ArticlePDF Available

PIERRE BOURDIEU, SANG JURU DAMAI

Authors:

Abstract

Pierre Bourdieu built his theoretical orientation as a solution to what he saw as a false opposition between objectivism and subjectivism; to quote Bourdieu: “absurd opposition between individual and society”. Bourdieu offered a point of view that emphasizes on duality in the relationship between agent and structure, as an alternative to the previously existing dualistic views. Bourdieu refers to his theoretical orientation as genetic structuralism, constructivist structuralism or structuralist constructivism. Through the concept of habitus, field, and capital, Bourdieu integrated objectivism (which emphasizes the role of objective structure in social practice) and subjectivism (which emphasizes the role of agent in social practice). Bourdieu formulated the theory of social practice with the equation (Habitus x Capital) + Field = Practice. Practice, in Bourdieu’s mind, is the product of the relationship between habitus and field, wherein within field itself there are powers at stake, especially between people with capital and people without capital.
PIERRE BOURDIEU, SANG JURU DAMAI
Nanang Krisdinanto
Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Email: nangkris1@gmail.com
ABSTRAK
Pierre Bourdieu membangun orientasi teoreiknya sebagai jalan keluar dari sesuatu
yang disebutnya sebagai oposisi palsu antara objektivisme dan subjektivisme, atau mengutip
kalimat Bourdieu sendiri: “pertentangan absurd antara individu dan masyarakat.” Bourdieu
menawarkan cara pandang dualitas terhadap hubungan agen dan struktur, sebagai alternatif
cara pandang dualisme yang banyak berlaku sebelumnya. Bourdieu menyebut orientasi
teoritiknya sebagai strukturalisme genetik, strukturalisme konstruktivis, atau konstruktivisme
strukturalis. Melalui konsep habitus, ranah (field, champ), dan modal, Bourdieu
mengintegrasikan objektivisme (yang mengedepankan peran struktur objektif dalam praktik
sosial) dan subjektivisme (yang mengedepankan peran agen dalam praktik sosial). Bourdieu
merumuskan teori praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.
Praktik, dalam pikiran Bourdieu, merupakan produk relasi habitus dan ranah, di mana di
dalam ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki
modal, serta orang yang tidak memiliki modal.
Kata Kunci: habitus, modal, ranah, praktik
ABSTRACT
Pierre Bourdieu built his theoretical orientation as a solution to what he saw as a
false opposition between objectivism and subjectivism; to quote Bourdieu: ―absurd
opposition between individual and society‖. Bourdieu offered a point of view that emphasizes
on duality in the relationship between agent and structure, as an alternative to the previously
existing dualistic views. Bourdieu refers to his theoretical orientation as genetic
structuralism, constructivist structuralism or structuralist constructivism. Through the
concept of habitus, field, and capital, Bourdieu integrated objectivism (which emphasizes the
role of objective structure in social practice) and subjectivism (which emphasizes the role of
agent in social practice). Bourdieu formulated the theory of social practice with the equation
(Habitus x Capital) + Field = Practice. Practice, in Bourdieu‘s mind, is the product of the
relationship between habitus and field, wherein within field itself there are powers at stake,
especially between people with capital and people without capital.
Keywords: Habitus, Capital, Field, Practise
PENDAHULUAN
Mengapa pikiran-pikiran Pierre Bourdieu (1930-2002) penting dan menarik
dalam khasanah ilmu sosial? Setidaknya, ada dua hal yang membuat pikiran
Bourdieu unik dan signifikan, terkait dengan upayanya mengatasi masalah dikotomi
individu-masyarakat, agen-struktur sosial, dan kebebasan-determinisme, yang
kemudian disebutnya sebagai strukturalisme genetis, strukturalisme konstruktivis,
atau konstruktivisme strukturalis.
190 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
Pertama, konsep-konsep kuncinya yaitu habitus, modal, dan field bisa
digunakan untuk menyingkap dominasi yang diasumsikan selalu ada dalam
masyarakat, dengan melacak kepemilikan atau akumulasi kepemilikan modal masing-
masing anggota masyarakat. Pada titik ini, Bourdieu keluar dari tradisi Marxian
dengan mendefinisikan model-model dominasi yang tidak hanya berdimensi ekonomi
sebagaimana Marx, tetapi juga dominasi budaya, politik, gender, seni, dan sebagainya
dalam beragam ranah. Bourdieu juga mengembangkan teorinya tentang dominasi
simbolis (praktik kuasa dalam konteks simbolis) untuk membedakan analisisnya
dengan analisis Marxian klasik, di antaranya dengan menyodorkan konsep modal
simbolik, modal kultural, modal sosial, dan modal ekonomi. Dalam kacamata
Bourdieu, hubungan atau pemetaan kekuasaan di dalam masyarakat tidak berbentuk
piramida atau tangga, tetapi lebih berupa konfigurasi yang berdasar kepemilikan dan
komposisi modal-modal yang dimiliki.
Dengan kata lain, Bourdieu mengoreksi Marx yang dianggap terlalu
memperhatikan hubungan-hubungan produksi ekonomi (mereduksi bidang sosial
hanya pada ubungan-hubungan produksi ekonomi) dan mengabaikan hubungan-
hubungan produksi budaya. Dalam pembagian kelas Bourdieu tidak sepenuhnya
mengikuti Marx yang meletakkan basis analisisnya pada hubungan produksi
ekonomi. Jika Marx membagi kelas ke dalam hubungan antagonis antara kelas
pemilik modal/feodal dengan buruh/proletar, Bourdie membaginya ke dalam kelas
dominan, borjuasi kecil, dan populer dengan merujuk pada kepemilikan atau
konfigurasi kepemilikan atas empat jenis modal.
Kedua, perspektif yang khas seperti inilah yang kemudian membuat pikiran-
pikiran Bourdieu bisa digunakan untuk menjelaskan beragam fenomena, atau
tepatnya digunakan untuk membongkar atau menyingkap dominasi (praktik kuasa)
yang ada di dalam beragam ranah, mulai ranah politik, budaya, akademis, sastra,
kesenian, jurnalistik dan sebagainya. Bahkan perspektif yang dikembangkan
Bourdieu ini kemudian mampu menyingkap kepentingan-kepentingan dominatif di
balik apa yang disebut ideologi bakat dan selera budaya.
Secara ringkas, pemikiran Bourdieu setidaknya dibangun di atas integrasi
empat paradigma, yaitu positivisme (tampak pada analisisnya mengenai hukum-
hukum yang berlaku dalam suatu ranah berikut penggunaan data kuantitatif dalam
konsepnya tentang kelas sosial), fenomenologi (tampak pada konsep habitus sebagai
skema kesadaran tindakan seorang agen), strukturalisme (sebagai paradigma maupun
metode analisis), dan Marxisme (tampak pada kepekaan terhadap relasi kuasa dalam
struktur ranah dan mewujud dalam konsepnya tentang dominasi serta kekerasan
simbolik).
Sampai ajal menjemputnya pada 23 Januari 2002, Bourdieu telah menulis
puluhan bahkan ratusan tulisan yang tersebar ke dalam bentuk buku maupun
jurnal.Pikiran-pikiran khas itu tidak lahir dari ruang hampa, tetapi dari beragam
konteks, yaitu konteks pengalaman hidupnya sendiri, konteks sosial-politik di Prancis
saat itu, serta konteks perkembangan ilmu sosial yang terjadi di Eropa (Prancis) dan
Amerika Serikat waktu itu.
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 191
Rendah Diri Anak Tukang Pos
Sejumlah gagasan Bourdieu, terutama yang berkaitan dengan dominasi
(modal dan ranah) sepertinya amat dipengaruhi ketegangan-ketegangan yang terjadi
dalam riwayat hidupnya sendiri. Sesuatu yang terjadi dengan masa kecilnya, masa
muda ketika belajar di Paris, kepergian ke Aljazair mengikuti wajib militer, serta
aktivitas politiknya di Prancis menentang neo-liberalisme, tampak ikut membentuk
cara berpikirnya.
Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di sebuah desa kecil yang bernama
Denguin, di wilayah Pyerenia Atlantik, Prancis. Masa kecil dilewatkannya dalam
kehidupan pedesaan yang sederhana. Bisa disebut, dia berasal dari keluarga yang
kurang berpendidikan. Ayahnya tidak pernah menyelesaikan sekolah formal, meski
ibunya masih bisa melanjutkan pendidikan formalnya sampai usia 16 tahun.
(Grenfell: 2008)
Lulus dari sekolah dasar, Bourdieu melanjutkan pendidikan ke Pau, sebuah
kota yang letaknya cukup jauh dari desanya. Di sini, dia mulai menunjukkan bakat
akademiknya dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dia kemudian menempuh
pendidikan di Louis-le-Grand, Paris, yang disebut-sebut sebagai “tempat pelatihan”
untuk memasuki kampus elite di Paris yang bernama Ecole Normale Superieure
(ENS). Pada tahun 1951, Bourdieu lulus tes ke ENS, dan memilih menekuni filsafat
sampai lulus tahun 1951.
Di sinilah terjadi ketegangan dan traumatisme yang kemudian mempengaruhi
warna gagasan Bourdieu. Gagasannya dipengaruhi trauma saat dia dicerabut dari
asal-usulnya ketika dia memasuki Louis-le-Grand di Paris dan kemudian ENS di
Paris. ENS adalah sekolah tinggi yang amat prestisius. Di kampus itu juga belajar
tokoh-tokoh ilmu sosial seperti Sartre, Levinas, atau Foucoult.
Di ENS, rasa rendah diri mengelayuti hatinya karena merasa berasal dari
daerah terpencil yang nyaris tak dikenal. Dunia yang bukan lingkungannya
membuatnya gagap, terutama saat berhadapan dengan rekan-rekannya yang
kebanyakan berasal dari kalangan borjuis. Mereka tampil cerdas, terpelajar, lincah
dalam bicara. Mereka memiliki kelenturan dalam menggunakan bahasa-cerdik, baik
dalam tulisan maupun tutur kata. Sementara bagi Bourdieu, bahasa-cerdik bukanlah
bahasa ibu. Kendati berhasil dalam karir intelektual, tulisannya tidak memiliki alur
penalaran yang mudah. Kalimat-kalimatnya banyak diwarnai parafrase, yang
merupakan ungkapan tak percaya diri yang ingin menjelaskan segalanya supaya tidak
disalahmengerti. Meski sudah sering diundang sebagai pembicara, tetap saja dia
bukan orator yang fasih. (Haryatmoko: 2003)
Rasa rendah diri itulah yang sepertinya “membimbing” Bourdieu membentuk
cara berpikirnya yang tajam membongkar dominasi dalam masyarakat, dan tidak
hanya meletakkan basis analisisnya di atas hubungan produksi ekonomi melainkan
juga budaya. Konsep-konsep khasnya seperti habitus, modal, dan ranah (yang
kemudian digunakan untuk membongkar atau menyingkap dominasi di dalam
beragam ranah) terlihat seperti cerminan kehidupan masa kecil dan mudanya yang
diselubungi rasa rendah diri atau perasaan keterasingannya dari lingkungan.
Lulus dari ENS, Bourdieu berpindah-pindah mengajar di berbagai tempat,
mulai di Moulins, Fakultas Satra di Alger, Lille, dan menduduki jabatan-jabatan
192 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
prestisius seperti direktur Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS),
direktur pusat kajian sosiologi Eropa dan majalah Actes de la Rocherche en Sciences
Sociales, editor di penerbit Le Sens Common. Pada masa-masa ini, dia menulis
berbagai buku yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Dari Filsafat ke Sosiologi Kritis
Bourdieu mengalami peristiwa yang kemudian ikut mempengaruhi karir
akademisnya dari menekuni filsafat menjadi sosiologi (kritis), yaitu keterpaksaannya
mengikuti wajib militer dan keterlibatannya dalam gerakan-gerakan sosial-politik.
Peristiwa itulah yang membuatnya kian tajam menyoal dominasi.
Pada 1956, saat masih mengajar di Moulins, dia mendapat panggilan wajib
militer ke Aljazair. Pada tahun 1956 dia tiba di Aljazair sebagai serdadu dan filsuf,
namun pulang ke Prancis pada tahun 1960 sebagai etnografer otodidak dan
antropolog sosial. Kehadirannya sebagai serdadu yang juga filsuf di Aljazair
membuatnya senantiasa berupaya menangkap realitas akibat pendudukan Prancis
sebagai bagian dari refleksi teoritisnya (Jenkins: 1992).
Saat tiba di Aljazair, Bourdieu melihat sejumlah kondisi sosial-politik yang
melingkupi Aljazair di bawah kolonialisme Prancis. Pertama, terdapat ketegangan
antara bangsa Barbers Arab, penduduk minoritas yang merupakan warga asli, dan
―pied noir (warga Prancis yang menetap di sana). Kedua, dia menemukan adanya
ketidakstabilan dan kegoyahan pemerintah (penguasa) yang saat itu dikuasai Fourth
Republic. Ketiga, perasaan terluka yang dialami pasukan Prancis menyusul kekalahan
perang di Indo-China pada bulan Mei 1954 (Robin: 1991).
Ketegangan antara orang Eropa dan penduduk Aljazair ini memberi pengaruh
pada hasil karya Bourdieu, yang lalu diterbitkan dengan judul Sosiologie de l‘Agerie,
yang ikut memposisikan dirinya dalam kelompok orang besar dalam ilmu sosial.
Dengan menggunakan strukturalisme Saussure dan Levi Strauss, Bourdieu memberi
penafsiran terhadap bentuk rumah suku Kabyle dan menemukan oposisi binernya.
Studi ini yang disebut-sebut sebagai awal Bourdieu meninggalkan dikotomi
objektivis dan subjektivis (Jenkins: 1992). Dalam buku ini, Bourdieu terlihat
meninggalkan perspektif filsafat menuju antropologi sosial. Perubahan yang terlihat
dipengaruhi oleh keprihatinan mendasar Bourdieu terhadap lingkungan sosial dan
hasratnya terhadap perubahan.
Pengalamannya menjadi bagian kelompok sosial yang didominasi membuat
perjalanan intelektualnya sampai pada keputusan melibatkan diri ke dalam gerakan
politik dan alternatif pada dekade 1990-an. Awal keterlibatannya ke dalam dunia
politik sebenarnya dimulai pada tahun 1984 dan 1988, Bourdieu menjadi anggota
komite yang dibentuk pemerintah sosialis di bawah Francois Mitterand untuk
mengkaji ulang kurikulum dan sistem pendidikan di Prancis. Namun keterlibatannya
tidak lama. Pada 1993, dia menerbitkan buku The Weight of the World yang
mengungkapkan penderitaan sosial di Prancis yang diakibatkan kebijakan neoliberal
yang diadopsi pemerintah sosialis di sana. Beruntun, dia menulis serangkaian buku
dengan tema yang sama (Grenfell: 2008).
Pada periode 1990-an, Bourdieu menjelma menjadi figur publik atau
intelektual yang berpengaruh. Seiring kian banyaknya karya yang diterjemahkan ke
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 193
dalam bahasa Inggris, ketertarikan kepada Bourdieu kian tumbuh di daratan Inggris
Raya dan Amerika Serikat. Pada akhir 1980-an, dia telah menjelma menjadi salah
satu ilmuwan sosial Prancis yang paling banyak dikutip di Amerika Serikat, bahkan
mengalahkan nama besar seperti tokoh strukturalis Claude Levi-Strauss.
Sumbangannya terhadap kajian antropologi, sosiologi bahasa, relasi budaya dan kelas
sosial, dan sosiologi kebudayaan mendapat pengakuan luas. Karya-karyanya menjadi
referensi standar kajian-kajian sosiologi kebudayaan. Tema-tema karyanya merentang
luas dari etnografi masyarakat petani di Aljazair, analisis sosiologis terhadap seniman
dan penulis pada abad ke-19, pendidikan, bahasan, selara konsumen dan selera
budaya, agama, sampai sains dalam masyakarat Prancis modern. Melalui karya-
karyanya, Bourdieu mengukuhkan dirinya sebagai teoritisi sosial besar yang juga
melakukan riset empiris (Swartz: 1997).
Dia kemudian juga muncul di radio dan televisi, sesuatu yang dia hindari
sebelumnya, dan menjadi partisipan aktif dari kelompok-kelompok penekan. Pada
fase ini, Bourdieu mulai menjadi aktivis politik. Beda dengan sejumlah intelektual
Prancis pada masanya, Bourdieu bergabung dengan aktivis di luar kampus dan
terlibat langsung dalam aksi protes atau pemogokan (Susen dan Turner: 2011).
Dia juga menyerukan intelektual mendukung pemogokan pekerja kerata api
di Prancis pada 1995. Pada Maret 1996 dia bahkan menandatangani petisi
pembangkangan sipil melawan hukum Prancis yang memperkeras legislasi imigrasi.
Bourdieu juga membela kaum tunawisma, pensiunan, kaum buruh, aktivis
antirasisme, lesbian-gay, dan imigran. Saat bekas kampusnya diduduki para
pengangguran pada 1998, Bourdieu memihak pendudukan tersebut. Dia juga
melawan penghapusan subsidi atas nama kompetisi global dan pasar bebas. (Mutahir:
2011) Bourdieu dipandang telah menciptakan posisi baru dalam ranah intelektual:
posisi intelektual yang mau terlibat dalam kerja emansipasi.
Karena tulisan dan aktivitas kritisnya, Bourdieu disemati berbagai julukan.
Dia disebut sebagai nabi, dewa, sosiolog teroris (sociological terrorist), diktator
intelektual (intellectual dictator), pemimpin pemujaan (cult leader), dan sebagainya.
(Cabin dalam Dortier: 2005) Nama Bourdieu bahkan diotak-atik dalam permainan
kata menjadi bour-dieu,” yang dalam bahasa Prancis berarti dewa. Pemberontakan
sang dewa ini baru berhenti pada 23 Januari 2002 setelah tubuhnya takluk oleh
kanker.
Konflik dalam Teori Sosiologi AS dan Eropa
―My intention was to bring real-life actors back in who had vanished at the hands of
Lvi-Strauss and other structuralists, especially Althusser. (Jenkins: 1992)
“Tujuan saya adalah mengembalikan aktor ke kehidupan nyata yang telah lenyap
di tangan Levi-Strauss dan strukturalis lainnya, terutama Althusser.”
Kalimat itu pernah diucapkan Bourdieu untuk menjelaskan posisi
perspektifnya yang bersifat dualitas dalam menyikapi ketegangan objektivisme dan
subjektivisme. Di Prancis, tanah air Bourdieu, sifat dan objek diskusi-diskusi
intelektual memang tengah terfokus pada masalah berbagai kekangan struktural dan
194 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
tindakan praktis (Lechte: 2001). Salah satu nama yang disebut Bourdieu, yakni
Claude Levi-Strauss dan Ferdinand de Saussure (yang mengibarkan bendera
strukturalisme), dan Jean Paul Sartre (mengibarkan bendera eksistensialisme),
merupakan representasi dari diskusi di ranah intelektual Prancis saat itu. Kedua
pemikir tersebut sering dipertentangkan.
Levi-Strauss ditempatkan dalam kubu strukturalisme, yang meyakini adanya
struktur yang berdiri sendiri di luar kesadaran individu dan struktur tersebut
memengaruhi tindakan individu. Pendekatan Levi-Strauss lebih bersifat objektivisme
yang cenderung mengabaikan individu. Sebaliknya, Sartre diletakkan pada kubu yang
memiliki pendekatan voluntarisme dalam melihat realitas. Pendekatan ini lebih
bersifat subjektivisme, berakar pada cara pandang fenomenologi yang menempatkan
individu sebagai aktor kreatif dan bebas sebagai subjek.
Apa yang terjadi di dunia intelektual Prancis waktu itu paralel dengan apa
yang terjadi dengan dinamika teori sosial seusai Perang Dunia II. Secara sederhana,
bila ditarik garis besar, ada teori-teori tersebut memiliki kecenderungan
mengutamakan struktur sebagai kekuatan penuh. Asumsinya, masyarakat dibentuk
oleh aturan-aturan, pola yang tersistematisasi menurut fungsi-fungsi, yang lantas akan
tersusun seimbang. Namun di sisi lain, terdapat kecenderungan teoritik lain yang
lebih menilai aktor atau agensi sebagai penentu, yang memiliki kekuatan tunggal
dalam proses kehidupan.
Dengan kata lain, terjadi dualisme dalam teori sosial yang berjalan di atas arus
objektivisme dan subjektivisme. Kelompok subjektivisme mencakup fenomenologi,
eksistensialisme, etnometodologi, dan segala variannya. Sementara objektivisme
meliputi strukturalisme, teori-teori positivis, empiris, dan turunannya. Selanjutnya,
muncul upaya-upaya menjembatani jurang objektivisme dan subjektivisme yang
berupaya mengaitkan antara struktur dan agensi, yang di antaranya dilakukan oleh
Pierre Bourdieu, selain oleh tokoh-tokoh seperti Anthony Giddens, Margaret Archer,
atua Peter L. Berger.
Fenomena ini merupakan bagian dari dua perkembangan yang oleh George
Ritzer dianggap sangat penting dalam teori sosiologi mutakhir. Pertama,
perkembangan dramatis yang sebagian besar terjadi di Amerika Serikat pada tahun
1980-an dan berlanjut hingga sekarang. Perkembangan itu adalah meningkatnya
perhatian terhadap hubungan mikro-makro. Yang kedua adalah perkembangan sejajar
sebagian besar terjadi dalam teori sosiologi Eropa, yaitu meningkatnya perhatian
terhadap hubungan agen dan struktur (Ritzer dan Goodman: 2004).
Kalau di Amerika teori sosial bergulat dengan masalah ekstremitas mikro-
makro, di Eropa perhatian dipusatkan pada masalah hubungan agen-struktur. Pada
satu sisi, sejumlah teori (teori-teori yang subjektivis) memberi kedaulatan pada agen
sebagai aktor kreatif dalam menentukan tindakan. Eksistensialisme Sartre,
fenomenologi Schutz, interaksionisme simbolik Blumer, dan etnometodologi
Garfinkle merupakan contoh subjektivisme yang memusatkan perhatian pada cara
agen memikirkan, menerangkan, atau menggambarkan dunia sosial sambil
mengabaikan struktur objektif di mana proses itu muncul. Di sisi lain, penganut
objektivisme (seperti strukturalisme Saussure dan Levi-Strauss, serta kaum Marxis
struktural menekankan perhatian pada struktur objektif dan mengabaikan proses
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 195
konstruksi sosial melalui proses mana aktor merasakan, memikirkan, dan
membangun struktur ini dan kemudian bertindak berdasar struktur yang dibangunnya.
Itulah konteks perkembangan teori sosial yang menjadi “rahim” bagi
kelahiran pikiran-pikiran Bourdieu.
Konsep Kunci: Habitus, Ranah, dan Modal
―… we have to move beyond the opposition between objectivist theories
and subjectivist theories…‖ (Bourdieu: 1984)
“…kita harus bergerak melampaui oposisi di antara teori-teori objektivis
dan teori-teori subjektivis…”
Kalimat tersebut muncul di salah satu buku Bourdieu yang terbit pada tahun
1984, yaitu Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Kalimat tersebut
merupakan pernyataan posisi Bourdieu terhadap ketegangan antara perspektif
objektivisme dan subjektivisme dalam teori sosial.
Dalam berbagai karyanya, Bourdieu termasuk rajin menyuratkan
keprihatinannya terhadap pengapnya suasana ilmu sosial akibat polarisasi antara
subjektivisme dan objektivisme. Di antaranya dia menyatakan:
―Today the sociology is full of false opposition… the opposition are
real division in the sociological field, between theorist and
empiricist or between subjectivist and objectivist, between
structuralist and phenomenology.‖ (Bourdieu dalam Nicholash:
1994)
“Saat ini teori sosial dipenuhi dengan oposisi palsu… oposisi
tersebut merupakan pembagian yang nyata dalam wilayah
sosiologis, yaitu antara teori dan empiris, antara subjektivis dan
objektivis, atau antara strukturalis dan fenomenologi.”
Dengan menyebut dualisme antara objektivisme dan subjektivisme sebagai
oposisi palsu, Bourdieu terlihat melancarkan kritik sekaligus kepada keduanya.
Dalam pandangan Bourdieu, kedua pendekatan tersebut mengidap sejumlah cacat.
Objektivisme, misalnya, setidaknya memiliki tiga cacat. Pertama, lebih menekankan
penjelasan dalam kerangka material yang menitikberatkan pada keajegan dan
stabilitas tatanan objektif (Calhoun: 1993).
Padahal, realitas sosial juga sarat dengan pergolakan bahkan perubahan di
dalamnya. Kedua, objektivisme menolak representasi-representasi makna yang
dibangun oleh agen-agen sosial. Dengan demikian, objektivisme tidak mengulas
hubungan antarmakna pengalaman agen dalam dunia sosial karena hal itu dianggap
tidak rasional.1 Hal ini menjadikan bangunan simbolis, pengalaman, dan tindakan
196 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
agen sosial ditempatkan di bawah kondisi-kondisi ekonomis, struktur sosial atau
logika budaya. Ketiga, dalam melihat realitas sosial, pendekatan objektivisme
mengalami keterputusan antara pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Hal ini
menciptakan adanya pemisahan antara pengamat dengan yang diamati (Calhoun:
1993). Sebaliknya, terhadap pendekatan subjektivisme pun Bourdieu
memperlihatkan sejumlah cacat dalam mendekati realitas sosial. Pemahaman
subjektivisme yang melihat struktur sosial sebagai kumpulan tindakan dan strategi-
strategi individual menjadikan pendekatan ini tidak mampu mengulas kemunculan
susunan objektif strategi-strategi individu dalam perjuangan hidupnya. Selain itu,
pendekatan subjektivisme gagal menjelaskan pembentukan prinsip-prinsip kerja
realitas sosial (Wacquant dalam Bourdieu dan Wacquant: 1992). Dengan kata lain,
subjektivisme mengabaikan peran struktur objektif dalam memahami realitas sosial.
Melalui kritiknya, Bourdieu ingin mengatakan bahwa pendekatan
objektivisme dan subjektivisme sama-sama tidak memadai untuk memahami realitas
sosial. Dalam bahasa Bourdieu, keduanya sama-sama gagal memahami “objectivity of
subjective.‖ (Bourdieu: 1990b). Dua pendekatan tersebut dinilai Bourdieu saling
bertentangan sebagaimana ditulisnya sebagai berikut:
―Absurd opposition between individual and society.‖ (Bourdieu:
1990a)
“Pertentangan yang absurd antara individu dan masyarakat.“
―… We shall escape from ritual either/or choice between objectivism
and subjectivism. (Bourdieu: 1977)
Kita harus keluar dari ritual memilih salah satu di antara
objetivisme dan subjektivisme.”
Dalam konteks “pertarungan” orientasi teoritik seperti itulah, Bourdieu
melahirkan pikiran-pikirannya yang khas dan segar yang kemudian dia sebut sebagai
strukturalisme genetik. Dalam sejumlah bukunya, Bourdieu konsisten mengibarkan
pikiran-pikirannya untuk menanggulangi pertentangan-pertentangan itu:
―The genetic structuralism I propose is designed to understand both
the genesis of social structures in the literary field and the genesis
of the disposition of the habitus of the agents who are involved in these
structures.‖ (Bourdieu: 1993)
“Strukturalisme genetik yang saya maksud dirancang untuk memahami
asal-usul struktur-struktur sosial dan asal-usul disposisi agen dalam
struktur-struktur yang ada.”
Dalam buku lain, Bourdieu menuliskan apa yang dimaksudkannya dengan
strukturalisme genetik dengan lebih rinci:
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 197
―…the analysis of objective structure… is insperable from the analysis
of the genesis, within biological individuals, of the mental structures
which are to some extent the product of the incorporation of social
structures; insperable, too, from the the analysis of these social
structures themselves…‖ (Bourdieu: 1990a)
“…analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari
analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu
biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur
sosial dan analisis asal-usul struktur-struktur sosial itu sendiri…”
Pendekatan strukturalisme genetik yang digagas Bourdieu ini dianggap
menjadi cakrawala baru dan memberi sumbangan khas dalam menganalisis
masyarakat. Melalui strukturalisme genetik, dia berupaya menyatukan dua unsur
(struktur dan agen/individu) yang belum terdamaikan oleh sejumlah pemikir dengan
mencoba membuat pertautan (integrasi) antara agen dan struktur, antara
subjektivisme dan objektivisme. Strukturalisme genetik berupaya mendeskripsikan
cara berpikir dan cara mengajukan pertanyaan. Dengan metode tersebut, Bourdieu
mencoba mendeskripsikan, menganalisis, dan memperhitungkan asal-usul seseorang
dan asal-usul berbagai struktur sosial. Dengan demikian, analisis struktur-struktur
objektif tidak bisa dipisahkan dari analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam
individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk dari struktur-struktur
sosial sendiri.
Upaya keluar dari dualisme antara objektivisme dan subjektivisme itu
ditawarkan oleh Bourdieu melalui pendekatan yang memerhatikan struktur sekaligus
mempertimbangkan pengalaman subjektif agen. Dengan kata lain, pendekatan yang
mempertautkan atau mengintegrasikan antara agen dan struktur. Cara berpikir ini
melihat bahwa struktur objektif dan representasi-representasi subjektif , agen dan
pelaku, terjalin berkelindan secara dialektif. Cara berpikir inilah yang disebut di atas
sebagai strukturalisme genetis.
Kritik tajam Bourdieu terhadap objektivisme memang sekilas cenderung
mengindikasikan pijakan epistemologisnya ke arah fenomenologi. Bourdieu
menghargai, bahkan menganggap penting, kesadaran subjek dalam proses konstruksi
sosial yang mana di dalamnya subjek menempati posisi sebagai agen yang
mengalami, memikirkan, memahami, dan menggambarkan realitas sosial. Meski pada
beberapa hal sepakat dengan subjektivisme, Bourdieu segera menolak kecenderungan
fenomenologi yang mengabaikan kondisi-kondisi objektif yang menjadi latar subjek
atau agen sosial berada. Bourdieu menolak beberapa hal dari objektivisme dan
menerima sebagian darinya. Pada saat yang sama, Bourdieu mengambil beberapa hal
dari subjektivisme dan menolak sebagian darinya. Metode Bourdieu didasarkan pada
penetrasi timbal-balik antara struktur objektif dan struktur subjektif atau apa yang
dinamakannya dengan internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas
(Mahar dan Harker: 2010).
198 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
Di sinilah kemudian Bourdieu mulai bicara soal apa yang disebutnya sebagai
praktik. Sekali lagi, Bourdieu menekankan bahwa objektivisme dan subjektivisme
sama-sama tidak memadai untuk mengulas realitas sosial. Untuk mengelak dari
dilema objektivisme-subjektivisme tersebut, Bourdieu memusatkan perhatian pada
praktik, yang dilihatnya sebagai hasil hubungan dialektika antara struktur dan
keagenan.
Praktik tak ditentukan secara objektif, dan bukan hasil kemauan bebas. Untuk
menggambarkan perhatiannya terhadap hubungan dialektis antara struktural dan cara
orang membangun realitas itulah, Bourdieu memberi label orientasi teoritisnya
sebagai strukturalisme genesis, atau strukturalisme konstruktivis (constructivist
structuralism) atau konstruktivis strukturalisme (structuralist constructivism) (Ritzer
dan Goodman: 2004).
Dengan strukturalis, berarti sosiologi berusaha mencari proses pola relasi
yang bekerja dibelakang agen. Sementara dengan konstruktuvis, sosiologi berarti
menyelediki persepsi common sense dan tindakan individu. Common sense
merupakan realitas sosial, yang oleh kalangan fenomenologis dan etnometodologis
dilihat hadir secara terpola dan terkadang diterima begitu saja oleh seseorang
(Poloma: 2003). Membaca individu dan kelompok sosial harus bolak-balik antara
struktur objektif dan subjektif (Mutahir: 2011).
Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan pengertian-
pengertian subjektif, struktur dan agen, bertemu. Pertemuan itulah yang disebut
Bourdieu sebagai praktik. Sepanjang karirnya dia berupaya membangun model
teoritis tentang praktik sosial, bangunan teori yang berusaha lepas dari jeratan
dikotomi objektivisme dan subjektivisme. Praktik dipahami Bourdieu sebagai hasil
dinamika dialektis antara internalisasi eskternalitas dan eksternalisasi internalitas.
Eksternal adalah struktur objektif yang ada di luar perilaku sosial, sedangkan
internalitas merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial.
Dunia sosial merupakan praktik sosial. Bourdieu menyodorkan rumus
generatif tentang praktik sosial dengan persamaan:
(Habitus x Modal) + Arena = Praktik.
Melalui persamaan tersebut, Bourdieu hendak menyodorkan konsep-konsep
kunci untuk mendalami pertautan antara agen dan agensi, untuk mendamaikan
pertikaian objektivisme dan subjektivisme, yaitu konsep habitus (dengan komposisi
dan konfigurasi kepemilikan atas modal/sumber daya/capital) dan ranah (field,
champ).
Habitus: Dibentuk Sekaligus Membentuk Struktur
Habitus yang dimaksud di sini bukanlah sekadar kebiasaan atau tabiat yang
melekat dalam kepribadian seseorang. Bagi Bourdieu, konsep habitus menyiratkan
sesuatu yang kompleks dan rumit. Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai:
―System of durable, transposable disposition, structured structures
predisposed to function as structuring structures, that is, as principles
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 199
of the generation and structuring of practices and representations
which can be objectively ‗regulated‘ and ‗regular‘ without anyway
being the product of obedience to rules, objectively adapted to their
goals without presupposing a conscious aiming at ends or an express
mastery of the operations necessary to attain them and, being all this,
collectively orchestrated without being the product of the orchestrating
action of a conductor.‖ (Bourdieu: 1977; p. 4, Bourdieu: 1990b; p. 53)
“Sistem dosposisi yang bertahan lama, dapat berubah-ubah, struktur-
struktur yang tersetruktur berkecenderungan untuk berfungsi sebagai
struktur-struktur yang mengalami proses penstrukturan, sehingga
sebagai prinsip-prinsip penerusan dan penstrukturan praktik-praktik
dan representasi-representasi yang dapat secara objektif “diatur”
sekaligus “teratur” tanpa, dengan cara apapun, menjadi hasil
(bentukan) sikap ketundukan terhadap berbagai aturan, yang secara
objektif disesuaikan dengan tujuan-tujuan mereka tanpa perlu
mensyaratkan upaya untuk mencapai tujuan secara sadar atau suatu
ungkapan penguasaan atas tindakan-tindakan yang perlu ditempuh
untuk meraihnya dan, dengan ini semua, secara kolektif
diorkestrasikan tanpa perlu menjadi hasil dari pengorkestrasian oleh
seorang konduktor.
Dalam bahasa lebih sederhana, George Ritzer menyebut habitus sebagai
“struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan
sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang
digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui
pola-pola ituah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara
dialektika, habitus adalah “produk internalisasi struktur” dunia sosial. (Ritzer dan
Goodman: 2004)
Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Di satu pihak,
habitus adalah “struktur yang menstruktur” (structuring structures). Maksudnya,
habitus adalah sebuah “struktur yang menstruktur” kehidupan sosial. Di lain pihak,
habitus adalah “struktur yang terstruktur” (structured structure), yaitu struktur yang
distrukturisasi oleh dunia sosial. Dengan bahasanya yang khas, Bourdieu juga pernah
melukiskan habitus sebagai:
―...dialectic of the internalization of externality and the
externatization of internality.‖ (Bourdieu: 1977)
“...dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas.”
Habitus juga bisa dibayangkan sebagai “struktur sosial yang diinternalisasikan
dalam suatu wujud.” Habitus mencerminkan pembagian objektif dalam struktur kelas
seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh
sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Jadi habitus
akan berbeda-beda, tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial.
Tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama
200 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
cenderung memiliki kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula
menjadi fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial,
tetapi dengan adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak
dapat dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. Habitus yang ada pada waktu
tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode
historis relatif panjang (Bourdieu: 1977).
Pada akhirnya, konsep habitus ini merupakan cara Bourdieu untuk lari dari
keharusan memilih antara subjektivisme dan objektivisme, lari dari pemikiran filsafat
tentang subjek tanpa melepaskan diri dari pemikiran tentang agen, menghindarkan
diri dari filsafat tentang struktur, tetapi tak lupa memperhatikan pengaruhnya
terhadap dan melalui agen.
Dengan kata lain, habitus juga merupakan cara Bourdieu melepaskan diri dari
kungkungan strukturalisme yang “tidak mempunyai” subjek, sekaligus melepaskan
diri dari kungkungan subjektivisme yang tidak memiliki struktur. Dari para
fenomenolog, Bourdieu mengaku menemukan cara memahami dan menganalisis
pertautan antara praktik individu dan dunia yang tidak bersifat intelektualis atau
mekanistis belaka (Mahar dan Harker: 2010).
Habitus juga merupakan proses bagaimana agensi tidak menerima mentah-
mentah struktur. Agensi yang menginternalisasi struktur, tetap mempunyai ruang-
ruang refleksi atas pilihan-pilihan rasionalnya, prinsip-prinsip, strategi-strategi
sebagai saringan sebelum agensi mengimprovisasinya.
Ranah: Pertarungan Agen Berebut Posisi
Konsep habitus tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebut Bourdieu sebagai
field (ranah), karena keduanya saling mengandaikan hubungan dua arah: struktur-
struktur objektif (struktur-struktur bidang sosial) dan struktur-struktur habitus yang
telah terintegrasi pada perilaku. (Mahar dan Harker: 2010) Sementara habitus ada di
pikiran aktor, ranah ada di luar pikiran mereka.
Dengan kata lain, habitus mendasari ranah, atau habitus beroperasi dalam
suatu ranah. Dalam karya-karyanya yang masih berbahasa Prancis, Bourdieu sering
menyebutnya sebagai champ. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
terminologi itu berubah menjadi field. Sedangkan ketika diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia konsep itu menjelma menjadi sejumlah kata namun dengan
pengertian yang sama. Ada yang menerjemahkannya menjadi ranah, arena, atau
lingkungan. Dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut ranah.
Bourdieu sendiri mendefinisikan ranah sebagai berikut:
―In analytic terms, a field may be defined as a network, or a
configuration, of objective relations between positions. These
positions are objectively defined, in their existence and in the
determinations they impose upon their occupants, agents or
institutions, by their present and potential situation (situs) in the
structure of the distribution of species of power (or capital) whose
possession commands access to the specific profits that are at
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 201
stake in the field, as well as by their objective relation to other
positions (domination, subordination, homology, etc.) (Bourdieu
dan Wacquant: 1992).
“Dalam terminologi analitik, sebuah ranah bisa didefinisikan
sebagai sebuah jaringan, atau konfigurasi, hubungan-hubungan
objektif antarberbagai posisi. Posisi didefinisikan secara objektif,
dalam keberadaannya dan dalam determinasi determinasi yang
dipaksakannya kepada mereka yang menempatinya, yaitu agen dan
lembaga, oleh situasi aktual dan situasi potensial dalam struktur
pembagian kekuasaan (atau modal) di mana kepemilikan atas
kekuasaan (atau modal) membuka akses ke dalam suatu
keuntungan yang menjadi taruhan dalam ranah, sebagaimana juga
dalam relasi objektifnya dengan posisi-posisi lainnya (dominasi,
subordinasi, homologi, dll).
Dalam perspektif Bourdieu, agen-agen tidak bertindak dalam ruang hampa,
melainkan dalam situasi-situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi
sosial yang objektif. Agar bisa memahami sebuah situasi atau suatu konteks tanpa
kembali jatuh ke dalam determinisme analisis objektivistik inilah Bourdieu
mengembangkan konsep ranah. Menurut model teoritis Bourdieu, pembentukan
sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian ranah yang terorganisasi secara
hirarkis (ranah ekonomi, pendidikan, politik, sastra, dan sebagainya).
Ranah-ranah didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-
kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri, yang
terlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi, kecuali dalam kasus ranah ekonomi
dan ranah politik itu sendiri. Kendati tiap ranah relatif otonom, namun secara
struktural mereka tetap homolog satu sama lain, Strukturnya, di momen apapun,
ditentukan oleh relasi-relasi di antara posisi-posisi yang ditempati agen-agen di ranah
tersebut. Ranah adalah konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tak
mau menyebabkan perubahan struktur ranah (Bourdieu: 1993).
Dalam hal ini, yang dimaksud Bourdieu sebagai pergulatan, perjuangan, atau
pertarungan dalam arena bukanlah yang punya arti fisik, melainkan simbolik. Ranah
hanya bisa dimengerti sepenuhnya apabila kita memperlakukannya sebagai ranah
memperebutkan monopoli pemakaian legitim kekerasan simbolis. (Bourdieu: 1993)
Dalam bangun teoretiknya, Bourdieu sering menggunakan istilah kuasa simbolik,
kekerasan simbolik, dan relasi simbolik secara bergantian. Ketiga istilah tersebut
digunakan untuk menjelaskan proses reproduksi sosial yang melibatkan agen-agen
dalam suatu ranah. Masing-masing agen memiliki modal dan habitus berlainan,
namun saling berkontestasi antara satu sama lain.
Kuasa simbolik sendiri, menurut Bourdieu adalah :
―…power of constituting the given through utterances, of making
people see and believe, of confirming or transforming the vision of the
world and, thereby, action of the world and thus the world itself…‖
(Bourdieu: 1991; p. 170)
202 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
“…kuasa untuk mengubah dan menciptakan realitas, yakni mengubah
dan menciptakannya sebaga sesuatu yang diakui, dikenali, dan juga
sah, untuk membuat orang melihat dan percaya, untuk memperkuat
atau mengubah cara pandang terhadap dunia dan bagaimana
mengubah dunia itu sendiri.”
Secara implisit, definisi kuasa simbolik sangat terkait dengan habitus, yakni
upaya membuat cara pandang orang menyangkut persepsi dan apresiasi bergerak
pada arah tertentu. Bourdieu menjelaskan proses terjadinya atau mekanisme kuasa
simbolik ini melalui apa yang disebutnya doksa, yakni seperangkat kepercayaan
fundamental yang bahkan dirasa tidak perlu dieksplisitkan, seakan suatu dogma (Deer
dalam Grenfell: 2008). Dengan kata lain, doksa adalah suatu kepercayaan yang
diterima apa adanya, tidak pernah dipertanyakan, yang telah mengarahkan cara
pandang seseorang dalam mempersepsi dunia atau arena di mana doksa tersebut
berada. Atau dalam kalimat singkat Bourdieu: ―the universe of the undiscussed‖ atau
“semesta yang tak terdiskusikan.”
Proses kuasa simbolik bisa disebut terjadi saat otonomi ranah tersebut
melemah sehingga memungkinkan munculnya pemikiran lain yang disampaikan
agen-agen dalam ranah tersebut untuk mempertanyakan, menantang, atau bahkan
menggantikan doksa yang dimaksud. Pada titik ini, Bourdieu menyebut konsep
heterodoksa dan ortodoksa. Pemikiran “yang menantang“ tersebut disebutnya sebagai
heterodoksa, yaitu pemikiran yang disampaikan secara eksplisit yang
mempertanyakan sah atau tidaknya skema persepsi dan apresiasi yang tengah berlaku.
Sedangkan ortodoksa merujuk pada situasi di mana doksa dikenali dan diterima
dalam praktik. Dengan kata lain, kelompok dominan yang memiliki kuasa berusaha
mempertahankan struktur ranah yang didominasinya dengan memproduksi ortodoksa
(Deer dalam Grenfell: 2008).
Sampai di sini, Bourdieu mulai menyebut konsep kunci lainnya yaitu modal.
Pasalnya, posisi berbagai agen dalam ranah ditentukan oleh jumlah dan bobot relatif
dari modal yang mereka miliki. Bourdieu mengusulkan visi pemetaan hubungan-
hubungan kekuasaan dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi-
posisi dan kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini tidak berbentuk piramida atau
tangga, melainkan lebih berupa lingkup pembedaan atas dasar kepemilikan modal-
modal dan komposisi modal-modal.
Modal: Koreksi Terhadap Tradisi Marxian
Ketika berbicara modal, Bourdieu mengembangkan konsepsinya sendiri
secara menarik. Dia berangkat dari pemikiran, kepentingan atau sumber daya yang
dipertaruhkan di dalam ranah tidak selalu berbentuk materi. Kompetisi di antara
agen-agen juga tidak selalu didasarkan pada kalkulasi secara sadar.
Saat mengembangkan konsep tentang modal, Bourdieu tampak berbeda
dengan ilmuwan sosial lain. Pada awalnya, Bourdieu memang masih tampak
menyajikan analisisnya tentang modal dengan warna Marx yang kental. Dalam
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 203
tradisi Marxian, bentuk-bentuk modal didefinisikan dengan merujuk pada penguasaan
ekonomi. Konsepsi Marxian tentang modal dianggap terlalu menyempitkan
pandangan atas gerak sosial yang terjadi dalam masyarakat. Namun Bourdieu tetap
menganggap penting modal ekonomi, yang di antaranya adalah alat-alat produksi
(mesin, tanah, tenaga kerja), materi (pendapatan, benda-benda), dan uang. Modal
ekonomi merupakan modal yang secara langsung bisa ditukar, dipatenkan sebagai
hak milik individu. Modal ekonomi merupakan jenis modal yang relatif paling
independen dan dan fleksibel karena modal ekonomi secara mudah bisa digunakan
atau ditransformasi ke dalam ranah-ranah lain serta fleksibel untuk diberikan atau
diwariskan pada orang lain.
Namun selain modal ekonomi, Bourdieu juga menyebut modal simbolik,
modal kultural, dan modal sosial:
―…These fundamental social powers are, according to my empirical
investigation, firstly economic capital, in its various kinds; secondly
cultural capital or better, informational capital, again in it different
kinds; and thirdly two forms of capital that are very strongly
correlated, social capital, which consists of resources based
connections and grup membership, and symbolic capital, which is the
form the different types of capital take once they are perceived and
recognized as legitimate.‖ (Calhoun dalam Calhoun: 1993; p. 170)
Kekuatan-kekuatan sosial yang mendasar ini adalah, menurut
penyelidikan empiris saya, pertama modal ekonomi, dalam berbagai
bentuknya; kedua modal kultural atau tepatnya, modal informasi, lagi-
lagi dalam berbagai bentuknya; dan yang ketiga adalah dua bentuk
modal yang sangat berkaitan, modal sosial, yang tersusun dari
kekuatan yang berbasis koneksi dan keanggotaan dalam kelompok
tertentu, dan modal simbolis, yang merupakan jenis modal lain yang
sering dipersepsi dan dikenali sebagai legitimasi.”
Modal simbolik mengacu pada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,
konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan
(connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). (Bourdieu: 1993) Modal simbolik
tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk
mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi,
berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas
di daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang
tidak mencolok mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya. Misalnya, gelar
pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu
menanti, cara mengafirmasi otoritasnya (Haryatmoko: 2003).
Modal sosial termanifestasikan melalui hubungan-hubungan dan jaringan
hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan
dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial atau jaringan sosial ini
dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang
memiliki kuasa (Bourdieu: 1993; Haryatmoko: 2003).
204 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
Seperti halnya modal ekonomi, jenis-jenis lain modal tersebar tidak merata di
antara kelas-kelas sosial dan fraksi-fraksi kelas. Meskipun jenis-jenis modal itu sama-
sama bisa diubah dalam kondisi tertentu (contohnya, jenis dan jumlah modal kultural
yang tepat bisa diubah menjadi modal ekonomi melalui penempatan yang
menguntungkan di pasar tenaga kerja), mereka tidak bisa direduksi satu sama lain.
Kepemilikan modal ekonomi tidak serta-merta mengimplikasikan kepemilikan modal
kultural atau simbolis.
Meskipun memiliki peran penting dalam praktik, modal-modal tersebut
tidak otomatis memiliki kekuatan signifikan di dalam suatu ranah. Setiap ranah
memiliki kebutuhan modal spesifik yang berbeda dengan kebutuhan ranah lain.
Kekuatan modal ekonomi seseorang dalam ranah kekuasaan boleh jadi efektif
memampukannya bertarung, namun dalam ranah sastra, yang pertaruhannya ada
pada legitimasi, yang dibutuhkan lebih pada modal kultural serta modal simbolik.
Bourdieu mengilustrasikan perbedaan jenis modal yang signifikan berikut efeknya
sebagai berikut:
There is thus a chiasmatic structure, homologous with the structure
of the field of power, in which, as we know, the intellectuals, rich in
cultural capital and (relatively) poor in economic capital , and the
owners of industry and business, rich ini economic capital and
(relatively) poor in cultural capital, are I opposition…” (Bourdieu:
1993; p. 185)
Ada sebuah struktur yang bersilangan yang homolog dengan struktur
arena kuasa di mana, seperti yang kita ketahui, para intelektual, yang
kaya dengan modal kultural dan (relatif) miskin dalam modal
ekonominya, dan para pemilik industri dan pebisnis, yang kaya
dengan modal ekonomi namun relatif miskin dalam modal kultural,
berada dalam oposisi satu sama lain.”
Dengan demikian, modal punya kaitan erat dengan habitus. Modal hadir
dalam diri seseorang atau bersamaan dengan habitus. Sebagaimana habitus, modal
menjadi bagian tak terpisahkan dari pertarungan agen di dalam ranah (Bourdieu:
1991). Habitus senantiasa menemukan dirinya dalam ranah, sedangkan ranah
memasang modal sebagai bagian penting di dalam dirinya.
Penutup: Kritik Terhadap Pikiran Bourdieu
Meski disebut unik dan signifikan dalam khasanah teori sosial, namun
pikiran-pikiran Bourdieu tetap saja mengundang kritik. Salah satunya terkait caranya
menggunakan bahasa.
―...text of the complexity of Bourdieu‘s a nightmare to read.‖ (Jenkins: 1992)
“...teks karya Bourdieu yang kompleks seperti mimpi buruk untuk dibaca.”
Kalimat itu ditulis Richard Jenkins untuk mengilustrasikan gaya bahasa
Bourdieu yang banyak mengundang kritik. Memang, di luar kekhasan dan kesegaran
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 205
orientasi teoritiknya, sebagaimana para pemikir lainnya, Bourdieu juga tak lepas dari
sejumlah kritik. Gaya bahasa adalah salah satu yang banyak dikritik dari Bourdieu.
Dalam keseluruhan karyanya, Bourdieu cenderung menggunakan kalimat
panjang, rumit, berlebihan, beranak-pinak dan seperti sengaja berjarak dari bahasa
kebanyakan sehingga nyaris tak terpahami. Tulisan Bourdieu dianggap selalu
mengulang-ulang gagasan yang sama dengan istilah-istilah teknis. Belum lagi
konsep-konsepnya yang menambah kerumitan gaya bahasanya.
Kritik lain terkait konsepsinya tentang ranah. Pemahaman bahwa ranah adalah
tanah perjuangan atau pergulatan dianggap mereduksi “dunia kehidupan.” Hal ini
membuat relasi sosial seolah-olah hanya terdiri atas pertarungan memperebutkan
posisi-posisi belaka. Cara pandang ini mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan
lain yang juga penting dalam kehidupan, seperti hubungan-hubungan kerja sama antar
agen. Konsepsi ranah seperti itu juga menyembunyikan kemungkinan adanya
pengalaman-pengalaman lain, seperti persahabatan, cinta, atau solidaritas, yang
cenderung terabaikan dalam pemahaman ranah sebagai arena perjuangan. Adanya
rumah yatim piatu, penampungan gelandangan, solidaritas untuk para penganggur,
atau LSM yang memprioritaskan pendampingan pendampingan dan advokasi
menunjukkan bahwa rasa tanggung jawab untuk orang lain serta bela rasa mempunyai
tempat penting dalam berfungsinya sektor-sektor publik (Haryatmoko: 2003).
Kritik lain terkait orientasi teoritisnya yang diklaim berhasil mendamaikan
objektivisme dan subjektivisme. Namun banyak yang melihat, orientasi teoritiknya
masih terjebak dan mengakar pada objektivisme. Posisi teoritisnya dilihat masih
menitikberatkan pada determinisme.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre Bourdieu. (1977). Outline of Theory of Practise, London,
Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre dan Loic J.D Wacquant. (1992). An Invitation to Reflexive
Sociology, Cambridge, Polity Press.
Bourdieu, Pierre. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of
Taste, Massachusetts, Harvard University Press.
Bourdieu, Pierre. (1990a). In Other Words: Essays Towards a Reflexive
Sociology, Cambridge, Polity Press.
Bourdieu, Pierre. (1990b). The Logic of Practise, California, Stanford University
Press.
Bourdieu, Pierre. (1991). Language and Symbolic Power, Cambridge, Polity Press.
Bourdieu, Pierre. (1993). The Field on Cultural Production: Essays on Art and
Literature, Cambridge, Polity Press.
Bourdieu, Pierre. (2004). The Algerians, Toronto, Beacon Press.
Cabin, Phillipe dan Francois Dortier. (2005). Sosiologi: Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya, Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Calhoun, Craig. (1993). Pierre Bourdieu: Critical Perspective, Chicago, The
University of Chicago Press.
Grenfell, Michael dan Cheryl Hardy. (2007). Art Rules: Pierre Bourdieu and the
Visual Arts, New York, Berg.
206 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
Grenfell, Michael. (2008). Pierre Bourdieu: Key Concepts, Trowbirdge, Cromwell
Press.
Haryatmoko, “Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu:
Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, dalam Basis No. 11 12, Tahun
Ke-52, November Desember 2003
Jenkins, Richard. (1992). Key Sociologist: Pierre Bourdieu, London, Routledge.
Lechte, John. (2001). 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai
Posmodernisme, Yogyakarta, Kanisius.
Mahar, Chleen dan Richard Harker. (2010). (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu,
Jogjakarta, Jalasutra.
Mutahir, Arizal. (2011). Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan untuk
Melawan Dominasi, Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Nicholash, Dirk et.al. (1994). Culture/Power/History: A Reader in Contemporary
Social Theory, Princeton, Princeton University Press.
Poloma, Margareth. (2003). Sosiologi Kontemporer, Jakarta. PT Raja Grafindo.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. (2004). Teori Sosiologi Modern, Jakarta,
Kencana.
Robin, Derek. (1991). The Work of Pierre Bourdieu: Recognizing Society, San
Fransisco, Westview Press.
Susen, Simon dan Bryan S. Turner. (2011). The Legacy of Pierre Bourdieu: Critical
Essays, London, Anthem Press.
Swartz, David. (1977). Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu,
London, The University of Chicago Press.
Webb, Jen, et.al. (2002). Understanding Bourdieu, London, SAGE Publication.
... Lahirnya Teori Bourdieu berasal dari kritik terhadap Marx yang dianggap hanya mendominasi produksi budaya dan mengabaikan produksi ekonomi (Krisdinanto, 2014). Bourdieu juga mengungkapkan bahwa dunia sosial tidak dapat dipahami hanya semata-mata sebagai kumpulan perilaku individu atau hanya sebagai tindakan yang ditentukan oleh struktur. ...
... Modal berarti kemampuan efektif seseorang dalam menyesuaikan diri dengan adanya keuntungan dan dapat berjuang dalam suatu arena (Haryanto, 2014). Sama halnya dengan habitus, modal menjadi bagian penting dari pertandingan aktor di dalam ranah (Krisdinanto, 2014). Bourdieu membagi modal dalam 4 bagian yakni modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal budaya. ...
... Modal Simbolik Bourdieu memandang sebagai atribut, status atau legitimasi yang digunakan agen sosial dalam menunjukkan kekuasaan simbolik. Bourdieu berpendapat bahwa modal simbolik erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik dimana kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan kesetaraan dengan kekuasaan ekonomi berkat adanya mobilisasi (Krisdinanto, 2014). KTN memiliki modal simbolik para anggota yang memiliki kondisi atau simbol "netra" yang mana mencoba mendobrak dominasi atas stigma yang berkembang di masyarakat mengenai penyandang disabilitas netra dengan melakukan aktivitas pemberdayaan secara rutin di Desa Babadan Kabupaten Blitar serta dapat menghasilkan suatu produk dan jasa yang dapat dirasakan dan diterima oleh oleh masyarakat serta anggota dalam KTN itu sendiri. ...
Article
Full-text available
Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas pemberdayaan dan praktik sosial yang terbentuk melalui KTN di Desa Babadan Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Perbedaan penelitian dengan penelitian terdahulu terletak pada pelaku pemberdayaan yang juga merupakan seorang penyandang disabilitas. penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang dilakukan pada bulan Februari-November 2023. Penelitian ini akan dianalisis melalui rumus teori praktik sosial Pierre Boudieu (Habitus x Modal) +Ranah=Praktik. Metode analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif oleh Miles dan Huberman yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang mana data primer diperoleh dari proses pengamatan dan hasil wawancara lapangan dengan 7 pelaku pemberdayaan dan 4 stakeholder KTN sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai literatur yang relevan dengan konsep peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan penyandang disabilitas netra melalui KTN memiliki aktivitas pelatihan skill dan kemampuan yakni produksi keset, telur asin, sambal pecel, baca tulis huruf braille, dan skill pijat secara rutin setiap minggunya dapat memberikan kemandirian skill yang berkelanjutan bagi anggotanya. Praktik sosial pemberdayaan KTN terbentuk dari adanya kombinasi pola perubahan habitus menuju ke arah yang lebih baik, modal sosial yang kuat, yang mana menjadi penentu keberadaan ranah yakni pemberdayaan KTN di Desa Babadan Kabupaten Blitar. Penelitian memiliki kontribusi akademis yakni korelasi antara praktik sosial dalam pemberdayaan penyandang disabilitas netra melalui sebuah komunitas.
... Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menganalisis tradisi begawe melalui teori Fungsionalisme Struktural dari Emile Durkheim (Sitorus, 2022) dan konsep modal sosial dari Pierre Bourdieu (Krisdinanto, 2014). Penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Samprudin dengan judul dampak tradisi begawe merarik terhadap sosial ekonomi masyarakat islam sasak di kota mataram lebih banyak menyoroti aspek budaya dari tradisi begawe tanpa mengaitkannya dengan peran sosial yang dibangunnya dalam masyarakat. ...
... Dengan demikian, partisipasi dalam begawe tidak hanya menjadi aktivitas individu tetapi juga kolektif, memperkuat rasa identitas bersama dalam masyarakat. Pierre Bourdieu menambahkan bahwa kebiasaan seperti ini menciptakan habitus atau pola pikir yang diwariskan melalui interaksi sosial (Krisdinanto, 2014), sehingga elemen budaya yang dilestarikan melalui tradisi begawe memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas kolektif dan menegaskan posisi masyarakat Dusun Tibulilin dalam mempertahankan warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi. ...
Article
Full-text available
Penelitian ini menganalisis tradisi begawe di Dusun Tibulilin sebagai konstruksi sosial yang berperan dalam memperkuat solidaritas sosial, membentuk identitas kolektif, dan memperkokoh modal sosial masyarakat. Begawe merupakan tradisi gotong royong dalam penyelenggaraan acara keluarga atau hajatan besar, di mana seluruh anggota masyarakat terlibat aktif. Menggunakan pendekatan kualitatif berbasis observasi partisipatif, penelitian ini mengacu pada teori Fungsionalisme Struktural Emile Durkheim dan konsep modal sosial Pierre Bourdieu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa begawe tidak hanya sekadar ritual budaya, tetapi juga sarana penguatan hubungan sosial melalui solidaritas mekanik, tercermin dari kerja sama lintas individu tanpa memandang perbedaan. Elemen budaya seperti pakaian adat dan makanan khas bertindak sebagai simbol identitas kolektif yang memperkuat kesadaran bersama terhadap nilai-nilai lokal. Praktik gotong royong selama begawe memperkuat jaringan sosial, menciptakan rasa saling percaya, dan menjaga stabilitas sosial. Temuan ini menunjukkan bahwa tradisi begawe tetap relevan di tengah tantangan modernisasi, berperan sebagai wujud harmoni sosial yang bertahan dan berkembang di era globalisasi.
... Dalam hal ini, habitus adalah proses di mana kapasitas bertindak tidak menerima struktur secara membabi buta. Dengan menginternalisasi struktur, lembaga menyediakan ruang untuk refleksi atas keputusan, prinsip, dan strategi rasional sebagai filter sebelum lembaga berimprovisasi (Krisdinanto, 2016). ...
Article
Full-text available
Media sosial adalah wadah untuk berkomunikasi dan berbagi aktivitas sehari-hari atau penting melalui tulisan atau foto. Instagram adalah salah satu platform jejaring sosial yang paling umum digunakan. Public figur tampaknya menjadi simbol bagi mereka. Apa yang mereka lakukan dapat dilihat di Instagram. Di Instagram, mereka memiliki banyak penggemar (mengikuti). Citra yang mereka bangun menggunakan Instagram didasarkan pada konsep diri yang mereka kembangkan melalui personal branding. Artikel ini mengulas dua akun Instagram public figure politik, yaitu Ganjar Pranowo (ganjar_pranowo), Ridwan Kamil (ridwankamil), berdasarkan karakter akun masing-masing dan bagaimana mereka menggambarkan diri mereka sebagai public figure politik melalui Instagram melalui berbagai aktivitas dan pola yang ditunjukkan melalui unggahan fotografi atau tulisan. Pembahasan ini menggunakan teori struktural konstruktif atau teori praktik sosial berdasarkan habitus, ranah, modal, dan kekerasan simbolik yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Dari artikel ini dapat disimpulkan bahwa ketika public figure politik muncul di media sosial, mereka membayangkan diri mereka sebagai public figur politik dan berusaha menampilkan diri mereka sebaik mungkin dengan menggunakan modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik untuk tampil mendominasi. Selanjutnya, dampak pada akun public figure politik dapat digambarkan sebagai pelabelan masyarakat atas dominasi simbolik.
... Menurut Bourdieu, individu sebagai agen dapat dipengaruhi oleh habitus, namun sebaliknya, individu juga berperan sebagai agen yang aktif dalam membentuk habitus (Krisdinanto, 2014). Tindakan yang dilakukan oleh informan penelitian dalam mempromosikan jurnalisme keberagaman adalah contoh konkret dari peran aktif agen dalam membentuk habitus. ...
Article
Full-text available
This article aims to explain the diversity journalism of Kupang City journalists in maintaining tolerance from Bourdieu's point of view, namely the theory of constructive structuralism or often called the theory of social practice. Kupang is a plural city with great ethnic diversity. However, ethnic diversity is actually the basis of collective awareness to respect ethnic differences and socio-cultural and religious backgrounds. Journalists in Kupang realize the importance of prioritizing an attitude of tolerance in realizing ethnic, religious and racial diversity in the city of Kupang. Awareness of diversity comes from the influence of the social values of the Kupang people who highly value differences in religion, ethnicity and race. The diversity of religions, ethnicities and races in the city of Kupang does not affect harmony between residents, tolerance is even stronger being maintained due to the influence of local wisdom values such as Nusi (gotong royong), Butukila (tie and hold a sense of brotherhood), Suki Toka Apa (support and help), Muki Nena (sense of belonging and belonging). The local wisdom values of the Kupang people that have been practiced for a long time can be called habitus, as conceptualized by Bourdieu. Habitus is a habit that is lived and internalized within him. This study uses a qualitative approach and case study methods. The research subjects were Kupang journalists and the object of research was diversity journalism as a result of the internalization of the local wisdom of the Kupang people. The results of the study show that journalists are aware of ethnic and religious diversity among the people of Kupang, NTT. Kupang journalists understand the local wisdom values of the people of NTT which are the capital of harmony between residents. Not all journalists and local media have played a role in maintaining diversity and tolerance in Kupang, NTT. ABSTRAK Tujuan artikel ini adalah menjelaskan bagaimana wartawan di Kota Kupang menjalankan jurnalisme keberagaman dan bagaimana hal tersebut berkontribusi dalam merawat toleransi. Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah teori strukturalisme konstruktif, yang sering disebut sebagai teori praktik sosial, dengan merujuk pada pemikiran Bourdieu. Kota Kupang adalah lingkungan yang kaya akan keragaman etnik. Namun, paradoksalnya, keragaman etnik ini justru menjadi dasar bagi kesadaran kolektif untuk saling menghargai perbedaan etnik, latar belakang sosial budaya, dan agama di antara penduduknya. Wartawan di Kota Kupang memahami pentingnya menekankan sikap toleransi dan mereka memiliki kesadaran akan keragaman etnik, agama, dan ras yang ada di kota mereka. Kesadaran ini dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial yang dipegang oleh masyarakat Kupang, yang mendorong penghargaan terhadap perbedaan agama, suku, dan ras. Keberagaman agama, suku, dan ras di Kota Kupang bahkan memperkuat kerukunan antar warga, dan toleransi dijaga dengan kuat berkat pengaruh nilai-nilai kearifan lokal seperti Nusi (gotong royong), Butukila (ikat dan pegang rasa persaudaraan), Suki Toka Apa (mendukung dan menolong), dan Muki Nena (rasa memiliki dan mempunyai). Nilai-nilai kearifan lokal ini, yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Kupang selama bertahun-tahun, dapat dianggap sebagai habitus, sesuai dengan konsep yang diperkenalkan oleh Bourdieu. Habitus di sini mengacu pada kebiasaan yang diinternalisasikan dan dihayati oleh individu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Teknik pengumpulan data mencakup wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Subjek penelitian adalah wartawan-wartawan di Kota Kupang, sementara objek penelitian adalah jurnalisme keberagaman sebagai hasil dari internalisasi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kupang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wartawan di Kota Kupang memiliki kesadaran yang kuat terhadap keragaman suku dan agama di antara masyarakat setempat. Mereka memahami pentingnya nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi modal untuk menjaga kerukunan di antara penduduk. Meskipun demikian, belum semua wartawan dan media lokal turut serta dalam upaya merawat keberagaman dan toleransi di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kata Kunci: Jurnalisme keberagaman, habitus, wartawan Kupang
... Bourdieu explains habitus as the result of internalizing structures acquired through time and history (trajectories) to generate individual and collective practices. Individual and collective practices become a form of unconscious obedience to objective structures outside of oneself (Adib, 2012;Bourdieu, 1990;Fashri, 2017;Haryatmoko, 2008;Krisdinanto, 2016;Ritzer & Goodman, 2010). The intended objective structure is manifested through various derivatively institutional forms of rice-oriented GR after undergoing an internalization process in bureaucratic, communal, and individual thought and action. ...
Article
Full-text available
The national food security policy attained through food self-sufficiency is artificial because it does not reflect the actual situation. This policy cannot consolidate various local food resources to serve as the foundation of inclusive national and regional food security. Instead, it tends to rely on exclusive and uniform food security, specifically rice. This contrasts with the geographical reality of Indonesia, which is ecologically endowed with abundant local food resources. This study seeks to explain why local food is neglected in national and regional food security policy frameworks and strategies, although it is acknowledged at the level of ideas and regulations but difficult to implement at the level of practice. This case study was conducted through a series of observations and in-depth interviews with regional policymakers and agricultural communities based on generational differences between those aged 60 and older and those aged 60 and younger. Using the habitus-Bourdieu analysis, this study discovered that the green revolution policy led to the formation of a collective habitus at the state level, which was then institutionalized in various structural policies of the central and local government, resulting in the formation of an individual habitus at the community level. This habitus that transforms cultivation and food consumption patterns to prioritize rice and marginalizes local foods has created food insecurity, particularly in Savanna ecological regions like Sumba. Keywords: local foods; rice; habitus; green revolution; food security; savanna ecology
Article
Full-text available
The practice of symbolic violence is common in the social dynamics of society. Symbolic violence, according Pierre Bourdieu, has different meaning from actual violence. Symbolic violence is caused by the subordination of an individual to an individual or other group that dominates. The analysis of symbolic violence is not in spite of the concept of habitus, arena, and the capital that was presented by Bourdieu. The study is discussed about symbolic violence to women who were represented by Serial Movie Gadis Kretek. This research uses a qualitative approach with a method of discourses analysis. Serial Movie Gadis Kretek main character, Dasiyah, is a representation of symbolic violence carried out in the social order of society. The result of this research is symbolic violence, in Serial Movie Gadis Kretek, starting from the smallest organization unit in the social structure, main family. Symbolic violence is prone in traditional patriarchal culture, believed by peoples, by means of the dominant role of men toward women.
Article
Full-text available
by the people of Kampung Sewu who live in the area which is prone to floods in the Bengawan Solo River in carrying out practices of flood disaster mitigation. Vertiminaponics is a program created by PMI Surakarta City with SIBAT Sewu by planting vegetables in hard pipes which have been perforated and given fertilized soil inside, then under the hard pipes, the fish are kept in jerry cans which are combined. The dirt produced by the fish will be a fertilizer for vegetable plants that grow on it. Financial capital has a vital role in practicing flood disaster mitigation. Sociologically, financial capital is an addition to the knowledge that causes economic achievements to increase. Therefore vertiminaponics became a strong financial capital for the people of Kampung Sewu in practicing flood disaster mitigation due to the overflow of the Bengawan Solo River. This qualitative research uses a phenomenological approach. The source of primary data is obtained from the results of in-depth interviews and secondary data sources are obtained from scientific books, journals, and documents owned by informants. Direct observation, in-depth interviews, and documentation are used as data collection techniques. This study used purposive sampling in selecting informants while the validity of the data using source triangulation. The results of this study indicate that vertiminaponics was carried out by PMI Surakarta City with SIBAT Sewu to be practiced together with the community of Sewu Village. Vertiminaponics as one of the flood disaster mitigation practices of the people of Kampung Sewu due to the overflow of the Bengawan Solo River was able to become a fairly strong financial capital. Vertiminaponic maintenance is not difficult, besides that the vegetable plants produced are also classified as organic vegetables and do not require extensive land. Sewu village has a community that is resilient to floods. The thing that happened during flood disaster was that the people of Sewu Village experienced obstacles in meeting food needs. Thus vertiminaponics is a financial capital for the people of Kampung Sewu in fulfilling food needs, especially in the event of a flood.
Article
This study examines the motivation for charitable giving (sadaqah) in asbi ash-Shiddieqy's Al-Qur’anul Majid through the lens of Bourdieu's theory. The significance of this research lies in integrating social theory with Qur'anic interpretation to explore how capital, habitus, and practice influence charitable actions. The methodology involves a qualitative analysis of ash-Shiddieqy's tafsir using Bourdieu's theory, while identifying gaps in previous studies related to the roles of symbolic and cultural capital and gender equality in charitable giving. The novelty of this research is its application of Bourdieu’s theory to investigate how metaphors in the tafsir and gender equality impact motivation and practice in charitable giving. The findings indicate that the metaphors in Al-Qur’anul Majid simplify the concept of sadaqah, making it easier to understand and implement, thereby increasing motivation. Gender equality in charitable giving, as outlined in ash-Shiddieqy's tafsir, promotes active participation from all genders and reinforces egalitarian values in charitable practices. Furthermore, mutual reminders within the community, according to the tafsir, play a crucial role in maintaining the quality and consistency of charitable actions, strengthening social capital, and shaping a habitus that supports sustainable giving. This study contributes significant insights by linking Qur'anic exegesis with contemporary social theory, offering new perspectives on how social and symbolic factors influence charitable practices within religious and social contexts.
Article
Full-text available
Archivists can play a role in realizing the National Movement for Aware and Orderly Archives initiated by ANRI. This study aims to understand the role of archivists in record management as an effort to enforce the National Movement of Awareness and Orderly Archive in The Institute of Witness and Victim Protection. The type of research used is a case study with a qualitative approach. Techniques in data collection include observation, interviews, literature studies, and documentation. Data analysis techniques are data reduction, data presentation, triangulation, and conclusions. The results of this study revealed that archivists play a role in all stages of record management, creation, usage, storage, and disposition, as well as acting as a trigger in initiating the declaration of the National Movement of Awareness and Orderly Archive. Efforts made by archivists in dealing with the problem of archivists are accommodating internship activities to assist the work in managing archives, improving the quality of self by following the archiving training, discussing with leaders related to the implementation of archiving policies, and creative thinking while continuing to carry out their work despite obstacles.
Article
Full-text available
Dating is a common phenomenon, even at a young age. Dating as a medium for channelling hormonal maturity from the development of biological and psychological elements in women and men, on the other hand, gives rise to Dating Violence (DV) behaviour. DV is not a personal case. There is a social aspect, which is often subtle, but is the source of the value of the behaviour. For this reason, in studying DV it is necessary to look at the relationship between the DV phenomenon and the social phenomena that surround it. By using the Symbolic Violence perspective, a picture of DV in the social sphere is presented. The research approach is descriptive qualitative. A general overview of DV is obtained through distributing questionnaires whose results are processed through distribution tables. Next, a Focus Group Discussion and in-depth interviews were conducted with several informants who filled out questionnaires to obtain an overview of the background of DV behaviour related to social factors. The research results show that habitus, which is the structure of the social world, shapes personal perspectives, making DV considered an acceptable action for both DV perpetrators and victims. DV also obtains support from the capital owned by one of the partners and the arena in which the relationship occurs. Habitus, capital, and the social arena make DV increasingly justified.
Book
The French social theorist Pierre Bourdieu is now recognized as a major contemporary critique of culture and the Visual Arts. His work was developed over a fifty year career which took in major studies of education, museums, photography, painting, the media and taste. This book sets out to do what no other has so far achieved. It exclusively addresses Bourdieu’s work on the Visual Arts. Over its three parts and eight chapters it gives an in-depth coverage of Bourdieu’s theory of culture and aesthetics. It describes Bourdieu’s background and the development of his thinking throughout his career. His main ‘thinking tool’ are described and located within his overall ‘theory of practice’. There is discussion of aesthetics in terms of his social philosophy. A line is traced from Kant through salient views to aestheticism and its significance in art and culture. Bourdieu’s own response to this tradition is described. This theory of practice is then applied to three practical case examples: Museums, Photography and Painting. A chapter is dedicated to each of these. In each one, a Bourdieusian perspective is brought to bear on contexts not dealt with by Bourdieu himself. There is analysis of the Tate, MOMA and the Musée d’Orsay. Photography is considered as a ‘mid-brow’ art with examples from pop, journalism and ‘artist-photographers’. Finally, the book deals with painting. Based on Bourdieu’s own work on the ‘pre-impressionist’ Manet, this example is contrasted with such artistic movements as the Young British Artists of the 1990s and American Expressionism. Finally, the theory and practical examples are used as a springboard to address Visual Arts in the 21st Century. The ‘problem of aesthetics’ is reconsidered in the light of post-modernism and Bourdieu’s theory. A new perspective to the Visual Arts in the twenty-first century is provided based on his approach. The book sets out to identify the ‘rules of art’: how artistic fields function and the implications their processes have for Art and artistic practice.
Article
Pierre Bourdieu is one of the world's most important social theorists and is also one of the great empirical researchers in contemporary sociology. However, reading Bourdieu can be difficult for those not familiar with the French cultural context, and until now a comprehensive introduction to Bourdieu's oeuvre has not been available. David Swartz focuses on a central theme in Bourdieu's work—the complex relationship between culture and power—and explains that sociology for Bourdieu is a mode of political intervention. Swartz clarifies Bourdieu's difficult concepts, noting where they have been misinterpreted by critics and where they have fallen short in resolving important analytical issues. The book also shows how Bourdieu has synthesized his theory of practices and symbolic power from Durkheim, Marx, and Weber, and how his work was influenced by Sartre, Levi-Strauss, and Althusser. Culture and Power is the first book to offer both a sympathetic and critical examination of Bourdieu's work and it will be invaluable to social scientists as well as to a broader audience in the humanities.
Article
Over the last three decades, the French sociologist Pierre Bourdieu has produced one of the most imaginative and subtle bodies of social theory and research of the post war era. Yet, despite the influence of his work, no single introduction to his wide-ranging oeuvre is available. This book, intended for an English-speaking audience, offers a systematic and accessible overview, providing interpretive keys to the internal logic of Bourdieu's work by explicating thematic and methodological principles underlying his work. The structure of Bourdieu's theory of knowledge, practice, and society is first dissected by Loic Wacquant; he then collaborates with Bourdieu in a dialogue in which they discuss central concepts of Bourdieu's work, confront the main objections and criticisms his work has met, and outline Bourdieu's views of the relation of sociology to philosophy, economics, history, and politics. The final section captures Bourdieu in action in the seminar room as he addresses the topic of how to practice the craft of reflexive sociology. Throughout, they stress Bourdieu's emphasis on reflexivity—his inclusion of a theory of intellectual practice as an integral component of a theory of society—and on method—particularly his manner of posing problems that permits a transfer of knowledge from one area of inquiry into another. Amplified by notes and an extensive bibliography, this synthetic view is essential reading for both students and advanced scholars.
Article
Long a dominant figure in the French human sciences, Pierre Bourdieu has become internationally influential in the fields of sociology, anthropology, and cultural studies. A major figure in the development of "practice" as an organizing concept in social research, Bourdieu has emerged as the foremost advocate of reflexive social science; his work combines an astonishing range of empirical work with highly sophisticated theory. American reception of his works, however, has lacked a full understanding of their place within the broad context of French human science. His individual works separated by distinct boundaries between social science fields in American academia, Bourdieu's cohesive thought has come to this country in fragments. Bourdieu: Critical Perspectives provides a unified and balanced appraisal of Bourdieu's varied works by both proponents and skeptics. The essays are written from the varied viewpoints of cultural anthropology, ethnomethodology and other varieties of sociology, existential and Wittgensteinian philosophies, linguistics, media studies, and feminism. They work around three main themes: Bourdieu's effort to transcend gaps between practical knowledge and universal structures, his central concept of "reflexivity," and the relations between social structure, systems of classification, and language. Ultimately, the contributors raise a variety of crucial theoretical questions and address problems that are important not only to understanding Bourdieu but to advancing empirical work of the kind he has pioneered. In an essay written especially for this volume, Bourdieu describes his own "mode of intellectual production" and the reasons he sees for its common misunderstanding. The contributors are Hubert Dreyfus, Paul Rabinow, Charles Taylor, Aaron Cicourel, James Collins, William Hanks, Beate Krais, Nicholas Garnham, Scott Lash, Roger Brubaker, and Loic Wacquant, and the editors.
Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory
  • Dirk Et Nicholash
Nicholash, Dirk et.al. (1994). Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory, Princeton, Princeton University Press.
(Habitus X Modal) + Ranah = Praktik
  • Chleen Mahar
  • Richard Harker
Mahar, Chleen dan Richard Harker. (2010). (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Jogjakarta, Jalasutra.