ArticlePDF Available

PERENCANAAN KOTA HIJAU YOGYAKARTA BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KECUKUPAN RTH

Authors:

Abstract

div style="mso-element: para-border-div; border: solid white 1.0pt; mso-border-alt: solid white .5pt; padding: 10.0pt 10.0pt 10.0pt 10.0pt; margin-left: 14.2pt; margin-right: 14.2pt;"> Green City concept is a concept of sustainable urban development that harmonize the natural environment and man made environment as a response to environmental degradation. Actualizing the green city, one of its attributes green open space is strictly regulated in Law No. 26 Year 2007 about Spatial Planning. The total area of the city 30% must be used as green open space (RTH), 20% as public RTH and 10% as private RTH. The purposes of this research are identifying vast and distribution of land use and RTH existing in Yogyakarta city, analyzing the adequacy of RTH based on vast territory and total population, determining areas that could potentially be developed for RTH, and arranging development strategy toward to Yogyakarta Green City. Several methods were used in this research, among others : image interpretation and analysis the adequacy of RTH is calculated based on vast territory and total population. The results showed that RTH eksisiting is 584.45 ha or 17.78%, consisting public green open space covering an area of 329.63 ha and private green open space for 254.82 ha. Based on vast territory, Yogyakarta city still needs 390.55 ha of green open space , while based on total population, green open space still lack for 220.91 ha. Potential area in Yogyakarta City is 30.94 ha. RTH development strategy of Yogyakarta City focused on maintaining and increasing the quality of existing RTH, adding unused area as public RTH and developing green corridor. This indicates that green open space in Yogyakarta city is not sufficient based on the standard needed toward Green City. </div
TATA LOKA
VOLUME 17 NOMOR 4, NOVEMBER 2015, 196 - 208
© 2015 BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP-ISSN 0852-7458
P ISSN 0852-7458- E ISSN 2356-0266
Available online: http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/tataloka
T
A
T
A
L
O
K
A
PERENCANAAN KOTA HIJAU YOGYAKARTA
BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN
KECUKUPAN RTH
Yogyakarta Green City Planning based on Land Use and Adequacy of
Green Open Space
Amalia Ratnasari
1
, Santun R.P Sitorus
2
, Boedi Tjahjono
3
Diterima: 29 Juli Disetujui: 19 Agustus 2015
Abstrak: Konsep Kota Hijau adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan yang
menyelaraskan lingkungan alam dan lingkungan buatan manusia sebagai respon terhadap
kerusakan lingkungan. Dalam mewujudkan kota hijau, salah satu atributnya yaitu ruang
terbuka hijau (RTH) diatur secara ketat dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Sebanyak 30% dari luas total kota harus digunakan sebagai ruang terbuka hijau yaitu
20% sebagai RTH publik dan 10% RTH sebagai pribadi. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi luas dan distribusi penggunaan lahan dan RTH eksisting di Kota Yogyakarta,
menganalisis kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk, menentukan
daerah yang berpotensi dikembangkan menjadi RTH, dan menyusun arahan pengembangan
RTH untuk menuju Kota Hijau Yogyakarta. Terdapat beberapa metode yang digunakan
dalam penelitian ini, antara lain : interpretasi citra dan analisis kecukupan RTH dihitung
berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas
RTH eksisiting adalah 584,45 ha atau 17,78%, yang terdiri dari RTH publik seluas 329,63 ha
dan RTH privat seluas 254,82 ha. Berdasarkan luas wilayah, kota Yogyakarta masih
memerlukan 390,55 ha ruang terbuka hijau, sedangkan berdasarkan jumlah penduduk, masih
kekurangan RTH seluas 220,91 ha. Area berpotensi RTH di Kota Yogyakarta adalah 30,94 ha.
Strategi pengembangan RTH Kota Yogyakarta difokuskan untuk mempertahankan dan
meningkatkan kualitas RTH yang ada, menambahkan area yang belum termanfaatkan sebagai
RTH publik dan mengembangkan koridor hijau. Hal ini menunjukkan bahwa ruang terbuka
hijau di kota Yogyakarta tidak mencukupi standar yang dibutuhkan untuk menuju Kota Hijau.
Kata kunci : Arahan pengembangan, Kota Hijau, RTH
Abstract: Green City concept is a concept of sustainable urban development that harmonize the
natural environment and man made environment as a response to environmental degradation.
Actualizing the green city, one of its attributes green open space is strictly regulated in Law No. 26
Year 2007 about Spatial Planning. The total area of the city 30% must be used as green open space
(RTH), 20% as public RTH and 10% as private RTH. The purposes of this research are identifying
vast and distribution of land use and RTH existing in Yogyakarta city, analyzing the adequacy of
1
Magister Ilmu Perencanaan Wilayah, Fakultas Pertanian, IPB
2
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian, IPB
3
Program Studi Mitigasi Bencana dan Kerusakan Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan, Fakultas Pertanian, IPB
Korespondensi: blubup_lia@yahoo.com
Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta 197
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
RTH based on vast territory and total population, determining areas that could potentially be
developed for RTH, and arranging development strategy toward to Yogyakarta Green City.
Several methods were used in this research, among others : image interpretation and analysis the
adequacy of RTH is calculated based on vast territory and total population. The results showed
that RTH eksisiting is 584.45 ha or 17.78%, consisting public green open space covering an area
of 329.63 ha and private green open space for 254.82 ha. Based on vast territory, Yogyakarta city
still needs 390.55 ha of green open space, while based on total population, green open space still
lack for 220.91 ha. Potential area in Yogyakarta City is 30.94 ha. RTH development strategy of
Yogyakarta City focused on maintaining and increasing the quality of existing RTH, adding
unused area as public RTH and developing green corridor. This indicates that green open space in
Yogyakarta city is not sufficient based on the standard needed toward Green City.
Keywords : Development Strategy, Green City, Green Open Space (RTH)
PENDAHULUAN
Perkembangan kota merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dan salah satu
hal krusial yang mempengaruhinya adalah aksesibilitas (Putri dan Zain, 2010). Terbukanya
aksesibilitas dari dan ke kota mendorong orang untuk bermigrasi mencari kehidupan yang
lebih layak. Semakin padat penduduk kota maka kualitas lingkungan semakin rendah
(Todaro dan Smith, 2006) atau disaat pertumbuhan populasi penduduk kota sudah melebihi
kapasitas daya dukung lingkungannya. Pembangunan infrastruktur kota untuk memfasilitasi
kebutuhan warganya seringkali mengambil ruang hijau sehingga berkurangnya jumlah
ruang terbuka hijau yang ada di perkotaan. Para pemilik lahanpun dengan mudah menjual
lahannya karena dinilai lebih ekonomis dibandingkan hanya dijadikan lahan pertanian saja.
Salah satu alternatif penyelesaian permasalahan kota yang berkembang di Indonesia
adalah dengan menerapkan konsep Kota Hijau (
Green City
) sebagai bagian dari proses
pembangunan dan peremajaan kota. Menurut Ernawi (2012) konsep kota hijau memiliki
makna strategis karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan kota
yang begitu cepat dan berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan
seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya
luasan ruang terbuka hijau.
Konsep kota hijau di Indonesia dirumuskan dalam Program Pengembangan Kota
Hijau (P2KH). Menurut Kementerian PU (2011) Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH) merupakan salah satu langkah Pemerintah Pusat bersama dengan pemerintah
provinsi dan pemerintah kota / kabupaten dalam memenuhi ketetapan Undang Undang
Penataan Ruang, terutama terkait pemenuhan luasan RTH perkotaan. Berdasarkan
Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 pengertian Ruang Terbuka Hijau kota adalah ruang-
ruang terbuka dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal kawasan
maupun dalam bentuk areal memanjang atau jalur dimana di dalam penggunaannya lebih
bersifat terbuka, pada dasarnya tanpa bangunan.
Menurut UU No. 26 tahun 2007 luas minimal RTH di wilayah perkotaan agar dapat
menjalankan proses-proses ekologis tersebut minimal 30% dari total luas wilayah kota,
terdiri atas RTH publik 20% dan RTH privat 10% (Direktorat Jendral Penataan Ruang, Dep.
P.U., 2007). Luas RTH kota minimum tersebut adalah untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi, sistem mikroklimat, maupun sistem
ekologis lainnya. RTH sangat diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara
bersih bagi masyarakat serta menciptakan estetika kota (Joga dan Ismaun, 2011).
Salah satu kota yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat adalah Kota
Yogyakarta yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan ini akan terus mengalami
perkembangan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitas yang ada di Kota
198 Ratnasari, Sitorus, Tjahjono
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
Yogyakarta. Secara administratif Kota Yogyakarta adalah Ibukota Provinsi DIY yang
berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Sebagai salah satu
kota kuno di Indonesia Kota Yogyakarta merupakan kota yang lahir secara terencana
dengan baik dalam pemilihan lokasi hingga rencana tata ruangnya. Pusat kota ini
membentuk pola tertentu, pola-pola tersebut adalah alun-alun lor yang merupakan pusat
kota dikelilingi Masjid Agung di sebelah baratnya, keraton di sebelah selatannya, dan pasar
di sebelah utara
Saat ini kawasan pusat kota mengalami perkembangan pesat dan sudah tidak mampu
lagi menampung perkembangan kota yang semakin kompleks. Pada akhirnya RTH akan
beralih fungsi menjadi ruang terbangun. Menurut Sitorus
et al.
(2011) ada beberapa faktor
yang mempengaruhi perubahan luas RTH yaitu alokasi RTH dalam RTRW, fasilitas
kesehatan, jumlah pendatang, kepadatan penduduk, dan fasilitas pendidikan. Penerapan
konsep kota hijau diharapkan mampu menambah Ruang Terbuka Hijau Publik dan Ruang
Terbuka Hijau Privat serta merelokasikan kegiatan komersil dan aktifitas umum lainnya
sebagai bagian dari upaya menjaga laju pertumbuhan dan kebutuhan ruang kota. RTH
publik terdiri dari pembangunan jalur hijau, areal pemakaman, jalur pengaman atau median
jalan, kebun binatang, lapangan olah raga, taman kota dan tempat rekreasi serta tempat
parkir terbuka, sedangkan RTH privat terdiri dari sawah, taman kantor dan gedung
komersil, taman perumahan dan permukiman.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui luas dan persebaran penggunaan
lahan dan RTH eksisting di Kota Yogyakarta tahun 2014, (2) Mengetahui luas kecukupan
RTH Kota Yogyakarta berdasarkan luas wilayah dah jumlah penduduk, (3) Menentukan
area-area berpotensi yang dapat dikembangkan untuk RTH, (4) Menyusun arahan
pengembangan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
yang mencakup 14 kecamatan yaitu Danurejan, Gedongtengen, Gondokusuman,
Gondomanan, Jetis, Kotagede, Kraton, Mantrijeron, Margangsan, Ngampilan, Pakualaman,
Tegalrejo, Umbulharjo, dan Wirobrajan dengan luas wilayah 3.250 ha. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2014, yang meliputi tahap studi pustaka,
pengambilan sampel di lapangan dan pengolahan data.
Jenis dan Sumber Data
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan adalah sebagai berikut:
Interpretasi Citra
Dalam menganalisis dan mengevaluasi luas dan persebaran, penggunaan lahan
eksisting dan RTH eksisting di Kota Yogyakarta dilakukan Interpretasi Citra berupa citra
Quickbird
terbaru berdasarkan jenis penggunaan lahannya. Citra
Quickbird
kemudian di
digitasi
on screen
yaitu proses pengubahan data grafis digital dalam struktur data vektor
yang disimpan dalam bentuk
point, line
, atau
area.
Hasil interpretasi citra kemudian
dibandingkan dengan kondisi yang ada di lapangan. Pengecekan lapang dilakukan pada
tiap jenis tipe penggunaan lahan, dimana lokasi tersebut mewakili kelas penutupan lahan
Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta 199
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
sesuai dengan hasil interpretasi yang telah ditentukan, dan juga pada obyek-obyek yang
masih sulit untuk dikenali.
Analisis Kecukupan RTH
Untuk mencapai kecukupan RTH di wilayah Kota Yogyakarta analisis kebutuhan
ruang terbuka hijau kota dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu:
1. Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Menghitung kebutuhan RTH untuk mencapai 30% luas aktual wilayah (dengan
proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat) dan membandingkannya dengan luas
RTH eksisting.
2. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Menghitung kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk yaitu dengan mengalikan
antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai
peraturan yang berlaku yaitu 20m2/penduduk. Persamaan untuk menentukan luas
RTH berdasarkan jumlah penduduk adalah sebagai berikut.
Keterangan:
k = Nilai ketentuan luas RTH per penduduk berdasarkan Permen PU no
05/PRT/M/2008.
Pi = Jumlah penduduk pada wilayah i.
Standar luas RTH per kapita tertera pada Tabel 2. (Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.05 tahun 2008).
Tabel 2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk
No.
Unit Lingkungan
Tipe RTH
Luas minimal/
unit (m2)
Lokasi
1.
250 jiwa
Taman RT
250
Di tengah lingkungan RT
2.
2.500 jiwa
Taman RW
1.250
Di pusat kegiatan RW
3.
30.000 jiwa
Taman Kelurahan
9.000
Dikelompokkan dengan
sekolah/pusat kelurahan
4.
120.000 jiwa
Taman
Kecamatan
24.000
Dikelompokkan dengan
sekolah/pusat kecamatan
Pemakaman
Disesuaikan
Tersebar
5.
480.000 jiwa
Taman Kota
144.000
Di pusat wilayah/kota
Hutan Kota
Disesuaiakan
Di dalam/ kawasan pinggiran
Untuk fungsi-
fungsi tertentu
Disesuaikan
Disesuaikan dengan
kebutuhan
Analisis Area-area Berpotensi Untuk Pengembangan RTH
Dalam menentukan area yang berpotensi menjadi area RTH digunakan interpretasi
citra. Menururut Rahmi
et al.
(2012)
penambahan proporsi RTH secara signifikan
dimungkinkan antara lain melalui optimalisasi penataan jalur hijau koridor komersial. Selain
itu juga berpotensi untuk dilakukan dalam blok-blok permukiman, dengan bentuk taman
lingkungan, taman poket, perkarangan bangunan hunian, maupun jalur hijau jalan
lingkungan, melalui strategi pembangunan kembali kawasan (
urban redevelopment
). Yoga
dan Ismaun (2011) merumuskan area yang dapat dijadikan RTH dalam strategi menuju
RTH 30% yaitu area yang sensitif terhadap perubahan harus di konservasi agar fungsi
lingkungan tetap terjaga seperti : habitat satwa liar, area yang memiliki keanekaragaman
RTH pi = Pi x k ........
m2/orang
200 Ratnasari, Sitorus, Tjahjono
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
tinggi, area genangan dan penampung air, area rawan bencana, tepi sungai sebagai
pengaman ekologis, area yang memiliki pemandangan tinggi; koridor jalur hijau seperti :
jalur hijau jalan, pedestrian, sempadan sungai, tepian badan air situ dan waduk, sempadan
rel kereta api, Saluran Umum Tegangan Tingggi (SUTET); KDH minimal 20% pada
kawasan pengembang (pusat perbelanjaan, hotel, apartemen); taman atap dan dinding
hijau pada bangunan.
Penyusunan Arahan Pengembangan RTH
Penyusunan arahan pengembangan RTH dengan melakukan sintesis terhadap
kondisi eksisting, kecukupan RTH dan area berpotensi yang dapat dikembangkan menjadi
RTH untuk mencapai konsep Kota hijau. Arahan ini merupakan bentuk pengendalian
terhadap perubahan penggunaan pola ruang agar tidak terjadi perubahan ke arah yang
tidak diinginkan sekaligus diharapkan menjadi upaya pencegahan dan resolusi dalam
mengatasi permasalahan Kota Yogyakarta. Hasil arahan pengembangan RTH menuju Kota
Hijau Yogyakarta disajikan dalam bentuk uraian dan dipetakan secara spasial dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persebaran Penggunaan Lahan dan RTH Eksisting di Kota Yogyakarta
Berdasarkan hasil interpretasi Citra
Quickbird
dan survei lapangan menunjukan
bahwa penggunaan lahan Kota Yogyakarta pada tahun 2014 terdiri dari 13 Kawasan, yaitu :
1. Budaya (1,78%)
2. Industri Kecil dan Menengah (9,69%)
3. Kesehatan (1,25%)
4. Kuburan (1,01%)
5. Pariwisata (5,45%)
6. Pendidikan (2,53%)
7. Perdagangan dan jasa (26,05%)
8. Perkantoran (4,74%)
9. Pertanian (2,70%)
10. Permukiman (40,58%)
11. Rekreasi dan Olah Raga (1,41%)
12. Ruang Terbuka Hijau atau Sempadan Sungai (1,43%)
13. Sarana Transportasi (1,42%)
Penggunaan lahan di Kota Yogyakarta didominasi oleh kawasan permukiman yang
menempati hampir setengah bagian dari total wilayah Kota Yogyakarta, tersebar secara
merata di tiap kecamatan kecuali Kecamatan Kraton. Kawasan kesehatan, pendidikan,
perkantoran, perdagangan dan jasa terdapat di kawasan strategis terutama di sepanjang
jalan raya kota. Kawasan industri tersebar di pinggiran kota bagian barat dan selatan.
Kecamatan Keraton menjadi kawasan cagar budaya dan pariwisata karena terdapat
peninggalan sejarah yaitu keraton kesunanan Yogyakarta. Kawasan sarana transportasi di
Kota Yogyakarta hanya terdapat 1 stasiun kereta terletak di tengah kota yag terintegrasi
dengan rel kereta dan 1 terminal bus yang terletak di bagian selatan. Posisi stasiun yang
strategis dan terhubung dengan bandara menjadikannya pintu gerbang untuk masuk ke
Kota Yogyakarta. Kawasan RTH atau sempadan sungai membentuk pola organik mengikuti
bentuk sungai. Kawasan lainnya seperti kuburan, pertanian, rekreasi dan olah raga
Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta 201
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
terdistribusi secara acak dan tidak terkait dengan kawasan lainnya. Persebaran penggunaan
lahan eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014 tertera pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014
Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta dibagi menjadi 2 bentuk yang terdiri dari 14
jenis penggunaan, yaitu :
1. RTH Publik (10,03%) terdiri dari
a. Area Hijau (4,79%)
b. Jalur Pengaman Jalan (0,22%),
c. Kebun Binatang (0,45%),
d. Lapangan Olah Raga (0,59%),
e. Parkir Terbuka (0,95%),
f. Taman Kota (0,25%),
g. Taman Rekreasi (0,41%),
h. Pemakaman Umum (0,94%),
i. Sempadan Sungai (1,43%) ;
2. RTH Privat (7,75%) terdiri dari
a. Lapangan Upacara (0,01%),
b. Sawah (2,69%),
c. Taman Kantor dan Gedung Komersil (4,53%),
d. Taman Perumahan dan Permukiman (0,52%).
202 Ratnasari, Sitorus, Tjahjono
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
Kawasan hijau eksisting didominasi oleh area hijau, taman kantor dan gedung
komersil sebesar 10 %. Jumlah RTH terbanyak terdapat di Kecamatan Umbulharjo sebesar
165,27 ha. Kawasan pertanian paling luas terletak di kecamatan ini dibandingkan dengan
kecamatan-kecamatan lain di Yogyakarta. Pada tahun 2011 luas lahan pertanian sebesar
66,27 ha dan pada tahun 2013 berkurang menjadi 62,47 ha, hanya dalam waktu 2 tahun
luas pertanian berkurang sebanyak 3,8 ha (Kota Yogyakarta 2014). Produksi pertanian dari
tahun ke tahun tidak pernah optimal dan Kota Yogyakarta dapat mengalami krisis pangan
di masa mendatang. Penyusutan lahan pertanian tersebut disebabkan alih fungsi lahan
untuk bangunan perumahan, perkantoran, industri dan pertokoan. Hasil perhitungan RTH
eksisting tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas RTH eksisting Kota Yogyakarta
Kecamatan
Luas Wilayah
(ha)
RTH Publik
(ha)
RTH Privat
(ha)
Total RTH
(ha)
Danurejan
110
8,57
5,35
13,93
Gedongtengen
96
10,35
1,83
12,18
Gondokusuman
397
42,11
36,86
78,97
Gondomanan
112
9,73
8,57
18,30
Jetis
172
13,36
11,20
24,56
Kotagede
307
35,94
18,21
54,15
Kraton
140
16,28
5,90
22,18
Mantrijeron
261
26.20
29,03
55,23
Margangsan
231
17.53
16,27
33,81
Ngampilan
82
3.61
3,71
7,32
Pakualaman
63
3,21
0,37
3,57
Tegalrejo
291
37,81
28,40
66,27
Umbulharjo
812
86,76
78,51
165,27
Wirobrajan
176
18,12
10,59
28,71
Jumlah (ha)
3250
329,63
254,82
584,45
Jumlah (%)
100
10,03
7,75
17,78
Kawasan RTH tersebar secara acak, sempadan sungai yang berupa vegetasi rapat
terdapat di sepanjang aliran sungai dan membentuk pola memanjang mengikuti bentuk
sungai. Pada pusat kota dengan bangunan padat, didominasi RTH jenis taman kota, taman
rekreasi, lapangan olah raga, membentuk pola linear karena dipengaruhi keberadaan
keraton. Jalur pengaman jalan terletak di setiap stasiun untuk membatasi akses pengunjung
ke area yang dianggap berbahaya. Area ini didominasi oleh kerikil, vegetasi semak dan
pohon pohon berukuran kecil. Pada luar kota jenis RTH yang mendominasi adalah
sawah, kebun binatang dan TPU tersebar secara acak.
Secara umum ruang hijau yang ukurannya luas terletak di pinggiran kota dan akan
semakin berkurang atau mengecil saat mendekati pusat kota. Ruang hijau privat yang
paling banyak adalah dalam bentuk taman kantor dan gedung komersil ruang, berupa
taman pasif yang hanya berisi vegetasi hijau tanpa ada aktifitas didalamnya. Taman
lingkungan perumahan didominasi oleh tanaman hias dan vegetasi buah-buahan, selain
sebagai peneduh hasilnya juga dapat dikonsumsi. Peta RTH eksisting Kota Yogyakarta
tahun 2014 terlihat pada Gambar 2.
Kecukupan RTH di Kota Yogyakarta
Kecukupan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan bahwa
proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah minimal 30% dari total luas wilayah, terdiri
Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta 203
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Berdasarkan standar tersebut wilayah Kota
Yogyakarta yang memiliki luas 3.250 ha, harus memiliki RTH minimum seluas 975 ha,
dengan luas RTH publik 650 ha dan RTH privat 325 ha. Berdasarkan hasil interpretasi citra
luas RTH eksisting terbesar terdapat di Kecamatan Umbulharjo dengan luas 165,27 ha, jika
standar kebutuhan ini dibandingkan dengan kondisi eksisting RTH, maka Kota Yogyakarta
memiliki kekurangan RTH seluas 390,55 ha. Seluruh kecamatan kekurangan RTH, RTH
publik paling banyak kekurangan terdapat di Kecamatan Umbulharjo seluas 75,64 ha dan
yang paling sedikit kekurangannya terdapat di Kecamatan Gedongtengen seluas 8,85 ha.
Ada satu kecamatan yang luas RTH privatnya memenuhi standar kebutuhan yaitu di
Kecamatan Mantrijeron dengan kelebihan RTH seluas 2,93 ha. Kekurangan RTH privat
paling banyak terdapat di Kecamatan Kotagede seluas 12,49 ha. Berkurangnya RTH di Kota
Yogyakarta sebagai imbas dari tingginya kebutuhan kota akan permukiman. Lahan yang
paling banyak beralih fungsi adalah sawah. Proporsi kecukupan RTH berdasarkan luas
wilayah tertera pada Tabel 3.
Gambar 2. Peta RTH eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014
204 Ratnasari, Sitorus, Tjahjono
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
Tabel 3. Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Kecamatan
Luas RTH Eksisting (ha)
Kebutuhan RTH (ha)
Kecukupan RTH (ha)
Publik
Privat
Jumlah
Publik
Privat
Jumlah
Publik
Privat
Jumlah
Danurejan
8,57
5,38
13,93
22
11
33
-13,43
-5,62
-19,07
Gedongtengen
10,35
1,83
12,18
19,2
9,6
28,8
-8,85
-7,77
-16,62
Gondokusuman
42,11
36,86
78,97
79,4
39,7
119,1
-37,29
-2,84
-40,13
Gondomanan
9,73
8,57
18,3
22,4
11,2
33,6
-12,67
-2,63
-15,3
Jetis
13,36
11,20
24,56
34,4
17,2
51,6
-21,04
-6
-27,04
Kotagede
35,94
18,21
54,15
61,4
30,7
92,1
-25,46
-12,49
-37,95
Kraton
16,28
5,90
22,18
28
14
42
-11,72
-8,1
-19,82
Mantrijeron
26,20
29,03
55,23
52,2
26,1
78,3
-26
2,93
-23,07
Mergangsan
17,53
16,27
33,81
46,2
23,1
69,3
-28,67
-6,83
-35,49
Ngampilan
3,61
3,71
7,32
16,4
8,2
24,6
-12,79
-4,49
-17,28
Pakualaman
3,21
0,37
3,57
12,6
6,3
18,9
-9,39
-5,93
-15,33
Tegalrejo
37,87
28,40
66,27
58,2
29,1
87,3
-20,33
-0,7
-21,03
Umbulharjo
86,76
78,51
165,27
162,4
81,2
243,6
-75,64
-2,69
-78,33
Wirobrajan
18,12
10,59
28,71
35,2
17,6
52,8
-17,08
-7,01
-24,09
Kota Yogyakarta
329,63
254,82
584,45
650
325
975
-320,36
-70,17
-390,55
Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 menetapkan standar
kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk adalah 20m2/ kapita. Data BPS
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2013 adalah 402.679
jiwa, sehingga Kota Yogyakarta membutuhkan RTH seluas 805,36 ha. Rata-rata laju
pertumbuhan penduduk adalah 0,69% per tahun. Proyeksi jumlah penduduk untuk tahun
2029 dilakukan dengan menggunakan rumus bunga berganda, perkiraan jumlah penduduk
tahun 2029 adalah 449.511 jiwa. Jumlah penduduk yang terus meningkat akan di iringi
dengan peningkatan kebutuhan ruang. Pada tahun 2029 proyeksi kebutuhan RTH adalah
899.02 ha. Jika dibandingkan dengan RTH Eksisting terdapat kekurangan seluas 314,57 ha.
Seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta kekurangan RTH, yang paling banyak kekurangan
adalah Kecamatan Margangsan seluas 33,09 ha. Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan
Jumlah Penduduk tahun 2029 tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk pada tahun 2029
Kecamatan
Proyeksi Jumlah
Penduduk (jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/ha)
Kecukupan RTH (ha)
Eksisting
Selisih
Danurejan
20946
190
13,93
-27,96
Gedongtengen
19628
204
12,18
-27,08
Gondokusuman
51724
130
78,97
-24,48
Gondomanan
14877
133
18,3
-11,45
Jetis
26782
156
24,56
-29,00
Kotagede
36822
120
54,15
-19,49
Kraton
19953
143
22,18
-17,73
Mantrijeron
36149
139
55,23
-17,07
Margangsan
33450
145
33,81
-33,09
Ngampilan
18638
227
7,32
-29,96
Pakualaman
10642
169
3,57
-17,71
Tegalrejo
41032
141
66,27
-15,79
Umbulharjo
90502
111
165,27
-15,73
Wirobrajan
28366
161
28,71
-28,02
Kota Yogyakarta
449511
138
584,45
-314,57
Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta 205
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
Area Yang Berpotensi Untuk Dikembangkan Menjadi RTH
Berdasarkan hasil interpretasi citra, Kota Yogyakarta didominasi oleh lahan
terbangun sehingga sangat sulit untuk menemukan lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai
RTH. Potensi 1 adalah lahan milik pemerintah berupa jalur pemisah jalan disepanjang jalur
arteri dan kolektor yang dapat dijadikan jalur hijau. Potensi 2 adalah lahan milik warga
berupa lahan-lahan kosong bekas bangunan atau tanah kosong yang belum termanfaatkan.
Pemerintah daerah dapat membeli lahan-lahan ini karena lebih efisien dibandingkan harus
membeli lahan yang terdapat bangunan. Potensi 3 adalah sempadan sungai dengan lebar
30 m di kiri dan kanan sungai yang seharusnya bebas dari lahan terbangun. Potensi 3
adalah rencana jangka panjang kerena memerlukan usaha dan biaya yang banyak karena
harus membebaskan tanah warga. Walaupun luas RTH eksisting sudah ditambah dengan
area berpotensi RTH jumlahnya hanya 710,47 (21,62%) masih kurang dari standar
kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menuju Kota Hijau yaitu 30%. Perhitungan rinci area
berpotensi tertera pada Tabel 5 dan peta area berpotensi RTH terlihat pada Gambar 3.
Tabel 5. Luas Area Berpotensi RTH di Kota Yogyakarta
Kecamatan
Eksisting
Potensi 2
Potensi 3
Danurejan
13,93
0.51
4,51
Gedongtengen
12,18
0.92
2,48
Gondokusuman
78,97
2.62
7,26
Gondomanan
18,30
0.31
4,01
Jetis
24,56
1.65
9,22
Kotagede
54,15
0
4,23
Kraton
22,18
0.22
0
Mantrijeron
55,23
1.33
3,66
Margangsan
33,81
0.62
8,87
Ngampilan
7,32
0.36
4,65
Pakualaman
3,57
0.61
1,92
Tegalrejo
66,27
0.94
19,53
Umbulharjo
165,27
4.35
20,04
Wirobrajan
28,71
0.87
4,7
Jumlah (ha)
584,45
15.32
95,08
Jumlah (%)
17,78
0.47
2,89
Arahan Pengembangan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta
Arahan RTH terdiri dari sebaran luas, bentuk dan fungsi RTH. Kondisi eksisting
digunakan untuk mengetahui kuantitas, kualitas dan fungsi peruntukan RTH yang ada di
Kota Yogyakarta. Kecukupan RTH digunakan untuk menghitung standarisasi jumlah RTH
yang dibutuhkan suatu kota. Area yang berpotensi RTH digunakan untuk menentukan area
mana saja yang dapat digunakan sebagai RTH. RTRW Kota Yogyakarta digunakan untuk
melihat apakah suatu area sudah sesuai peruntukannya.
Luas RTH eksisting Kota Yogyakarta adalah 584,45 ha. RTH ini merupakan RTH
alami dan binaan sehingga perlu dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya. RTH ini
sebagian berbentuk kawasan seperti area hijau, area olahraga, taman kota, taman kantor,
lahan pertanian dan sebagian lagi berbentuk jalur pengaman jalan dan jalur sempadan
sungai. Fungsi yang dominan di RTH ini adalah fungsi ekologis, estetika, sosial dan
ekonomi.
206 Ratnasari, Sitorus, Tjahjono
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
Gambar 2. Area Berpotensi RTH
Gambar 3. Arahan Pengembangan RTH Kota Yogyakarta
Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta 207
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
Penambahan RTH di kota ini dilakukan pada lahan-lahan kosong bekas bangunan
atau tanah kosong yang belum termanfaatkan seluas 15,32 ha. Area ini diarahkan untuk
menjadi RTH publik seperti taman lingkungan permukiman yang di fasilitasi dengan area
bermain terutama untuk fungsi sosial dan estetika. Penambahan jalur hijau jalan seluas
15,62 ha di sepanjang jalan arteri dan kolektor dengan fungsi ekologis dan estetika
terutama sebagai peneduh dan penyerap polusi udara. Banyaknya area terbangun dan
mahalnya harga lahan di Kota Yogyakarta sehingga sangat sulit untuk melakukan
penambahan area RTH, maka pengembangan RTH di kota ini di fokuskan pada
pengembangan RTH kenyamanan. Arahan pengembangan RTH Kota Yogyakarta disajikan
pada Gambar 3.
KESIMPULAN
Penggunaan lahan eksisting di Kota Yogyakarta didominasi oleh permukiman seluas
1333,75 ha atau 40.58% dari luas total wilayah Kota Yogyakarta. Permukiman ini tersebar
merata di seluruh Kota Yogyakarta. RTH eksistingnya seluas 584,45 ha (17,78%) terdiri dari
RTH publik seluas 329,63 ha (10,03%) dan RTH privat seluas 254,82 ha (7,75%). Pada
pusat kota, RTH tersebar secara linear umumnya berupa RTH publik seperti taman kota
dan rekreasi, sedangkan di pinggiran kota RTH tersebar secara acak didominasi oleh RTH
privat seperti sawah.
Kebutuhan RTH Kota Yogyakarta berdasarkan luas wilayah adalah seluas 975 ha dan
berdasarkan jumlah penduduk 805,36 ha. Kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah masih
terdapat kekurangan RTH publik seluas 320,36 ha dan RTH privat seluas 70,17 ha,
sedangkan berdasarkan jumlah penduduk masih kekurangan RTH seluas 220,91 ha. Saat ini
kecukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk yang dapat tercukupi adalah di Kecamatan
Umbulharjo, yaitu terdapat kelebihan seluas 3,12 ha. Pada proyeksi tahun 2029 semua
kecamatan di Kota Yogyakarta akan kekurangan RTH karena semakin meningkatnya
jumlah penduduk sehingga akan semakin banyak ruang yang dibutuhkan.
Area yang berpotensi untuk dijadikan RTH adalah seluas 126,02 ha atau 3,84%. Area
potensi 1 berupa jalur hijau jalan hanya terdapat 15,62 ha (0,48%), area potensi 2 yang
berupa lahan kosong seluas 15,32 ha (0,47%) dan area 3 berupa sempadan sungai seluas
95,08 ha (2,89%). Luas total RTH hanya mampu mencapai 710,47 ha atau 21,62%. Hal ini
menunjukkan bahwa RTH di Kota Yogyakarta masih jauh dari standar kebutuhan yang
harus dipenuhi untuk menuju Kota Hijau yaitu 30%.
Arahan pengembangan RTH Kota Yogyakarta untuk menuju Kota Hijau adalah
sebagai berikut :
Mempertahankan RTH eksisting seluas 584,45 ha yang berupa area hijau, taman kota dan
sempadan sungai.
Menambah RTH seluas 126,02 ha yang ditujukan untuk membangun RTH publik seperti jalur
hijau jalan, taman lingkungan permukiman dan merefungsi sempadan sungai.
Pengembangan RTH di kota ini di fokuskan pada pengembangan RTH kenyamanan seperti
meningkatkan kualitas RTH eksisting dengan penambahan vegetasi terutama jenis peneduh
dan menghijaukan bangunan dengan
roof garden
atau
vertical garden.
SARAN
1. Tingginya alih fungsi lahan di Kota Yogyakarta memerlukan adanya pengaturan dan
pengawasan oleh pemerintah melalui BPN dan Dinas Cipta Karya dalam pengurusan
IMB juga sosialisasi mengenai penetapan KDH di lingkungan permukiman bagi para
warganya.
208 Ratnasari, Sitorus, Tjahjono
TATA LOKA - VOLUME 17 NOMOR 4 - NOVEMBER 2015 - p ISSN 0852-7458 - e ISSN 2356-0266
2. Penetapan luas RTH 30% pada RTRW 2010-2029 Kota Yogyakarta perlu ditinjau
kembali, karena melihat kondisinya saat ini cukup sulit untuk di implementasikan
terutama di kota-kota besar.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan lingkungan melalui gerakan-gerakan yang
mampu mengajak masyarakat untuk dapat peduli terhadap lingkungan. Salah satunya
adalah dengan memberikan insentif bagi warga yang mempertahankan dan melakukan
penghijauan di sekitar tempat tinggalnya.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta. 2014. Kota Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Umbulharjo. 2014. Umbulharjo dalam Angka. Yogyakarta (ID): BPS.
[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 1998. Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1998 Tentang
Penataan Ruang terbuka Hijau Wilayah Perkotaan. Jakarta (ID): Menteri Dalam Negeri.
Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Undang -undang No 26 tahun 2007
Tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Penataan Ruang Menteri Pekerjaan Umum.
Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri pekerjaan Umum
Nomor: 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Penataan Ruang Menteri Pekerjaan Umum.
Ernawi IS. 2012. Gerakan Kota Hijau: Merespon Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan. Bulletin Tata
Ruang. (Januari-Pebruari 2012): 4-7.
Joga N, Ismaun I. 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) Panduan Pelaksanaan.
Jakarta (ID): Kementerian Pekerjaan Umum.
Putri P, Zain AFM. 2010. Analisis Spasial dan Temporal Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kota
Bandung. Jurnal Lanskap Indonesia 2 (2): 115-121.
Rahmy WA, Faisal B, Soeriaatmadja AR. 2012. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan padat,
Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 1 (1): 27-38.
Sitorus SRP, Aurelia W, Panuju DR. 2011. Analisis Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya di Jakarta Selatan. Jurnal Lanskap Indonesia, 2 (1): 15-20.
Todaro MP, Smith S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Terjemahan. Edisi kesembilan. Munandar, H
(penterjemah). Jakarta (ID): Erlangga.
... Perkembangan kota juga dapat disebabkan oleh terjadinya dinamika penduduk, perubahan ekonomi, sosial dan interaksi yang terjadi dengan wilayah atau kota lain (Adinata, 2016). Dengan jumlah penduduk yang besar, maka berdampak pula pada meningkatnya kebutuhan lahan untuk pembangunan infrastruktur guna memfasilitasi kebutuhan warga kota tersebut, dimana pembangunan tersebut seringkali menggeser dan mengambil alih lahan atau ruang terbuka hijau yang ada untuk diubah menjadi lahan terbangun, sehingga ruang terbuka hijau di dalam kota semakin berkurang (Ratnasari, Sitorus, & Tjahjono, 2015). ...
... Konsep kota hijau sendiri merupakan suatu konsep yang dapat digunakan untuk pembangunan sekaligus peremajaan suatu kota. Menurut (Ratnasari et al., 2015) konsep Kota Hijau (green city) ini merupakan suatu konsep pembangunan kota yang berkelanjutan (sustainable city) dengan menyelaraskan lingkungan, yaitu ingkungan alam dengan lingkungan yang dibuat oleh manusia sebagai akibat dari respon terhadap permasalahan dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Di dalam Kota Hijau terdapat delapan indikator yaitu (1) perencanaan dan perancangan hijau (green planning and design), (2) (Sobirin & Fatimah, 2015) Dari tabel klasifikasi UHI Kota Surabaya tahun 2011 tersebut jelas terlihat jika kelas 5 dengan suhu >32 ˚C memiliki jangkauan wilayah yang paling luas yaitu 193,56 atau sekitar 58,58%, dengan kata lain, sebagin besar Kota Surabaya berada pada suhu tersebut. ...
... Konsep Kota Hijau di Indonesia menurut Kementerian PUPR diartikan sebagai kota yang dibangun dengan tidak mengorbankan aset yang dimiliki kota, tetapi terus-menerus memupuk semua aset lain yang dimiliki seperti manusia, lingkungan, dan juga sarana prasarana terbangun. Menurut (Ratnasari et al., 2015) konsep Kota Hijau (green city) ini merupakan suatu konsep pembangunan kota yang berkelanjutan (sustainable city) dengan menyelaraskan lingkungan, yaitu lingkungan alam dengan lingkungan yang dibuat oleh manusia sebagai akibat dari respon terhadap permasalahan dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Pembangunan yang berkelanjutan ini berarti suatu proses pembangunan baik itu pembangunan lahan, masyarakat, kota, mauoun bisnis, yang memiliki prinsip pemenuhan kebutuhan di saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang (Purnomo, 2016) Konsep ...
Article
Full-text available
ABSTRAK Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar, dengan total populasi .026 pada tahun 2019. Dengan populasi yang besar tentu saja meningkatkan permintaan dan penggunaan lahan untuk membangun fasilitas untuk mendukung dan memenuhi kebutuhan mereka, yang kemudian akan mengarah pada masalah baru seperti polusi lingkungan (polusi air, udara, tanah, dll.) dan bencana seperti banjir dan kekeringan. Masalah lingkungan yang paling bisa dirasakan adalah perubahan suhu. Maka, untuk mengurangi dan mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Kota Surabaya sedang mencoba menerapkan konsep Kota Hijau (green city). Makalah ini dibuat untuk menganalisis bagaimana upaya yang dilakukan oleh Kota Surabaya untuk menjadi Kota Hijau melalui penyediaan ruang terbuka hijau (RTH). Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan atau studi literatur menggunakan data sekunder yang bersumber dari buku, skripsi, artikel jurnal, makalah dan sumber elektronik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Surabaya berusaha memenuhi tiga atribut awal untuk menjadi Kota Hijau, yaitu melalui perencanaan dan desain hijau, ruang terbuka hijau, dan komunitas hijau.
... pengertian Ruang Terbuka Hijau kota adalah ruangruang terbuka dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal kawasan maupun dalam bentuk areal memanjang atau jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, pada dasarnya tanpa bangunan(Ratnasari, A, 2015). Suatu bentuk pengembangan kawasan perkotaan yangmengharmonisasikan lingkungan alamiah dan lingkungan buatan. ...
Article
Full-text available
Sustainable urban development requires various efforts to balance the carrying capacity of the city's environment. Another environmental problem that also appears in urban areas, is traffic congestion which is at risk of increasing carbon monoxide emissions. Air pollution has both acute and chronic effects on human health, affecting a number of different organ systems. Ranging from mild such as upper respiratory irritation (ARI) for chronic respiratory and heart disease, to lung cancer, including acute respiratory infections in children and chronic bronchitis in adults, to pre-existing heart and lung diseases will aggravating the disease, or an asthma attack. This study analyzes the valuation of the degradation of air pollution in order to create a green city in Jakarta. The results of the Degradation Economic Valuation of the City of Jakarta are calculated from the number of pneumonia & tuberculosis patients multiplied by the cost of treatment per capita, the result is for the total DKI Jakarta in 2011 of Rp. 6,497,- (in million) while 2014 increased by Rp. 1,148,976,- (in million) while for 2020 it decreased by Rp. 98,535,- (in million). For 2020. This valuation represents the loss resulting from air pollution so that people have to pay for medical treatment due to illness suffered from pollutants
... Wilayah studi yang merupakan kawasan permukiman padat sulit untuk menyediakan RTH publik baru. Oleh karena itu, mempertahankan dan meningkatkan kualitas RTH yang ada, menambahkan area yang belum termanfaatkan sebagai RTH publik dan mengoptimalkan jalur hijau sebagai koridor hijau akan meningkatkan kenyamanan (Ratnasari et al., 2015). Kondisi ini sejalan dengan persepsi masyarakat yang lebih menonjolkan peran ekologis RTH publik. ...
Article
Kurangnya ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) publik akibat keterbatasan ruang kota di samping kebutuhan masyarakat terhadap kualitas RTH publik merupakan tantangan yang terjadi di Kecamatan Samarinda Seberang. Kualitas RTH publik yang ada perlu ditingkatkan untuk menciptakan kawasan hunian yang aman, nyaman, segar dan asri. Oleh karena itu, arahan peningkatan kualitas RTH publik berdasarkan prioritas persepsi masyarakat di Kecamatan Samarinda Seberang diperlukan untuk menjawab tantangan yang ada. Untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan 3 tahapan analisis. Pertama, identifikasi pengelompokan persepsi terhadap RTH publik dengan menggunakan analisis cluster. Kedua, dilakukan analisis evaluasi kualitas RTH Publik berdasarkan persepsi masyarakat dengan analisis importance performance analysis (IPA). Terakhir, dirumuskan arahan peningkatan kualitas RTH publik berdasarkan faktor penting yang teridentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Kelompok 1 diperlukan peningkatan RTH publik pada unsur kenyamanan dan kelerestarian RTH publik yang sudah ada. Di sisi lain, kelompok 2 perlu upaya penghijauan kembali dan konservasi pada jalur hijau yang ada. Meskipun demikian, akibat terbatasnya ketersediaan RTH Publik maka wilayah studi memerlukan peningkatan keterlibatan masyarakat dalam penghijauan kawasan perumahan dengan memanfaatkan kecukupan pengetahuan dan perhatian masyarakat terhadap isu ekologis.
... Salah satu alternatif penyelesaian permasalahan kota yang berkembang di Indonesia adalah dengan menerapkan konsep Kota Hijau (Green City) sebagai bagian dari proses pembangunan dan peremajaan kota. Menurut (Kirmanto, Ernawi, & Djakapermana, 2012) konsep kota hijau memiliki makna strategis karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan kota yang begitu cepat dan berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau (Ratnasari, Sitorus, & Tjahjono, 2015). ...
Article
Full-text available
Permasalahan lingkungan pada Kota Jakarta seperti hilangnya lahan pertanian, pencemaran lingkungan, peningkatan suhu udara, rendahnya kualitas udara, dampak terhadap kualitas dan kuantitas air, dampak terhadap kesehatan umum dan sosial perlu diantisipasi dengan menerapkan PDRB Hijau sebagai dasar pengukuran perekonomiannya. Valuasi Ekonomi Lingkungan Kota Jakarta Berbasis PDRB Tahun 2016 didasarkan atas pengukuran PDRB Hijau untuk wilayah perkotaan (Provinsi DKI Jakarta) diambil dari perhitungan PDRB Konvesnional dikurangi Nilai Deplesi seingga didapat PDRB Semi Hijau. Nah Selanjutnya PDRB Semi Hijau dikurangi Nilai Degradasi didapatlah Nilai PDRB Hijau . Hasilnya didapat yaitu Pada tahun 2019 provinsi DKI Jakarta memiliki memperoleh PDRB sebesar Rp. 1.842.996.120,- sehingga setelah dikurangi nilai deplesi air bersih maka total PDRB Semi Hijau menjadi Rp. 1.840.986.426. Sementara total nilai degradasi adalah Rp. 16.182.290,- (juta) sehingga didapatkan PDRB Hijau tahun 2019 sebesar Rp. 1.824.804.136 (juta). Akibat ekonomi hijau kurang diterapkan maka nilai kerugian sebesar Rp. 18.191.984,- (juta).
Article
Full-text available
The presence of green open space in a city plays an important role in ecological functions, one of which has the potential to become a birds habitat. Plant composition in GOS plays an important role in the use of habitat by birds. Studies on the presence of GOS as birds habitat are still growing. In this study, the use of GOS in five-star hotels in Yogyakarta as birds habitat is examined. The study was conducted in February-March and June 2020 at the GOS of Royal Ambarrukmo Hotel, Sheraton Mustika Resort & Spa, and the edge of the Hyatt Regency Yogyakarta property. The method used is IPA, birds identification using Mac Kinnon's guidebook, and taking vegetation data using the quadratic plot method. Based on research, total of birds species that were found are 22 species from 14 families. Plant species were found are 59 species from 33 families. Based on research found that the more diverse types of plants in a habitat, the more diverse species of birds found. The composition of birds is dominated by graminivorous groups. The use of GOS in the three hotels acts as a bird habitat to support all its activities including foraging, perching, and nesting.
Article
Developments in Yogyakarta City have driven residents of the city and its outskirts to access available social facilities, such as education, healthcare, and employment. If this continues, various social and urban problems may emerge, including increased population density and traffic congestion. Another implication of this process is decreased environmental carrying capacity as a result of continued use of non-sustainable approaches to development. This study aims to model the complexity of the relationships between aspects i.e., social, economic, and environmental of the area studied. The system dynamics method is used, as it is a disciplinary approach that is able to fully explore problems that occur in interconnected systems rather than examining incidents partially. As the basis for this model, the causal loop diagram (CLD) model has been applied based on literature studies and field observations. The result shows that developments in the tourism and education sectors are the main factors affecting the intersections of social, economic, and environmental considerations.
Article
Full-text available
Increasingly dynamic city development without being accompanied by the provision of vacant land for reforesting has a negative impact on the environment. Increasing air quality and noise levels make a city have to prepare solutions to solve problems that have an impact on the environment of human life. The concept of vertical garden emerged as an alternative greening that can be applied in cities with a level of availability of narrow vacant land such as the city of Yogyakarta. The impact of applying this concept can overcome problems such as decreased air quality due to pollution. This study uses qualitative methods to describe how the effect of applying vertical gardens as an alternative to greening in supporting smart environments.Keywords: Smart Environment, Vertical Garden, Environment;
Conference Paper
The city of Yogyakarta faces the problem of urbanization, an increase in population, economic activity and changes in land use. Settlements and water are basic needs that must be fulfilled. Transfer of land functions into settlements will reduce water catchment areas and trigger floods and droughts. This study aims to analyze the balance between the availability and needs of green open space in supporting the reliability of water supply in the city of Yogyakarta. The method used in this study is the analysis of the reliability of water resources which is calculated based on the adequacy of green open space and population. The results showed that the total green open space of the city of Yogyakarta is 301.76 ha or 9.28% of the total area of 3,250 ha. The existing population is 413,705 people with water demands of 26.890.830,98 m³/year, existing water supply is 16.847.178 m³/year, and groundwater potential is 9.000.000 m³/year, so there is still a water shortage of 1.043.653 m³/year. To overcome the shortage of water, based on the population and water demands of the city of Yogyakarta requires a green open space of 287,17 ha or 8,84%. The strategy for developing green open spaces in Yogyakarta is focused on improving the quality of existing green open spaces, as well as developing public green open spaces and green lines. In addition, rainwater harvesting techniques as an alternative to raw water through reservoirs for direct use and absorption of rainwater to the ground as groundwater conservation.
Article
Full-text available
Rice is still a staple food in Indonesia, including in West Bandung Regency West Java Province. West Bandung regency was reached food self-sufficiency in 2010. The objectives at this study were: i) to identify land use land cover (LULC) in West Bandung; ii) to analyze suitability and availability for paddy field in West Bandung and iii) to arrange the direction of rice field development in West Bandung. Data analysis using geografis information system (GIS). Identify land use land cover by interpretation of SPOT imagery 6 2016. Analysis of the suitability and availability of paddy fields by overlapping land use maps, maps of forest areas and soil maps. The direction of paddy fields development based on actual land and a potential land of paddy fields. The alignment of wetland land use by overlapping maps of suitability and availability of land and spatial pattern patterns (RTRW) Kabupaten Bandung Barat 2009-2029. The result of land use interpretation is dominated by forest area of 37,335 ha, while paddy field area 15,953 ha. Land suitability evaluation consists of suitable (S2) and marginally suitable (S3) using matching criteria. The analysis result shows that the land suitability and available for paddy field was 25,147 ha. Direction of land development for Paddy field area was directed to actual paddy field largely 14,923 ha for intensification and potential land available for paddy field largely 10,224 ha for extensification. The land use of paddy fields has alignment with RTRW covering 2,018 ha and recommended as sustainable food agriculture land.
Jakarta (ID): Direktorat Jendral Penataan Ruang Menteri Pekerjaan Umum
  • Ruang Tentang Penataan
Tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Penataan Ruang Menteri Pekerjaan Umum.
Gerakan Kota Hijau: Merespon Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan
  • I S Ernawi
Ernawi IS. 2012. Gerakan Kota Hijau: Merespon Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan. Bulletin Tata Ruang. (Januari-Pebruari 2012): 4-7.
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) Panduan Pelaksanaan
  • Umum Kementerian Pekerjaan
Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) Panduan Pelaksanaan. Jakarta (ID): Kementerian Pekerjaan Umum.
Analisis Spasial dan Temporal Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung
  • P Putri
  • Afm Zain
Putri P, Zain AFM. 2010. Analisis Spasial dan Temporal Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung. Jurnal Lanskap Indonesia 2 (2): 115-121.
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega
  • W A Rahmy
  • B Faisal
  • A R Soeriaatmadja
Rahmy WA, Faisal B, Soeriaatmadja AR. 2012. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 1 (1): 27-38.
Analisis Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Jakarta Selatan
  • Srp Sitorus
  • Aurelia W Panuju
Sitorus SRP, Aurelia W, Panuju DR. 2011. Analisis Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Jakarta Selatan. Jurnal Lanskap Indonesia, 2 (1): 15-20.
Pembangunan Ekonomi. Terjemahan. Edisi kesembilan. Munandar, H (penterjemah)
  • M P Todaro
  • S C Smith
Todaro MP, Smith S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Terjemahan. Edisi kesembilan. Munandar, H (penterjemah). Jakarta (ID): Erlangga.
Kota Yogyakarta dalam Angka
  • Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta
Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta. 2014. Kota Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta (ID): BPS.
Umbulharjo dalam Angka
  • Badan Pusat Statistik Umbulharjo
Badan Pusat Statistik Umbulharjo. 2014. Umbulharjo dalam Angka. Yogyakarta (ID): BPS.
Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1998 Tentang Penataan Ruang terbuka Hijau Wilayah Perkotaan
  • Negeri Departemen Dalam
Departemen Dalam Negeri. 1998. Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1998 Tentang Penataan Ruang terbuka Hijau Wilayah Perkotaan. Jakarta (ID): Menteri Dalam Negeri.