Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
REPOSISI POLITIK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
DALAM RANGKA MEWUJUDKAN TERTIB HUKUM DI INDONESIA
Dhiana Puspitawati, Adi Kusumaningrum
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Email: , dhiana74@yahoo.com.au adi.kusumaningrum@gmail.com
Abstract
In Indonesia, there is no exact legal and political system regarding the application of International
Treaty within national legal system. Article 11 of Indonesian Constitution 1945 only set up the
division of authority between President and Parliament in ratifying International Treaty. The lack of
clarification on Indonesia's legal and political system raises problems in the application of
international treaty domestically. Need to reposition the political concept of International Treaty
law to realize the rule of law in Indonesia in the future, like: (1) the amendment of Article 11 of
Indonesian Constitution 1945; (2) a revision of Law No. 24 of 2000 on Indonesian Agreement; (3) a
revision of Law No. 12 of 2011 on the Establishment of Legislation.
Keywords: Reposition; Legal Politic; International Treaty.
Abstrak
Di Indonesia tidak terdapat politik yang tepat dan sistem hukum mengenai penerapan Perjanjian
Internasional dalam sistem hukum nasional. Pasal 11 dari UUD NRI Tahun 1945 hanya mengatur
pembagian wewenang antara Presiden dan DPR dalam meratifikasi perjanjian internasional.
Kurangnya klarifikasi pada sistem hukum dan politik Indonesia menimbulkan masalah dalam
penerapan perjanjian internasional di dalam negeri. Perlu dilakukan reposisi konsep politik hukum
Perjanjian Internasional dalam rangka mewujudkan tertib hukum di Indonesia ke depan, antara
lain dengan: (1) amandemen Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945; (2) revisi Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Indonesia; (3) revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kata kunci: Reposisi; Politik Hukum; Perjanjian Internasional.
A. Pendahuluan
Pada tahun 2011, Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan
Charter of the Association of Southeast Asian
Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-
Bangsa Asia Tenggara) dipermasalahkan oleh
sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat
(selanjutnya disebut LSM) dengan meminta
Mahkamah Konstitusi melakukan judicial
review (pengujian) undang-undang ratifikasi
Pi agam AS EAN in i terh adap U ndang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) melalui
perkara nomor 33/PUU-IX/2011. Putusan
Ma hkam ah Konstitusi ini memberikan
ja waba n apakah mekanism e konstitusi
Indonesia memungkinkan suatu perjanjian
internasional diajukan pengujian (judicial
review) terhadap UUD NRI Tahun 1945?
P u tu sa n M a h ka ma h K o n s t it us i
menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 24C
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Peru bahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
sal ah s atu kewena n gan konstit usional
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang
326
terhadap Undang-Undang Dasar. Lebih lanjut
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
permohonan para Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas norma Undang-Undang,
yaitu Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2)
huruf n ASEAN Charter yang merupakan
lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan
dari Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008
(vide Pasal 1 dari Undang-Undang Nomor 38
Tahun 2008), dengan demikian, Mahkamah
berwenang untuk mengadili permohonan a
quo.
M a h k a m a h K o n s t i t u s i j u g a
menyatakan b a h w a meskipun Ne g a r a
Indonesia telah mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian internasional, namun sebagai
se buah nega ra yang ber daulat Ne gara
Indonesia tetap mempunyai hak secara
mandiri untuk memutus keterikatan dengan
perjanjian internasional yang telah dibuat
atau yang padanya negara Indonesia terikat,
setelah secara internal mempertimbangkan
keuntungan atau kerugiannya baik untuk
tetap terikat, ataupun untuk tidak terikat
dengan mempert imbangkan risiko atas
keputusan untuk keluar dari suatu perjanjian
int e rnas i onal . Ma h k ama h Ko n stit u si
menyatakan bahwa hal ini dimungkinkan
dengan ketentuan Pasal 18 huruf h Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional yang menyatakan,
"Perjanjian internasional berakhir apabila: ...
h. t erd apat hal - h al y ang m erug i k an
kepentingan nasional".
Konflik hubungan relasi antara hukum
internasional dan hukum nasional tidak saja
digambarkan oleh permohonan judicial
review terhadap dari Undang-Undang Nomor
38 Tahun 2008, akan tetapi juga permohonan
pengujian materiil dan formil terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
t e n t a n g M i n y a k d a n G a s B u m i .
Ketidakjelasan posisi perjanjian internasional
jug a di g a mbar k an p a da p e rmoh o n an
pengujian materiil dan formil dilakukan
t e r h a d a p U n d a n g - U n d a n g N o m o r
1 / P N P S /1 9 6 5 t e n t a n g P e nc e g ah a n
Penyalahgunaan dan Penodaan Agama.
Dari uraian di atas, terdapat beberapa
hal, khususnya dalam hukum perjanjian
internasional yang menarik untuk dikaji lebih
lanjut berkaitan dengan pengajuan judicial
review undang-undang ratifikasi tersebut.
Pertama, bag aimana po sisi perj anjian
internasional yang disahkan oleh undang-
undang. Apakah norma-norma perjanjian
internasional otomatis menjadi undang-
undang atau harus dimuat lagi dalam undang-
undang tersendiri. Apakah dari Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Charter of the Association of
Southeast Asian Nations adalah identik
dengan Piagam ASEAN sebagai traktat
(perjanjian internasional), atau apakah materi
normatif Piagam ASEAN telah menjelma
menjadi Undang-Undang Nomor 38 Tahun
2008 tentang Pengesahan Charter of the
Association of Southeast Asian Nations.
K e d u a , ap ak ah m u n g k i n d i l a k u k a n
pembatalan sepihak oleh Indonesia terhadap
Piagam ASEAN.
B. Pembahasan
1. P o l i t i k H u k u m P e r j a n j i a n
Internasional Indonesia D a l a m
Undan g - U ndang D a sar Neg a r a
Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Peraturan Nasional Indonesia
Damos D. Agusman membagi rezim
hukum bagi perjanjian internasional di
Indonesia menjadi tiga rezim yang berbeda.
Pertama periode tahun 1945-1960, Periode
kedua adalah antara tahun 1960-2000,
Periode terakhir adalah sejak tahun 2000
sa mpai saa t i ni yang ditandai de ngan
berlakunya dari Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
a. P o l i t i k H u k u m P e r j a n j i a n
Int ernasi onal Dala m K onstit usi
Nasional Indonesia (Constitutional
Legal Provisions)
Sejak awal, konstitusi negara Indonesia
1
Garry Gumelar Pratama, “Status Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Politik Luar
Negeri dan Pa sal 11 UUD NRI Tahun 1945”, tersedia di w ebsite http:// pu staka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2015/03/Status-Perjanjian-Internasional-dalam-Sistem-Hukum-Indonesia.pdf., diakses tanggal 15
Oktober 2015.
Susi Dwi Harijanti (ed), 2011, Negara Hukum Yang Berkeadilan, Bandung, Rosda dan PSKN HTN FH UNPAD,
hlm. 190
Wisnu Ayo Dewanto, “Status Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”, Mimbar Hukum, Vol. 21,
No. 2, Juni 2009, hlm. 327.
1.
2.
3
3.
2
327
Dhiana Puspitawati, Adi Kusumaningrum, Reposisi Hukum Perjanjian Internasional
tidak dirancang untuk mengantisipasi kasus-
kasus hukum yang berkaitan dengan interaksi
antara h ukum nasional dengan hu kum
internasional, khususnya terkait dengan
perjanjian internasional. Constitutional
Provisions atau ketentuan Indonesia tentang
masalah pilihan politik hukum masih minim
dan belum mengindikasi apapun tentang
po l it i k h uk u m y ang h e nda k d i an u t.
Indonesia tidak mengatur secara tegas apakah
hukum internasional berada dalam satu
sistem dengan hukum nasional. Dari beberapa
konstitusi yang pernah dianut oleh negara
Indonesia, nampaknya UUD NRI Tahun 1945
merupakan konstitusi nasional yang paling
tidak memberikan kejelasan politik hukum
perjanjian internasional Indonesia. Konstitusi
RIS dan UUDS 1950, kedua hukum tertinggi
ini lebih tegas menyebutkan wewenang
presiden dalam membuat dan mengesahkan
(ratification) perjanjian dan persetujuan,
termasuk t u r u t serta ( a c c e s s i o n ) dan
menghentikan (termination) suatu perjanjian
atau perjanjian.
Se t ela h am a nd e m en ke t i ga da n
keempat UUD NRI Tahun 1945, Pasal 11
mengalami perubahan. Amandemen ini tidak
menyelesaikan permasalahan politik hukum
yang lahir akibat keterbatasan pengaturan
Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945. Sedikitnya
ada dua hal yang memberikan multitafsir dari
bunyi utuh perubahan Pasal 11 UUD NRI
Tahun 1945 ini, yaitu: apakah maksud frasa
“perjanjian internasional yang lainnya” dan
apa bentuk “persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat” dalam ayat (2). Apakah “perjanjian
internasional yang lainnya” menekankan
pada kriteria perjanjian internasional yang
perlu mendapatkan persetujuan DPR atau
pada subyek perjanjian internasional lainnya
selain negara, yaitu organisasi internasional.
Menurut hemat penulis, ayat (2) harus
dia r t ikan tidak terpis a h de n g an p asal
se b el u mny a y a ng m en e kan kan pa d a
perjanjian internasional yang dilakukan
Indonesia dengan negara lain, sehingga yang
dimaksud “perjanjian internasional yang
lainnya” adalah perjanjian internasional yang
dilakukan Indonesia, selain dengan subyek
“ n e g a r a l a in ” . A r t i n y a , pe r j an j i a n
internasional yang dilakukan oleh subyek
hukum internasional lainnya, yaitu organisasi
internasional. Frasa “yang menimbulkan
akib a t yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-
undang” adalah kriteria bagi perjanjian
internasional yang dilakukan oleh Indonesia
dengan organisasi internasional yang harus
mendapatkan persetujuan DPR. Adapun
perjanjian internasional yang dilakukan oleh
Indonesia dengan negara lain sudah jelas
disebutkan dalam ayat (1) harus mendapatkan
persetujuan DPR. Yang menjadi pertanyaan
selanjutnya adalah apa bentuk “persetujuan
DPR” yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2)?
Penulis sependapat den gan Bagir
Mana n , be r k aitan deng a n sal a h sat u
kewenangan DPR, yaitu legislasi, maka
persetujuan itu berbentuk undang-undang.
Secara historis, terdapat beberapa pandangan
berkaitan dengan posisi persetujuan DPR
melalui UU. Seperti yang dikemukakan oleh
Prof. Utrecht, UU semacam ini adalah UU
dalam arti formil (Wet in formele zin). Hal ini
tercermin dari penjelasan Utrecht tentang
mekanisme Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945:
yaitu suatu perjanjian internasional harus
terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR
dan dituangkan dalam suatu undang-undang
persetujuan (goedkeuringswet) yang bersifat
undang-undang formil saja. Kemudian,
setelah mendapat persetujuan DPR, Presiden
melakukan pengesahan yang disebut dengan
”ratifikasi”.
b. P o l i t i k H u k u m P e r j a n j i a n
Internasional Indonesia D a l a m
Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Indonesia
Pada tang g a l 23 O ktobe r 2000 ,
Pe merin tah Ind onesi a mengu ndang kan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya
disingkat UUPI). Pasal 9 UUPI mengatur
sebagai berikut:
4
4.
5.
Damos Dumali Agusman, ”Status Hukum Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional RI: Dari Perspektif
Praktik Di Indonesia”, Indonesia Jurnal of International Law, Vol. 5, No. 3, April 2008, hlm. 490.
Idris (ed), 2013, Peran Hukum Dalam Pembangunan Indonesia: Kenyataan, Harapan dan Tantangan, Bandung,
Remaja Rosdakarya, hlm. 262.
5
328
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016
1) Pengesahan perjanjian internasional
oleh Pemerintah Republik Indonesia
dilakukan sepanjang dipersyaratkan
ol e h p e rja n j ian in t ern a sio n al
tersebut.
2) Pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilak u k an d e ngan u ndang-
undang atau keputusan presiden
Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UUPI
tersebut di atas, dalam prakteknya ada dua
macam pengesahan perjanjian internasional
di Indonesia, yaitu dengan undang-undang
dan keputusan presiden. Pasal 10 UUPI
m e ne nt uk an p e n g e s ah an p e r j a n ji an
internasional dilakukan dengan undang-
undang apabila berkenaan dengan bidang-
bidang: (1) Masalah politik, perdamaian, dan
keamanan negara; (2) Perubahan wilayah dan
penetapan batas wilayah Negara Republik
Indonesia; (3) Kedaulatan atau hak berdaulat
Negara; (4) Hak asasi manusia dan lin
gkungan hidup; (5) Pembentukan kaidah
hukum baru; (6) Pinjaman dan atau hibah luar
negeri. Pengesahan perjanjian internasional
yang materinya tidak termasuk dalam Pasal
10 UUPI diatur dalam Pasal 11 ayat (1) yang
b e r b un y i “ P e n g es a h a n p e r j a nj i a n
internasional yang materinya tidak termasuk
materi sebagaimana dimaksud Pasal 10,
dilakukan keputusan presiden”.
K e t i d a k je l a sa n p o li t i k h u k u m
perjanjian internasional dalam UUD NRI
Tahun 1945, seharusnya dapat diselesaikan
de ngan diu ndang kanny a d ari Unda ng-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional sebagaimana amanat
Pasal 11 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Seb a lik n y a, U UPI ini me m u ncu l kan
“kerumitan” baru dalam politik hukum
pe rj a n j i a n i n t er na s i o na l. K a t a -k at a
“persetujuan DPR” yang dimuat dalam Pasal
11 ayat (1) dan (2), tidak tercantum dalam
UUPI. Undang-undang ini menggunakan kata
“pengesahan”. Pada Pasal 1 butir 2 UUPI,
pengesahan diartikan sebagai “perbuatan
hukum untuk mengikatkan diri pada suatu
pe rjanji an inter nasion al dalam be ntuk
r a ti fi k a s i , a k se s i , p e ne r i m a a n d a n
penyetujuan”. Arti kata pengesahaan tersebut
sebenarnya merupakan adopsi dari Konvensi
Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional,
Pasal 2 ayat 1 (b) .
Apabi l a menga c u pada Pasal 24
Konvensi Wina 1969, suatu perjanjian
internasional berlaku bagi negara apabila
telah menyatakan terikat (consent to be
bound) dengan cara-cara yang ditentukan
oleh suatu perjanjian internasional (bisa
ratifikasi, penerimaan, penyetujuan, aksesi).
Konvensi Wi n a 1969 tidak m e n g a t u r
bagaimana prosedur hukum internal suatu
n e g a r a m e n g ak u i su a t u p er j an j i an
internasional. Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945
jo Pasal 9 dari Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 merupakan prosedur hukum
internal Indonesia (politik hukum) yang
mengatur bagaimana Indonesia terikat atas
perjanjian internasional. Jika ditafsirkan
secara sistematis, pengesahan dalam Pasal 9
ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun
2 0 00 m e r u p a k a n tu ru na n d a r i ka ta
“persetujuan DPR” dalm Pasal 11 UUD NRI
Tahun 1945. Dengan demikian, pengesahan
dalam Pasal 9 ayat (2) dari Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 harus dilakukan
sebelum adanya pengesahan eksternal yang
terdapat dalam Pasal 9 ayat (1).
Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 jo Pasal
9 dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 ini masih belum tegas menjelaskan
politik hukum perjanjia n interna sional
Indonesia. Apakah Indonesia menganut
paham monisme atau dualisme.
c. P o l i t i k H u k u m P e r j a n j i a n
Internasional Indonesia D a l a m
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2 0 1 1 t e n t a n g P e m b e n t u k a n
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan ya ng mengatur tentang
hierarkhi perundang-undangan di Indonesia
sudah mengalami beberapa kali perubahan.
Nam un demikia n, t idak satup un yang
men empatk a n p erjanj i an intern asional
sebagai peraturan yang mengikat Indonesia
dalam hiera rkhi per aturan pe rundan g-
undangan. Demikian halnya dari undang-
undang terb aru, yaitu Unda ng-Undang
Nomor 12 Tahun 2011.
2. Pengaruh Politik Hukum Perjanjian
Internasional Terhadap Kepentingan
Nasional Indonesia
a. Pengaruh Politik Hukum Perjanjian
Internasional Terhadap Kepentingan
Nasional Indonesia di Era Globalisasi
329
Dhiana Puspitawati, Adi Kusumaningrum, Reposisi Hukum Perjanjian Internasional
Ketidakpastian posisi dan penerapan
perjanjian internasional yang diikuti oleh
Indonesia, dapat mengancam pelaksanaan
ke pent inga n nasional In done sia dalam
hubungan internasional. Pada Putusan MK
ata s pe r mohonan jud i cial re v iew dari
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008, MK
mengeluarkan dalil sebagai berikut:
“sekalipun Indonesia telah terikat dalam
suatu perjanjian ineternasional, namun
sebagai sebuah negara yang berdaulat
Negara Indonesia tetap mempunyai hak
secara mandiri (unilateral) untuk menerik
diri dari perjanjian itu”
Selanjutnya, MK menyatakan:
bahwa hal ini dimungkinkan dengan
ketentuan Pasal 18 huruf h Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
P e r j a n j i a n I n t e r n a s i o n a l y a n g
menyatakan: “Perjanjian internasional
berakhir apabila: ...... h. Terdapat hal-hal
yang merugikan kepentingan nasional”.
Indonesia tidak mungkin membatalkan
sepihak perjanjian perbatasan dengan negara
tetangga dengan dalih kepentingan nasional,
karena ini dilarang oleh Konvensi Wina 1969
tentang Perjanjian Internasional. Sebaliknya,
Indonesia tidak mengharapkan negara-negara
tetangga membatalkan perjanjian perbatasan
yang telah ada selama ini karena akan
berpotensi konflik antar negara. Menurut
Pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 tentang
Perja n j i an Int e r n asional , “peru b a h an
fundamental” pun tidak dapat dijadikan
al a sa n un t uk me n ga k hi r i p erj a nj i an
perbatasan.
b. Kekuatan Mengika t Perja n j i an
Internasional yang Diikuti dan atau
Ditandatangani oleh Indonesia
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
33/P U U - IX/2011 me n g e nai P engujian
Undang Undang Nomor 38 Tahun 2008
ten t ang P e nges a han P i aga m ASE A N
menyatakan bahwa:
'Sekalipun Indonesia telah terikat dalam suatu
perjanjian internasional, namun sebagai
se buah nega ra yang ber daulat Ne gara
Indonesia tetap mempunyai hak secara
mandiri (unilateral) untuk menarik diri dari
perjanjian itu.' Selanjutnya MK mengatakan
bahwa h al ini d i mu ngkinkan d engan
ketentuan Pasal 18 huruf h Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yang menyatakan, “Perjanjian
internasional berakhir apabila: ... h. terdapat
hal-ha l yang m erugikan kepenti n g a n
nasional”.
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional telah mengatur secara ketat
bagaimana suatu Negara dapat menarik diri
dari suatu perjanjian dan tidak lagi membuka
ruang bagi tindakan unilateral penarikan diri
sepanjang tindakan itu disetujui oleh para
pihak perjanjian. Konvensi ini juga melarang
Negara mengingkari perjanjian dengan
menggunakan tameng hukum nasionalnya
(Pasal 27 Konvensi Wina 1969). Prinsip
seperti yang dimaksud MK ini jelas tidak bisa
lagi diterapkan.
c. Konsep Politik Hukum Perjanjian
I n t e r n a si o n a l D a l a m R a n g k a
Mewujudkan Tertib Hukum di
Indonesia Kedepan
Praktek legislasi Indonesia dalam
penerapan norma-norma hukum internasional
baik melalui u n d a n g - u n d a n g maupun
keputusan presiden memperlihatkan bahwa
Indonesia menganut doktrin transformasi
yang diyakini sebagai bentuk konkret dari
ajaran madzhab dualisme. Sementara itu,
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam judicial review Undang-Undang
N o m o r 1 6 T a h u n 2 0 0 3 t e n t a n g
Pemberantasan Tindak Pidana Terrorisme,
MK merujuk langs u n g p a d a ber b a gai
instrumen hukum interna sional seperti
Universal Declaration of Human Right
(1948), International Covenant on Civil and
Political Right (ICCPR 1966), Rome Statue of
the International Criminal Court (ICC, 1998)
dan sebagainya, yang menunjukkan bahwa
Indonesia juga menyerap anasir-nasir dari
madzhab monisme. Praktik Indonesia terkait
rel asi hukum nasio nal dengan huku m
in t ern a sio n al me n cer m ink a n a dan y a
penerimaan baik terhadap ajaran madzhab
monisme maupun dualisme. Pada saat yang
sama juga bisa dikatakan bahwa Indonesia
tengah mempraktekkan pendekatan yang
lebih pragmatis.
Apabila Indonesia akan menerapkan
pemberlakuan hukum internasional secara
Ibid, hlm 267.
6.
6
330
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016
pragmatis, maka dalam prakteknya Indonesia
akan membuat 3 (tiga) grade perjanjian
internasional, yaitu:
1) Perjanjian internasional yang akan
d a pa t l a n g s u n g b e r l a k u t a n p a
m e n s y a r a t k a n a da ny a p r o s e s
ratifikasi/aksesi. Terhadap perjanjian
dalam kategori ini maka pilihan
Indonesia adalah menerapkan teori
Inkor p o rasi ( a u tomati c stand i n g
incorporation)
2) P e r j a n j i a n y an g m e m e r l u k a n
transformasi dalam hukum nasional
(legislative ad hoc incorporation) dan
meme r lukan pers e t ujua n Dew a n
Per w a kilan Rak y a t d a l ampro s es
t r a n s f o r m a s i n y a , W u j u d
transformasinya a d a l ah Undang-
Undang Ratifikasi.
3) P er j an j ia n in t e rn a si o na l y an g
memerlukan transformasi dalam hukum
n a s i o n a l ( l e g i s l a t i v e a d h oc
i n c o r p o r a t i o n ) n a m u n t i d a k
me mbut uhka n persetujuan Dew an
Perw a kilan Rakyat dalam prose s
t r a n s f o r m a s i n y a . W u j u d
tr ansformasinya adalah Perat uran
Presiden.
Setelah hukum internasional diterima
sebagai bagian d a r i hukum nasional,
pertanyaan selanjutnya adalah menyangkut
posisi atau hierarkhi hukum internasional
dalam tertib hukum nasional. Secara garis
besar ada dua praktik negara-negara berkaitan
dengan hal in i. Pertama, negara yang
menempatkan ketentuan hukum internasional
dalam posisi yang sama dengan perundang-
undangan nasional lainnya (the same footing
as national legislation of domestic origin).
Kon s ekuensi n ya, perunda n g-undan g an
nasional dapat mengamandemen atau bahkan
membatalkan ketentuan hukum internasional
tersebut. Kedua, negara yang cenderung
menempatkan ketentuan hukum internasional
leb ih tinggi dar i p erunda ng-unda ngan
nasional.
Mereposisi konsep politik hukum
pe rjanji an inter nasion al dalam ra ngka
mewujudkan tertib hukum di Indonesia ke
depan, maka dilakukan dengan melakukan
pembaharuan hukum sebagai berikut:
1. Amandemen Pasal 11 UUD NRI
Tahun 1945
P e n g a t u r a n t e n t a n g p er ja nj ia n
i n te r na s io n al y a n g b e g i t u s i n g k a t
mengakibatkan ketidakpastian hukum. Pasal
11 UUD NRI Tahun 1945 berada di bawah
bab mengenai Kekuasaan Pemerintah
Negara, oleh karena itu Pasal 11 UUD NRI
Ta h u n 1 9 4 5 , d a l am h a l p e r ja n j i an
internasional, hanya mengatur mengenai
kew e n angan presiden untu k mem b uat
perjanjian internasional saja. Mekanisme
pembuatan perjanjian internasional dan
kedudukan perjanjian internasional dalam
sistem hukum nasional Indonesia belum
diatur dalam Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945.
Perubahan Pasal 11UUD NRI Tahun
1945 dari masa ke masa selama ini tidak
membahas pengaturan mengenai mekanisme
pembuatan perjanjian internasional maupun
kedudukan perjanjian internasional. Pasal 11
UUD NRI Tahun 1945 sempat mengalami
perubahan pada amandemen ke-3 di Sidang
Tahunan MPR, yaitu mengalami penambahan
ayat (2) dan ayat (3). Indonesia memberikan
por si pengat uran menge nai perja njian
i n t e r n a s i o n a l s a n g a t s ed ik it d a l a m
konstitusinya apabila dibandingkan dengan
Konstitusi milik Belanda, Amerika Serikat
dan Afrika Selatan.
Permasalahan yang sebenarnya terjadi
adalah terletak pada ketentuan konstitusi
Indonesia terkait dengan relasi antara hukum
nasional dan hukum internasional. Terkait
sikap dan persepsi Indonesia terhadap hukum
internasional Indonesia perlu merumuskan
kembali doktrin konstitusionalnya mengenai
hukum internasional. Dalam hal ini Indonesia
perlu mempertimbangkan secara cermat dua
kecenderungan praktik-praktik negara yang
memposisikan relasi antara hukum nasional
dan hukum internasional. Pendekatan yang
bersifat “statis” (nationalist approach) yang
tidak menempatkan norma-norma hukum
internasional lebih tinggi dari kepentingan
nasional masing-masing. Dengan perkataan
lain, kepentingan nasional adalah kriteria
Aminoto dan Agustina Merdekawati, “Prospek Penempatan Perjanjian Internasional yang Mengikat Indonesia
Dalam Hierarkhi Peraturan Perundang-undangan Indonesia”, Mimbar Hukum, Vol. 27, No. 1, Februari 2015, hlm.
87.
Garry Gumelar Pratama, Op.cit.
7.
8.
7
8
331
Dhiana Puspitawati, Adi Kusumaningrum, Reposisi Hukum Perjanjian Internasional
penentu apakah suatu ketentuan internasional
akan diterima atau tidak. Sebaliknya adalah
pendekatan yang cenderung menempatkan
hukum internasional lebih tinggi dari hukum
nasional (international outlook). Indonesia
sebaiknya menggunakan pendekatan yang
lebih prakmatis, yaitu pendekatan yang lebih
fleksibel sesuai dengan kasus dan situasi yang
dihadapi. Pertimbangan utamanya adalah
bagaimana caranya agar ketentuan hukum
internasional dapat dilaksanakan.
2. Revisi Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tenta n g P erjanjia n
Indonesia
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
juga dapat dikatakan tidak secara tuntas dan
jelas membahas substansi prosedur internal
ra tifik asi perjanj ian interna sion al. Hal
tersebut ditunjukan dengan adanya beberapa
penafsiran. Penafsiran pertama, menganggap
undang-undang atau keputusan presiden (saat
ini peraturan presiden) yang mengesahkan
s u a t u p e r j a n j i a n i n t e r n a s i o n a l
mentransformasikan perjanjian internasional
tersebut menjadi hukum nasional. Penafsiran
kedua, memandang undang-undang atau
peraturan presiden merupakan persetujuan
DPR atau Presiden yang menginkorporasi
perjanjian internasional ke dalam hukum
nasional. Perjanjian Internasional berlaku di
Indonesia pada bentuknya yang asli sebagai
norma hukum internasional. Penafsiran yang
terakhir adalah memandang undang-undang
atau penetapan presiden sebagai bentuk
per setuju an DPR atau Pres iden untu k
m e n g i k a tk a n di r i p a d a p e r j an j i an
internasional dalam tatanan internasional.
Dengan demikian Indonesia membutuhkan
pro d uk legislas i l a in tersendi ri u ntuk
mengonversi materi yang diatur perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional.
Pengesahan yang dipahami dalam ilmu
perundang-undangan sangat berbeda dengan
prosedur eksternal ratifikasi. Pengesahan
DP R d a l am be n tu k Un d an g -Un d an g
Pengesahan Perjanjian Internasional bukan
merupakan pengikatan diri pada perjanjian
internasional yang dimaksud dalam Article 2
(1) b Vienna Convention on The Law of
Treaties 1969. Adanya beragam penafsiran
tersebut, terutama penafsiran ketiga, bahwa
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional belum memisahkan
se cara te gas prosedu r internal dengan
pro sedur ext ernal rati fikasi per janjia n
internasional di Indonesia. Ke depan, revisi
terhadap UUPI harus menegaskan tentang
pr osedu r i ntern al dan mem isahk annya
dengan prosedur external ratifikasi perjanjian
internasional di Indonesia.
3. Revisi Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Revisi Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan ke depan diharapkan
menempatkan perjanjian internasional yang
telah mengikat Indonesia ke dalam hierarkhi
peraturan perundang-undangan Nasional.
C. Simpulan
K e t i d a k je l a sa n p o li t i k h u k u m
perjanjian internasional Indonesia akan
memberikan pengaruh terhadap kepentingan
nasional Indonesia di era globalisasi, yaitu: a)
terhambatnya pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia; b) ketidakpastian posisi dan
penerapan perjanjian internasional yang telah
diikuti Indonesia dalam sistem hukum
Indonesia; 3) terancamnya pelaksanaan
ke pent inga n nasional In done sia dalam
hubungan internasional. Mereposisi konsep
politik hukum perjanjian internasional dalam
rangka mewujudk a n terti b hukum d i
Indonesia ke depan, perlu dilakukan beberapa
hal, berikut ini: 1) amandemen Pasal 11 UUD
NRI Tahun 1945; 2) revisi Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Indonesia; 3) revisi Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 t e n t a n g P e m b e n t u k a n
Peraturan Perundang-undangan. Apabila arah
politik hukum dalam revisi Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dilakukan dengan baik,
maka ketentuan dalam Pasal 11 UUD NRI
Tahun 1945 tidak perlu mengalami perubahan
karena dari awal konstitusi tidak pernah
mengharuskan suatu perjanjian internasional
yang s u d ah dirati fi k a s i /diaksesi o le h
Pemerintah Indonesia harus diwadahi dalam
baju undang-undang atau peraturan presiden.
332
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016
Daftar Pustaka
Agusman Damos Dumali,”Status Hukum
Perjanjian Internasional Dalam Hukum
Nasional RI: Dari Perspektif Praktik Di
Indonesia”, I n d o n e s i a Jurnal o f
International Law, Vol. 5 No. 3 April
2008.
Aminoto d a n Agusti n a M e rd ekawati,
”Pros p e k Pene m p a t an P e r j anjian
Internasional yang Mengikat Indonesia
Dalam Hierarkhi Peraturan Perundang-
undangan Indonesi”, Mimbar Hukum,
Vol. 27, No. 1, Februari 2015.
Dewanto Wisnu Ayo , “ S t a t u s H u k u m
Internasional Dalam Sistem Hukum Di
Indonesia”, Mimbar Hukum, Vol. 21,
No. 2, Juni 2009.
Harijanti Susi Dwi (ed), 2011, Negara Hukum
Yang Berkeadilan, Bandung, PSKN
HTN FH UNPAD.
Idris (ed), 2013, Peran Hukum Dalam
Pembangunana Indonesia: Kenyataan,
Harapan dan Tantangan, Bandung,
Remaja Rosdakarya.
Pratama Garry Gumelar, “Status Perjanjian
Internasional dalam Sistem Hukum
Indonesia Berdasarkan Politik Luar
Negeri dan Pasal 11 UUD NRI TAHUN
1945”, t e r s e d i a d i w e b s i t e
h t t p : / / p u s t a k a . u n p a d . a c . i d / w p -
c o n t e n t / u p l o a d s / 2 0 1 5 / 0 3 / S t a t u s -
Perjanjian-Internasional-dalam-Sistem-
Hukum-Indonesia.pdf.
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008
tentang Pengesahan Charter of the
Association of Southeast Asian Nations
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
ten t a ng P e m bent u k an P e ratur a n
Perundang-undangan.
333
Dhiana Puspitawati, Adi Kusumaningrum, Reposisi Hukum Perjanjian Internasional