sampai awal abad 18. Menurut
Azumardy Azra, Gerakan Padri merupakan organisasi yang
bertujuan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam
sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW dan sahabat-
sahabatnya (2003, hal. 47). Namun demikian, pada
perkembangannya gerakan Padri tidak mendapatkan sambutan
yang menggembirakan dari masyarakat, sehingga gerakan ini
kemudian mati.
Pada konteks saat ini, radikalisme dan terorisme memiliki
corak yang sedikit berbeda dengan pada saat sebelum
kemerdekaan sebagaimana Gerakan Padri. Radikalisme dan
terorisme lahir karena berbagai macam sebab atau tidak
hanya karena persoalan agama. Berikut ini adalah dua
faktor pendukung terhadap kemunculan radikalisme dan
terorisme di Indonesia yakni deprivasi ekonomi dan
ketidakadilan politik.
14
Deprivasi Ekonomi
Berkaitan dengan masalah ekonomi, ada dua alasan mendasar
mengapa ketidakadilan ekonomi menjadi faktor pendukung
lahirnya radikalisme dan terorisme.
Pertama, radikalisme dan terorisme lahir sebagai akibat
dari rasa frustasi beberapa kelompok orang miskin yang
tidak bisa survive dalam kehidupannya. Kelompok yang
mengalami under-pressure dan frustasi berkepanjangan
rentan terhadap dua hal; 1) berbuat radikal (kekerasan);
2) mudah dipengaruhi pihak luar (kelompok tertentu) untuk
berbagai macam kepentingan. Alhasil, kondisi ini akan
sangat memudahkan para pimpinan teroris (jihadis) untuk
melakukan indoktrinasi dengan ajaran yang menyesatkan
terhadap kelompok miskin.
Gangguan psikologi (frustasi) pada seseorang
mengakibatkan mereka akan menerima apapun ajaran tanpa
reserve, terlebih ajaran tersebut menggunakan justifikasi
agama. Argumentasi ini bisa ditelisik dari fakta bahwa
para aktor pengeboman yang selama ini terjadi di berbagai
daerah di Indonesia seperti Imam Samudera dari Banten dan
Amrozi dari Lamongan Jawa Timur adalah orang-orang dari
latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Disisi lain
pelaku bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan
yakni Ahmad Hasan yang merupakan karyawan PT Pertani
Blitar dan Agus Ahmad seorang karyawan PT Sajira di
15
Jakarta juga berasal dari latar belakang ekonomi lemah
(CMMI 2006).
Sama halnya dengan pelaku bom di beberapa tempat
sebagaimana disebutkan di atas, penangkapan beberapa
anggota teroris di Kabupaten Temanggung tahun 2009 juga
menjadi bukti bahwa kemiskinan melahirkan rasa frustasi
yang berujung pada aksi radikal.Sebagaimana diketahui
bersama, para aktor yang terlibat aksi teroris di
Temanggung umumnya adalah kelompok pemuda yang frustasi
karena kehidupan di desanya tidak menjanjikan. Fakta
menunjukan bahwa sejak akhir tahun 1990 dan awal 2000,
masyarakat pedesaan di Temanggung mengalami goncangan
ekonomi seiring jatuhnya harga komoditas tembakau yang
semula menjadi penyangga kesejahteraan warga setempat.
Jatuhnya harga tembakau tersebut membuat sebagian warga
desa tidak lagi dapat menikmati kesejahteraan sebagaimana
yang mereka rasakan sebelumnya. Pada perjalannya,
generasi muda pun memilih pergi ke luar daerah untuk
mendapatkan penghidupan dan masa depan lebih baik. Namun
demikian, fakta tidak seindah mimpi yang mana tidak semua
dari mereka mendulang kesukesan. Alhasil, banyak anak muda
yang pergi ke luar kota untuk merantau kemudian
terjerumus dalam keputusasaan yang berujung pada aksi
radikal (Kompas, 24 Agustus 2009).
16
Kedua, kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu
terutama ekonomi yang memarginalkan masyarakat bawah juga
mengakibatkan ketidakpuasan publik yang pada gilirannya
melahirkan tindakan radikal pada diri seseorang. Meskipun
tidak dipengaruhi pihak luar untuk kepentingan tertentu
(misalnya: agama) sebagaimana disebutkan dalam poin
pertama, marginalisasi dan diskriminasi pada akhirnya
menyulut ketidakpuasan publik terutama kelompok miskin
sehingga membuat kelompok tersebut mudah melakukan aksi
kekerasan.
Fakta ini juga menkonfirmasi hasil riset Djelantik (2006)
di Jawa Barat dimana dalam sejarahnya banyak kelompok
teroris dan radikal berasal dari daerah ini. Dia
menyebutkan bahwa radikalisme dan terorisme disebabkan
oleh adanya keterbatasan akses terhadap sumber-sumber
ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang
diskriminatif. Dia juga menambahkan bahwa disparitas
ekonomi yang sangat tinggi antara si kaya dan si miskin
adalah realitas nyata di daerah tersebut. Fakta
menunjukan bahwa radikalisme tumbuh subur karena
kebijakan ekonomi pemerintah hanya terpusat pada
pengembangan infrastruktur dan pada saat yang sama
mengabaikan pengembangan sumber daya manusia dan aspek
sosial budaya sehingga masyarakat pedesaan
termarginalisasi di dalam sistem ekonomi (2006, hal.8).
17
Kondisi inilah yang pada akhirnya menimbulkan
ketidakpuasan masyarakat sehingga memicu aksi radikal
(kekerasan).
Ketidakadilan Politik
Tidak bisa dipungkiri, politik merupakan salah satu
faktor pendukung kemunculan radikalisme dan terorisme di
Indonesia. Ada dua alasan mendasar mengapa politik
menjadi akar masalah radikalisme dan terorisme.
Pertama, secara umum kelompok radikal yang didalamnya
termasuk Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin
Indonesia (MMI) untuk menyebut beberapa nama beranggapan
bahwa sistem politk (demokrasi) di Indonesia dianggap
tidak selaras/kompatibel dengan Islam. Menurut kelompok
ini, Indonesia sebagai Negara muslim terbesar di dunia
harus memberlakukan Islam sebagai idiologi Negara. Mereka
beranggapan bahwa sistem demokrasi adalah produk barat
dan harus ditolak habis-habisan. Demokrasi juga dianggap
tidak bisa menyelesaikan persoalan kebangsaan. Contoh,
fenomena korupsi yang begitu akut, angka kemiskinan yang
tidak kunjung turun dan merajalelanya pornografi dan
semacamnya adalah salah satu bukti bahwa demokrasi
dinilai tidak bisa memberikan solusi atas berbagai macam
persoalan. Kelompok radikal menganggap bahwa Islam adalah
satu-satunya sistem politik yang bisa membawa
18
kemashalahatan bagi umat manusia. Alhasil, realitas
inilah yang pada gilirannya menimbulkan gejolak politik
yang mana beberapa kelompok ekstrimis kemudian melakukan
aksinya demi tujuan mengganti sistem yang ada. Fenomena
ini relevan dengan argumentasi Nakhleh (2009) bahwa
radikalisme bahkan terorisme lahir ketika orang atau
kelompok tertentu tidak lagi mempercayai efektifitas
perubahan yang terjadi, dan menganggap bahwa kekerasan
sebagai sebuah cara legitimate untuk tujuan politik,
idiologi, dan aksi keagamaan.
Merujuk pengalaman radikalisme selama ini, salah satu
upaya legal (tanpa kekerasan) yang telah dilakukan oleh
kelompok militan adalah dengan mendukung pemberlakuan
syariat islam (peraturan daerah/Perda) di beberapa
pemerintahan daerah di Indonesia. Mereka mengklaim bahwa
syariat Islam adalah solusi alternatif untuk
menyelesaiakan permasalahan bangsa. Sebagaimana dikatakan
oleh Ismail Yusanto sebagai Juru bicara Hizbu Tahrir
Indonesia (HTI), sistem sekuler yang diterapkan di
Indonesia telah memarginalkan peran agama hanya untuk
urusan privat (Hasan 2007, hal 5). Yusanto juga
menambahkan bahwa syariat Islam (perda Syariah) dipercaya
bisa meminimalisir ketergantungan Indonesia terhadap
Negara-negara barat yang terbukti tidak bisa
menyelesaikan krisis ekonomi dan politik, dan perda
19
syariah dinilai relevan untuk bisa menyelesaikan
permasalah bangsa melewati batas-batas ras, budaya maupun
agama (Hasan 2007).
Sejalan dengan argumen di atas, hasil survei Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam
Negeri (UIN) Jakarta tahun 2001, 2002 dan 2004 juga
menguraikan bahwa ketertarikan umat islam terhadap
pelaksanaan peraturan daerah (perda syariah) mengalami
peningkatan. Jumlah mereka yang setuju dengan perda
syariah meningkat dari 61.4 persen di tahun 2001 ke 70.6
persen pada tahun 2002, dan 75.5 persen di tahun
2004.Sementara mereka yang setuju dengan pelaksanaan
hukum potong tangan bagi pelaku pencurian juga meningkat
meskipun jauh lebih sedikit yakni 28.9 persen (2001),
33.5 persen (2002) dan 39.9 persen (2004) (Anwar 2009,
hal.58).
Berbeda dengan kondisi diatas, organisasi Islam militan
yang kerap mendapat sorotan tajam publik karena berada di
belakang aksi kekerasan (teror bom) di Indonesia selama
ini adalah Jamaah Islamiyah (JI). Jamaah Islamiyah adalah
organiasi yang masih berkaitan erat dengan Darul Islam
(DI). DI merupakan sebuah organisasi yang bercita-cita
mendirikan Negara Islam pada awal-awal kemerdekaan
Indonesia.
20
Dalam sejarahnya, berdirinya Darul Islam (DI) juga tidak
bisa dilepaskan dari masalah politik kekuasaan. Meskipun
menggunakan jargon/simbol agama, perjuangan yang diusung
oleh DI pada dasarnya adalah perjuangan politik sebab
tujuan utama dari gerakan ini adalah mendirikan Negara
Islam Indonesia.
Sama halnya dengan DI, JI menganggap bahwa kekerasan
dinilai sebagai cara yang efektif untuk mengganti
idiologi pancasila (demokrasi) dengan sistem politik
Islam. Sebagaimana dikutip dari Bubalo dan Fealy (2005),
Copland menguraikan bahwa JI mempunyai pandangan bahwa
untuk mengikuti garis Islam Salafi, hanya perang dan
terorisme yang bisa dilakukan untuk menegakan Negara
Islam sebagaimana terjadi pada masa kaum salafi (2005,
hal. 6).
Terkait dengan tujuan gerakan tersebut, dalam
perkembangannya, nuansa politik semakin mengental
manakala aksi terorisme saat ini tidak hanya dalam rangka
mengusir penduduk asing atau merusak tempat-tempat yang
dianggap representasi kekuatan asing seperti kantor
kedutaan, Tempat Hiburan dan sebagainya. Akan tetapi
beberapa umat islam sendiri juga menjadi target serangan
kaum teroris. Fakta menunjukan bahwa belum lama ini Mabes
Polri mengungkapkan bahwa kelompok teroris telah
menyiapkan rencana serangan dan pembunuhan terhadap
21
presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)dan para pejabat
negara pada saat upacara peringatan hari kemerdekaan 17
Agustus 2010 mendatang. Mereka disinyalir akan menyerang
bahkan membunuh semua pejabat yang hadir pada upacara 17
Agustus 2010 termasuk para tamu negara yang hadir (Suara
Karya, 15 Mei 2010).Penyerangan itu dinilai sebagai
bagian dari upaya kelompok teroris untuk mendeklarasikan
negara islam di Indonesia.
Fakta di atas menujukan bahwa disamping aksi terorisme
semakin tidak terarah/tersporadis, juga mengafirmasi
argumentasi Nakhleh bahwa aksi radikalisme yang berujung
kekerasan juga bertujuan untuk melawan rezim Islam yang
dianggap tidak islami (tidak mencerminkan nilai-nilai
Islam) (2009).Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
agama secara jelas hanya dijadikan justifikasi dalam
rangka mewujudukan tujuan politik para esktrimis.
Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh sebagai bentuk
protes atas ketidakadilan Negara-negara barat terutama
Amerika Serikat atas kebijakan standar ganda yang selama
ini diberlakukan di Negara-negara timur tengah. Invasi AS
ke Irak, kenyataan okupasi Israel terhadap Palestina yang
dibiarkan merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri
bahwa Amerika dinilai bertindak tidak adil terhadap
Negara-negara muslim. Dari sinilah rasa nasionalisme
22
keislaman para jihadis tumbuh. Mereka merasa bahwa
ketidakadilan yang dialami masyarakat muslim di timur
tengah merupakan tanggung jawab bersama umat islam di
Dunia. Kekerasan yang mereka pertontonkan merupakan
bentuk perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni asing
(AS).
D. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
ketidakadilan ekonomi dan politik menjadi faktor paling
menentukan bagi lahirnya gerakan radikalisme dan
terorisme di Indoneisa. Meskipun Islam kerapkali
dijadikan dasar argumentasi aksi kelompok radikal, namun
nuansa ekonomi dan politik tampak jelas menjadi faktor
penyebab kemunculannya.
Dalam konteks ekonomi, studi ini menjelaskan bahwa
kemiskinan mendorong orang berbuat radikal karena rasa
frustasi berkepanjangan. Terbukti beberapa kelompok yang
terlibat dalam aksi terorisme selama ini adalah mereka
yang mengalami depresi berkepanjangan setelah sekian lama
hidup dalam ketidakberdayaan. Disisi lain kesenjangan
ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan
diskriminatif pemerintah juga berkontribusi terhadap
tindakan radikal.
23
Dalam konteks politik, penonalakan terhadap sistem
politik sekuler memicu kelompok radikal berupaya untuk
mengganti sistem politik tersebut dengan syariah islam.
Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia dengan mayoritas
penduduk muslim di dunia bukanlah Negara Islam. Namun
demikian, beberapa kelompok islam militan menginginkan
agar Islam menjadi dasar negara. Motif inilah yang pada
akhirnya mendorong beberapa kelompok islam garis keras
berusaha melakukan perlawanan dalam rangka mendorong
pemerintah untuk menerapkan Islam sebagai dasar Negara.
Dorongan tersebut semakin meningkat manakala demokrasi
dinilai tidak bisa memecahkan persoalan. Fenomena
kemiskinan yang tetap merajalela, moral masyarakat
semakin tidak tertata dan sebagaianya merupakan fakta
yang tidak bisa dihindarkan yang memicu kritik tajam dari
kelompok radikal. Kritik yang dilancarkan dalam taraf
tertentu menggunakan aksi kekerasan. Kedua, radikalisme
dan terorisme tumbuh subur dikarenakan oleh ketidakadilan
politik global. Kebijakan (standar ganda) luar negeri AS
terhadap Negara-negara Islam (timur tengah) menimbulkan
reaksi keras terhadap kelompok Islam Indonesia. Reaksi
tersebut salah satunya diimplementasikan dalam bentuk
kekerasan sebagai simbol perlawanan.
24
REFERENSI
Abuza, Zachary 2007,Political Islam and violence in
Indonesia, Routledge, London and New York
Anwar, Etin 2009, ‘the Dialectics of Islamophobia and
Radicalism in Indonesia’, Research of notes, ASIANetwork
Exchange, Vol. XVI, No. 2, Spring, Hobart and William
Smith Colleges
Azra, Azyumardi 2003, Bali and Southeast Asian Islam:
Debunking the Myths’, di Kumar Ramakrishna dan See Seng
Tan (Editor), After Bali: the Threat of terrorism,
Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang
Technological University, Singapore
Coplan, Sarah 2005, Psicological Profilling of
Terrorists: A Case study of Bali bombers and Jamaah
Islamiyah, Australian National Internships program,
Australia
Center for Moderate Muslim Indonesia (CMMI)2006,’
Ketidakadilan dan Kemiskinan Picu Radikalisme’, CMMI, 26
Maret,<http://www.cmm.or.id/cmm-
ind_more.php?id=A912_0_3_0_M>
25
Djelantik, Sukawarsini 2006, ‘Terrorism in Indonesia: the
emergence of West Javanese terrorists,International
Graduate Student Conference series, East-West centre
working paper, No.22
Gottlieb, Stuart 2009, Debating terrorism and
counterterrorism:conflicting perspectives on causes,
contexts and responses, CQ Express, A division of Sage,
Washington, D.C
Hasan, Noorhaidi 2007, ‘Islamic militancy, shari’a and
democratic consolidation in Post-Suharto
Indonesia’,Working Paper S. Rajaratnam School of
International Studies, 23 Oktober Singapore.
Hippel, Karin Vol 2009, the role of terrorism in
radicalization and terrorism,Center for Strategic and
International Studies,
Husaini, Adian 2009, Radikalisme atau Ekstrimisme?,
Republika, 8 September.
Keet, C. Maria 2003, Terrorism and Game Theory:
Coalitions, negotiations and audience costs’, Department
of Government & Society, University of Limerick, Ireland
26
Keling, Mohamad Faisol dkk 2009,‘The Problems of
Terrorism in Southeast Asia’, Journal of Asia Pacific
Studies, Vol 1, No 1, 27-48
Kompas 2009, Jaringan Terorisme: Radikalisme yang
Kompleks di Kabupaten Temanggung’, Koran Kompas, 24
Agustus,http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/24/03192
668/radikalisme.yang.kompleks.di.kabupaten.temanggung
Nakhleh, Emile A. 2009, A Necessary Engagement:
reinventing america’s relations with the muslim world,
princeton university press princeton and Oxford.
Suara Karya 2010, Presiden jadi target Serangan di
Istana’, Koran Suara Karya Online, 15 Mei,
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=253144
... Inevitably, this transition period also opened space for the growth of religious organizations with various characters. The emergence of various organizations such as Islamic militant: Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahiddin Indonesia (MMI), and Jama'ah Islamiyah (JI) (Fatkhuri 2012). ...
Article
Full-text available
Radical movements colored the 2019 Elections, especially the dichotomy of the Jokowi and Prabowo camps. This phenomenon also occurs among the people of Yogyakarta after the 2019 Presidential Election. The research aims to map the transformation of fundamentalist groups in Yogyakarta after the 2019 Presidential Election. The significant analysis was carried out to provide sources of information to the public and government regarding the transformation of Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) after the 2019 Presidential Election. The researchers used qualitative descriptive methods with the analysis of the theory of social resource mobilization. The research results showed that the transformation of the radical movement that formerly took the anarchist forms and down to the streets, now is more focused and organized by entering the community through religious education and recitation groups, both in universities and at household meetings. This research concludes that in order not to be parallel to HTI, which the government dissolved, the transformation of tranquility is one way to maintain the existence of radical organizations but in a more friendly framework or guise. All of these resource mobilization movements take the form of informal social networks.
... Reformation opens channels of democracy and creates a space for expression more freely. As a result, organizations and religious movements have sprung up and brought diverse ideologies and thoughts, including radical ideologies, which have begun to find their path of existence [7]. Sociologically, some religious groups who felt marginalized during the New Order regime began to express the psychology of disappointment that had been stored for a long time against the government which was considered to have paid little attention and severely limited their movement [8]. ...
Book
Full-text available
Buku ini ditulis sebagai salah satu referensi pendukung utama dalam mendalami kajian tentang Dinamika Politik Radikalisme Keagamaan di Indonesia. Kehadiran buku referensi ini bertujuan untuk memperluas kajian Pemikiran Politik Islam dan Islam Politik lebih luas sehingga patut diapresiasi dalam penguatan gagasan yang lebih orisinal. Buku ini selain lebih ringkas, juga mengkajinya lebih sederhana dan praktis, namun tetap menggunakan beberapa sumber literatur ilmiah dan standar. Tujuan menyederhanakan dan mempermudah pemahaman pembaca terutama Mahasiswa yang mendalami Pemikiran Politik Islam dan Perilaku Politik Agama agar melahirkan interaksi keilmuan dan gagasan baru lebih dari isi buku ini. Akhirnya dengan segala keterbukaan, masukan dan kritikan pembaca, Penulis merasa bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Berbagai kekurangan justru memicu pembaca untuk mengkaji dan mendiskusikan agar lahir berbagai gagasan kolaboratif.
Article
Full-text available
This article aims to provide an overview of women motivational factors involved in radicalism movements. Understanding the determinants of women's involvement in the radicalism movement is an effort to explain the increasing number of women's involvement in radicalism. The involvement of women in the radicalism movement is not new, but it seems strange because behind this, women are no longer just supporters behind the scenes, but directly in real action. The method used in this article is descriptive qualitative by conducting a literature review on the phenomenon of women's involvement in the radicalism movement. The results of the study show that the profile of radical actors has transcended the gender barrier. There are no specific categories for being targeted by radical groups. The determinants of women's involvement in the radicalism movement are caused by religious factors, group pressure, political factors, and personal reasons.
Article
Full-text available
The world economic crises in 1998 and the subsequent political terrorism on September 11, 2001 vastly impacted the social, political, and cultural landscapes of Islam in Indonesia. The earlier political changes from the authoritarian New Order to the reformation era in 1998 had sparked not only democracy, but also the arrival of Islam as a political power that promised an instant solution to social, cultural, political, and economic decadence. Islamist movements, however, gained momentum after 9/11. Islamists interpreted “war on terror” and the use of terms like “Islamofascism” as a threat against Islam and Muslims. In response, they mobilized what the United State perceived as anti-Americanism. This anti-Americanism is, of course, concretely fueled by the Islamist views of US foreign policy and Western domination. But the Islamist perception of American Islamophobia plays a role as well.
Article
Full-text available
The September 11th attack had opened the eyes of countries inthe international system regarding the threats from terrorists which is seen as capable of threatening the security of country. Many countries started talking about the development of international terrorists which are able to threaten a particular country at anytime. The success of international terrorists attacked against the most power country like United Stated has influenced the emergence of various terrorist activities all over the world including in the Southeast Asia. This region has got theworld’s attention when terrorism movements were developing like the‘Jemaah Islamiah Front’ (Indonesia), Abu Sayyaf Group and MoroIslamic Liberation Front (Philippines), Pattani Liberation Front(Thailand) and Malaysian Militant Group (Malaysia) which potentiallythreatened the security of the Southeast Asia region. These terroristgroups have changed from making limited or small attacks in the country to making serious threats and becoming bigger movements. Manypredictions have been made as to clarify how these terrorist attacks have changed into active threats. This situation has been connected to the role played by international terrorist who secretly entered the countries in the Southeast Asia to help the local terrorist. Therefore, this paper will explain the influence of international terrorist in the terrorism activities in this region. Besides that, it will also explain the background of these terrorist movements in the region and how these terrorist are able to enter a particular country and help the local terrorist movement to be moreactive in the region.
Article
Political Islam and Violence in Indonesia presents a penetrating new investigation of religious radicalism in the largest Muslim country in the world. Indonesia is a country long known for its diversity and tolerant brand of Islam. However, since the fall of Suharto, a more intolerant form of Islam has been growing, one whose adherents have carried out terrorist attacks, waged sectarian war, and voiced strident anti-Western rhetoric. Zachary Abuza's unique analysis of radical Islam draws upon primary documents such as Jemaah Islamiyah's operations manual, interviews, and recorded testimonies of politicians, religious figures, and known militants, as well as personal interviews with numerous security and intelligence experts in Indonesia and elsewhere, to paint a picture at once guardedly optimistic about the future of Indonesian democracy and concerned about the increasing role of conservative and radical Islam in Indonesian society. This book will be of great interest to students of Indonesian politics, Asian studies, political violence and security studies in general.
Psicological Profilling of Terrorists: A Case study of Bali bombers and Jamaah Islamiyah, Australian National Internships program
  • Azyumardi Azra
Azra, Azyumardi 2003, 'Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths', di Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (Editor), After Bali: the Threat of terrorism, Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang Technological University, Singapore Coplan, Sarah 2005, Psicological Profilling of Terrorists: A Case study of Bali bombers and Jamaah Islamiyah, Australian National Internships program, Australia Center for Moderate Muslim Indonesia (CMMI)2006,'
The Problems of Terrorism in Southeast Asia
  • Maret
Maret,<http://www.cmm.or.id/cmmind_more.php?id=A912_0_3_0_M> Keling, Mohamad Faisol dkk 2009,'The Problems of Terrorism in Southeast Asia', Journal of Asia Pacific
Jaringan Terorisme: Radikalisme yang
Kompas 2009, 'Jaringan Terorisme: Radikalisme yang
Presiden jadi target Serangan di Istana
  • Suara Karya
Suara Karya 2010, 'Presiden jadi target Serangan di Istana', Koran Suara Karya Online, 15