ArticlePDF Available

Application Of Rice Flour and Palm Sugar In Making Meat Paste

Authors:

Abstract

This present work aimed to study the proper concentration of rice flour and palm sugar to produced delighted meat paste based on from phisical, chemical and organoleptic properties. Factorial Randomized Block design was used in the experiment. Meat Broth was supplemented with 2% (A1), 4% (A2), and 6% (A3) of rice flour and supplemented with 10% (B1), 15% (B2), and 20% (B3) of palm sugar to produce meat paste. The meat paste was evaluated for starch content, protein content, viscosity and organoleptic properties. The best result from the experiment was analyzed for Amino Acid Profiles.The Result showed that the addition of rice flour and the palm sugar significantly influenced the quality of meat paste. The combination of these treatments gave a highly significant effect on the viscosity, flavour, colour and taste. The best quality meat paste was obtained from the meat broth supplemented with rice flour 2% (w/v) and 6% (w/v) of palm sugar. The best quality meat paste produced in this study has starch content of 43.03%; viscosity 127.33 centi poise; protein content 13.39%; flavour 6.03; colour 6.25 and taste 5.77.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
1
PENGGUNAAN TEPUNG BERAS DAN GULA MERAH PADA
PEMBUATAN PETIS DAGING
Application Of Rice Flour and Palm Sugar In Making Meat Paste
Fani Yunita Pratiwi1, Agus Susilo2 dan Masdiana Chendrakasih Padaga2
1)Mahasiswa Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2)Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Diterima 14 Agustus 2015; diterima pasca revisi 20 September 2015
Layak diterbitkan 1 Oktober 2015
ABSTRACT
This present work aimed to study the proper concentration of rice flour and palm
sugar to produced delighted meat paste based on from phisical, chemical and organoleptic
properties. Factorial Randomized Block design was used in the experiment. Meat Broth
was supplemented with 2% (A1), 4% (A2), and 6% (A3) of rice flour and supplemented
with 10% (B1), 15% (B2), and 20% (B3) of palm sugar to produce meat paste. The meat
paste was evaluated for starch content, protein content, viscosity and organoleptic
properties. The best result from the experiment was analyzed for Amino Acid Profiles.The
Result showed that the addition of rice flour and the palm sugar significantly influenced
the quality of meat paste. The combination of these treatments gave a highly significant
effect on the viscosity, flavour, colour and taste. The best quality meat paste was obtained
from the meat broth supplemented with rice flour 2% (w/v) and 6% (w/v) of palm sugar.
The best quality meat paste produced in this study has starch content of 43.03%; viscosity
127.33 centi poise; protein content 13.39%; flavour 6.03; colour 6.25 and taste 5.77.
Key words: petis daging, protein content, total amino acid content, color, flavor
PENDAHULUAN
Petis merupakan produk hasil
samping dari daging, ikan atau udang
yang berbentuk pasta, menyerupai bubur
kental, liat, elastis dan dikategorikan
sebagai makanan semi basah. Bahan baku
utama pembuatan petis adalah limbah.
Patis daging dibuat dari limbah cair yang
dihasilkan dari hasil perebusan daging
(kaldu). Rosyidah (2005) melaporkan
bahwa jumlah limbah cair daging (kaldu)
dari industri abon daging di Salatiga
mencapai 1000 liter tiap harinya. Limbah
daging tersebut dibuang begitu saja
sehingga dapat mencemari lingkungan,
padahal limbah daging tersebut
mengandung sejumlah zat gizi, seperti
protein, asam amino, vitamin dan
mineral. Hasil penelitian Kusumawati
(2005) menunjukkan bahwa kaldu daging
masil mengandung protein 2,479%,
nitrogen amino 1,196%, lemak 16,593%,
kadar gula 10,04% dan kadar air
94,4607%.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
2
Prinsip pengolahan petis daging
adalah proses pemanasan kaldu daging
dengan penambahan pati sebagai bahan
pengikat sehingga terjadi proses
gelatinisasi. Dalam proses tersebut terjadi
pembentukan matrik antara pati dan
protein. Interaksi anatara pati dan protein
memiliki peran yang sangat dignifikan
pada struktur dan palatabilitas petis
daging. Kandungan pati terbesar terdapat
pada tepung beras sebesar 85-90% dan
memiliki sifat bodying agent (bahan
pembentuk tekstur) yang lebih baik dari
pati lain (Anonymous, 2005a).
Tepung beras selain sebagai
bahan pengikat, juga berfungsi sebagai
pengental dan pembuat adonan menjadi
elastis karena dalam pati beras
mengandung 2 komponen yaitu amilosa
dan amilopektin (Singh, Kaur, Sodhi, and
Gill, 2003). Bahan tambahan lain yang
dibutuhkan dalam pembuatan petis
daging adalah gula merah. Penambahan
gula merah sangat berperan dalam
mempengaruhi flavour, penambahan rasa
manis, dan sebagai bahan pengawet
(Edwards, 2000). Penambahan gula
merah juga menyebabkan warna gelap
kecoklatan pada petis daging yang
disebabkan karena terjadinya reaksi
pencoklatan (Susanto dan
Widyaningtyas, 2004). Pada proses
gelatinisasi, gula merah akan mengalami
pelelehan dan membentuk kristal baru
dengan adanya komponen lain seperti pati
dan protein sehingga penambahan gula
merah akan berpengaruh terhadap
viskositas petis daging yang dihasilkan
(Fariadi, 1994). Hingga saat ini masih
terdapat banyak variasi perbandingan
bahan-bahan yang digunakan pada
pembuatan petis daging.
Perbandingan jumlah tepung
beras dan gula merah yang digunakan
sangat mempengaruhi kualitas petis
daging baik secara fisik, kimia maupun
organoleptik sehingga perlu dilakukan
penelitian tentang konsentrasi tepung
beras dan gula merah yang tepat pada
proses pembuatan petis daging. Masalah
yang perlu dikaji dalam penelitian ini
adalah berupa konsentrasi penambahan
tepung beras dan gula merah yang tepat
pada pembuatan petis daging sehingga
didapatkan produk yang berkualitas baik
secara fisik, kimia maupun organoleptik.
MATERI METODE
Materi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kaldu daging yang di
buat dari hasil perebusan daging sapi.
Tepung yang digunakan adalah tepung
beras merek Rose Brand dan bahan
tambahan lainnya adalah, gula merah,
garam, gula pasir dan bumbu-bumbu
(sereh, laos, jahe, daun salam, daun jeruk
purut, bawang merah, bawang putih dan
vetsin) yang dibeli di pasar Dinoyo
Malang. Bahan kimia yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah bahan-bahan
untuk analisa kadar protein meliputi
H2SO4 pekat, NaOH, asam borat, tablet
Kjedhal, HCI 0,1 N dan indikator pp, dan
analisa kadar pati meliputi HCI 25% dan
NaOH 45% serta analisa asam amino
yang meliputi NaOH dan HCI.
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian adalah peralatan untuk proses
pembuatan petis daging, sedangkan untuk
analisa protein menggunakan timbangan
analitik, lemari asam, labu destilasi, gelas
ukur 100 ml, pipet volume 25 ml,
mikroburet, erlenmayer, labu kjedhal, alat
destruksi dan alat destilasi, analisa
viskositas dengan Viscosimeter Vt 03/04
Rion, dan analisa kadar pati meliputi gelas
piala 250 ml, erlenmayer 250 ml, dan
penangas air serta analisa asam amino
dengan HPLC model 835 High Speed
Amino Acid Analyzer 1988.
Metode penelitian yang
digunakan adalah percobaan dengan
menggunakan rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 2 faktor yang
diulang 3 kali. Faktor 1 adalah tepung
beras yang terdiri atas 3 level, yaitu
konsentrasi tepung beras 2%, 4%, 6%
(A1, A2, A3) sedangkan faktor II adalah
gula merah yang terdiri atas 3 level, yaitu
konsentrasi gula merah 10%, 15%, 20%
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
3
(B1, B2, B3) drhingga diperoleh 9
perlakuan. Kombinasi perlakuan
konsentrasi tepung beras dan gula merah
terdapat pada Tabel 5.
Pada penelitian ini, pembuatan
petis daging dilakukan sesuai metode
Suprapti (2001) dengan modifikasi
penambahan konsentrasi tepung beras
2%, 4% dan 6% serta konsentrasi gula
merah 10%, 15% dan 20%.
Variabel Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap
produk petis daging dengan parameter
sebagai berikut :
a. Kadar Protein (AOAC, 1990),
Lampiran 1
b. Profil Asam Amino (Perlakuan
terbaik) (Anonymous, 2006),
Lampiran 2
c. Viskositas (Susanto dan
Yuwono, 2001), Lampiran 3
d. Kadar Pati (Sudarmadji, 1997),
Lampiran 4
e. Uji Organoleptik (Purwadi,
2004), Lampiran 5
Analisis Data
Data yang diperoleh akan
dianalisis dengan menggunakan analisis
ragam, apabila hasil analisis tersebut
menunjukkan perbedaan, maka analisis
data akan diteruskan dengan
menggunakan uji jarak berganda duncan
(Yitnosumatro, 1993). Data uji
organoleptik yang meliputi rasa, aroma
dan warna penilaiannya menggunakan
Hedonic Scale Scoring (Purwadi, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Sifat Fisik dan Kimia Petis
Daging.
Kadar Pati Petis Daging
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan
penggunaan tepung beras memberikan
perbedaan yang nyata (P<0,05),
sedangkan penggunaan gula merah
memberikan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01). Interaksi antar perlakuan tidak
memberikan pengaruh yang nyata
(P>0,05) terhadap rata-rata kadar pati
petis daging.
Rata-rata kadar pati petis daging
berdasarkan hasil penelitian adalah
40,67% sampai 43,99% (Tabel 1). Kadar
pati terendah diperoleh pada perlakuan
A1B1 (penggunaan tepung beras 2% dan
gula merah 10%) dan kadar pati tertinggi
diperoleh dari perlakuan A3B3
(penggunaan tepung beras 6% dan gula
merah 20%). Rata-rata kadar pati petis
daging dan hasil uji jarak berganda
duncan (UJBD) 1% dan 5% dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Kadar Pati Petis Daging dan Hasil UJBD 1% dan 5%
Keterangan : - Notasi x, y, z pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
- Notasi a, b pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,05
Tepung Beras
Gula Merah
Rata-rata
B1
B2
B3
A1
40,67±0,45
41,8±0,31
43,03±0,37
41,83a
A2
40,89±40,89
42,71±0,29
43,47±0,43
42,36ab
A3
41,16±0,44
42,63±1,06
43,99±0,38
42,59b
Rata-rata
40,91x
42,38y
43,50z
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
4
Penggunaan tepung beras 2%
(A1) menghasilkan petis daging dengan
rata-rata kadar peti terendah yaitu
41,83%. Semakin tinggi konsentrasi
tepung beras yang ditambahkan dapat
meningkatkan kadar pati petis daging.
Peningkatan kadar pati ini disebabkan
karena komponen utama tepung beras
adalah pati sehingga bila ditambahkan
dalam jumlah yang semakin meningkat
maka akan menyebabkan peningkatan
kadar pati petis daging. Berdasarkan
analisa bahan baku, tepung beras
memiliki kadar pati yang cukup besar
yaitu 76,195%. Menurut Sigh et al
(2003), kadar pati tepung beras sebesar
78,30%.
Perlakuan penggunaan gula
merah 2% (B1) menghasilkan petis
daging dengan rata-rata kadar pati
terendah yaitu 40,91%. Semakin tinggi
konsentrasi gula merah yang
ditambahkan dapat meningkatkan kadar
pati petis daging. Peningkatan kadar pati
ini disebabkan karena gula merah juga
mengandung pati yang cukup besar yaitu
8,588% sehingga bila ditambahkan dalam
adonan yang sama dalam jumlah yang
semakin meningkat maka akan
menyebabkan peningkatan kadar pati
petis daging. Adapun grafik hubungan
penggunaan tepung beras dan gula merah
dengan kadar pati petis daging dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara Penggunaan Tepung Beras dan Gula Merah dengan Kadar Pati
Petis Daging
Hubungan antara penggunaan
tepung beras dan gula merah tanpa kadar
pati petis daging menunjukkan korelasi
positif seperti terlihat pada Gambar 1.
Korelasi positif berarti semakin tinggi
tingkat penambahan tepung beras dan
gula merah menyebabkan nilai kadar pati
semakin meningkat. Untuk perlakuan A1
menunjukkan persamaan liniar Y= 1,18x
+ 39,777 dengan nilai determinasi 0,9994
dan perlakuan A2 menunjukkan
persamaan liniar Y= 1,29x + 39,777
dengan nilai determinasi 0,9467 dan A3
menunjukkan persamaan liniar Y=
1,145x + 39,763 dengan nilai determinasi
0,9995. Berarti ada hubungan yang erat
antara penggunaan tepung beras dan gula
merah dengan kadar pati petis daging.
Viskositas Petis Daging
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan
penggunaan tepung beras dan gula merah
memberikan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01). Perlakuan berbagai konsentrasi
tepung beras dan gula merah
menyebabkan interaksi antara kedua
perlakuan terhadap rata-rata viskositas
petis daging.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
5
Viskositas petis daging
berdasarkan hasil penelitian adalah
101,67 sampai 138 centi poise (Tabel 2).
Viskositas terendah diperoleh pada
perlakuan A1B1 (Konsentrasi tepung
beras 2% dan gula merah 10%) dan
viskositas tertinggi diperoleh dari
perlakuan A3B3 (Konsentrasi tepung
beras 6% dan gula merah 20%). Rata-rata
viskositas petis daging dan hasil uji jarak
berganda duncan (UJBD) 1% dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Viskositas Petis Daging dan Hasil UJBD 1%
Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)
Perlakuan penggunaan tepung
beras 2% (A1) menghasilkan petis daging
dengan rata-rata viskositas terendah yaitu
115,4 centi poise. Semakin tinggi
konsentrasi tepung beras yang
ditambahkan menyebabkan peningkatan
viskositas petis daging. Peningkatan
viskositas ini disebabkan karena
komponen utama tepung beras adalah
pati. Menurut Singh et al (2003), jika
suspensi pati dalam air menggelembung
sehingga terjadi gelatinisasi. Thomas and
Atwell (1997) menjelaskan bahwa selama
proses gelatinisasi berlangsung terjadi
peningkatan viskositas dari bahan yang
mengandung pati yang dipanaskan.
Adapun grafik hubungan antara kadar pati
dan viskositas dapat dilihat pada Gambar
2.
Gambar 2. Hubungan Kadar Pati dengan Viskositas Petis Daging
Tepung Beras
Gula Merah
Rata-rata
B1
B2
B3
A1
101,67±1,53k
117,33±3,06l
127,33±1,53l
115,44a
A2
119,33±1,53m
127,33±1,53m
132,67±1,15m
126,44b
A3
127,67±0.58n
134,67±0.58no
138±1,00o
133,47c
Rata-rata
116,22x
126,44y
132,67z
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
6
Hubungan kadar pati dan
viskositas petis daging menunjukkan
korelasi positif mengikuti persamaan y =
3,5227x + 107,5 dengan nilai determinasi
0,764. Dari nilai determinasi tersebut
dapat diketahui bahwa 76,40%
peningkatan viskositas dipengaruhi oleh
kadar pati dimana semakin tinggi kadar
pati yang ditambahkan maka viskositas
semakin meningkat.
Peningkatan viskositas diduga
juga disebabkan oleh kandungan protein
yang terdapat pada tepung beras. Menurut
Lestari (1999), adonan yang dipanaskan
selama pemasakan akan mengalami
denaturasi. Pemekaran atau
pengembangan molekul protein
terdenaturasi akan membuka gugus
reaktif (gugus Sulfhidril atau SH) yang
ada pada rantai polipeptida. Gugus reaktif
tersebut akan mengikat kembali gugus
reaktif yang sama atau berdekatan.
Bagian hidrofobik diluar dan hidrofobik
didalam menyebabkan air terikat didalam
dan tidak dapat keluar sehingga viskositas
meningkat.
Gambar 3. Hubungan antara Penggunaan Tepung Beras dan Gula Merah dengan
Viskositas Petis Daging
Perlakuan penggunaan gula
merah 10% (B1) menghasilkan petis
daging dengan rata-rata viskositas
terendah yaitu 116,22 centi poise.
Semakin tinggi konsentrasi gula merah
yang ditambahkan menyebabkan
peningkatan viskositas petis daging.
Peningkatan viskositas ini disebabkan
karena pada proses pemanasan, gula
merah akan mengalami pelelehan dan
membentuk gel dengan adanya
komponen lain seperti pati dan protein
(Fariadi, 1994). Bertambahnya
konsentrasi gula merah berakibat volume
molekul pada larutan juga bertambah dan
viskositas akan meningkat. Adapun grafik
hubungan penggunaan tepung beras dan
gula merah dengan viskositas petis daging
dapat dilihat pada Gambar 3.
4.2.2. Kadar Protein Petis daging
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan
penggunaan tepung beras dan gula merah
memberikan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01). Perlakuan berbagai konsentrasi
tepung beras dan gula merah tidak terjadi
interaksi antara kedua perlakuan terhadap
rata-rata kadar protein petis daging.
Kadar protein petis daging
berdasarkan hasil penelitian adalah
11,76% sampai 15,77% (Tabel 3). Kadar
protein terendah diperoleh pada
perlakuan A1B1 (Konsentrasi tepung
beras 2% dan gula merah 10%) dan kadar
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
7
protein tertinggi diperoleh dari perlakuan
A3B3 (Konsentrasi tepung beras 6% dan
gula merah 20%). Rata-rata kadar protein
petis daging dan hasil uji jarak berganda
duncan (UJBD) 1% dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Kadar Protein Petis Daging dan Hasil UJBD 1%
Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)
Perlakuan penggunaan tepung
beras 2% (A1) menghasilkan petis daging
dengan rata-rata kadar protein terendah
yaitu 11,76%. Semakin tinggi konsentrasi
tepung beras yang ditambahkan
menyebabkan peningkatan kadar protein
petis daging. Peningkatan kadar protein
ini disebabkan karena semakin
meningkatnya konsentrasi tepung beras
yang ditambahkan menyebabkan kadar
air petis daging semakin menurun
sehingga mengakibatkan kadar protein
petis daging meningkat secara persentase
(Winarno, 1997). Berdasarkan analisa
bahan baku, tepung beras memiliki kadar
protein sebesar 7,724%, sehingga bila
ditambahkan dalam adonan yang sama
dalam jumlah yang semakin meningkat
maka akan menyebabkan peningkatan
kadar protein petis daging.
Perlakuan penggunaan gula
merah 10% (B1) menghasilkan petis
daging dengan rata-rata kadar protein
terendah yaitu 13,04%. Semakin tinggi
konsentrasi gula merah yang
ditambahkan menyebabkab peningkatan
kadar protein petis daging. Peningkatan
kadar protein ini disebabkan karena pada
proses pemanasan terjadi denaturasi
protein yang menyebabkan pemecahan
protein gula merah menjadi unit yang
lebih kecil (Isnaini, 2003). Berdasarkan
analisa bahan baku, diketahui bahwa
kadar protein gula merah sebesar 2,593%,
sehingga menurut Issosetiyo dan Sudarto
(2001), kadar protein gula merah sebesar
3,00%. Adapun grafik hubungan
penggunaan tepung beras dan gula merah
dengan kadar peotein petis daging dapat
dilihat pada Gambar 4.
Tepung Beras
Gula Merah
Rata-rata
B1
B2
B3
A1
11,76±0,44
12,53±0,25
13,39±0,22
12,56a
A2
13,06±0,42
14,56±0,22
15,28±0,77
14,30b
A3
14,30±0,23
14,65±0,75
15,77±0,51
14,91c
Rata-rata
13,04x
13,91y
14,81z
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
8
Gambar 4. Hubungan antara penggunaan tepung beras dan
Gula merah dengan kadar protein petis daging
Hubungan antara penggunaan tepung
beras dan gula merah dengan kadar
protein petis daging menunjukkan
korelasi positif seperti terlihat pada
Gambar 6. Korelasi positif berarti
semakin tinggi tingkat penambahan
tepung beras dan gula merah
menyebabkan nilai kadar protein petis
daging semakin meningkat. Untuk
perlakuan A1 menunjukkan persamaan
liniar Y= 0,815x + 10,93 dengan nilai
determinasi 0,999 dan perlakuan A2
menunjukkan persamaan liniar Y= 1,11x
+ 12,08 dengan nilai determinasi 0,9605
dan A3 menunjukkan persamaan liniar
Y= 0,735x + 13,437 dengan nilai
deterinasi 0,9162. Berarti ada hubungan
yang erat antara penambahan tepung
beras dan gula merah dengan kadar
protein petis daging.
Parameter Sifat Organoleptik Petis
Daging Rasa Petis Daging
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan tingkat
penggunaan tepung beras dan gula merah
memberikan perbedaan pengaruh yang
sangat nyata (P<0,01) terhadap rasa petis
daging. Data dan analisis ragam nilai rasa
petis daging selengkapnya terdapat pada
Lampiran 12. Rata-rata uji kesukaan rasa
petis daging dan hasil uji jarak berganda
duncan 1% pada masing-masing
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Kesukaan Panelis Terhadap Rasa Petis Daging dan UJBD 1%
Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)
Tepung Beras
Rata-rata
B1
B2
B3
A1
5,85±0,04m
5,64±0,04m
5,77±0,06m
5,75a
A2
4,75±0,04l
4,72±0,02l
4,89±0,03l
4,79b
A3
4,84±0,06l
4,00±0,08k
4,19±0,09k
4,34c
Rata-rata
5,15z
4,78x
4,95xy
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
9
Tabel 4 menunjukkan bahwa
petis daging dengan perlakuan
penggunaan tepung beras 6% dan gula
merah 15% (A3B2) memiliki tingkat
kesukaan yang paling rendah yaitu 4,00
(agak tidak menyukai), sedangkan
penggunaan tepung beras 2% dan gula
merah 10% (A1B1) adalah yang paling
disukai panelis yaitu sebesar 5,85 (agak
menyukai). Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan tepung beras dan gula merah
dalam jumlah yang semakin meningkat
akan mengurangi intensitas rasa gurih
petis daging yang berasal dari kaldu
daging. Astawan (2004) menjelaskan
bahwa rasa gurih pada petis daging
berasal dari dua komponen utama, yaitu
peptida dan asam amino yang terdapat
pada kaldu daging.
Petis daging dengan
menggunakan tepung beras 2% dan gula
merah 10% mempunyai nilai tertinggi,
karena intensitas rasa gurih petis daging
lebih terasa dan panelis menyukainya,
sedangkan pada perlakuan penggunaan
tepung beras 6% dan gula merah 15%
menyebabkan rasa eneg pada petis
daging. Menurut Harjono dkk (2000),
rasa suatu bahan pangan terbentuk dari
komponen yang menyusun bahan
tersebut, namun apabila mendapat
perlakuan atau pengolahan maka rasa
juga dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan
yang ditambahkan selama proses
pengolahan.
Aroma Petis Daging
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan tingkat
penggunaa tepung beras dan gula merah
memberikan perbedaan pengaruh yang
sangat nyata (P<0,01) terhadap aroma
petis daging. Rata-rata uji kesukaan
aroma petis daging dan hasil uji jarak
berganda duncan 1% pada masing-
masing perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5.Rata-rata Kesukaan Panelis Terhadap Aroma Petis Daging dan UJBD1%
Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01).
Tabel 5 menunjukkan bahwa
petis daging dengan menggunakan tepung
beras 6% dan gula merah 20% (A3B3)
memiliki tingkat kesukaan panelis yang
paling rendah yaitu 4,419 (agak tidak
menyukai), sedangkan tingkat penggunan
tepung beras 2% dan gula merah 20%
(A1B3) adalah yang paling disukai
panelis yaitu 6,0286 (agak menyukai).
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
tepung beras dalam jumlah yang semakin
meningkat akan mengurangi aroma petis
daging yang beras dari kaldu daging dan
penggunaan gula merah.
Petis daging dengan
menggunakan tepung beras 2% dan gula
merah 20% (A1B3) mempunyai nilai
tertinggi karena intensitas aroma lezat
yang berasal dari gula merah lebih terasa.
Menurut Heddy dkk (1994), bahan
makanan yang memberikan aroma
umumnya bahan yang mudah menguap
(volatil) seperti alkohol, alhedid, keton
dan lakton ester. Issoesetiyo dan Sudarto
(2001) menjelaskan bahwa gula merah
Tepung Beras
Rata-rata
B1
B2
B3
A1
5,90±0,06op
5,75±0,04nop
6,03±0,16q
5,89a
A2
5,03±0,06lm
5,52±0,04no
5,39±0,07mn
5,31b
A3
4,86±0,06l
5,07±0,07lm
4,42±0,09k
4,78c
Rata-rata
5,26x
5,45y
5,28xy
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
10
mempunyai aroma yang khas karena
mengandung benzil alkohol yang
merupakan senyawa aromatik yang
mudah menguap. Pada perlakuan
penggunaan tepung beras 6% dan gula
merah 20% (A3B3) kurang disukai
panelis karena diduga penambahan
tepung beras dalam konsentrasi
meningkat akan menyebabkan aroma pati
yang merupanakan komponen utama
tepung beras akan semakin terasa.
Menurut Stephen (1995), pati diisolasi
dari tanaman sehingga bau yang
berhubungan dengan sumber tanaman
sering masih terbawa serta dalam pati.
Warna Petis Daging
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan tingkat
penggunaan tepung beras dan gula merah
memberikan perbedaan pengaruh yang
sangat nyata (P<0,01) terhadap warna
petis daging. Data dan analisis ragam nilai
warna petis daging selengkapnya terdapat
pada Lampiran 10. Rata-rata uji kesukaan
warna petis daging dan hasil uji jarak
berganda duncan 1% pada masing-
masing perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6.Rata-rata Kesukaan Panelis Terhadap Warna Petis Daging dan UJBD1%
Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai rata-rata terendah dari tingkat
kesukaan warna pada perlakuan
penggunaan tepung beras 6% dan 10%
(A3B1) sebesar 3,0148 (tidak menyukai)
dan tertinggi pada perlakuan penggunaan
tepung beras 2% dan gula merah 20%
(A1B3) sebesar 6,7238 (menyukai). Hal
ini menunjukkan bahwa penggunaan
tepung beras dalam jumlah yang semakin
meningkat akan mengurangi warna coklat
pada petis daging yang berasal dari kaldu
daging dan gula merah yang
ditambahkan. Warna petis daging yang
baik adalah berwarna coklat kehitaman
sehingga kelihatan menarik dan tidak
pucat (Astawan, 2004).
Petis daging dengan
menggunakan tepung beras 2% dan gula
merah 20% (A1B3) mempunyai nilai
tertinggi karena warna petis daging
menjadi coklat kehitaman sehingga tidak
pucat dan menarik. Susanto dan
Widyaningtyas (2004) menjelaskan
bahwa gula merah menyebabkan warna
gelap kecoklatan pada petis daging yang
disebabkan terjadinya reaksi pencoklatan.
Pada perlakuan penggunaan tepung beras
6% dan gula merah 10% (A3B1) kurang
disukai konsumen karena penggunaan
tepung beras dalam jumlah yang semakin
meningkat akan menyebabkan warna
petis daging menjadi lebih putih dan
menimbulkan kesan bahwa petis daging
tersebut pucat dan kurang menarik.
Menurut Belitz dan Grosch (1999), pati
yang merupakan komponen utama tepung
beras adalah berwarna putih sehingga bila
ditambahkan dalam suatu adonan akan
menyebabkan produk yang dihasilkan
menjadi berwarna lebih putih. Warna
yang baik pada produk pangan sangat
Tepung Beras
Rata-rata
B1
B2
B3
A1
6,25±0,14q
6,19±0,12no
6,72±0,12no
6,39a
A2
4,79±0,15m
5,87±0,12n
6,34±0,21op
5,67b
A3
3,10±0,10k
4,04±0,17l
4,09±0,16l
3,74c
Rata-rata
4,87x
5,37y
5,56z
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
11
penting karena suatu bahan pangan yang
memiliki nilai gizi tinggi, enak, terkstur
baik, tidak akan dimakan bila warnanya
tidak sedap dipandang atau memberi
kesan telah menyimpang dari warna yang
seharusnya (Winarno, 1992).
Perlakuan Terbaik
Berdasarkan hasil perhitungan
perlakuan terbaik dapat diketahui bahwa
penggunaan tepung beras 2% dan gula
merah 20% (A1B3) merupakan perlakuan
terbaik dengan nilai kadar protein
13,39%; viskositas 127,33 centi poise;
kadar pati 43,03%; rasa 5,77; aroma 6,03;
dan warna 6,25.
Petis daging merupakan produk
yang belum diperdagangkan secara luas
sehingga belum terdapat Standar
Nasional Indonesia, dan sebagai bahan
perbandingan digunakan standar mutu
petis udang hasil penelitian. Hasil
perbandingan kualitas petis daging hasil
penelitian dengan petis udang terdapat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan Petis Daging dengan Petis Udang
Parameter
Analisis
Literatur
Kadar Protein
13,39%
15-20%a
Kadar Pati
43,03%
48,76%b
Viskositas
127,33 centi poise
1880 centi poiseb
Sumber : a : Astawan (2004)
b : Khalida (2006)
Komposisi petis daging pada
perlakuan terbaik A1B3 sangat berbeda
dengan literatur. Perbedaan hasil yang
ada anatara literatur dengan hasil analisis
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
jenis bahan baku yang digunakan dan
pengaruh proses pengolahannya.
Astawan (2004) menjelaskan bahwa
penambahan gula dan tepung dalam
proses pembuatan petis menyebabkan
tingginya kadar protein petis yaitu 15-20
g/100g, karbohidrat 20-40 g per 100g, dan
kalsium, fosfor, zat besi, masing masing
sebanyak 37,36, dan 3 mg per 100g.
Profil Asam Amino
Profil asam amino pada petis
daging hasil pemilihan perilaku terbaik
dapat dilihat pada Tabel 14.
Kromatogram asam amino kaldu dan
petis daging disajikan pada Gambar 5
sampai 8.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
12
Tabel 8. Profil Asam Amino (%b/b)
No Asam Amino Kaldu Petis Daging
Jumlah 0,200 1,890
Tabel 8 menunjukkan bahwa
jumlah asam amino pada kaldu daging
sebesar 0,200% dan jumlah asam amino
pada produk petis daging sebesar 1,890%.
Peningkatan jumlah asam amino kaldu
daging menjadi produk petis daging
disebabkan adanya penambahan tepung
beras dan gula merah yang memiliki
kandungan protein yang tinggi, dan
selama hidrolisis akan mengalami
pembebasan asam amino dari ikatan
peptida yang saling menghubungkannya.
Sehingga dapat menambah jumlah asam
amino dalam produk petis daging
(Riyanto, 2001). Kandungan asam amino
pada kaldu daging dan petis daging antara
lain asam aspartat, threonin, serin,
glutamat, glisin, alanin, sistein, valin,
methionin, isoleusin, leusin, tirosin,
fenilalanin, lisin, histidin, argimin, prolin
(Anonymous, 2006b). Asam amino
glutamat merupakan asam amino pada
petis daging dengan jumlah terbesar yaitu
0,625% dan terendah pada sistein
0,031%. Menurut Riyanto (2001), asam
amino sistein mengalami kerusakan
selama proses hidrolisis, sedangkan
sampel protein harus dihidrolisis dulu
untuk membebaskan asam amino dari
ikatan peptida.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Aspartat
Threonin
Serin
Glutamat
Glisin
Alanin
Sistein
Valin
Metionin
Isoleusin
Leusin
Tirosin
Fenilalanin
Lisin
Histidin
Arginin
Prolin
0,009
0,003
0,005
0,019
0,014
0,011
0,008
0,006
0,006
0,007
0,009
0,005
0,025
0,015
0,022
0,007
0,010
0,137
0,035
0,059
0,625
0,088
0,070
0,031
0,064
0,035
0,053
0,079
0,105
0,121
0,078
0,094
0,112
0,047
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
13
Waktu Retensi (menit)
Gambar 5. Kromatogram asam amino aspartat sampai arginin pada kaldu daging.
ASP : Aspartat ILE : Isoleusin
SER : Serin LEU : Leusin
GLU : Glutamat TYR : Tirosin
GLY : Glisin PHE : Fenilalanin
ALA : Alanin LYS : Lisin
CYS : Sistein HIS : Histidin
MET : Metionin ARG : Arginin
Waktu Retensi (menit)
Gambar 6. Kromatogram asam amino prolin pada kaldu daging.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
14
Waktu Retensi (Menit)
Gambar 7. Kromatogram asam amino aspartat sampai arginin pada petis daging.
ASP : Aspartat ILE : Isoleusin
SER : Serin LEU : Leusin
GLU : Glutamat TYR : Tirosin
GLY : Glisin PHE : Fenilalanin
ALA : Alanin LYS : Lisin
CYS : Sistein HIS : Histidin
MET : Metionin ARG : Arginin
Waktu Retensi (menit)
Gambar 8. Kromatogram asam amino prolin pada petis daging.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan :
1. Penggunaan tepung beras dan
gula merah memberikan pengaruh
terhadap kadar protein, viskositas,
dan kadar pati petis daging.
Interaksi penggunaan tepung
beras dan gula merah memberikan
pengaruh terhadap viskositas petis
daging.
2. Perlakuan terbaik pada perlakuan
dengan penggunaan tepung beras
2% dan gula merah 20% dengan
nilai kadar protein petis daging
sebesar 13,39%; viskositas 127,33
centi poise; kadar pati 43,03%;
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
15
rasa 5,77; aroma 6,03; dan warna
6,25, sedangkan total asam amino
mengalami peningkatan dari
kaldu daging sebesar 0,200%
menjadi petis daging sebesar
1,890%.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous., 2003. Kaldu Daging dan
Konsome. Infostandar BSN. 1 : 4
__________, 2005a. Beras.
http://www.id.wikipedia.org/wiki
.beras. Tanggal 16 November
2005.
__________, 2005b. Pohon Kelapa Serba
Guna.
http://www.kompas.com/kompas
_cetak/030422/jatim/268200.htm.
Tanggal 16 November 2005.
__________, 2005c. Tanaman Obat
Indonesia.
http://www.iptek.net.id/ind/obat.
phd?id=300. Tanggal 15
November 2005.
__________, 2005d. Daun Salam Untuk
Darah Tinggi.
http://www.suaramerdeka.com/cy
bernews/sehat/obatalami. Tanggal
15 November 2005
__________, 2006a. Rice Flour.
http://www.ingredients101.com/r
iceflour.htm. Tanggal 20 Agustus
2006
__________, 2006b. Hasil Analisis Asam
Amino dalam %b/b. Laboratorium
Dasar Bersama Universitas
Airlangga. Surabaya.
Amertaningtyas, D., Purnomo, H., dan
Siswanto., 2001. Kualitas
Nuggets Daging Ayam Petelur
Afkir dengan Menggunakan
Tapioka dan Tapioka Modifikasi
serta Lama Pengukusan yang
Berbeda. Bosain. 1 : 97-107
AOAC., 1990. Official Methods of
Analysis of The Analytical
Chemist. Edition Association of
Official Analytical Chemist.
Washington DC.
Astawan, M., 2004. Petis, Si Hitam Lezat
Bergizi.
http://www.republika.co.id/cetak
_detail.asp?mid=i&id. Tanggal 21
Agustus 2005.
Belitz, H.D. and Grosch, W., 1999. Food
Chemistry. Springer-Verlag
Berlin. German.
Chen, J.C.P. and Chow., 1993. Sugar
Cane Hand Book. John Wiley &
Sons Inc. New York.
Cheow, C.S., and Yu, S.Y., 1997. Effect
of Fish Protein, Salt, Sugar and
Monosodium Glutamate on The
Gelatinization Based Water,
Sugar and Salt Content. J. Food
Science. 55 : 543-546.
Chuzaemi, S., 2004. Analisi Asam Amino
dengan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (HPLC). Hand Out
Mata Kuliah Teknik
Laboratorium. Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak Universitas
Brawijaya. Malang.
Dalimartha., 2005. Jeruk Purut Pengobat
Penyakit Bersisik.
http://www.republika.co.id/suple
men/cetak.detail.asp?mid.
Tanggal 14 November 2005.
De Man, J.M., 1997. Kimia Makanan.
Diterjemahkan Oleh
Padmawinata. ITB. Bandung.
Edwards, M., 2000. The Science of Sugar
Confectionery. Cambridge CB4
UWF.UK
Endang, S., 2000. Membuat Jamu Beras
Kencur. Kanisius. Yogyakarta.
Fariadi, H.I., 1994. The Science of Cookie
and Cracker Production.
Chapman and Hall. New York.
Fennema, O.R., 1996. Principles of Food
Science : Food Chemistry. Marcel
Dekker Inc. New York.
Harjono, Zubaidah, E. dan Aryani, F.N.,
2000. Pengaruh Proporsi Tepung
Beras Ketan dengan Tepung
Tapioka dan Penambahan Telur
Terhadap Sifat Fisik dan
Organoleptik Kue Semprong.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
16
Jurnal Makanan Tradisional
Indonesia. 2 : 39-45.
Haryanti, S., 2005. Petis Keong Alternatif
Petis Udang.
http://www.dnet.id/kesehatan/kiat
alami/detail_php?id=1445.
Tanggal 21 Agustus 2005.
Hui, Y.H. 1992. Encyclopedia of Food
Science and Technology. John
Willey and Sons Inc. Canada.
Irmansyah., 2002. Cegah Penyakit
dengan Bawang Merah.
http://www.lablink.or.id/agro/ba
wangmerah/bawang_biologi.htm.
Tanggal 16 November 2005.
Kisman, S., Anjasari, B. dan Sumiarsih,
S., 2000. Pengaruh Jenis Pengisi
dan Kadar Sukrosa terhadap
Mutu Dodol Susu Jerami Nangka.
Pusat Kajian Makanan
Tradisional. Universitas
Brawijaya. Malang.
Kantaka, O.S. and R. Acquistucci., 1997.
The Role of Common Salt in
Maintaining Hot Paste Viscosity
of Cassava Starch.
http://www.ciat.cgiar.org/agroem
presas/pdf/cassavaflavoursession
%203.pdf. Diakses 1 Maret 2006.
Khalida, R.N., 2006. Pengaruh Jenis dan
Konsentrasi Bahan Pengisi
Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan
Organoleptik Petis Pasta. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Kitts, D.D., 1998. The Functional Role of
Sugar In Food.
http://www.sugar.ca/carbo4.htm.
Tanggal 1 Maret 2006.
Kusumawati, T.A., 2005. Optimalisasi
Pembuatan Kecap Instan dari
Kaldu Daging dan Analisis
Kelayakan. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang.
Lestari, Y.E., 1999. Studi Tentang
Penggunaan Jenis Pati pada
Konsentrasi dan Suhu Pemanasan
Berbeda Terhadap Sifat Fisik dan
Kimia Bakso Ikan Tengiri
(Scomberomus sp). Tesis.
Program Studi Teknologi Pasca
Panen Program Pasca Sarjana
Universitas Brawijaya. Malang.
Man, D. and Jones., 2000. Shelf- Life
Evaluation of Foods. Aspen
Publisher Inc. Maryland.
Michaud, J., 2002. Starch-Based Material
For Direct Compression.
http://www.cerestral.com/starch.b
asedmaterial.fordirect.compressio
n.htm. Tanggal 10 November
2005.
Ningrum, E.M., 2002. Proses Pembuatan
Petis Udang (Penaeus Monodom)
Didesa Kebonagung Kecamatan
Porong Kabupaten Sidoarjo.
Laporan PKL Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya. Malang.
Purnomo, H., 1996. Teknologi dan
Dasar-Dasar Pengolahan
Daging. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Purwadi., 1993. Dasar-Dasar Metode
Sensori Untuk Evaluasi Pangan.
Program Studi THT. Universitas
Brawijaya. Malang.
Riana, A., 2000. Nutrisi.
http://www.kompas.com/kesehat
an/news/0503/03/103/549.htm.
Tanggal 16 November 2005.
Rosyidah, R. 2005. Pembuatan Kecap
Manis dari Limbah Cair Industri
Abon Daging Sapi. Skripsi.
Fakultas Tekonologi Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Singh, J., Kaur, L., Sodhi, N.S., and Gill,
B.S., 2003. Morphological,
Thermal and Rheological of
Starches From Different
Botanical Sources. J. Food
Chemistry, 81:219-231.
Stephen, A.M., 1995. Food
Polysaccharides and Their
Applications. Marcel Dekker,
Inc. New York
Sudarmadji, S.B., Haryono. Dan
Suhardi., 1997. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian.
Liberty. Yogyakarta.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Oktober 2015, Hal 1-17 Vol. 10, No. 2
ISSN : 1978 - 0303
17
Sudjaja, B. dan Tomosoa W.J.J., 1991.
Teknik Mengolah dan
Menyajikan Hidangan.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
Suprapti, L.M., 2001. Membuat Petis.
Kanisius. Yogyakarta.
Susanto, H. dan Widyaningtyas, D., 2004.
Dasar-dasar Ilmu Pangan dan
Gizi. Akademika. Yogyakarta.
Susanto, T. dan Yuwono., 2001.
Pengujian Fisik Pangan. Unesa
University Press. Surabaya.
Van Boekel, M.A.J.S., 1998. Effect of
Heating on Maillard Reaction in
Milk. J. Food Chemistry. 62:403-
414. Tanggal 23 November
2005.
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan
Gizi. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
__________., 1997. Kimia Pangan dan
Gizi. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Wijayakusuma, M., 1997. Kecap dan
tauco Kedelai. Kanisius,
Yogyakarta.
Whitt, S.R., Larissa, Wilson, M., Maud,
I., Tenalton, Gaut, B.S., and
Buckler, E.S., 2002. Genetic
Diversity and Selection in The
Maize Starch Pathway. PNAS.
Australian Journal of
Agriculture Research, 20 :
12959-12962.
Whistler, R.L., and Miller, J.N., 1999.
Carbohydrate Chemistry For
Good Scientist. Eagan Press.
USA.
Yitnosumarto, S., 1991. Percobaan :
Perancangan, Analisa dan
Interpretasinya. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Zakaria, F., 2005. Jahe Berpotensi
Mencegah Infeksi Jamur.
www.kompas.com/kesehatan/ne
ws/0510/17/102312.htm.30k.
Tanggal 15 November 2005.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Book
Since the first edition of The Science of Sugar Confectionery (2000), the confectionery industry has responded to ever-changing consumer habits. This new edition has been thoroughly revised to reflect industry’s response to market driven nutrition and dietary concerns, as well as changes in legislation, labelling, and technology. Building on the strengths of the first edition, the author’s personal knowledge and experience of the sugar confectionery industry is used to provide a thorough and accessible account of the field. Written so the reader needs no more than a rudimentary level of chemistry, this book covers the basic definitions, commonly used and new ingredients in the industry. It then discusses the various types of sugar confectionery including "sugar glasses" (boiled sweets), "grained sugar products" (fondants), toffees and fudges, "hydrocolloids" (gums, pastilles and jellies) and concludes with a new chapter on future outlooks. Featuring expanded coverage of special dietary needs, covering topics such as vegetarianism and veganism, religious requirements and supplemented products, this new edition reflects current and evolving needs in the sugar confectionery field.
Book
The subject of shelf life of foods is not a new one. Increasing consumer interest in food safety, quality and date marking, competitjve pressures from retailers and extensive legislative changes, however, have combined to give the subject a new significance. The proper and correct determina­ tion of shelf life is of course fundamental to Good Manufacturing Practice (GMP) for the food and drink industry. Manufacturers who aim to produce safe, wholesome and attractive food products 'right the first time' and 'right every time' will already know the importance of proper shelf life evaluation. Incorrect shelf lives can potentially bring about dire legal, safety or financial consequences. This is not to belittle the difficulty of failing to meet consumer expectations consistently as a result of shelf lives that have been arrived at unreliably. A proper evaluation of shelf life must be grounded on sound scientific principles, supported by up-to-date techniques in food science and tech­ nology. This book, therefore, begins with five chapters reviewing the prin­ ciples of shelf life evaluation. These are followed by ten chapters on a number of selected food products. All the authors either have first hand experience on the practice of shelf life evaluation or are involved in research of the subject. Because of the diversity and complexity of food products now available, no attempt has been made to cover every product group, let alone every product conceivable.
Book
For more than two decades, this work has remained the leading advanced textbook and easy-to-use reference on food chemistry and technology. Its fourth edition has been extensively re-written and enlarged, now also covering topics such as BSE detection or acrylamide. Food allergies, alcoholic drinks, or phystosterols are now treated more extensively. Proven features of the prior editions are maintained: Contains more than 600 tables, almost 500 figures, and about 1100 structural formulae of food components - Logically organized according to food constituents and commodities - Comprehensive subject index. These features provide students and researchers in food science, food technology, agricultural chemistry and nutrition with in-depth insight into food chemistry and technology. They also make the book a valuable on-the-job reference for chemists, food chemists, food technologists, engineers, biochemists, nutritionists, and analytical chemists in food and agricultural research, food industry, nutrition, food control, and service laboratories. From reviews of the first edition "Few books on food chemistry treat the subject as exhaustively-researchers will find it to be a useful source of information. It is easy to read and the material is systematically presented." JACS.
Article
Heated milk is subject to the Maillard reaction; lactose and lysine residues in milk proteins (mainly casein) are the reactants. An overview is given of the early, advanced and final stages of the Maillard reaction as it occurs in milk. The early Maillard reaction is confined to the formation of the protein-bound Amadori product lactulosyllysine. Breakdown of the Amadori product leads to formation of all kinds of advanced Maillard reaction products such as lysylpyrraline, pentosidine, hydroxymethylfurfural, (iso)maltol, furfurals and formic acid. The content of these compounds in heated milk is, however, very low (with the exception of formic acid), and does not correspond to the breakdown of Amadori product in quantitative terms. The final stage, in which melanoidins (brown pigments) are formed and protein polymerization occurs, is largely unknown from a chemical point of view, let alone quantitatively. The conclusion can only be that not all important compounds are yet identified. Some experimental data for heated milk are given to illustrate the various stages of the Maillard reaction in heated milk. A kinetic analysis of the Maillard reaction is difficult because it is such a complicated reaction with many parallel and consecutive steps; in addition, one of the reactants, lactose, is also subject to another reaction, namely isomerization followed by degradation. The kinetics can be tackled by kinetic, multiresponse modelling, and this approach is illustrated. It appears that the temperature dependence of the (early) Maillard reaction is lower than for the simultaneously occurring isomerization reactions of lactose. The use of several components formed in the Maillard reaction to evaluate the heat intensity given to milk is discussed.
Article
Differential Scanning calorimetry (DSC) was used to study the effect of fish protein, salt, sugar, and monosodium glutamate (MSG) on gelatinization of tapioca and sago starches in fish cracker mixtures. One endothermic transition was observed for fish-starch mixtures (10–90% wet fish) if the moisture content was more than 61%. The effect of the salt on the starch gelatinization is greater than sugar and MSG. Sugar and MSG addition to the mixture had little effect on gelatinization of starch in the system. Two percent salt increased the gelatinization temperature by 4–5 C. The onset (T0) and peak (Tp) temperatures increased with increases in fish content in fish-starch mixtures but the conclusion temperatures (Tc) remained relatively constant. Increases in fish content also narrowed the gelatinization temperature ranges.