ArticlePDF Available

Politik lokal di Indonesia: dari otokratik ke reformasi politik

Authors:

Abstract

Abstrak Perubahan dramatis dalam perpolitikan Indonesia sejak kejatuhan rezim Soeharto telah memberikan ruang bagi hadirnya demokrasi yang sesungguhnya. Politik lokal menjadi lebih terbuka dan menjadi penentu pembangunan di daerah. Tulisan ini menganalisis kondisi politik di tingkat lokal di Indonesia sebelum dan setelah reformasi 1998 sehingga dapat ditemukan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi. Tulisan ini menyimpulkan bahwa kekuasaan rezim orde baru sebelum reformasi telah menghambat menguatnya perpolitikan oleh elit lokal di tingkat daerah yangmenghasilkan dua hal penting dalam perpolitikan lokal. Pertama, kendali politik di tingkat lokal dipimpin oleh elit yang merupakan kolaborasi dari penguasa pusat dan lokal; dan kedua, munculnya orang-orang kuat di daerah. Setelah masa reformasi, kolaborasi antara elit pusat dan lokal pun menghilang, namun justru semakin menguatkan posisi penguasa-penguasa lokal. Sehingga pemerintahan demokratis oleh rakyat yang sesunggunya ditingkat lokal tidak benar-benar dicapai. Kata kunci: politik lokal, polisentrisme, local strongmen (orang kuat lokal), otonomi, redistricting.
5
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
Politik lokal di Indonesia: dari
otokratik ke reformasi politik
Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff
Abstrak
Perubahan dramatis dalam perpolitikan Indonesia sejak kejatuhan rezim Soeharto
telah memberikan ruang bagi hadirnya demokrasi yang sesungguhnya. Politik lokal
menjadi lebih terbuka dan menjadi penentu pembangunan di daerah. Tulisan ini
menganalisis kondisi politik di tingkat lokal di Indonesia sebelum dan setelah reformasi
1998 sehingga dapat ditemukan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi. Tulisan ini
menyimpulkan bahwa kekuasaan rezim orde baru sebelum reformasi telah menghambat
menguatnya perpolitikan oleh elit lokal di tingkat daerah yangmenghasilkan dua hal
penting dalam perpolitikan lokal. Pertama, kendali politik di tingkat lokal dipimpin oleh
elit yang merupakan kolaborasi dari penguasa pusat dan lokal; dan kedua, munculnya
orang-orang kuat di daerah. Setelah masa reformasi, kolaborasi antara elit pusat dan lokal
pun menghilang, namun justru semakin menguatkan posisi penguasa-penguasa lokal.
Sehingga pemerintahan demokratis oleh rakyat yang sesunggunya ditingkat lokal tidak
benar-benar dicapai.
Kata kunci: politik lokal, polisentrisme, local strongmen (orang kuat lokal),
otonomi, redistricting.
6Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
Pendahuluan
Perbincangan dan kajian mengenai
politik lokal pasca Orde Baru se-
lalu menarik perhatian. Ini karena
politik lokal pada masa itu memberikan
dampak yang diametral. Keadaaan ini
disebabkan oleh keadaan tarik menarik
kepentingan pusat dan daerah, di-
tambah lagi dengan wujud otonomi
daerah dan pemekaran daerah
(redistricting).1
Percampuran ini memberikan
corak tersendiri terhadap politik lokal
karena hasilnya yang beraneka ragam.
Tetapi jika disederhanakan, keaneka-
ragaman tersebut menghadirkan dua
implikasi. Pertama, ia menghasilkan
‘kebaikan bersama’ bagi masyarakat,
dan kedua, sebaliknya.
‘Kebaikan bersama’ yang di-
maksud di sini seperti para pegawai
negeri sipil daerah yang kini lebih
berwajah ‘abdi masyarakat’, pening-
katan pelayanan administratif yang
lebih baik dan dekat bagi publik,
infrastruktur yang semakin manusiawi,
pelayanan kesehatan yang cukup
memuaskan—bahkan sangat memuas-
kan di beberapa daerah, dan masih
banyak lagi lainnya. Selain itu, kondisi
politik lokal di Indonesia saat ini juga
menunjukkan realititas positifnya
dengan dibenarkannya masyarakat
untuk memilih kepala daerah secara
langsung yang sekaligus memberangus
mekanisme dropping elit dari pusat
seperti yang berlaku pada zaman Orde
Baru, mulai bermunculannya kepala-
kepala daerah perempuan, terealisasi-
nya pembagian keuangan pusat dan
daerah yang lebih adil dibandingkan
sebelumnya, dan lainnya.
Walaupun demikian, politik lokal
pasca Orde Baru pun menghadirkan
dampak negatif. Kajian ini memposisi-
kan untuk membahas perkara tersebut.
Dengan asumsi bahwa selalu ada free-
1Penggunaan istilah pemekaran membingungkan masyarakat dalam memahami
makna sebenarnya. Ini karena pemekaran yang berasal kata dari ‘mekarsering
kali diasosiasikan dengan bertambah besarnya satu daerah seperti pengertian
‘mekar sebagai layaknya ‘mekarnya’ bunga. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Teritori daerah yang dimekarkan justru mengalami pengecilan karena wilayah
daerah itu dibagi dalam beberapa bagian sesuai dengan keperluan ‘pemekaran’.
Misalnya Jawa Barat, dulu sebelum dimekarkan wilayahnya meliputi Banten saat
ini; ketika pemekaran berlaku, wilayah Jawa Barat justru berkurang dengan
terbentuknya provinsi Banten. Karenanya, penulis lebih bersepakat apabila istilah
yang digunakan untuk hal ini adalah redistricting atau penataan ulang wilayah.
Namun, apabila pemahaman didasarkan pada hal lain yaitu tumbuhnya daerah
baru yang mengharuskan ‘mekarnya’ (bertambahnya) kuantitas jabatan di daerah,
makna pemekaran yang tepat bukanlah ‘pemekaran daerah’ tetapi ‘pemekaran
jabatan’.
7
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
rider(s) dalam setiap transformasi
politik, begitu pula halnya ketika
mekanisme dan logika baru politik
hadir pasca lengsernya Soeharto. Untuk
pembahasan ini, beberapa pertanyaan
diajukan. Mengapa muncul dampat
negatifpolitik di tingkat lokal pasca
Orde Baru? Apakah ini disebabkan
oleh legasi politik masa lalu? Apa
sebenarnya dampak negatif itu? Untuk
mendapatkan temuan yang otoritatif,
metode pengumpulan data yang
digunakan bagi analisis tulisan ini
adalah studi literatur. Sumber literatur
dipilih secara selektif agar analisisnya
dapat mendeskripsikan keadaan atau
kondisi sebenarnya sesuai dengan
fokus yang telah ditetapkan.
Guna mensistematikkan tulisan,
pembagiannya disusun seperti berikut.
Pertama, menelaah kembali unit
analisis yang digunakan sebagai pisau
‘bedah’ analisis; kedua, mengelaborasi
politik lokal di Indonesia sebelum
transformasi politik tahun 1998; dan
ketiga, memperbincangkan realitas
politik lokal yang terus berubah
dengan menelaah politik lokal sesudah
Orde Baru.
Mengkaji konsep dan unit
analisis
Politik pasca Orde Baru me-
refleksikan logika dan mekanisme
‘politik baru’ bagi masyarakat (dan elit)
di semua level kepolitikan. ‘Politik
baru’ menggambarkan resistensi ter-
hadap ‘politik lama’ yang otokratik,
represif, dan memusat (sentralisme).
Interpretasi atas ‘politik baru’ juga
dipahami sebagai lahirnya poli-
sentrisme atas konsekuensi dari desen-
tralisasi. Polisentrisme diartikan secara
sederhana sebagai perjuangan kolektif
masyarakat atau daerah untuk
menolak gagasan (atau penguasa) lama
yang dianggap telah melemahkan
identitas dan kekuasaan mereka.
Merujuk beberapa sarjana seperti
Laclau & Mouffe,2 Escobar & Alvares,3
Mohan & Stokke,4 perjuangan atau
gerakan seperti tergambar di atas
biasanya dideskripsikan sebagai
bentuk resistensi melawan ‘pusat’ yang
selama masa sebelumnya (meng-
himpun dan menggerakan semua
kekuatanya untuk) menundukkan
daerah baik di dalam ataupun di luar
2Laclau, E., & Mouffe, C. 1985. Hegemony and socialist strategy: towards a radical
democratic politics. London: Verson.
3Escobar, A., & Alvarez, S.E. (eds.). 1992. The making of social movements in Latin
America: identity, strategy, and democracy. Boulder: Westview.
4Mohan, G., & Stokke, K. 2000. Participatory development and empowerment: the
dangers of localism. Third World Quarterly 21(2). Hlm. 247-268.
8Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
arena politik formal. Akibatnya,
ekonomi politik di aras lokal menjadi
tidak berkembang dan langsung
menguncup. Keadaan ini menimbulkan
pelbagai bentuk resistensi kultural
(misalnya gerakan akar rumput dan
menyeruaknya nilai-nilai local wisdom)
yang memerlukan pencarian alternatif
untuk pembangunan daerah. Dalam
bahasan mereka, masyarakat sipil
dikonseptualisasikan sebagai wadah
perlawanan yang memungkinkan
pemunculan kembali identitas daerah
yang tercerabut selama rezim otokratik
berkuasa.
Masyarakat sipil dalam banyak
kenyataan memang dianggap sebagai
media bagi transformasi politik. Ini
karena masyarakat sipil bukan hanya
sebagai ikatan sosial di luar organisasi
resmi yang mampu menggalang
solidaritas kemanusiaan bagi mencipta-
kan kebaikan bersama di bawah
prinsip egalitarianisme dan inklusi-
visme universal ,5 tetapi juga mempu-
nyai kekuatan untuk mengimbangi
kekuasaan pemerintah serta meng-
halangi tindak tanduk mereka yang
bertentangan dengan nilai kemanusia-
an.6 Masyarakat sipil juga dipercaya
mampu memainkan peran sebagai
pengawal kepentingan masyarakat
umum dan dapat menghalangi peme-
rintah dari upaya mendominasi dan
memanipulasi masyarakat. Dengan
arah yang tidak berlawanan,
Chandhoke,7 menambahkan bahwa
masyarakat sipil merupakan: “... the site
at which society enter into relationship with
the state.” Dari aspek inilah, masyarakat
berinteraksi dengan pemerintah untuk
memunculkan berbagai wacana kritis
yang objektif dan rasional sehingga
mampu untuk meredam keinginan
penguasa yang berlaku otokratik.
Perlawanan melalui gerakan
masyarakat sipil pernah berjaya pada
akhir tahun 1980-an, ketika beberapa
negara di Eropa Timur runtuh.8 Ini
menunjukkan bahwa peranan masya-
rakat sipil dalam menumbangkan
kekuasaan rezim otokratik tidak bisa
5Cohen, J-L., & Arato, A. 1992. Civil society and political theory. Cambridge:
Massachussetts Institute of Technology Press.
6Gellner, E. 1994. Conditions of liberty: civil society and its rivals. London: Hamish
Hamilton. Hlm. 5.
7Chandhoke, N. 1995. State and civil society: Exploration in political theory. London:
Sage Publication. Hlm. 8-13.
8Diamond, L. 1994. Rethinking civil society: Toward democratic consolidation.
Journal of Democracy 5(3). Hlm. 151-159. Lihat juga Wellhoer, E.S. Democracy, facism
and civil society. Dlm. S. Roßteutscher (ed.). 2005. Democracy and the role of
associations: Political, organizational and social contexs. London: Routledge. Hlm. 19-
45.
9
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
dipandang remeh. Sebab itulah,
‘politik baru’ yang mencuatkan polisen-
trisme mengedapankan keperkasaan
masyarakat sipil sebagai pengawal
aktivitas pemerintah melalui meka-
nisme checks and balances (pengawasan
dan perimbangan).
Sebagai dampak dari tumbuhnya
‘politik baru’ dan polisentrisme di
Indonesia, lanskap politik di level lokal
turut berubah. Otonomi daerah,
redistricting, dan pemilihan kepala
daerah langsung (Pilkada) atau pemi-
lihan umum kepala daerah (Pemilu-
kada) adalah sebagian wujudnya.
Namun demikian, tidak semua kemun-
culan ‘politik baru’ menghadirkan
‘kebaikan bersama’ bagi warga masya-
rakat. Misalnya, di India—salah satu
negara demokrasi besar di dunia—
demokratisasi yang mencetuskan
‘politik baru’ justru semakin meman-
tapkan politik kasta dan kelas.9 Akibat-
nya, politik lokal di India sangat
dinamik dan rentan akan ledakan
manipulasi politik.
Hal yang lebih kurang sama
terjadi di Camaçari, Brazil. ‘Politik
baru’ di Camaçari mendorong muncul-
nya klientisme antara elit ekonomi dan
politik sehingga menyulut ungover-
nability yang akut (tidak berfungsinya
tata kepemerintahan secara efektif dan
efisien). Efeknya sangat nyata, yaitu:
‘perampasan’ keuangan daerah oleh
para elit ekonomi dan politik.10 Para
elit, baik yang duduk di kursi eksekutif
maupun di legislatif, sama-sama me-
manfaatkan kas daerah untuk mem-
pertahankan klien (bawahan) atau
kroni mereka. Dengan cara memani-
pulasi badan pembuat kebijakan di
level lokal para elit di Camaçari meng-
arahkan aparatur pemerintah untuk
menghasilkan keputusan politik yang
menguntungkan dirinya dan kroninya.
Dampaknya tidak sedikit bos ekonomi
dan orang kuat lokal (local strongmen)
yang kemudian menjadi tokoh formal.
Kasus mengenai hadirnya elit
politik informal dalam politik lokal
memang tengah mewabah di negara
demokrasi baru pascaruntuhnya rezim
otokratik. Di Filipina—negara demo-
krasi yang dikenal dengan gerakan
people power—dewasa ini diwarnai oleh
9Hansen, T.B. 1999. The saffron wave: democracy and Hindu nationalism in modern India.
Princeton: Princeton University Press.
10 Scönleitner, G. 2004. Can public deliberation democratise state action?: municipal
health council and local democracy in Brazil. Dalam. John Harriss, Kristian Stokke,
& Olle Tornquist. (eds.) Politicing democracy: the local politics of democratisation. New
York: Palgrave Macmillan. Hlm. 75-106.
11 Sidel, J. 1999. Capital, coercion, and crime: bossism in the Philippines. Stanford: Stanford
University Press.
10 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
menjamurnya elit informal yang
gandrung menjadi elit formal politik.11
Para elit ini tidak hanya bermaindi
kancah politik nasional, tetapi juga
menyusup ke arena lokal.12 Posisi ini
diincar karena hasilnya yang sangat
menguntungkan bagi bos-bos ekonomi
dikemudian hari, khususnya terhadap
pengendalian dan pengaturan
langsung sumber-sumber daya (ke-
kayaan daerah) serta hak-hak istimewa
di aras lokal. Kendali atas konsesi
lahan, kontrol terhadap hukum, penen-
tuan atas pengangkatan dan penunjuk-
kan pegawai, pembagian kontrak
kerja, dan semacamnya menjadi tujuan
para bos-bos ekonomi.
Menyitir Sidel,13 di beberapa pro-
vinsi seperti di Cavite dan Cebu,
kawasan pinggiran kota yang
dipenuhi oleh kemudahan bagi lahan
industri, lapangan golf, kompleks
perumahan, dan wisata, para bos
ekonomi lokal yang telah menjadi
politisi banyak menggunakan kekuasa-
an diskresinya untuk menetapkan
peruntukan pembangunan. Tidak
hanya itu, di tangan mereka penentuan
pengembangan kawasan, pembuatan
jalan, penyusunan kontrak, hingga
penggunaan polisi untuk meredam
serikat buruh dan menggusur permu-
kiman liar menjadi hal yang lumrah.
Bahkan terkadang mereka tidak
sungkan menghalalkan segala cara
untuk menjaga kepentingan ekonomi
dan status quonya.
Hal serupa berlaku di Thailand.
Merujuk pada kajian McVey dalam
buku Money and power in provincial
12 Bos atau elit ekonomi di Filipina berangkat dari perpaduan antara bertahannya
dinasti keluarga ‘tuan tanah lama’ (oligarki) dengan jaringan dan hubungan
patron-klien di antara mereka. Beberapa keluarga oligarki lama (bos ekonomi)
yang menjadi pemain politik di Filipina diantaranya: keluarga Lacson dan
Montelibanos dari Provinsi Negros, Osmeoas dan Duranos dari Cebu, dan Joson
dan Diazezs dari Nueva Ecija. Cory Aquino dan Gloria Macapagal Arroyo juga
berasal dari basis keluarga seperti ini. Selain berasal dari kelurga ‘oligarki lama’,
bos ekonomi yang bermain dikancah politik juga berasal dari local strongmen yang
menjadi broker ekonomi dan politik dan menikmati posisi monopolistik atas cara
kekerasan dalam wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Setelah mempunyai
cukup ‘modal’, mereka kemudian bersaing dalam pemilihan parlemen dan kepala
daerah. Tidak jarang mereka terpilih. Ketika mereka menjadi kepala daerah, wali
kota misalnya, mereka menjalankan daerahnya layaknya daerah kekuasaan
pribadi. Atau, manakala para local strongmen itu anggota kongres, mereka tidak
segan membangun mesin politik dan kerajaan bisnis yang merentang di seluruh
distrik atau provinsi. Implikasinya, mereka menjadi kelompok ‘oligarki baru’—
sebagai pesaing ‘oligarki lama.’ Untuk pembahasan lebih lanjut, lihat Ibid.
13 Ibid.
11
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
Thailand, 14 para bos lokal (dan j uga local
strongmen) menjadi realitas dalam
kehidupan politik di Thailand. Para
bos dan local strongmen di Thailand
dikenal dengan istilah chao pho (baca:
jao poh) yang berarti ‘bapak pelin-
dung.’15 Kehadiranbapak pelindung
ini bukan fenomena baru, tetapi
eksistensi mereka semakin menguat
pasca demokratisasi tahun 1973. Para
‘bapak pelindung’ dapat dikenali
melalui sifat monopolistik mereka
dalam hampir semua kegiatan eko-
nomi mulai dari pertambangan,
transportasi, pertanian, penggilingan,
percetakan, waralaba, pabrik pengo-
lahan, saham bank, dan lainnya. Selain
itu, para chao pao terlibat aktif dalam
usaha ilegal seperti perdagangan
narkotika, perjudian, dan penyelun-
dupan.16
Pada masa sebelum tahun 1973,
‘bapak pelindung’ dikenal karena
kontrolnya yang menggurita terhadap
jajaran elit politik di level lokal. Mereka
juga disegani karena kemampuannya
mengendalikan masyarakat melalui
aparatur koersifnya di daerah. Mereka
juga menggunakan kekuatan koersif ini
sebagai modal pengakumulasi modal.
Tetapi setelah tahun berlalu yang
diwarnai proses transformai politik ke
arah demokrasi, ‘bapak pelindung’
lebih dikenali sebagai broker ekonomi
14 McVey, R. (ed.). 2000. Money and power in provincial Thailand. Copenhagen : Nordic
Institute of Asian Studies (NIAS).
15 Merujuk kajian McVey (2000), kehadiran mereka dapat digolongkan dalam tiga
tahap. Pertama, sebelum 1960. Ada dua kondisi yang mendorong kemunculan
chao pho, yakni (i) budaya masyarakat yang mendukung tipe pemimpin laki-laki
yang jantan, kuat, dan nekat; dan (ii) pengawasan dan kekuasaan pemerintah di
tingkat daerah pedalaman yang tidak efektif. Dalam kondisi ini, peran ‘bapak
pelindung’ menjadi sangat permisif sebagai pemain yang menguasai arena politik
di level lokal (middle distance between capital and countryside). Kedua, antara tahun
1960-an hingga 1973, tatkala momentum yang merupakan perpaduan antara
datangnya investasi besar dari AS, rezim militer antikomunis di bawah Jenderal
Sarit Thanarat (1958-1963) dan Jenderal Thanom Kittikachorn (1963-1973) yang
memasukkan wilayah pedesaan sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur.
Dalam kondisi ini, ‘bapak pelindung’menggunakan pengaruhnya untuk ikut
dalam proses pembangunan tersebut; dan bahkan untuk kepentingan efisiensi
dan penarikan pajak lokal banyak dari mereka yang kemudian dipercaya menjadi
kepala desa. Ketiga, setelah runtuhnya rezim militer pada 1973, dan dijalankannya
proses demokratisasi melalui pengenalan politik elektoral. Mereka mulai berkiprah
di tingkat nasional. Dalam bahasa lain, setelah tahun 1973 mereka bisa secara
legal melakukan aktivitas ekonomi dan politiknya demi kepentingan sendiri
maupun keluarga dan kelompoknya di seluruh negara.
16 Arghiros, D. 2001. Democracy, development and decentralization in provincial Thailand.
Surrey: Curzon.
12 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
dan politik. Mengingat posisinya yang
strategis (memiliki pengaruh dan
pengikut yang luas lagi banyak), tidak
jarang patron dan kroni mereka me-
minta dicarikan ‘suara’ dalam setiap
pemilihan umum nasional maupun
lokal. Atas bantuan itu kroni-kroni
‘bapak pelindung’ mendapat kekuasa-
an, sehingga memudahkannya untuk
menagih ‘upeti.’ Bahkan beberapa chao
pho besar maju bersaing dan terpilih
untuk menduduki kursi parlemen
seperti Narong Wongwan (tersangka
pedagang narkotika yang ditolak
masuk ke Amerika Serikat) dan
Kamnan Po (dikenal sebagai godfather
dari Provinsi Chonburi).17
Beberapa kasus di atas cukup un-
tuk menyatakan bahwa perubahan
politik ke arah demokrasi tidak se-
lamanya berakhir baik. Bahkan ada
kalanya proses itu justru memancing
pembalikan demokratisasi seperti
terjadi di Nigeria pada 1983, Peru pada
1992, dan Sierra-Leone tahun 1997.18
Kalaupun proses demokratisasi ber-
jalan baik, selalu saja proses penye-
suaian (political alignment atau political
adjusment) atas perubahan politik
berlangsung cukup pelik. Di antara
kepelikan tersebut adalah munculnya
bos-bos ekonomi yang menjadi elit
politik formal maupun local strongmen
dalam politik lokal. Kehadiran mereka
berkorelasi dengan ketergoncangan
politik kekuasan pusat akibat tercetus-
nya polisentrisme yang bercampur
dengan menguatnya politik identitas
di daerah. Kondisi ini merupakan mo-
dus vivendi antara weak state dan strong
society yang mendorong konsolidasi
para local strongmen dalam mening-
katkan peran dan pengaruhnya di
politik lokal.
Merujuk perbincangan di atas,
politik lokal di Indonesia sepertinya
17 Ibid.
18 Di Nigeria, misalnya, proses demokratisasi yang cukup panjang (dari tahun 1974
sampai awal tahun 1980-an) mencetuskan kudeta oleh Jenderal Abacha yang tidak
sabar dengan proses tersebut, dan kembali mengelola Nigeria dengan cara yang
otokratik. Di Peru, pada 5 April 1992, presiden Alberto Fujimori melakukan ‘kudeta-
dalaman’ (self-coup, autogolpe) dengan menyatakan negara dalam keadaan darurat
yang disebabkan oleh masalah ekonomi kerana tiadanya pemerintahan yang kuat
lagi efektif. Hal ini kemudian mendorongnya membubarkan parlemen serta
membangun rezim sipil-militer yang otokratik. Demikian pula halnya dengan
transisi demokrasi di Sierra Leone yang gagal pada tahun 1997. Demokratisasi
yang diawali setahun sebelumnya ternyata tidak mampu menciptakan ketabilan
politik karena konflik elit sehingga memicu perang saudara yang berdarah. Lihat
Kay (1996), Emelifeonwu (1999), dan Keen (2005) untuk elaborasi yang lebih dalam
mengenai hal di atas.
13
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
mesti dikaji bukan hanya dari aspek
struktur(alisme) semata (seperti oto-
nomi dan good governance, manajemen
dan pelayanan publik, dan lainnya yang
bersifat struktural), tetapi juga harus
dipahami dan dilihat dari aspek agensi.
Fenomena transformasi politik yang
dibahas sekilas di atas menunjukkan
tendensi menguatnya local strongmen
pascademokratisasi. Bertolak dari
deskripsi ini, kerangka analisis tentang
local strongmen sebagai dampak
(negatif) dari dinamisnya demokra-
tisasi dijadikan kerangka analisis
tulisan ini.19 Menurut Mi gdal, me ngapa
orang kuat lokaldan juga bos
ekonomi—berhasil melakukan ‘kontrol
sosial,’ karena:20
They have succeeded in having
themselves or their family
members placed in critical state
posts to ensure allocation of
resources according to their own
rules, rather than the rules
propounded in the official
rhetoric, policy statements, and
legislation generated in the
capital city or those put forth by
a strong implementor.
Lebih lanjut Migdal menjelaskan,
hal ini dilandaskan atas tiga argumen
yang saling berkaitan. Pertama, local
strongmen tumbuh subur dalam
masyarakat yang mirip dengan jejaring.
Berkat struktur yang mirip jejaring ini,
para orang kuat lokal memperoleh
pengaruh signifikan yang melampaui
pengaruh para pemimpin dan para
birokrat lokal formal. Kedua, orang
kuat lokal melakukan kontrol sosial
dengan memanfaatkan komponen
penting yang diyakini masyarakat
sebagai ‘strategi bertahan hidup.’
Logika bertahan hidup memberikan
kesempatan bagi local strongmen bukan
saja untuk membangun legitimasinya
di mata rakyat yang mengharapkan
ibanya untuk memenuhi kebutuhan
pokok mereka, tetapi juga memperluas
kekuasaannya. Personalisme orang
kuat lokal menempatkan mereka
sebagai patron bagi kliennya (baca:
pengikutnya) yang (serba) kekurangan
di daerah kekuasaan mereka. Ketiga,
local strongmen secara l angsung at aupun
tidak telah berhasil membatasi kapa-
sitas lembaga dan aparatur negara
sehingga menyebabkan pemerintah
lemah. Atas dasar pemahaman konsep
ini, tulisan ini mempunyai landasan
yang memaadai untuk menjelaskan
bagaimana politik lokal Indonesia
19 Migdal, J.S. 1988. Strong societies and weak state: state-society relations and state
capabilities in the third world. Princeton: Prnceton University Press.
20 Ibid. Hlm. 256.
14 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
selama dan pasca Orde Baru berlaku.
Politik lokal sebelum
reformasi: akar dan kiprah
orang kuat lokal
Dinamika politik lokal di
Indonesia selalu berubah sepanjang
waktu. Pada era sebelum kemerdeka-
an, politik lokal di Nusantara menun-
jukkan potret buram karena penguasa
memperoleh kekuasaan dalam kerang-
ka hukum adat yang totaliter. Akibat-
nya sebagian besar lapisan masyarakat
hanya diakui sebagai hamba (bukan
warga) yang tidak pernah menjadi
subjek pembangunan semasa itu.
Masyarakat dijadikan objek dari
kehidupan politik yang tidak berpihak
kepada mereka. Pelbagai bentuk pajak
dan upeti ditarik oleh penguasa me-
lalui aparatur represifnya yang men-
jadikan kondisi ekonomi masyarakat
semakin terpuruk.
Perlakuan penguasa yang tidak
manusiawi itu kemudian mencetuskan
perlawanan rakyat. Cerita ataupun
mitos tentang orang kuat lokal seperti
Ken Arok, Samin, Pitung dan lainnya,
yang berupaya melawan pusat kuasa
memantulkan sedikit dari sekian
banyak bentuk ataupun hasrat pem-
bangkangan sipil pada masa lalu.
Mengikuti banyak kisah, pada masa lalu
orang kuat lokal memiliki citra positif
dan peran signifikan di mata masya-
rakat. Citra dan peran seperti itu
terbangun karena pembelaan para local
strongmen te rha dap kepent ingan ra kyat
yang tertindas, walau dari cara pan-
dang yang berbeda di pihak pe-
nguasa,orang-orang kuat lokal ini
melakukan tindak kejahatan dan
perampokan. Meski demikian, ke-
hadiran dan kiprah para orang kuat
lokal telah menegaskan atas melem-
baganya local strongmen dan polisen-
trisme di masa lalu.
Politik lokal di Indonesia semakin
dinamik setelah proklamasi ke-
merdekaan, ketika kekuatan masyara-
kat mulai merembes masuk ke
lembaga-lembaga formal. Keadaan ini
lebih kurang merupakan legasi positif
dari rancangan kolonial Belanda untuk
menyediakan kesempatan kepada
masyarakat awam terlibat dalam ke-
politikan dalam konteks implementasi
politik etis. Walhasil, para elit tradi-
sional (bangsawan daerah) harus ber-
saing dengan masyarakat umum yang
juga berusaha keras mendapatkan
posisi dalam lembaga-lembaga negara.
Selain persaingan antara elit tradi-
sional dan masyarakat awam yang
mengemuka pascaproklamasi, masalah
etnisitas juga menonjol dalam kerangka
nation-building di Indonesia.
Ketegangan politik yang ber-
nuansa etnisitas meningkat dengan
cepat semasa Demokrasi Parlementer
(1950-1958) dan Demokrasi Terpimpin
15
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
(1959-1965) khususnya di luar Jawa di
mana militer ikut campur tangan.21
Ketika itu rakyat sangat merasa di-
kucilkan dari keikutsertaannya dalam
politik nasional, karena itu manakala
Orde Baru menumbangkan Demokrasi
Terpimpin pada 1966 muncul semacam
eforia yang bertolakbelakang di
daerah-daerah tersebut. Ini karena
Orde Baru dipandang sebagai bentuk
polisentrisme dan ‘politik baru’ yang
membebaskan. Namun, polisentrisme
dan ‘politik baru’ ini menandai pula
permulaan satu periode yang dapat
dikatakan sebagai pemerintahan neo-
kolonial.
Selama 30 tahun lebih Indonesia
di bawah kekuasaan rezim otokratik
(1966-1998), sistem politik di tingkat
pusat maupun lokal sangat terkontrol
oleh pusat kuasa di Jakarta. Akibatnya,
badan eksekutif dan legislatif di
kabupaten, kota, dan provinsi terkunci
dalam hegemoni Jakarta. Ini karena
posisi pejabat tinggi di daerah pada
dasarnya ditentukan oleh Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) yang mem-
punyai kepentingan mengendalikan
kekuasaan elit lokal. Hal ini misalnya
terlihat dari upaya yang dilakukan elit
politik pusat pada saat pemilihan
gubernur Riau pada tahun 1985. Semasa
itu elit politik pusat melalui Golkar
telah memanggil dan menginstruksi-
kan para anggota parlemen di Riau
untuk memilih Mayor Jenderal Imam
Munandar (incumbent). Bahkan untuk
memastikan kemenangan incumbent,
beberapa hari kemudian para pejabat
tinggi partai pendukung pemerintah itu
berangkat ke Pekanbaru. Tidak hanya
itu, akhir Agustus 1985, sebelum
pemilihan gubernur yang bersifat
‘parlementerdiselenggarakan, utusan
dari markas besar Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Depdagri juga
mengadakan perjalanan ke Pekanbaru.
Di sana mereka bertemu dengan para
pimpinan tentara dan pimpinan Golkar
di DPRD untuk membicarakan
21 Beberapa ‘narasi kecil’ mewarnai kerja etnik di Indonesia. Misalnya kajian
mendalam oleh Burhan Magenda (1989) menunjukkan kesinambungan kekuasaan
bangsawan di daerah-daerah luar Jawa (Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat,
dan Sulawesi Selatan) setelah proklamasi. Burhan mendeskripsikan bahwa korps
pegawai negeri sipil di Departemen Dalam Negeri pada awal tahun 1950-an
dikuasai oleh para birokrat Jawa yang bersekutu dengan bangsawan-bangsawan
luar Jawa ini. Mereka adalah sekutu yang dipertalikan oleh kepentingan bersama
dan mengkhawatirkan penyebaran kekuatan kaum kiri dan kelompok Islam yang
mendirikan partai. Realitas ini membentuk kolaborasi saling menguntungkan di
mana birokrat memerlukan kaum bangsawan untuk mengatur negeri yang dilanda
perseteruan etnik, dan bangsawan membutuhkan perlindungan kaum birokrat
untuk menghadapi perlawanan masyarakat di tingkat lokal.
16 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
skenario pemilihan gubernur yang
berjalan: masing-masing calon pen-
damping akan menerima tiga suara,
dan sisanya akan diberikan kepada
Imam.22
Kontrol tidak hanya dilakukan
‘Jakarta’ pada lembaga sipil di peme-
rintahan (di daerah) saja, tetapi juga
dilaksanakan pada lembaga kemiliter-
an. Agar lembaga kemiliteran mudah
dikendalikan, maka elit politik pusat
telah menyiapkan ‘hadiah’ kepada
perwira aktif maupun purnawirawan
yang setia dan mau tunduk terhadap
kehendak pusat dengan memberikan
kepada mereka kursi di legislatif
(DPRD) dan eksekutif (gubernur,
bupati, dan wali kota). Tidak terkira
pula banyaknya elit militer yang
mendapat kursi menteri di kabinet dan
kursi di parlemen pusat sebagai
‘hadiah’ atas kesetiaan mereka untuk
tidak melakukan tindakan yang
membahayakan kestabilan rezim.
Namun mekanisme bagi-bagi
‘hadiah’ kepada tentara aktif dan
purnawirawan di daerah membawa
efek yang kurang baik. Sebab, para
tentara yang diberi posisi di lembaga
eksekutif dan legislatif [maupun di
Dewan Pimpinan Daerah (DPD)
Golkar] di daerah tidak jarang yang
kemudiannya membangun kekuasaan
pribadi. Pembangunan kuasa ini dapat
dengan mudah dilakukan karena para
tentara tersebut pernah bertugas—
bahkan cukup lama—sebagai perwira
aktif di daerah yang kini dipimpinnya.
Implikasinya, merujuk pada tulisan
dewan editor jurnal Indonesia dari
Cornell University, pada tahun 1980-
an muncul ‘mafia-mafia lokal’—dari
perwira-perwira militer yang diberi
hadiah atas kesetiaannya. Tulis dewan
editor jurnal Indonesia sebagai berikut:
They have the opportunity to
build powerful long-term local
bases in the regions, first as
representatives of the center, later
as real-estate speculators, fixers,
commission-agents, local
monopolists, and racketeers.
These long-term prospects,
meaning retirement in the
regions, are helped by local
22 Walaupun sudah melakukan pengendalian dan pengawasan yang ketat, skenario
ini tidak berjalan dengan baik, karena pada saat pemilihan ( 2 September 1985),
Ismail Suko—putera daerah, pesaing berat incumbent—justru mendapat 19 suara,
sedangkan Imam Munandar (etnik Jawa) mendapat 17 suara, dan satu suara
diberikan kepada calon ketiga. Untuk perbincangan lebih lanjut , lihat Malley, M.
1999. Regions: centralization and resistance. Dalam. Donald K. Emmerson (ed.).
Indonesia beyond Suharto: polity, economy, society, transition. New York: M.E. Sharpe.
Hlm. 71- 105
17
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
alliances, including marriage
connections (themselves or their
children), business partnerships
with local elites, and personnel
manipulations through former
subordinates within the active
military. As ‘old hands,’ such
military men are in a strong
position to inveigle or obstruct
‘new broom’ officers sent in from
the center. Essentially, we are
speaking of the formation of local
mafias, which often have their
eye on such ‘civilian’ political
positions as bupati, provincial
secretary, and even governor.23
Hal ini juga bukan hanya terjadi
pada tahun 1980-an, tetapi sudah jauh
terjadi pada era awal berdirinya Orde
Baru. Misalnya ketika Wahab Sjahranie
(seorang kolonel beretnik Banjar yang
telah memimpin banyak tempat di
Kalimantan) menjadi gubernur
Samarinda, mulai tahun 1967 hingga
tahun 1978.24 Beliau dengan cerdik
memanfaatkan posisi lemah pemerin-
tah pusat di daerah dan lemahnya
Komando Daerah Militer (Kodam) di
Samarinda yang diakibatkan oleh
kebijakan Jakarta yang sering kali
melakukan rotasi panglima Kodam
untuk mencegah terjadinya pemberon-
takan tentara seperti yang berlaku
pada tahun 1950-an. Hal ini umpama-
nya bisa dipahami selama Wahab
menjabat posisi gubernur Kalimantan
Timur, panglima Kodam Tanjung Pura
telah berganti sebanyak lima kali.
Pergantian ini menunjukkan bagai-
mana Kodam dilemahkan (oleh
Jakarta) yang justru menciptakan
peluang bagi Wahab untuk menguasai
birokrasi daerah dan kemudian men-
jadikannya local strongmen besar. Bukan
hanya birokrasi, polisi setempat pun
telah digunakannya untuk menjaga
dan melanggengkan status quonya
dengan memberi mereka imbalan kursi
bupati—khusus bagi beberapa perwira
polisi yang setia padanya.
Para local strongmen di tingkat
lokal tidak terbatas pada purna-
wirawan militer seperti Wahab saja.
Pada akhir tahun 1970-an dan awal
1980-an misalnya, banyak sekali arus
dana pembangunan dari pusat yang
memungkinkan para bangsawan lokal
yang menjabat posisi bupati, sekretaris
wilayah daerah (Sekwilda), dan
anggota DPRDmuncul sebagai pemilik
perkebunan, konsesi kehutanan,
pabrik semen, bank swasta, perusahaan
konstruksi, hotel, dan lainnya. Mereka
menyihir dana perimbangan dan dana
23 The Editors. 1992. Current Data on the Indonesian Military Elite. Indonesia 53(April).
Hlm. 98.
24 Malley. 1999. Op.cit.. Hlm. 85.
18 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
bantuan dari pemerintah pusat men-
jadi hak mereka.25 Menyitir kajian
Ichlasul Amal:26
It was hard to find any bupati
or high-ranking official in the
governor’s office who did not own
profitable clove plantations or
salt-water fishponds or both ....
Officials owning large areas of
productive land represented the
continuation of a long establi-
shed pattern in which aristocra-
tic families owned land and
invested some of the money they
received from landowning in
trade. But it also reflected the new
economic climate of the New
Order which enabled nobles who
were also government officials to
commercialize their landhol-
dings.
Dalam cara pandang lain, local
strongmen juga muncul sebagai
konsekuensi dari proses pembangunan
Orde Baru—kebijakan ekonomi
pemerintah pusat yang bertujuan
untuk menumbuhkan ekonomi,
industrialisasi, dan mobilisasi sosial di
Indonesia.27 Pada tahun 1980-an dan
1990-an misalnya, ketika proyek
pembagunan membanjiri daerah, local
strongmen yang berhimpun dalam
organisasi kemasyarakatan seperti
Pemuda Pancasila (yang mempunyai
hubungan erat dengan rezim) muncul
cukup subur. Kelompok local strongmen
kategori ini merupakan broker politik
yang dapat menghalalkan segala cara
25 Salah satu cara paling mudah menyihir dana negara adalah mengangkat sanak
keluarga memangku jabatan penting di pemerintahan. Misalnya, seorang kepala
daerah yang memangku jabatan Bupati Poso pada tahun 1980-an mengangkat
istrinya menjadi Wakil Sekretaris Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia
(Korpri) sekaligus menjabat Kepala Bagian Kepegawaian Kabupaten Poso. Adik
laki-lakinya diangkat menjadi Kepala Bagian Pembangunan. Ia pun menunjuk
keluarganya yang lain menjalankan banyak proyek infrastruktur di Kabupaten
Poso (Aragon 2007:67-68). Intinya sang bupati mengkonstruksi kelembagaan
daerah seperti perusahaan pribadi sehingga dana pembangunan dengan mudah
masuk ke kantongnya melalui pelbagai teknik dan metode yang formal.
26 Ichlasul Amal. 1992. Regional and central government in Indonesia politics: West Sumatra
and South Sulawesi 1949-1979. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm.
179.
27 Dalam konteks ini, rezim Orde Baru berusaha menampilkan kesan adanya proses
kapitalisme yang rapi dan yang beroperasi di pasar bebas. Walau demikian, rent-
seeking activities dan crony capitalism serta hierarki patrimonial terus memperkokoh
diri dan membangun jejaring satu sama lain sedemikian rupa sehingga tidak satu
orang pun mampu keluar dari struktur kekuasaan yang dikendalikan dari pusat.
Akibat mekanisme ini, selama 30 tahun pemerintah Orde Baru berkuasa 30%
bantuan asing masuk ke kantong-kantong kroni penguasa. Selain itu, sistem ini
pun memungkinkan para kroni mendapatkan jatah sumber-sumber alam di daerah.
19
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
sehingga bersedia menyediakan
banyak kekuatan yang dibutuhkan
oleh para birokrat untuk melerai aksi
mogok buruh, mengacau demonstrasi
mahasiswa, menghalau protes kelom-
pok oposisi, dan segala pelayanan yang
berhubungan dengan perkara ekonomi
politik. Ryter menyebut kelompok ini
sebagai gangster atau preman.28
Keberadaan preman semi-resmi
seperti Pemuda Pancasila pada era
Orde Baru sering dirasa perlu oleh para
elit politik lokal (formal) khususnya
untuk memastikan kestabilan politik
dan yang terpenting adalah memasti-
kan Golkar menang di wilayah ke-
kuasaannya. Karena, dengan berjaya-
nya suara Golkar di wilayahnya, para
elit politik lokal formal akan mendapat
distribusi sumber-sumber daya
ekonomi yang berlebih dari pusat
seperti subsidi, kontrak, dan lainnya
yang berkorelasi positif terhadap
kekayaan mereka; termasuk pelang-
gengan kekuasaan. Sebagai contoh,
pelbagai program Instruksi Presiden
untuk membiayai sekolah dasar,
kesehatan masyarakat, pasar, dan
fasilitas umum lainnya telah diman-
faatkan oleh elit politik lokal formal
maupun informal (baca: preman yang
telah bekerjasama dengan elit lokal)
untuk menciptakan kesempatan
memperkaya diri.
Politik lokal orde
reformasi: ilusi
perubahan?
Ketika krisis moneter meng-
hantam Indonesia pada tahun 1997,
dalam tempo yang tidak terlalu lama,
ledakan politik yang didetonatori oleh
gerakan mahasiswa berhasil meng-
hancurkan kuasa pusat di Jakarta.
Ambruknya Orde Baru sekaligus
menandai polisentrime baru yang
menolak kuasa pusat (decentring).
Dengan menggantungkan harapan
yang sangat tinggi pada jiwa zaman
saat itu (reformasi politik), otonomi
daerah yang diundangkan pada tahun
1999 dan dilaksanakan dua tahun
kemudian membuka peluang bagi
pembatalan pelbagai mekanisme
pungutan liar, pemberhentian pen-
jarahan keuangan negara oleh elit lokal,
dan penolakan atas budaya bosisme
dan local strongmen di daerah. Hal ini
dimungkinkan karena pengaruh pusat
di daerah terdekonstruksi oleh politik
reformasi sehingga individu-individu
yang dianggap sebagai ‘orang Jakarta’
(yang berada di daerah) terdelegi-
28 Ryter, L. 2002. Youth, gangs, and the state in Indonesia. Disertasi PhD. University of
Washington.
20 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
timasi kedudukannya. Mereka tidak
lagi bisa menjadi broker bagi ke-
pentingan pusat di daerah. Ataupun,
mereka kini tidak dapat lagi menjadi
penguasa tunggal di daerah karena
polisentrisme politik telah mengalah-
kan logika sentralisme politik.
Perubahan haluan dari ‘politik
lama’ yang tersentralisasi dan ter-
kontrol kepada ‘politik baru’ yang ter-
desentralisasi dan egaliter membawa
angin segar bagi politik lokal di
Indonesia, setidaknya pada tahun-
tahun pertama reformasi. Namun
setelah melewati ‘bulan madu’ refor-
masi yang sebentar, beberapa sarjana
segera menangkap pertumbuhan pesat
para broker politik dan local strongmen
di level lokal, yang mulai mengambil
alih kekosongan maupun memperkuat
akses kontrolnya terhadap politik
lokal.29 Para broker dan local strongmen
yang mengambil alih kekosongan
pemain dalam arena politik lokal pada
Orde Reformasi biasanya adalah
‘broker lama’ yang pada masa sebelum-
nya tidak mampu atau tidak mendapat-
kan kesempatan untuk bersaing
dengan local strongmen pendukung
rezim Orde Baru.30 Sedangkan, broker
dan local strongmen yang berhasil
menancapkan kukunya lebih dalam
lagi pada era reformasi adalah para
pemain atau broker lama yang pada
masa sebelumnya telah menjadi proksi
Orde Baru. Tetapi karena kemampu-
annya untuk melakukan reorganisasi
kekuatan—selama masa transisi
menuju demokrasi—mereka berhasil
memanipulasi state of minds publik
sehingga menempatkan orang kuat
lokal menjadi semakin berkuasa dan
berpengaruh dibanding masa
sebelummnya.31
29 Lihat tulisan Ryter, L. 2002. Youth, gangs, and the state in Indonesia. Disertasi
PhD. University of Washington. Vedi R. Hadiz. 2002. Power and politics in North
Sumatra: the uncompleted reformasi. Dalam. Edward Aspinall & Greg Fealy (eds.).
Local power and politics in Indonesia: decentralisation & democratisation,. Singapore:
ISEAS. Hlm. 119-131. Dan Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff. 2010. Dinasti
politik di Banten pasca Orde Baru: sebuah amatan singkat. Jurnal Administrasi
Negara 1(1). Hlm. 79-97.
30 Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff. 2009. Pilkada dan pemekaran daerah dalam
demokrasi lokal di Indonesia: local strongmens dan roving bandits. Tulisan Seminar
Serumpun IV yang diadakan oleh Pusat Pengajian Bahasa, Kesusteraan dan
Kebudayaan Melayu, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti
Kebangsaan Malaysia (UKM) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Hasanuddin (Unhas). Bangi, Selangor, Malaysia, 4-5 Juli.
31 Robison, R., & Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising power in Indonesia: the politics of
oligarchy in an age of markets. London: RoutledgeCurzon.
21
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
Melalui proses demokratisasi dan
desentralisasi, para local strongmen dan
bos ekonomi semakin memperoleh
kesempatan untuk menjabat kursi
sentral di lembaga-lembaga pemerin-
tahan daerah dibandingkan masa-
masa sebelumnya. Kalaupun mereka
tidak memangku jabatan-jabatan
penting tersebut, para broker ataupun
orang kuat lokal ini selalu berupaya
untuk memastikan bahwa para politisi
lokal bergantung pada bantuan dan
sokongannya agar kebijakan resmi
menguntungkan bisnis dan posisinya.32
Imbal jasa para politisi kepada para
broker politik tidak jarang dilandaskan
pada jasa investasi politik selama
berlangsungnya Pilkada atau
Pemilukada. Atau juga, karena mereka
mau menjadi ‘tameng’ penguasa
apabila terjadi unjuk rasa kelompok
oposisi, mahasiswa, buruh dan lainnya.
Meski demikian, tidak selamanya
elit politik formal berutang jasa pada
para bos ekonomi. Kadang kejadian
terjadi sebaliknya. Jika hal ini yang
berlaku, maka imbalan yang didapat
oleh elit politik formal—atas jasa
bantuannya terhadap bos ekonomi—
adalah mengalirnya uang-uang dari
para cukong ke kantong-kantong pe-
jabat daerah. Penelitian yang dilakukan
McCarthy di Aceh Tenggara mengenai
interaksi ini menarik untuk dibahas.
Analisis McCarthy menyatakan:33
At the apex of the network are
32 Aktivitas ini oleh Harriss-White (1992) dinamai informal economy, di mana orang
kuat lokal dapat hidup dengan hanya memanfaatkan kedekatan dengan
pemerintahan sehingga ia terus mendapatkan proyek dan kemudahan yang
diberikan oleh pemerintah, di samping terus berupaya mengendalikan pimpinan
daerah dan parlemen melalui: “... the use of trusted family labour; bilateral and
multilateral contracts, especially repeated and interlocked contracts; individual and collective
reputation; collective institutions; an inconsistent normative pluralism; and private
protection forces(Harriss-White 1999:5). Lebih jauh, dijelaskan sebagai berikut:
Some elements of the shadow state are played simultaneously by real state players,
e.g. corrupt lines of tribute, patronage/clientelage. Other shadow state livelihoods
are a form of self employment, though they depend on state employees, politicians
and other interested social forces for their incomes e.g. private armies enforcing
black or corrupt contracts, intermediaries, technical fixers, gatekeepers, adjudicators
of disputes, confidants, consultants, and chore performers.
Hence the real state with its shadow is bigger than the formal state and has a vested interest
in the perpetuation of a stricken and porous state. The shadow state spills spatially into the
lanes surrounding offices and into the private (some argue the ‘female’) domestic space of
an official’s residence. This must be the most vivid image of the blurred boundaries between
state and society (Harriss-White 1999:15).
33 McCarthy, J.F. 2002. Power and interest on Sumater’s reinforest frontier: clientiest
coalitions, illegal logging and conservation in the Alas Valley. Journal of Southeast
Asian Studies 31(1). Hlm. 93-94.
22 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
four key business figures,
predominantly from a particular
Alas clan (marga). These figures
dominated Southeast Aceh
politics, and even the bupati was
enmeshed in this network. Those
who upset this group would be
excluded from the webs of patron-
client relations running
Southeast Aceh. ....
Key figures there, allegedly
including the bupati, are
enmeshed in a social order that
extends to forestry staff working
for the National Park, police
(Polres) and army personnel
(Kodim), local government
officials, the judiciary and local
religious leaders (imam).
Irrespective of the precise formal
position within the state of those
playing various roles, the links
among businessmen, inter-
mediaries, brokers and villagers
lie outside the formal structure
of the state.
Interaksi seperti terurai di atas
muncul di banyak tempat di Indonesia
pasca Orde Baru. Munculnya dan
merasuknya kiprah orang-orang kuat
lokal juga terlihat jelas di Kota Medan.
Parlemen Kota Medan, merujuk Vedi
R. Hadiz, di dominasi oleh kelompok-
kelompok preman yang saling
bersaing.34 Beberapa diantaranya
bahkan memiliki hubungan yang rapat
dengan purnawirawan petinggi tentara
dan polisi. Bahkan pada tahun-tahun
pertama setelah Reformasi, wali kota
Medan, Abdillah, adalah bos ekonomi
setempat yang karismatik yang men-
duduki jabatan dan melalui cara
pembelian suara dan kekerasan. Selain
orang kuat lokal, aktor lain yang me-
mainkan peran politik baru setelah
Orde Baru di Medan adalah para
pengusaha tingkat menengah yang
paling tidak sebagiannya sangat
tergantung pada proyek dari pemerin-
tah, dan aktivis yang terkait dengan
organisasi semacam Himpunan
Mahasiswa Indonesia (HMI), Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),
Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI), Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia
34 Tiga nama yang disebut-sebut sebagai tokoh organisasi pemuda besar di Medan
yang umumnya merupakan wadah bagi aktivitas preman, yaitu: Bangkit Sitepu,
ketua cabang Pemuda Pancasila (PP) Medan—sebuah organisasi kemasyarakatan
preman-formal yang semasa Orde Baru mendapatkan sokongan pemerintah,
berafiliasi dengan Partai Golkar; Moses Tambunan pimpinan Ikatan Pemuda Karya
(IPK)—organisasi onderbouw Partai Golkar; dan Martius Latuperisa anggota Partai
Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Jenderal (Purn.) Edi Sudrajat, yang
menjadi pemimpin Forum Komunikasi Purnawiaran Putera-Putri ABRI (FKPPI)
Medan. Bahasan lebih lanjut mengenai mereka, lihat Ryter (2002) dan Vedi R.
Hadiz (2003).
23
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
(GMKI).35
Selain di Aceh Tenggara dan
Medan, di beberapa daerah lain bos-
bos ekonomi yang berprofesi sebagai
politisi semakin menjamur. Bahkan
jaringan orang kuat lokal di beberapa
daerah seperti Banten, Jawa Timur,
dan Sulawesi Selatan—sekadar
menyebut beberapa daerah—bukan
hanya berada di bawah kekuasan bos
ekonomi tetapi juga di bawah
kepemimpinan bangsawan lokal,
pemuka agama, dan tokoh adat. Para
local strongmen ini dengan mudah
menggerakkan masyarakat awam
sesuai dengan perintahnya. Memani-
pulasi sentimen etnik, agama, dan adat
sangat mungkin menggelorakan emosi
masyarakat umum di daerah. Apalagi
yang mengobarkannya adalah bangsa-
wan lokal, pemuka agama, dan tokoh
adat yang selama rezim Orde Baru
berkuasa mereka dimarginalkan. Hal
ini umpamanya bisa dilihat ketika
terjadi perseteruan Kristen dan
Muslim di Ambon dan tempat-tempat
lain di Maluku;36 kompetisi kekuasaan
di Kesultanan Ternate dan Tidore juga
dilaporkan telah memunculkan friksi
politik yang tajam di aras lokal di
Maluku Utara, sekaligus juga menyulut
kekerasan antaragama;37 persaingan
etnik di Kalimatan Tengah yang
perlahan-lahan berkembang menjadi
pertentangan dalam arena pemilihan
umum dan Pilkada;38 hi ngg a pe rsete ru-
an antar elit dalam rangka pembentu-
kan daerah otonom baru melalui
kebijakan redistricting.39
Dalam konteks lain, politik lokal
juga mesti dipahami sebagai arena
persaingan antara tiga kekuatan besar
yaitu: (i) birokrat yang berlatar
belakang bangsawan yang berhasil
bertahan hidup melewati pelbagai
macam rezim sejak periode kolonial;
(ii) birokrat yang berasal dari
masyarakat awam kebanyakan; dan,
35 Vedi R. Hadiz. 2003. Power and politics in North Sumatra: the uncompleted reformasi.
Dlm. Edward Aspinall & Greg Fealy (eds.). Local power and politics in Indonesia:
decentralisation & democratisation. Singapore: ISEAS. Hlm. 119-131.
36 van Klinken, G. 2001. The Maluku wars of 1999: bringing society back in. Indonesia
71(April): 1-26.
37 van Klinken, G. 2007. Communal violence and democratisation in Indonesia: small town
wars. London: Routledge. 2007.
38 Taufiq Tasanaldy. 2007. Politik identitas di Kalimantan Barat. Dlm. Henk S. Nordholt
& Gerry van Klinken (eds.). Politik lokal di Indonesia. Terjemahan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. Hlm. 461-490.
39 Aragon, L.V. 2007. Persaingan elit di Sulawesi tengah. Dalam Henk S. Nordholt &
Gerry van Klinken (eds.). Politik lokal di Indonesia. Terj. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan KITLV-Jakarta. Hlm. 49-86.
24 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
(iii) para local strongmen. Persaingan ini
terkadang berwajah aneh karena
adakalanya mereka bersekutu, tetapi
di lain kesempatan mereka saling
memangsa. Persaingan ketiga ke-
kuatan ini misalnya dapat terlihat jelas
dalam proses redistricting. Karena trend
kekuasaan di tingkat lokal pada
umumnya masih terhimpun di tangan
sejumlah politisi berlatar belakang
birokrat awam, maka ketika mereka
kurang berhasil melaksanakan amanat
otonomi, kelompok birokrat lainnya
(yang berlatar belakang bangsawan)
memanfaatkan kesempatan ini untuk
menentang pemerintahan yang eksis.
Penentangan ini tidak jarang diasaskan
pada bayangan kejayaan kebangsa-
wanan mereka pada masa lalu, selain
juga dilandaskan pada tuntutan pe-
layanan dan sebagainya. Oleh karena
itu, perseteruan antara kelompok yang
menuntut dan menolak pemekaran
menjadi semakin membara ketika para
local strongmen turun tangan dengan
menyertakan anak buah mereka. Peran
serta local strongmen ini dilandasi oleh
harapan akan masa depan atas pem-
bagian kue pembangunan di daerah
baru dan lainnya sehingga memotivasi
mereka untuk membela mati-matian
para birokrat sokongannya.40
Merujuk pada kecenderungan di
luar Jawa, redistricting menunjukkan
keberhasilan birokrat bangsawan
mengalahkan pesaingnya. Ini dibukti-
kan dengan bertambah banyaknya
jumlah kabupaten baru di Indonesia.
Bangsawan lokal yang berpendidikan
tinggi, meniti jenjang karier melalui
dinas kebirokratan atau kemiliteran,
ataupun lewat Partai Golkar sudah
barang tentu memiliki kemampuan
melobi Jakarta dengan baik. Sehingga,
setelah memperoleh dukungan dari
DPRD, delegasi dari daerah berangkat
ke Jakarta untuk meyakinkan Komisi
II DPR tentang perlunya pembentukan
daerah otonom baru. Sekali lagi
40 Terdapat banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan terbentuknya daerah
otonom baru diantaranya terbukanya peluang bagi banyak pihak untuk mengisi
kursi birokrasi termasuk pos-pos penting untuk menjamin terlaksananya proses
menajamen dan pelayanan publik. Para pelaku bisnis juga memetik keuntungan
dari kebijakan ini karena sirkulasi keuangan mereka menjadi lebih meningkat
sejalan dengan pengembangan aktivitas ekonomi, seperti penyediaan infrastruktur
fisik dan kebutuhan belanja lainnya. Dari itu semua, yang tidak pernah dirugikan
oleh pembentukan daerah otonom baru adalah elit di semua lapisan. Elit politik
misalnya, akan meningkatkan pelebaran kemungkinannya untuk menduduki
jabatan politik baru seperti kepala daerah, ketua, dan anggota DPRD. Elit birokrasi
akan memperoleh keuntungan dengan semakin terbukanya promosi baru, eselon
baru, dan jabatan struktural baru di daerah otonom.
25
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
peranan local strongmen dari kategori
bos ekonomi diperlukan khususnya
dalam hal menyediakan sejumlah uang
bagi anggota DPR yang berkunjung ke
daerah yang akan di-redistricting.
Negosiasi ini menunjukkan adanya ke-
mungkinan bagi para local strongmen
untuk memperoleh keuntungan yang
lebih besar lagi tatkala daerah otonon
baru dibentuk.
Urain di atas memperlihatkan
bahwa politik lokal di Indonesia meru-
pakan kombinasi persaingan ke-
pentingan antara local strongmen
(termasuk bos ekonomi) dan pejabat
lama (bangsawan dan awam) yang
semuanya berupaya untuk terus mem-
bangun dan mengekalkan kekuasa-
annya di daerah. Masing-masing
mereka berusaha menjadi pemenang
agar sumber-sumber ekonomi di
daerah dapat terus dikendalikan
kelompok mereka. Karena itulah, tidak
heran apabila Amrih Widodo menyata-
kan sisi gelap desentralisasi (the dark
side of decentralisation) Orde Reformasi
sebagai berikut: 41
..., a new modus vivendi based
on negotiation and deal-making
appears to be evolving between
the bureaucracy and the
legislature. The system serves as
an avenue for political players to
maximise their access to resources
and enhance their political
standing. Each tries to outdo the
others, because they all realize
that victory in the fight for
strategic positions depends on
being able to mobilise financial
resources and build a popular
support base.
Meski demikian, implikasi awal
transformasi politik lokal di Indonesia
tidak separah seperti yang terjadi di
Thailand di mana para local strongmen
terpusat pada diri seorang chao pao dan
berkubu-kubu secara lebih kaku. Ini
karena peranan orang kuat lokal di
Indonesia lebih longgar, lebih samar,
dan kurang monolitik. Tetapi harus
segera dicatat ini terjadi tujuh hingga
lima tahun lalu. Kini evolusi orang kuat
lokal di Indonesia—di beberapa
daerah khususnya—sudah bertumpu
pada pemusatan kekuasaan yang
mengarah pada pembentukan dinasti
politik lokal. Salah satunya berlang-
sung di Banten. Analisis Leo Agustino
& Mohammad Agus Yusoff menarik
untuk disimak, yakni: evolusi local
strongmen di Banten menuju dinasti
politik lokal yang lebih terpusat dan
41 Amrih Widodo. 2003. Changing the cultural landscape of politics in post-
authoritarian Indonesia: the view from Blora, Central Java. Dlm. Edward Aspinall
& Greg Fealy (eds.). Local power and politics in Indonesia: decentralisation &
democratisation, Singapore: ISEAS.
26 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
terprogram.42 Kini dinasti politik ter-
sebut telah berjaya menempatkan
beberapa sanak keluarga dan kroni
mereka di banyak posisi, baik pemerin-
tahan maupun dunia bisnis (formal
ataupun informal).43
Politik lokal di Indonesia masih
terus berevolusi. Arah evolusi ter-
sebut—jika mengikuti argumentasi
tulisan ini—dapat dipastikan akan
bermuara pada penguatan politik lokal
yang berbasis local strongmen. Namun
tidak dipungkiri juga berlangsugnya
good practices otonomi daerah masa
reformasi di daerah-daerah yang tidak
mengalami penguasaan oleh orang-
orang kuat lokal sepert uraian di atas.
Tetapi mesti diingat bahwa walaupun
local strongmen tidak berkuasa seperti
halnya di Banten, kecenderungan
mereka untuk menjadi investor politik
Pilkada pada akhirnya dapat
mempengaruhi proses desentralisasi
yang sejati di level lokal. Karena, para
investor politik akan senantiasa
‘menciptakan’ peluang—bukan lagi
‘memanfaatkan’ peluang layaknya free
rider(s)—bagi memastikan bahwa elit
politik formal menopang kepentingan
mereka. Jika demikian halnya, maka
42 Menurut Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff, evolusi tersebut sudah mulai
dilakukan sejak undang-undang otonomi diimplementasikan dan dibentuknya
Provinsi Banten melalui mekanisme redistricting. Semenjak saat itu, Tubagus (Tb.)
Chasan Sochib—seorang ‘tameng’ dan local strongmen semasa Orde Baru—
memainkan peranannya untuk mengendalikan pemerintahan di Banten. Pada
periode awal terbentuknya Provinsi Banten, beliau menempatkan anaknya (Ratu
Atut Chosiyah) sebagai wakil gubenur dari politisi kawakan, Djoko Munandar
(dari Partai Persatuan pembangunan). Setelah cukup memahami dinamika politik
daerah, maka Ratu Atut kini menjabat sebagai gubernur hingga tahun 2011.
43 Dinasti politik Banten diantaranya Ratu Atut (anak kandung Tb. Chasan Chosib)
yang menjadi Gubernur Banten 2006-2011; Ratna Komalasari (istri, ibu tiri Ratu
Atut) menjadi anggota DPRD Kota Serang melalui Partai Golkar; Heryani (istri,
ibu tiri Ratu Atut yang lain) anggota DPRD Kabupaten Pandeglang dengan
sokongan Partai Golkar; Khaerul Jaman (anak, adik tiri Ratu Atut) menjadi wakil
Wali Kota Serang untuk periode 2009-2014; Ratu Tatu Chasanah (anak, adik
kandung Ratu Atut), ketua PMI Provinsi Banten yang menjadi anggota DPRD
Provinsi Banten melalui Partai Golkar; Hikmat Tomet (menantu, suami Ratu Atut)
anggota DPR RI periode 2009-2014 dari Partai Golkar; Aden Abdul Cholik (anak,
adik tiri Ratu Atut) yang menjadi anggota DPRD Provinsi Banten dengan usulan
Partai Golkar; Andika Haruzamy (cucu, anak Ratu Atut) menjadi senator bagi
Provinsi Banten melalui jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD); dan Adde Rossi
Khaerunisa (cucu, menantu Ratu Atut) mantan Ketua KONI Serang yang menjadi
anggota DPRD Kota Serang melalui Partai Golkar. Daftar ini belum termasuk mereka
yang berkiprah di pemerintahan daerah dan dunia bisnis formal maupun informal.
27
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
politik lokal di Indonesia dapat dikata-
kan berwajah muram karena perubah-
an yang diimpikan hanyalah asa
semata.
Penutup
Politik lokal di Indonesia meng-
alami turbulensi yang dramatik selama
beberapa dekade terakhir. Ada masa
di mana politik lokal terintervensi oleh
campur tangan kepentingan elit politik
pusat khususnya pada periode awal
kemerdekaan dan semakin akut pada
era rezim Orde Baru, tetapi ada pula
masa di mana politik lokal berhasil
menonjolkan jati dirinya khususnya
pada saat reformasi ini. Dua hal yang
menonjol dari kedinamisan politik lokal
di Indonesia adalah: pertama, politik
lokal di Indonesia selalu berusaha
dikendalikan oleh pusat karena
sumber-sumber dayanya yang meng-
giurkan; kedua, munculnya local
strongmen se bagai akibat h al dis ebutkan
pertama. Dalam analisis tulisan ini,
munculnya orang kuat lokal dapat
dipastikan melalui dua sumber.
Sumber pertama, orang kuat lokal
memang diletakkan oleh rezim Orde
Baru untuk mengawasi dan mengen-
dalikan elit politik lokal dan sumber
lainnya, tercetus karena resistensi
sentralisasi pusat. Dan, politik lokal di
Indonesia sebelum dan setelah
transformasi politik tahun 1998 kekal
diwarnai oleh peranan para local
strongmen ini.
Peranan mereka dalam otonomi
daerah baik melalui Pilkada dan
redistricting telah mencorakkan politik
lokal yang berbeda dibandingkan masa
sebelumnya. Ini karena pada masa
sebelum jatuhnya Orde Baru, orang-
orang kuat lokal dikawal dan bahkan
ditekan kehadirannya oleh rezim
berkuasa. Tekanan terhadap orang
kuat di luar proksi penguasa dilakukan
oleh aparatur koersif rezim di daerah.
Kondisi ini dimengerti karena
penguasa pusat tidak menghendaki
munculnya pusat-pusat kuasa lain
selain kekuasaan pusat di Jakarta.
Sedangkan pada era yang serba
terbuka sesudah jatuhnya Soeharto,
peranan orang-orang kuat lokal
termasuk para bos ekonomi tidak lagi
dapat dibendung. Walau sesungguh-
nya, peralihan dari ‘politik lama’ yang
sentralistik ke ‘politik baru’ yang
polisentris tidak menghasilkan
kesempatan yang sama bagi semua
lapisan masyarakat untuk berkiprah di
politik lokal. Mereka yang memiliki
kekuatan (local strongmen) dan uang
(bos ekonomi) adalah pihak-pihak
yang paling diuntungkan pada masa
demokrasi saat ini. Tidak hanya itu,
analisis tulisan ini juga mendapati
bahwa aktor ‘politik lama’ yang
dipupuk di bawah sistem patronase
rezim Orde Baru sebagian besar
28 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
berhasil menata ulang diri dalam
‘politik baru’ sehingga transformasi
politik yang diharapkan bergerak ke
arah yang lebih baik pada era
Reformasi hanya menjadi ilusi saja.
Daftar Pustaka
Amrih Widodo. 2003. Changing the
cultural landscape of politics in
post-authoritarian Indonesia: the
view from Blora, Central Java.
Dlm. Edward Aspinall & Greg
Fealy (eds.). Local power and politics
in Indonesia: decentralisation &
democratisation, Singapore: ISEAS.
Aragon, L.V. 2007. Persaiangan elit di
Sulawesi tengah. Dlm. Henk S.
Nordholt & Gerry van Klinken
(eds.). Politik lokal di Indonesia, 49-
86. Terj. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan KITLV-Jakarta.
Arghiros, D. 2001. Democracy,
development and decentralization in
provincial Thailand. Surrey:
Curzon.
Burhan Magenda. 1989. The surviving
aristocracy in Indonesia: politics in
three province of the outer islands.
Disertasi PhD. Cornell University.
Chandhoke, N. 1995. State and civil
society: Exploration in political theory.
London: Sage Publication.
Cohen, J-L., & Arato, A. 1992. Civil
society and political theory.
Cambridge: Massachussetts
Institute of Technology Press.
Diamond, L. 1994. Rethinking civil
society: Toward democratic
consolidation. Journal of Democracy
5(3): 151-159.
Escobar, A., & Alvarez, S.E. (eds.).
1992. The making of social movements
in Latin America: identity, strategy,
and democracy. Boulder: Westview.
Gellner, E. 1994. Conditions of liberty:
civil society and its rivals. London:
Hamish Hamilton.
Hansen, T.B. 1999. The saffron wave:
democracy and Hindu nationalism in
modern India. Princeton: Princeton
University Press.
Harriss-White, B. 1999. How India works:
the character of the local cconomy.
Cambridge: Cambridge
University Press.
Ichlasul Amal. 1992. Regional and central
government in Indonesia politics: West
Sumatra and South Sulawesi 1949-
1979. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Emelifeonwu, D.C. 1999. Anatomy of a
failed democratic transition: The case
of Nigeria. Disertasi PhD. McGill
University.
Kay, B.H. 1996. Violent democratization
and the feeble state: Political violence,
breakdown and recomposition in Peru,
1980-1995. Disertasi PhD.
University of North Carolina.
Keen, D. 2005. Conflict and collusion in
Sierra Leone. Oxford: James Currey
29
Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
Publishing.
Laclau, E., & Mouffe, C. 1985.
Hegemony and socialist strategy:
towards a radical democratic politics.
London: Verson.
Leo Agustino & Mohammad Agus
Yusoff. 2009. Pilkada dan peme-
karan daerah dalam demokrasi
lokal di Indonesia: local strong-
mens dan roving bandits. Tulisan
Seminar Serumpun IV yang
diadakan oleh Pusat Pengajian
Bahasa, Kesusteraan dan
Kebudayaan Melayu, Fakulti
Sains Sosial dan Kemanusiaan,
Universiti Kebangsaan Malaysia
(UKM) bekerjasama dengan
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Hasanuddin (Unhas). Bangi,
Selangor, Malaysia, 4-5 Juli.
———————. 2010. Dinasti politik di
Banten pasca Orde Baru: sebuah
amatan singkat. Jurnal
Administrasi Negara 1(1): 79-97.
Malley, M. 1999. Regions:
centralization and resistance.
Dlm. Donald K. Emmerson (ed.).
Indonesia beyond Suharto: polity,
economy, society, transition, 71- 105.
New York: M.E. Sharpe.
McCarthy, J.F. 2002. Power and interest
on Sumater’s reinforest frontier:
clientiest coalitions, illegal
logging and conservation in the
Alas Valley. Journal of Southeast
Asian Studies 31(1): 83-102.
McVey, R. (ed.). 2000. Money and power
in provincial Thailand. Copenhagen
: Nordic Institute of Asian Studies
(NIAS).
Migdal, J.S. 1988. Strong societies and
weak state: state-society relations and
state capabilities in the third world.
Princeton: Prnceton University
Press.
Mohan, G., & Stokke, K. 2000.
Participatory development and
empowerment: the dangers of
localism. Third World Quarterly
21(2): 247-268.
Robison, R., & Vedi R. Hadiz. 2004.
Reorganising power in Indonesia: the
politics of oligarchy in an age of
markets. London: Routledge
Curzon.
Ryter, L. 2002. Youth, gangs, and the
state in Indonesia. Disertasi PhD.
University of Washington.
Scönleitner, G. 2004. Can public
deliberation democratise state
action?: municipal health council
and local democracy in Brazil.
Dlm. John Harriss, Kristian
Stokke, & Olle Tornquist.
Politicing democracy: the local
politics of democratisation, 75-106.
New York: Palgrave Macmillan.
Sidel, J. 1999. Capital, coercion, and crime:
bossism in the Philippines. Stanford:
Stanford University Press.
Taufiq Tasanaldy. 2007. Politik identitas
di Kalimantan Barat. Dlm. Henk
30 Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010
Teori
S. Nordholt & Gerry van Klinken
(eds.). Politik lokal di Indonesia, 461-
490. Terj. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan KITLV-Jakarta.
The Editors. 1992. Current Data on the
Indonesian Military Elite.
Indonesia 53(April): 93-136.
van Klinken, G. 2001. The Maluku wars
of 1999: bringing society back in.
Indonesia 71(April): 1-26.
van Klinken, G. 2007. Communal violece
and democratisation in Indonesia:
small town wars. London:
Routledge.
Varshney, A. 2002. Ethnic conflict and
civic life. New Haven: Yale
University Press.
Vedi R. Hadiz. 2003. Power and politics
in North Sumatra: the uncom-
pleted reformasi. Dlm. Edward
Aspinall & Greg Fealy (eds.). Local
power and politics in Indonesia:
decentralisation & democratisation,
119-131. Singapore: ISEAS.
Wellhoer, E.S., 2005. Democracy, facism
and civil society. Dlm. S.
Roßteutscher (pnyt.). Democracy
and the role of associations: Political,
organizational and social contexs, 19-
45. London: Routledge.
... Selama beberapa dekade terakhir, politik di tingkat lokal di Indonesia telah terjadi perubahan yang substansial dan penuh gejolak (Agustino & Yusoff, 2010). Namun, hingga saat ini, budaya politik Indonesia belum mengalami pergeseran yang signifikan (Pureklolon, 2021). ...
Article
Full-text available
Currently, the digitalization of services has erased the boundaries between producers and consumers, one of which is by using e-commerce. This service can help solve farmer and stakeholder problems related to inefficient communication. The focus of this research is to determine the influence of Indonesia's macro environment on the development of fruit and vegetable e-commerce in Indonesia. This research uses a qualitative approach with a literature study method with political, economic, social, technological, ecological, and legal variables to describe the macro environment. The relationship between each macro-environmental factor is studied using PESTEL analysis as a potential opportunity and threat to developing vegetable and fruit e-commerce businesses in Indonesia. The study results show that stable Indonesian politics and rapidly growing digital technology in Indonesia support the development of fruit and vegetable e-commerce. However, from an economic, social, ecological, and legal perspective, it has yet to be able to significantly contribute to developing fruit and vegetable e-commerce in Indonesia. Therefore, it is necessary to integrate fruit and vegetable e-commerce with other goods and services the community needs, such as Grabmart from Grab and Gomart from Gojek.
... Two essential things emerge from the dynamics of local politics in Indonesia: first, central control over local politics caused by the interest in access to extensive local resources; second, the birth of local strongmen due to the first reason (Agustino & Yusoff, 2010). However, these two things do not positively impact the community's survival because of their elite character. ...
Article
Full-text available
This article analyzes the political practices of oligarchy and elite politics in the context of the 2020 local elections in Indonesia. Despite the high number of Covid-19 cases, Indonesia continued to hold simultaneous local elections, making the regional elections even more controversial. The significance of this research lies in understanding the existence of oligarchic and elite political practices in Indonesia's election administration. The article employs a qualitative method using desk study by analyzing relevant literature to answer the research problem. The novelty of this research is in providing an analysis of the political practices of oligarchy and elite politics in the context of the 2020 local election. The findings indicate that the 2020 local elections were characterized by the re-strengthening of kinship politics, high single candidates, and the involvement of actors with oligarchic interests. These are indications that oligarchic and elite politics are returning to dominate election administration in Indonesia. The implications of this research are essential for understanding the challenges of democratization in Indonesia and the need to strengthen democratic institutions and practices.
... dimilikinya, dengan menggunakan uang maupun pengaruh dari eksistensi diri yang dimiliki (Aspinall and Sukmajati 2015). Sebagai contoh, di Thailand terdapat chao pho atau 'bapak pelindung' yang dikenal sebagai broker dalam ekonomi dan politik (Agustino and Yusoff 2010). Dalam politik, chao pho memiliki jaringan kuat dalam jajaran elit politik lokal serta disegani karena kemampuannya mengendalikan masyarakat melalui aparatur koersifnya. ...
Article
Full-text available
This article analyzes the patterns of relations held by brokers in areas that have an abangan culture. The broker in this study is botoh who acts as an intermediary between candidates and prospective voters in the 2020 Blitar Regency Pilkada (Regional Elections). The theory used is the contemporary patron-client theory proposed by James C. Scott, which aims to explore the patron-client characteristics possessed by botoh in Blitar Regency. Purpose: This study aims to understand the characteristics of patron-client relationship patterns found in the abangan region of Blitar Regency. In the Pilkada held in 2020, there is a relationship formed between candidate pairs, botoh, and clients. The relationship was formed because of the opportunities for benefits obtained by each party. Design/Methodology/Approach Descriptive qualitative research methods and in-depth interviews for information gathering can explain the patron-client characteristics of botoh. Findings: This study shows that botoh in abangan areas have seven characteristics, those are (1) short-term relationship span with candidates but long-term relationship span with their subordinates, (2) profit-based relationship pattern with both candidates and subordinates, (3) specialized influence on patrons and clients who have interests, (4) has a modern managed resource base, (5) minimal control over local resources, (6) botoh and his men are one of the community groups in Blitar Regency, (7) botoh has a dense relationship with patrons and clients who have similar characteristics. Originality/Value: This research focuses on understanding the characteristics of patron-client relationship patterns found in the abangan region of Blitar Regency.
... Direct regional head elections have been held since 2005. Thenceforward, many political brokers have emerged in regional head elections (Agustino, 2010). ...
Article
Full-text available
The election of regional heads is actually a place to take choices directly by the people or voters in the regions. But in fact, the choice of voters is much influenced, even manipulated by political brokers. This study was conducted to reveal the models of political brokers and their operating patterns in regional head elections in Indonesia. Political brokers have hijacked direct democracy in local elections. The regional head should have a direct contract with the voters, related to the work program at the time of contestation and accountability at the time of election. But the process was hijacked midway by political brokers. Political brokers have long operated in the process in Indonesia, both general elections, presidential elections, village head elections, and regional head elections. This research used descriptive qualitative method. Data was collected through in-depth interviews with informants who were directly involved in the regional head election. From the research conducted, it is found that political brokers in regional head elections in Indonesia are village heads, and community leaders. Political brokers perform their role in two ways. First, by giving money to the head of the electorate. The money comes from regional head candidates who are given by the winning team for regional head candidates for political brokers. The money given by regional head candidates to political brokers consists of money for own political broker and operational money, as well as money to be distributed to voters. Second, political brokers also act to intimidate, threaten and frighten potential voters, if they do not vote for candidates who are supported by political brokers.
... Agustino and Yusof define dynastic politics as the placement of several family members in a political structure. The family members are based on ancestry or clan (Agustino & Yusoff, 2010). This definition can generalize that several people in a family who are included in the political structure can be said to be dynastic politics. ...
Article
Full-text available
A democratic state allows for the birth of a dynastic politics. Indonesia as a democracy must accept these consequences. As long as dynastic politics are in accordance with the constitution and do not violate democratic principles, the state accommodates the birth and development of dynastic politics. In Indonesia, since the opening of the doors of reform and regional autonomy, it has led to a democratization of political power at the center as well as in the regions. Dynastic politics also grows and develops. The growth and development of dynastic politics occurs at the level of political power in the regions. In the Tegal Raya region, dynastic politics led by the Dewi Sri clan had experienced developments and was able to place several members of the Dewi Sri clan in several political powers. But interestingly, the political development of the dynasties in the Tegal Raya region must be reduced. This article analyzes the factors that influence the development and reduction of dynastic politics in the Tegal Raya Region.
... Namun realitas menunjukkan bahwa kompetisi elektoral yang relatif bebas dan adil yang terjadi di tingkat lokal, tidak disertai dengan meluasnya ruang publik (public sphere) terutama di tingkat akar rumput karena munculnya fenomena dominasi elit lokal (Buehler, 2010). Bahkan, terdapat fenomena bahwa orang kuat lokal (local strongmen) dan para bos ekonomi yang mendapatkan keuntungan dalam praktik demokrasi di tingkat lokal (Agustino & Yusoff, 2010). ...
Article
Indonesia is one of the Muslim countries in the world that is able to gradually implement democracy in its political system. In the 25 years after the reform, Indonesia has tried various schemes to be able to carry out democratization so that it can be accepted by the Indonesian people themselves and even aims to get a positive international image. In the dynamics that occur, the development of political democracy in Indonesia gives rise to a social and political dynamics known as primordial politics and identity politics. These two approaches become true when we look at the conditions and dynamics of politics and democracy that occur in Indonesia. Moreover, the position of the regions has a significant role in contributing to the development of democracy and politics at the center. The region is an interesting area to discuss considering that the region is part of the political administration which has a strong influence on the center. This happened during the Indonesian reformation that occurred in 1998. Where the centralized concept became decentralized with the emergence of regional autonomy. In other words, the region has full power and authority to determine its political and economic direction. Of course, under other conditions it would be better. But on the other hand there are sociological consequences that must be accepted after the reform. The development of democracy in Indonesia actually produces primordial politics and identity politics, which are difficult to avoid. So it could be that Indonesia itself is aware that these two approaches are indeed taking place and cannot be avoided. Therefore, it is necessary for us to understand that primordial politics and identity politics today are a social reality and fact that occur in the dynamics of politics and democracy in Indonesia.
Article
Full-text available
Pelaksanaan Pilkada haruslah beriringan dengan proses pengawasan. Pengawasan dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan yaitu Bawaslu. Namun, hal tersebut dianggap kurang maksimal. Penulisan ini menyoal pengawasan alternatif, yaitu pengawasan non pemerintahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk menjawab persoalan. Hasil dari penelitian ini adalah pengawasan non pemerintah harus disinergikan. Sinergitas ini melalui segitiga pengawasan Pilkada non pemrintahan melalui tiga elemen, masyarakat, perguruan tinggi dan pers.
Article
Full-text available
Constitutional Court Decision No. 14/PUU-XI/2013 mandated national elections simultaneously between elections executive (President and Vice-President) and legislative (House of Representatives, Provincial and District/City). After the 1945 amendment to experience a variety of complications in the Indonesian political system nationally. Democratization deliver the Indonesian people switching system of government, ie from a presidential system to the parliamentary system. Elections as a democratic process to the leadership of the government elected by the people as a sovereign State. The system of government by consensus of the people, by the people and for the people has implications for improving the effectiveness and stability of the country. The Problem is the electoral system with the current political party system is less effective in the election which is actually held separately between the presidential election, and the election pileg. Giving rise to various problems of the complexity of government (central and local governments). In the hierarchy, the presidential system is less relevant to the separate electoral system between national elections (pileg and presidential) election and the multi-party system. Political reality with the current system adopted, lead to conflicts among constituents, a very high political costs for the government and the candidates (candidates), strengthening of money politics is difficult to avoid the impact of a majority vote, a negative effect on the psychology of candidates when lost or won in battle politics, coalitions are not “healthy” in the implementation of the government, due to various political ideologies and individual interests, as well as the problems of the strategic policies of government. The correlation between electoral systems simultaneously with a multi-party system is a simplified alternative solution in presidential systems strengthening to improve the welfare of the whole people of Indonesia.
Book
Full-text available
There is a major contradiction in contemporary politics: despite a wave of democratisation that has swept across much of the world, globalisation appears to have reduced those forces that have encouraged democracy historically. Democratic aspirations may well founder upon local political realities. But there is another side to all of this that is still little understood. As the social forces that have supplied the basis for democratisation in the past have become weaker, so other forms of organisation have grown up. A variety of new social movements and of voluntary associations, often operating locally and in neighbourhoods, seem to have become more powerful, and to provide the basis for more substantial democracy than we have know hitherto. The chapters in this book, by an international group of authors, analyse the kinds of development and of governance that are emerging in developing countries, as different actors are confronted with structural changes and institutional reforms that generate new and widened local political spaces. Are they really constructing more substantial democracy?
Article
Voluntary associations have been presented as a solution to political apathy and cynicism towards representative democracy. The authors collected in this volume, however, argue that these claims require more robust substantiation and seek to critically examine the crucial link between the associative sector and the health of democracy. Focusing on the role of context and using diverse approaches and empirical material, they explore whether these associations in differing socio-political contexts actually undermine rather than reinvigorate democracy. © 2005 Sigrid Roßteutscher for selection and editorial matter. All rights reserved.
Article
Through close scrutiny of empirical materials and interviews, this book uniquely analyzes all the episodes of long-running, widespread communal violence that erupted during Indonesia's post-New Order transition. Indonesia democratised after the long and authoritarian New Order regime ended in May 1998. But the transition was far less peaceful than is often thought. It claimed about 10,000 lives in communal (ethnic and religious) violence, and nearly as many as that again in separatist violence in Aceh and East Timor. Taking a comprehensive look at the communal violence that arose after the New Order regime, this book will be of interest to students of Southeast Asian studies, social movements, political violence and ethnicity.