ArticlePDF Available

Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014

Authors:
  • Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta and Institute for Digital Democracy

Abstract

This article describes how the presidential contestation in 2014 was characterized by the presence of political volunteers. Here political volunteers is defi ned as a manifestation of strengthening active participation of citizens in promoting substantive democracy. This article argues that the rise of a new social movement has brought a tradition of voluntarism in politics. In addition he voluntarism has transformed the values of patrimonial political and oligarchy onto active popular voluntarism and participatory. The political volunteers who employed offl ine and online medium have clearly increased public participation in Indonesia.This article has also argued the presence of political volunteers has positively contributed to developtment of extra parlementary democracy model.
146
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
Fenomena Relawan Politik dalam
Kontestasi Presidensial 2014
Bambang Arianto*1
Abstract
This article describes how the presidential contestation in 2014 was characterized by the presence of political
volunteers. Here political volunteers is de ned as a manifestation of strengthening active participation of
citizens in promoting substantive democracy. This article argues that the rise of a new social movement
has brought a tradition of voluntarism in politics. In addition he voluntarism has transformed the values
of patrimonial political and oligarchy onto active popular voluntarism and participatory. The political
volunteers who employed o ine and online medium have clearly increased public participation in Indonesia.
This article has also argued the presence of political volunteers has positively contributed to developtment
of extra parlementary democracy model.
Keywords :
volunteers politics; public participation; extra parliamentary.
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana kontestasi presidensial 2014 yang diwarnai oleh
kehadiran relawan politik sebagai manifestasi dari meningkatnya partisipasi aktif warga
masyarakat dalam demokrasi substansial. Artikel ini berpendapat bahwa kebangkitan gerakan
sosial telah melahirkan tradisi voluntarisme dalam politik. Selain itu voluntarisme juga turut
mentrasformasi nilai-nilai politis yang bernuansa patrimonial dan oligarkis menjadi voluntarisme
dan partisipatoris. Relawan politik yang bergerak secara o ine dan online dapat meningkatkan
partisipasi publik. Artikel ini juga berpendapat bawah kehadiran relawan politik secara sangat
positif berkontribusi terhadap pembangunan model demokrasi ekstra parlementer.
Kata Kunci :
relawan politik; partisipasi publik; ekstra parlementer.
* Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta, e-mail: bulaksumur4@yahoo.
com
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Volume 18, Nomor 2, November 2014 (146-162)
ISSN 1410-4946
147
Bambang Arianto, Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014
Pendahuluan
Pesta rakyat2 yang digelar setelah Joko
Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dilantik
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia pada 20 Oktober 2014, seolah ingin
menunjukkan bahwa kemenangan Jokowi-
JK adalah kemenangan rakyat Indonesia.
Kemenangan yang didapat dari hasil kerja
para relawan politik. Kesuksesan ini menjadi
penanda awal atas kemenangan demokrasi
partisipatoris. Demokrasi partisipatoris yakni
demokrasi yang lebih memberikan perluasan
akan partisipasi publik dengan basis utama
atas kepedulian dan persoalan publik. Namun,
tentunya partisipasi efektif yang dimaksud
adalah partisipasi yang memiliki kekuatan tawar
yang riil, terbuka dan kompetitif dimana publik
dapat mengungkapkan pilihan-pilihannya
dengan baik dan tentunya diperhitungkan oleh
para pengambil kebij akan.
Perluasan partisipasi publik ini diharapkan
dapat memunculkan kembali kekuatan-
kekuatan sosial non-partai yang selama ini
tergerus oleh dominasi kaum oligarki dan
arus utama partai politik. Alhasil, dominasi
ini seringkali menyebabkan medium interaksi
diruang publik semakin mengecil. Selain itu,
demokrasi partisipatoris turut dipengaruhi
oleh relasi media massa terutama media cetak
dan media sosial--yang bahu membahu turut
memberikan sosialisasi dan komunikasi politik
dengan baik. Relawan politik dalam konteks ini
2 Pesta rakyat yang digelar pada 20 oktober 2014,
merupakan pesta yang tidak semata menghambur-
hamburkan sesuatu secara berlebihan apalagi
bersenang-senang. Dalam pesta itu, segala doa
dan harapan disematkan. Pemotongan tumpeng
sebagai simbol keselamatan dilakukan. Saat di atas
panggung pesta rakyat di Monas, Jokowi memberikan
potongan tumpeng pertama kepada seorang wanita,
Siti Mugiyah, yang belakangan diketahui sebagai
sopir taksi dan penopang hidup keluarga. Pesta rakyat
ini mengingatkan kita akan jejak-jejak kebudayaan
manusia Indonesia yang dibangun di atas kesadaran
kohesi kolektif, kerja sama, dan saling menghargai.
Pesta rakyat yang digelar ini tidak bertujuan mencari
uang atau materi, melainkan demi persaudaraan dan
kasih sayang antarsesama (Setiawan, 2014).
tidak dapat dikategorikan sebagai partisipasi
yang dimobilisasi, sebab partisipasi yang lahir
adalah partisipatif sukarela (otonomi) baik
melalui aksi jalanan (o ine) dan online.
Hal itu juga terjadi pasca kontestasi
presidensial 2014. Dengan tingginya eskalasi
politik antar koalisi di parlemen dan adanya
wacana mengagalkan pelantikan Jokowi-JK,
telah menyulut relawan politik menyambut
pelantikan Joko Widodo (Jokowi) dengan
sebutan “Gerakan Dua Puluh Oktober” dengan
melibatkan kurang lebih 400 ribu orang (The
Jakarta Post, 2014).3 Hal itu ditujukan sebagai
bentuk kepedulian dan rasa syukur para
relawan politik terhadap kemenangan Jokowi-
JK. Itulah yang mendorong mereka mengawal
segala proses yang bersifat seremonial pada
pelantikan Jokowi-JK.
Dalam historiogra politik, istilah relawan
(volunteer) dikembangkan semenjak tahun 1755
oleh seorang Perancis M. Fr Voluntaire ketika
memberi pelayanan kepada tentara yang
sedang berperang. Tugasnya adalah mengabdi
secara ikhlas dalam kegiatan altruistik untuk
mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan
kualitas kehidupan di bidang sosial, budaya dan
ekonomi. Istilah relawan diambil dari bahasa
Jerman “aktivismus” yang muncul pada akhir
perang dunia pertama. Istilah ini kemudian
digunakan untuk menandai prinsip keterlibatan
politik secara aktif oleh kaum intelektual. Bukan
hanya pemikiran, tetapi juga usaha untuk
membela dan mewujudkan pemikiran tersebut
disebut “aktivisme”. Aktivismus ini merupakan
bagian dari ekspresionisme, yang saat itu
memiliki nilai politik sangat kuat. Biasanya
aktivismus dihubungkan dengan Kurt Hiller,
pengarah organisasi Neuer Club yang menaungi
para penyair ekspresionis awal; maupun Franz
3 People’s Movement on Oct. 20) — initially intended solely
to see the inauguration through without a hitch. More than
40,000 people were involved in inauguration festivities, the
rst such occurrence in Indonesian history.The Jakarta
Post. (2014). Jokowi-s-volunteers-continue-movement.
html. (Online), (http://www.thejakartapost.com/
news/2014/10/23, diakses 25 Desember 2014)
148
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
Pfemfert, pendiri majalah Die Aktion pada 1911
yang sangat politis. Dalam berbagai pengertian
itu, kaum militan maupun aktivismus akhirnya
dapat dikatakan sebagai bagian dari relawan
(volunteer) (Suryadi, 2014).4
Kehadiran relawan politik pada kontestasi
presidensial 2014 berbeda dengan sejarah
awal kelahiran voluntaristik tersebut di atas.
Pada 2014, relawan politik bukan bagian
dari anggota partai politik. Kehadiran para
relawan bukan karena daya tarik partai politik-
melainkan kepada politik nilai yang melampaui
kepentingan partai. Bahkan, kehadiran relawan
politik dapat disinergikan dengan tim sukses
pemenangan kampanye sebuah partai politik-
karena fungsi mobilisasi yang lebih masif.
Menurut Savirani (2015)5, relawan politik
dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok.
Pertama, relawan yang berasal dari mantan
aktivis yang terlibat dalam kisaran tahun 1990-
an atau lebih dikenal sebagai aktivis gerakan
pro-demokrasi untuk menggulingkan rezim
Soeharto. Kedua, adalah aktivis dari berbagai
organisasi non-pemerintah mulai dari gerakan
anti-korupsi, petani dan kelompok masyarakat
adat. Ketiga, adalah seniman dan orang-orang
di sektor kreatif. Kelompok pertama dan kedua
memiliki agenda politik, namun sayangnya
tidak memiliki massa yang jelas. Berbeda
dengan kelompok ketiga yang tidak memiliki
agenda politik tetapi memiliki banyak jejaring
massa dari semua lapisan masyarakat. Hal itu
disebabkan bekal popularitas yang dimilik oleh
para artis dan seniman sehingga dapat menarik
lebih banyak pendukung dan pengikut.
Artinya, berbagai aktivitas tersebut
ditujukan untuk kepentingan bersama. Istilah
relawan selama ini muncul dan populer hanya
dalam aksi-aksi sosial—yang dengan sukarela
menyumbangkan dirinya untuk bekerja
4 h p://www.prismaindonesia.com/index.php/editorial/
item/325-relawan-politik, diakses 26 Desember 2014.
5 h p://theconversation.com/jokowis-supporters-are-
starting-to-doubt-the-indonesian-obama-37843, diakses
18 Maret 2015.
dengan tenaga dan pikiran tanpa berharap
keuntungan materi apapun. Dalam hal ini
para volunteer sering bersikap proaktif dan
bukan reaktif dalam membantu kelompok atau
organisasi guna melahirkan masyarakat yang
sejahtera (Wilson 2000, hal. 216, Wilson 2012).
Pada akhirnya jiwa yang dimiliki para relawan
dapat menjadi aspek kunci dari masyarakat
sipil dalam upaya pelembagaan demokrasi
yang lebih partisipatoris (Bekkers 2005; Becker
dan Dhingra, 2001).
Dalam kontestasi presidensial 2014
tercatat ada 1.2486 organisasi relawan politik
yang mengorganisasikan diri sendiri dengan
sistem kemandirian (self help) maupun
sokongan pihak lain. Fenomena baru
demokrasi Indonesia ini dapat dikategorikan
sebagai kebangkitan politik sipil yang menadai
kembalinya partisipasi publik. Kebangkitan
politik sipil dapat ditelusuri melalui kehadiran
relawan politik yang tersebar di seluruh
Indonesia tanpa sekat agama, etnis atau ras
(primordialisme). Relawan politik ini kemudian
menciptakan asosiasi sipil secara spontan
dengan mengedepankan kepercayaan publik
tanpa diperintah oleh partai politik apapun.
Disini kepercayaan (trust) sangat diperlukan
guna membentuk integrasi sosial, antara
citizen dan lembaga-lembaga demokratis yang
dinamis dalam sebuah asosiasi (Cohen, 1999).
Artikel ini berpendapat bahwa relawan
politik hadir dalam konstestasi presidensial
2014, disebabkan oleh lemahnya peran partai
politik sebagai rahim ideologis bagi calon-
calon pemimpin republik. Partai politik semata
menjadi alat meraih kekuasaan dan tidak
menjadi sekolah kenegarawanan bagi para
politisi. Alhasil, partai politik melanggengkan
kekuasaan oligarki para patron dalam meraup
suara rakyat. Akumulasi dari kekecewaan
publik terhadap kinerja partai politik akhirnya
melahirkan gerakan relawan politik.
6 Lihat Zuly Qodir, Orde Kerakyatan untuk Kemandirian.
Harian Kompas, 16 Agustus 2014.
149
Bambang Arianto, Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014
Gerakan non-partisan seperti yang
ditunjukkan oleh relawan politik telah mampu
mendorong perubahan dari luar sistem
politik formal, yang selama ini belum mampu
menghasilkan perubahan yang signi kan.
Kemunculan serpihan-serpihan gerakan
sosial non-partisan yakni relawan politik—
telah mampu menumbangkan oligarkis
partai politik yang sekaligus membangun
pelembagaan demokrasi partisipatoris.
Dalam hal ini demokrasi partisipatoris
diartikan sebagai demokrasi yang melibatkan
seluruh masyarakat dalam proses politik
dan pengambilan keputusan publik, baik
langsung maupun tidak langsung, dimana
rakyat dapat mengajukan usul, masukan
mengenai kebij akan yang akan ditetapkan
oleh pemerintah (Fikri AF, 1999).
Bila demokrasi partisipatoris dapat
terlembaga dengan baik, maka hal itu
akan menjadi salah satu faktor kunci
kehadiran model pemerintahan demokrasi
ekstra parlementer—yang mana model ini
merupakan pencerminan dari aktivitas
politik yang diselenggarakan oleh kelompok-
kelompok terutama relawan politik diluar
institusi-institusi resmi negara. Disini
peran relawan politik diupayakan dapat
mengontrol, mengawasi, meningkatkan serta
memberikan masukan seputar kebijakan
yang dilahirkan oleh pemerintah. Sehingga,
akan selaras dengan kehendak rakyat
dalam penyelenggara kehidupan bernegara.
Pendek kata, fenomena baru demokrasi
Indonesia tersebut telah menandai perubahan
rekon gurasi relawan politik yang kemudian
mengajak kita pada dua pertanyaan;
Bagaimana peran relawan politik dalam
kontestasi presidensial 2014? Kemudian
bagaimana implikasi relawan politik dalam
proses pelembagaan demokrasi? Batasan
dalam artikel ini hanya seputar peran dan
implikasi relawan politik dalam upaya
membangun model demokrasi berkarakter
ekstra parlementer.
Peran Relawan Politik dalam Konstelasi
Politik
Peran relawan politik7 dalam konstelasi
politik Indonesia seolah telah menjadi pilar
utama pelembagaan demokrasi. Dengan
cara masing-masing, para relawan politik
tidak jarang bergerak tanpa koordinasi dan
terstruktur, tetapi dapat bergerak sendiri
untuk mendukung calon presiden pilihannya.
Tanpa disadari relawan politik, telah mampu
membangun pelembagaan budaya partisipatif—
bahkan kemudian muncul istilah ‘Museumkan
Pilpres’.8 Relawan politik dalam konteks
dinamika politik Indonesia dapat dikategorikan
sebagai new social movement yang dihuni
oleh kelas menengah. Kehadiran new social
movement, yang bersamaan dengan kehadiran
politik media sosial dapat dilihat sebagai
bagian popular culture yang menitikberatkan
pada penokohan. Heryanto (2012), menilai jika
budaya populer dalam lanskap sosial politik
Indonesia merupakan arena pertentangan
representasi dan rekognisi terhadap satu tokoh
tertentu. Peran, gur dapat menjadi sebuah
biopolitic publik berwatak kon iktual sekaligus
menjadi a liasitas publik.
Jika mengacu pada tulisan Lane (2008) dan
Aspinal (2013 a, b) fenomena ini menunjukkan
tengah terjadi peningkatan partisipasi gerakan
sosial, meskipun pada realitasnya masih
terbatas dan terfragmentasi. Hal senada juga
dikemukan Nina Eliasoph dalam buku The
7 Sekretaris Jenderal DPP Barisan Relawan Jokowi
Presiden (Bara JP) Utje Gustaaf Patty mengatakan
relawan Joko Widodo sudah ada di seluruh provinsi
serta di beberapa negara di dunia sekitar 31 negara
di dunia, di antaranya, Taiwan, Inggris, Malaysia,
Amerika, dan Jepang. Lihat, Tempo.co (2014). Relawan
Jokowi ada di 31 Negara. (Online) (h p://www.tempo.
co/read/news/2014/04/03/078567626/Relawan-Jokowi-
Ada-di-31-Negara, diakses 24 Desember 2014).
8 Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) akhirnya melahirkan
bahwa partisipasi politik rakyat adalah kegembiraan
spontan yang bisa menjebol dan membangun rajutan
solidaritas tanpa pamrih. Lihat, Al-Rahab, Amiruddin.
(2014). Museumkan Pilpres. (Online). (h p://www.tempo.
co/read/kolom/2014/07/31/1523, diakses 25 Desember
2014).
150
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
Politics of Volunteering (2013), relawan terbukti
mampu meningkatkan partisipasi publik.
Namun, menurut Samah dan Susanti (2014)
tidak semua komunitas relawan politik memiliki
visi dan misi yang sama. Berdasarkan aktivis
kegiatan, ada tiga kategori relawan politik yaitu;
Pertama, relawan narsis adalah mereka yang
sekedar mencari popularitas. Seperti membuat
spanduk dukungan untuk Jokowi disertai
foto dirinya sendiri. Kedua, relawan rente,
yakni relawan yang sering membuat berbagai
kegiatan dan aktivitas dukungan terhadap
Jokowi, namun dengan tujuan dan target
mencari keuntungan semata. Para relawan ini
biasanya menjadi event organizer dalam suatu
acara dukungan dan mengedarkan proposal
untuk pelaksanaan acara tersebut, yang tujuan
akhirnya mendapatkan laba dari acara tersebut.
Ketiga, relawan fans club, adalah mereka yang
yang aktivitasnya hanya memuji-muji apapun
yang dilakukan Jokowi dan marah-marah jika
ada yang memojokkan Jokowi. Para relawan ini
tidak akan segan-segan membela Jokowi jika
dihina di media sosial. Biasanya jenis relawan
politik ini berasal dari anak-anak muda dan
artis.
Gejala peningkatan partisipasi publik
semenjak kehadiran relawan politik dapat
menandai skema baru meningkatnya partisipasi
publik yang pada dasarnya merupakan bagian
partisipasi pada umumnya. Charles Andrian
dan James Smith (dalam Marijan, 2010)
mengelompokkan tiga bentuk partisipasi.
Pertama, adalah partisipasi yang lebih pasif.
Partisipasi dilihat dari keterlibatan politik
seseorang, yakni sejauh mana orang itu melihat
politik sebagai sesuatu yang penting, memiliki
minat terhadap politik, dan sering berdiskusi
mengenai isu-isu politik dengan teman. Kedua,
adalah partisipasi yang lebih aktif, yakni sejauh
mana orang itu terlibat di organisasi-organisasi
atau asosiasi-asosiasi sukarela (voluntary
associations), seperti kelompok-kelompok
keagamaan, olahraga, pencinta lingkungan,
organisasi profesi, dan organisasi buruh.
Ketiga, adalah partisipasi yang berupa kegiatan-
kegiatan protes, seperti ikut menandatangani
petisi, memboikot, dan berdemonstrasi. Di
sistem demokrasi seperti yang dianut di
Indonesia, partisipasi publik atau khalayak
lebih dilihat ke sejauh mana publik turut serta
dalam setiap pemilu atau pemilihan kepala
daerah (Pilkada).
Pengaruh relawan politik dalam
meningkatkan partisipasi rakyat dalam
kontestasi presidensial 20149—terlihat dari
hadirnya para pegiat seni yang selama ini
selalu menjadi pihak yang berseberangan
dengan pemerintah. Namun, pada saat itu
para pegiat seni mau bahu-membahu untuk
turun ke jalan. Hal ini seolah menggambarkan
kedewasaan mereka dalam mengawal transisi
demokrasi. Fenomena ini mengkonfirmasi
pendapat Verba, Schlozman, dan Brady (1995:
1) yakni partisipasi warga negara adalah
jantung demokrasi. Artinya, dengan segala
plus-minusnya, relawan politik mampu
membangkitkan semangat demokrasi di negeri
ini, yang sudah mulai mengarah kewujud inti
dari demokrasi atau demokrasi ideal. Inilah
dimensi riil demokrasi kerakyataan yang
berproses dan bergerak dari bawah ke atas.
Bukan sebaliknya, yakni demokrasi elitis yang
hanya dimonopoli oleh sebagian elite politik
sebagai pelaku utama.10
Wujud partisipasi politik lain yang
dilahirkan oleh relawan politik dimanifestasikan
9 Partisipasi pemilih terda ar dalam memberikan suara
untuk Pileg 2014 mengalami peningkatan dari 70,29
persen pada Pemilu 2009 menjadi 76,11 persen untuk
Pemilu 2014. Peningkatan ini terjadi karena pengaruh
para capres yang sudah melakukan kampanye lebih
awal. Jumlah suara sah mengalami peningkatan dari
85,59 persen (jumlah suara tak sah 14,41 persen) pada
Pileg 2009 menjadi 90 persen (jumlah suara tak sah 10
persen) untuk Pileg 2014. Meski cara nyoblos sudah
menggantikan cara nyontreng, ternyata jumlah suara
tak sah masih tinggi.
10 Meski yang terakhir ini kelompoknya kecil, meminjam
bahasanya Gramsci (2009), mereka adalah pemenang
wacana atas kuasa mayoritas. Sedangkan rakyat tetap
menjadi mayoritas terpinggirkan yang bungkam dan
dibisukan.
151
Bambang Arianto, Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014
dalam bentuk sumbangan dan donasi pada
rekening dana kampanye Jokowi-JK. Tujuan
menggalang donasi tersebut tidak lain adalah
berupaya melibatkan masyarakat secara
langsung dalam kampanye Jokowi-JK. Melalui
Rekening BRI kantor cabang Mall Ambassador
dengan nomor rekening 1223 01000172309 atas
nama Joko Widodo-Jusuf Kalla,11 diharapkan
publik mampu ikut berpartisipasi dan bergotong
royong menjadi pemacu agar Jokowi-JK dapat
menjadi pemimpin sejati. Selain angka-angka
cantik yang dipilih untuk menunjukkan
dukungan, terdapat pula nilai nominal Rp
2.000 atau Rp 5.000. Padahal, bagi kebanyakan
penduduk Jakarta, nilai tersebut hampir tidak
memiliki nilai. Namun, setiap sumbangan yang
diberikan, berapa pun nilainya, tetap dimaknai
sebagai bentuk keinginan rakyat untuk terlibat
dalam menentukan pilihannya.
Pengelolaan dana sumbangan kampanye
ini dilakukan secara transparan dengan
membuat website www.jokowi-jk-kita.com yang
ditujukan untuk dapat selalu memberikan
gambaran data perolehan sumbangan dari
masyarakat. Tercatat sumbangan dana
kampanye mencapai Rp 312.376.119.823.
Rinciannya, dana terpakai Rp 311.899.377.825.
Sumbangan dari partai pendukung Rp
206.531.657.775, Sedangkan yang berasal dari
masyarakat mencapai Rp 105.844.462.048,
terdiri dari dua sumber yakni perusahaan
dan perorangan. Dari perusahaan Rp 63,1
miliar dan perorangan Rp 42.744.462.048.
Uniknya, dari perorangan berasal dari 60.000
orang—dan terdapat 59.000 penyumbang yang
memberikan sumbangan dibawah Rp 100.000
(Qodir, 2014).
Menariknya, para relawan politik bergerak
dengan mengedepankan cara-cara kreatif
melalui kerja-kerja teritorial yang memang
belum tertata dengan baik. Para relawan
11 Lihat, Tempo.co. Isi Rekening Donasi Jokowi-JK Baru
Rp 152 Juta. (Online). (h p://pemilu.tempo.co/read/
news/2014/05/29/269580990/Isi-Rekening-Donasi-
Jokowi-JK-Baru-Rp-152-Juta. diakses 2 Januari 2014)
politik ini juga menampilkan model kampanye
kreatif12 yakni kampanye yang mengedepankan
aspek seni rupa maupun gra s, sehingga dapat
menjadi daya tarik di tengah kejenuhan publik
menyaksikan model kampanye konservatif
selama ini. Melalui kampanye kreatif yang
banyak mengandung unsur gagasan dan
hiburan diharapkan dapat lebih menarik
partisipasi publik yang lebih luas.
Selain itu, meningkatnya partisipasi
publik juga dipengaruhi oleh peran media
sosial yang mampu mengkomunikasikan
program-program tersebut di tingkat rakyat.
Dalam konteks ini relawan politik biasanya
bergerak melalui dua strategi yakni secara
offline dan online.13 Alhasil, perpaduan dua
gerakan yang melibatkan kelas menengah,
mampu membangun fungsi lingkage antara
rakyat dan pemimpin (Utomo, 2013). Apalagi,
netizen dan dunia nyata bukanlah dua dunia
yang terpisah. Interaksi keduanya bersifat
komplementer, sehingga membuat peran
media sosial tidak dapat menggantikan peran
dunia nyata. Namun, interaksi dan komunikasi
digital dapat berkembang sekaligus menjadi
pertimbangan (deliberasi) publik (Priyono,
2014: 166). Artinya, relawan politik terlahir
berkat sokongan media sosial yang berperan
besar mendorong dalam dunia nyata. Mulai
dari membangun diskursus seputar dinamika
politik, hingga berkembang menjadi berbagai
aksi nyata dan jalanan baik disemua lini baik
tingkat lokal maupun nasional.
12 Memang harus diakui, dalam literatur ilmu politik,
istilah kampanye kreatif masih terasa asing karena
jenis kampanye yang kita kenal selama ini ada tiga;
kampanye positif, kampanye negatif, dan kampanye
hitam.
13 Kita dapat mengenal relawan dunia nyata (offline)
dan relawan dunia maya (online). Di mana tujuan
penggunaan media sosial oleh para nitizen adalah
untuk membicarakan persoalan publik yang lebih
luas, kemudian pekerjaan/organisasi baru persoalan
komunitas dan urusan pribadi. Prosentasi pemanfaatan
media sosial untuk kepentingan publik rata-rata 76-
100%. Lihat, Priyono, dkk. (2014) Media Sosial Alat
Gerakan Sipil; belajar dari suksesi Jakarta dan Masa
depan Indonesia. hlm 146.
152
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
Keberadaan media sosial, berperan penting
dalam mendorong demos untuk mewujudkan
sebuah kesetaraan, partisipasi, serta
voluntarisme. Ma um disadari jika pertarungan
di dunia maya tidak terhindarkan—aksi saling
bully maupun perang posting di jejaring sosial,
seperti facebook, twitter, dan youtube, tidak
terhindarkan. Apa yang diutarakan Gramsci
sebagai war of position, sebagai gelanggang
pertarungan untuk memenangkan hegemoni
menjadi kenyataan. Ketegangan kreatif dalam
dunia maya telah meminimalisir terjadinya
potensi konflik terbuka. Bahkan, ia telah
mengubah materi kampanye politik yang
biasanya klise menjadi sangat kreatif. Bahkan,
ada pula kelompok relawan politik yang
menamakan “Generasi Optimis” yang sukarela
meluncurkan lm dokumenter animasi, game,
gambar plesetan yang kocak, musik hingga
online shop yang menjual berbagai pernak-
pernik seputar Jokowi-JK.
Inilah esensi dari peran relawan
politik dalam konstelasi politik yang dapat
dianalogikan sebagai kemunculan suara rakyat
sebagai suara Tuhan. Hasilnya dapat dilihat,
meskipun Indonesia terdiri dari masyarakat
majemuk dan kondisi geogra s yang terpisah-
pisah, tetapi kampanye kreatif yang digerakkan
oleh relawan politik—mampu melahirkan
kegembiraan politik atau yang lebih dikenal
dengan istilah demokreatif (Prast, dkk, 2014).
Efektivitas gerakan relawan politik juga telah
diukur oleh berbagai lembaga survei. Bahkan,
hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI)14
menunjukkan jumlah mesin partai yang
bergerak dalam setiap pemilu hanya berkisar 9
14 Relawan Jokowi mengklaim ada sekitar 112 kelompok
relawan terdaftar dengan kami, sedangkan dikubu
kandidat saingan Prabowo Subianto, jumlah kelompok
relawan mencapai 250. Sebagian besar kelompok
relawan mewakili komunitas tertentu, mulai dari
pedagang kaki lima, sopir bus, ibu rumah tangga dan
mahasiswa, akademisi, pengusaha dan aparat militer
dan polisi pensiun. Beberapa bahkan terbentuk di luar
negeri. (Online), (h p://www.tempokini.com/2014/06/
relawan-kunci-kemenangan-capres, diakses 24
desember 2014)
persen, sisanya digerakan oleh aktor lain seperti
relawan politik. Hal itu mengkon rmasi bahwa
mesin partai sudah tidak efektif lagi dalam
memuluskan pasangan capres-cawapres.
Pasalnya, mesin partai sulit bergerak untuk
menembus langsung pada pemilih, karena
sekat-sekat ideologis atau buruknya citra elit
parpol atau politisi, sehingga sulit menyapa
pemilih secara langsung atau bahkan merebut
hati pemilih. Sedangkan relawan politik lebih
luas jangkauan segmentasi pemilih, sebab tidak
terikat oleh jejaring partai politik. Apalagi,
bagi pemilih pemula yang belum memahami
ideologi partai politik, atau belum memahami
politik secara komprehensif terutama mengenai
gur politik dan capres—dapat dengan mudah
berdialog pada relawan politik ketimbang
kader maupun simpatisan partai politik.
Kehadiran relawan politik pada akhirnya
menciptakan tradisi baru perpolitikan
Indonesia yakni tradisi voluntaristik. Kehadiran
gerakan sosial non-partisan ini terbukti dapat
mengacaukan ekuilibrium politik yang selama
ini dikuasai konsensus konservatif. Bahkan,
pencapresan sosok Jokowi tidak terlepas
dari campur tangan kelompok ini, yang
otomatis mengacaukan konsensus konservatif
“Batu Tulis” antara elit PDI-Perjuangan
dan Partai Gerindra. Partisipasi publik ini
juga berimplikasi positif pada upaya publik
untuk lebih aktif memberikan usulan model
pemimpin pilihan rakyat.15 Salah satunya
model kepemimpinan transformatif yang mau
mendengar suara rakyat dan mau berada di
tengah-tengah rakyat. Kerja-kerja kreatif para
relawan politik telah mengubah peta kekuatan
capres secara drastis, apalagi, pemilih kita lebih
didominasi oleh pemilih yang dikategorikan
undecided voters.16
15 Arianto, Bambang. 6 Agustus 2014. Epilog Kontestasi
Presidensial 2014. Media Indonesia, hlm 24.
16 Undecided voters merupakan pemilih yang belum
menentukan pilihan. Tipologi pemilih yang tidak
memiliki kecenderungan untuk tetap ajeg memilih
kandidat politik. Hal ini menjadi alasan mengapa
pembentukan preferensi politik elektoral di Indonesia
153
Bambang Arianto, Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014
Norquay (2008) menyebut kehadiran
relawan politik sebagai fenomena
pengorganisasian tanpa organisasi (OTB)
lahir sebagai akibat kembalinya politik
identitas.17 Masifnya kampanye hitam yang
menggunakan isu primordialisme (SARA)
akhirnya menyulut aksi relawan politik untuk
semakin berjuang. Bahkan, menurut Kartika
Djoemadi18 koordinator Jokowi Advanced Social
Media Volunteers (Jasmev), menilai relawan
politik yang beroperasi di darat rela dan
ikhlas untuk meluncurkan tabloid tandingan
bernama Tabloid Rahmatan Lil’Alamin, Jokowi
JK adalah kita, guna menangkal kehadiran
Tabloid Obor Rakyat.19 Fenomena relawan politik
merupakan episode awal dari efek kemunculan
esensi demokrasi yang menyerupai kelompok
penekan20 pada era-1998-an. Hal ini dapat
dilihat dari kontur saat berlangsung kontestasi
presidensial 2014 lalu, beragam modalitas sosial,
seperti komunitas sepeda onthel, komunitas
layang-layang, pedagang pasar, berubah jadi
modalitas politik dalam barisan relawan politik.
Para relawan politik lahir secara spontan,
mendeklarasikan21 dukungan secara terbuka,
sangatlah artisial dan dibentuk secara instan. Itu
pertanda faktor elektabilitas capres bukanlah satu-
satunya modal dalam pilpres 2014.
17 Hanif, Hasrul. (2007). Antagonisme Sosial, Diskonsensus
dan Rantai Ekuivalensi: Menegaskan Kembali Urgensi
Model Demokrasi Agonistik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Vol. 11 No. 1 Edisi Juli.
18 Kartika Djoemadi, merupakan Koordinator Jokowi
Advanced Social Media Volunteers (Jasmev) Lihat
Wawancara Majalah Tempo (2014) dengan Kartika
Djoemadi, pimpinan Jasmev. Edisi 15-21 Desember
2014, hlm 77.
19 UU No 49 Tahun 1999 tentang Pers dan Dewan Pers
ialah semata-mata untuk meluruskan fungsi mulia
media. Atas dasar itulah Ketua Dewan Pers Prof. Dr.
Bagir Manan menyatakan tabloid Obor Rakyat tidak
dapat dikategorikan sebagai produk jurnalistik, bukan
hanya karena tidak memiliki surat izin jurnalistik,
melainkan juga karena isinya jauh dari asas-asas
jurnalistik yang baik (Kompas, 17 Juni 2014).
20 Kelompok penekan ini hampir menyerupai gerakan
1998 yang mana saat itu terjadi pembangkangan para
elit dan intelektual terhadap rezim Soeharto (Uhlin,
1998).
21 Pada Pilpres 2014 inilah terjadi peningkatan antusiasme
bekerja tersebar, dan bersifat desentralis saat
memasuki wilayah-wilayah geogra pemilih.
Akhirnya, kolektivitas dalam bentuk power to
dan power with ini telah melahirkan semacam
ledakan kegembiraan dan kreativitas politik
yang sangat luar biasa.
Mengutip pernyataan Ketua Kelompok
Kerja Panitia Pemilihan Luar Negeri (Pokja
PPLN), partisipasi warga negara Indonesia di
luar negeri yang mengikuti proses pemungutan
suara Pilpres 2014 meningkat 83 persen22
ketimbang pada tahun 2009 (The Jakarta
Post, 2014). Bahkan, di sejumlah PPLN
terjadi peningkatan hingga mencapai 800
persen seperti yang terjadi di Addis Ababa
(Ethiopia). Akhirnya, tradisi volunterisme
itu tidak lain merupakan upaya derivatif
melahirkan demokrasi yang terikat kuat pada
kewarganegaraan (citizenship). Jejaring relawan
politik adalah perwujudan awal dari semangat
kewarganegaraan yang tumbuh secara kolektif
dan bergerak bersama-sama dalam sifat yang
politis.
Relawan Politik dan Proses Pelembagaan
Demokrasi
Kunci kemenangan pasangan Jokowi-JK
adalah bersumber dari masifnya dukungan
politik massa atau rakyat yang bermukim di
ruang publik politik yang sedang terbentuk
(cyber-civiv space) serta subjek-subjek politik
baru termasuk Internet. Menurut Merlyna Lim
warga negara Indonesia untuk menggunakan hak
pilih baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini
dapat dilihat banyaknya dukungan buat Jokowi-JK
dari publik. Seperti, sejumlah pelajar dan masyarakat
Indonesia berkumpul di kampus Universitas Harvard
di Cambridge, Amerika Serikat (AS), pada Sabtu
(14/6) untuk menyatakan dukungan mereka kepada
Jokowi-JK. Dukungan ini dinyatakan di depan Patung
John Harvard di Universitas Harvard. Lihat, h p://
sp.beritasatu.com/home/mahasiswa-indonesia-
deklarasikan-dukungan-jokowi-jk-di-kampus-
harvard/57534, diakses 2 Januari 2014.
22 Overseas voter turnout up by 83%, says PPLN. (Online).
(http://www.thejakartapost.com/news/2014/07/17/
overseas-voter-turnout-83-says-ppln.html, diakses 2
Januari 2014)
154
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
(2014), ada tiga konsep yang bermanfaat untuk
mengeksplorasi internet sebagai teknologi
yang dapat diterima dan ditransformasikan di
dalam proses perubahan sosial pada konteks
lokal, yakni masyarakat sipil, ruang publik
dan identitas.23 Relawan politik juga terlahir
dari subyek-subyek yang tidak teroganisir.
Seperti tidak terikat pada struktur vertikal
bersifat sukarela, bekerja partisipatif, mewakili
fenomena personal-politik—serta didukung
morfologi yang sangat tergantung pada jejaring
non-formal. Dukungan yang diperoleh berasal
dari politik jalanan yang kemudian mengkristal
menjadi gerakan non-partisan.
Pada titik inilah relawan politik telah
dapat melakukan pelembagaan demokrasi
karena adanya pertemuan kelas menengah
perkotaan dan dunia maya yang merupakan
pertanda penting tengah terjadi politisasi
ruang-publik. Fenomena tersebut agaknya
berpotensi membentuk arus balik kedua bersifat
antagonistik terhadap struktur hegemonik
politik mainstream berbasis oligarki dan
patronase. Dalam kencenderungan itu, kita
sedang menyaksikan proses politik demokrasi
baru bukan kearah konsensus dan kompromi
elite, tetapi arah disensus dan antagonisme.
Setelah sekian lama ditelikung oleh kontur
dan logika liberal guna memenangkan nalar
politik konsensus konservatif. Sejatinya, inilah
23 Pertama, masyarakat sipil dimaknai sebagai pendekatan-
pendekatan baru yang lebih melihat masyarakat sipil
di antara kepentingan Negara dan kepentingan dunia
(bisnis) ekonomi (Fine, R dalam Lim 2014). Kedua, ruang
publik yang dalam konteks ini mengungkapkan ada
empat unsur yang membentuk ruang publik, yakni pers
(media), obrolan (conversations), pembentukan opini
publik, dan tindakan (Kim, J dalam Lim, 2014). Hal ini
menegaskan jika salah satu dari pilar dari ruang publik
yang efektif adalah media massa dan teknologi media,
yang dapat menjadi alat untuk menyebarluaskan
gagasan-gagasan individu yang dapat menjadi oposisi
efektif terhadap kekukasan Negara. Ketiga, identitas
sebagai sumber-sumber kekuasan dan perlawanan.
Dalam konteks ini kendati identitas terdiri dari banyak
lapisan, dan seringkali bertentangan satu sama lain,
ia tetap melahirkan suatu identi kasi simbolik yang
mengaitkan seseorang atau sekelompok orang dengan
tindakan-tindakannya.
tahap awal bagi politik demokratisasi yang
sedang bergeser, yakni pembentukan saluran
partisipatoris baru yang diharapkan menjadi
aspek penting yang akan menjadi suplemen
demokrasi.
Hal ini akan mengkonfirmasi bahwa
relawan politik terlahir dari kejenuhan, atas
mengguritanya praktik-praktik klientelistik
(jasa yang dipertukarkan) atau yang dikenal
patronase. De sit demokrasi kerap membuat
rakyat kerap diperdaya oleh kepentingan para
oligarkis. Namun dengan kehadiran relawan
politik telah membuktikan jika kedaulatan
rakyat tidak bisa dibeli oleh politik uang
(money politic).24 Bahkan, relawan politik
sebagai saluran partisipatoris baru ini telah
mampu menghambat peredaran politik uang.
Apalagi, selama ini banyak penilaian bahwa
suara pemilih khususnya kelas miskin dapat
digadaikan dengan imbalan uang, sembako
ataupun material lainnya (Choi, 2009; Hidayat,
2009; Taylor, 1996) yang mana pola-pola
relasi seperti ini sangat kuat berakar di dalam
identitas lokal Indonesia. Inilah kenyataan
dinamika politik Indonesia, sebuah demokrasi,
yang telah gagal melenyapkan kesenjangan
sosial yang relasinya ditandai oleh kegiatan
rent-seeking dan berpotensi menimbulkan
kekerasan. Gerry Van Klinken menyebut hal ini
sebagai gejala demokrasi patronase (Klinken,
2014 : 225). Dimana gerakan demokratisasi
yang berlangsung selama ini lebih dicurahkan
pada upaya menghadirkan lembaga demokrasi,
24 Politik uang dapat dipahami sebagai bentuk mobilisasi
elektoral dengan cara memberikan uang, hadiah,
atau barang ke pada pemilih agar dicoblos dalam
pemilu. Sejumlah studi merujuk politik uang pada
teori distribusi politik yang dapat dibedakan dalam
dua bentuk. Pertama, politik uang yang secara spesi k
menunjuk pada strategi ritel jual beli suara (vote buying).
Dari segi waktu biasanya dilakukan menjelang pemilu
(serangan fajar). Kadang dilakukan prabayar sebelum
hari-H pemilihan, tapi ada pula yang sesudahnya
setelah terbukti dukungan cukup signi kan. Kedua,
strategi politik uang grosiran dan lebih bersifat
jangka panjang dengan menyalahgunakan kebij akan
programatik, seperti bantuan sosial atau hibah maupun
dana pork barrel untuk kepentingan elektoral.
155
Bambang Arianto, Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014
baik pada ranah negara maupun rakyat—
bukan berupaya meningkatkan kapasitas
lembaga demokrasi dan membangun perilaku
demokrasi di kalangan para penyelenggara
negara, politisi, serta masyarakat sipil sebagai
modal sosial cenderung terabaikan.
Fenomena relawan politik telah menjadi
penanda kelahiran berbagai aktor demokrasi
yang mampu meruntuhkan model politik
Indonesia yang berbasis patronase.25 Hal ini
mengkon rmasi hasil temuan dari penelitian
lanjutan26 yang digelar oleh Power, Welfare
and Democracy (PWD) Jurusan Politik dan
Pemerintahan (JPP) Fisipol Universitas Gadjah
Mada. Dalam penelitian ini dikenal beberapa
indikator pelembagaan demokrasi. Pertama,
menguatnya institusi masyarakat sipil dan
melemahnya institusi tata pemerintahan
demokratis terhadap praktek tigabelas (13)
jenis institusi demokrasi.27 Kedua, menguatnya
25 Lihat, Klinken, Gerry Van. (2014: 236). Demokrasi
Patronase adalah istilah yang baru belkangan digunakan
oleh Kanchan Chandra dalam studinya mengenai
politik pasca kemerdekaan di India. Dia mende nisikan
demokrasi patronase sebagai demokrasi, dimana
Negara memiliki monopoli relatif atas pekerjaan dan
jasa dan di mana para pejabat terpilih menikmati
diskresi (ruang gerak) signifikan dalam pelaksaan
hukum untuk mengalokasikan pekerjaan dan jasa-jasa
itu sebagian pemberian negara.
26 Penelitian sebelumnya dilaksanakan oleh lembaga
Demos yang menarik kesimpulan tengah terjadi de sit
demokarasi.
27 Ketigabelas jenis institusi demokrasi ini meliputi. 1)
yang terkait dengan kewarganegaraan (citizenship)
yakni terdiri dari kewarganegaraan yang setara (equal
citizenship), aturan main (rule of law), keadilan yang
setara (equal justice), dan hak asasi manusia universal
(universal human right). 2) seperangkat aturan main
yang terkait dengan keterwakilan (representation).
Kelompok ini terdiri dari perwakilan politik yang
demokratis (democratic political representation),
partisipasi warganegara (citizen participation), adanya
saluran kepentingan berbasis kepentingan dan
isu yang terlembaga (institutionalized channels for
interest—and issu based representation), demokrasi lokal
(local democracy) dan kontrol penggunaan instrumen
kekerasan yang demokratis (democratic control of
instrumens of coercion). 3) seperangkat aturan main yang
terkait dengan tata pemerintahan yang demokratis.
Di sini, kelompok ini terdiri dari tata pemerintahan
yang transparan, akuntabel dan imparsial, serta
kemandirian pemerintah dalam membuat keputusan
politik berbasis individual sebagai aktor
demokrasi. Dari temuan ini ada kecenderungan
bahwa politik saat ini berbasis pada individual
atau gure-based politics. Ketiga, adanya relasi
antara aktor dan institusi demokrasi. Hasil
survei PWD ini menunjukkan bahwa para
aktor utama, baik aktor dominan maupun
aktor alternatif cenderung mempromosikan
demokrasi daripada menyalahgunakannya.
Keempat, keinginan publik untuk terwujudnya
negara kesejahteraan (welfare state)—yang
mampu mengurusi pelayanan dasar warga-
negara.
Survei tersebut menegaskan terjadinya
perbaikan iklim demokrasi setelah sekalian
lama kekecewaan publik meluas—terhadap
pola-pola praktik oligarki-partokratik, di
mana mekanisme politik elektoral hanya
memproduksi relasi-relasi kuasa lama. Pada
akhirnya, relawan politik sebagai saluran
partisipatoris baru telah menandai arus-
balik politik yang penting dalam proses
demokratisasi—sekaligus penanda awal civic
engagement bagi tampilnya gur yang sama
sekali berbeda. Itulah arus-balik pertama
politik demokratisasi dalam konteks Indonesia.
Namun, kita perlu menguji kedepan apakah
saluran partisipatoris ini mampu mengawal
pemerintahan Jokowi agar tetap mampu
menjanjikan kepemimpinan transformatif
bagi trayektori baru demokrasi partisipatoris.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa trayektori
demokrasi partisipatoris dapat saja terlahir
bila budaya politik partisipatif dapat tumbuh
dengan dinamis—meskipun cengkraman
patronase politik masih tetap mendominasi.
Keberhasilan relawan politik
mengantarkan Jokowi-JK menjadi Presiden
Republik Indonesia ketujuh sebagai awal
dari perjuangan para relawan dalam upaya
pelembagaan demokrasi partisipatoris.
Menurut peneliti LIPI Siti Zuhro, gejala
tersebut telah mengintroduksi eksperimen
dan mengimplementasinya.
156
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
demokrasi partisipatoris. Dalam konteks
ini demokrasi partisipatoris dapat menjadi
alternatif terhadap demokrasi liberal elektoral
yang gagal memberi ruang bagi partisipasi
publik. Demokrasi partisipatoris menjanjikan
partisipasi publik yang lebih luas di luar
Pemilu, karena basisnya adalah kepedulian
atas persoalan publik. Demokrasi partisipatoris
menjadi antitesis terhadap demokrasi berbasis
partai yang hanya berkepentingan membeli
suara rakyat lima tahun sekali. Kekuasaan
elitis inilah yang kemudian dianggap menjadi
penyebab termarginalisasi kekuatan-kekuatan
sosial non-partai dari arus utama dinamika
politik, karena minimnya medium interaksi.
Selain itu, juga dipengaruhi oleh aktor sosial
yang membangun relasi-relasi yang melahirkan
elemen penyusunan tatanan (struktur) dan
memberikan makna kepada sekelompok dunia
konektifnya sendiri (Singh, 2010).
Mengutip, Ignas Kleden (2014) sebagai
gerakan politik, tujuan dan tugas relawan
politik telah tercapai. Relawan politik telah
mampu memenangkan pasangan Jokowi-JK
sekaligus menegaskan social movement dapat
menciptakan suasana politik dan kebudayaan
yang lebih baru. Tetapi, sebagai gerakan sosial,
pekerjaan para relawan politik baru dimulai
dan sejarah akan mencatat, apakah cita-cita
suatu masyarakat baru dapat terwujud setelah
pragmatisme politik dan semua turunannya
dapat digeser oleh budaya voluntaristik dalam
langgam politik dan kebudayaan Indonesia.
Volunterisme ini dapat membuktikan apakah
kebekuan politik dan sempitnya ruang gerak
kebudayaan yang selama ini—dapat diterobos
oleh suatu kebersamaan baru dalam ruang
publik.
Salah satu pilar kekuatan dan kesuksesan
tim sukses Jokowi-JK lebih disebabkan peran
relawan politik dapat menembus massa akar
rumput dengan mudah. Pasalnya, relawan
politik memiliki kesempatan berdialog lebih
leluasa dari pintu ke pintu (door to door) untuk
merebut hati calon pemilih. Itulah mengapa,
relawan politik yang terlahir dapat bergerak
secara sukarela, egaliter, tidak elitis dan bahkan
lebih militan. Dengan jumlah relawan yang
menyebar dan menguasai di berbagai wilayah
hingga ke tingkat bawah dapat dengan mudah
meyakinkan kandidat atau gur yang mereka
dukung.
Selain itu, peningkatan fenomena
kerelawanan sudah mulai tampak hadir
ketika Jokowi-JK akan menyusun kabinet
pemerintahan—para relawan politik Jokowi
yang tergabung dalam Jokowi Center dan Radio
Jokowi, mencoba ritual baru, dengan mengajak
publik untuk sama-sama memberikan usulan
nama para menteri yang pantas mengisi
kabinet kerja Jokowi-JK. Para relawan politik
bahkan memberi tiga pilihan nama dari setiap
pos menteri untuk dipilih dan hasil polling
tersebut diunggah di situs www.jokowicenter.
com dan disebarluaskan melalui media massa
dan media sosial.28 Langkah taktis dan cerdas29
ini ditujukan untuk menghindari pola-pola
transaksional dan politik dagang sapi. Sebab,
selama ini ritual bagi-bagi kursi menteri antara
partai koalisi kerap membuat keraguan publik
akan hadirnya para menteri ahli/profesional
atau lebih dikenal zaken kabinet.30
28 http://pemilu.tempo.co/read/
news/2014/07/24/269595486/Susun-Kabinet-Jokowi-
Minta-Masukan-Rakyat-via-Facebook, diakses 25
Desember 2014.
29 Banyak pihak menilai langkah taktis Jokowi membentuk
kabinet usulan rakyat adalah ide cerdas dalam upaya
membangun demokrasi partisipatoris. Lihat, h p://
www.thejakartapost.com/news/2014/07/25/jokowi-goes-
online-cabinet.html. diakses 25 Desember 2014.
30 Namun, dalam historiogra ketatanegaraan Indonesia,
zaken kabinet (kabinet ahli) bisa berjalan efektif hanya
terjadi dalam hasil Pemilu 1972, 1977, 1982, 1987,
dan 1992. Kala itu, perolehan suara Golongan Karya
(Golkar) di atas 70 persen pada rezim Presiden
Soeharto, sehingga Presiden Soeharto bisa membentuk
zaken kabinet. Zaken kabinet hasil Pemilu 1997 juga
akhirnya tumbang satu tahun kemudian, yakni
pada 21 Mei 1998, setelah Presiden Soeharto dipaksa
mundur dari kursi presiden. Sedangkan zaken kabinet
yang pernah dibentuk di era pemerintahan Presiden
Sukarno (Kabinet Djuanda, 1957) juga mengalami nasib
tragis akibat situasi politik di dalam negeri yang terus
bergolak akibat terjadinya pemberontakan dan isu
157
Bambang Arianto, Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014
Meskipun penyusunan kabinet merupakan
hak prerogatif presiden, beredarnya usulan
nama menteri melalui polling menteri untuk
34 posisi yang diberi nama Kabinet Alternatif
Usulan Rakyat (KAUR)—menjadi penanda
penting peningkatan gairah partisipasi publik.
Usulan kabinet versi rakyat diharapkan
mampu mengajak rakyat untuk memiliki
kesempatan yang panjang dalam menilai aspek
kepantasan calon menteri, baik dari sisi soal
integritas, moralitas, dan kapabilitas. Hal ini
sebagai upaya membangun kontrak sosial yang
akan mendasari praktik volunterisme rakyat
dengan menyerahkan kedaulatan yang dimiliki
oleh masing-masing individu (Hanif, 2007).
Kedepan, dalam konteks ke-Indonesia-an,
partisipasi publik yang hadir melalui saluran
partisipatoris baru diharapkan tidak hanya
berhenti pada ramai-ramai memilih dalam
kontestasi elektoral maupun presidensial
saja.
Model Demokrasi Berkarakter Ekstra
Parlementer
Jika melihat peran dan implikasi dari
keberadaan relawan politik, dapat disimpulkan
bila relawan politik dapat menjadi salah satu
pilar demokrasi. Artinya, relawan politik dapat
berperan sebagai pengawas dan pengimbang
terhadap kekuasaan negara atau yang lebih
dikenal dengan model demokrasi berkarakter
ekstra parlementer. Hal itu disebabkan karena
di negara yang sudah mapan dan paling
demokratis sekalipun tidak ada suatu jaminan
bahwa trias politika mengenai pembagian
kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif)
dapat berjalan dengan baik dan ideal.
Alhasil, untuk membangun demokrasi
berkarakter ekstra parlementer perlu adanya
pilar kelima dari pelembagaan demokrasi yakni
relawan politik. Selama ini kita hanya mengenal
pilar demokrasi terdiri dari partai politik,
perebutan Irian Barat. Lihat, Bambang Arianto. (2014).
Impian Zaken Kabinet. Koran tempo, 28 April 2014.
mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan organisasi masyarakat (ormas).
Harapannya relawan politik dapat menjadi
respons terhadap ketidakadilan sosial dan
otoritarianisme negara. Artinya, relawan politik
dapat menjadi tulang punggung gerakan sosial
dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam upaya membangun model
demokrasi berkarakter ekstra parlementer ada
beberapa hal yang perlu dibangun oleh para
relawan politik, diantaranya. Pertama, relawan
politik diharapkan menawarkan wacana
pemikiran alternatif di tingkat ideologi sebagai
jalan lain atau tandingan bagi konsep kebij akan
publik yang dikeluarkan oleh pemerintahan.
Kedua, relawan politik dituntut bukan sekadar
hanya mampu berwacana, melainkan juga
memberikan contoh nyata mengenai penerapan
di lapangan. Hal itu dapat terlihat sesaat Komjen
Budi Gunawan ditetapkan menjadi tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
reaksi dan respon publik yang dimotori relawan
politik begitu menarik perhatian—baik melalui
aksi jalanan maupun di media sosial. Protes
publik atas pencalonan Kepala Polri (Kapolri)
tersebut, sebagai pertanda bila peran relawan
politik telah mampu menyandingkan wacana
publik dengan pemerintah—sekaligus alat
kontrol tentang apa yang sedang dan akan
dilakukan pemerintah.
Bahkan, ketika terjadi penangkapan
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Para relawan politik bersama-sama dengan
publik melalui media sosial dengan cepat
menggalang dukungan dengan menampilkan
tagar #SaveKPK. Tagar ini menyerukan kepada
seluruh masyarakat Indonesia di sejumlah
akun Facebook dan Tw i er untuk memberikan
dukungan kepada KPK. Hal itu menegaskan
bahwa respon dan partisipasi aktif terlahir
bukan hanya disebabkan oleh sosok Presiden
Joko Widodo semata. Namun, lebih kepada
dinamika politik media sosial yang bergerak
dinamis dalam upaya mewujudkan politik
bersih.
158
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
Ketiga, relawan politik diharapkan mampu
menyediakan berbagai informasi yang berguna
bagi publik terutama seputar kebijakan
pemerintahan. Informasi ini sejatinya mampu
menjadi suplemen bagi pemberdayaan,
pendidikan politik melalui jejaring diskusi
secara reguler—baik yang dimulai dari kota
sampai ke komunitas-komunitas basis di
desa. Kondisi ini menciptakan suasana dan
mendorong orang saling berdiskusi dan
melahirkan partisipasi aktif. Keempat, relawan
politik dapat memainkan peran sebagai
pemimpin perubahan. Hal itu disebabkan
karena para relawan politik dapat bergerak
bebas dan tidak terikat oleh partai politik
tertentu. Bahkan, para relawan politik dapat
dengan mudah untuk membubarkan diri.
Kedepan, permasalahan serius yang
dihadapi para relawan politik adalah
membangun kesamaan visi dan misi dalam
mengawal pemerintahan. Ancaman dan
wacana akan terjadinya perpecahan, serta
perbedaan penekanan pada kerja-kerja
berdasarkan isu tunggal seringkali terjadi.
Hal itu dikarenakan banyak ditemukan
simpul para relawan yang memiliki agenda
masing-masing. Terjadinya de sit demokrasi
yang diakibatkan merebaknya korupsi-suap
sejatinya dapat menjadi salah satu tugas utama
relawan politik—untuk bertanggung jawab
mewujudkan pemerintahan yang bersih. Hal
itu dapat terwujud jika diantara kelompok
relawan politik sering melakukan langkah-
langkah konsolidasi, di antaranya membangun
agenda bersama yang didasarkan pada hasil
kajian dan riset, mengurangi ketergantungan
pada sumber daya dari luar, membangun
sistem informasi dan pangkalan data yang
menjadi bahan belajar masyarakat dan pelaku
gerakan baru guna terus membangun tradisi
kerelawanan baru.
Deskripsi tersebut akan menjadi fase
awal dalam membangun model demokrasi
berkarakter ekstra parlementer yang dalam
konteks ini dapat dilihat sebagai aktivitas
politik yang diselenggarakan oleh kelompok-
kelompok diluar institusi-institusi tersebut.
Langkah taktis tersebut diharapkan dapat
menghasilkan beberapa hal diantaranya; (1)
mempengaruhi (in uencing) proses pelaksanaan
kebij akan publik. (2) mengawasi (monitoring)
proses pelaksanaan kebijakan publik. (3)
memberikan penilaian (evaluating) pelaksanaan
kebij akan publik, dan (4) memberikan bantuan
dan pembelaan (advocacy) terhadap kelompok-
kelompok yang dirugikan atas pelaksanaan
kebij akan publik.
Oleh sebab itu, untuk menciptakan
pengetahuan dalam upaya membangun
karakter ekstra parlementer para relawan
politik dapat meneliti sebab-akibat dari kinerja
kebijakan dan program publik. Terutama,
soal apakah suatu kebijakan publik dibuat
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
yang matang atau hanya diputuskan sepihak
untuk memenuhi berdasarakan kepentingan
politik semata. Beberapa langkah taktis dalam
mengolah kebijakan dalam konteks ekstra
parlementer, diantaranya, Pertama, melihat
sejauh mana suatu kebijakan publik dalam
kaitannya dengan pendapat umum. Apakah
publik menerima atau justru menentang
kebij akan tersebut. Kedua, para relawan politik
dapat mengembangkan debat publik sebagai
suatu tawaran untuk memberikan alternatif
pemecahan solusi dari berbagai kebijakan
publik yang dikeluarkan pemerintah.
Singkat kata, semua langkah taktis itu
ditujukan untuk melakukan apa yang disebut
sebagai model pengawasan dan kontrol
terhadap suatu bentuk kebij akan dalam model
ekstra parlementer. Sebab, model ini akan
dapat terlembaga dengan baik bila memenuhi
proses monitoring dan evaluasi terhadap
berbagai kebij akan publik yang diputuskan
oleh Presiden Jokowi. Termasuk menganalisa
kebijakan publik yang telah ditetapkan,
serta mengawal berbagai aspirasi publik
yang selama ini tidak mampu disalurkan
oleh pilar demokrasi lainnya. Akhirnya,
159
Bambang Arianto, Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014
fenomena relawan politik diharapkan mampu
mewujudkan model demokrasi berkarakter
ekstra parlementer yang dapat menjadi salah
satu alternatif terbaik dalam konteks ke-
Indonesia-an.
Kesimpulan
Meskipun, relawan politik sebagian
besar berasal dari kelas menengah urban yang
kritis terhadap politik. Namun, telah mampu
membuat jejaring yang kuat, hingga akar
rumput di berbagai kota dan desa, dengan
sosok Jokowi sebagai faktor pengikatnya.
Hal itu diperkuat oleh sosok Jokowi yang
telah mampu melawan tatanan lama—
sekaligus menjadi representasi dari demokrasi
substantif yang mau mendengarkan suara
rakyat ketimbang hanya di dengar. Fenomena
relawan politik dalam kontestasi presidensial
2014 dapat menjadi titik awal dari dinamika
transformasi nilai-nilai politis yang bernuansa
patrimonial, oligarkis menuju volunterisme dan
partisipatoris.
Hal itu dibenarkan oleh Zuly Qodir
(2014), bahwa gejala voluntary and people politics
didorong oleh dua hal, yakni gaya calon
presiden dan wakil presiden yang menonjolkan
hubungan humanis dengan rakyat yang akan
dipimpinnya. Dimana, pemilihan lokasi dan
simbol kampanye lebih menunjukkan bahwa
sang kandidat mengedepankan masalah
kerakyatan dengan cara turun ke bawah.
Dengan gaya blusukan para pemilih menilai
hal ini sebagai metode baru yang mampu
membangkitkan simpati publik—bahwa calon
pemimpin ini dipercaya mampu memecahkan
masalah keseharian yang mereka hadapi
ketimbang metode yang digunakan selama
ini, sangat elitis dan birokratis. Sehingga,
ada antusiasme besar dari publik bahwa
langkah politik kubu oligarki dalam kontestasi
presidensial 2014—dapat direspon secara
kreatif oleh aksi kolektif relawan politik
termasuk melakukan pengawalan suara
dengan baik.
Kedepan relawan politik tetap memerlukan
revitalisasi sebagai upaya penguatan nalar
politik—guna menjaga aura pemerintahan
Jokowi-JK agar tetap populis dan partisipatoris.
Namun, konsep saluran partisipatoris baru
yang dibangun hendaknya melibatkan rakyat
secara keseluruhan. Untuk lebih mendekatkan
pemerintahan Jokowi-JK kepada rakyat
dalam bentuk aksi nyata diperlukan adanya
internalisasi gagasan revolusi mental. Hal
ini untuk menegaskan posisi relawan tidak
saja berperan sebagai pengembira, tetapi juga
mampu menjadi pengawas pemerintahan
Jokowi-JK secara komprehensif. Sebab, ketatnya
proses politik praktis, akan dapat membuat
ruang gerak relawan politik dapat terkooptasi
pada sosok Jokowi-JK yang berimplikasi pada
melemahnya gerakan relawan politik.
Jika hal itu terjadi, maka dipastikan relawan
politik akan sulit bersanding dengan mekanisme
blusukan Jokowi dalam menyerap aspirasi
dari bawah. Revitalisasi gerakan ini dengan
membangun saluran partisipatoris deliberatif
melalui pembentukan forum, baik institusional
maupun kolateral. Hal ini bukan ditujukan agar
para relawan politik dapat terlembagakan secara
struktural atau bahkan berevolusi menjadi sebuah
organisasi partai politik. Namun, revitalisasi ini
berupaya melembagakan ideologi kerelawanan
agar tidak melenceng dari tujuan semula. Sebab,
keberadaan relawan politik tidak sama dengan
organisasi formal seperti partai politik atau
kelompok-kelompok kepentingan atau penekan
yang lebih teroganisasi lainnya.
Selama ini gerakan sosial secara perlahan
dapat berubah menjadi organisasi formal,
sementara itu sangat jarang suatu organisasi
formal berubah menjadi gerakan sosial.
Penguatan relawan politik dalam bentuk
forum partisipatoris non-formal menjadi
alternatif terbaik dalam upaya menjaga marwah
pemerintahan Jokowi yang populis. Jika fungsi
ini dapat berjalan secara simultan maka posisi
relawan dapat menjadi bagian dari gerakan
kewargaan yang kritis, rasional sekaligus
160
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
suplemen demokrasi guna memperluas
keterlibatan warga (civic engagement). Publik
sangat membutuhkan relawan politik yang
terlembaga dengan baik terutama dapat tetap
proaktif, kreatif dan mampu mende nisikan
peran yang mereka mainkan—sekaligus
mentransformasikan gerakan revolusi mental.
Peran ini termasuk bagaimana bergerak,
berinisiatif, memobilisasi maupun mengelola
sumber daya sendiri tanpa intervensi
pihak manapun (Arianto, 2014). Sebut saja,
kesuksesan yang dicapai Ainun Najib, dkk
dalam mengembangkan kawalpemilu.org.
Menurut Onno W Purbo, apa yang dilakukan
oleh kawalpemilu.org yang dimotori oleh
Ainun Najib merupakan wujud perjuangan
mengawal demokrasi.31 Oleh karena itu, biarlah
mereka menjadi penjaga moral yang bebas
berkumpul untuk meluruskan yang bengkok
dan setelah tugas itu selesai biarlah kembali ke
kesibukan masing-masing.32 Hal ini dibenarkan
oleh Ainun Najib dari www.kawalpemilu.org
yang menyatakan jika para relawan politik
mendirikan perusahaan secara structural, hal
itu dapat membuat nilai-nilai kerelawanan
akan semakin terkisis dan dipastikan sulit
untuk disatukan kembali.33
Akhirnya, perlu dirumuskan skema
simbiosis-mutualis dalam mewujudkan
tujuan praktis yang sejalan dengan cita-cita
ideologis antara relawan politik dan Jokowi
sebagai sosok pemikat. Hal ini ditujukan untuk
membentuk relawan politik sebagai suplemen
31Lihat, Majalah Tempo. (2014). Onno W. Purbo. Penjuangan
mengawal Demokrasi. hlm 90. Dalam Pilpres 2014,
banyak situs yang muncul untuk mengawal keabsahan
hasil pemilihan. Sebut saja, c1yanganeh.tumblr.com; kawal-
suara.appspot.com; kawalpilpres.appspot.com;realcount.
herokuapp.com;j.mp/hitungpilpres2014;rekapda1.herokuapp.
com;j.mp/hitungpilpres2014; rekapda1.herokuapp.com;
caturan.com; bowoharja.biz; dan cross-check.herokuapp.
com. Namun yang paling fenomenal tentu saja
kawalpemilu.org yang dimotori oleh Ainun Najib dan
kawan-kawan.
32 Majalah Tempo. 15-21 Desember, 2014. Memelihara
Para Relawan. hlm 31.
33 Wawancara Majalah tempo dengan Ainun Najib.
Majalah Tempo. 2014. Kami Orang Terdampar. hlm 93.
demokrasi, bukan substitusi demokrasi yang
dapat menjadikan wajah demokrasi semakin
suram. Jika hal ini dapat terjadi dalam konteks
ke-Indonesia-an, maka dapat dipastikan model
demokrasi berkarakter ekstra parlementer akan
semakin terlembaga dengan baik.
Da ar Pustaka
Aspinall, Edward. (2013). The Triumph of
Capital? Class Politics and Indonesian
Democratisation. Journal of Contemporary
Asia. Vol. 43 No. 2, hlm. 226-242.
. (2014). Agensi dan Kepentingan
Massa dalam Masa Transisi dan Konsolidasi
Demokrasi di Indonesia. Jurnal Prisma. Vol.
33 No. 1.
Arianto, Bambang. 30 Desember 2014. Fenomena
Menjadi Relawan Politik. Banjarmasin Post,
hlm 10.
. 5 Agustus 2014. Epilog Kontestasi
Presidensial 2014. Media Indonesia, hlm 20.
. 28 April 2014. Impian Zaken
Kabinet. Koran Tempo, hlm 33.
Becker, Penny Edgell and Dhingra, Pawan
H. (2001). Religious Involvement and
Volunteering: Implications for Civil Society.
Journal of Democracy. Vol. 62 No. 3.
Bekkers, René. (2005). Participation in Voluntary
Associations: Relations with Resources,
Personality, and Political. Political Psychology.
Vol. 26 No. 3 Edisi Juni.
Budiman, A. et.al (Eds)/ 2001. Aktor Demokrasi,
Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di
Indonesia. Jakarta: ISAI.
Choi, N. (2005). Local Elections and Democracy
in Indonesia; The Case of the Riau Archipelago.
Singapore: Intitute of Defence and Strategic
Studies (IDSS) Working Paper.
Cohen, Jean. (1999). Trust, Voluntary Association
and Workable Democracy: The Contemporary
American Discourse of Civil Society, in
Mark Warren (ed.), Democracy and Trust.
Cambridge: Cambridge University Press.
Eliasoph, Nina. (2013). The Politics of Volunteering.
Cambridge: Polity Press.
161
Bambang Arianto, Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014
Fikri AF, Akhmad. (1999). Menjadi Politisi Ekstra
Parlementer. Yogyakarta: Penerbit LKIS.
Gardono, I. (ed.)/ 2006. Gerakan Sosial, Wacana
Civil Society bagi Demokratisasi. Jakarta:
LP3ES.
Hasrul, Hanif. (2007). Antagonisme Sosial,
Diskonsensus, dan rantai Ekuivalensi:
Menegaskan Kembali Urgensi Model
Demokrasi Agonistik. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Vol. 11, No. 1 Edisi Juli.
Heryanto, Ariel. (2012). Budaya Populer di
Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde
Baru. Yogyakarta: Jalasutra.
Hidayat, S. (2009). Pilkada, Money Politics and
the Dangers of Informal Governance Practice,
dalam P. Sulistiyanto dan M Erb (ed).
Singapore. ISEAS Publishing.
Kleden, Ignas. 15-21 Desember 2014.
Kembalinya Voluntarisme dalam Politik.
Majalah Tempo.
Klinken. Gerry Van. (2014). Merancang Arah Baru
Demokrasi Indonesia Pasca-Reformasi. Demokrasi
Patronase Indonesia di Tingkat Provinsi. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Kusuma, N. et.al (Eds)/ 2003. Gerakan Perlawanan
Rakyat, Kasus-kasus Gerakan Rakyat di
Indonesia. Yogyakarta: INSIST.
Lim, Merylina. (2014). Merancang Arah Baru
Demokrasi Indonesia Pasca-Reformasi. Internet
dan Kekuasaan Politik di Indonesia: Medan-
media Baru Pembentukan Identitas. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Marijan, Kacung. (2012.c). Sistem Politik
Indonesia; Konsolidasi Demokrasi pasca-Orde
Baru. Jakarta: Kencana.
Prast, Hari. (2014). Demokreatif, Kisah
BlusukanJokowi. Jakarta: Imprint
Kepustakaan Populer Gramedia.
Patria, Nezar, dan Arif, Andi. (2009). Antonio
Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Priyono, AE, dkk. (2014). Media Sosial Alat
Gerakan Sipil; Belajar dari Suksesi Jakarta dan
Masa Depan Indonesia. Jakarta: Public Virtue
Institute.
Power Welfare and Democracy UGM. (2013).
Demokrasi di Indonesia : Antara Patronase dan
Populisme. Hasil Survei. Yogyakarta: Fisipol
Universitas Gadjah Mada.
Purbo, Onno W. 15-21 Desember 2014.
Perjuangan Mengawal Demokrasi. Majalah
Tempo.
Qodir, Zuly. 16 Agustus 2014. Orde Kerakyatan
untuk Kemandirian. Harian Kompas, hlm.
6.
Savirani, Amalinda. (2015). Jokowi’s supporters
are to doubt the ‘Indonesian Obama’. (Online).
(http://theconversation.com/jokowis-
supporters-are-starting-to-doubt-the-
indonesian-obama-37843)
Samah, Kristin dan Susanti, Fransisca Ria.
(2014). Berpolitik Tanpa Partai, Fenomena
Relawan Dalam Pilpres. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Suharko. (2006). Gerakan Sosial Baru di Indonesia:
Repertoar Gerakan Petani. Jurnal Ilmu Sosial
dan Politik. Vol. 10 No. 1 Edisi Juli.
Setiawan, Putu. 13 Oktober 2014. Pesta Rakyat.
Koran Tempo.
Singh, Rajendra. (2010). Gerakan Sosial Baru.
Yogyakarta: Resist Book.
Taylor, R.H. (ed.)/1996. The Politics of Elections
in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge
University Press.
Uhlin, Anders. (1998). Oposisi Berserak,
Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Mizan.
Utomo, Wisnu Prasetyo. (2013). Menimbang
Media Sosial dalam Marketing Politik di
Indonesia: Belajar dari Jokowi-Ahok di
Pilkada DKI Jakarta 2012. Jurnal Ilmu Sosial
dan Politik. Vol. 17 No. 1 Edisi Juli.
Verba, Sidney, Kay Lehman Schlozman, and
Henry E. Brady. (1995). Voice and Equality,
Civi Voluntarism in American Politics.
Cambridge: Harvard University Press.
Widodo, Joko. 10 Mei 2014. Revolusi Mental.
Kompas, hlm 6.
Wilson, J. (2000). Volunteering. Annual Review
of Sociology 26. hlm 215-240.
162
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 2, November 2014
Wilson, J. (2012). Volunteerism Research: A
Review Essay. Nonpro t & Voluntary Sector
Quarterly. 41(2), 176-212.
Internet
Al-Rahab, Amiruddin. (2014). Museumkan
Pilpres. (Online). (http://www.tempo.co/
read/kolom/2014/07/31/1523, diakses 25
Desember 2014).
Berita Satu.com. (2014). Mahasiswa Indonesia
Deklarasikan Dukungan Jokowi-JK di Kampus
Hardvard. (Online). (h p://beritasatu.com/
home/mahasiswa-indonesia-deklarasikan-
dukungan-jokowi-jk-di-kampus-
harvard/57534, diakses 2 Januari 2015)
Suryadi, Suhardi. (2014). Relawan Politik.
(Online). (http://www.prismaindonesia.
com/index.php/editorial/item/325-relawan-
politik, diakses 26 Desember 2014)
Tempo.co (2014). Relawan Jokowi ada di 31
Negara. (Online). (http://www.tempo.co/
read/news/2014/04/03/078567626/Relawan-
Jokowi-Ada-di-31-Negara, diakses 24
Desember 2014).
Tempo.co. (2014). Perang Kreatif di Balik Kampanye
Prabowo dan Jokowi. (Online). (h p://www.
tempo.co/read/abc/2014/07/04/075616/
Perang-Karya-Kreatif-di-Balik-Kampanye-
Prabowo-dan-Jokowi)
Tempo.co. (2014). Susun Kabinet Jokowi
Minta Masukan Rakyat via Facebook.
(Online). (http://pemilu.tempo.co/read/
news/2014/07/24/269595486/Susun-Kabinet-
Jokowi-Minta-Masukan-Rakyat-via-Facebook,
diakses 25 Desember 2014)
The Jakarta Post. (2014). Volunteers a Key Factor
in Fight for Swing Voters. (Online). (http://
www.thejakartapost.com/news/2014/06/02/
volunteers-a-key-factor- ght-swing-voters.
html, diakses 25 Desember 2014)
The Jakarta Post. (2014). Jokowi Goes Online for
Cabinet. (Online). (h p://www.thejakartapost.
com/news/2014/07/25/jokowi-goes-online-
cabinet.html, diakses 25 Desember 2014)
The Jakarta Post. (2014). Overseas voter turnout
up by 83%, says PPLN. (Online). (http://
www.thejakartapost.com/news/2014/07/17/
overseas-voter-turnout-83-says-ppln.html,
diakses 2 Januari 2015)
Majalah
Majalah Tempo. 15-21 Desember 2014. Opini
Memelihara Para Relawan. Tempo. hlm. 31.
... Arianto, Bambang. (2014). Gosip Politik dan Pilpres 2014. Koran Tempo. Edisi 8 Januari ...
... Arianto, Bambang. (2014). Kegagalan Kampanye Hitam. Harian Kedaulatan Rakyat. Edisi 23 Juni. ...
Article
Full-text available
This article explaines about how the model appearances of creative campaign in presidential contestation 2014. This models more emphasizes the forms of creative campaign such as video, music, game application and visual design which are supported by the information technology advances. The model appearances of creative campaigns can be an eff ective ways of political communication to build the culture of participatory. The appearances of creative campaign also can encourage the change of behavior toward exticement politic. Abstrak Artikel ini menjelaskan tentang kemunculan model kampanye kreatif dalam kontestasi presidensial 2014, yang lebih mengedepankan unsur kreativitas dan seni. Adapun bentuk-bentuk kampanye kreatif seperti video, musik, aplikasi game dan desain visual yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi, telah mampu melakukan transformasi dari model kampanye konvensional menuju kampanye modern. Kemunculan kampanye kreatif dapat menjadi saluran komunikasi politik yang efektif guna membangun budaya partisipatoris. Selain itu, kampanye kreatif sangat positif dalam mendorong perubahan perilaku politik kewargaan yang kemudian melahirkan politik kegembiraan. Kata kunci: kampanye kreatif, komunikasi politik, kontestasi presidensial 2014, politik kegembiraan.
... Zaken Kabinet memiliki urgensi yang besar dalam menjawab berbagai tantangan kompleks yang dihadapi oleh pemerintah, seperti krisis ekonomi dan dinamika politik yang tidak stabil. Dalam pandangan hukum tata negara, konsep kabinet ini dirancang untuk menekankan pentingnya kompetensi dan profesionalisme para menteri dibandingkan keterlibatan politik partisan (Arianto, 2014). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2) UUD 1945, yang memberikan presiden kewenangan penuh untuk memilih dan mengangkat menteri berdasarkan kebutuhan pemerintahan (Samin, 2024). ...
Article
Full-text available
An effective government structure is essential to achieving good governance as mandated by the constitution. This article examines the concept of Zaken Cabinet as an approach that prioritizes professionalism and competence in governance and its relevance in the context of Indonesia's constitutional law. Referring to Article 17 of the 1945 Constitution and Law No. 39 of 2008, the study explores challenges in implementing the Zaken Cabinet, including political resistance and the need for institutional reform. This approach is believed to enhance governmental efficiency and transparency by reducing political interference in decision-making processes. Through a qualitative methodology based on literature review, the article identifies that the success of a Zaken Cabinet depends on inter-agency coordination, the formulation of a national strategic agenda, and strengthening political support. Therefore, this model presents an innovative solution to address the complexity of governance in Indonesia
... Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh (Hamdani, Herdiansyah, & Bintari, 2021), (Purboningsih, 2015), (Arianto, 2014 ...
Article
Full-text available
This study aims to examine the existence of political volunteers participating in the 2019 Presidential Election in Medan City, Indonesia, using the theoretical approach of Huntington and Nelson's forms of political participation, along with M. Fr Voluntaire's concept of political volunteers. A qualitative method was employed, involving primary data collection through in-depth interviews (online and offline) and triangulation with secondary data from literature reviews. The results indicate a lack of regulations concerning the presence of political volunteers, highlighting the need to integrate them into a legally regulated political process. The existence of patronage politics poses a risk to the voluntarism of political volunteers, crucial instruments in the electoral process. Their roles encompass campaigning, candidate socialization, fundraising, election monitoring, and various forms of support. Appropriate regulations are necessary to prevent the misuse of power or resources by political volunteers to achieve political objectives, thereby preserving the integrity of their voluntary contributions.
... Terkait perkembangan selanjutnya dalam pemilihan umum, muncul strategi dengan memanfaatkan pemahaman relawan untuk mendapatkan simpati dari masyarakat luas. Meskipun pendekatan semacam itu sah sebagai taktik pengambilan suara, terutama untuk merekrut pemilih yang belum memutuskan [17], keterlibatan kelompok relawan partisan juga menunjukkan adanya intervensi elit yang dapat menggeser fungsi relawan dalam sistem politik. Sebagaimana dikemukakan oleh [18], kelompok relawan berfungsi sebagai tim kampanye lapis kedua untuk mendampingi tim inti yang terdiri dari elit yang memiliki kekuatan modal. ...
Article
Full-text available
Abstraksi : Dinamika proses pemungutan suara di masa pandemi covid-19, pada pelaksanaan pilkada di Kabupaten Mojokerto berdampak pada psikologi pemilih. Oleh karena itu sosialisasi kerap dilakukan untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Proses pemilu yang cukup ketat aturannya di sertai dengan penerapan protokol kesehatan, guna menghindari tingkat kerumunan tinggi, merupakan metode baru yang di terapkan oleh KPUD, tetapi aturan tersebut dapat berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilih. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingginya partisipasi pemilih dalam pemilihan di tengah pandemi. Tujuan penelitian dimaksudkan untuk menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya partisipasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritik partisipasi politik yakni sebagai kegiatan yang dimaksudkan untuk memilih good government baik secara langsung maupun tidak langsung. Metode penelitian ini menggunakan penelitian campuran termasuk metode studi pustaka dengan mengkaji sumber pustaka dan informasi meliputi artikel ilmiah, buku, laporan penelitian, dan berita yang berkaitan dengan tema relawan politik dan pemilu. Data yang dianalisis bersinggungan dengan partisipasi pemilih dalam pemilu; faktor yang mempengaruhi pemilih pada masa pandemi di pilkada Kabupaten Mojokerto 2020, rekap data secara manual dan rekap data secara online. Hasil penelitian ini menghasilkan beberapa temuan diantaranya : 1) faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung didominasi melalui penggunaan media sosial KPU dan masing-masing pasangan calon. 2) data jumlah pemilih, pengguna hak pilih termasuk disabilitas, dan perolehan suara pasangan calon menunjukkan: a) perbandingan jumlah pemilih dengan pengguna hak pilih: 78,66%; b) perbandingan jumlah pemilih dengan pengguna hak pilih disabilitas: 41,82%; c) Perbandingan perolehan suara antar calon yakni pasangan 1: 65,2%; b) pasangan 2: 15,4%; dan c) pasangan 3: 19,4%.
... They are bound by vertical structures, voluntary in nature, work participatively, represent personal political phenomena, and are supported by morphologies highly dependent on informal networks, which then crystallize into non-partisan movements. Political volunteers also arise from dissatisfaction with clientelistic or patronage practices [29]. Cornelis also reveals that voluntarism as a movement transcends class, age, ideological, and gender boundaries, while its organizational forms at the local level are based on class, gender, and/or age [30]. ...
Article
Full-text available
The current development of information technology has transformed the form of public participation in politics. Political participation not only occurs in the real world but also in virtual spaces, and this is a manifestation of a smart society. Forms of political participation in virtual spaces, such as those observed on social media, give rise to the phenomenon of affective polarization, which is polarization based on likes and dislikes between internal and external groups. While some scholars have focused on affective polarization in the context of ingroup and outgroup dynamics within social media, there is still limited research on polarization occurring within the same ingroup. This study aims to address this gap by examining the phenomenon of affective polarization on Twitter, using the keywords 'PDIP' and 'Jokowi.' These hashtags emerged as reactions to a video segment of Megawati's speech that criticized Jokowi. By employing sentiment and content analysis on 964 tweets and user accounts, we found that 67% of Twitter users expressed negative sentiments towards Megawati's remarks about Jokowi, and these Twitter users included both Jokowi's supporters and neutral users. This result demonstrates that affective polarization not only occurs between internal and external groups but can also happen within the same group. These findings contribute to the advancement of research on affective polarization in the online context.
Article
Full-text available
The political process in Indonesia has entered into increasingly dynamic specially as the leadership transition momentum approaches in 2024, this phenomenon can be seen in electoral political marketing in several names of figures who have the potential to become candidates for the election. This paper is a descriptive analysis of the phenomenon of presidential elections. in Indonesia, the type of research used is qualitative. The method of collecting research data is observation through library research or literature review. His position is often also called a literature survey, therefore the object of this research is all written data, whether found in books, articles or research results as well as infographics both published in print and electronic media. The results of the study explain that marketing is interpreted as an ongoing political method or strategy both carried out by individuals and certain political parties in absorbing people's aspirations, facilitating contestants in voicing ideas and ideas. In principle, political marketing is part of a strategy aimed at winning contests. All instruments that are part of marketing are very urgent, including candidates, parties or combinations of political parties, winning teams, volunteers and even the media. Accumulating that these political instruments must run and process simultaneously and linearly so that the political messages, vision, mission and work programs offered to the public are well absorbed.
Article
Full-text available
Penelitian ini mengelaborasi strategi pemenangan pasangan calon Tamba-Ipat dalam kontestasi Pilkada Kabupaten Jembrana Bali tahun 2020 dengan teoristrategi marketing politik 3P Adman Nursal sebagai pisau analisisnya. Adapun metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dimana pengumpulan data dilakukan dengan wawancara sembilan narasumber. Hasil penelitian menunjukkan pasangan Tamba-Ipat memenangkan Pilkada dengan memadukan strategi Pull, Push dan Pass Marketing. Pull marketing dilakukanmelalui media sosial seperti Instagram dan Facebook untuk mempromosikanprogram kerja sekaligus membangun brand image melalui foto-foto mantan bupati Winasa di setiap media promosi yang digunakan pasangan Tamba-Ipat.Hal ini untuk membangun asosiasi dengan keberhasilan pembangunanJembrana pada masa Winasa. Pass Marketing dilakukan dengan menjalinhubungan baik dengan masyarakat Hindu dan Muslim yang cukup berimbang di Jembrana. Penelitian ini juga menemukan hambatan dalam penerapan push dan pull marketing oleh pasangan Tamba-Ipat seperti aparat desa yang sudah terkooptasi oleh lawan politiknya, sehingga strategi push marketing tetap dilakukan dengan melakukan pertemuan secara terbatas dan diam-diam di beberapa titik.
Article
This study aims to analyze the effect of applying forensic accounting, investigative auditing, and auditor professionalism on fraud disclosure. This research is a Literature Review, in which we will provide an opinion on the results of previous research. The test results indicate that investigative audits and state financial loss calculation audits have a significant positive effect on corruption crimes. The results of this study are expected to enrich the literature for the development of science and also as material for consideration for the Audit Board of the Republic of Indonesia in disclosing acts of corruption.
Article
Full-text available
Penelitian ini bertujuan mengekplorasi transformasi voluntarisme Pilpres 2014 dan 2019, melalui gerakan Pro-Jo sebagai barisan relawan terbesar Joko Widodo. Karya ini dimaksudkan untuk menjelaskan perubahan mendasar makna kesukarelawanan dan pertarungan kepentingan di tubuh relawan politik. Penelitian ini menggunakan studi kasus purposive pendekatan kualitatif. Penggunaan metode ini dikarenakan dapat menjawab pertanyaan mendalam tentang transformasi dan wujud politik kepentingan relawan dengan elit politik. Penulis mengedepankan penjelasan komprehensif ketimbang sekedar memberikan konfirmasi terhadap suatu permasalahan. Sedangkan pendekatan kualitatif sangat cocok untuk menganalisis fenomena kejadikan dan tindakan aktivis relawan Joko Widodo. Penulis menemukan bahwa terjadi transformasi akibat masuknya kepentingan-kepentingan elit dalam setiap agenda gerakan voluntarisme. Partisipasi politik otonom tidak bekerja secara penuh, sebaliknya yang terjadi partisipasi aktivis relawan telah dimobilisasi oleh elit politik.
Article
Full-text available
This article will explain the political wing of the NasDem women's party namely Garnita Malahayati in Yogyakarta in the 2014 electoral contestation. Various affirmative action policies initiated by the government have not been able to be utilized properly by political parties either in the process of institutionalizing parties to create quality female politicians. Excess, political parties often have difficulty in building awareness of gender mainstreaming and gender-based political education. In fact, the women's political wing of the party has been designed to function to attract women's political participation. The reality is that political parties only make the political wing of women's parties a complement and symbol of politics. This study uses explanatory qualitative methods with data collection techniques by collecting data and related documents and through in-depth interviews. This article argues that there is a dysfunction in women's political wings, because Garnita Malahayati as a political wing of women has not been well institutionalized. The article also believes that the political wing of the party women has not played an active role in the process of candidacy, especially in encouraging the process of regenerating qualified female politicians.
Article
Full-text available
This paper examines the role of congregations in civil society by examining the relationship between religious involvement and volunteering. We draw on a survey and interviews with respondents from upstate New York to analyze a set of inter-related questions: how does congregational involvement lead people into volunteering and influence the meaning of volunteer activity? How do church members choose a volunteer site? What role do congregations play in generating civic engagement and social capital? We find no liberal/conservative differences either in the likelihood of volunteering or in choosing between secular and religious volunteer opportunities. Rather, we find that social networks and impressions of organizational identity draw people into volunteering and into particular organizations, and that there is a competition between congregations and other civic groups for members' time. We conclude that congregations foster both "loose" and strong connections to civic life for members at different stages of the life course.
Chapter
Surveys suggest an erosion of trust in government, among individuals, and between groups. Although these trends are often thought to be bad for democracy, the relationship between democracy and trust is paradoxical. Trust can develop where interests converge, but in politics interests conflict. Democracy recognizes that politics does not provide a natural terrain for robust trust relations, and so includes a healthy distrust of the interests of others, especially the powerful. Democratic systems institutionalize distrust by providing many opportunities for citizens to oversee those empowered with the public trust. At the same time, trust is a generic social building block of collective action, and for this reason alone democracy cannot do without trust. At a minimum, democratic institutions depend on a trust among citizens sufficient for representation, resistance, and alternative forms of governance. Bringing together social science and political theory, this book provides a valuable exploration of these central issues.
Article
I use a volunteer process model to organize a review of recent research on volunteerism, focusing mainly on journal articles reporting survey research results. Scholars from several different disciplines and countries have contributed to a body of work that is becoming more theoretically sophisticated and methodologically rigorous. The first stage of the process model-antecedents of volunteering-continues to attract the most attention but more and more scholars are paying attention to the third stage, the consequences of volunteering, particularly with respect to health benefits. The middle stage-the experience of volunteering-remains somewhat neglected, particularly the influence of the social context of volunteer work on the volunteer's satisfaction and commitment.
Article
Participation in voluntary associations is explained by different theories in sociology, psychology and political science. Sociologists have emphasized the effects of resources such as human and social capital. Psychologists have demonstrated the role of empathy and extraversion as aspects of personality. Political scientists have considered political values and attitudes. This paper investigates the predictive value of personality characteristics, political values and social conditions for civic engagement. Data from the Family Survey of the Dutch Population 2000 (n=1,587) show that active citizens have more human and social capital available to them, they are more interested in politics, have more postmaterialistic value orientations, prefer leftist or Christian political parties, are less conscientious persons and show more empathic concern with other people. Relations of personality characteristics with civic engagement were partly intermediated by church attendance and the level of education, and varied in complex ways with hourly wages. My results show how social, political and psychological characteristics are jointly related to civic engagement.
Article
This essay examines the dynamics and outcomes of Indonesia's first-ever direct local executive elections in a case study of the gubernatorial election in the Riau Archipelago. Specifically, the essay examines the election process, identifies the major issues before, during and after the elections, and assesses voters' participation. The essay then examines the ways direct local executive elections have affected the dynamics of local politics in the country. Overall, this essay aims to further develop our understanding of political dynamics in the Riau Archipelago and grasp the practical significance of local political change in Indonesia more broadly.
The Politics of Volunteering
  • Nina Eliasoph
Eliasoph, Nina. (2013). The Politics of Volunteering. Cambridge: Polity Press.
Menjadi Politisi Ekstra Parlementer
  • A F Fikri
Fikri AF, Akhmad. (1999). Menjadi Politisi Ekstra Parlementer. Yogyakarta: Penerbit LKIS.
Antagonisme Sosial, Diskonsensus, dan rantai Ekuivalensi: Menegaskan Kembali Urgensi Model Demokrasi Agonistik
  • Hanif Hasrul
Hasrul, Hanif. (2007). Antagonisme Sosial, Diskonsensus, dan rantai Ekuivalensi: Menegaskan Kembali Urgensi Model Demokrasi Agonistik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 11, No. 1 Edisi Juli.