ArticlePDF Available

Abstract

p align="center"> Abstract Imprisonment as the main criminal is the most threatened against offenders. Imprisonment in Indonesia criminal law as a legacy of colonial law enforcement. With the development of the concept of criminal theory form retributive to restorative sentencing, imprisonment and the implementation should be reviewed so that can be in accordance with human rights principles. This research examined the imprisonment in the Indonesian criminal law, customary criminal law, and Islamic Penal law, and also the concept of imprisonment renewal in the concept of Criminal Law Code of Indonesia, and then what is the punishment that is accordance with restorative justice theory that can protect the human rights of the convicted person, victims, and society. Key Word: Imprisonment, human rights, restorative justice. Abstrak Pidana penjara sebagai pidana pokok merupakan pidana yang paling banyak diancamkan terhadap pelaku kejahatan. Pemberlakuannya merupakan peninggalan hukum kolonial. Dengan perkembangan pemikiran mengenai konsep pemidanaan dari retributif ke restoratif, pelaksanaan pidana penjara pun harus dikaji ulang sehingga dalam penjatuhan maupun pelaksanaannya dapat sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Penelitian ini mengkaji penerapan pidana penjara dalam hukum pidana Indonesia, hukum pidana adat, dan hukum pidana Islam, serta konsep pembaharuan pidana penjara dalam RKUHP, kemudian bentuk pembaharuan pemidanaan apakah yang sesuai dengan teori restorative justice yang dapat melindungi hak asasi terpidana, korban, dan masyarakat. Kata Kunci: Pidana penjara, hak asasi manusia, keadilan restoratif</p
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
19
PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA IN
D
ONESIA
dede Kania
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung djati Bandung
Email: dekan_0607@yahoo.co.id
Abstract
Imprisonment as the main criminal is the most threatened against offenders. Imprisonment in Indonesia
criminal law as a legacy of colonial law enforcement. With the development of the concept of criminal
theory form retributive to restorative sentencing, imprisonment and the implementation should be reviewed
so that can be in accordance with human rights principles. This research examined the imprisonment
in the Indonesian criminal law, customary criminal law, and Islamic Penal law, and also the concept of
imprisonment renewal in the concept of Criminal Law Code of Indonesia, and then what is the punishment
that is accordance with restorative justice theory that can protect the human rights of the convicted
person, victims, and society.
Key Word: Imprisonment, human rights, restorative justice.
Abstrak
Pidana penjara sebagai pidana pokok merupakan pidana yang paling banyak diancamkan terhadap
pelaku kejahatan. Pemberlakuannya merupakan peninggalan hukum kolonial. Dengan perkembanga n
pemikiran mengenai konsep pemidanaan dari retributif ke restoratif, pelaksanaan pidana penjara pun
harus dikaji ulang sehingga dalam penjatuhan maupun pelaksanaannya dapat sesuai dengan prinsip
hak asasi manusia. Penelitian ini mengkaji penerapan pidana penjara dalam hukum pidana Indonesia,
hukum pidana adat, dan hukum pidana Islam, serta konsep pembaharuan pidana penjara dalam RKUHP,
kemudian bentuk pembaharuan pemidanaan apakah yang sesuai dengan teori restorative justice yang
dapat melindungi hak asasi terpidana, korban, dan masyarakat.
Kata Kunci: Pidana penjara, hak asasi manusia, keadilan restoratif
A. Pendahuluan
Pemberlakuan pidana penjara di Indonesia
merupakan hukum peninggalan Kolonial Belanda
yang bersifat punitif dan represif. Sifat ini tidak
lain karena dipengaruhi oleh ajaran pemidanaan
yang b erlak u pad a saa t itu, ya itu r etrib utif.
Menurut teori retributif, hukuman diberikan karena
pelak u kejahatan h arus mener im a hukuman
itu demi kesalahan. Hukuman menjadi retribusi
yang adil bagi kerugian yang diakibatkan oleh
perbuatannya. Dengan demikian, menurut teori ini
hukuman layak diberikan kepada pelaku kejahatan
atas pertimbangan ba hw a pelaku kejahatan
terbukti melakukan suatu kejahatan. Hukuman
me nge k spr esik a n bahw a p ela k u k eja hat an
memiliki tanggung jawab atas pasal hukum yang
dilanggarnya (Ibnu Artadi, 2006: 377).
Sistem peradilan pidana memang berhasil
menuntut dan memenjara seseorang, tetapi di
lain pihak ia telah gagal menciptakan kehidupan
bermasyarakat yang aman. Seharusnya korban
kejahatan dip er lakuka n secara ber mart abat,
kem u dian an t ar a p e l aku dan k or b a n at au
keluarganya harus dirukunkan kembali (reconciled).
Pelaku tidak hanya harus dipertanggungjawabkan
tetapi juga wajib diintegrasikan kembali dalam
masyarakat (Samuel
c
. Damren, 2002: 83).
Perkembangan pemidanaan yang bernilai
keadilan restoratif di berbagai belahan dunia
membuat perubahan signifikan terhadap pola
pemidanaan retributif dengan lembaga penjara
yang selama in i dianut. Di beberapa ne gara
bahkan pidana penjara mulai ditinggalkan dan
sebagai gantinya dikenalkan pidana kerja sosial,
pidana pengawasan, dan pidana denda (Dwidja
Pr iyatn o , 2009 : 49-5 3). P erub aha n k ons ep
pemidanaan ini di antaranya disebabkan akibat
yang dit im bulka n oleh pidana pe njara l eb ih
besar efek negatifnya dan tidak membuktikan
keberhasilannya dalam menekan angka kejahatan
(Alison Liebling, 2006: 422).
20 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana
Indonesia, ten tu saja pidana penjara sesuai
Pasa l 10 KUH P pun h aru s dit injau ke mba li
kebera daannya d alam ko nsep pemida naan.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia haruslah
memperhatikan hukum adat dan hukum Islam
sebagai living law. Karena kedua sistem hukum
living law Ind onesia ini mengandung prinsip
ke adil a n r esto rati f ya n g s ang a t tingg i dan
telah teruji dalam menanggulangi kejahatan di
masyarakat. Penelitian ini mengkaji eksistensi
pidana penjara dalam hukum pidana Indonesia
da n meng anal isi s p ola pem ida n aan dal am
Rancangan KUHP.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah adalah yuridis normatif,
yaitu penelitian terhadap kaidah hukum positif
dan asas hukum yang dilakukan dengan cara
melak uk an evaluasi terhadap kaidah -k aidah
hukum (peraturan perundang-undangan) yang
relevan. Penelitian evaluasi terhadap hukum
positif ini dilakukan dengan cara mengevaluasi
segi k ese suaia n ant ara s atu k aidah hukum
dengan kaidah hukum lainnya, atau dengan asas
hukum yang diakui dalam praktek hukum yang
ada, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder (Bagir Manan, 1999:
3-6). Penelitian didukung pula dengan metode
penafsiran hukum, konstr uksi hukum, filsafat
hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.
Teknik analisis data menggunakan penafsiran
hukum sistematis, otentik, dan teleologis.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Tentang Pidana Penjara
Pidana penjara adalah suatu pidana
beru pa pera mpa san k emerdeka an at au
kebebesan bergerak dari seorang terpidana
de ngan menempatkannya d i l em b a g a
pemasyarakatan (Dwidja Priyatno, 2009:
71-72) Pidana penjara ditetapkan secara
resmi di Indonesia sejak berlakunya KUHP
pada tanggal 1 Januari 1918, sebelumnya
Indonesia hanya mengenal pidana badan
dan pi dana denda . Saa t itu b elu m ada
batasan yang tegas untuk membedak an
antara pidana badan dan pidana penjara,
ka rena da lam pe l aksa n aann y a beru p a
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan
kepada seseorang yang yang melakukan
pelanggaran hukum pidana.
Pidana penjara merupakan, jenis pidana
yang paling banyak diancamkan kepada
pelaku tindak pidana dalam Buku II KUHP.
pidana penjara juga diancamkan terhadap
tindak pidana yang diatur dalam undang-
undang di luar KUHP, baik dirumuskan secara
tunggal maupun secara kumulatif-alternatif
de ngan sa nksi pi dana la i nnya ( D widj a
Dw idj a Priyat no, 2 009: 7 2-77). Ba nyak
sanksi pidana penjara diancamkan dalam
KUHP maupun di luar KUHP dibandingkan
dengan jenis pidana pokok lainnya, karena
pidana penjara merupakan satu-satunya
pidana pokok yang ada dalam KUHP yang
memungk inkan diadakannya pembinaan
secara ter encan a dan t erara h te rhadap
terpidana, sedangkan jenis pidana pokok
lainn y a t i d a k m e m u n g k i n k an a d a n y a
pembinaan dengan terhadap terpidana.
Pelaksanaan pidana penjara pun kemudian
mengalam i perubahan mulai tahun 1964
deng an perubah an isti lah p emenj araan
menjadi pemasyarakatan. Istilah penjara
berubah menjadi lembaga pemasyarakatan
(Suwarto, 2007: 166).
Kecendru nga n yan g ada se k ara ng,
pidana penjara mengalami degradasi, karena
mendapat banyak tantangan dan tekanan
dari berbagai gerakan yang muncul di Eropa
dan Amerika, sorotan keras terhadap pidana
penjara tidak hanya diberikan oleh para
pakar secara individual, melainkan juga oleh
lembaga-lembaga internasional. Laporan
kongres PBB kelima tahun 1975 mengenai
Pencegahan Kejahata n dan P embinaan
Pelaku Kejahatan, ada kecenderungan untuk
mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga
kejahatan. Pada perkembangan selanjutnya
muncul gerakan abolisionis di Amerika yang
menekankan reaksinya pada penghapusan
sistem penjara dan gerakan abolisionis Eropa
yang menekankan penolakannya terhadap
sistem peradilan pidana secara keseluruhan,
de nga n sentral nya s ist e m kepenjaraan
dengan memunculkan jenis pidana alternatif
seper ti den da dan k erj a sos ial (D wid ja
Priyatno, 2009: 47-52).
Walaupun demikian, pidana penjara
dianggap masih diperlukan untuk menghadapi
berbagai kejahatan yang semakin banyak
ragam dan modusnya. Herbert L. Packer
mengemukakan bahwa: (1) sanksi pidana
sangat diperlukan, kita tidak hidup sekarang
maupun di masa yang tanpa pidana; (2)
sanksi pidana merupakan alat atau sarana
terbaik yang tersedia yang kita miliki untuk
menghadapi bahaya-bahaya besar dan
segera, serta untuk menghadapi ancaman-
Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
21
ancaman dari bahaya itu (Herbert L. Packer,
968: 364-365).
2. Pengaturan Pidana Penjara
a. Pengaturan Pidana Penjara dalam KUHP
Pasal 10 KUHP menetapkan jenis
pidana yang diberlakukan di Indonesia
terdiri atas:
1) Pidana pokok
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Kurungan
d) Denda
e) Pidana tutupan
2) Pidana tambahan
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang
tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
Pasal 10 KU HP meng ur ut jenis
pidana yang diancamkan kepada pelaku
delik diurut dari yang terberat sampai
teringan. Perbedaan pidana pokok dan
pidana tambahan juga nampak jelas,
bahw a: (1) pid an a tambah an da pat
ditambahkan pada pidana pokok dengan
pe nge cual ian pe r amp asan b aran g-
bara ng tert ent u diser ahkan kepada
negara; (2) pidana tambahan bersifat
fakultatif, artinya apabila hakim yakin
mengenai tindak pidana dan kesalahan
te rda k wa, ma k a hak i m tid ak har u s
menjatuhkan pidana tambahan, kecuali
untuk Pasal 250 bis dan Pasal 275 KUHP
yang bersifat imperatif, yakni hakim harus
menjatuhkan pidana pokok bila tindak
pidana kesalahan terdakwa terbukti.
Akan tetapi dalam penerapannya, hakim
boleh memilih salah satu dari pidana
pokok dan pidana tambahan.
Pidana penjara merupakan jenis
sanksi yang paling banyak ditetapkan
dala m perundan g-undangan pidan a
sela ma ini. S ecara tung gal , pidan a
penjara merupakan pidana yang paling
banyak diancamkan, yaitu berjumlah 395
kejahatan (+ 67,29%) (Dwidja Priyatno,
2009: 77). Data ini menunjukkan bahwa
pidana penjara merupakan pidana yang
paling banyak diancamkan dalam KUHP,
walaupun demikian, tidak ditemukan
alasan yang mendasari ditetapkannya
pidana penjara sebagai salah satu jenis
sanksi pidana untuk menanggulangi
keja hatan . Sel ama ini tida k per nah
dijelaskan alasan mengapa kejahatan
harus ditanggulangi dengan ancaman
pi d a n a p e njara, kare n a k e b i jakan
kriminal selama ini menganggap wajar
penggunaan pidana penjara dan sanksi
hukum pidana terhadap terpidana. Begitu
pun pada perundang-undangan di luar
KUHP, pidana penjara masih merupakan
ancaman pidana yang paling banyak
diancamkan.
b. P engat uran P i dan a P enja r a dala m
RKUHP
Tujua n pidana me nurut RKUHP
mengalami perubahan sebagaima na
dicantumkan dalam Pasal 54 ayat (1)
bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
1) Menc ega h d ila k ukan nya t inda k
pid ana denga n m e n g e g a k k a n
norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
2) Memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga
menjadiorang yang baikdan berguna;
3) M e n y e l e s a i k a n k o n f l i k y a n g
diti mbulk an ol eh ti ndak pidan a,
memulihk an keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
4) Membebaskan rasa bersalah pada
terpidana.
Pasal 54 a yat (2) m enyebutkan
bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan merendahkan
ma rta bat ma nus ia. S eja lan denga n
Pasal 54 yang sangat memperhatikan
ha k -hak t erpid ana, pa d a pedo man
pemidanaan pun disebutkan bahwa
pemidanaan sebagaimana tercantum
dalam rumusan Pasal 55 ayat (1) wajib
mempertimbangkan:
1) Kesalahan pembuat tindak pidana;
2) Motif dan tujuan melakukan tindak
pidana;
3) Sikap batin pembuat tindak pidana;
4) Tin d a k p i dana yang dila k u k a n
apakah direncanakan atau tidak
direncanakan;
5)
c
ara melakukan tindak pidana;
6) S i k a p d an t in d a k a n p em b u a t
sesuadah melakukan tindak pidana;
7) Riwayat hidup, keadaan sosial, dan
keadaan ekonomi pembuat tindak
pidana;
22 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
8) Pengaruh pidana terhadap masa
depan pembuat tindak pidana;
9) Pengaruh tindak pidana terhadap
korban atau keluarga korban;
10) Pemafaan dari k orban dan/atau
keluarganya; dan/atau
11) Pandangan masyarakat terhadap
tindak pidana yang dilakukan.
Kemudian dijelaskan pada Pasal 55
ayat (2) bahwa: Ringannya perbuatan,
keadaan pribadi pembuat, atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau
yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
das a r p er t i m b an g a n un t u k tid a k
menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan
segi keadilan dan kemanusiaan. Konsep
RK U H P m a s i h m e n j a dikan p idana
pe nja ra se baga i sal ah sat u pid ana
pokok yang diancamkan kepada pelaku
kejahatan. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 65 sebagai berikut.
(1) Pidana Pokok terdiri atas:
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda; dan
e. Pidana
(2) U ru t a n p i d an a s e b a g a i m a n a
dimaksud pada ayat (1) menentukan
berat ringannya pidana
Pen jela sa n pelaksanaan pidana
penjara tercantum pada Pasal 69-75.
Pada Pasal 69 dijelaskan bahwa :
(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk se-
umur hidup atau untuk waktu tertentu.
(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu
dij atuhkan paling lama 15 (l im a
belas) tah un bertur ut-tu ru t atau
paling singkat 1 (satu) hari, kecuali
ditentukan minimum khusus.
(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati
dan pidana penjara seumur hidup
atau jika ada pemberatan pidana
atas tindak pidana yang dijatuhi
pidana penjara 15 (lima belas) tahun
maka pidana penjara untuk waktu
tert entu dapat dija tuhkan unt uk
waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-
turut.
(4) Dalam hal bagaimanapun pidana
penjara untuk waktu tertentu tidak
boleh dijatuhkan lenih dari 20 (dua
puluh) tahun.
Dalam pokok Rancang an KUH P
tidak lagi mengenal pidana kurungan,
yang menu rut po la KUH P biasanya
d i an c a m k a n u n t u k t i n da k p i d a n a
“Pelanggaran”. Jenis pidana tambahan
dan tindakan di dalam konsep RKUHP
me ngala m i perl u asa n , d iant a ranya
adalah dirumuskan secara eksplisit jenis
pidana tambahan berupa “pemenuhan
kew a j i b an a d a t . Dir u m u s ka n n y a
jenis pidana adat, dimaksudkan untuk
mena mpung jenis sanksi adat atau
sanksi menurut hukum tidak tertulis.
c. Peng atu r an Pidana Pen jar a d alam
Hukum Adat
Indonesia merupakan negara yang
sanga t k aya d enga n k ebe raga man
huk um adatn ya . D a l a m l a p a n g a n
hukum pidana pun di beberapa daerah
masih diakui berlakunya hukum pidana
adat. Wajar kalau k emudian hukum
pidana adat dijadikan sumber dalam
pembentukan hukum pidana nasional.
Eksistensi hukum pidana adat harus terus
dikembangkan, karena hukum pidana
adat merupakan hukum yang bersumber
langsung dari masyarakat (living law),
sehingga akan terus hidup dan tumbuh
di masyara kat a dat Indonesia (
o
tto
Yudianto, 2012: 25).
Ek s i sten s i h u k um pidana a dat
te t a p diper t ahank a n d a l a m h uk um
pidana nasional ke depan, terlihat dalam
RKUHP. Konsep Pasal 2 menjelaskan
bahwa hukum pidana adat akan tetap
diakui oleh hukum nasional baik dalam
ben t u k ketent u a n pidan a maup u n
pemidanaan, sepanjang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-
prinsip hukum umum yang diakui oleh
mas yarakat bangsa-bangsa. K on sep
pidana maupun penyelesaian dalam
hukum pidana adat mempunyai ciri khas
yang sangat mengedepankan nilai-nilai
komu nal. Begit u pun dal am bent uk
pemidanaan, dalam hukum pidana adat
mengedepankan sanksi yang bersifat
moral, sosial, berupa pidana badan dan
pidana denda, tidak menetapkan penjara
sebag a i sal a h sat u b entu k p ida na.
Bentuk -bentuk san ksi dalam h ukum
pida na adat sang at me mperh atikan
kemanfaatan bentuk pemidanaan bagi
masya rakat. pemidanaan d ijat uhkan
untuk mengembalikan keseimbangan
kosmis religius yang telah ternoda akibat
Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
23
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku
pidana.
Delik pidana adat sendiri diartikan
sebagai semu a perbuatan perbuatan
atau kejadian yang bertentangan dengan
kep a t utan, keru k u n a n , k eter t i b an ,
keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran
hukum masyarakat, baik akibat perbuatan
seseorang maupun perbuatan penguasa.
Dar i pengertian ini diketahui bahwa
dalam huk um adat, tidak dibedakan
perbuatan melawan hukum yang dapat
dipidana dan yang mempunyai akibat
perdata.
Sal ah satu filo sofi penyele saia n
sengketa di masyarakat adat adalah
keadilan, yaitu berupa keadilan komunal.
Keadilan k omunal adalah keadilan di
mana tidak ada yang merasa dirugikan
dengan keputusan yang diambil ketua
atau tokoh adat dalam pen yelesaian
perkara adat. Keadilan ini sangat penting
ditegakkan sebagai sendi dari tatanan
kehi du pan mas yarakat ada t. Hark at
dan martabat masyarakat hukum adat,
sangat ditentukan oleh tingkat sejauh
ma n a n i l a i-nilai kea d i l a n k omunal
diwujudkan. Semakin tinggi nilai keadilan
komunal, maka semakin kuat dan mulia
kedu dukan m as ya rak at hukum adat
tersebut (Syahrizal Abbas, 2011: 246).
Tradi s i penyeles a ian sengketa
d a l a m m a s y a r a k a t h u k u m a d a t
cend erung meng gunaka n pola ad at
atau s ecara k ekeluarg aan . Pola ini
diterapkan bukan hanya untuk sengketa
pe rdat a d an pid a na. Pe n yel e saia n
sen gk et a dengan pola adat ini juga
menghasilkan sanksi atau kompensasi
terhadap pelanggar hukum adat. Sanksi
yang diterapkan bisa berupa hukuman
badan atau kompensasi harta benda,
penerapannya tergantun pada jenis dan
berat ringannya sengketa para pihak.
Pen ye le sa ian sengketa adat sendiri
bertujuan untuk mewujudkan perdamaian
secara komprehensif, yang tidak hanya
dituj ukan k e pad a p elak u deli k d an
korban saja, melainkan juga mewujudkan
pe r damai a n b agi masya r akat a dat
secara keseluruhan(Syahriza l Abbas,
2011: 246-248).
H u k u m a d a t s e n d i r i c i p t a a n
pik iran yang komunal m agis religius
atau komunal kosmis. Dengan alam
pik iran pikiran yang bersifat kosmis,
hukum adat menempatkan kehidupan
manusi a sebagai bagian dari alam,
artinya kehidupan manusia berkaitan
sangat erat dengan alam, apabila terjadi
kegoncangan dalam kehidupan manusia
pasti menyebabkan ketidakseimbangan
kehidupan alam, kgoncangan alam pasti
ber ak ibat pada kehidupan m an us ia .
Mode l pemi k iran kosmis tersebu t
menimbulkan pandangan.
Hukum adat adalah hukum yang tidak
tertulis yang tidak memiliki sistematika
t er t e n t u d a l a m m e n g k at a g o r ik a n
pe rbua t a n seba g ai kej a hata n a t au
pelanggaran. Semua perbuatan yang
mengganggu keseimbangan masyarakat
a t a u a l a m d i p a n d a n g s e b a g a i
pelanggaran adat. Hukum pidana adat
pun tidak menentukan secara jelas jenis
atau sanksi pidana yang dapat diterapkan
terhadap pelaku delik adat. Dari semua
pida na ad at yang ma sih b erlak u d i
Indonesia, semuanya memberlakukan
p i da n a m at i da n d en d a . Pi d a n a
adat tidak mengenal pemenjaraan.
Wa laupu n de mikia n b e b erapa ah l i
me n y e b utkan bahw a p e m a s ungan
secara hakikat hampir sama dengan
pidana p enjara, k arena sama-sam a
merampas kemerdekaan dan kebebasan
pelaku kejahatan. Demikian juga dalam
pidana pembuangan atau pengusiran
pelaku kejahatan, konsep ini bermakna
di jauh k annya pela k u d an kelu arga
dari lingkungan adat, sehingga tidak
me ngg a ngg u k e seimba ngan da lam
masya rakat. K o n s e p h u k u m a d at
berangkat dari ide dasar perlindungan
sema t a . P emb e r i a n s a n k si leb i h
dida sarkan p ad a teo ri ab sol ut at au
retributif, yang melihat kesesuaian antara
perbuatan pelak u dengan kerusak an
yang ditimbulkannya. Sedangkan tujuan
pemberiannya sendiri lebih pada konsep
perlindungan k ehidupan masyarakat
(
o
tto Yudianto, 2012 : 26).
d. Pe ngat u ran Pi d ana Pe njar a d ala m
Hukum Islam
Tind ak pid ana (j arim ah) da lam
hukum pidana Islam terbagi tiga macam,
yaitu hudud, qishash, dan ta’zir (Umar
al - Tam imi, 2 0 13: 46 0-463 ).Ti ndak
pidana hudud a dalah t indak pidana
yang diancam dengan hukuman hadd,
yaitu hukuman yang telah ditentukan
oleh syariat dan merupakan hak Allah.
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
Berbeda dengan konsep pidana qishash
dan diyat, konsep hudud adalah murni
pidana yang ditetapkan al-Quran dan
merupakan sesuatu yang baru di zaman
Rasulullah saw.
Sec a r a b a ha s a , h add be r a r t i
pen c e g a h a n d a n p i n t u , dik at a k a n
demikian karena mencegah manusia
untuk masuk atu melakukannya. Hadd
juga diartikan hukuman yan g bersih
kar e n a d engan hukum a n t e r sebut
menc e g a h s e seora n g m e l a k uka n
kejahatan. Tindak Pidana hudud ini ada
tujuh macam, yaitu :
1) Ja r i mah z ina dipi d a n a deng a n
pidana rajm;
2) Jarimah qadzaf (menudu h orang
berzina) dipidana dengan pidana
rajm;
3) Jarimah syurb al-khamr (meminum
khamr/minuman keras);
4) Jarimah sariqah (pencurian) dipidana
dengan pidana potong tangan;
5) Ja r ima h h iraba h (per a m pok a n/
ga ngg uan kea man a n) dip ida n a
dengan pidana salib atau pidana
mati;
6) Jarimah riddah (murtad) dipidana
dengan pidana mati;
7) Jarimah al-baghu (pemberontakan)
dipidana dengan pidana salib atau
pidana mati.
Ditetapkannya bentuk-bentuk pidana
tersebut harus dipahami sebagai usaha
al-Quran untuk lebih menyederhanakan
pemidanaan dan meringankan beban
t e r p i d a n a d e n g a n t u j u a n u n t u k
mencegah bercampurnya kebenaran
dan kebat i l a n dalam m a s yarak a t ,
sehingga masyarakat akan terlindungi
dari berbagai kemungkinan perbuatan
maksiat dan dosa.
Ja rima h k e dua ad a lah ja r ima h
qishash dan diyat, yaitu jarimah yang
diancam dengan qishash atau diyat.
Ukuran penghukuman dalam qishash
dan diyat sudah ditetapkan al-Quran dan
Hadis Nabi, pertanggungjawabannya
sendiri bersifat individual. Penetapan
pidana ini berarti, bahwa pidana yang
dijatuhkan tidak boleh terlalu melebihi
atau kur ang dar i uk uran yang t elah
ditetapkan, melainkan harus seimbang
tidak k ura ng da n tid ak le bih . Pad a
qishash terdapat hak korban, apabila
ia b erkeh enda k m e maafk an, ma k a
terpidana akan terbebas dari pidana
qishash.
Jarimah ketiga, yaitu jarimah ta’zir
adalah jarimah yang diancam dengan
huk uman ta’zi r. Kata ta’zi r diar tikan
de ngan me n olon g , k ata ta’ zir ju ga
diartikan memberi pengajaran (al-ta’dib).
Sedangkan dalam istilah hukum pidana
Islam, ta’zir adalah pidana yang bersifat
mendidik yang tidak mengharuskan
pe lak u nya dik e nai ha dd ata u tid ak
pu l a harus memba y a r k ifar a t a tau
diyat.Ta’zir diartikan sebagai hukuman
pendidikan atas dosa (tindak pidana)
yang belum ditentukan hukumannya oleh
syariat. Karena belum ditetapkan oleh
syariat wewenang untuk menetapkannya
diserahkan kepada penguasa (ulil amri).
Syariat hanya men yebutkan macam-
macam hukuman ta’zir dari yang paling
ringan sampai yang paling berat namun
tidak secara jelas menentukan jenis ta’zir
untuk hukuman tertentu, dalam hal ini
hakim diberi kebebasan untuk memilih
hukuman mana yang sesuai.
Jenis pidana yang termasuk ta’zir
antara lain pidana penjara, pemecatan,
ganti kerugian, teguran, dan jenis pidana
lai n ya ng dipandang sesuai dengan
pe lan gga ran yang d ila kuk a n. Je nis
pidana yang berkaitan dengan ta ’zir
ini dis era hkan s epe nuh n ya kepada
kesepakatan manusia. Jarimah ta’zir
dapat dibagi tiga, yaitu:
1) Jarimah hudud dan qishash diyat
yang mengandung unsur syubhat
atau tidak memenuhi syarat, namun
hal itu sud ah dianggap s ebagai
perbuatan maksiat seperti pencurian
harta syirkah, pembunuhan ayah
terhadap anaknya, dan pencurian
yang bukan harta benda;
2) Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya
dit e n t uk a n o leh n as h , tet a p i
sanksinya oleh syariah diserahkan
kepada penguasa, seperti sumpah
pals u, saksi p alsu, m engur ang i
timbangan, menipu, mengingkari
janji, men ghianat i amanah, dan
menghina agama.
3) Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah
dan sa n k s i n ya secar a p e n uh
menjadi wewenang penguasa demi
terealisasinya kemaslahatan umat.
Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
25
pertimbangan yang paling utama,
misaln ya p elanggaran ter hadap
peraturan lingkungan hidup, lalu
lintas, dan pelanggaran terhadap
pemerintah, dan lain-lain.
Dari jenis pemidanaan qishash-diyat,
hudud, dan ta’zir diketahui bahwa konsep
pemidanaan dalam hukum pidana Islam
sebenarnya telah jauh menjangkau ke
depan, karena tidak hanya mengenal
sanksi dalam bentuk pidana atau straf,
tetapi juga mengenal sanksi dalam
bentuk tindakan (matregel), yang saat
ini dikenal dengan bentuk sanksi double
track system (
o
tto Yudianto, 2012:22).
Penjatuhan pidana dalam Islam sendiri
sangat memperhatikan sisi kemaslahatan
masyarakat, tidak hanya memperhatikan
aspek legalitas belaka. Adapun tujuan
hukum pidana Islam adalah untuk: (1)
menegakkan keadilan; (2) membuat jera
pelaku; (3) memberi pencegahan secara
umum; (4) memperbaiki pelaku (Umar
al-Tamimi, 2013: 471-472).
H u k u m p i d a n a I s l a m t i d a k
mengenal pemenjaraan, karena konsep
ini meru pakan konsep yan g lahir d i
dunia Barat. Pemidanaan dalam hukum
pidana Islam bersifat segera dengan
me mak s ima lkan pe rli ndun gan ba g i
pelaku pidana, korban, dan masyarakat
lainnya. Pidana penjara hanya dapat
diterima s epanjan g pidan a tersebut
m e m b e r i k a n k e m a s l a h a t a n d a n
kemanfaat an bagi mas yarakat (
o
tto
Yudianto, 2012:24).
3. Anal isi s keberada an P idana Penj ara
dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Pidana yang dijatuhkan kepada pelaku
kejahatan merupaka n sesuatu yang adil
dalam berbagai perspektif teori pemidanaan
(G a r g i Roy, 2014 : 9 5 ). N amun , h a r u s
dipert imb angkan pul a sis i keadi lan d an
ke man faa tan be ntu k pem ida naan ya ng
akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan.
Jangan sampai pemidanaan yang dijatuhkan
melanggar hak asasi manusi a si p elak u
kejahatan itu sendiri.
Pidana penjara sebagai jenis pidana yang
merampas hak kebebesan seseorang tentu
saja melanggar hak asasi manusia, terutama
apabila pidana penjara dijatuhkan seumur
hidup, ini merupakan bentuk hukuman yang
sangat tidak manusiawi (Esther Gumboh,
2011: 77). Pidana penjara terkadang harus
dijalani seseorang yang divonis pidana mati,
yang seringkali tanpa kejelasan kapan ia akan
divonis. Harus diakui banyak hal negatif dari
sistem pembinaan dalam pidana penjara,
yang harus dialami narapidana diantaranya:
1) S e c a r a s o s io l o g i s p e m e n j a r a a n
menjadikan seseorang terpisah dari
keluarganya. Apabila ia adalah kepala
keluarga maka sejatinya ia mempunyai
kewajiban memberi nafkah keluarganya,
isteri dan anak-anaknya maupun orang
la i n yang seb e lum ia dipe n jara ia
tanggung nafkahnya, selain itu tentu
saja pemenuhan kebutuhan biologisnya
pun menjadi terganggu;
2) Di penjara, sistem pembinaan ternyata
kurang berjalan dengan baik, di LAPAS
ditemukan k elompok -k elompok yang
serin g m eme ras ke lom pok lainnya,
bertindak kasar dan berkelahi. Petugas
LAPAS seringkali bertindak pilih kasih,
da n LAPAS p u n berf ung s i men j adi
te mpat tr a nsfe rnya ilmu kej ahat an
sehingga timbul adagium bahwa LAPAS
merupakan sekolah ilmu kejahatan (SIK)
(Andrew Stevano Kokong, 2012: 53);
3) Si ste m pemid ana an me lalui pida na
penjara menjadikan seorang narapidana
terisolasi dari masyarakat dan keluarga,
sehingga secara psikologis narapidana
dapat mengalami stress dan penurunan
kesehatan mental (Alison Liebling, 2006:
425);
4) Keluar dari penjara, masyarakat justru
takut dan bahkan tidak mau menerimana
kembali mantan narapidana, karena takut
apabila mantan narapidan a tersebut
melakukan kejahatan kembali. Terjadi
labelling mantan narapidana dengan
sebutan penjahat, sehingga keluar dari
LAPAS ia sangat kesulitan mendapat
pekerjaan untuk menghidupi diri dan
kelu ar ga nya, sehing ga tida k sedik it
narapidana yang akhirnya melakukan
kejahatan kembali (residivist).
Perkembangan teori pidana
da n pem i dan aan da ri ret rib u tif k e pad a
keadil an res tor atif , yang me ngh e n dak i
adanya perlakuan yang lebih man usiawi
kepada pelaku kejahatan, dan melindungi
ha k -hak k o rban maupu n k e luar g a d an
masyarak at. P ada proses pe nyelesaia n
kasus pidana menurut restorative justice
melalui musyawarah untuk mufakat, di mana
masing-masing pihak mempunyai kedudukan
yang sama dan tidak ada yang mendominasi
26 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
(John Braithwaite, 2002: 565), adapun fokus
penyelesa iannya t erlet ak pada me diasi
dan pemulihan hubungan ant ar a pelaku
kejahatan dan korban (Edward J. Gumz dan
c
ynthia L. Grant, 2009: 121). Penyelesaian
perkara dengan restorative justice bertujuan
menghasilkan keberhasilan dalam penegakan
hukum dengan melibatkan seluruh pihak yang
terlibat dalam suatu kejahatan, yaitu pelaku,
korban, anggota keluarga dari pelaku dan
korban, serta masyarakat. Penyele saian
kasus pidana dapat lebih adil dan lebih
efektif k arena semua pihak terlibat aktif
(
o
kwendi Joseph Solomon dan Richard
Nwankwoala, 2014: 128). Pelaku kejahatan
harus memperbaiki akibat yang ditimbulkan
oleh kejahatan yang dilakukannya, korban
secara fisik dan psikis mendapat pemulihan
dalam bentuk ganti rugi dan mengurangi
ba hkan p enye m buha n r a sa tak ut atau
tr aum a, mas ya rak a t men gam bil ba gia n
dalam pemulihan akibat negatif dengan
cara menerima kembali pelaku kejahatan
dan memberi pengajaran kepada anggota
masyarakat lainnya supaya tidak melakukan
kejahatan lainnya.
Apabila dilihat dari kajian restorative
justice di atas, maka tujuan pemidanaan
dalam RKUHP sebagaimana dicantumkan
dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c, yaitu untuk,
“menyelesaikan k onflik yang timbul oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan,
da n m e ndata n gka n rasa damai dalam
masyarakat”, adalah sesuai dengan teori
restorati ve justi ce yang menitikberatkan
pe n yel e saia n p erkar a p ada pe m ulih a n
keseimbangan dan rasa damai di masyarakat.
Sebenarnya, bila dilihat dari perspektif hukum
adat , mak a ma syarakat adat Indone sia
sud ah s ejak lam a meng gu nakan prinsip
ini. Karenanya, rumusan Pasal 54 ayat (1)
huruf c RKUHP sejalan dengan dengan teori
keseimbangan yang bersumber dari adat
bangsa Indonesia (Siti Nurjanah, 2011).
Pidana penjara dalam RKUHP dapat
dijatuhkan untuk (1) seumur hidup atau untuk
waktu tertentu, (2) palin g lama 15 tahun
berturut-turut atau paling singkat 1 hari kecuali
dit entukan minimum khu sus (Pasal 69).
Kemudian diatur pembatasan pidana penjara
untuk waktu tertentu tidak boleh lebih dari
20 tahun. RKUHP juga merumuskan aturan
bahwa terpidana mati yang telah menjalani
pidana paling kurang 17 tahun dapat diberikan
pembebasan bersyarat apabila terpidana
berkelakuan baik (Pasal 70).
Pasal 71 merumuskan bahw a pidana
pe n jara bah k a n s ejau h mu ngkin ti d a k
dijatuhkan apabila: (1) ter dakw a berusia
kuran g dari 1 8 tahun atau lebih dari 70
tahun; terdakwa baru pertama kali melakukan
tindak pidana; (3) kerugian dan penderitaan
korban tidak terlalu besar; (4) terdakwa telah
membayar ganti kerugian kepada korban;
(5) terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak
pidana yang dilakukan akan menimbulkan
kerugian yang besar; (6) tindak pidana terjadi
karena hasutan yang sangat kuat dari orang
lain; (7) korban tindak pidana mendorong
terjadinya tindak pidana tersebut; (8) tindak
pidan a ter seb u t mer upa kan ak iba t dari
suatu keadaan yang tidak mungkin terulang
lagi; (9) kepribadian dan perilaku terdakwa
meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan
tindak pidana yang lain; (10) pidana penjara
akan menimbulk a n p e n d e r i t a a n yang
besar bag i terdakwa atau keluarg anya;
(11) pemb inaan yang no n -ins t itu s iona l
diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri
terdakwa; (12) penjatuhan pidana yang lebih
ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya
tindak pidana yang dilakukan terdakwa; (13)
tindak pidana terjadi di kalangan keluarga;
(14) terjadi karena kealpaan.
Perumusan peniadaan pidana penjara
ata u p e r u b a h an b e n t uk p i d an a d a r i
pi dana penja ra kep a da bent uk pida na
atau tindakan dalam Pasal 71 RKUHP di
atas merupakan bentuk perlindungan hak
terpidana dan keluarganya. Dengan demikian
RKUH P b e r u p a ya m e m b entu k h uku m
pidana yang melindungi hak-hak terpidana.
Walaupun demikian, pidana penjara tetap
tidak memberika n porsi yang besar bagi
pe r lind u n ga n k orban d a n ma s yarak a t .
Sebagai bentuk perlindungan korban RKUHP
merumuskan pada Pasal 99 ayat (1) bahwa:
“Dalam putusan hakim dapat ditetapkan
kewajiban terpidana untuk melaksanakan
pembayaran ganti kerugian kepada korban
atau ahli warisnya”. Kemudian Pasal 100
RKUHP merumuskan t entang kewajiban
adat yang harus dilaksanakan oleh terpidana.
Penggunaan pidana adat dalam pemidanaan
pada Pasal 100 ini sesuai dengan rumusan
dalam Pasal 2 ayat (2).
Perumusan kata “dapat” dalam Pasal
99 ayat (1) menunjukkan bahwa penetapan
ganti kerugian bukanlah dalam kewajiban
pidana, yang berarti boleh dilakukan atau
tidak. Seharusnya apabila kejahatan yang
dilakukan terpidana memang menimbulkan
Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
27
kerugian kepada korban atau ahli warisnya
maka terpidana wajib memberikan ganti rugi
kepada korban atau ahli warisnya sesuai
dengan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana yang dilakukannya. Hal ini sesuai
dengan rumusan pembayaran ganti kerugian
dalam hukum pidana Islam atau dalam hukum
pidana adat.
Dalam rangka perubahan ide pemidanaan
ini, selain pidana penjara, dalam RKUHP juga
dirumuskan jenis pemidanaan baru berupa
pidana pidana pengawasan, pidana denda,
dan pidana kerja sosial (Pasal 65 ayat (1)
RKUHP), sedangk an pidana mati diubah
menjadi pidana pokok yang bersifat khusus
dan selalu diancamka n secara alternatif
(Pasal 66 RKUHP). Pidana denda adalah
sanksi yang bertujuan untuk mengembalikan
keseimbanga n agar kete rtiban di dalam
masyarakat pulih (I A Budijava dan Julianus
Bandrio, 2010: 77). Namun masih pidana
denda memiliki kelema han di antaranya
dengan adanya pilihan hukuman membayar
denda atau kurungan. Banyak terpidana
yang dihukum denda, lebih memilih menjalani
huku man k uru ng an. Mer eka cender ung
berpikiran lebihi enak menjalani hukuman
kurungan beberapa bulan dari pada harus
mengeluarkan uang dalam jumlah banyak.
De nga n m enja lan i h ukum an kuru nga n,
seolah-olah hukuman denda itu sudah dibayar
lunas oleh terpidana. Adanya penggantian
hukuman tersebut sangat menguntungkan
pelaku kejahatan, padahal sesungguhnya
tujuan utama menjatuhkan hukum denda
adalah untuk dibayar, bukan untuk diganti
dengan hukuman lain. Pidana denda yang
dijatuhk an peng ad ilan sela ma ini dapa t
dikatakan tidak efektif, karena sulit untuk
dieksek usi dan tujuannya tid ak tercapai
sebag aim ana yang d iha r apk an. ha mpir
semua terpidana yang dijatuhi pidana denda,
tidak bersedia atau tidak mau membayar
denda tersebut. terpidana lebih memilih untuk
menjalani hukuman kurungan pengganti.
kelemahan perangkat hukum adalah tidak
adanya upaya paksa bagi terpidana untuk
melaksanakan hukuman denda. kelemahan
ini tentu s aja menguntungka n terpid an a
di satu pihak, namun m erugikan negara
di la in pih ak . ba gi t erpidana t idak perlu
mengeluarkan uang banyak untuk membayar
denda, namun bagi negara kerugian yang
ditimbulkan oleh perbuatan pelaku menjadi
tidak dapat dipulihkan (Gatot Supramono,
2008: 35).
D. Simpulan
Pidana penjara sebagai salah satu pidana
pok ok , meru pakan je nis pidana yan g pa ling
banyak diancamkan dalam KUHP Indonesia,
begitu juga dalam RKUHP. Dalam pelaksanaan
pidana penjara masih terdapat banyak kekurangan
yang har us dip erb aiki su paya p emi dana an
yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tidak
me nim bulkan ef ek ne gat if ba gi pe lak u d an
keluarganya. Selain itu, pidana yang dijatuhkan
kep a d a p elak u kej a hatan harus s e k a ligu s
memperbaiki keadaan korban, keluarga korban,
dan memulihk an keadaan masyarakat sesuai
dengan perkembangan konsep pemidanaan ke
arah restorative justice.
28 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014
Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum ...
daftar Pustaka
Andrew Stevano Kokong. 2012. Pidana Penjara Seumur Hidup dalam Sistem Pemidanaan, Lex
c
rimen,
Vol. I, No. 2, Apr-Jun 2012.
Bagir Manan. 1999.“Penelitian di Bidang Hukum”. Jurnal Hukum Puslitbangkum, Nomor 1-1999. Lembaga
Penelitian Univ. Padjadjaran, 1999.
Budijava, I A., dan Yulianus Bandrio, Eksistensi Pidana Denda di Dalam Penerapannya, Jurnal Hukum,
Vol. XIX, No. 19,
o
ktober 2010.
Braithwaite, John, Setting Standards for Restorative Justice, Brit. J. Criminol, 42, 2002.
Damren, Samuel
c.,
Restorative Justice Prison and the Native Sense of Justice, Journal of Legal
Pluralism, nr. 47, 2002.
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009.
Gatot Supramono, Hukuman Pidana Denda di Indonesia, Varia Pengadilan, No. 270, Mei 2008.
Gumboh, Esther, The Penalty of Life Imprisonment under International
c
riminal Law, African Human
Rights Law Journal, 11, 2011.
Gumz Edward J., and
c
ynthia L. Grant, Restorative Justice: A Systematice review of the Social Work
Literature, Families in Society, Volume 90, No. 1, 2009.
Ibnu Artadi, Menggugat Efektivitas Penerapan Pidana Penjara Pendek Menuju Suatu Proses Peradilan
yang Humanis, Jurnal Hukum Pro Justitia,
o
ktober 2006, Volume 24 No. 4.
Liebling, Alison, Prison in Transition, International Journal of Law and Psychiatry, 29, 2006.
otto
Yudianto, Eksistensi Pidana Penjara dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat (Kajian
Pembaharuan Hukum Pidana), Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 15, Pebruari 2012.
Packer, Herbert L., The Limits of The Criminal Sanction,
c
alifornia: Stanford University Press, 1968.
Roy, Gargi, Is
c
apital Punishment Acceptable?, International Journal of Humanities and Social Science,
Vol. 4 No. 2, Special Issue, January 2014.
Siti Nurjanah, Pidana dan Pemidanaan dalam Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Istinbath, Vol.
8, Nomor 2, Nopember 2011.
Solomon,
o
kwendi Joseph, and Richard Nwankwoala, The Role of Restorative justice in
c
omplementing
the Jusstice System and Restoring
c
ommunity Values in Nigeria, Asian Journal of Humanities and
Social Sciencies (AJHSS), Volume 2, Issue-3, August 2014.
Suwarto, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Hukum Pro Justitia,
Volume 25 No. 2, April 2007.
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana,
2011.
Umar al-Tamimi, Lembaga Pemafaan sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum
Islam, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1 Nomor 3, Desember 2013.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Konsep 2012)
... Pidana penjara yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan harus dapat memperbaiki keadaan korban dalam keluarga dan masyarakat. Pergeseran paradigma pemidanaan ke arah keadilan restoratif menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak (Kania, 2014). Penjatuhan pidana penjara terhadap anak sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan dampak negatif yang mengakibatkan penderitaan dan masalah psikologis akibat pengisolasian kehidupan di dalam penjara (Arief, 2017). ...
... Pidana penjara akan mendatangkan kebaikan jika digunakan sebagai jalan terakhir meskipun perbuatan yang dilanggar oleh anak merupakan kejahatan luar biasa. Pelaksanaan pidana penjara masih banyak kekurangan sehingga harus banyak diperbaiki agar pemidanaan tidak mengakibatkan efek negatif bagi pelaku dan keluarganya (Kania, 2014). Pelaksanaan pembinaan di LPKA kelas I Tangerang untuk anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme masih dilakukan sama dengan kasus-kasus tindak pidana umum atau komunal. ...
Article
Full-text available
This study aimed to analyze imprisonment for children who were perpetrators of terrorism crimes and legal protection for children who were perpetrators of terrorism crimes based on statutory regulations. The study was analyzed qualitatively using a statutory approach and a case approach with a normative juridical type of research. The study results showed that imprisonment for children who were perpetrators of terrorism criminal in the Juvenile Criminal Justice System Act was not prohibited but must be used as a last resort and in the shortest time. Legal protection for children involved in criminal acts of terrorism in the Child Criminal Justice System Act was in line with the Child Protection Act, which considered special protection for children who were perpetrators of terrorism crimes by emphasizing rehabilitation through deradicalization guided by religious education, Pancasila education, values of nationalism and guidance on the dangers of terrorism.
... The first argument is the imposing of legal punishment according to retributive theory, whilst the second argument is the imposing of legal punishment according to utility theory (Mastalia, 2017). Over the course of time, the utility theory has often been seen as superior, as the defining purpose of legal punishment, particularly in the corridor of the criminal law (Kania, 2014). The reason is that the utility theory prioritises the usefulness aspect of legal punishment, rather than simply retaliating against the convicted, allowing the restorative aspect of legal punishment to establish balance and peace in society (Irmawanti & Arief, 2021). ...
... Salah satu sarana dalam menanggulangi permasalahan kejahatan biasanya peraturan perundang-undangan menetapkan sanksi pidana penjara sebagai akhir dalam penjatuhan putusan. Dari berbagai jenis pidana pokok yang ada, pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, hampir semua peraturan perundang-undangan di dalamnya terdapat sanksi pidana penjara (Kania, 2014). Namun beberapa tahun belakangan ini pidana penjara mendapatkan beberapa kritik dan masukan oleh beberapa ahli hukum, sanksi pidana penjara dianggap sudah tidak menjadi primadona lagi karena banyak yang kurang menyukainya. ...
Article
Full-text available
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal dimana pelakunya adalah pelaku usaha yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang dalam alat ukur/takar/timbang dan perlengkapannya. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis empiris. Hasil penelitian mekanisme pengaduannya melalui balai metrologi dinas perindustrian dan perdagangan yang kemudian akan ditindaklanjuti menggunakan pengawasan dan pembinaan oleh PPNS. Dari hasil tersebut didapat hasil adanya temuan kecurangan atau tidak. Keefektifan suatu peraturan perundang-undangan terjadi apabila undang-undang tersebut melihat dari segi aspek kepentingan masyarakat, sehingga suatu pidana dibidang metrologi legal bisa efektif jika pidana tersebut sebanyak mungkin dapat mencegah atau mengurangi para pelaku usaha melakukan kejahatan perbuatan curang. Sehingga kriteria keefektifan suatu undang-undang dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan itu dapat ditekan, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
... The first argument is the imposing of legal punishment according to retributive theory, whilst the second argument is the imposing of legal punishment according to utility theory (Mastalia, 2017). Over the course of time, the utility theory has often been seen as superior, as the defining purpose of legal punishment, particularly in the corridor of the criminal law (Kania, 2014). The reason is that the utility theory prioritises the usefulness aspect of legal punishment, rather than simply retaliating against the convicted, allowing the restorative aspect of legal punishment to establish balance and peace in society (Irmawanti & Arief, 2021). ...
Article
Full-text available
Perdebatan mengenai penerapan pidana mati di Indonesia memang tidak kunjung berakhir, termasuk pula dalam ranah pidana mati bagi koruptor. Penelitian ini menawarkan analisis reflektif berdasarkan aliran utilitarianisme yang melihat unsur kemanfaatan sebagai justifikasi dari pemberlakuan sebuah hukum. Sudut pandang utilitarianisme digunakan sebagai alat analisis karena kejahatan korupsi sangat berhubungan erat dengan keuangan negara, sehingga sanksi hukum harus dipastikan dapat menghasilkan manfaat bagi keuangan negara tersebut. Hasil penelitian menunjukan kemanfaatan yang dihasilkan sangat kecil, sedangkan harga yang harus dibayar sangat tinggi dalam penjatuhan pidana mati bagi koruptor ini. Dalam perspektif utilitarianisme penjatuhan pidana mati bagi koruptor tidak mencapai kesebandingan dalam kalkulasi cost and benefit.
Article
Full-text available
This study evaluates the effectiveness of imprisonment in the criminal justice system in Indonesia towards an ideal and effective criminal justice system. This study integrates normative legal methods and empirical legal methods, with secondary data through literature studies. The results of the study indicate that imprisonment as a premium remedium causes overcrowding in correctional institutions (Lapas) and is ineffective in rehabilitating prisoners. The paradigm shift in punishment from retributive to restorative has not been fully realized with the discovery of obstacles such as poor prison facilities and increasing recidivism. Therefore, this study suggests optimizing imprisonment through policy reform, including the implementation of social work as an alternative, improving the quality of prisons, strengthening supervision, and implementing restorative justice. Optimizing non-prison sentences such as diversion, fines, and community-based programs is also needed to reduce overcrowding. In conclusion, in-depth evaluation and policy reform, improving the quality of prisons, and community participation are essential to realizing a more effective and equitable criminal justice system in Indonesia. Keywords: Imprisonment, Optimization of Sentencing, Criminal Justice System
Article
Full-text available
The criminal law reform agenda in Indonesia requires a comprehensive analysis to develop criminal supervision policies. In Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code, supervision crime is considered a basic type of crime. To ensure fairness in sentencing, various points of view need to be considered, including procedures for implementing supervision over criminal supervision. The aim of this research is to analyze changes in criminal law policy in Indonesia. The method used is normative legal research with a statutory approach. The research results in this study state that the paradigm change in the criminal system from retributive, which is repressive, to restorative, based on justice. This is reflected in the national Criminal Code which includes the crime of supervision as a new type of crime that is an alternative to the crime of conditional deprivation of liberty. Judicial integration is very important to ensure that the implementation of criminal supervision in the future runs effectively and does not become a new burden in criminal law enforcement in Indonesia.Keywords: Criminal Law Reform, Criminal Supervision, Policy. AbstrakAgenda pembaharuan hukum pidana di Indonesia diperlukan analisis yang komprehensif untuk mengembangkan kebijakan pidana pengawasan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengkategori pidana pengawasan sebagai jenis pidana pokok. Untuk memastikan keadilan dalam pemidanaan perlu dipertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk prosedur pelaksanaan pengawasan terhadap pidana pengawasan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis terhadap perubahan kebijakan hukum pidana di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan paradigma dalam sistem pemidanaan dari retributif yang bersifat represif menjadi restoratif yang berbasis keadilan. Hal ini tercermin dalam KUHP nasional yang mencakup pidana pengawasan sebagai jenis pidana baru yang bersifat alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan bersyarat. Integrasi peradilan sangat penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan pidana pengawasan di masa mendatang berjalan dengan efektif dan tidak menjadi beban baru dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.Kata kunci: Kebijakan, Pembaharuan Hukum Pidana, Pidana Pengawasan.
Article
Full-text available
This research analyzes the problem of punishment in the current Criminal Code because there is a mismatch of socio-political, socio-philosophical, and socio-cultural foundations. This study also analyzes the problems in the current Criminal Code punishment due to the strong retributive influence on punishment so that imprisonment becomes the sole answer for judges in deciding cases. In connection with the various problems of punishment in the Criminal Code, efforts are made to reform the Criminal Code, which is adjusted to the socio-political, socio-philosophical, and socio-cultural foundations so that the reform of the Criminal Code has a mono-dualistic and pluralistic nature. The purpose of this research is to find how the concepts of mono-dualistic and pluralistic influence the reformation of the Criminal Code as well as the political direction of punishment in the reformation of the Criminal Code. Based on the research, the author found that the mono-dualistic and pluralistic nature of the Criminal Code reform influences the material expansion of the principle of legality. In addition, criminal code reform has a contemporary direction that prioritizes not only deterrent effects but also rehabilitative efforts so that it can restore social functions.
Article
Full-text available
The Corruption Law of Indonesia regulate the return of the state’s losses suffered by state shall not exclude the criminal acts performed by the perpetrators. In practice, the state’s financial loss due to corruption is less than the cost of enforcing the relevant law. Furthermore, a corruption case requires manpower and lengthy process. Thus, the novel idea of settling minor state financial losses in corruption cases by means of returning the losses is considered more effective when applied with certain conditions. The research method of this study is normative judicial. The data used are primary, secondary and tertiary. This study argues that the concept of restorative justice could be applied to the settlement of corruption cases with minor state finance losses with certain conditions. The restorative justice approach to handling cases of corruption emphasises the restoration of the original state of affairs prior to the corruption, the application of restorative justice includes the stoppage of cases in the examination, investigation, and prosecution stages by considering the interest of the state, society, and other legal interests to be protected, the avoidance of negative stigma and retaliation, as well as society’s response to such as resolution.
Article
Full-text available
The judicial power in criminal law enforcement within the Criminal Justice System, including the execution of criminal sanctions sub-system, should be independent and self-supporting. In Indonesia, the execution of criminal sanctions sub-system is currently under the executive power that enables the practice of execution of sanctions being obstructed by many factors. In relation to that, this study explains the urgency of revision for legal structure of criminal sanctions execution and legal structure reformation for criminal enforcement in Indonesia. It employs a qualitative approach using the doctrinal research within the post-positivism paradigm. This study found that it is considered urgent or essential to reform the criminal legal structure of the national law based on philosophical, sociological, and juridical aspects abiding to Pancasila. The criminal law system covers the criminal law enforcement system which includes material criminal law sub-system, formal criminal law sub-system, and execution of criminal sanctions sub-system. Essentially, the execution of criminal sanctions sub-system acts as a sub-system of punishment. The structural reform of the systemic law in execution of criminal sanctions sub-system should be under the auspices of judicial authority, which is the Supreme Court. Therefore, this study concludes that the system should become linear, independent, synergized, and integrated with the investigative agents, prosecutors, and courts in a single criminal law system. In this way, there will be supervision and coordination in the context of the integrality of punishment, which falls under one protection of an integrated criminal law enforcement system.
Article
Full-text available
Every member of the National Police should ideally be a law enforcement officer who carries out maintaining public security and order, enforcing the law, and providing protection, shelter, and service to the community. In fact, there are members of the National Police who are part of a syndicate of narcotics traffickers. Therefore, the criminal law enforcement policies are implemented against the perpetrators. The problem of this research is how the policy of criminal law enforcement against drug dealer syndicates is carried out by members of the National Police and what are the legal consequences for the perpetrators of illicit drug trafficking syndicates carried out by members of the Indonesian National Police. This study uses a normative juridical approach based on secondary data which was analyzed qualitatively. The results of this study indicate that the policy of law enforcement against the perpetrators of drug trafficking syndicates carried out by members of the National Police through the means of criminal law is the settlement of cases using general criminal procedure law through the general court. The legal instrument used is Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics. In addition, law enforcement against perpetrators of drug trafficking syndicates carried out by members of the National Police is also carried out using the enforcement of the Police Code of Ethics through the Police Code of Ethics trial. The legal consequences for perpetrators of illicit drug trafficking syndicates carried out by members of the Indonesian National Police are that the perpetrators will be faced with two legal instruments at once, namely general criminal justice in accordance with the provisions of the criminal procedure law and can be sentenced to criminal penalties in accordance with the article of the Narcotics Law that is violated and enforcement the law through an ethics trial by the internal police, with the most severe sanctions against the perpetrators being subject to ethical sanctions in the form of dishonorable dismissal as members of the police.
Article
Full-text available
Restorative justice is an alternative paradigm for dealing with the effects of crime and wrongdoing that seeks to bring healing to victims, offenders, and the community. Although a key element of social work’s ethical code is the obligation to work toward social justice, this has been viewed primarily as efforts to ensure a fair distribution of resources and opportunities. Yet justice is also restorative in nature—seeking to restore and enhance victims, offenders, and communities to fuller functioning. This article systematically reviews 80 social work peer-reviewed articles dealing with restorative justice. The role of social workers in restorative justice programs remains largely unknown. Suggestions are made for enhancing social work practice in the restorative justice arena.
Article
Full-text available
Three types of restorative justice standards are articulated: limiting, maximizing, and enabling standards. They are developed as multidimensional criteria for evaluating restorative justice programmes. A way of summarizing the long list of standards is that they define ways of securing the republican freedom (dominion) of citizens through repair, transformation, empowerment with others and limiting the exercise of power over others. A defence of the list is also articulated in terms of values that can be found in consensus UN Human Rights agreements and from what we know empirically about what citizens seek from restorative justice. Ultimately, such top&hyphen;down lists motivated by UN instruments or the ruminations of intellectuals are only important for supplying a provisional, revisable agenda for bottom&hyphen;up deliberation on restorative justice standards appropriate to distinctively local anxieties about injustice. A method is outlined for moving bottom&hyphen;up from standards citizens settle for evaluating their local programme to aggregating these into national and international standards.
Article
In light of the global trend towards the abolition of the death penalty and the stand of the United Nations on the matter, it is not surprising that the maximum penalty available under international criminal law is life imprisonment. However, during the negotiations for the penal aspects of the Rome Statute, some delegates contended that life imprisonment is a violation of human rights such as human dignity and the prohibition against cruel, inhuman and degrading treatment or punishment. On the other hand, some delegates felt that excluding life imprisonment from the International Criminal Court's competence where the death penalty was not available would handicap its mandate to punish gross human rights violators. Adopting a human rights perspective, the article revisits this debate by critically examining the penalty of life imprisonment under international criminal law. It argues that no clear justification has been given for the imposition of life imprisonment and that the release mechanism for lifers needs to be improved. Focusing on the International Criminal Tribunal for Rwanda, the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia and the International Criminal Court, the article analyses the relevant statutes and rules and the manner in which life imprisonment has been imposed by these tribunals. Further consideration is given to the enforcement of sentences with respect to the prospect of release for 'lifers'. The article concludes by stressing the need for a more focused and cautious approach to life imprisonment and the enforcement of sentences under international criminal law.
Article
The role of the prison has changed, in some ways dramatically, over the last two decades. The prison population has grown and its composition has altered. There has been an increase in the depth and weight of imprisonment, and a hardening of its emotional tone. Prisoners' voices have been silenced, outcomes have deteriorated, and yet public presentation of the prison has improved. Power has shifted upwards, as senior managers have an unprecedented grip on establishments and their 'performance'. There are new fantasies about, and constructions of, the prison's role, with little evidence to support such public and political dreams. Such sleights of hand are only possible without knowledge of the prison's interior life. Punitive prisons which treat prisoners, and possibly prison staff, unfairly and with little or no respect add to human suffering and do not address either the problem of crime or the problem of public fear.
Pidana Penjara Seumur Hidup dalam Sistem Pemidanaan
  • Andrew Stevano
Andrew Stevano Kokong. 2012. "Pidana Penjara Seumur Hidup dalam Sistem Pemidanaan, Lex crimen, Vol. I, No. 2, Apr-Jun 2012.
Penelitian di Bidang Hukum ". Jurnal Hukum Puslitbangkum, Nomor 1-1999
  • Bagir Manan
Bagir Manan. 1999. " Penelitian di Bidang Hukum ". Jurnal Hukum Puslitbangkum, Nomor 1-1999. Lembaga Penelitian Univ. Padjadjaran, 1999.
Eksistensi Pidana Denda di Dalam Penerapannya
  • I A Budijava
  • Yulianus Dan
  • Bandrio
Budijava, I A., dan Yulianus Bandrio, Eksistensi Pidana Denda di Dalam Penerapannya, Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, oktober 2010.
Restorative Justice Prison and the Native Sense of Justice
  • Samuel C Damren
Damren, Samuel c., Restorative Justice Prison and the Native Sense of Justice, Journal of Legal Pluralism, nr. 47, 2002.