ArticlePDF Available

Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma menggunakan tes toleransi glukosa oral

Authors:

Abstract and Figures

Background: The increased circumference of waist and waist-hip ratio describe intra-abdominal fat which is associated with a number of metabolic disorders such as diabetes mellitus. Objective: The aim of the study is to analyze the correlation between the circumference of waist and waist-hip ratio in plasma glucose levels using the Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) method in adults. Method: This study was a cross-sectional study involving 75 respondents from Klojen which is located in Malang and obtained by multistage sampling random. The variables in the study include circumference of waist, waist-hip ratio, fasting plasma glucose and plasma glucose after consuming glucose liquid. Data were analyzed using coefficient contingency and Spearman correlation. Results: This study found that based on waist circumference and waist-hip ratio, most of the subjects are categorized as not at risk. Furthermore, based on plasma glucose level measurement using OGTT, 96% of subjects are normal. Conclusion: There is no correlation between plasma glucose level using OGTT and waist circumference as well as waist-hip ratio (p>0.05).
Content may be subject to copyright.
28
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juli 2015: 28-35
Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap
kadar glukosa plasma menggunakan tes toleransi glukosa oral
Correlation between waist circumference (WC) and waist-hip ratio (WHR) with plasma glucose levels using oral
glucose tolerance test method
Farida Dwi Rokhmah1, Dian Handayani1, Harun Al-Rasyid2
1 Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
2 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
ABSTRACT
Background: The increased circumference of waist and waist-hip ratio describe intra-abdominal fat which is associated with
a number of metabolic disorders such as diabetes mellitus. Objectives: The aim of the study is analyze the correlation between
circumference of waist and waist-hip ratio in plasma glucose levels using the Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) method in adults.
Methods: This study was a cross sectional study involving 75 respondents from Klojen which is located in Malang and obtained by
multistage sampling random. The variables in the study include circumference of waist, waist-hip ratio, fasting plasma glucose and
plasma glucose after consuming glucose liquid. Data were analyzed using coef cient contingency and Spearman correlation.
Results: This study found that based on waist circumference and waist-hip ratio, most of subjects are categorized as not at risk.
Furthermore, based on plasma glucose level measurement using OGTT, 96% of subjects are normal. Conclusion: There is no
correlation between plasma glucose level using OGTT and waist circumference as well as waist-hip ratio (p>0.05).
KEY WORDS: oral glucose tolerance test; plasma glucose; waist circumference; waist-hip ratio
ABSTRAK
Latar belakang: Peningkatan lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul dapat menggambarkan lemak intra-abdomen
yang bisa menyebabkan resiko tinggi pada sejumlah penyakit, seperti diabetes mellitus. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul dengan kadar glukosa plasma menggunakan metode
Tes Toleransi Glukosa Oral pada orang dewasa dimana responden diminta untuk bersedia diukur glukosa plasma sebelum dan
setelah mengonsumsi larutan glukosa. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Cross sectional yang melibatkan 75 responden
berumur lebih dari 18 tahun sampai 40 tahun dan tidak memiliki penyakit diabetes serta tidak sedang hamil yang berasal dari
Kelurahan Klojen di Kota Malang, Jawa Timur dan diperoleh dengan Multistage Random Sampling. Variabel pada penelitian ini
meliputi lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang- panggul, kadar glukosa plasma puasa dan kadar glukosa plasma 2 jam setelah
mengonsumsi larutan glukosa. Data dianalisis menggunakan Contingency Coef cient dan Spearman Correlation. Hasil: Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul, sebagian besar responden
tergolong tidak berisiko mengalami diabetes. Begitu pula hasil pemeriksaan glukosa plasma menggunakan tes toleransi glukosa
oral, sebagian besar responden (96%) berada dalam kategori normal yang berarti bahwa sebagian responden tidak memiliki pre-
diabetes. Simpulan: Penelitian ini tidak menemukan korelasi antara lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul dengan
kadar glukosa plasma menggunakan tes toleransi gukosa oral (p>0,05).
KATA KUNCI: TTGO; kadar glukosa plasma; lingkar pinggang; rasio lingkar pinggang-panggul
Korespondensi: Farida Dwi Rokhmah, Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Jl. Veteran, Ketawanggede, Lowokwaru,
Malang, Jawa Timur 65145, e-mail: faridadwirokhmah@gmail.com
PENDAHULUAN
Antropometri merupakan suatu studi yang
mengukur tubuh manusia dari berbagai dimensi yaitu
tulang, otot dan jaringan lemak. Contoh pengukuran
antropometri diantaranya berat badan, tinggi badan,
lingkar pinggang, lingkar panggul, tebal lemak (bisep,
trisep, suprailiac dll), dan lingkar lengan atas (1).
Perbedaan dalam prosedur pengukuran diantara beberapa
Jurnal Gizi Klinik Indonesia
Vol 12 No 01 - Juli 2015 (28-35)
ISSN 1693-900X
29
Farida Dwi Rokhmah, dkk: Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma
penelitian bisa menghasilkan variasi yang berbeda,
contohnya dalam menentukan titik tengah untuk
mengukur lingkar pinggang, serta hubungannya dengan
faktor risiko, penyakit atau outcome lain (2). Korelasi
suatu pengukuran antropometri dengan suatu parameter
gangguan metabolik pada suatu etnis dapat memiliki nilai
korelasi yang berbeda dengan etnis lain (3).
Pengukuran antropometri memiliki beberapa
keuntungan yaitu mampu menyediakan informasi
mengenai riwayat gizi masa lalu, yang tidak dapat
diperoleh dengan bukti yang sama melalui metode
pengukuran lainnya. Pengukuran ini dapat dilakukan
dengan relatif cepat, mudah, dan reliable menggunakan
peralatan-peralatan portable, tersedianya metode-metode
yang terstandarisasi, dan digunakannya peralatan yang
terkalibrasi (4).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 proporsi
obesitas berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) pada
perempuan (>18 Tahun) di Indonesia prevalensinya
sebesar 32,9%, sedangkan di Jawa Timur memiliki
prevalensi yang lebih tinggi yaitu 34%. Prevalensi
obesitas pada laki-laki (>18 Tahun) di Indonesia dan Jawa
Timur sama yaitu sebesar 19,7%. Sedangkan prevalensi
obesitas abdominal berdasarkan lingkar pinggang (LP),
Indonesia memiliki prevalensi 26,6%. Provinsi Jawa timur
memiliki prevalensi 26,6% yang sama dengan prevalensi
di Indonesia. Obesitas khususnya obesitas abdominal
berkorelasi dengan beberapa gangguan metabolisme
dan penyakit, dengan angka kesakitan dan kematian
yang tinggi, antara lain resistensi insulin dan diabetes
mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis,
penyakit hati dan kandung empedu, bahkan beberapa
jenis kanker (5).
Indikator yang digunakan untuk mengukur obesitas
diantaranya adalah pengukuran lingkar pinggang, rasio
lingkar pinggang-panggul (RLPP) dan IMT. IMT dihitung
dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan
tinggi badan dikuadratkan dalam meter. Kelemahan
pengukuran antropometri dengan IMT adalah tidak dapat
menilai distribusi lemak dalam tubuh sehingga kurang
sensitif untuk menentukan obesitas abdominal (6).
Pengukuran lingkar pinggang lebih sensitif dalam
menilai distribusi lemak dalam tubuh terutama yang
berada di dinding abdomen dan juga digunakan untuk
mengidenti kasi 2 tipe dari distribusi lemak, yaitu tipe
android (pada bagian atas) dan gynecoid (pada bagian
bawah). Rasio lingkar pinggang-panggul dihitung dengan
membagi ukuran lingkar pinggang dengan lingkar panggul
(7). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengukuran
lingkar pinggang memiliki korelasi yang lebih baik
dengan distribusi lemak pada abdomen dibandingkan
dengan IMT. Saat hanya dilakukan pengukuran lingkar
pinggang saja, WHO merekomendasikan cut-off point
untuk Asia yaitu 90 cm untuk laki-laki dan 80 cm
untuk perempuan. Sedangkan cut-off point untuk RLPP
yaitu 1,0 untuk laki-laki dan 0,85 untuk perempuan
(5). Apabila hasil pengukuran melebihi cut-off point maka
tergolong berisiko.
Pengukuran kadar glukosa darah seseorang bisa
menggunakan berbagai cara diantaranya dengan glukosa
darah sewaktu, glukosa darah puasa, dan tes toleransi
glukosa oral (TTGO), yaitu dengan memberikan 75 gram
glukosa yang dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum
dalam waktu 5 menit (8). TTGO memiliki kelebihan
yaitu dapat menyimpulkan suatu data mengenai resiko
seseorang memiliki diabetes atau sudah memiliki diabetes
melitus. Apabila kadar glukosa darah melebihi normal
tetapi tidak cukup tinggi untuk disebut diabetes maka
keadaan ini disebut dengan pre-diabetes. Pre-diabetes
merupakan sebuah kondisi yang bisa menjadi penyakit
diabetes melitus tipe 2. Diabetes miitus bisa menjadi
awal berbagai masalah kesehatan sehingga lebih baik
melakukan pencegahan (9). Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis hubungan pengukuran LP dan RLPP
dengan kadar glukosa plasma menggunakan metode
TTGO pada orang dewasa
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik dengan pendekatan cross sectional yang
dilaksanakan pada bulan November-Desember 2014.
Populasi dalam penelitian adalah semua orang yang
berada di Kelurahan Klojen Kota Malang. Pengambilan
sampel dilakukan dengan pemilihan melalui kriteria
inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu responden
memiliki usia > 18 tahun sampai 40 tahun dan bersedia
menjadi responden. Sementara kriteria eksklusi adalah
30
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juli 2015: 28-35
responden yang memiliki penyakit diabetes melitus
dan responden merupakan ibu hamil. Berdasarkan
jumlah sampel yang dihitung didapatkan jumlah sampel
minimal yaitu 75 orang. Hal yang dapat dilakukan untuk
menghindari terjadinya kesalahan dalam penelitian yaitu
dengan menambahkan 10% dari jumlah sampel sehingga
jumlah sampel menjadi 83 orang sehingga apabila
mendapatkan responden yang ternyata kurang sesuai
dengan kriteria yang diinginkan memiliki cadangan
untuk mengganti data dengan responden lain yang sesuai
dengan kriteria.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah multistage random sampling. Lokasi
penelitian yang digunakan berada di Kelurahan Klojen
Kota Malang yang memiliki 7 RW (Rukun Warga) dengan
53 RT (Rukun Tetangga), dari 7 RW tersebut dipilih 3
RW secara acak. Kemudian dari 3 RW dipilih beberapa
RT secara acak dan didapatkan 4 RT yaitu RT 1, RT 3,
RT 6, dan RT 9. Pemilihan sampel pada tingkat Kepala
Keluarga menggunakan simple random sampling, yaitu
dari semua nama kepala keluarga dari RT yang terpilih
dijadikan satu kemudian dipilih 75 orang secara acak.
Data glukosa plasma diperoleh melalui pengukuran
glukosa darah puasa dengan cara responden melaksanakan
puasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Kemudian diberikan 75 gram gula pasir yang dilarutkan ke
dalam 250 mL air, setelah 2 jam maka kadar glukosa darah
diukur kembali. Selama proses pemeriksaan, subjek yang
diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok Glukosa darah
diukur dengan menggunakan glucko-stick yaitu responden
diambil darahnya kemudian dibaca menggunakan glucose-
meter. Hasil dari pengukuran glukosa darah dinyatakan
dalam mg/dL.
Lingkar pinggang adalah besaran yang diukur
dengan menggunakan metline dan dinyatakan dalam cm.
Pengukuran dilakukan di daerah antara crista iliaca dan costa
XII yang memiliki keliling dinding perut terkecil. Lingkar
pinggang diukur dalam posisi berdiri tegak dan tenang.
Baju penghalang pengukuran disingkirkan. Kemudian,
pita pengukur dilingkarkan ke daerah antara lower margin
dan crista iliaca. Pita pengukur tidak boleh menekan kulit
terlalu ketat dan sejajar dengan lantai. Pengukuran dilakukan
saat akhir ekspirasi normal. Lingkar pinggang dinyatakan
dalam cm dengan cut off point untuk laki-laki 90 cm dan
perempuan 80 cm (4).
Rasio lingkar pinggang-panggul merupakan nilai
yang didapat dengan membagi nilai lingkar pinggang
terhadap lingkar panggul. Rasio lingkar pinggang-
panggul didapatkan dengan membagikan nilai lingkar
pinggang terhadap nilai lingkar panggul. Pada pengukuran
lingkar panggul pita pengukur dililitkan pada bagian atas
symphisis asis pubis dan bagian maksimum dari rego
gluteus. Cut off point RLPP untuk laki-laki 1,0 dan
0,85 untuk perempuan (4). Saat dilakukan pengukuran,
responden berganti pakaian menggunakan pakaian yang
disediakan oleh peneliti, kemudian dilakukan pengukuran
di ruang tertutup.
Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan
terhadap tiap variabel dalam hasil penelitian. Hasil analisis
univariat akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Analisis bivariat dilakukan menggunakan SPSS, normalitas
data diketahui dengan menggunakan Uji Kolmogorov
Smirnov. Hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat menggunakan Uji koefisien kontingensi dan uji
korelasi Spearman. Interval kepercayaan yang digunakan
adalah 95%. Hipotesis nol ditolak, artinya ada hubungan.
Bila α < ρ value (0,05) dan hipotesis nol diterima bila α > ρ
value, artinya tidak ada hubungan.
HASIL
Karakteristik responden
Sebagian besar responden berjenis kelamin
perempuan (68%) dan berusia 30-39 tahun (53%). Lingkar
pinggang yang melebihi 80 cm bagi perempuan dan lebih
dari 90 cm untuk laki-laki dinyatakan berisiko memiliki
diabetes. Rerata LP hampir sama baik antara yang berisiko
maupun yang tidak berisiko. Rerata LP sebesar 80,29 cm
(SD ± 10,57) untuk perempuan dan 81,04 cm (SD ± 12,79)
untuk laki-laki. Demikian juga sebagian besar responden
tidak berisiko mengalami DM berdasarkan rerata RLPP
yaitu pada perempuan sebesar 0,82 (SD ± 0,058) dan 0,86
(SD ± 0,067) untuk laki-laki (Tabel 1).
Kadar glukosa plasma
Sebagian besar responden (99%) tidak berisiko
mengalami penyakit DM berdasarkan rerata kadar
31
Farida Dwi Rokhmah, dkk: Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma
glukosa plasma puasa yaitu sebesar 92,3 g/dl (SD ±
0,115). Demikian juga dengan kadar glukosa plasma
TTGO yang sebagian besar (96%) termasuk kategori
normal dan hanya ada 3 responden (4%) yang mengalami
toleransi glukosa terganggu dengan kadar glukosa plasma
lebih dari 140 g/dl. Rerata kadar glukosa plasma TTGO
responden sebesar 106,53 g/dl (SD ± 0,197).
Hubungan usia dengan kadar glukosa plasma
TTGO
Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan
Kolmogorov Smiirnov, usia terdistribusi tidak normal dan
glukosa plasma TTGO terdistribusi normal. Hasil uji statistik
antara variabel usia dengan kadar glukosa plasma TTGO
menggunakan uji contingency coef cient diperoleh nilai p
(p value) 0,081 dan menggunakan uji Spearman Correlation
diperoleh nilai korelasi (r=0,160) dan p (p value) 0,169.
Adapun kesimpulan dari hasil tersebut yaitu tidak ada
hubungan yang signi kan antara usia dengan kadar glukosa
plasma TTGO (p>0,05) (Gambar 1).
Hubungan lingkar pinggang dengan kadar glukosa
plasma TTGO
Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan
Kolmogorov Smiirnov, LP terdistribusi tidak normal
dan glukosa plasma TTGO terdistribusi normal. Hasil
uji statistik antara variabel LP dengan kadar glukosa
plasma TTGO menggunakan uji contingency coef cient
diperoleh nilai p (p value) 0,066 dan menggunakan uji
Spearman Correlation diperoleh nilai korelasi (r=0,091)
dan p (pvalue) 0,435. Artinya, tidak ada hubungan yang
signi kan antara LP dengan kadar glukosa plasma TTGO
(p>0,05) (Gambar 2).
Hubungan rasio lingkar pinggang-panggul dengan
kadar glukosa plasma TTGO
Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan
Kolmogorov Smiirnov, RLPP terdistribusi tidak normal
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan LP dan RLPP
Variabel Kategori Total
(n = 75)
Tidak berisiko Berisiko
n % n%n%
LP
Laki-laki 17 23 7 9 24 32
Perempuan 22 29 29 39 51 68
Total 39 52 36 48 75 100
RLPP
Laki-laki 23 31 1 1 24 32
Perempuan 34 45 17 23 51 68
Total 57 76 18 24 75 100
LP = lingkar pinggang; RLPP = rasio lingkar pinggang-panggul
Gambar 1. Hubungan usia dengan kadar glukosa plasma
TTGO
Gambar 2. Hubungan lingkar pinggang dengan kadar
glukosa plasma TTGO
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 20 40 60
0 50 100 150
Usia
Lingkar Pinggang
Kadar Glukosa Plasma TTGO
Kadar Glukosa Plasma TTGO
32
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juli 2015: 28-35
dan glukosa plasma TTGO terdistribusi normal. Dari
hasil uji statistik antara variabel LP dengan kadar glukosa
plasma TTGO menggunakan uji contingency coef cient
diperoleh nilai p (p value) 0,321 dan menggunakan uji
Spearman Correlation diperoleh nilai korelasi (r= -0,190)
dan p (pvalue) 0,102. Kesimpulannya adalah tidak ada
hubungan yang signi kan antara RLPP dengan kadar
glukosa plasma TTGO (p>0,05) (Gambar 3).
BAHASAN
Karakteristik responden
Usia responden dalam penelitian ini berkisar antara
20 – 40 tahun, yaitu dengan kategori usia 20 – 29 tahun
sebanyak 46,67% dan usia 30 – 40 tahun sebanyak 53,3%.
Rerata usia pada penelitian ini yaitu 30,5 tahun. Seseorang
dapat dikatakan produktif apabila telah memasuki fase
usia dewasa dini yaitu 18 – 40 tahun, dalam fase ini juga
seseorang telah mendapat pengaruh dari luar yang dapat
mengakibatkan peningkatan dan penurunan kondisi sik
dan klinis (10).
Kejadian sindroma metabolik dapat dipengaruhi
oleh usia. Prevalensi sindroma metabolik akan semakin
meningkat bila usia semakin bertambah (11). Dari hasil
penelitian Shuldiner tahun 2001 menyatakan bahwa
orang yang berusia di atas 40 tahun kemungkinan
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita
penyakit-penyakit degeneratif, seperti DM tipe 2. Risiko
perkembangan DM tipe 2 kemungkinan berkaitan dengan
asupan makanan tinggi energi, kurangnya aktivitas sik
dan latihan jasmani dalam jangka waktu lama. Jumlah
lemak tubuh akan meningkat sesuai dengan peningkatan
umur. Menurut penelitian Garrows mengenai pengaruh
obesitas pada gizi manusia dan dietetik menyatakan
bahwa prevalensi obesitas akan meningkat terus sampai
umur 50 tahun untuk pria, dan umur 65 tahun untuk
wanita (12). Sehingga dapat disimpulkan bahwa usia
dapat berpengaruh terhadap kejadian DM, akan tetapi
juga tergantung dengan faktor lain seperti asupan dan
akti tas sik.
Obesitas sentral maupun perifer dapat
meningkatkan resiko berbagai macam penyakit yang
mematikan. Lingkar pinggang dapat mengukur jaringan
lemak subkutan dan intra-abdominal. LP mudah
interpretasinya dan memiliki korelasi yang lebih
baik dengan massa lemak visceral. Jaringan lemak
visceral erat korelasinyan dengan sejumlah komplikasi
metabolik seperti sindrom resistensi insulin, termasuk
hiperinsulinemia, hiperkolesterolemia, hiperglikemia,
hipertrigliseridemia, dan tingginya kadar low density
lipoprotein (LDL). Dibandingan dengan rasio lingkar
pinggang-panggul, LP lebih kuat korelasinya dengan total
jaringan lemak tubuh yang dinilai dengan BMI (13).
Lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul
responden
Berdasarkan hasil penelitian menurut data lingkar
pinggang, proporsi lingkar pinggang hampir sama (< 80
cm untuk perempuan dan < 90 cm untuk laki-laki) yaitu
sebesar 50,66% dan 49,33% berisiko ( 80 cm untuk
perempuan dan 90 cm untuk laki-laki). Rasio lingkar
pinggang-panggul, sebagian besar responden tidak
berisiko (< 0,85 untuk perempuan dan <0,1 untuk laki-
laki) yaitu sebesar 73,33% dan 26,67% berisiko (0,85
untuk perempuan dan 0,1 untuk laki-laki).
Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang
Panggul merupakan salah satu metode pengukuran
Gambar 3. Hubungan Rasio Lingkar Pinggang-Panggul
dengan Kadar Glukosa Plasma TTGO
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0.00 0.50 1.00 1.50
RLPP
Kadar Glukosa Plasma TTGO
33
Farida Dwi Rokhmah, dkk: Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma
yang dapat digunakan untuk memprediksi jumlah lemak
abdominal/sentral. Cut off point yang sering dipergunakan
untuk menentukan adanya obesitas abdominal pada
berbagai studi adalah nilai Lingkar Pinggang pada laki-
laki yang lebih dari 90 cm dan lebih dari 80 cm pada
perempuan serta nilai RLPP lebih dari 1,0 pada laki-laki
dan lebih dari 0,85 pada perempuan (14).
Banyaknya jumlah responden yang berisiko
berdasarkan lingkar pinggang dan jauh lebih besarnya
simpangan deviasi nilai rata-rata LP dibandingkan
dengan RLPP, kemungkinan disebabkan nilai LP diukur
secara tunggal tanpa pembanding, sedangkan RLPP
menggunakan pembanding. Oleh sebab itu, untuk menilai
obesitas sentral sebaiknya menggunakan RLPP, kecuali
jika LP sudah dikategorikan dengan lebih spesi k, tidak
hanya menggunakan cut-off point yang hanya bisa
dinyatakan sebagai berisiko atau tidak berisiko (15).
Menurut Halim S, pengukuran lemak intra-abdomen
lebih berkorelasi saat menggunakan pengukuran LP
dibandingkan dengan RLPP dan IMT (16). Penilaian
obesitas intra-abdomen sebaiknya menggunakan RLPP
dikarenakan adanya pembanding.
Kadar glukosa plasma responden
Berdasarkan hasil penelitian menurut kadar
glukosa plasma puasa, sebagian besar responden tidak
berisiko (<126 gr/dl) yaitu sebesar 98,7% dan 1,3%
berisiko (126 gr/dl) mengalami diabetes melitus. Begitu
pula dengan kadar glukosa plasma TTGO, sebagian besar
responden memiliki glukosa plasma normal (<140 gr/
dl) yaitu sebesar 96,0% dan 4,0% mengalami toleransi
glukosa terganggu (140 gr/dl - 199 gr/dl). Responden
yang mengalami TGT berada pada 1 kelompok usia yaitu
usia 30-40 tahun.
Kadar glukosa plasma puasa merupakan salah
satu metode penegakan diagnosis Diabetes Mellitus
Tipe 2. Kadar glukosa plasma puasa lebih sentistif untuk
memprediksi risiko timbulnya Diabetes Mellitus Tipe
2 pada pre diabetes dalam jangka waktu 5 – 6 tahun
mendatang, terutama golongan umur 55 tahun (17).
Kadar glukosa plasma puasa dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain konsumsi makanan dan latihan
jasmani. Kombinasi pola makan tinggi lemak, karbohidrat
sederhana dan makanan olahan dengan kurang aktivitas
sik dan olah raga berkaitan dengan peningkatan kadar
glukosa plasma puasa (18). Pengaturan pola hidup dengan
diit dan latihan jasmani dapat menghambat resistensi
insulin dan memperbaiki komponen – komponen
sindroma metabolik. Dapat disimpulkan bahwa untuk
dapat mengetahui risiko DM dapat diukur menggunakan
kadar glukosa plasma puasa maupun TTGO, akan tetapi
tetap dipengaruhi oleh faktor lain seperti asupan dan
akti tas sik.
Hubungan lingkar pinggang dengan kadar glukosa
plasma responden
Berdasarkan hasil analisis data LP dan RLPP dan
kadar glukosa plasma menggunakan TTGO didapatkan
tidak adanya hubungan antara LP dan RLPP dengan kadar
glukosa plasma menggunakan TTGO. Hasil penelitian
ini sejalan dengan hasil penelitian Lipoeto pada tahun
2007 yang menyatakan tidak ada korelasi antara nilai
antropometri dengan kadar glukosa plasma. Menurut
penelitian Sabena menyatakan tidak ada hubungan antara
RLPP dengan kadar glukosa plasma pada penderita baru
diabetes melitus tipe 2 (19). Hasil ini berbeda dengan
penelitian Jalal dkk yang menyatakan adanya korelasi
positif antara lingkar pinggang dengan kadar trigliserida,
kadar glukosa plasma dan tekanan darah (20). Hasil
penelitian yang menunjukkan tidak adanya hubungan
bisa disebabkan oleh asupan makanan dan akti tas setiap
orang yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah dan distribusi
lemak tubuh terutama pada bagian perut tidak dapat
menggambarkan proses penyerapan karbohidrat dalam
tubuh. Padahal secara teoritis, resistensi insulin terjadi
dikarenakan salah satunya oleh peningkatan jumlah
lemak tubuh yang dapat menyebabkan meningkatnya
kadar glukosa plasma, hal ini dapat dijelaskan dengan
patofisiologi terjadinya DM. Pada fase awal saat
resistensi insulin telah terjadi maka sekresi insulin
akan meningkat dan kadar glukosa plasma masih dapat
dipertahankan dalam kadar normal. Pada fase lanjut
saat kinerja sel-sel pancreas mulai berkurang maka
sekresi insulin akan menurun secara bertahap sehingga
timbul hiperglikemia puasa ringan sampai berat (21).
Diabetes sering tidak terdiagnosa setelah bertahun-tahun
dikarenakan perkembangan hiperglikemia yang secara
34
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juli 2015: 28-35
bertahap dan pada tahap awal, sering tidak cukup untuk
menggambarkan salah satu dari gejala klasik diabetes
(10).
Beberapa faktor risiko yang berpengaruh besar
terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 diantaranya
yaitu memiliki umur 45 tahun, adanya riwayat keluarga
DM, ras, memilki riwayat toleransi gula darah terganggu,
memiliki riwayat gula darah puasa terganggu, hipertensi,
dislipidemia dan memiliki riwayat diabetes gestasional
atau melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih
dari 4 kg (9). Menurut penelitian Nguyen Insiden dari
onset diabetes tipe 2 akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia (22). Hasil penelitian Theresia
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara
overweight dengan peningkatan gula darah (23).
Berbagai studi menunjukkan bahwa batas
kadar glukosa plasma puasa dan kadar glukosa plasma
menggunakan TTGO sesungguhnya lebih rendah dari batas
kadar glukosa plasma yang saat ini digunakan, mengingat
bahwa saat glukosa plasma masih dibawah batas “normal”
mungkin sudah terjadi peningkatan risiko komplikasi
diabetes mikrovaskuler dan makrovaskuler (24).
Konsumsi makanan padat energi (tinggi lemak dan
gula) dan rendah serat berhubungan dengan kadar glukosa
plasma. Makanan tinggi energi berhubungan dengan
obesitas, resistensi insulin sehingga dapat memacu
peningkatan kadar glukosa plasma (17). Latihan jasmani
meningkatkan sensitivitas insulin sehingga membantu
penurunan kadar glukosa plasma. Latihan jasmani secara
teratur 3 sampai 5 kali per minggu dengan durasi lebih
dari 30 menit dianjurkan pada Diabetes Mellitus Tipe
2. Hasil penelitian Suminarti, pelaksanaan senam dapat
menurunkan berat badan dan kadar glukosa plasma puasa
dan 2 jam postprandial. Rata – rata penurunan kadar
glukosa plasma puasa 1,06 ± 47,74 dan sebesar 41,94
± 75,17 pada kadar glukosa plasma 2 jam postprandial
(25). Dalam penelitian ini penulis tidak melakukan
pemeriksaan konsumsi makanan dikarenakan adanya
keterbatasan waktu untuk menyelesaikan penelitian.
Pengukuran lingkar pinggang dan lingkar panggul
merupakan suatu pengukuran paling sederhana dan
mudah yang bisa dilakukan untuk menilai resiko penyakit
degeneratif, tetapi ternyata dengan mengukur LP dan
RLPP saja tidak cukup untuk menggambarkan resiko
penyakit diabetes melitus dan kadar glukosa plasma.
Pengukuran IMT juga bisa digunakan untuk menilai
resiko penyakit degeneratif. Apabila memnugkinkan,
lebih baik menggunakan kedua pengukuran tersebut
(2).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara LP dan RLPP terhadap kadar
glukosa plasma TTGO yang dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya usia, asupan energi dan
akti tas sik responden. Keterbatasan dalam penelitian
ini adalah peneliti tidak mengambil data mengenai
asupan energi dan akti tas sik responden yang dapat
mempengaruhi kadar glukosa plasma responden. Pada
saat penelitian, peneliti hanya menggunakan glucose
meter yang memiliki akurasi lebih rendah dibandingkan
dengan uji laboratorium serta saat penelitian peneliti
menggunakan larutan gula pasir bukan menggunakan
glukosa murni yang dilarutkan dalam 250 mL air.
SIMPULAN DAN SARAN
Rerata LP responden hampir sama dan sebagian besar
RLPP responden normal. Kadar glukosa plasma puasa dan
glukosa plasma TTGO responden sebagian besar normal.
Tidak ada korelasi antara LP dan kadar glukosa plasma
menggunakan TTGO. Demikian juga tidak ada korelasi
antara RLPP dan kadar glukosa plasma menggunakan
TTGO. Penelitian selanjutnya dapat mengkaji hubungan
asupan energi, aktivitas sik dengan kadar glukosa plasma
menggunakan TTGO. Sebaiknya dilakukan pengukuran
plasma vena dengan analisis enzimatik di laboratorium
sehingga hasil kadar glukosa plasma yang dihasilkan lebih
akurat dan menggunakan larutan glukosa standar.
RUJUKAN
CDC. Athropometry Procedures Manual. National 1.
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
2007. [serial online] 2007 [cited Sep 2014]. Available
online: URL: https://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/
nhanes_07_08/manual_an.pdf
WHO. Waist circumference and waist-hip ratio report of a 2.
who expert consultation. Geneva: WHO; 2008.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney 3.
Disease. Insulin resistance and prediabetes. USA: National
Institute of Health; 2008.
35
Farida Dwi Rokhmah, dkk: Korelasi lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul terhadap kadar glukosa plasma
Gibson R. Principles of nutritional assessment 24. nd Ed. New
York: Oxford University Press; 2005.
Siswanto IH. Prevalensi Diabetes mellitus tipe 2 pada 5.
obesitas sentral di Kelurahan Tajur Ciledug tahun 200
[Karya Tulis Ilmiah]. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 2009.
Dagan SS, Segev S, Novikov I, Dankner R. Waist 6.
circumference vs body mass index in association with
cardiorespiratory tness in healthy men and women: a cross
sectional analysis of 403 subjects. Nutr J 2013;12:12.
Fahmida, Dillon. Handbook nutritional assessment. 7.
Jakarta: SEAMEO-TROPMED RCCN UI; 2007.
Perkeni. Konsensus pengelolaan diabetes melitus. Jakarta: 8.
EGC; 2011.
American Diabetes Association. Standards of medical 9.
care in diabetes-2014. Diabetes Care 2014;37(Supp
1):S14-80.
Widyana LE. Hubungan antara estimasi lemak dan kolesterol 10.
dengan tekanan darah di Kecamatan Kedungkandang
Kota Malang [Karya Tulis Ilmiah]. Malang: Universitas
Brawijaya; 2013.
Grundy SM, Brewer Jr B, Cleeman JI, Smith Jr SC, Lenfant 11.
C, and for the Conference Participants. De nition of metabolic
syndrome: report of the national heart, lung, and blood
institute/american heart association conference on scienti c
issues related to de nition. Circulation 2004;109:433-8.
Garrows. Obesity in human nutrition and dietetics. London: 12.
Chuechill, Livingstone; 2000.
Okosun IS, Prewitt TE, Cooper RS. Abdominal obesity 13.
in the United States : prevalence and attributable risk of
hypertension. J Hum Hypertens 1999;13(7):425-30.
Sandi W. Hubungan lingkar pinggang dan rasio lingkar 14.
pinggang panggul dengan kadar gula darah puasa pada
laki-laki dewasa [Karya Tulis Ilmiah]. Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret; 2010.
Lipoeto NI, Eti Y, Zulkarnain E, Intan W. Hubungan 15.
antropometri dengan kadar glukosa darah. Medika
2007;23-8.
Halim S. The tale of obesity :challenges and solution. Med 16.
J Indonesia 2003;12(1):53-62.
Fitri RI, Yekti W. Asupan energi, karbohidrat, serat, beban 17.
glikemik, latihan jasmani dan kadar gula darah pada pasien
diabetes mellitus tipe 2. M Med Indones 2012;46(2):121-
31.
Dam V, Rimm EB, Willett WC, Stampfer MJ, Hu FB. 18.
Dietary patterns and risk type 2 diabetes mellitus in U.S
men. Am J Coll Phys 2002;136(3):201-9.
Sabena E. Hubungan indek massa tubuh, rasio lingkar 19.
pinggang panggul, konsumsi energi dan karbohidrat
dengan kadar glukosa darah pada penderita baru DMTTI
rawat jalan (studi di RSU Tidar Magelang) [Karya Tulis
Ilmiah]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro; 2003.
Jalal F, Nur IL, Novia S, Fadil O. Hubungan lingkar 20.
pinggang dengan kadar kadar glukosa darah, trigliserida
dan tekanan darah pada Etnis Minang di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatra Barat [Tesis]. Padang: Universitas
Andalas; 2005.
Sanusi H. Patogenesis hiperglikemia diabetes melitus tipe 21.
2. J Med Nus 2001;22:431-7.
Nguyen QM, Xu JH, Chen W, Srinivasan SR, Berenson GS. 22.
Correlates of age onset of type 2 diabetes among relatively
young black and white adults in a community. Diabetes
Care 2012;35(6):1341-6.
Theresia TL. Hubungan overweight dengan peningkatan 23.
kadar gula darah pada pedagang pusat pasar Medan [Karya
Tulis Ilmiah]. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara; 2012.
Setiawan M. Pre-diabetes dan peran HbA1c dalam skrining 24.
dan diagnosis awal diabetes melitus. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang; 2011.
Suminarti W, Purba M, Handayani ND, Wiyono P. 25.
Perubahan berat badan dan kadar glukosa darah pada
kelompok senam diabetes PERSADIA cabang RS DR
Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta: KONAS PERSAGI;
2002.
... Penelitian lainnya mengatakan bahwa sebagian besar responden lansia di Desa Bolon berjenis kelamin perempuan sebanyak 50 orang (78,1%) (Enggarningsih et al., 2019). Menurut penelitian Rokhmah et al., (2020) mengatakan bahwa perempuan memiliki risiko lebih besar untuk menderita diabetes, karena perempuan berhubungan dengan paritas, kehamilan dan memiliki komposisi lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki sehingga perempuan lebih mudah gemuk yang berkaitan dengan faktor risiko obesitas. ...
Article
Full-text available
Indonesia is one of the top 10 countries with the highest number of DM sufferers. It is predicted to rise to fifth place in 2025 ( number of sufferers of 12.4 million people). One of the factors that influences the occurrence of DM is nutritional status, both obesity and central obesity. Central obesity can be seen from measuring the waist circumference ratio. Achieving good nutritional status is always associated with blood glucose levels. This study aims to determine and analyze the relationship between waist circumference and blood sugar levels in the elderly. The research design used is quantitative research with a cross-sectional survey approach. The population is all elderly people suffering from DM at the Pandu Senjaya Community Health Center in March-April 2024, totaling 58 people. The sample was 58 respondents with a total enumerative sampling technique. The results were 27 elderly people had a waist circumference in the normal category and 31 elderly people had an abnormal waist circumference. Most of the elderly had poor GDS, 38 elderly (65.5%). There is a relationship between waist circumference and blood sugar levels in the elderly at the Pandu Senjaya Community Health Center(p value 0.033)(α=0.05)). It is recommended that the elderly maintain their diet, increase physical activity and manage stress to avoid obesity which results in DM. ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu dari 10 besar negara dengan jumlah penderita DM terbanyak. Diprediksikan akan menjadi peringkat ke-5 pada tahun 2025 (jumlah penderita 12,4 juta jiwa). Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya DM adalah status gizi baik obesitas maupun obesitas sentral. Obesitas sentral dapat dilihat dari pengukuran rasio lingkar pinggang. Pencapaian status gizi yang baik berkaitan dengan kadar glukosa darah. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis hubungan antara lingkar pinggang dengan kadar gula darah sewaktu pada lansia. Desain penelitian yang digunakan yaitu penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional. Populasi yaitu seluruh lansia penderita DM di Puskesmas Pandu Senjaya bulan Maret-april 2024 sejumlah 58 orang. Sampel sebanyak 58 responden dengan teknik total enumerative sampling. Hasil dari penelitian yaitu lansia dengan lingkar pinggang kategori normal sejumlah 27 lansia dan tidak normal 31 lansia. Sebagian besar lansia memiliki GDS (Gula Darah Sewaktu) buruk sebanyak 38 lansia (65.5%). Terdapat hubungan antara lingkar pinggang dengan kadar gula darah sewaktu pada lansia di Puskesmas Pandu Senjaya (p value 0.033) (α=0.05). Disarankan kepada lansia agar menjaga pola makan, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengelola stres sehingga terhindar dari obesitas yang berakibat terkena penyakit DM.
... Kebiasaan konsumsi gorengan, minum, atau makan yang manis dan berlemak dapat berisiko meningkatkan IMT seseorang dan menyebabkan tingginya kadar gula darah [27]. Selain konsumsi gula, kejadian DM dapat disebabkan oleh faktor usia (> 45 tahun), etnis, memiliki riwayat keluarga DM, toleransi glukosa terganggu, hipertensi, dislipidemia, dan lainnya [28]. ...
Article
Full-text available
Consumption pattern, sugar intake, and nutritional status of women aged 35-55 years in Batur Village, Getasan DistrictBackground: According to the Individual Food Consumption Survey of Central Java Province, residents consume an average of 22.9 grams of food from sugar, syrup, and confectionary groups daily, with sugar alone accounting for 20.2 grams. Sweet foods and beverages like sweet tea, tofu, and tempeh are commonly consumed in Central Java. Objective: The study assesses consumption patterns, sugar intake, and nutritional status (including anthropometric measurements, blood sugar levels, fasting blood sugar levels, uric acid levels, and blood pressure) of native Javanese women aged 35-55 in Batur, Getasan. Method: This quantitative research uses a descriptive approach with a sample of 106 women: 48 from Krangkeng village (lower), 22 from Kalitengah village (middle), and 36 from Tekelan village (upper). Research tools include SQ-FFQ, 24-hour food recall, anthropometric measurements, and biochemical and clinical examinations. Results: Food consumption frequency and quantity are highest in Krangkeng village. The average daily sugar consumption per person across all villages is 21.46±10.19 grams, equivalent to an average household purchase of 3,359.43±1,509.13 grams per month (about 3 kg per month per family). Types of sugar consumed include glucose (106.98±30.64 g/day), fructose (5.64±7.99 g/day), sucrose (102.18±23.75 g/day), and lactose (1.98±8.38 g/day). Average measurements for BMI, blood sugar, fasting blood sugar, uric acid, and blood pressure fall within normal ranges for women of this age group. Conclusion: Krangkeng village shows higher food consumption rates, likely due to more access to food supplies. Average daily sugar consumption remains below recommended levels (25 g/day). Overall, the women surveyed's nutritional status, biochemical, and clinical profiles are generally within normal range.
... 12 Rokhmah et al. stated that there was no positive correlation between WHR and plasma blood glucose levels as measured by the Oral Glucose Tolerance Test (OGTT). 13 Waist Hip Circumference Ratio (WHR) is an anthropometry that can describe visceral fat. Excess visceral fat indicates the occurrence of central obesity, which is one of the triggers of cardiovascular disease. ...
Article
Full-text available
LATAR BELAKANG Penyakit kardiovaskular (PKV) menjadi penyebab nomor satu kematian di dunia setiap tahunya. Framingham Risk Score memprediksi kemungkinan kejadian kardiovaskular dalam 10 tahun kedepan. Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP) merupakan salah satu antropometri yang mencerminkan lemak bagian perut dan dianggap lebih baik daripada Indeks Masa Tubuh (IMT) dalam memprediksikan risiko kardiovaskular. Asupan lemak yang tinggi akan meningkatkan risiko PKV. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara RLPP asupan lemak dengan risiko kejadian kardiovaskular pada usia produktif. METODE Metode penelitian ini adalah cross-sectional yang melibatkan 173 peserta berusia 30-64 tahun di RW 12, Dutamas, Grogol Pertamburan selama bulan September dan November 2018. Menggunakan data primer untuk menentukan ukuran RLPP, IMT ,data untuk kalkulasi FRS, dan wawancara foodrecall 3x24 jam, pemilihan sampel menggunakan teknik consecutive non-random sampling. Analisis data menggunakan IBM SPSS 23. HASIL Di dapatkan 62 responden laki-laki dan 111 responden perempuan. Baik Laki-laki maupun perempuan lebih banyak yang memiliki WHR beresiko. Meskipun demikian, laki-laki lebih banyak mengalami obesitas daripada perempuan. Laki-laki maupun perempuan lebih banyak dengan asupan lemak mencapai ³80% AKG. Pada uji FRS dengan WHR dan asupan lemak dapatkan nilai p < 0,05 untuk laki-laki dan perempuan sedangkan uji FRS dengan IMT di dapatkan p>0,05 untuk laki-laki dan p<0,05 untuk perempuan. KESIMPULAN Terdapatkan hubungan antara Rasio Lingkar Pinggang Panggul dan asupan lemak dengan risiko kejadian kardiovaskular.
... Obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom metabolik. Lingkar pinggang dapat mengukur jaringan lemak subkutan dan jaringan intraabdomen (Rokhmah et al., 2015). ...
Article
Full-text available
Obesity prevalence in students is increasing and can lead to metabolic syndrome at a young age. The habit of harmful sleeping patterns, night eating syndrome, and excessive sugar-sweetened-beverage consumption can increase the risk of metabolic syndrome in obese students. This research aimed to analyze the differences between night eating syndrome, sleeping patterns, and consumption habits of sugar-sweetened beverages based on metabolic types in obese students. This research used a case-control design in Semarang in 2020, with 52 subjects aged 19-24 selected by consecutive sampling. The data included body weight using digital scales, height using microtoise, waist size using Medline, blood pressure using tensimeters, and laboratory tests to check triglyceride levels, HDL cholesterol, fasting blood glucose, and insulin. The instruments used were The Night Eating Questioner to assess the night eating syndrome, Pittsburg Sleep Quality to assess sleeping patterns, and the Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire to see the subject’s sugar-sweetened beverage consumption. The Chi-Square test analyzed the data. There was a difference between night eating syndrome (p=0,006) and sleeping pattern (p=0,012) in Metabolically Healthy Obesity (MHO) and Metabolically Unhealthy Obesity (MUO). There was no significant difference between sugar-sweetened beverage consumption in the two subject groups (p=0,714). In the MUO group, more people experienced poor sleep patterns and night-eating syndrome. Meanwhile, sugar-sweetened beverage consumption in the MHO and MUO groups was still considered normal.
... Pengukuran kadar glukosa darah yang dilakukan sebanyak 8 kali yaitu kadar glukosa darah sebelum di uji (T0) , serta kadar glukosa darah pada menit ke 15 (T1), menit ke 30 (T2), menit ke 45 (T3), menit ke 60 (T4) menit ke 90 (T5), menit ke 120 (T6), dan menit ke 150 (T7) setelah pemberian sukrosa. Adapun pemberian larutan pada metode uji glukosa darah oral dengan melakukan pengujian terhadap kemampuan penurunan kadar glukosa darah secara in vivo dengan diberikan sukrosa secara oral terhadap mencit (Rokhmah et al, 2015). Pada hakikatnya nilai glukosa darah mudah diperoleh karena glukosa mudah dimetabolisme tubuh. ...
Article
Tingginya kasus penderita hiperglikemia pengobatannya memerlukan waktu yang panjang dan biaya relatif mahal, membuat penderita berisiko komplikasi dikarenakan efek samping obat sintetik yang dikonsumsi. Alternatif untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan obat-obatan tradisional. Banyak tanaman obat yang berpotensi sebagai antihiperglikemia salah satunya alga laut yaitu Ulva sp. dan Sargassum sp. Kedua alga ini memiliki kandungan metabolit sekunder yang mampu sebagai antihiperglikemik. Namun, penelitian khusus mengenai perbandingan efektivitas antihiperglikemia dari ekstrak Ulva sp. maupun ekstrak Sargassum sp. sebagai penurun kadar glukosa bagi mencit yang di induksi sukrosa belum pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian untuk membandingkan efektivitas ekstrak Ulva sp. dan ekstrak Sargassum sp. sebagai antihiperglikemik pada mencit (Mus musculus). Pada penelitian ini menggunakan 20 ekor mencit yang terbagi dalam 4 kelompok uji. Kelompok (I) kontrol positif diberikan metformin 1,3 mg/20 gram BB mencit kelompok (II) merupakan kontrol negatif diberikan CMC Na 0,5% kelompok (III) Ekstrak Sargassum sp. dosis 0,78 mg/20 gram BB mencit kelompok (IV) ekstrak Ulva sp. dosis 0,78 mg/20 gram BB mencit. Setelah 15 menit pemberian larutan uji selanjutnya diberikan Sukrosa 0,195 gram/20 gram BB mencit secara peroral. Pengamatan dilakukan setelah pemberian sukrosa, pada menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120, 150. Setelah didata menggunakan SPSS Hasil menunjukkan bahwa ekstrak Sargassum sp. dengan Ektrak Ulva sp. memiliki efek antihiperglikemik (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol negatif. Namun yang memiliki manfaat sebagai agen antihiperglikemik paling baik yaitu ekstrak Sargassum sp. karena datanya mendekati efek antihiperglikemik metformin.
... Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa RLPP merupakan prediktor yang kuat terhadap peningkatan kadar hs-CRP pada kelompok obesitas [29]. Penelitian di Malang menunjukkan bahwa LP korelasinya lebih kuat dibandingkan dengan RLPP dengan total lemak tubuh yang dinilai dengan IMT [30]. Penelitian lain menyebutkan bahwa lingkar pinggang merupakan prediktor terbaik visceral fat dibandingkan RLPP dan IMT yang kemudian berkorelasi dengan rasio kolesterol/HDl, insulin dan HOMA-IR [31]. ...
Article
Full-text available
p>Proses penuaan mempengaruhi peningkatan distribusi lemak abdominal dengan indikator lingkar pinggang (LP) dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP). Penimbunan lemak abdominal menyebabkan disfungsi jaringan adiposa sehingga mempengaruhi biomarker proinflamasi yaitu kadar serum high-sensitivity C-reactive Protein (hs-CRP). Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan LP dan RLPP dengan kadar hs-CRP lansia wanita. Rancangan penelitian cross sectional pada 53 subjek dipilih secara consecutive sampling . Antropometri yang diukur adalah LP dan RLPP. Pengukuran kadar serum hs-CRP dianalisis dengan metode enyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Wawancara yang dilakukan yaitu data diri, asupan, aktivitas fisik, dan riwayat konsumsi obat. Data asupan diperoleh dengan metode food recall 3x24 jam. Aktivitas fisik diperoleh menggunakan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Analisis data digunakan uji korelasi Spearman . Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase LP pada lansia wanita yang berisiko sebesar 90,6%, RLPP yang berisiko sebesar 98,1%, dan kadar hs-CRP tinggi sebesar 30,2%. Terdapat hubungan positif antara LP dengan kadar serum hs-CRP (r=0,417 ; p=0,002). Dalam penelitian ini RLPP, aktivitas fisik, asupan energi, karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin A, vitamin C, vitamin D,vitamin E, dan selenium tidak berkorelasi dengan kadar hs-CRP. Simpulan penelitian ini adalah LP berkorelasi positif dengan kadar serum hs-CRP, namun RLPP tidak berkorelasi dengan kadar serum hs-CRP</p
... Penentuan kadar glukosa darah pada penelitian ini menggunakan metode UTGO. Uji toleransi glukosa oral adalah pengujian terhadap kemampuan penurunan kadar glukosa darah secara in vivo dengan cara pembebanan glukosa secara oral (Rokhmah, Handayani, & Al-Rasyid, 2015). Nilai glukosa darah mudah di perol eh karena glukosa mudah dimetabolisme tubuh. ...
Article
Full-text available
Rumput laut Ulva sp. memiliki kandungan serat pangan tinggi yang diketahui memiliki aktivitas hipoglikemik. Penelitian ini telah melakukan penambahan Ulva sp. pada biskuit sebagai makanan sehat yang kaya serat pangan. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian biskuit Ulva terhadap penurunan kadar glukosa darah pada tikus jantan yang diinduksi sukrosa jenuh. Selain itu, diamati profil hematologi dan biokimia klinis darah sebelum dan setelah pemberian biskuit Ulva. Uji antidiabetes dilakukan menggunakan uji toleransi glukosa oral terhadap tikus jantan yang diinduksi sukrosa jenuh. Biskuit Ulva yang diberikan 1 g/kg berat badan (BB) tikus dengan perlakuan kontrol negatif (pakan tanpa biskuit), biskuit tanpa Ulva sp., dan biskuit Ulva setara dengan Ulva sp. 1, 5, dan 10 mg/kg BB. Perlakuan dosis diberikan pada 5 ekor tikus percobaan sekali sehari selama 14 hari. Pengamatan terhadap intoleransi glukosa dilakukan melalui pengukuran glukosa darah setelah pemberian sukrosa jenuh ke semua perlakuan pada hari ke-14, dan diukur pada menit ke-0, 30, 60, dan 120. Penimbangan tikus dilakukan pada hari ke-0, 7, dan 14, sedangkan analisis hematologi dan biokimia klinis darah dilakukan pada hari ke-0 dan ke-14. Pemberian biskuit Ulva berpengaruh signifikan terhadap kadar glukosa darah, serta menurunkan hematokrit dan hemoglobin darah tikus. Biskuit dengan dosis Ulva setara 1 mg/kg BB mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus secara efektif pada menit ke-60. Tidak ada perbedaan kenaikan berat badan tikus jantan antara kelompok kontrol negatif dan biskuit Ulva pada hari ke-0, 7, dan 14. Pemberian biskuit Ulva sampai dengan 10 mg/kg BB tidak mempengaruhi SGOT, SGPT, ureum, dan kreatinin tikus. ABSTRACT Seaweed Ulva sp. contains high dietary fiber which is known to have hypoglycemic activity. In this study, the addition of Ulva sp. in biscuit products as a healthy food rich in dietary fiber. The objective of this study was to determine the effect of Ulva added biscuits on blood glucose levels reduction in male rats induced by saturated sucrose. In addition, clinical hematology and blood biochemical profiles before and after the administration of Ulva biscuits were also observed. Antidiabetic method used the oral glucose intolerance test method on male rats induced by saturated sucrose. Ulva biscuits were given at 1 g/kg body weight of rats for each treatment. This test used five treatments, namely negative control (rats feeding without biscuits), rat feeding without Ulva added biscuits; and rat feeding with Ulva biscuits equivalent to 1, 5, and 10 mg Ulva sp. /kg BW. Each dose treatment was given to five experimental rats once a day for 14 days. Observations on glucose intolerance included measurement of blood glucose levels by giving saturated sucrose to all treatments and measured at 0, 30, 60, and 120 minutes after administration of saturated sucrose. The weighing was carried out on day 0, 7, and 14, while clinical hematological and blood biochemical analyzes were performed on day 0 and 14. The administration of Ulva biscuits had a significant effect on the blood glucose levels of male rats, lowering hematocrit and hemoglobin in rat blood. The concentration of 0.1% Ulva biscuits in biscuits (equivalent to a dose of Ulva sp. 1 mg/kg BW) was able to effectively reduce the blood glucose levels of rats after 60 minutes. There was no difference in weight gain of male rats between the negative control group and Ulva biscuits on days 0, 7, and 14. The diet of Ulva biscuits with 10 mg/kg BW Ulva sp. did not affect the SGOT, SGPT, urea, and creatinine of rats.
... 12 World Health Organization (WHO) merekomendasikan cut-off point untuk Asia yaitu ≥90 cm untuk laki-laki dan ≥80 cm untuk perempuan, sedangkan cut-off point untuk RLPP yaitu ≥1,0 untuk laki-laki dan ≥0,85 untuk perempuan. 13 Hasil pengukuran yang melebihi cutoff point maka tergolong berisiko mengalami obesitas sentral. ...
Article
Full-text available
Latar Belakang : Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan naiknya kadar glukosa darah, baik disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin, resistensi terhadap insulin maupun karena keduanya. Seseorang dengan obesitas abdominal atau sentral dengan penimbunan lemak disekitar perut mempunyai asosiasi terhadap faktor risiko lebih tinggi terhadap DM. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lingkar pinggang dan RLPP dengan kadar glukosa darah puasa. Metode : Desain studi dalam penelitian ini adalah cross sectional dengan purposive sampling. Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ini adalah bersedia dan menandatangani informed consent, saat pengambilan darah responden puasa tidak makan dan hanya minum air putih selama 8 jam, tidak menderita DM dan tidak sedang mengkonsumsi antidiabetik. Sampel penelitian berjumlah 69 mahasiswa yang berasal dari Prodi S1 Kesehatan Masyarakat. Variabel terdiri dari kadar gula darah puasa, lingkar pinggang, dan Rasio Linggar Pingang Panggul (RLPP). Data dianalisis dengan menggunakan Uji Chi Square dengan signifikasi (α) = 0,05. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 31,9% mahasiswa dengan kategori kadar gula darah puasa yang tinggi (≥ 100 mg/dl), berdasarkan lingkar pinggang sebanyak 33,3% mahasiswa termasuk kategori obesitas, sedangkan berdasarkan RLPP sebanyak 46,4% persen mahasiswa termasuk kategori obesitas, serta. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lingkar pinggang (p=0,459) dan RLPP (p=0,470) dengan kadar gula darah puasa. Simpulan Tidak ada hubungan yang signifikan antara lingkar perut dan RLPP dengan kadar glukosa darah pada mahasiswa Prodi S1 Kesehatan Masyarakat STIKes Kharisma Persada. Dapat dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan melibatkan variabel yang berbeda sehingga hasil penelitian berikutnya lebih luas.
... Pada penelitian ini, outcome klinis yang diukur adalah GDS selama 3 bulan. Kadar GDS merupakan outcome klinis yang paling mudah diukur, praktis, memerlukan biaya yang murah, dan hasil pemeriksaan dapat diketahui dengan cepat untuk menilai efektifitas pengobatan dan pemantauan terapi [13]. ...
Article
Full-text available
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit kronis yang membutuhkan terapi untuk mengontrol glukosa darah. Pengontrolan glukosa darah yang buruk berdampak pada penurunan kualitas hidup dan peningkatan biaya. Tujuan penelitian adalah menganalisis perbedaan outcome klinis yaitu kadar Glukosa Darah Sewaktu (GDS) selama 3 bulan berdasarkan kualitas hidup dan biaya medis langsung. Outcome klinis dikatakan terkontrol apabila GDS <200 mg/dL dan tidak terkontrol apabila GDS ≥200 mg/dL. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional dengan jenis observasional. Kriteria inklusi mencakup pasien DM tipe 2 yang memperoleh antidiabetik yang sama minimal 3 bulan di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul pada September 2017. Kriteria eksklusi meliputi kondisi hamil atau menyusui. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner, rekam medis dan bagian keuangan. Data demografi dianalisis secara deskriptif sedangkan outcome klinis diolah menggunakan uji Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 129 dari 200 pasien menunjukkan outcome klinis tidak terkontrol (64,5%) dengan rata-rata nilai kualitas hidup yang baik (65,7±7,7) serta mengeluarkan biaya medis langsung sebesar Rp 489.005. Terdapat perbedaan outcome klinis berdasarkan kualitas hidup (p=0,000) pada domain fungsi fisik (p=0,034), kepuasan pribadi (p=0,000), kepuasan pengobatan (p=0,000) dan frekuensi gejala penyakit (p=0,012) serta berdasarkan biaya medis langsung (p=0,012). Pasien dengan outcome klinis terkontrol menunjukkan kualitas hidup yang lebih tinggi dan mengeluarkan biaya lebih rendah.
Article
Full-text available
Latar belakang: Risiko DM (Diabetes Mellitus) sering dikaitkan dengan pangan yang berbasis karbohidrat yaitu IG (Indeks Glikemik) dan BG (Beban Glikemik) yang menyebabkan resistensi insulin, dan mempengaruhi metabolisme dalam lemak yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar LDL (Low Density Lipoprotein). Konsumsi karbohidrat yang berlebih akan menyebabkan tidak seimbangnya jumlah energy intake dengan energy expenditure sehingga dalam jangka waktu lama akan menimbulkan obesitas. Pengukuran antropometri yang berguna sebagai prediktor terjadinya obesitas adalah dengan menggunakan RLPP (Rasio Lingkar Pinggang dan Panggul).Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara IG dan BG makanan dengan kadar LDL dan RLPP pada pasien DMT2.Metode: Desain penelitian adalah cross sectional. Responden dari penelitian ini adalah 21 pasien DMT2 di Puskesmas wilayah kerja Kabupaten Karanganyar. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Variabel yang diteliti adalah IG, BG, kadar LDL, RLPP. Dianalisis menggunakan uji kolerasi pearson dengan nilai signifikansi < 0,05 dan dianalisis multivariat dengan menggunakan regresi linier berganda.Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa IG mempunyai hubungan dengan kadar LDL (p<0,001; r=0,939), IG mempunyai hubungan dengan RLPP (p=<0,001; r=0,984), BG mempunyai hubungan dengan kadar LDL (p<0,001; r=0,969), BG mempunyai hubungan dengan RLPP (p<0,001; r=0,963), RLPP mempunyai hubungan dengan kadar LDL (p<0,001; r=0,984). Analisis multivariat menunjukkan BG makanan adalah prediktor dari kadar LDL dan IG dan BG makanan adalah prediktor dari RLPP.Simpulan: Terdapat hubungan positif dan signifikan antara IG dan BG makanan dengan kadar LDL dan RLPP pada pasien DMT2.
Article
Full-text available
Diabetes Mellitus (DM), khususnya DM tipe 2 (DMT2) kini menjadi ancaman yang serius bagi umat manusia di dunia. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di Indonesia saat ini sebesar 5,7%. Menurut WHO pasien diabetes di Indonesia akan mengalami kenaikan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 dan menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Tanpa upaya pencegahan dan program pengendalian yang efektif prevalensi tersebut akan terus meningkat. Glukosa darah merupakan rentang yang berkelanjutan (continuous spectrum). Batas kadar glukosa darah normal, prediabetes dan diabetes ditetapkan berdasar kesepakatan (arbitrary). Saat ini, diagnosis DM ditetapkan bila kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl atau 2 jam paska beban glukosa > 200 mg/dl. Prediabetes adalah kadar glukosa darah di atas normal tetapi masih di bawah kadar glukosa darah untuk diabetes. Diagnosis prediabetes ditegakkan bila didapatkan kadar glukosa darah puasa 100-125 mg/dl (Glukosa Puasa Terganggu = GPT), atau 2 jam paska beban glukosa 140-199 mg/dl (Toleransi Glukosa Terganggu = TGT), atau keduanya (Homeostasis Glukosa Terganggu = HGT). Mekanisme patofisiologi TGT dan GPT berbeda, meskipun TGT dan GPT didasari oleh resistensi insulin, tetapi keduanya menunjukkan perbedaan tempat dimana resistensi insulin terjadi. Resistensi insulin pada penderita GPT terutama pada jaringan hati, sedangkan sensitifitas insulin pada jaringan otot masih tetap normal. Pada TGT, sensitifitas insulin di jaringan hati tetap normal atau sedikit menurun sedangkan pada jaringan otot telah terjadi resistensi insulin. Prediabetes meningkatkan resiko absolut menjadi DM sebesar 2-10 kali lipat, resiko terjadinya penyakit kardiovaskular pada prediabetes sama besarnya dengan DM. Berbagai keadaan tersebut lebih meyakinkan bahwa Tindakan-tindakan dan program pencegahan dini DM sangat diperlukan, antara lain melalui penanganan prediabetes. Identifikasi dan penatalaksanaan awal bagi pasien prediabetes dapat menurunkan insiden DM serta komplikasinya. Diabetes merupakan salah satu penyakit underdiagnosed. Saat diagnosis ditegakkan sekitar 25% sudah terjadi komplikasi mikrovaskular. Manfaat HbA1c selama ini lebih banyak dikenal dalam menilai kualitas pengendalian glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas suatu terapi, namun beberapa studi terbaru mendukung manfaat HbA1c yang semakin luas, bukan hanya untuk pemantauan, tetapi juga bermanfaat dalam mendiagnosis ataupun skrining Diabetes Mellitus tipe-2. Pasien DM berpotensi menderita berbagai komplikasi, meliputi penyakit makrovaskular (penyakit jantung, stroke dan penyakit pembuluh darah tepi) dan penyakit mikrovaskular (retinopati, neuropati dan nefropati). Komplikasi DM sudah dimulai sejak dini sebelum diagnosis DM ditegakkan. Kata kunci : prediabetes, HbA1c, DM tipe 2
Article
Full-text available
Obesity has struck with all its might and the results are the increased world-wide prevalence along with increased mortality rate and other obesity-related diseases. Genetic, hormonal and environmental factors interact to cause obesity. Very low calorie diet and physically active lifestyle are the primary means to treat obesity. Additional intervention is by pharmacological treatment, using two new drugs, namely cyclobutane methanamine HCl and tetra hidrolipstatin that are potential for the management of obesity. Another way to solve this problem is by performing a surgery. In conclusion, patients should consult their physicians in order to decide which methods are the most effective to find a solution to combat obesity. (Med J Indones 2003; 12: 53-62) Keywords: epidemic, genetic, leptin, cardiovascular disease, diabetes, gastric bypass, laparoscopic banding
Article
Full-text available
Objective Body mass index (BMI) is more commonly used than waist circumference as a measure of adiposity in clinical and research settings. The purpose of this study was to compare the associations of BMI and waist circumference with cardiorespiratory fitness. Methods In a cross-sectional study of 403 healthy men and women aged 50 ± 8.8 years, BMI and waist circumference were measured. Cardiorespiratory fitness was assessed from estimated maximal O2 uptake (VO2max), as calculated from a maximal fitness test. Results Mean BMI (kg/m2) was 27.8 ± 3.7 and 25.5 ± 4.6; and mean waist circumference (cm) 94.1 ± 9.7 and 84.3 ± 10.4 for men and women, respectively. Both men and women reported an average of 2.5 hours of weekly sports related physical activity, and 18% were current smokers. Correlation coefficients between both BMI and waist circumference, and VO2max were statistically significant in men (r = −0.280 and r = −0.377, respectively, p > 0.05 for both) and in women (r = −0.514 and r = −0.491, respectively, p > 0.05 for both). In women, the contribution of BMI to the level of VO2max in a regression model was greater, while in men waist circumference contributed more to the final model. In these models, age, hours of training per week, and weekly caloric expenditure in sport activity, significantly associated with VO2max, while smoking did not. Conclusion The differences observed between the sexes in the associations of BMI and waist circumference with VO2max support the clinical use of both obesity measures for assessment of cardiorespiratory fitness.
Article
Full-text available
The risk factors for middle-age onset of type 2 diabetes are well known. However, information is scant regarding the age onset of type 2 diabetes and its correlates in community-based black and white relatively young adults. This prospective cohort study consisted of normoglycemic (n = 2,459) and type 2 diabetic (n = 144) adults aged 18-50 years who were followed for an average of 16 years. The incidence rate of the onset of type 2 diabetes was 1.6, 4.3, 3.9, and 3.4 per 1,000 person-years for age-groups 18-29, 30-39, and 40-50 and total sample, respectively. Incidences of diabetes increased with age by race and sex groups (P for trend ≤ 0.01); higher in black females versus white females and blacks versus whites in total sample (P < 0.05). In a multivariable Cox model, baseline parental diabetes (hazard ratio [HR] 5.24) and plasma insulin were significantly associated with diabetes incidence at the youngest age (18-29 years); black race, BMI, and glucose at age 30-39 years; female sex, parental diabetes (HR 2.44), BMI, ratio of triglycerides and HDL cholesterol (TG/HDL-C ratio), and glucose at age 40-50 years; and black race, parental diabetes (HR 2.44), BMI, TG/HDL-C ratio, and glucose in whole cohort. Further, patients with diabetes, regardless of age onset, displayed a significantly higher prevalence of maternal history of diabetes at baseline (P < 0.01). In relatively young adults, predictability of baseline cardiometabolic risk factors along with race, sex, and parental history of diabetes for the onset of type 2 diabetes varied by age-group. These findings have implications for early prevention and intervention in relatively young adults.
Article
Full-text available
The aim of this study was to determine the prevalence of abdominal obesity and its impact on the risks of hypertension in the US adult population. Data from the third US National Health and Nutrition Examination Surveys, 1988-1994, were utilised. Abdominal obesity was defined as waist circumference > or =102 cm in men and > or =88 cm in women. Hypertension was defined as mean diastolic blood pressure > or =90 mm Hg, systolic blood pressure > or =140 mm Hg or current treatment with prescribed hypertension medication. Prevalences of abdominal obesity were estimated in non-Hispanic White, non-Hispanic Black and Hispanic Americans. Gender-specific logistic regression analysis using empirical waist cut-off points was used to determine the risks of hypertension. The impact of abdominal adiposity on risk of hypertension was estimated from population-attributable risk adjusting for age, current smoking and alcohol intake. The prevalences of abdominal obesity were 27.1%, 20.2% and 21.4% in White, Black and Hispanic men, respectively. The corresponding values in women were 43.2%, 56.0% and 55.4%. Abdominal obesity was found to be associated with a two to three-fold increased risk of hypertension in this population. In men, the attributable risk percent ranged from 20.9% in Hispanics to 27.3% in Whites and in women ranged from 36.5% in Whites to 56.5% in Hispanics. We estimated that 24 million adult men and 40 million adult women of Hispanic and non-Hispanic Black and White ethnicity were suffering from abdominal obesity. In this population, hypertension appears to be associated with abdominal obesity. The estimates of population attributable risks suggest that the risk of hypertension could be potentially reduced if waist size were reduced to <102 cm in men and <88 cm in women.
Article
This is a comprehensive text on the methods—dietary, anthropometric, laboratory and clinical—of assessing the nutritional status of populations and of individuals in the hospital or the community. The second edition incorporates recent data from national nutritional surveys in the US and Europe; the flood of new information about iron, vitamin A and iodine; the role of folate in preventing neural tube defects; the use of HPLC techniques and enzyme assays; improvements in data handling; and many other developments since 1990.
Article
The role of diet in the development of type 2 diabetes mellitus remains unsettled. To examine the association between major dietary patterns and risk for type 2 diabetes mellitus. Prospective cohort study. United States. 42 504 male health professionals, 40 to 75 years of age, without diagnosed diabetes, cardiovascular disease, or cancer at baseline. Using factor analysis based on data from food-frequency questionnaires, we identified and validated two major dietary patterns that we labeled "prudent" (characterized by higher consumption of vegetables, fruit, fish, poultry and whole grains) and "western" (characterized by higher consumption of red meat, processed meat, French fries, high-fat dairy products, refined grains, and sweets and desserts). Relative risks and 95% CIs were adjusted for potential confounders, including body mass index (BMI), physical activity, and cigarette smoking. During 12 years of follow-up (466 508 person-years), we documented 1321 cases of type 2 diabetes. The prudent dietary pattern score was associated with a modestly lower risk for type 2 diabetes (relative risk for extreme quintiles, 0.84 [CI, 0.70 to 1.00]). In contrast, the western dietary pattern score was associated with an increased risk for type 2 diabetes (relative risk, 1.59 [CI, 1.32 to 1.93]; P < 0.001 for trend). A high score for the western dietary pattern combined with low physical activity (relative risk comparing extreme quintiles of dietary pattern score and physical activity, 1.96 [CI, 1.35 to 2.84]) or obesity (relative risk for BMI > or = 30 kg/m2 vs. <25 kg/m2, 11.2 [CI, 8.07 to 15.6]) was associated with a particularly high risk for type 2 diabetes. Our findings suggest that a western dietary pattern is associated with a substantially increased risk for type 2 diabetes in men.
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 2007. [serial online Available online: URL: https://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/ nhanes_07_08/manual_an.pdf WHO. Waist circumference and waist-hip ratio report of a 2. who expert consultation
CDC. Athropometry Procedures Manual. National 1. Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 2007. [serial online] 2007 [cited Sep 2014]. Available online: URL: https://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/ nhanes_07_08/manual_an.pdf WHO. Waist circumference and waist-hip ratio report of a 2. who expert consultation. Geneva: WHO; 2008. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney 3. Disease. Insulin resistance and prediabetes. USA: National Institute of Health; 2008.