Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Radikalisme Islam dan Pergerakannya
di Media Sosial
NAFI’ MUTHOHIRIN
UIN Syarif Hiddayatullah Jakarta
nafi_m@yahoo.co.id
ABSTRACT
This article examines the rise of Islamic radicalism expressed through the virtual
network (social media. Facebook, YouTube, Twitter, Tumbler, and other free ap-
plication providers such as WhatsApp have become a spot for propaganda, recruit-
ment, training, preparing, and calling for the establishment of Islamic Khilafa. Con-
temporary strategy has been used by the “defenders of Islam” to influence Muslim
society. In particular, the radical groups have actively used social media to target
youth as the main users of social media. (netizen). This research focuses on Islamic
fundamentalism, represented by radical groups such as Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), Harakah Tarbiyah dan Jamaah Salafi.
Keywords: radicalism; Islam; social media; youth
ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang keriuhan gerakan radikalisme Islam yang menyeruak
di jejaring virtual. Facebook, YouTube, Twitter, Tumbler, dan layanan aplikasi
gratis seperti WhatsApp telah menjadi ruang bagi cara baru untuk melakukan
propaganda, perekrutan, pelatihan, perencanaan, ajakan pendirian Khilafah Is-
lam. Strategi kekinian yang terus dipraktikkan “para pembela Islam” tersebut
mempengruhi cara berfikir masyarakat Muslim. Mereka secara aktif menggunakan
media sosial dengan menarget anak-anak muda sebagai mayoritas warga di jejaring
sosial (netizen). Penelitian ini fokus pada kelompok radikalisme Islam, termasuk
beberapa organisasi fundamentalisme Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Harakah Tarbiyah dan Jamaah Salafi.
Kata Kunci: Radikalisme, Islam, Media Sosial, dan Anak Muda
Radikalisme Islam di Indonesia
Lebih dari dua dekade terakhir, khususnya di Indonesia, gerakan radikalisme
Islam semakin menyeruak di ruang publik. Beberapa fenomena yang bisa
dengan mudah menjadi tanda bagi kemunculannya, ialah; Pertama, aksi-aksi
terorisme, baik yang berskala kecil maupun besar, terjadi secara berulang-
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
DOI 10.18196/AIIJIS.2015. 0050. 240-259
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
241241
241241
241
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
ulang. Kelompok teroris bermunculan, meski berbagai langkah pencegahan
dan pemberantasan telah dilakukan pemerintah. Ibarat sebuah pepatah “mati
satu tumbuh seribu”, kematian ideolog teroris seperti Azahari bin Husin,
Amrozi, dan Imam Samudra tidak membuat pergerakan “para pejuang di
jalan Allah” ini berhenti, tetapi justru bertransformasi menjadi kelompok-
kelompok kecil yang baru, militan, aktif, dan berbahaya.
Kedua, munculnya kelompok yang menyuarakan dikembalikannya Piagam
Jakarta sebagai dasar negara. Fenomena ini menguat dan ditandai dengan
dipraktikkannya bentuk pemerintahan daerah (Perda) berbasiskan Syari’ah
sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam,
Jawa Barat, Banten, Indramayu, Riau, Sumatera Barat, Yogyakarta, Pamekasan,
dan sejumlah kota dan daerah lainnya.1
Ketiga, dijadikannya masjid, mushallah, kampus, dan kos-kos mahasiswa
sebagai basis pergerakan sejumlah organisasi fundamentalisme Islam. Tempat-
tampat ini menjadi pusat kajian, indoktrinasi, perekrutan dan mobilisasi benih-
benih Islam radikal melalui program halaqah, usrah, atau daurah.2 Keempat,
hadirnya beberapa organisasi lokal (tidak ada kaitannya dengan gerakan Islam
transnasional) yang mengatasnamakan Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI),
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Forum Umat Islam (FUI) yang mengi-
nginkan diberlakukannya islamisasi ruang publik, serta menjadi “aparat keama-
nan” bagi masyarakat yang melanggar “norma-norma agama” dalam perspektif
mereka.
Kelima, menguatnya gerakan radikalisme Islam juga ditengarai oleh
keberadaan laman, akun di media sosial, portal online, serta penerbitan-pener-
bitan berbasis Islam yang sengaja dibuat untuk memprogandakan ideologi-
ideologi kekerasan, ujaran kebencian, pendirian negara Islam, dan hujatan
terhadap produk-produk yang berasal dari Barat.
Di era kekinian seperti sekarang ini, tidak dapat dipungkiri bahwa
mengemukanya gerakan radikalisme dan terorisme, lebih didominasi oleh
gejala fenomena yang paling akhir. Khamami Zada menjelaskan, bahwa seba-
gian buku, majalah dan portal online Islam berasimilasi dengan organisasi
keagamaan atau individu dengan faham keislaman yang berorientasi radikal.3
Kemunculan portal-portal online dan penerbitan-penerbitan berbau radikal
menjadi tren baru bagi gejolak pemahaman keagamaan radikal di Indonesia.
Sebut saja misalnya, Al-Wa’i (tabloid yang dimiliki dan dikelola Hizbut Tahrir
Indonesia), Pustaka At-Taqwa (dimiliki oleh Abu Salam, seorang Salafi), dan
Jazeerah Solo (penerbit yang menerbitkan buku Imam Samudra ‘Aku Melawan
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
242242
242242
242 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
Teroris’). Majalah, buku, dan portal online Islam ini tidak semata memiliki
motivasi untuk kepentingan bisnis, tetapi bertujuan mendesiminasikan faham-
faham keagamaan tertentu. Bahkan, untuk penerbit-penerbit buku Islam
menyelenggarakan Islamic Book Fair dalam beberapa tahun ini. Agenda ini
memiliki maksud dan tujuan yang jelas untuk memasarkan buku-buku Islam
radikal.
Fakta-fakta tersebut memperjelas kondisi keberagamaan umat Islam di
Indonesia yang semakin kritis. Selain hampir setiap hari, publik dipertontonkan
dengan aksi-aksi pemberantasan teroris oleh Densus 88, masyarakat juga terus
diserang kekhawatiran terhadap masa depan generasi muda yang sangat
mungkin akan terinfiltrasi pemikiran-pemikiran keagamaan yang keras,
konservatif, kaku, dan menakutkan. Terlebih, seperti disebutkan sebelumnya,
bahwa pola, strategi, dan pergerakan berbagai kelompok radikal Islam dalam
rangka menyebarluaskan pemahaman keagamaannya itu telah menyergap ke
setiap penjuru. Bahkan, tempat ibadah seperti masjid dan mushallah,
terkooptasi dengan ajaran-ajaran yang keluar dari doktrin Islam.
Jika dirunut ke belakang, sesungguhnya meningkatnya aktivitas keagamaan
yang ditengarai berbau radikal Islam seperti ini, mulai marak sejak tumbangnya
Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya rezim otoritarian Soeharto (1998).
Orde Baru jatuh, lalu diganti dengan era reformasi sebagaimana yang dicita-
citakan semua elemen bangsa. Babak baru ini ditandai dengan dibukanya
kran demokrasi yang selebar-lebarnya. Dengan harapan yang sangat kuat,
Indonesia akan menjadi negara yang maju, masyarakatnya hidup sejahtera,
berkecukupan secara ekonomi, dan hak-hak warga dapat terpenuhi.
Namun, siapa yang menyangka bila babak baru itu tidak mampu dikelola
secara baik dan bersih, sehingga reformasi yang semula mencita-citakan
keadilan, malah memunculkan ketimpangan. Di pihak lain, tidak kokohnya
pedoman demokrasi yang dianut membuat negeri ini kecolongan dengan
masuknya berbagai ideologi yang bersumber dari bangsa lain. Ironisnya,
ideologi transnasional tersebut membuat anak bangsa tercerabut dari rasa
memiliki bangsa ini.
Reformasi menjadi babak baru bagi kemunculan gelombang radikalisme
Islam dan terorisme yang lebih besar. Tidak kokohnya demokrasi membuat
berbagai ideologi dari luar berinfiltrasi secara sistematis di Indonesia. Di lain
pihak, berbagai kelompok radikal yang mulanya bergerak secara sembunyi-
sembunyi, seperti HTI dan Harakah Tarbiyah, melihat kesempatan ini lalu
bergerak secara multisel dan menguatkan keberadaannya di berbagai tempat
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
243243
243243
243
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
dan situasi, tak terkecuali di sektor politik praktis.
Berbagai ideologi dan gerakan Islam radikal berebut pengaruh dengan
melakukan indoktrinasi dan menjaring keanggotaan dalam jumlah besar. Dalam
hal ini, HTI dan Tarbiyah adalah dua organisasi Islam transnasional yang pal-
ing mendapat keuntungan dari jatuhnya Soeharto.4 Sementara pertumbuhan
Jamaah Salafi berjalan konstan karena pergerakannya tidak mengambil jalan
politik praktis.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada diskursus keagamaan yang patut menjadi
perbincangan menarik pasca tumbangnya Orde Baru kecuali maraknya
kemunculan gerakan radikalisme dan terosisme. Hal ini terutama karena
beberapa gerakan Islam yang datang belakangan ini menunjukkan pola
keberagamaan yang berbeda sebagaimana yang dipraktikkan Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama. Kelompok radikal Islam bersimpul pada perjuangan
politik Islam, mendirikan Khilafah Islam, serta menolak demokrasi dan Pancasila
sebagai sistem pemerintahan nasional, sementara Muhammadiyah dan NU
mempopulerkan Islam toleran dan terbuka terhadap pokok-pokok pikirian
modern.
Padahal, ketika rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), kata “radikalisme”
dan “terorisme” yang ditujukan kepada kelompok tertentu, hampir tidak pernah
keluar ke permukaan, apalagi menjadi pembicaraan dalam waktu yang lama
di media massa.5 Penyebutan atas kasus kekerasan yang dimotori oleh
kelompok yang berbasiskan keagamaan saat itu, lebih dikatakan sebagai gerakan
pemberontakan. Hal tersebut tercermin, misalnya yang terjadi pada
pemberontakan di Aceh dan Papua. Akan tetapi, ditandai dengan bangkitnya
Reformasi, tepatnya pasca meledaknya serangkaian aksi pengeboman oleh
kelompok teroris pada tahun 2000, seperti Bom Kedubes Filipina (1/8),6 Bom
Kedubes Malaysia (27/8),7 Bom Bursa Efek Jakarta (13/9),8 dan Bom Malam
Natal (24/12),9 kata “radikalisme” mulai banyak diperbincangkan. Kemudian,
dua tahun berikutnya, ledakan bom yang terjadi di Kute, Bali (2002) menandai
abad baru “terorisme” dan “radikalisme” di Indonesia. Sejak saat itu, dua kata
tersebut menjadi sangat populer di negeri ini. Apalagi, setelah kasus Bom
Bali, ledakan bertubi-tubi kembali terjadi, seperti Bom Mega Kuningan (2009),
Bom Solo (2011), Teror Bom Buku, serta Bom Thamrin (2016).
Greag Fealy menjelaskan, penggunaan istilah radikalisme Islam tampaknya
merupakan kekhasan untuk menyebut fenomena “kebangkitan Islam” di In-
donesia. “Ia merupakan genuine phenomena dari dalam masyarakat Islam di
Indonesia”.10 Sementara Tarmizi Taher mengemukakan bahwa radikalisme
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
244244
244244
244 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
agama adalah “gerakan dari kelompok Muslimin tertentu yang menolak tatanan
yang sudah ada, terutama yang dinilai berasal dari Barat, dan berusaha
menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai ajaran
Islam fundamental, yaitu al-Qur’an, al-Hadist, dan praktik kehidupan sahabat
Nabi generasi pertama.”11
Namun pada dasarnya, radikalisme Islam yang berkembang di Indonesia
memiliki banyak “wajah” dan cara. Maksudnya adalah terdapat sebagian
kelompok Muslim yang tergabung dalam satu organisasi keagamaan tertentu,
yang bercita-cita melakukan repolitisasi politik Islam.12 Gelombang politik Is-
lam ini sebagai satu dari sekian wajah radikal Islam yang juga berkembang di
dalam negeri. Kelompok ini, sebagaimana acap diketahui, bersuara dengan
lantang menginginkan berdirinya Khilafah Islam, dengan menghardik sistem
pemerintahan demokrasi yang sudah ada. Sementara kelompok yang berbeda,
tetapi mencita-citakan harapan yang sama, ekspresi-ekspresi politiknya ingin
menjadikan Islam sebagai dasar negara, namun moral para elitnya tergerus
kepentingan politik pragmatis.
Kemunculan berbagai bentuk radikalisme tersebut seiring dengan
perkembangan konfigurasi geopolitik dan ekonomi global. Kelompok-
kelompok radikalis tersebut tumbuh bak jamur di musim hujan dengan
memperlihatkan identitasnya sebagai gerakan transnasional yang solid dan
sistematis. Keberadaan mereka mewujud dalam bentuk halaqah, usrah, atau
daurah di masjid-masjid dan kampus-kampus, serta di kos-kos mahasiswa.
Sebagaimana yang dikemukakan di berbagai media massa, pemerintah
Amerika Serikat (AS) mengidentifikasi beberapa organisasi Islam radikalis yang
berkembang di Indonesia memiliki keterkaitan dengan ideologi dan jaringan
terorisme global (ISIS atau Al-Qaedah), di antaranya adalah: Pertama, Jemaah
Islamiyah (JI), yang memiliki arti “kelompok Islam” atau “masyarakat Islam”.
Dalam perspektif intelijen, JI adalah sebuah organisasi keagamaan yang
mencita-citakan Darul Islam di kawasan Asia Tenggara. Kelompok ini didirikan
oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ketika dalam pelarian di Ma-
laysia. Sejak 2008, pengadilan negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa JI
sebagai “korporasi terlarang”13 karena dua tokohnya (Abu Dujana dan Zarkasih)
terlibat dalam peristiwa peledakan Bom Bali (2002) yang menewaskan sebanyak
202 orang. Organisasi ini juga dianggap bertanggungjawab pada aksi teror
Bom Bali II (2005), Bom Hotel JW Marriot (2003), dan peledakan di depan
Kedubes Australia (2004). Sementara itu, pada waktu sebelumnya, pemerintah
AS sudah menyebut bahwa JI adalah organisasi teroris.
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
245245
245245
245
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
Kedua, Jamaah Ansharot Tauhid (JAT). Organisasi yang berbasiskan
keagamaan ini merupakan pecahan dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
yang didirikan juga oleh Abu Bakar Baasyir di Solo pada 27 Juli 2008.
Sebagaimana JI, JAT juga dicap teroris oleh AS dan pemerintahan RI. Sejak
awal berdiri, kelompok ini merangkul para anggota teroris yang menjadi
buronan dan eks anggota JI. Melalui JAT, Abu Bakar Baasyir mendaklarasikan
dukungannya terhadap ISIS yang berada di bawah amir khilafah Abu Bakar
Al-Baghdadi. Akan tetapi, langkah Baasyir ini tidak banyak diikuti para
anggotanya. Sebagian besar mereka tidak sependapat mengenai dukungan
ini karena tidak cocok dengan pergerakan Al-Baghdadi sebagai amir khilafah.
Ketiga, Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kemunculan MIT dilatarbelakangi
oleh konflik komunal-keagamaan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pada
1998. Gerakan “Laskar Jihad” menggema di kawasan tersebut, sehingga
menarik banyak umat Islam dari berbagai daerah untuk terlibat dalam
peperangan “Islam-Kristen” tersebut. Setelah konflik ini berakhir, para
kombatannya bercokol menjadi kelompok Islam garis keras yang
bertanggunggjawab atas sejumlah tindak terorisme di Indonesia. MIT berada
di bawah kepemimpinan Santoso, atau Abu Wardah Santoso Asy Syarqy Al
Indunisy. Pada Juni 2014, sebuah video diunggah di Youtube berdurasi 12.30
menit, yang isinya mengenai baiat kelompok MIT kepada Daulah Islam atau
Khilafah Islamiyyah atau ISIS.
Selain jaringan kelompok teroris yang bercokol di Indonesia pasca Reformasi
1998, beberapa kelompok keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai
organisasi radikalisme Islam, yaitu: Pertama, Harakah Tarbiyah. “Tarbiyah”
memiliki arti pendidikan secara etimologis, namun pada konteks fenomena
gerakan keagamaan di Indonesia istilah ini ditujukan untuk menyebut gerakan
Islam yang terinspirasi Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir.14 IM memiliki dua
ideolog terkenal yaitu Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb. Meski organisasi
keislaman ini sudah berdiri sejak 1927, tetapi doktrin gerakannya tetap
membumi hingga hari ini. Ekspansi gerakannya menyebar hingga ke negara-
negara lain termasuk di Indonesia.
Model pembinaan di kalangan aktivis Harakah Tarbiyah dapat dikatakan
sangat ketat. Gerakannya dibangun dengan rapi dan sistematis mulai pra
sekolah hingga masuk perguruan tinggi. Pola pembinaannya dilakukan dengan
cara asistensi. Program asistensi bertujuan “merenovasi” pemahaman
keagamaan umat Islam. Karena itu, mereka yang mengikuti program asistensi
agama Islam berarti menjadi aktivis Tarbiyah.
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
246246
246246
246 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
Meski secara ideologi Harakah Tarbiyah menolak berbagai pemikiran dan
produk yang bersumber dari Barat, namun mereka sangat sadar bahwa untuk
mendirikan Negara Islam di Indonesia, juga beberapa negara berpenduduk
mayoritas Islam lainnya, perlu berlindung di bawah demokrasi dan mendirikan
partai politik yang diakui pemerintah setempat. Pasca tumbangnya era Orde
Baru, hal ini dibuktikan para aktivis Tarbiyah dengan membentuk Partai Keadilan,
yang saat ini telah berganti nama dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).15
Selain anti demokrasi, Harakah Tarbiyah juga melawan pokok-pokok pikiran
modern seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, serta sekulerisme,
liberalisme, dan pluralisme.
Kedua, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam buku yang bertajuk Mani-
festo Hizbut Tahrir untuk Indonesia disebutkan, HTI merupakan sebuah partai
politik yang berideogikan Islam. Organisasi ini berdiri dengan tujuan ingin
membebaskan umat manusia dari dominasi, paham, pemikiran, sistem hukum,
dan negara kufur menuju paham, pemikiran, sistem hukum, dan negara Is-
lam dengan menerapkan syari’ah Islam secara kaffah dan mengemban dakwah
ke seluruh penjuru dunia.16 Dengan harapan besar itu, HTI merupakan gerakan
politik yang menginginkan supaya Islam menjadi sistem pemerintahan glo-
bal. Sementara Indonesia, disuarakan untuk menjadi titik awal tegaknya cita-
cita Khilafah Islamiyyah.17
Bagi HTI, kepentingan Indonesia menjadi nukleus bagi bangkitnya kekuatan
Islam dunia memiliki alasan yang rasional. Secara organisatoris, saat ini HTI
telah memiliki struktur kepengurusan yang lengkap mulai dari Dewan Pimpinan
Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), hingga Dewan Pimpinan Daerah
(DPD). Sejak pasca Kongres Internasional pertama Hizbut Tahrir di Gelora
Bung Karno (GBK) pada tahun 2000, HTI telah berekspansi ke 31 provinsi dan
mempunyai lebih dari 200 distrik di Tanah Air. Terlebih lagi kepengurusan di
dalamnya meliputi departemen politik, ekonomi, dan kemahasiswaan. Di
lingkungan mahasiswa HTI menjelma menjadi gerakan ekstra kampus Gerakan
Pembebasan Mahasiswa (GEMA).
Sistem kepengurusan HTI yang begitu komperhensif tidak dijumpai di
negara-negara lain. Apalagi di sejumlah negara di Timur Tengah seperti Mesir,
Syiria, Tunisia, Libya, dan Lebanon sangat tidak memungkinkan untuk dijadikan
titik awal tegaknya Khila<fah Isla<miyyah. Sejumlah negara berpenduduk
mayoritas Islam tersebut tengah mengalami krisis perang saudara yang belum
bisa dipastikan kapan akan selesai. Sementara di Indonesia, eksistensi HTI
diuntungkan dengan keterbukaan sistem demokrasi yang mengakomodasi
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
247247
247247
247
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
semua organisasi. Sehingga gerakan HTI pun tumbuh dan berkembang secara
cepat.
Upaya radikal HTI yang ingin mendirikan Daulah Islam dipandang sebagian
besar umat Islam sebagai cita-cita yang ilutif.18 Bahkan langkah Hizbut Tahirir/
HTI sebagai partai politik juga dinilai sebagai sikap yang “munafik”, karena
tidak mampu memainkan fungsi-fungsi kepartaian sebagaimana yang
dipraktikkan partai-partai politik modern saat ini. Haedar Nashir melakukan
kritik tegas terhadap HTI dengan mengatakan bahwa gerakan ini bukan
merupakan partai politik Islam, melainkan sekedar organisasi kemasyarakatan
biasa yang bergerak di bidang pendidikan agama dan sosial. Jika mereka
benar partai politik mestinya masuk dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Namun, sepertinya HTI memiliki pengertian sendiri tentang partai politik dan
demokrasi.19
Strategi perjuangan Islam HTI sebagai partai politik dengan pengertiannya
sendiri dikategorikan Kasinyo Harto dengan sebutan fundamentalisme Islam
radikal. 20 Pasalnya, di dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) HTI menantang demokrasi dan melawan pokok-pokok pikiran negara
modern seperti nasionalisme, patriotisme, dan cinta Tanah Air. Kasinyo
menjelaskan, keinginan mereka untuk mendirikan negara Islam terlampau
kuat. Mereka dapat melakukan apa saja hingga titik darah penghabisan pun
akan dilakukan demi merebut cita-cita yang diimpikan.
Latar belakang berdirinya Hizbut Tahrir sebagai sebuah partai politik Islam
didasarkan pada perintah Allah SWT.21 Organisasi keagamaan transnasional
tersebut mempercayai bahwa kelahiran Nabi Muhammad dengan membawa
ajaran Islam adalah untuk mengatur seluruh aspek hidup manusia dan
menyelesaikan berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Dan, satu-satunya
jalan untuk mengatur segala aspek kehidupan itu adalah dengan berdirinya
sebuah Daulah Islam. Umat Islam di seluruh dunia harus bersatu dan berlindung
dalam satu pemerintahan Khilafah. Dengan begitu kehidupan yang sesuai
dengan norma-norma keislaman akan terwujud.
Ketiga, Jamaah Salafi. Kelompok ini memimpikan kehidupan masyarakat
Islam sebagaimana pada zaman Nabi Muhammad saw dan para salaf al-
saleh. Sejatinya, kehadiran Jamaah Salafi di Indonesia telah ada sejak sekitar
1980-an. Sayangnya, ekspansi gerakannya tidak terlalu mencolok, ditambah
jumlah kadernya tidak pernah mengalami peningkatan secara signifikan. Fokus
perhatian gerakan ini lebih menempatkan diri sebagai kelompok belajar Islam
daripada menyuarakan politik Islam.
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
248248
248248
248 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
Mereka sedikit pun tidak ingin terlibat dalam percaturan politik atau menyoal
persoalan kebangsaan. Mereka hanya cukup menginginkan kelompok belajar
agar umat Islam memahami dengan betul doktrin-doktrin keislaman
sebagaimana yang dipahami oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat-
sahabatnya.
Dalam berbagai kajiannya, Jamaah Salafi menggunakan sejumlah kitab
Islam klasik seperti buku karangan Muhammad bin Abdul Wahab di antaranya
Usuulu al-Thalathah, Sharah Kitab al-Tauhid, dan Kashfu al-Subhaat, buku
karya Ibnu Taimiyah al-Aqidah al-Washithiyah, serta buku karya Abdul Halim
Uwais Mushkilaatul al-Shabaab fii Dlau’il Islaam. Berbagai kitab tersebut
mengajarkan tentang Tauhid, Aqidah, dan prilaku kesalehan. Buku Usuulu al-
Thalaathah misalnya, tulisan Abdul Wahab pendiri gerakan Wahabi di Arab
Saudi ini tidak lain mengajarkan ilmu Tauhid, yang sumbernya berasal dari
ayat-ayat Al-Qur’an. Penyebutan Usuulu al-Thalaathah sendiri didasarkan pada
pertanyaan-pertanyaan siapa tuhanmu (man rabbuka), siapa nabimu (man
nabiyyuka), dan apa agamamu (maa diinuka).
Secara eksplisit, kemunculan mereka ingin menampilkan varian gerakan
Islam yang kaku (rigid) dibanding kelompok muslim lainnya di Indonesia.
Performa fisik yang berbeda itu menempatkan Jamaah Salafi sebagai gerakan
yang suka menyendiri (alienation). Tidak salah jika Noorhaidi Hasan menyebut
mereka sebagai gerakan Islam yang bercorak “kesunyian apolitis”.22 Pasalnya,
selain mereka memperkenalkan model keislaman yang kaku, Jamaah Salafi
juga menghindari permasalahan-permasalahan politik praktis. Seperti diketahui,
selama ini kelompok Salafi lebih dikenal sebagai gerakan yang hanya fokus
memberikan pemahaman keagamaan baik di lingkungan masyarakat secara
umum, maupun di lingkup mahasiswa. Mereka beralasan karena perbuatan
ini sesuai dengan yang diteladakan para salafus al-shalih.
Sementara Kasinyo Harto menyebut kelompok Jamaah Salafi sebagai
gerakan Islam fundamentalis-literalis. Pendapat ini kiranya tidak berlebihan
karena didasarkan pada corak pemikiran, model pembelajaran, dan cara
pandang mereka yang menginginkan kembalinya kehidupan umat Islam seperti
pada masa salafus al-saalih. Dalam perspektif aktivis salafi, meski masyarakat
kini dihadapkan pada era kontemporer yang sarat dengan kemajuan teknologi
dan liberalisasi pemikiran, namun senyatanya bisa dibawa kembali pada masa
salaafus al-shalih.23 Karena itu, diperlukan pemurnian (purifikasi) pemikiran
Islam sebab umat Islam kini semakin menyimpang dari sumber agama yang
otentik yaitu al-Qur’an dan al-Hadist.
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
249249
249249
249
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
Perspektif keagamaan yang mengarusutamakan pandangan Jamaah Salafi
kepada salaafus al-saalih merupakan “pemaksaan” total. Para aktivisnya
mengkhayalkan sebuah kehidupan yang didominasi dengan terma Islam ala
salaafus al-shalih, di mana generasi terbaik umat ada seperti para sahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’iin. Gerakan romantisme Islam diwujudkan dengan
membuat kelompok-kelompok kecil diskusi di masjid. Mereka menilai bahwa
tradisi yang bersemi pada zaman salaafus al-shalih semuanya dipukul rata
sebagai “yang terbaik dan yang paling benar”, sementara tradisi yang muncul
belakangan (zaman modern) dianggap keburukan. Akibatnya, pemahaman
para aktivis salafi cenderung monolitik dalam melihat permasalahan. Mereka
menilai setiap problem harus dikembalikan pada tata aturan yang diteladankan
umat salaf, tidak terkecuali problem yang muncul di era kontemporer sekalipun.
Keriuhan di Media Sosial
ISIS, organisasi teroris yang paling banyak dibicarakan di era kekinian,
ketika mendeklarasikan diri dapat dikatakan unik karena tidak dengan iring-
iringan alutsista militer, konferensi pers, atau pengumuman dengan melakukan
penahanan warga sipil. Akan tetapi, kelompok radikal yang dikomandani oleh
Abu Bakar Al-Baghdadi ini mengumumkan pendiriannya melalui media sosial.
Pada 2013, ISIS pertama kali melakukan kicauan menggunakan akun
@e3tasimo dengan nama akun I’tisamm24 untuk menunjukkan keberadannya.
Sejak itu, ISIS terus melakukan propaganda dan menebar ancaman ke
sejumlah negara melalui video-video yang diunggah ke YouTube. Salah satu
fakta yang paling mengerikan yaitu ketika ISIS mengeksekusi reporter asal AS
dengan memenggal kepalanya. Kemudian, video pemenggalan tersebut disebar
melalui media sosial. Pada kasus lain, sebelum penembakan yang menewaskan
14 orang di San Bernardino, California oleh Syed Rizwan Farook dan Tashfeen
Malik pada 2 Desember 2015 terjadi, pasangan suami-istri tersebut menulis
di akun Facebook-nya masing-masing dengan mengungkapkan kesetiaannya
terhadap ISIS. Sejumlah fakta tersebut menjelaskan kepada masyarakat global
bahwa sesungguhnya media sosial bukanlah semata-mata dimanfaatkan
kelompok teroris untuk menebar teror, melainkan membuktikan kecanggihan
dan identitas mereka sebagai bagian yang tidak buta teknologi.
Pemanfaatan jaringan virtual, khususnya media sosial oleh ISIS, adalah
fenomena global yang tentu saja berkait kelindan dengan maraknya aksi
terorisme di Indonesia. Jaringan teroris di Tanah Air juga tidak dapat dilepaskan
dengan pemanfaatan jejaring sosial untuk melancarkan strategi dan agenda
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
250250
250250
250 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
mereka. Apalagi pengguna internet di Indonesia mengalami peningkatan yang
pesat setiap tahunnya. Laporan penelitian yang dikeluarkan Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama Pusat Kajian Komunikasi
(Pusakom) Universitas Indonesia 2014 menjelaskan, pertumbuhan jumlah
pengguna internet di dalam negeri terus meningkat sejak 2005. Pada tahun
itu, jumlah pengguna dunia maya mencapai sebanyak 16 juta orang, namun
meningkat drastis menjadi 88,1 juta netizen (34,9% dari jumlah penduduk
Indonesia 252,4 juta jiwa) pada 2014.25
Beberapa peristiwa yang bisa diambil contoh ialah, bahwa dua bulan
sebelum serangan teror bom di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat terjadi, muncul
sebuah akun Facebook yang mengunggah rekaman audio yang diduga milik
Santoso, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT), jaringan teroris yang
beroperasi di Poso, Sulawesi Tengah. Meski rekaman berjudul “Seruan Sang
Komandan” tersebut hanya berdurasi 9 menit, namun propaganda itu
bermaksud menghancurkan Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Istana
Merdeka, Jakarta.
Selain itu, yang tidak kalah menghebohkan, kemunculan video anak-anak
Indonesia yang tengah dilatih perang oleh ISIS yang tersebar di YouTube pada
Maret 2014. Serta kasus lain, ketika kelompok Rizky Gunawan berhasil
mengumpulkan dana sebesar Rp5 milyar dari hasil meretas sejumlah situs
komersil untuk membiayai pelatihan militer teroris di Poso.26
Kasus-kasus ini menjelaskan bahwa dunia maya telah menjadi kekuatan
nyata yang menghubungkan soliditas dan militansi kelompok radikal hingga
ke lintas negara. Keberadaannya menawarkan kemudahan dalam berinteraksi,
mengorganisasi, melakukan perekrutan, propaganda, dan mencari pendanaan.
Tidak mengherankan bila keberadaan jejaring sosial turut merubah strategi
dan pola teror yang lebih masif dan sistematis. Bahkan, pada dekade kedua
abad ke-21 ini, muncul kecenderungan kelompok radikal meningkatkan
interaksi dan propagandanya di dunia virtual. Mereka membuat laman-laman
tertentu untuk menyebarkan ide dan gagasan kebencian, pemahaman radikal,
ancaman, serta cara membuat bom secara otodidak. Sejumlah website tersebut
disembunyikan identitasnya dengan alat teknologi enkripsi yang belum
diketahui. Pada akhir 2014, misalnya, Twitter menemukan fakta yang
mengejutkan bahwa ISIS telah membuat 700.000 akun Twitter yang punya
koneksi dengan berbagai kelompok teroris di belahan dunia. Hal ini membuat
manajemen perusahaan berlogo burung biru itu mengawasi secara ketat
konten-konten yang dicurigai berisikan agenda terorisme.
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
251251
251251
251
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
Seiring dengan kontrol yang begitu ketat, kelompok radikal tetap tidak
kehilangan akal dan terus berkicau menggunakan akun-akun beranonim.
Penggunaan meme-meme bergambar yang berisikan pesan radikal juga mereka
buat dalam rangka menarik simpati anak-anak muda. Kemudian, secara
konsisten dan kreatif, berbagai gambar meme itu disebar ke Facebook, Twit-
ter, Instagram, dan WhatsApp yang menjangkau ribuan netizen dalam waktu
singkat.
Kaitannya dengan hal ini, United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC) pada 2011 telah mengidentifikasi tujuh bentuk penggunaan dunia
maya untuk kepentingan kelompok radikal, diantaranya: Propaganda,
perekrutan, pendanaan, pelatihan, perencanaan, penyebaran teror, dan
cyberattack. Dalam banyak kasus, strategi cyberspace ini telah dipraktikkan
oleh semua jaringan kelompok teroris, baik di tingkat global (Al-Qaedah dan
ISIS) maupun lokal (Jemaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid).
Pemanfaatan media sosial menjadi cara baru bagi kelompok radikal Islam
untuk menyebarkan benih-benih ekstrimisme. Facebook, YouTube, Twitter,
blog hingga aplikasi layanan pesan gratis seperti WhatsApp sekarang
merupakan alat yang ampuh bagi kelompok teroris dan Islam transnasional
untuk melakukan propaganda, mendapatkan pengaruh, dan menjaring
keanggotan warga di jejaring sosial. Pola perubahan strategi gerakan yang
lebih canggih ini bukan hanya dilakukan oleh kelompok teroris, seperti ISIS,
JI, dan JAT, melainkan juga berbagai organisasi Islam transnasional, misalnya
HTI, Jamaah Salafi, dan Harakah Tarbiyah.27 Ada banyak akun di jejaring sosial
dan blog yang dikelola HTI, Salafi, dan Tarbiyah yang isinya mengajak
mendirikan Khilafah Islamiyyah, menerapkan politik Islam, menyingkirkan
demokrasi sebagai sistem pemerintahan nasional, serta menolak produk, ide,
dan pemikiran yang bersumber dari Barat seperti HAM, kesetaraan gender,
pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme. Jalan propagandanya dilakukan dalam
bentuk pembuatan video kegiatan, kicauan berkala, dan pokok-pokok
keputusan internal organisasi. Akun-akun tersebut berjalan secara sistematis
dan disebarkan dengan sangat luas, hingga ke lingkungan perguruan tinggi.28
Situs dan Akun Media Sosial Radikal
Terdapat banyak laman, portal online, dan akun media sosial yang diindikasi
memuat konten-konten berpaham pemikiran radikal. Laman yang memiliki
kecenderungan dikelola dan dimiliki para aktivis Harakah Tarbiyah yaitu,
www.pkspiyungan.org. Mulai awal Januari 2016, portal tersebut berganti
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
252252
252252
252 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
domain menjadi www.portalpiyungan.com. Laman ini berdiri pertama kali
pada 2008. Mulanya, portal ini hanya berbentuk blog dengan alamat
urlpkspiyungan.blogspot.com dan menjadi media komunikasi Dewan
Pengurus Cabang (DPC) PKS di kecamatan Piyungan Yogyakarta.
Gaya pemberitaan yang provokatif dan propagandis membuat situs online
ini menjadi rujukan para anggota PKS. Bahkan, dikatakan bahwa
kepopulerannya mengalahkan situs resmi PKS pusat www.pks.or.id pada waktu
itu.29 Portalpiyungan.com memosisikan diri sebagai representasi dari media
yang memperjuangan umat Islam. Tema dan fokus pemberitaannya diamati
hampir semuanya dengan perspektif keagamaan. Akan tetapi, pilihan judul
dan angle penulisan diambil dengan pilihan negasi bernada propaganda. Dalam
menyoroti majunya Basuki Tjahaja Purnama (biasa dikenal Ahok), misalnya,
laman ini berada di posisi melawan dengan membenturkan Ahok dengan
umat Islam. Artikel dan foto pemberitaan tentang Ahok dapat dipastikan bernada
memojokkan dan terksan anti Islam. Hal ini karena Ahok bukanlah dari kalangan
Islam, bahkan ia disebut sebagai pemimpin kafir dan lalim. Terlebih sejumlah
kebijakannya dianggap memprioritaskan kepentingan pemodal (bukan Mus-
lim) yang merugikan umat Islam.30
Contoh yang lain, seperti pada kasus aksi terorisme yang terjadi di Jalan
Thamrin Jakarta Pusat, awal tahun 2016. Meski portal ini tidak sepakat dengan
tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain,
yang hal itu bisa diamati dari sejumlah pemberitaannya, namun kemunculan
peristiwa peledakan bom teror dalam analisisnya dipandang sebagai pengalihan
isu belaka. Artikel berita tentang teror bom di Sarinah dianggap pengalihan
isu atas kesepakatan pemerintah dengan Freeport.31
Tidak cukup dengan portal online, sebagaimana yang dipraktikkan media-
media mainstream di Indonesia, portalpiyungan.com memposting dan
membagikan berita-beritanya melalui media sosial. Akun Facebook resmi yang
dimilikinya bernama “portalpiyungan”, dengan 77.864 pengunjung yang
menyukai akun tersebut sejak dibuat awal tahun 2016.32 Setiap satu artikel
bernada provokatif yang diunggah ke Facebook dibagikan dan disebar ke
media sosial lain seperti WattsApp atau BBM, kisarannya ada yang mencapai
di atas 50 kali shares, di atas 100 shares, bahkan lebih dari 1.000 shares.
Hebatnya lagi, setiap artikel yang diunggah hampir selalu mendapat komentar
dari pengunjungnya dalam jumlah yang besar dan bernada membela.
Sementara akun Twitter-nya dengan nama @portalpiyungan memiliki sebanyak
1,706 pengikut dengan 1,675 kicauan sejak dibuat awal tahun 2016.
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
253253
253253
253
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
Sedangkan yang terjadi pada HTI, dalam menyuarakan aspirasinya, gerakan
ini melakukan berbagai cara seperti demonstrasi, mengadakan seminar
keislaman, serta aksi publikasi. Untuk strategi publikasi HTI menerbitkan buku,33
majalah Al-Wa’ie, bulletin Al-Islam, dan tabloid Media Umat.34 Materi-materi
rubrikasi berisi cemoohan terhadap demokrasi, NKRI, dan Pancasila. Sementara
konsep Khilafah Islamiyyah ditampilkan sebagai solusi setiap permasalahan.
Selain menggunakan strategi publikasi lewat penerbitan buku, tabloid,
majalah, dan buletin, HTI juga gencar mendakwahkan perjuangannya melalui
media sosial. Akun Facebook DPP HTI, misalnya, dengan alamat “Hizbut Tahrir
Indonesia”, fanpage ini telah mendapatkan tanda Like dari 58.267 orang.35
Jika dibanding dengan jumlah mayoritas penduduk umat Islam di Indonesia,
angka relatif kecil mengingat akun ini sudah dibuat sejak 2010. Sementara
akun Twitter-nya, @HizbuttahrirID diikuti oleh 37,2 ribu (37.2 K) pengikut
dan telah melakukan 26,5 ribu (26.5 K) kicauan. Selain aktif bersuara di
Facebook dan Twitter, HTI juga bergerak di Instagram, Google+, dan blog-
blog. Laman resmi DPP HTI yaitu hizbut-tahrir.or.id.
Aktivitas HTI melalui media sosial sangat terorganisir secara baik. Terbukti,
akun Facebook DPP HTI tersebut membagi postingan-postingan berita,
keputusan organisasi, agenda kegiatan, serta pemikirannya setiap hari, baik
berbentuk artikel berita, foto-foto, meme-meme bergambar, maupun video
pendek. Strategi ini juga diikuti oleh puluhan akun Facebook dan Twitter HTI
dan sayap organisasinya (Muslimah HTI dan Gema Pembebasan) di tingkat
daerah dan propinsi. Akun-akun ini juga aktif menanggapi berbagai persoalan
kebangsaan, khususnya moral anggota legislatif, mengecam keborokan
pemerintah, dan memberikan solusi setiap permasalahan dengan mendirikan
Daulah Islam. Kedua akun media sosial HTI tersebut dikendalikan secara
berkelanjutan oleh bidang Infokom DPP HTI.
HTI juga memanfaatkan fungsi YouTube. Kelompok ini senantiasa mengung-
gah rekaman video berbagai kegiatan penting melalui jejaring sosial berbentuk
video tersebut. Acara Muktamar Khilafah atau Kongres Internasional HTI,
misalnya, rekaman video keduanya mudah ditemukan di YouTube. Bahkan,
di antara beberapa unggahannya itu dikunjungi oleh ribuan orang. Berbagai
rekaman yang mereka unggah juga diikuti dengan komentar/tanggapan,
pujian, dan dukungan dari banyak aktivisnya di berbagai negara. Sementara
sekali waktu, video itu terkadang juga mendapat kritik yang mempertanyakan
eksistensi HTI sebagai partai politik yang mengatasnamakan Islam. Meski begitu
dukungan terhadap organisasi bentukan syekh Taqyuddin An-Nabhani ini tetap
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
254254
254254
254 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
kuat.
Dakwah HTI melalui pemanfaatan media sosial dapat dipandang sebagai
satu dari sekian strategi modern yang mereka miliki. Seperti LSM atau ormas
Islam pada umumnya, HTI di era pasca Orde Baru telah mampu menciptakan
opini publik dan berhasil memobilisasi aktivisnya dalam jumlah yang besar.
Mereka dimobilisasi untuk melakukan aksi demonstrasi atau sekedar bersuara
di media sosial. Cepatnya pemikiran dan gagasan HTI yang diadopsi para
aktivisnya tidak lain dikarenakan militansi dan loyalitas mereka yang terbilang
solid. Bahkan, jika ada yang tidak setuju (terutama orang di luar HTI) terhadap
ide yang didakwahkan, maka secara cepat mereka akan dibilang kafir atau
kata-kata kasar lainnya.
Sementara itu, meski Salafi dan kelompok Islam fundamentalis lainnya,
mengklaim anti modernitas dan produk-produk Barat, namun jamaah ini tidak
tertinggal dalam pemanfaatan media sosial sebagai tempat dakwah mereka
di dunia maya. Terdapat beberapa akun Facebook dan Twitter yang terindikasi
berpaham Salafi. Namun akun-akun tersebut dikelola secara individu dan tidak
sistematis. Sebagai contoh adalah akun Facebook “Dakwah Salafiyah Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah” yang dikelolah oleh seorang aktivis Salafi bernama
Damar Yustian. Menurut Damar, dikutip dari salah satu postingannya, akun
ini berdiri sejak 31 Juli 2015 untuk menggantikan grup akun (“Tegar di Atas
Sunnah”) yang sebelumnya diretas oleh pihak tidak bertanggungjawab. Diamati
dari konten dan konsistensi pemberitaannya, grup ini tidak dikelola secara
baik. Hal ini mengesankan bahwa memang Salafi bukanlah organisasi yang
memiliki struktur kepengurusan seperti halnya HTI atau Tarbiyah di kampus-
kampus atau partai politik.
Simpulan
Strategi berbagai kelompok radikal yang menjadikan media sosial sebagai
basis propaganda dan perekrutan anggota baru sangatlah mengancam masa
depan kebangsaan. Apalagi, seperti dijelaskan sebelumnya, target utama
mereka adalah kalangan anak muda yang jumlahnya mencapai lebih dari
separuh dari total penduduk di Indonesia. Infiltrasi nilai-nilai kekerasan,
kebencian, dan permusuhan dengan mendasarkan pada dalil-dalil keagamaan
akan mudah diikuti para generasi muda, terlebih mereka tengah berada pada
usia pencarian jati diri.
Para aktivis radikal Islam tidak menerima paham-paham kebangsaan, seperti
nasionalisme, cinta tanah air, patriotisme, dan demokrasi. Dengan begitu,
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
255255
255255
255
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
ideologi kelompok fundamentalis ini bukan hanya berpotensi mencabik
ketentraman masyarakat beragama, melainkan juga membahayakan pada
semua “keintiman” sektor nasional: pertahanan dan keamanan, stabilitas
ekonomi-politik, dan peradaban bangsa.
Melihat kenyataan tersebut, dalam KTT AS-Asean di California, AS, pada
Februari 2016, Presiden Joko Widodo berpidato mengenai pentingnya
memanfaatkan media sosial untuk membendung gerakan ekstrimis terorisme.
Di hadapan para pemimpin negara se-Asia dan AS, Jokowi mengajak warga
dunia untuk melawan paham-paham radikal yang menyusup di keramaian
dunia maya. Tidak cukup bila penanggulangan terorisme dan ideologi-ideologi
radikalisme Islam hanya dilakukan lewat program sosialisasi deradikasilasi
agama “di bawah ruang ber-AC”. Program ini hanya akan menghabiskan
anggaran negara, sedangkan secara substansi tidak mampu menyelesaikan
dan menghapus cara pandang sebagian orang yang mulai berpikiran
menyimpang dan menebar ujaran kebencian.
Dalam hal ini, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi
masalah atau paling tidak meminimalisir terjadinya radikalisasi di ruang maya,
pemerintah bersama komunitas digital hendaknya perlu menyikapi keberadaan
grup-grup percakapan di media sosial yang mengarah kepada radikalisme
secara serius. Caranya adalah menyerang balik dengan membuat grup-grup
percakapan yang berorientasi pada deradikalisasi agama sekaligus menutup
akun-akun kelompok fundamentalis yang dinilai membenihkan ideologi radikal.
Catatan Akhir
1Untuk pembahasan yang lebih lengkap tentang Perda Syari’ah, baca dalam
Haedar Nashir, Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta:
Mizan dan Maarif Institute, 2013), 292-379. Baca juga dalam Wasisto Raharjo
Jati, “Permasalahan Implementasi Perda Syariah dalam Otonomi Daerah”, al-
Manahij, Vol. vii No.2 Juli 2013, 305-315
2Penelitian yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture
(CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008-2009 menjelaskan
tentang fenomena sebagian masjid di Jakarta dan Solo yang menjadi benih bagi
tumbuhnya gerakan radikalisme Islam di Indonesia. Selengkapnya baca dalam
laporan risetnya, Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF, ed., Benih-benih
Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo (Jakarta: CSRC UIN Jakarta,
2010).
3Baca selengkapnya dalam Khamami Zada, “Wajah Radikal Penerbitan Islam di
Indonesia”, Indo-Islamika, Vol 1, No. 1, 2011/1432, 1-19.
4Keanggotaan Harakah Tarbiyah tumbuh dengan sangat pesat pasca Orde Baru
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
256256
256256
256 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
lengser. Hal ini tidak lain dipengaruhi oleh geliat para aktivisnya yang berada di
lingkungan kampus. Bahkan, organisasi Tarbiyah yang menjelma menjadi
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di sejumlah kampus negeri di Indonesia
menggagas sebuah partai politik, yaitu Partai Keadilan, kini berganti nama
menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Baca dalam Ali Said Damanik,
Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia
(Jakarta: Teraju, 2002), 218-261. Lihat juga dalam Nafi’ Muthohirin,
Fundamentalisme Islam; Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus
(Jakarta: IndoStrategi, 2014), 137-145
5Sebelum era Reformasi, tercatat hanya ada dua peristiwa terorisme yang terjadi
di Indonesia, yaitu: Pertama, aksi terorisme yang terjadi pada 1981. Sebuah
penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada
penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla yang berangkat dari Jakarta pada
pukul 08:00 wib, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan
perkiraan sampai pada pukul 10.55 wib. Dalam penerbangan, pesawat tersebut
dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka
bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando
Jihad; 1 kru pesawat tewas; 1 tentara komando tewas; 3 teroris tewas. Kedua,
Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah
peristiwa terorisme bermotif “jihad” kedua yang menimpa Indonesia.
6Bom meledak dari sebuah mobil yang di parkir di depan rumah Duta Besar
Filipina, Menteng, Jakarta Pusat, pada 01 Agustus 2000. Tercatat 2 orang tewas
dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
7Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks
Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
8Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai
parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. Tercatat sebanyak 10 orang tewas, 90
orang lainnya luka-luka. Sebanyak 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.
9Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam
Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96
lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.
10 Greag Fealy, “Inside the Laskar Jihad: An Interview with the Leader of A New
Radical and Militant Sect,” Inside Indonesia, January-March 2001: http: //
www.insideindonesia.org/dit 71/fealy. Dikutip dari Ali Muzakir, “Kelompok
Islam Radikal di Indonesia: Prospek dan Solusinya,” dalam Bahtiar Effendy
dan Soetrisno Hadi (ed), Agama dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: Nuqtah,
2007), 227-228
11 Lihat dalam Tarmizi Taher, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah
Islam,” dalam Bahtiar Effendy dan Handro Prasetyo (penyt.), Radikalisme Agama
(Jakarta: PPIM-IAIN, 1998), 8. Definisi kelompok radikal Islam yang
dikemukakan Tarmizi Taher ini diamini oleh Khamami Zada dalam membuat
kategorisasi kelompok-kelompok radikalisme Islam. Untuk lebih lengkapnya
baca dalam Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis
Keras (Jakarta: Teraju, 2002), 8
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
257257
257257
257
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
12 Untuk mengetahui mengenai tumbuhnya kelompok fundamentalisme Islam
sebagai akibat dari tantangan geopolitik dan ekonomi global, baca dalam Bassam
Tibi, The Challange of Fundamentalism: Political Islam the New World Disorder
(London: University of California Press, 1998). Lihat juga, Noorhaidi Hasan,
“Ideologi, Identitas dan politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi
Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia,” Prisma, Vol. 29. LP3ES,
Oktober (2010), 3-24
13 Lihat dalam, http://www.theage.com.au/news/national/jemaah-islamiah-de-
clared-forbidden/2008/04/21/1208742852708.html. Dikutip pada Jum’at
(11 Maret 2016).
14 Untuk mengetahui lebih lengkap pola gerakan Islam politik Ikhwanul Muslimin
baca dalam Olivier Roy, The Failure of Political Islam (London: I.B. Tauris & Co
Ltd, 1994), 75-89.
15 Selengkapnya baca dalam, Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan;
Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002).
16 Lihat, Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan
Kembali Dunia Islam (tanpa penulis, HTI: 2009), 67
17 Wawancara aktivis HTI Universitas Indonesia, Arman Surya Hadi, pada 25
Maret 2013.
18 Baca dalam Abdurrahman Wahid (ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: LibForAll Foundation, 2009), 39.
Disebutkan, bahwa para agen gerakan Islam transnasional tersebut datang ke
Indonesia membawa petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan
Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan
mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di
Timur Tengah pun tidak ada.
19 Baca dalam Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indone-
sia (Bandung:, Mizan, 2013), 403-404
20 Lihat dalam Kasinyo Harto. Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum:
Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008), 167.
21 Didasarkan pada Qs. Ali-Imran (3): 104, yang berbunyi: “Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; Merekalah orang-orang yang beruntung.”
22 Baca Noorhaidi Hasan, “Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan:
Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indo-
nesia”, Prisma, Vol. 29 (2010), 7-8
23 Wawancara aktivis Salafi, ustadz Sulhan Jauhari Lc, pada Kamis, (19/9/2013).
24 I’tisamm berasal dari kata Bahasa Arab, yang memiliki arti mempertahankan
tradisi Islam tanpa penyimpangan. Baca selengkapnya dalam Kompas, “Preda-
tor Nyata di Dunia Maya”, Kompas (Kamis, 17 Desember 2015).
25 Dilihat dari usia netizen, riset tersebut menjelaskan, sebanyak 49% atau hampir
setengahnya berusia 18 tahun hingga 25 tahun. Sementara, jenjang pendidikan
mereka 64,7% lulusan SMA sederajat. Sebanyak 87%, para netizen ini mengaku
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
258258
258258
258 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA
menggunakan media sosial saat terkoneksi dengan internet, sedangkan 68,7%
untuk searching dan browsing.
26 Baca selengkapnya dalam Petrus Reinhard Golose, Invasi Terorisme ke Cyberspace
(Jakarta: Yayasan Pengembangan Ilmu Kepolisian/YPKIK, 2015), v-vi
27 HTI, Jamaah Salafi, dan Tarbiyah masuk dalam kategori sebagai gerakan radikal
Islam sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Khamami Zada. Dia
menjelaskan bahwa kategori yang melekat pada kelompok Islam radikal di In-
donesia dapat didasarkan pada empat hal. Pertama, mereka memperjuangkan
Islam secara totalistik (kaffah); syariat Islam sebagai hukum negara, Islam sebagai
dasar negara, sekaligus Islam sebagai sistem politik sehingga bukan demokrasi
yang menjadi sistem politik nasional. Kedua, mereka mendasarkan praktik
keagamaannya pada orientasi masa lalu (Salafi). Ketiga, mereka sangat memusuhi
Barat dengan segala produk peradabannya, seperti sekulerisasi dan modernisasi.
Keempat, perlawanannya dengan gerakan liberalisme Islam yang tengah
berkembang di kalangan Muslim. Dikutip dari Khamami Zada, Islam Radikal:
Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras (Jakarta: Teraju, 2002), 18.
28 Untuk menggali lebih dalam tentang aktivisme kelompok radikalisme Islam di
lingkungan kampus, baca dalam Nafi’ Muthohirin, Fundamentalisme Islam;
Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus (Jakarta: IndoStrategi,
2014)
29 Lihat, http://islamedia.id/situs-pkspiyungan-org-ganti-domain/. Dikutip pada
Sabtu, 12 Maret 2016, pukul 14:45
30 Beberapa judul berita yang memojokkan Ahok sebagai anti-Islam, di antaranya:
“Korban Ahok semua Muslimah Berjilbab, Apa Kebetulan Semata”, “Panik,
Tim Kampanye Ahok ‘Jualan Agama’ Mengaku Muslim untuk Cari Dukungan”,
Sungguh Keji! Ahokers Halalkan Segala Cara”, dan “Sementara Teman Ahok
Bergerak di Mall-Mall, Relawan Muslim ACT Bergerak Bantu Korban Banjir,”.
Lihat dalam, http://www.portalpiyungan.com. Dikutip pada Sabtu, 12 Maret
2016, pukul 15:07
31 Lihat, http://www.portalpiyungan.com/2016/01/bertepatan-deadline-freeport-
bom.html. Dikutip pada Sabtu, 12 Maret 2016, pukul 15:20
32 Terakhir dikutip pada Sabtu, 12 Maret 2016, pukul 15:39
33 Sebagian besar buku HTI diterbitkan oleh penerbit HTI sendiri, Pustaka
Thariqul Izzah, di Bogor. Dikutip dari Burhanuddin Muhtadi, “The Quest for
Hizbut Tahrir in Indonesia”, The Asian Journal of Social Science, (NUS & Brill) 37
(2009), 628
34 Agensi tabloid Media Umat berjumlah ratusan agen, yang tersebar di kota-kota
besar di Indonesia seperti di Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Sumetra, Sulawesi, dan Kalimantan.
35 Dikutip dari akun Facebook resmi DPP HTI pada Minggu, (13/3/2016), pukul
06:03 WIB.
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
259259
259259
259
Vol. 11 No. 2 Desember 2015
Daftar Pustaka
Al-Makassary, Ridwan dan Ahmad Gaus AF, (ed). 2010. Benih-benih Islam Radikal
di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo. Jakarta: CSRC UIN Jakarta.
DPP HTI. 2009. Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan
Penyatuan Kembali Dunia Islam. Tanpa penulis: HTI.
Effendy, Bahtiar dan Handro Prasetyo (penyt.). 1998. Radikalisme Agama. Jakarta:
PPIM-IAIN.
Effendy, Bahtiar dan Soetrisno Hadi (ed). 2007. Agama dan Radikalisme di Indone-
sia. Jakarta: Nuqtah.
Fealy, Greag. 2001. “Inside the Laskar Jihad: An Interview with the Leader of A New
Radical and Militant Sect,” Inside Indonesia, January-March: http: //
www.insideindonesia.org/dit 71/fealy
Harto, Kasinyo. 2008. Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan
Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI.
Hasan, Noorhaidi. 2010 “Ideologi, Identitas dan politik Kekerasan: Mencari Model
Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia,” Prisma,
Vol. 29. LP3ES.
Jati, Wasisto Raharjo. 2013. “Permasalahan Implementasi Perda Syariah dalam
Otonomi Daerah”, al-Manahij, Vol. vii No.2 Juli.
Kompas, “Predator Nyata di Dunia Maya”, Kompas (Kamis, 17 Desember 2015)
Muthohirin, Nafi’. 2014. Fundamentalisme Islam; Gerakan dan Tipologi Pemikiran
Aktivis Dakwah Kampus. Jakarta: IndoStrategi.
Nashir, Haedar. 2013. Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Jakarta:
Mizan dan Maarif Institute.
Reinhard Golose, Petrus. 2015. Invasi Terorisme ke Cyberspace. Jakarta: Yayasan
Pengembangan Ilmu Kepolisian/YPKIK.
Roy, Olivier. 1994 The Failure of Political Islam. London: I.B. Tauris & Co Ltd.
Said Damanik, Ali. 2002. Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun Gerakan
Tarbiyah di Indonesia, Jakarta: Teraju.
Tibi, Bassam. 1998. The Challange of Fundamentalism: Political Islam the New World
Disorder. London: University of California Press.
Wahid, Abdurrahman (ed.). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia. Jakarta: LibForAll Foundation.
Zada, Khamami. 2011. “Wajah Radikal Penerbitan Islam di Indonesia”, Indo-Islamika,
Vol 1, No. 1.