ArticlePDF Available

Analisis Serangan Buaya Muara (Crocodylus porosus) di Indonesia melalui Eksplorasi Database CrocBITE Berbasiskan Citizen Science (An Analysis of Saltwater Crocodile (Crocodylus porosus) Attack in Indonesia Using Citizen Science CrocBITE Database Exploration)

Authors:

Abstract and Figures

Buaya muara (Crocodylus porosus) merupakan salah satu spesies buaya dengan laporan serangan terhadap manusia tertinggi di Indonesia. Pemahaman mengenai serangan buaya sangat penting dalam upaya konservasi dan mitigasi serangan. CrocBITE sebagai bentuk citizen science telah berhasil melibatkan masyarakat dalam pengumpulan informasi serangan buaya di dunia termasuk Indonesia dengan jumlah laporan serangan buaya muara tertinggi sebanyak 420 kasus sejak tahun 1845. Penelitian ini dilakukan dengan mengeksplorasi data serangan buaya pada situs CrocBITE untuk menganalisis pola distribusi serangan buaya dan merumuskan upaya mitigasi serangan. Data serangan buaya diunduh melalui situs CrocBITE, kemudian diseleksi berdasarkan kriteria keberadaan dan validitas sumber informasi. Quantum GIS v2.2.0. Valmiera digunakan untuk pemetaan lokasi serangan dan paket R i386 3.1.0. digunakan untuk menghitung secara statistik kepadatan dan pola distribusi serangan. Hasil penelitian menunjukkan jumlah serangan yang tinggi terdapat di wilayah Indonesia bagian barat, yaitu Sumatra dan Jawa. Terjadi pergeseran serangan di pulau Sumatra dari utara ke selatan dan penurunan serangan di pulau Jawa pada periode 2000-2014. Terjadi peningkatan jumlah dan distribusi serangan yang signifikan pada periode 2000-2014 dibandingkan dengan periode 1845-1980. Berdasarkan hasil penelitian, dapat direkomendasikan pembuatan barikade dan zonasi perlindungan buaya sebagai upaya mitigasi serangan buaya muara di Indonesia. (Saltwater crocodile (Crocodylus porosus) is a species with the highest cases of attack toward human in Indonesia. Understanding the crocodile attack is essential to plan the conservation and conflict mitigation. CrocBITE as one form of citizen science has been successful in involving society to collect the information of crocodile attack around the world including Indonesia which posses the highest number of attacks about 420 since 1845. This research aims to analyze the distribution pattern of crocodile attack and design the attack mitigation plan by exploring database in CrocBITE website. Quantum GIS v2.2.0. Valmiera was used to map the factual attack location, spatstat in R i386 3.1.0 were run to know the conflict density and distribution pattern statistically. The results showed that number of attacks was higher in western part of Indonesia (Sumatra and Java), however in recent period (2000-2014) the conflicts were moved from northern Sumatra to the southern part and rare conflict detected in Java island. Significant increase of attack happened in 2000-2014 period which the number of conflict was doubled compared to 1845-1980. Based the research, it is recommended to build a barrier and propose crocodile protection zone for crocodile attack mitigation in Indonesia)
No caption available
… 
Content may be subject to copyright.
Analisis Serangan Buaya Muara (Crocodylus
porosus) di Indonesia melalui Eksplorasi Database
CrocBITE Berbasiskan Citizen Science
An Analysis of Saltwater Crocodile (Crocodylus
porosus) Attack in Indonesia Using Citizen Science
CrocBITE Database Exploration
Ardiantionoa, Sheherazadeb, Ricky Karta Atmadjac, Anastasia Wardhanid
aarditionz@gmail.com, bsheherazade.jayadi@gmail.com, crickykarta92@hotmail.com; danastasia.wardhani@yahoo.com,
a,b,c,d Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok
Abstrak- Buaya muara (Crocodylus porosus) merupakan salah satu spesies buaya dengan laporan serangan terhadap manusia
tertinggi di Indonesia. Pemahaman mengenai serangan buaya sangat penting dalam upaya konservasi dan mitigasi serangan.
CrocBITE sebagai bentuk citizen science telah berhasil melibatkan masyarakat dalam pengumpulan informasi serangan buaya di
dunia termasuk Indonesia dengan jumlah laporan serangan buaya muara tertinggi sebanyak 420 kasus sejak tahun 1845.
Penelitian ini dilakukan dengan mengeksplorasi data serangan buaya pada situs CrocBITE untuk menganalisis pola distribusi
serangan buaya dan merumuskan upaya mitigasi serangan. Data serangan buaya diunduh melalui situs CrocBITE, kemudian
diseleksi berdasarkan kriteria keberadaan dan validitas sumber informasi. Quantum GIS v2.2.0. Valmiera digunakan untuk
pemetaan lokasi serangan dan paket R i386 3.1.0. digunakan untuk menghitung secara statistik kepadatan dan pola distribusi
serangan. Hasil penelitian menunjukkan jumlah serangan yang tinggi terdapat di wilayah Indonesia bagian barat, yaitu Sumatra
dan Jawa. Terjadi pergeseran serangan di pulau Sumatra dari utara ke selatan dan penurunan serangan di pulau Jawa pada
periode 2000--2014. Terjadi peningkatan jumlah dan distribusi serangan yang signifikan pada periode 2000--2014 dibandingkan
dengan periode 1845--1980. Berdasarkan hasil penelitian, dapat direkomendasikan pembuatan barikade dan zonasi perlindungan
buaya sebagai upaya mitigasi serangan buaya muara di Indonesia.
Kata kunci buaya muara, citizen science, CrocBITE, distribusi, serangan, mitigasi
Abstract- Saltwater crocodile (Crocodylus porosus) is a species with the highest cases of attack toward human in Indonesia.
Understanding the crocodile attack is essential to plan the conservation and conflict mitigation. CrocBITE as one form of citizen
science has been successful in involving society to collect the information of crocodile attack around the world including Indonesia
which posses the highest number of attacks about 420 since 1845. This research aims to analyze the distribution pattern of
crocodile attack and design the attack mitigation plan by exploring database in CrocBITE website. Quantum GIS v2.2.0. Valmiera
was used to map the factual attack location, spatstat in R i386 3.1.0 were run to know the conflict density and distribution pattern
statistically. The results showed that number of attacks was higher in western part of Indonesia (Sumatra and Java), however in
recent period (2000--2014) the conflicts were moved from northern Sumatra to the southern part and rare conflict detected in Java
island. Significant increase of attack happened in 2000--2014 period which the number of conflict was doubled compared to 1845-
1980. Based the research, it is recommended to build a barrier and propose crocodile protection zone for crocodile attack
mitigation in Indonesia.
Keywords attacks, citizen science, CrocBITE, distribution, mitigation , saltwater crocodile
I. PENDAHULUAN
Serangan buaya terhadap manusia muncul akibat adanya
kompetisi ruang dan sumber daya yang sama [1] dan [2].
Serangan buaya dan perburuan buaya merupakan dua jenis
konflik manusia-buaya yang umum ditemui [1]. Sebagai
respon atas aktivitas perburuan yang sangat tinggi pada
tahun 1990an di Indonesia, perburuan buaya kemudian
diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan no 771/Kpts-
II/1996 sehingga ancaman kepunahan populasi buaya akibat
perburuan dapat dihindari [3]. Di sisi lain, penyusutan
habitat alami buaya, penurunan populasi hewan mangsa, dan
peningkatan aktivitas manusia di daerah jelajah buaya
menyebabkan kasus serangan terhadap manusia semakin
sering terjadi [4]. Hal tersebut perlu menjadi perhatian
karena serangan yang terjadi dapat menimbulkan sikap
antipati masyarakat terhadap buaya dan menjadi tantangan
untuk upaya konservasi buaya ke depannya.
Buaya muara banyak ditemui di seluruh wilayah di
Indonesia. Buaya tersebut dianggap memiliki ukuran
terbesar dibandingkan jenis buaya lainnya, yaitu dengan
ukuran badan buaya dewasa yang dapat mencapai 6--7m [4].
Jumkah laporan serangan buaya muara merupakan yang
terbanyak kedua setelah buaya Sungai Nil (Crocodylus
niloticus) [6]. Area jelajah buaya muara cukup luas, meliputi
wilayah perairan seperti laut dan muara hingga beberapa
ratus kilometer ke dalam daratan. Hal tersebut menyebabkan
upaya konservasi dan mitigasi serangan buaya tersebut
menjadi sulit dilakukan [4].
Kasus serangan buaya muaya terhadap manusia telah
dilaporkan, tetapi belum terdapat publikasi ilmiah mengenai
serangan oleh buaya di Indonesia. Hal tersebut disebabkan
karena informasi mengenai serangan buaya di Indonesia
sangatlah terbatas. Informasi serangan umumnya hanya
didapatkan melalui surat kabar, portal berita, atau informasi
dari penduduk setempat. Keterbatasan akses terhadap
sumber informasi menjadi penyebab sulitnya pengumpulan
data serangan buaya di Indonesia.
Citizen science merupakan konsep yang melibatkan
masyarakat untuk mengumpulkan data dalam skala yang
besar dan dalam periode waktu yang panjang [5]. Konsep
citizen science dapat menjadi solusi untuk mendapatkan data
serangan buaya yang tersebar di berbagai sumber informasi
dengan melibatkan masyarakat Indonesia. Konsep tersebut
telah diaplikasikan dalam proyek CrocBITE: Worldwide
Crocodilian Attack Database yang diinisiasi oleh Charles
Darwin University, Big Gecko Crocodilian Research, and
crocodilian.com untuk membuat database serangan buaya di
dunia berbasis citizen science [2] dan [6].
Terhitung pada bulan Juni tahun 2014, situs CrocBITE
telah berhasil mengumpulkan sebanyak 2.362 data serangan
di dunia dengan Indonesia sebagai negara dengan tingkat
insiden tertinggi (427 serangan) disusul Malaysia (245
serangan) dan India (227 serangan) [6]. Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis pola distribusi serangan buaya
di Indonesia melalui eksplorasi database CrocBITE.
Diharapkan melalui penelitian ini dapat diketahui faktor
penyebab serangan buaya di Indonesia sehingga upaya
mitigasi dapat dilakukan.
II. METODOLOGI
2.1. Eksplorasi dan Pengunduhan Data Serangan Buaya
Eksplorasi terhadap kasus serangan buaya dilakukan
dengan mengunduh data serangan di dalam situs CrocBITE
(www.crocodile-attack.info). Data kasus serangan yang
diunduh merupakan data laporan serangan buaya muara di
Indonesia. Pengumpulan data serangan dilakukan oleh
kontributor yang berasal dari Indonesia karena sebagian
besar artikel mengenai serangan buaya menggunakan bahasa
Indonesia. Pengunduhan data serangan dilakukan dengan
membuka menu explore data” di laman utama situs,
kemudian dipilih menu advanced search”. Pada laman
advanced search terdapat menu data serangan
berdasarkan negara dan dipilih serangan di Indonesia. Data
serangan buaya muara di Indonesia mencapai 420 kasus
serangan dengan periode tahun 1845--2014. Data tahun
1980--1999 tidak didapatkan karena tidak adanya laporan
atau berita serangan buaya muara. Kehilangan data (data
gap) pada periode 20 tahun ini kemungkinan dikarenakan
akses informasi yang terbatas karena serangan mungkin
tetap terjadi. Data yang diunduh meliputi waktu serangan
(tanggal dan jam serangan), koordinat dan lokasi serangan,
jenis serangan (fatal atau tidak fatal), aktivitas korban,
respon manusia terhadap buaya setelah serangan, dan
sumber berita.
2.2. Seleksi data
Seluruh data serangan yang ditampilkan di dalam situs
CrocBITE merupakan data yang telah divalidasi dan
terdapat informasi mengenai detail informasi (sangat detail,
detail, cukup detail, dan kurang detail). Sebanyak 420 data
serangan buaya muara di Indonesia diseleksi kembali secara
manual untuk menghindari faktor bias. Data serangan yang
tidak memiliki sumber berita, tidak memiliki keterangan
saksi, atau sumber berita yang digunakan tidak valid
(blogspot dan wordpress tanpa keterangan sumber berita
resmi) akan dikeluarkan dalam analisis. Berdasarkan hasil
seleksi, terdapat 68 data serangan yang tidak dimasukkan ke
dalam analisis sehingga jumlah serangan yang digunakan
adalah 352 data.
2.3. Analisis data
Persebaran serangan buaya muara dibagi berdasarkan dua
periode waktu, yaitu pada tahun 1845--1980 dan tahun
2000--2014 dengan asumsi pembangunan di wilayah
Indonesia berjalan pesat pada tahun 1990an. Pembuatan
peta distribusi serangan dilakukan menggunakan perangkat
lunak Quantum GIS v2.2.0. Valmiera. Pembuatan peta
densitas dan uji statistik distribusi serangan (Chi Squared
test of CSR using quadrat count) dilakukan menggunakan
paket spatstat dalam aplikasi R i386 3.1.0 [7]. Pengolahan
data lain yang meliputi komposisi waktu serangan; jumlah
serangan berdasarkan bulan, tahun, dan periode waktu;
aktivitas korban dan respon masyrakat terhadap serangan;
serta jenis dan skala sumber berita dianalisis secara
deskriptif menggunakan program Microsoft Excel 2007.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Analisis Pola Distribusi dan Pola Serangan Buaya
Muara
Serangan buaya muara (Crocodylus porosus) di Indonesia
menunjukkan pola distribusi mengelompok (Chi Squared
Test of CSR, nilai p <0,05) (Gambar 1). Serangan buaya
banyak terjadi pada wilayah Indonesia bagian barat,
terutama di Sumatra dan Jawa. Serangan buaya juga tercatat
di Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur,
dan sekitarnya dengan jumlah serangan yang lebih sedikit.
Kemampuan untuk berenang pada jarak yang jauh di laut
lepas memungkinkan buaya muara untuk mengkolonisasi
mulai dari pulau besar hingga pulau-pulau terpencil [8]. Peta
distribusi serangan buaya turut merepresentasikan distribusi
populasi buaya muara di Indonesia dimana publikasi ilmiah
mengenai distribusi buaya muara sangatlah terbatas.
Gambar 1. Perbandingan distribusi serangan buaya berdasarkan dua periode waktu
Serangan buaya di Indonesia dibagi dalam dua periode
utama, yaitu periode I (1845--1980) dan periode II (2000--
2014). Serangan berkaitan erat dengan pertumbuhan
penduduk dan pembangunan di Indonesia. Kedua faktor
tersebut berbeda pada masing-masing periode dimana
jumlah penduduk sebelum memasuki tahun 2000, berada di
bawah 200 juta jiwa dan meningkat drastis setelah tahun
1999 [9]. Pembangunan di berbagai sektor, termasuk
perikanan dan pemukiman mulai masif dilakukan pada akhir
1990an hingga sekarang.
Terdapat pergeseran densitas serangan di pulau Sumatra,
yaitu dari wilayah utara ke selatan, serta hilangnya serangan
di sebagian besar pulau Jawa pada periode 2000--2014
(Gambar 2). Hal tersebut mengindikasikan adanya
perubahan distribusi buaya muara sehingga tidak terjadi
serangan seperti pada periode 1845--1980. Kepunahan lokal
diduga terjadi pada populasi buaya di wilayah utara Sumatra
dan sebagian besar pulau Jawa. Di Jawa sendiri, populasi
alami buaya muara hanya ditemukan di kawasan Taman
Nasional Ujung Kulon yang berada di ujung barat pulau
Jawa. Pada periode II, pertumbuhan penduduk di Sumatra
bagian utara dan Jawa telah mecapai dua kali lipat dan
mencakup 50-60% total penduduk Indonesia [9].
Gambar 2. Perbandingan densitas penyerangan buaya pada periode 1845--1980 (kiri) dan 2000--2014 (kanan)
Kehilangan habitat merupakan masalah utama bagi buaya
muara pada negara-negara Asia Selatan hingga Asia
Tenggara [4]. Penurunan populasi buaya juga terjadi di Sri
Lanka akibat degradasi habitat (reklamasi rawa, konversi
mangrove menjadi tambak udang, pemukiman, akuakultur)
bersamaan dengan perburuan kulit dan daging buaya [10].
Habitat yang baik bagi buaya muara dicirikan dengan
kehadiran tepi badan air yang luas dan vegetasi yang rimbun
sebagai tempat bersarang dan bertelur [11]. Seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan ekspansi pembangunan, habitat
buaya muara menjadi berkurang dan hanya terdistribusi di
beberapa tempat seperti Sumatera bagian Selatan,
Kalimantan, dan Sulawesi [4] Beberapa upaya konservasi
dapat dilakukan, diantaranya mempelajari dan memonitor
perilaku, pola makan, serta ruang jelajah buaya muara.
Hasil tersebut perlu diedukasikan kepada pemerintah dan
masyarakat, khususnya yang hidup berdampingan dengan
buaya muara, agar pertumbuhan penduduk yang tinggi dan
proses pembangunan yang cepat tidak menekan habitat dan
populasi buaya muara [12].
Terjadi peningkatan jumlah serangan buaya pada periode
2000--2014 dibandingkan dengan periode 1845--1980
(Diagram 1). Penurunan populasi buaya muara secara umum
telah terjadi,akibat kerusakan habitat dan populasi yang
tersisa memiliki tingkat interaksi yang tinggi dengan
manusia akibat ekspansi pembangunan sehingga serangan
semakin sering terjadi. Konversi lahan di dekat perairan
tawar dan asin meningkatkan kesempatan bertemunya
manusia dengan buaya yang terdapat di habitat tersebut.
Pemukiman, pertambakkan, dan perikanan menjadikkan
manusia sering berada di dekat bahkan di dalam habitat
buaya sehingga terdapat kemungkinan serangan oleh buaya
yang merasa terusik. Hal serupa juga terjadi di Australia
dimana rata-rata jumlah serangan buaya per tahun
meningkat dari 0,2 kasus pada tahun 1971 menjadi 3,8 kasus
pada tahun 2004, seiring dengan ekspansi aktivitas manusia
ke habitat buaya muara [1].
Serangan buaya yang bersifat fatal dimana serangan
menyebabkan kematian korban juga menunjukkan tren
peningkatan (Diagram 2 dan diagram 3). Selain faktor
kerusakan habitat, penurunan jumlah mangsa diduga
menyebabkan peningkatan serangan buaya muara. Buaya
muara memiliki preferensi mangsa ikan, di saat yang
bersamaan manusia juga mengeksploitasi ikan sehingga
mengurangi ketersediaan makanan untuk buaya.
Berkurangnya makanan akan mendorong perilaku agresifitas
yang tinggi pada buaya [13]. Sifat buaya yang merupakan
predator oportunistik juga tidak menutup kemungkinan
manusia menjadi mangsa alternatif buaya ketika mangsa
alami sudah habis atau berkurang di alam [1].
Diagram 1. Perbandingan jumlah serangan pada dua periode
berbeda
Diagram 2. Perbandingan jumlah serangan setiap 15 tahun
Buaya muara adalah jenis hewan teritorial yang
mempertahankan teritorinya dari pengganggu atau ancaman.
Masuknya manusia dan aktivitasnya ke dalam habitat buaya
muara akan meningkatkan interaksi di antara keduanya.
Buaya dapat menganggap manusia sebagai ancaman
sehingga terjadi serangan karena buaya mempertahankan
teritorinya. Selain itu, buaya merupakan predator yang
memiliki strategi berburu sit and wait dengan mempelajari
dan mengawasi tempat beraktivitas mangsanya. Terdapat
kemungkinan beberapa individu buaya telah menganggap
manusia sebagai mangsa karena serangan umumnya terjadi
ketika korban sedang melakukan aktivitas rutin di sungai
atau di tepi sungai. Hal tersebut didukung dengan hasil
penelitian dimana sebanyak 220 serangan terjadi pada
korban yang sedang melakukan aktivitas rutin di siang
hingga sore hari, seperti mandi, mencuci, dan memancing
(Diagram 5 dan Tabel 1). Variasi jumlah serangan buaya
sepanjang tahun tidak terlalu berbeda, tetapi cenderung lebih
banyak terjadi pada awal tahun (Diagram 4). Bulan-bulan di
awal tahun merupakan musim hujan yang merupakan
periode bagi buaya muara untuk bersarang dan bertelur
dimana buaya menjadi sangat agresif dalam
mempertahankan sarang dan anakan dari organisme lain,
termasuk manusia [4].
Diagram 3. Perbandingan jumlah serangan buaya setiap tahun
pada tahun 2000--2014
*Jumlah serangan pada tahun 2014 hanya sampai bulan Juli
Diagram 4. Perbandingan jumlah serangan buaya setiap bulan
pada tahun 20002013
*Jumlah serangan pada tahun 2014 tidak disertakan karena
hanya sampai bulan Juli
Diagram 5. Perbandingan jumlah serangan buaya
berdasarkan rentang waktu hari
Masyarakat umumnya memberikan respon terhadap
serangan yang terjadi. Serangan buaya muara dianggap
sebagai permasalahan yang besar bagi masyarakat karena
melibatkan korban jiwa, cacat fisik, trauma, dan
kekhawatiran masyarakat akan keselamatan diri mereka
ketika beraktivitas di sungai. Berdasarkan 50 data respon
masyarakat yang didapatkan, hampir setengah kasus
serangan berakhir dengan pembunuhan buaya yang
dianggap terlibat dalam penyerangan (27 kasus) (Tabel 1).
Apabila serangan terus terjadi, maka akan semakin banyak
buaya muara yang dibunuh ataupun ditangkap oleh
masyarakat sehingga konflik manusia-buaya muara akan
tetap terjadi. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya
mitigasi agar serangan buaya dan konflik manusia-buaya
muara dapat diminimalisir ke depannya
Tabel 1. Aktivitas korban ketika diserang buaya dan respon masyarakat terhadap serangan buaya
Jenis Aktivitas
Respon Masyarakat Terhadap Buaya
Rutina
Tidak Rutin
Tanpa Keterangan
Dibunuh
Disiksa
Diburu
216
105
31
27
3
7
aAktivitas rutin dilakukan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan memancing.
3.2. Database CrocBITE Berbasiskan Citizen Science
CrocBite memfasilitasi pengumpulan informasi mengenai
serangan buaya di dunia. Informasi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk memahami penyebab serangan buaya.
Artikel nasional, daerah, dan internasional dapat digunakan
sebagai sumber berita. Tercatat data serangan buaya di
Indonesia pada tahun 2000--2014 yang berasal dari 100
sumber berita dan didominasi oleh sumber berita elektronik
(201). Sumber berita daerah lebih banyak berkontribusi
dalam penginformasian serangan buaya (137) dibandingkan
sumber berita nasional (85) dan internasional (4) (Tabel 2).
Citizen science memegang peranan penting dengan
melibatkan masyarakat untuk mengumpulkan data-data
serangan buaya yang dilaporkan di berbagai sumber berita.
Sebagai database berbasiskan citizen science, CrocBITE
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
berkontribusi dalam pengumpulan data serangan buaya di
Indonesia. Walaupun efektif dalam menjaring data serangan,
CrocBITE memiliki keterbatasan karena data yang tersedia
merupakan data sekunder sehingga terdapat beberapa faktor
bias seperti: 1) adanya serangan yang mungkin tidak
dilaporkan, 2) artikel berita serangan tidak berhasil
dikumpulkan terutama untuk sumber berita cetak yang
sudah tua, dan 3) beberapa informasi yang disampaikan
tidak terlalu akurat seperti titik koordinat serangan dan
detail informasi buaya penyerang.
Kita tidak bisa berasumsi bahwa semua entri database
CrocBITE benar-benar akurat, karena beberapa serangan
buaya tidak dilaporkan. Selain itu, ada kemungkinan tidak
terdapat saksi atau bukti adanya penyerangan buaya, atau
serangan diketahui oleh penduduk lokal tetapi tidak pernah
dilaporkan atau direkam, bahkan beberapa daerah dapat
menyembunyikan atau menekan catatan serangan buaya
untuk alasan sosial atau politik. Laporan historis mengenai
data serangan pada tahun 1935 di Indonesia sulit dilakukan
karena keterbatasan sumber daya untuk merekam data
tersebut, tidak seperti diAustralia yang telah memiliki
pencatatan dan pelaporan serangan buaya secara efisien.
Oleh karena itu, verifikasi data oleh CrocBITE sangat
diperlukan untuk meminimalisasi kesalahan yang dibuat dari
sumber yang melapor. Apabila terdapat kesalahan data
insiden yang terdaftar dalam database CrocBITE,
masyarakat dapat memberikan informasi lebih lanjut yang
kemudian akan diverifikasi ulang. Namun demikian,
database CrocBITE berisi informasi yang berharga untuk
memahami pola, tren, dan skenario yang akan meningkatkan
pemahaman tentang konflik buaya-manusia.
Tabel 2. Perbandingan jumlah, jenis, dan skala sumber berita penyerangan buaya pada dua periode waktu
Tahun
Jumlah
Sumber Berita
Jenis Sumber Berita
Skala Sumber Berita
Cetak
Elektronik
Daerah
Nasional
Internasional
2000--2014
100
16
201
132
81
4
1845--1980
-
135
0
-
-
-
3.3. Upaya Mitigasi Serangan Buaya Muara di Indonesia
Serangan buaya umumnya terjadi ketika manusia sedang
melakukan aktivitas rutin seperti mandi, mencuci, dan
menangkap ikan. Berdasarkan hal tersebut, salah satu upaya
mitigasi yang diajukan untuk mengurangi jatuhnya korban
serangan adalah membatasi ruang interaksi di antara buaya
dan manusia [1]. Salah satu metode yang telah berhasil
diterapkan di beberapa negara, seperti India dan Sri Lanka
adalah pembuatan barikade pelindung untuk mandi dan
mencuci di sungai [14]. Upaya mitigasi lain yang dapat
diajukan adalah pembuatan sumur sebagai tempat
penampungan air agar masyarakat tidak bergantung pada air
sungai dan edukasi mengenai kondisi, perilaku, dan
penyebab perilaku agresif buaya muara kepada masyarakat.
Pembentukan zonasi perlindungan buaya dimana aktivitas
manusia dilarang di area zonasi dapat dilakukan untuk
meminimalisir interaksi di antara buaya dan manusia
(Gambar 1 & 2) [1].
Gambar 3. Pembuatan barikade untuk mandi [13]
Gambar 4. Penanda batas pemukiman warga dengan
zona perlindungan buaya [2].
Upaya mitigasi serangan buaya muara sendiri secara tidak
langsung berkaitan dengan upaya konservasi buaya tersebut.
Dengan meminimalisir kontak antara manusia dengan buaya
muara, hal tersebut juga akan mengurangi potensi konfik
manusia-buaya muara. Selain mengurangi jumlah serangan
buaya muara, program mitigasi diharapkan juga dapat
mengurangi intervensi manusia terhadap habitat buaya
muara, sehingga tidak mengancam populasinya.
IV. KESIMPULAN
Eksplorasi database CrocBITE berbasiskan citizen science
menunjukkan adanya pola distribusi serangan buaya di
Indonesia yang mengelompok di daerah tertentu, terutama
Sumatra. Terjadi pergesaran distribusi secara spasial dan
peningkatan jumlah serangan buaya secara temporal dari
periode I hingga II. Mitigasi berupa pembuatan barrier dan
zonasi perlindungan buaya, serta edukasi dapat dilakukan
agar meminimalisir kasus serangan buaya. Upaya mitigasi
serangan yang baik akan mengurangi resiko kematian
manusia dan juga membantu konservasi buaya di alam
liarnya.
V. Acknowledgement
Penulis berterima kasih kepada Bapak A.A. Tahsun
Amarasinghe dari Research Center for Climate Change
University of Indonesia (RCCC UI), Depok atas saran yang
telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Caldicott, D.G.E., D. Croser, C. Manolis, G. Webb, A. Britton,
Crocodile attack in Australia: An analysis of its incidence and review
of the pathology and management of crocodilian attacks in general,”
Wilderness and Environmental Medicine, vol. 16, pp. 143--159, 2005.
[2] Britton, A. & A. Campbell, Croc attacks: a new website with bite,
ECOS online, 2014.
[3] Kurniati, H, Metode survey dan pemantauan populasi satwa seri
kesatu: buaya, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor
(2002).
[4] Webb, G.J.W., S.C. Manolis, & M.L. Brien, “Saltwater Crocodile
Crocodylus porosus,” 2010, [Manolis, S.C. & C. Stevenson (eds)
Crocodiles. Status survey and conservation action plan, 3rd.ed.
Crocodile Specialist Group, Darwin, pp.99--113, 2010].
[5] Bonney, R., C.B. Cooper, J. Dickinson, S. Kelling, T. Phillips, K.V.
Resenberg, & J. Shirk, Citizen science: a developing tool for
expanding science knowledge and scientific literacy,” Bioscience,
vol.59(11). pp.977--984, 2009.
[6] CrocBITE, The Worldwide Crocodilian Attack Database,” Big
Gecko, Darwin (2014), diakses tanggal 12 Juni 2014.
http://www.crocodile-attack.info.
[7] Baddeley, A, Analysing spatial point patterns in R. CSIRO Australia,”
pp.1--199, 2008.
[8] Whitaker, R. & Whitaker Z, “Status and conservation of the Asian
crocodilians In: Crocodiles: their ecology, management, and
conservation” IUCN n.s., Gland, Switzerland, pp.297--308, 1989.
[9] Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971,
1980, 1990, 1995, 2000, 2010,” (2012), diakses tanggal 27 Juni 2014,
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=12.
[10] Santiapillai, C. & M. De Silva Status, distribution and conservation of
crocodiles in Sri Lanka,” Biologica Conservation, (97), pp.305--318,
2001.
[11] Somaweera, R., J.K. Webb, R. Shine, “It’s a dog-eat-corc world: dingo
predation on the nests of freshwater crocodiles in tropical Australia,”
Ecol Res, (26), pp.957--967, 2011.
[12]Irwin, S, Crocodile Conservation, diaksestanggal 8 September 2014,
http://www.australiazoo.com.au/conservation/projects/crocodiles/.
[13] Morpurgo, B., G. Gvaryahu, B. Robinson, Aggresive behavior in
immature captive Nile crocodiles, Crocodylus niloticus, in relation to
feeding,” Physiology and Behavior, (53), pp.1157--1161, 1993.
[14] Crocodile Specialist Group. Human-Crocodile Conflict. Diakses
tanggal 18 Juni 2014..
http://www.iucncsg.org/pages/Human%252dCrocodile-Conflict.html.
... Now, the local authority has to address the growing number of HCC and to come up with solutions to mitigate these incidents. In other countries and regions, HCC have been properly documented over time [12], [13], [14], [15], [16], [17]. ...
... The fatality rate associated with crocodile attack in Sarawak (51.1%) is considered high compared to nearby countries or regions. In Queensland, Australia, 34.3% of attacks by crocodiles since 1971 have been fatal [14], while a fatality rate of 48.8% have been reported in Indonesia from 2000 until 2014 [13]. In comparison, a relatively high fatality rate was recorded in Surdarban, India with 62.2% of attacks [15] and 82.2% for Timor Leste [17]. ...
... The peak month of crocodile attacks was in March, which coincided with the end of the wet season in Sarawak. Similarly, in Indonesia, more crocodile attacks tend to happen at the end of the wet season [13]. [39] suggested several explanations for the marked seasonality of attack by crocodile which could be used to explain the pattern of attacks in Sarawak. ...
Article
Full-text available
Crocodiles have caused a relatively high number of fatalities towards local people in Sarawak, a Malaysian state in Borneo. However, they have important cultural values and are well respected by the riverine communities in the state. The objective of this study is to determine the patterns of human-crocodile conflict in Sarawak which could help in managing the problems between crocodile and human. Information on crocodile attacks were collected from multiple sources including records kept by local authority, media or CrocBITE database. Over a 21 years period (year 2000-2020), the record attacks (n=164) showed a balance between fatal and non-fatal cases. Most common victims in Sarawak were male (86.6%) and adults from the age of 31 to 40 years old (20.7%). The attacks occurred more during the daylight (59.4%), with the peak time for crocodile attacks was approximately between 1800 to 2359 hours (33.3%). Crocodile attacks occur slightly more during the wet season, from October to March (54.0%), with the highest one recorded in March (16.8%). Fishing (26.2%) and bathing (22.0%) in the rivers possess the highest risk of crocodile attack, suggesting that crocodiles are more likely to attack when the victim is in the water. The findings imply that crocodiles' attack pattern in Sarawak is associated with the people’s activities pattern. There is a need to update the database on crocodile attacks in Sarawak on -real time basis as this will facilitate the relevant agencies in formulating the strategies to reduce the number of crocodile attacks and ensuring the safety of the riverine communities.
... Africa and Swaziland, and also Asian countries like Iran, Indonesia, Timor Leste, India and Sri Lanka (Dunham et al., 2010;Pooley, 2014;Stevenson et al., 2014;Amarasinghe et al., 2015;Ardiantiono et al., 2015;Sideleau et al., 2016;Das & Jana, 2018). Meanwhile, in Malaysia particularly in the state of Sarawak where most of the crocodile attacks occurred, there is still lack of proper analysis on the HCC, although several studies had documented attacks data that occurred in recent years (Lading, 2013;Tisen et al., 2013;Abdul-Gani, 2014). ...
... After more than three decades the law was introduced (Section 3. (Ardiantiono et al., 2015). In comparison, relatively high fatality rate was recorded in Surdarban, India with 62.2% of attacks (Das & Jana, 2018) and 82.2% for Timor Leste (Sideleau et al., 2016). ...
... L u p a r R a j a n g B a r a m S a r a w a k S a r i b a s S a d o n g S a m a r a h a n K r i a n K a y a n L i m b a n g O y a K e m e n a M u k a h T a t a u M i r i B a l i n g i a n N i a h T r u s a n L a w a s S i b u t i S u a i S i m i l a j a u crocodile attacks tend to happen at the end of the wet season Ardiantiono et al., 2015). The increasing attacks on human during the wet season most likely associated with the breeding season of crocodiles. ...
Thesis
This study is designed to gather information on historical exploitation and ongoing HCC; recent distribution and ecology of crocodile and genetic relationship of crocodile population in Sarawak, to aid sustainable crocodile management and finding solutions for mitigating the HCC. Historical data saw a connection between the exploitation of crocodile with decreasing trend of HCC in Sarawak from the Rajah Brooke era (1900 – 1941) until the post-war period (1946 – 1979), and an increasing trend of HCC from 1980 until 2017 in response to the recovery of the animal populations. Since 1900, crocodile attacks had been occurred in 22 major river basins (RB) in Sarawak, suggesting that the reptile has been widely dispersed throughout all major river basins in the state. For 118 years (1900 – 2017), the highest number of crocodile attacks were recorded in Lupar RB (22.2%) and the attacks had happened up to the inland areas of Belaga and Pelagus in Rajang RB. Further analysis of incidents show crocodile attacks were associated with the human activities pattern, where more attacks involved male victims (84.4%) and adults from age 31 to 40 years old (19.3%). The data also revealed that crocodile attacks in Sarawak could happen anytime regardless of the time, month, season, lunar cycle or tidal. However, more attacks were recorded during the daylight, in the months of March and April, during the Northeast monsoon, at the nights of the first quarter of the lunar cycle and at the time of high tide. Furthermore, fishing (25.2%) and bathing (24.4%) possess the highest risk of crocodile attack in Sarawak, clearly showed that crocodiles are more likely to attack when the victim is in water. Crocodile survey in selected tributaries in Rajang RB showed the distribution of the reptiles throughout the river basin with higher crocodile density at the lower region, the highest density was in Igan River (1.37 individuals/km); while in the middle and upper regions had recorded relatively low density with the lowest density recorded was in Katibas River (0.06 individuals/km) and no crocodile was spotted in Kanowit River. Four out of eight surveyed rivers in Rajang RB recorded increase in the density of crocodile compare to previous survey suggesting that the crocodile population in the river basin is experiencing recovery. The presence of crocodile in different regions (lower, middle and upper) of Rajang RB indicated that C. porosus in Sarawak live in wide range of habitats; from large salt water river system and small tidal tributaries (near to estuary) in lower region into hypo-saline or fresh water non-tidal tributaries in the middle and upper regions. Variation in term of density and distribution of crocodile between the different regions are mainly influenced by the saline characteristic of the river, habitats and the abundance of food sources for crocodile. Based on the analysis of DNA microsatellite sequence data, distinctive subpopulations of C. porosus according to geographical area (river basin) could be observed. High gene flow (Nm) among the crocodile subpopulations suggests frequent movements of the reptile happen across the river basins throughout Sarawak. In general, populations of C. porosus in Sarawak are experiencing expansion as supported by the mismatch distribution and evolutionary neutrality test data, suggesting that populations of crocodile in Sarawak are panmictic population. The findings of the present study imply that increasing of crocodile attacks is associated with the recovery and increased distribution of the reptile in Sarawak, thus crocodile management should emphasis on mitigating HCC and simultaneously continue the efforts for conservation of crocodile and its habitat. Keywords: Crocodylus porosus, human-crocodile conflict, recovery, expansion.
... Based on information from the database, Indonesia ranked first for crocodile attacks with 1028 cases since 1845 (CrockBITE 2013). Ardiantiono et al. (2015) divide crocodile attack cases based on the data from CrocBITE website into two periods: period I (1845-1890) and period II (2000II ( -2014. In period II, crocodile attack cases were increasing in southern Sumatra, Kalimantan, and Sulawesi. ...
Article
Full-text available
Human-crocodile conflicts (HCC) are problems affecting crocodile conservation. Scientific publications on crocodile attack cases in Indonesia are few with low validation which hinder optimal conflict mitigation efforts. The estuarine river of Kutai National Park is a natural habitat for saltwater crocodiles and mostly nearby dense settlements. This study aims to map the distribution of saltwater crocodiles and potential conflicts in the Kutai National Park area. To predict the distribution of saltwater crocodiles, we used Maximum Entropy MAXENT with its environmental predictors i.e. slope, altitude, distance from shore, distance from river, temperature, and habitat types (mangrove forest, freshwater swamp, and shrubs). MAXENT prediction showed that elevation was the most influential variable with AUC (Average Under Curve) value of 0.952. Settlements with activities occurring within one kilometer from the river and those adjacent to coastal areas proved to be the highest in human conflicts with crocodiles.
Article
Full-text available
Citizen science enlists the public in collecting large quantities of data across an array of habitats and locations over long spans of time. Citizen science projects have been remarkably successful in advancing scientific knowledge, and contributions from citizen scientists now provide a vast quantity of data about species occurrence and distribution around the world. Most citizen science projects also strive to help participants learn about the organisms they are observing and to experience the process by which scientific investigations are conducted. Developing and implementing public data-collection projects that yield both scientific and educational outcomes requires significant effort. This article describes the model for building and operating citizen science projects that has evolved at the Cornell Lab of Ornithology over the past two decades. We hope that our model will inform the fields of biodiversity monitoring, biological research, and science education while providing a window into the culture of citizen science.
Article
Full-text available
Predation on eggs is an important source of mortality for many long-lived organisms, but causes of egg mortality from specific predators remain poorly known in most cases. Understanding the identity of predators, and the rates and determinants of their effects on a cohort of recruits, can provide a valuable background for attempts to exploit, control or conserve populations. We used remotely triggered cameras to study predation on the nests of freshwater crocodiles (Crocodylus johnstoni) inhabiting Lake Argyle, in tropical Australia. We also supplemented our work on natural crocodile nests with artificial nests. Overall, 80 of 111 natural nests were opened by predators, and predation occurred throughout the study period (7weeks). Unlike in other parts of the species’ range, most nest-robbers were dingoes (Canis lupus dingo, responsible for 98% of all predator visits in the northern sites, and 54% in the Ord River site), with minimal additional predation by reptiles and birds. Contrary to expectation, rates of nest predation were not influenced by spatial clumping of nests: the probability of predation per nest did not change with total numbers of nests laid in an area, and artificially aggregated versus dispersed nests experienced similar levels of predation. Nest vulnerability was linked to abiotic features including slope of surrounding banks, compactness of nesting substrate, and distance from the nearest forest. Abundant aquatic food resources support a large crocodile population, but a lack of suitable nest-sites forces the crocodiles to concentrate nesting in small areas readily accessible to wide-ranging nest predators. Collectively, our results suggest that distinctive attributes of the lakeside landscape alter predator guilds and fashion unique predator–prey interactions. KeywordsArtificial nest–Nest-site selection–Predation latency–Remote camera
Article
Full-text available
Crocodilians represent one of the oldest constant animal lineages on the planet, in no small part due to their formidable array of predatory adaptations. As both human and crocodilian populations expand, they increasingly encroach on each others' territories, bringing morbidity and mortality to both populations. In this article, the medical and herpetologic literature pertaining to injuries caused by crocodilians is reviewed, and the patterns of saltwater crocodile attacks in Australia from 1971 to 2004 are analyzed. In this review, we examine the features of crocodilians that contribute to explaining their evolutionary success, as well as the potential hazard they pose to humans. Only by understanding their capabilities is it possible to mitigate the potential threat to life and limb.
Article
Adam Britton is a partner at Big Gecko, a consultancy that specialises in crocodile management, education and training. He is also a Senior Research Associate at Charles Darwin University (CDU) in Darwin. Dr Britton has been doing crocodile-related research and conservation projects for around 18 years. Andrew Campbell is the Director of the Research School for the Environment and Livelihoods at Charles Darwin University. Professor Campbell has been involved in natural resource management in Australia for 25 years, with senior policy roles in land, water and biodiversity management. This article was originally published at The Conversation.
Article
Two species of crocodile occur in Sri Lanka, namely the marsh crocodile (Crocodylus palustris) and the estuarine crocodile (Crocodylus porosus), confined largely to the low-country in the first peneplain. Both species have declined in range and number since the turn of the century, mainly through over-hunting for hide and meat in the past, and conversion of their habitat to other land-uses by man at present. They have been completely extirpated from the Jaffna peninsula in the north. The study on the status and distribution of crocodiles was carried out from 1991 to 1996 during which crocodiles were recorded from 113 localities, 105 of which were inhabited by the marsh crocodile (C. palustris), while 33 localities harboured the estuarine crocodile (C. porosus). The two species were sympatric in 25 localities. Of the 105 localities from which C. palustris were recorded, it was considered rare in 62, common in 35, abundant in five, and perhaps extinct recently in three. Of the 41 large river systems, 32 were found to support crocodiles. Both species of crocodile are particularly abundant and secure in the country's two premier conservation areas: the Ruhuna National Park in the south-east and the Wilpattu National Park in the north-west. It is estimated that there could be at least 1220 marsh crocodiles, and perhaps no more than 300 estuarine crocodiles in Sri Lanka. Crocodiles are being threatened by indiscriminate destruction of the island's mangroves and marsh vegetation for human habitation and prawn farming. In Sri Lanka, the marsh crocodile is known to tolerate concentrations of salt higher than that in sea water for a long time. The estuarine crocodile is known to move a considerable distance in land from the coast. The strong territorial behaviour among the male estuarine crocodiles may perhaps help space the individuals. Crocodiles have a poor image in Sri Lanka. Most rural people consider them a serious and potentially dangerous pest and so do not regret their disappearance from their neighbourhood. Marsh crocodiles can be ranched, but the concept of sustainable utilization of wildlife in general is still anathema to a large segment of the population in Sri Lanka. On the other hand, if crocodiles could benefit people, they are not likely to become extinct.
Article
This study presents five aspects of aggressive behaviour in juvenile Nile crocodiles, Crocodylus niloticus, as observed in five cohorts of 6-18 month-old animals. During this period, the animals grew from a range of 35-55 cm, to a range of 65-115 cm. 1) Stock density related to aggression: decrease in density resulted in significant decrease in the frequency of agonistic events, with 0.64 events/100 crocodiles/min observed in a density of 6.7 crocodiles/m2, compared to 0.26 events/100 crocodiles/min observed in a density of 4.7 crocodiles/m2. 2) Aggression during feeding: in all five groups, there was a significantly higher level of aggression during feeding times. 3) Aggression related to body size: the largest crocodiles were the most aggressive group in agonistic events, mainly against the smallest ones. The largest group, the medium sized, was the least involved in agonistic events. 4) Aggression related to food preference: crocodile food preference was live fish > live chicks > dead fish > ground meat. Except for one food type (live chicks), a significant (p < 0.05) correlation was found between food preference and feeding related aggression in the prey diet groups. 5) Aggression related to an artificial selection for size: removal of the largest crocodiles (which formed 30% of the stock) from the population caused a dramatic decrease in all forms of aggressive behaviour.
Status and conservation of the Asian crocodilians In: Crocodiles: their ecology, management, and conservation
  • R Whitaker
  • Z Whitaker
Whitaker, R. & Whitaker Z, "Status and conservation of the Asian crocodilians In: Crocodiles: their ecology, management, and conservation" IUCN n.s., Gland, Switzerland, pp.297--308, 1989.
Human-Crocodile Conflict
  • Crocodile Specialist Group
Crocodile Specialist Group. "Human-Crocodile Conflict". Diakses tanggal 18 Juni 2014..
The Worldwide Crocodilian Attack Database
  • Crocbite
CrocBITE, "The Worldwide Crocodilian Attack Database," Big Gecko, Darwin (2014), diakses tanggal 12 Juni 2014. http://www.crocodile-attack.info.