Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
28
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juli 2015: 28-35
Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap
kadar glukosa plasma menggunakan tes toleransi glukosa oral
Correlation between waist circumference (WC) and waist-hip ratio (WHR) with plasma glucose levels using oral
glucose tolerance test method
Farida Dwi Rokhmah1, Dian Handayani1, Harun Al-Rasyid2
1 Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
2 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
ABSTRACT
Background: The increased circumference of waist and waist-hip ratio describe intra-abdominal fat which is associated with
a number of metabolic disorders such as diabetes mellitus. Objectives: The aim of the study is analyze the correlation between
circumference of waist and waist-hip ratio in plasma glucose levels using the Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) method in adults.
Methods: This study was a cross sectional study involving 75 respondents from Klojen which is located in Malang and obtained by
multistage sampling random. The variables in the study include circumference of waist, waist-hip ratio, fasting plasma glucose and
plasma glucose after consuming glucose liquid. Data were analyzed using coeffi cient contingency and Spearman correlation.
Results: This study found that based on waist circumference and waist-hip ratio, most of subjects are categorized as not at risk.
Furthermore, based on plasma glucose level measurement using OGTT, 96% of subjects are normal. Conclusion: There is no
correlation between plasma glucose level using OGTT and waist circumference as well as waist-hip ratio (p>0.05).
KEY WORDS: oral glucose tolerance test; plasma glucose; waist circumference; waist-hip ratio
ABSTRAK
Latar belakang: Peningkatan lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul dapat menggambarkan lemak intra-abdomen
yang bisa menyebabkan resiko tinggi pada sejumlah penyakit, seperti diabetes mellitus. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul dengan kadar glukosa plasma menggunakan metode
Tes Toleransi Glukosa Oral pada orang dewasa dimana responden diminta untuk bersedia diukur glukosa plasma sebelum dan
setelah mengonsumsi larutan glukosa. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Cross sectional yang melibatkan 75 responden
berumur lebih dari 18 tahun sampai 40 tahun dan tidak memiliki penyakit diabetes serta tidak sedang hamil yang berasal dari
Kelurahan Klojen di Kota Malang, Jawa Timur dan diperoleh dengan Multistage Random Sampling. Variabel pada penelitian ini
meliputi lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang- panggul, kadar glukosa plasma puasa dan kadar glukosa plasma 2 jam setelah
mengonsumsi larutan glukosa. Data dianalisis menggunakan Contingency Coeffi cient dan Spearman Correlation. Hasil: Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul, sebagian besar responden
tergolong tidak berisiko mengalami diabetes. Begitu pula hasil pemeriksaan glukosa plasma menggunakan tes toleransi glukosa
oral, sebagian besar responden (96%) berada dalam kategori normal yang berarti bahwa sebagian responden tidak memiliki pre-
diabetes. Simpulan: Penelitian ini tidak menemukan korelasi antara lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul dengan
kadar glukosa plasma menggunakan tes toleransi gukosa oral (p>0,05).
KATA KUNCI: TTGO; kadar glukosa plasma; lingkar pinggang; rasio lingkar pinggang-panggul
Korespondensi: Farida Dwi Rokhmah, Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Jl. Veteran, Ketawanggede, Lowokwaru,
Malang, Jawa Timur 65145, e-mail: faridadwirokhmah@gmail.com
PENDAHULUAN
Antropometri merupakan suatu studi yang
mengukur tubuh manusia dari berbagai dimensi yaitu
tulang, otot dan jaringan lemak. Contoh pengukuran
antropometri diantaranya berat badan, tinggi badan,
lingkar pinggang, lingkar panggul, tebal lemak (bisep,
trisep, suprailiac dll), dan lingkar lengan atas (1).
Perbedaan dalam prosedur pengukuran diantara beberapa
Jurnal Gizi Klinik Indonesia
Vol 12 No 01 - Juli 2015 (28-35)
ISSN 1693-900X
29
Farida Dwi Rokhmah, dkk: Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma
penelitian bisa menghasilkan variasi yang berbeda,
contohnya dalam menentukan titik tengah untuk
mengukur lingkar pinggang, serta hubungannya dengan
faktor risiko, penyakit atau outcome lain (2). Korelasi
suatu pengukuran antropometri dengan suatu parameter
gangguan metabolik pada suatu etnis dapat memiliki nilai
korelasi yang berbeda dengan etnis lain (3).
Pengukuran antropometri memiliki beberapa
keuntungan yaitu mampu menyediakan informasi
mengenai riwayat gizi masa lalu, yang tidak dapat
diperoleh dengan bukti yang sama melalui metode
pengukuran lainnya. Pengukuran ini dapat dilakukan
dengan relatif cepat, mudah, dan reliable menggunakan
peralatan-peralatan portable, tersedianya metode-metode
yang terstandarisasi, dan digunakannya peralatan yang
terkalibrasi (4).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 proporsi
obesitas berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) pada
perempuan (>18 Tahun) di Indonesia prevalensinya
sebesar 32,9%, sedangkan di Jawa Timur memiliki
prevalensi yang lebih tinggi yaitu 34%. Prevalensi
obesitas pada laki-laki (>18 Tahun) di Indonesia dan Jawa
Timur sama yaitu sebesar 19,7%. Sedangkan prevalensi
obesitas abdominal berdasarkan lingkar pinggang (LP),
Indonesia memiliki prevalensi 26,6%. Provinsi Jawa timur
memiliki prevalensi 26,6% yang sama dengan prevalensi
di Indonesia. Obesitas khususnya obesitas abdominal
berkorelasi dengan beberapa gangguan metabolisme
dan penyakit, dengan angka kesakitan dan kematian
yang tinggi, antara lain resistensi insulin dan diabetes
mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis,
penyakit hati dan kandung empedu, bahkan beberapa
jenis kanker (5).
Indikator yang digunakan untuk mengukur obesitas
diantaranya adalah pengukuran lingkar pinggang, rasio
lingkar pinggang-panggul (RLPP) dan IMT. IMT dihitung
dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan
tinggi badan dikuadratkan dalam meter. Kelemahan
pengukuran antropometri dengan IMT adalah tidak dapat
menilai distribusi lemak dalam tubuh sehingga kurang
sensitif untuk menentukan obesitas abdominal (6).
Pengukuran lingkar pinggang lebih sensitif dalam
menilai distribusi lemak dalam tubuh terutama yang
berada di dinding abdomen dan juga digunakan untuk
mengidentifi kasi 2 tipe dari distribusi lemak, yaitu tipe
android (pada bagian atas) dan gynecoid (pada bagian
bawah). Rasio lingkar pinggang-panggul dihitung dengan
membagi ukuran lingkar pinggang dengan lingkar panggul
(7). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengukuran
lingkar pinggang memiliki korelasi yang lebih baik
dengan distribusi lemak pada abdomen dibandingkan
dengan IMT. Saat hanya dilakukan pengukuran lingkar
pinggang saja, WHO merekomendasikan cut-off point
untuk Asia yaitu ≥90 cm untuk laki-laki dan ≥80 cm
untuk perempuan. Sedangkan cut-off point untuk RLPP
yaitu ≥1,0 untuk laki-laki dan ≥0,85 untuk perempuan
(5). Apabila hasil pengukuran melebihi cut-off point maka
tergolong berisiko.
Pengukuran kadar glukosa darah seseorang bisa
menggunakan berbagai cara diantaranya dengan glukosa
darah sewaktu, glukosa darah puasa, dan tes toleransi
glukosa oral (TTGO), yaitu dengan memberikan 75 gram
glukosa yang dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum
dalam waktu 5 menit (8). TTGO memiliki kelebihan
yaitu dapat menyimpulkan suatu data mengenai resiko
seseorang memiliki diabetes atau sudah memiliki diabetes
melitus. Apabila kadar glukosa darah melebihi normal
tetapi tidak cukup tinggi untuk disebut diabetes maka
keadaan ini disebut dengan pre-diabetes. Pre-diabetes
merupakan sebuah kondisi yang bisa menjadi penyakit
diabetes melitus tipe 2. Diabetes miitus bisa menjadi
awal berbagai masalah kesehatan sehingga lebih baik
melakukan pencegahan (9). Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis hubungan pengukuran LP dan RLPP
dengan kadar glukosa plasma menggunakan metode
TTGO pada orang dewasa
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik dengan pendekatan cross sectional yang
dilaksanakan pada bulan November-Desember 2014.
Populasi dalam penelitian adalah semua orang yang
berada di Kelurahan Klojen Kota Malang. Pengambilan
sampel dilakukan dengan pemilihan melalui kriteria
inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu responden
memiliki usia > 18 tahun sampai 40 tahun dan bersedia
menjadi responden. Sementara kriteria eksklusi adalah
30
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juli 2015: 28-35
responden yang memiliki penyakit diabetes melitus
dan responden merupakan ibu hamil. Berdasarkan
jumlah sampel yang dihitung didapatkan jumlah sampel
minimal yaitu 75 orang. Hal yang dapat dilakukan untuk
menghindari terjadinya kesalahan dalam penelitian yaitu
dengan menambahkan 10% dari jumlah sampel sehingga
jumlah sampel menjadi 83 orang sehingga apabila
mendapatkan responden yang ternyata kurang sesuai
dengan kriteria yang diinginkan memiliki cadangan
untuk mengganti data dengan responden lain yang sesuai
dengan kriteria.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah multistage random sampling. Lokasi
penelitian yang digunakan berada di Kelurahan Klojen
Kota Malang yang memiliki 7 RW (Rukun Warga) dengan
53 RT (Rukun Tetangga), dari 7 RW tersebut dipilih 3
RW secara acak. Kemudian dari 3 RW dipilih beberapa
RT secara acak dan didapatkan 4 RT yaitu RT 1, RT 3,
RT 6, dan RT 9. Pemilihan sampel pada tingkat Kepala
Keluarga menggunakan simple random sampling, yaitu
dari semua nama kepala keluarga dari RT yang terpilih
dijadikan satu kemudian dipilih 75 orang secara acak.
Data glukosa plasma diperoleh melalui pengukuran
glukosa darah puasa dengan cara responden melaksanakan
puasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Kemudian diberikan 75 gram gula pasir yang dilarutkan ke
dalam 250 mL air, setelah 2 jam maka kadar glukosa darah
diukur kembali. Selama proses pemeriksaan, subjek yang
diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok Glukosa darah
diukur dengan menggunakan glucko-stick yaitu responden
diambil darahnya kemudian dibaca menggunakan glucose-
meter. Hasil dari pengukuran glukosa darah dinyatakan
dalam mg/dL.
Lingkar pinggang adalah besaran yang diukur
dengan menggunakan metline dan dinyatakan dalam cm.
Pengukuran dilakukan di daerah antara crista iliaca dan costa
XII yang memiliki keliling dinding perut terkecil. Lingkar
pinggang diukur dalam posisi berdiri tegak dan tenang.
Baju penghalang pengukuran disingkirkan. Kemudian,
pita pengukur dilingkarkan ke daerah antara lower margin
dan crista iliaca. Pita pengukur tidak boleh menekan kulit
terlalu ketat dan sejajar dengan lantai. Pengukuran dilakukan
saat akhir ekspirasi normal. Lingkar pinggang dinyatakan
dalam cm dengan cut off point untuk laki-laki ≥ 90 cm dan
perempuan ≥ 80 cm (4).
Rasio lingkar pinggang-panggul merupakan nilai
yang didapat dengan membagi nilai lingkar pinggang
terhadap lingkar panggul. Rasio lingkar pinggang-
panggul didapatkan dengan membagikan nilai lingkar
pinggang terhadap nilai lingkar panggul. Pada pengukuran
lingkar panggul pita pengukur dililitkan pada bagian atas
symphisis asis pubis dan bagian maksimum dari rego
gluteus. Cut off point RLPP untuk laki-laki ≥ 1,0 dan ≥
0,85 untuk perempuan (4). Saat dilakukan pengukuran,
responden berganti pakaian menggunakan pakaian yang
disediakan oleh peneliti, kemudian dilakukan pengukuran
di ruang tertutup.
Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan
terhadap tiap variabel dalam hasil penelitian. Hasil analisis
univariat akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Analisis bivariat dilakukan menggunakan SPSS, normalitas
data diketahui dengan menggunakan Uji Kolmogorov
Smirnov. Hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat menggunakan Uji koefisien kontingensi dan uji
korelasi Spearman. Interval kepercayaan yang digunakan
adalah 95%. Hipotesis nol ditolak, artinya ada hubungan.
Bila α < ρ value (0,05) dan hipotesis nol diterima bila α > ρ
value, artinya tidak ada hubungan.
HASIL
Karakteristik responden
Sebagian besar responden berjenis kelamin
perempuan (68%) dan berusia 30-39 tahun (53%). Lingkar
pinggang yang melebihi 80 cm bagi perempuan dan lebih
dari 90 cm untuk laki-laki dinyatakan berisiko memiliki
diabetes. Rerata LP hampir sama baik antara yang berisiko
maupun yang tidak berisiko. Rerata LP sebesar 80,29 cm
(SD ± 10,57) untuk perempuan dan 81,04 cm (SD ± 12,79)
untuk laki-laki. Demikian juga sebagian besar responden
tidak berisiko mengalami DM berdasarkan rerata RLPP
yaitu pada perempuan sebesar 0,82 (SD ± 0,058) dan 0,86
(SD ± 0,067) untuk laki-laki (Tabel 1).
Kadar glukosa plasma
Sebagian besar responden (99%) tidak berisiko
mengalami penyakit DM berdasarkan rerata kadar
31
Farida Dwi Rokhmah, dkk: Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma
glukosa plasma puasa yaitu sebesar 92,3 g/dl (SD ±
0,115). Demikian juga dengan kadar glukosa plasma
TTGO yang sebagian besar (96%) termasuk kategori
normal dan hanya ada 3 responden (4%) yang mengalami
toleransi glukosa terganggu dengan kadar glukosa plasma
lebih dari 140 g/dl. Rerata kadar glukosa plasma TTGO
responden sebesar 106,53 g/dl (SD ± 0,197).
Hubungan usia dengan kadar glukosa plasma
TTGO
Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan
Kolmogorov Smiirnov, usia terdistribusi tidak normal dan
glukosa plasma TTGO terdistribusi normal. Hasil uji statistik
antara variabel usia dengan kadar glukosa plasma TTGO
menggunakan uji contingency coeffi cient diperoleh nilai p
(p value) 0,081 dan menggunakan uji Spearman Correlation
diperoleh nilai korelasi (r=0,160) dan p (p value) 0,169.
Adapun kesimpulan dari hasil tersebut yaitu tidak ada
hubungan yang signifi kan antara usia dengan kadar glukosa
plasma TTGO (p>0,05) (Gambar 1).
Hubungan lingkar pinggang dengan kadar glukosa
plasma TTGO
Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan
Kolmogorov Smiirnov, LP terdistribusi tidak normal
dan glukosa plasma TTGO terdistribusi normal. Hasil
uji statistik antara variabel LP dengan kadar glukosa
plasma TTGO menggunakan uji contingency coeffi cient
diperoleh nilai p (p value) 0,066 dan menggunakan uji
Spearman Correlation diperoleh nilai korelasi (r=0,091)
dan p (pvalue) 0,435. Artinya, tidak ada hubungan yang
signifi kan antara LP dengan kadar glukosa plasma TTGO
(p>0,05) (Gambar 2).
Hubungan rasio lingkar pinggang-panggul dengan
kadar glukosa plasma TTGO
Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan
Kolmogorov Smiirnov, RLPP terdistribusi tidak normal
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan LP dan RLPP
Variabel Kategori Total
(n = 75)
Tidak berisiko Berisiko
n % n%n%
LP
Laki-laki 17 23 7 9 24 32
Perempuan 22 29 29 39 51 68
Total 39 52 36 48 75 100
RLPP
Laki-laki 23 31 1 1 24 32
Perempuan 34 45 17 23 51 68
Total 57 76 18 24 75 100
LP = lingkar pinggang; RLPP = rasio lingkar pinggang-panggul
Gambar 1. Hubungan usia dengan kadar glukosa plasma
TTGO
Gambar 2. Hubungan lingkar pinggang dengan kadar
glukosa plasma TTGO
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 20 40 60
0 50 100 150
Usia
Lingkar Pinggang
Kadar Glukosa Plasma TTGO
Kadar Glukosa Plasma TTGO
32
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juli 2015: 28-35
dan glukosa plasma TTGO terdistribusi normal. Dari
hasil uji statistik antara variabel LP dengan kadar glukosa
plasma TTGO menggunakan uji contingency coeffi cient
diperoleh nilai p (p value) 0,321 dan menggunakan uji
Spearman Correlation diperoleh nilai korelasi (r= -0,190)
dan p (pvalue) 0,102. Kesimpulannya adalah tidak ada
hubungan yang signifi kan antara RLPP dengan kadar
glukosa plasma TTGO (p>0,05) (Gambar 3).
BAHASAN
Karakteristik responden
Usia responden dalam penelitian ini berkisar antara
20 – 40 tahun, yaitu dengan kategori usia 20 – 29 tahun
sebanyak 46,67% dan usia 30 – 40 tahun sebanyak 53,3%.
Rerata usia pada penelitian ini yaitu 30,5 tahun. Seseorang
dapat dikatakan produktif apabila telah memasuki fase
usia dewasa dini yaitu 18 – 40 tahun, dalam fase ini juga
seseorang telah mendapat pengaruh dari luar yang dapat
mengakibatkan peningkatan dan penurunan kondisi fi sik
dan klinis (10).
Kejadian sindroma metabolik dapat dipengaruhi
oleh usia. Prevalensi sindroma metabolik akan semakin
meningkat bila usia semakin bertambah (11). Dari hasil
penelitian Shuldiner tahun 2001 menyatakan bahwa
orang yang berusia di atas 40 tahun kemungkinan
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita
penyakit-penyakit degeneratif, seperti DM tipe 2. Risiko
perkembangan DM tipe 2 kemungkinan berkaitan dengan
asupan makanan tinggi energi, kurangnya aktivitas fi sik
dan latihan jasmani dalam jangka waktu lama. Jumlah
lemak tubuh akan meningkat sesuai dengan peningkatan
umur. Menurut penelitian Garrows mengenai pengaruh
obesitas pada gizi manusia dan dietetik menyatakan
bahwa prevalensi obesitas akan meningkat terus sampai
umur 50 tahun untuk pria, dan umur 65 tahun untuk
wanita (12). Sehingga dapat disimpulkan bahwa usia
dapat berpengaruh terhadap kejadian DM, akan tetapi
juga tergantung dengan faktor lain seperti asupan dan
aktifi tas fi sik.
Obesitas sentral maupun perifer dapat
meningkatkan resiko berbagai macam penyakit yang
mematikan. Lingkar pinggang dapat mengukur jaringan
lemak subkutan dan intra-abdominal. LP mudah
interpretasinya dan memiliki korelasi yang lebih
baik dengan massa lemak visceral. Jaringan lemak
visceral erat korelasinyan dengan sejumlah komplikasi
metabolik seperti sindrom resistensi insulin, termasuk
hiperinsulinemia, hiperkolesterolemia, hiperglikemia,
hipertrigliseridemia, dan tingginya kadar low density
lipoprotein (LDL). Dibandingan dengan rasio lingkar
pinggang-panggul, LP lebih kuat korelasinya dengan total
jaringan lemak tubuh yang dinilai dengan BMI (13).
Lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul
responden
Berdasarkan hasil penelitian menurut data lingkar
pinggang, proporsi lingkar pinggang hampir sama (< 80
cm untuk perempuan dan < 90 cm untuk laki-laki) yaitu
sebesar 50,66% dan 49,33% berisiko (≥ 80 cm untuk
perempuan dan ≥90 cm untuk laki-laki). Rasio lingkar
pinggang-panggul, sebagian besar responden tidak
berisiko (< 0,85 untuk perempuan dan <0,1 untuk laki-
laki) yaitu sebesar 73,33% dan 26,67% berisiko (≥0,85
untuk perempuan dan ≥ 0,1 untuk laki-laki).
Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang
Panggul merupakan salah satu metode pengukuran
Gambar 3. Hubungan Rasio Lingkar Pinggang-Panggul
dengan Kadar Glukosa Plasma TTGO
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0.00 0.50 1.00 1.50
RLPP
Kadar Glukosa Plasma TTGO
33
Farida Dwi Rokhmah, dkk: Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma
yang dapat digunakan untuk memprediksi jumlah lemak
abdominal/sentral. Cut off point yang sering dipergunakan
untuk menentukan adanya obesitas abdominal pada
berbagai studi adalah nilai Lingkar Pinggang pada laki-
laki yang lebih dari 90 cm dan lebih dari 80 cm pada
perempuan serta nilai RLPP lebih dari 1,0 pada laki-laki
dan lebih dari 0,85 pada perempuan (14).
Banyaknya jumlah responden yang berisiko
berdasarkan lingkar pinggang dan jauh lebih besarnya
simpangan deviasi nilai rata-rata LP dibandingkan
dengan RLPP, kemungkinan disebabkan nilai LP diukur
secara tunggal tanpa pembanding, sedangkan RLPP
menggunakan pembanding. Oleh sebab itu, untuk menilai
obesitas sentral sebaiknya menggunakan RLPP, kecuali
jika LP sudah dikategorikan dengan lebih spesifi k, tidak
hanya menggunakan cut-off point yang hanya bisa
dinyatakan sebagai berisiko atau tidak berisiko (15).
Menurut Halim S, pengukuran lemak intra-abdomen
lebih berkorelasi saat menggunakan pengukuran LP
dibandingkan dengan RLPP dan IMT (16). Penilaian
obesitas intra-abdomen sebaiknya menggunakan RLPP
dikarenakan adanya pembanding.
Kadar glukosa plasma responden
Berdasarkan hasil penelitian menurut kadar
glukosa plasma puasa, sebagian besar responden tidak
berisiko (<126 gr/dl) yaitu sebesar 98,7% dan 1,3%
berisiko (≥126 gr/dl) mengalami diabetes melitus. Begitu
pula dengan kadar glukosa plasma TTGO, sebagian besar
responden memiliki glukosa plasma normal (<140 gr/
dl) yaitu sebesar 96,0% dan 4,0% mengalami toleransi
glukosa terganggu (≥140 gr/dl - 199 gr/dl). Responden
yang mengalami TGT berada pada 1 kelompok usia yaitu
usia 30-40 tahun.
Kadar glukosa plasma puasa merupakan salah
satu metode penegakan diagnosis Diabetes Mellitus
Tipe 2. Kadar glukosa plasma puasa lebih sentistif untuk
memprediksi risiko timbulnya Diabetes Mellitus Tipe
2 pada pre diabetes dalam jangka waktu 5 – 6 tahun
mendatang, terutama golongan umur ≤ 55 tahun (17).
Kadar glukosa plasma puasa dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain konsumsi makanan dan latihan
jasmani. Kombinasi pola makan tinggi lemak, karbohidrat
sederhana dan makanan olahan dengan kurang aktivitas
fi sik dan olah raga berkaitan dengan peningkatan kadar
glukosa plasma puasa (18). Pengaturan pola hidup dengan
diit dan latihan jasmani dapat menghambat resistensi
insulin dan memperbaiki komponen – komponen
sindroma metabolik. Dapat disimpulkan bahwa untuk
dapat mengetahui risiko DM dapat diukur menggunakan
kadar glukosa plasma puasa maupun TTGO, akan tetapi
tetap dipengaruhi oleh faktor lain seperti asupan dan
aktifi tas fi sik.
Hubungan lingkar pinggang dengan kadar glukosa
plasma responden
Berdasarkan hasil analisis data LP dan RLPP dan
kadar glukosa plasma menggunakan TTGO didapatkan
tidak adanya hubungan antara LP dan RLPP dengan kadar
glukosa plasma menggunakan TTGO. Hasil penelitian
ini sejalan dengan hasil penelitian Lipoeto pada tahun
2007 yang menyatakan tidak ada korelasi antara nilai
antropometri dengan kadar glukosa plasma. Menurut
penelitian Sabena menyatakan tidak ada hubungan antara
RLPP dengan kadar glukosa plasma pada penderita baru
diabetes melitus tipe 2 (19). Hasil ini berbeda dengan
penelitian Jalal dkk yang menyatakan adanya korelasi
positif antara lingkar pinggang dengan kadar trigliserida,
kadar glukosa plasma dan tekanan darah (20). Hasil
penelitian yang menunjukkan tidak adanya hubungan
bisa disebabkan oleh asupan makanan dan aktifi tas setiap
orang yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah dan distribusi
lemak tubuh terutama pada bagian perut tidak dapat
menggambarkan proses penyerapan karbohidrat dalam
tubuh. Padahal secara teoritis, resistensi insulin terjadi
dikarenakan salah satunya oleh peningkatan jumlah
lemak tubuh yang dapat menyebabkan meningkatnya
kadar glukosa plasma, hal ini dapat dijelaskan dengan
patofisiologi terjadinya DM. Pada fase awal saat
resistensi insulin telah terjadi maka sekresi insulin
akan meningkat dan kadar glukosa plasma masih dapat
dipertahankan dalam kadar normal. Pada fase lanjut
saat kinerja sel-sel pancreas mulai berkurang maka
sekresi insulin akan menurun secara bertahap sehingga
timbul hiperglikemia puasa ringan sampai berat (21).
Diabetes sering tidak terdiagnosa setelah bertahun-tahun
dikarenakan perkembangan hiperglikemia yang secara
34
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juli 2015: 28-35
bertahap dan pada tahap awal, sering tidak cukup untuk
menggambarkan salah satu dari gejala klasik diabetes
(10).
Beberapa faktor risiko yang berpengaruh besar
terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 diantaranya
yaitu memiliki umur ≥ 45 tahun, adanya riwayat keluarga
DM, ras, memilki riwayat toleransi gula darah terganggu,
memiliki riwayat gula darah puasa terganggu, hipertensi,
dislipidemia dan memiliki riwayat diabetes gestasional
atau melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih
dari 4 kg (9). Menurut penelitian Nguyen Insiden dari
onset diabetes tipe 2 akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia (22). Hasil penelitian Theresia
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara
overweight dengan peningkatan gula darah (23).
Berbagai studi menunjukkan bahwa batas
kadar glukosa plasma puasa dan kadar glukosa plasma
menggunakan TTGO sesungguhnya lebih rendah dari batas
kadar glukosa plasma yang saat ini digunakan, mengingat
bahwa saat glukosa plasma masih dibawah batas “normal”
mungkin sudah terjadi peningkatan risiko komplikasi
diabetes mikrovaskuler dan makrovaskuler (24).
Konsumsi makanan padat energi (tinggi lemak dan
gula) dan rendah serat berhubungan dengan kadar glukosa
plasma. Makanan tinggi energi berhubungan dengan
obesitas, resistensi insulin sehingga dapat memacu
peningkatan kadar glukosa plasma (17). Latihan jasmani
meningkatkan sensitivitas insulin sehingga membantu
penurunan kadar glukosa plasma. Latihan jasmani secara
teratur 3 sampai 5 kali per minggu dengan durasi lebih
dari 30 menit dianjurkan pada Diabetes Mellitus Tipe
2. Hasil penelitian Suminarti, pelaksanaan senam dapat
menurunkan berat badan dan kadar glukosa plasma puasa
dan 2 jam postprandial. Rata – rata penurunan kadar
glukosa plasma puasa 1,06 ± 47,74 dan sebesar 41,94
± 75,17 pada kadar glukosa plasma 2 jam postprandial
(25). Dalam penelitian ini penulis tidak melakukan
pemeriksaan konsumsi makanan dikarenakan adanya
keterbatasan waktu untuk menyelesaikan penelitian.
Pengukuran lingkar pinggang dan lingkar panggul
merupakan suatu pengukuran paling sederhana dan
mudah yang bisa dilakukan untuk menilai resiko penyakit
degeneratif, tetapi ternyata dengan mengukur LP dan
RLPP saja tidak cukup untuk menggambarkan resiko
penyakit diabetes melitus dan kadar glukosa plasma.
Pengukuran IMT juga bisa digunakan untuk menilai
resiko penyakit degeneratif. Apabila memnugkinkan,
lebih baik menggunakan kedua pengukuran tersebut
(2).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara LP dan RLPP terhadap kadar
glukosa plasma TTGO yang dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya usia, asupan energi dan
aktifi tas fi sik responden. Keterbatasan dalam penelitian
ini adalah peneliti tidak mengambil data mengenai
asupan energi dan aktifi tas fi sik responden yang dapat
mempengaruhi kadar glukosa plasma responden. Pada
saat penelitian, peneliti hanya menggunakan glucose
meter yang memiliki akurasi lebih rendah dibandingkan
dengan uji laboratorium serta saat penelitian peneliti
menggunakan larutan gula pasir bukan menggunakan
glukosa murni yang dilarutkan dalam 250 mL air.
SIMPULAN DAN SARAN
Rerata LP responden hampir sama dan sebagian besar
RLPP responden normal. Kadar glukosa plasma puasa dan
glukosa plasma TTGO responden sebagian besar normal.
Tidak ada korelasi antara LP dan kadar glukosa plasma
menggunakan TTGO. Demikian juga tidak ada korelasi
antara RLPP dan kadar glukosa plasma menggunakan
TTGO. Penelitian selanjutnya dapat mengkaji hubungan
asupan energi, aktivitas fi sik dengan kadar glukosa plasma
menggunakan TTGO. Sebaiknya dilakukan pengukuran
plasma vena dengan analisis enzimatik di laboratorium
sehingga hasil kadar glukosa plasma yang dihasilkan lebih
akurat dan menggunakan larutan glukosa standar.
RUJUKAN
CDC. Athropometry Procedures Manual. National 1.
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
2007. [serial online] 2007 [cited Sep 2014]. Available
online: URL: https://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/
nhanes_07_08/manual_an.pdf
WHO. Waist circumference and waist-hip ratio report of a 2.
who expert consultation. Geneva: WHO; 2008.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney 3.
Disease. Insulin resistance and prediabetes. USA: National
Institute of Health; 2008.
35
Farida Dwi Rokhmah, dkk: Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma
Gibson R. Principles of nutritional assessment 24. nd Ed. New
York: Oxford University Press; 2005.
Siswanto IH. Prevalensi Diabetes mellitus tipe 2 pada 5.
obesitas sentral di Kelurahan Tajur Ciledug tahun 200
[Karya Tulis Ilmiah]. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 2009.
Dagan SS, Segev S, Novikov I, Dankner R. Waist 6.
circumference vs body mass index in association with
cardiorespiratory fi tness in healthy men and women: a cross
sectional analysis of 403 subjects. Nutr J 2013;12:12.
Fahmida, Dillon. Handbook nutritional assessment. 7.
Jakarta: SEAMEO-TROPMED RCCN UI; 2007.
Perkeni. Konsensus pengelolaan diabetes melitus. Jakarta: 8.
EGC; 2011.
American Diabetes Association. Standards of medical 9.
care in diabetes-2014. Diabetes Care 2014;37(Supp
1):S14-80.
Widyana LE. Hubungan antara estimasi lemak dan kolesterol 10.
dengan tekanan darah di Kecamatan Kedungkandang
Kota Malang [Karya Tulis Ilmiah]. Malang: Universitas
Brawijaya; 2013.
Grundy SM, Brewer Jr B, Cleeman JI, Smith Jr SC, Lenfant 11.
C, and for the Conference Participants. Defi nition of metabolic
syndrome: report of the national heart, lung, and blood
institute/american heart association conference on scientifi c
issues related to defi nition. Circulation 2004;109:433-8.
Garrows. Obesity in human nutrition and dietetics. London: 12.
Chuechill, Livingstone; 2000.
Okosun IS, Prewitt TE, Cooper RS. Abdominal obesity 13.
in the United States : prevalence and attributable risk of
hypertension. J Hum Hypertens 1999;13(7):425-30.
Sandi W. Hubungan lingkar pinggang dan rasio lingkar 14.
pinggang panggul dengan kadar gula darah puasa pada
laki-laki dewasa [Karya Tulis Ilmiah]. Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret; 2010.
Lipoeto NI, Eti Y, Zulkarnain E, Intan W. Hubungan 15.
antropometri dengan kadar glukosa darah. Medika
2007;23-8.
Halim S. The tale of obesity :challenges and solution. Med 16.
J Indonesia 2003;12(1):53-62.
Fitri RI, Yekti W. Asupan energi, karbohidrat, serat, beban 17.
glikemik, latihan jasmani dan kadar gula darah pada pasien
diabetes mellitus tipe 2. M Med Indones 2012;46(2):121-
31.
Dam V, Rimm EB, Willett WC, Stampfer MJ, Hu FB. 18.
Dietary patterns and risk type 2 diabetes mellitus in U.S
men. Am J Coll Phys 2002;136(3):201-9.
Sabena E. Hubungan indek massa tubuh, rasio lingkar 19.
pinggang panggul, konsumsi energi dan karbohidrat
dengan kadar glukosa darah pada penderita baru DMTTI
rawat jalan (studi di RSU Tidar Magelang) [Karya Tulis
Ilmiah]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro; 2003.
Jalal F, Nur IL, Novia S, Fadil O. Hubungan lingkar 20.
pinggang dengan kadar kadar glukosa darah, trigliserida
dan tekanan darah pada Etnis Minang di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatra Barat [Tesis]. Padang: Universitas
Andalas; 2005.
Sanusi H. Patogenesis hiperglikemia diabetes melitus tipe 21.
2. J Med Nus 2001;22:431-7.
Nguyen QM, Xu JH, Chen W, Srinivasan SR, Berenson GS. 22.
Correlates of age onset of type 2 diabetes among relatively
young black and white adults in a community. Diabetes
Care 2012;35(6):1341-6.
Theresia TL. Hubungan overweight dengan peningkatan 23.
kadar gula darah pada pedagang pusat pasar Medan [Karya
Tulis Ilmiah]. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara; 2012.
Setiawan M. Pre-diabetes dan peran HbA1c dalam skrining 24.
dan diagnosis awal diabetes melitus. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang; 2011.
Suminarti W, Purba M, Handayani ND, Wiyono P. 25.
Perubahan berat badan dan kadar glukosa darah pada
kelompok senam diabetes PERSADIA cabang RS DR
Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta: KONAS PERSAGI;
2002.