Content uploaded by Ali Maksum
Author content
All content in this area was uploaded by Ali Maksum on Jun 12, 2016
Content may be subject to copyright.
1
Konflik Kekerasan Antar Kelompok Perguruan Pencak Silat:
Proses Pembentukan Identitas Sosial yang Terdistorsi
Ali Maksum
*
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya
e-mail: alymaks@yahoo.com
Abstract. Intergroup conflict in sport context, moreover have aggression, is
complex phenomena that can evolve to different forms and manifestation
over time. This study try to discover empirical facts in line with intergroup
conflict between traditional self-defence art SHT and SHW. The empirical
facts are used to construct a theoretical aggression in sport. Using qualitative
approach with case study method, this research concluded that conflict was
happen because distortion of social identity processess.
Key words: conflict, aggression, social identity, traditional self-defence art
Abstrak. Konflik antar kelompok dalam olahraga, apalagi yang bermuatan
kekerasan, merupakan fenomena yang kompleks dan bisa jadi berbeda
dalam bentuk dan perwujudannya dari waktu ke waktu. Penelitian ini
berusaha menemukan fakta-fakta empiris terkait dengan konflik kekerasan
antar kelompok organisasi Pencak Silat SHT dan SHW. Fakta-fakta empiris
tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar menyusun konstruksi teoretis
mengenai perilaku kekerasan dalam olahraga. Penelitian dilakukan melalui
pendekatan kualitatif dengan metode case study. Studi ini sampai pada
kesimpulan bahwa konflik terjadi karena proses pembentukan identitas
sosial yang terdistorsi.
Kata kunci: konflik, kekerasan, identitas sosial, pencak silat
Pendahuluan
Apa yang ada dalam benak ketika kita membaca berita sebagai berikut:
Bentrok merajalela, Madiun mencekam. Puluhan rumah rusak, mobil dan motor
dibakar. Lagi-lagi, dua perguruan Silat di Madiun bentrok massal. Ulah brutal
anggota perguruan itu berubah menjadi kerusahan massal yang merugikan
masyarakat. Bukan hanya mereka yang bermusuhan yang saling merusak, tetapi
warga yang tak berkaitan dengan masalah juga menjadi korban (Jawa Pos, Edisi
Senin 17 Maret 2003).
*
Penulis adalah pengajar Psikologi Olahraga pada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Surabaya
2
Kutipan di atas hanyalah salah satu penggalan berita, yang menggambarkan
konflik kekerasan yang melibatkan anggota dua perguruan Pencak Silat terbesar di
Madiun, yakni Setia Hati Terate (SHT) dan Setia Hati Tunas Muda Winongo (SHW).
Kerusuhan seperti itu sudah sering terjadi di Madiun. Korban tidak hanya terjadi di kedua
belah pihak, melainkan juga masyarakat yang tidak terlibat konflik. Kerusuhan juga
meluas hingga di luar wilayah Madiun, seperti Magetan, Nganjuk, Ponorogo, dan Ngawi.
Dengan membaca berita tersebut, tentu kita menaruh keprihatinan yang begitu
dalam. Betapa tidak, olahraga Pencak Silat yang seharusnya dapat digunakan sebagai
instrumen membangun karakter bagi yang melakukannya (Maksum, 2007, 2005; Shields,
& Bredemeier, 1994) justru berubah menjadi ajang konflik kekerasan yang tidak jarang
berujung pada kerusuhan, pengrusakan, pembakaran, dan bahkan korban jiwa.
Dampaknya pada masyarakat Madiun juga begitu luar biasa, tidak saja kerugian material
seperti dikemukakan di atas, tetapi juga non material seperti kekhawatiran dan ketakutan
di antara anggota masyarakat.
Bagaimana itu semua bisa terjadi? Bukankah kedua perguruan tersebut bersumber
dari ajaran yang sama? Apa yang salah dari pembinaan anggota kedua perguruan
tersebut? Sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan.
Percikan kasus ini sebenarnya telah terjadi jauh sebelum pemerintahan Orde Baru
runtuh, yakni sekitar tahun 1980-an (Umam, 2007). Namun seiring munculnya era
reformasi, tepatnya tahun 1998, konflik kekerasan yang melibatkan anggota dua
perguruan semakin meningkat, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Meski sekarang
intensitasnya menurun, terutama setelah dilakukan kesepakatan antara kedua belah pihak
pada tanggal 9 Oktober 2003 melalui MoU “Kami Adalah Satu”, namun kasus serupa
masih sering terjadi hingga hari ini.
Kasus konflik kekerasan yang melibatkan anggota dua perguruan Pencak Silat ini
menarik untuk diungkap karena terjadi secara berulang-ulang (Suarakarya-online, 3
Maret 2006), telah mengarah pada kerusuhan massal (Jawa Pos, 17 Maret 2003), dan (3)
menimbulkan kerugian yang cukup besar, termasuk adanya korban jiwa (Jawa Pos, 7
November 2002). Permasalahan mendasar yang ingin dijawab melalui penelitian ini
adalah: (1) bagaimana peta konflik kekerasan antara SHT dan SHW, (2) faktor apa saja
3
yang menjadi penyebab timbulnya konflik kekerasan tersebut, dan (2) bagaimana pola
terjadinya konflik kekerasan antar kelompok perguruan tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan teori kekerasan, khususnya dalam
konteks olahraga. Target khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah ingin
mendapatkan fakta-fakta empiris terkait dengan konflik kekerasan antar kelompok
organisasi keolahragaan. Fakta-fakta empiris tersebut selanjutnya digunakan sebagai
dasar menyusun konstruksi teoretis mengenai perilaku kekerasan dalam olahraga. Dengan
demikian luaran utama penelitian ini adalah model teoretis tentang perilaku kekerasan
dalam olahraga, terutama yang melibatkan kelompok. Model teoretis tersebut setidaknya
menjawab pertanyaan: mengapa konflik kekerasan dalam olahraga terjadi, faktor apa
yang menyebabkan, dan bagaimana proses terjadinya perilaku kekerasan tersebut? Model
teoretis dikonstruksi berdasarkan fakta-fakta empiris di lapangan dan pada saat yang
sama melakukan konfirmasi pada sejumlah konsep teoretik yang ada.
Dalam perilaku kekerasan, setidaknya terdapat tiga teori yang dapat digunakan
untuk memberikan penjelasan, yaitu teori frustrasi-agresi dari Dollard, dkk; teori konflik-
realistik dari Sherif, dan teori identitas sosial dari Tajfel (Hewstone & Cairns, 2006).
Teori frustrasi-agresi mengatakan bahwa frustasi – dalam hal ini adalah terhalangnya
suatu tujuan - selalu menyebabkan agresi, yakni intensi untuk menyakiti orang lain.
Sebagai ilustrasi, tim sepakbola yang merasa sering dirugikan oleh wasit (kondisi
frustrasi), melakukan pemukulan kepada wasit yang bersangkutan (perilaku agresi).
Meskipun dalam banyak kasus asumsi teori ini kurang tepat - karena tidak selalu kondisi
frustasi akan bermuara kepada perilaku agresi – namun tidak begitu mudah untuk
diabaikan begitu saja.
Kedua, teori Konflik-Realistik. Teori ini mengatakan bahwa konflik kelompok
disebabkan oleh kepentingan memperebutkan berbagai sumber (resources): ekonomi, dan
kekuasaan yang memang terbatas atau langka. Karena sumbernya yang terbatas, maka
untuk memperolehnya harus bersaing sehingga ada salah satu pihak yang menjadi
pemenang dan pihak lain yang kalah. Sangat mungkin terjadi akibat persaingan yang
bersifat win-lose orientation, pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan di antara
mereka. Selain itu, perilaku kekerasan menurut teori ini bisa juga terjadi karena
pertentangan nilai dan atau keyakinan di antara mereka. Kuat dugaan, konflik kekerasan
4
antar perguruan pencak silat yang terjadi di Madiun disebabkan karena persoalan ini.
Meskipun ini masih memerlukan pembuktian di lapangan.
Ketiga, teori Identitas Sosial. Berbeda dengan dua teori sebelumnya, teori ini
menyatakan bahwa konflik antar kelompok bukan disebabkan oleh frustrasi atau karena
perebutan sumber-sumber yang langka, tetapi terjadi karena menyangkut identitas
kelompok. Dalam realitas kehidupan, seseorang seringkali dikelompokkan atau
dikategorisasikan atas dasar agama, suku, organisasi yang diikuti, dan sebagainya.
Seseorang akan selektif menentukan kategori yang dapat memenuhi identitas sosialnya,
terutama identitas yang positif. Dari sinilah kemudian muncul in-group – out-group.
Menganggap kelompoknyalah yang paling benar, sementara kelompok lain dianggap
salah (ingroup favouritism bias). Memperhatikan anatomi konflik yang terjadi, kuat
dugaan konflik antar perguruan pencak silat di Madiun terjadi karena pembenaran satu
kelompok atas yang lain (Wann et al., 2002; Giulianotti, et al., 1994). Hal ini diawali
ketika terjadi perbedaan pendapat diantara pendiri perguruan yang pada gilirannya
menyebabkan perguruan pencak silat yang semula satu menjadi pecah. Sekali lagi, ini
baru sebatas dugaan yang masih perlu dibuktikan dengan fakta-fakta empiris .
Landasan teoretis tersebut pada dasarnya lebih merupakan kerangka pikir daripada
sekadar pernyataan teoretik yang memerlukan verifikasi dan pengujian. Setidaknya dari
kerangka pikir teoretik tersebut dapat diketahui posisi teoretis peneliti dalam memahami
gejala-gejala empiris di lapangan, yang sama sekali tidak berangkat dari titik “nol”.
Walaupun demikian, landasan teoretis tersebut masih mungkin berubah dalam arti dapat
dikoreksi, berkurang atau pun berkembang jika ditemukan fakta-fakta dan pemahaman
baru di lapangan.
Metode Penelitian
Sesuai dengan karakteristik masalah yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini,
maka metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus (Ritchie & Lewis, 2003;
Denzin & Lincoln, 1994) adalah pilihan dengan dasar pemikiran mantap. Sebagaimana
dikemukakan di depan bahwa konflik kekerasan antar dua perguruan Pencak Silat di
Madiun menjadi menarik dan penting untuk dijadikan kasus (objek studi) karena kasus
5
tersebut telah terjadi berulang-ulang. Selain itu, konflik kekerasan tersebut juga
menimbulkan korban yang tidak sedikit. Dari kasus Madiun ini akan dicoba didalami,
dideskripsikan, dan dipahami untuk kemudian menemukan konsep-konsep dan pola dari
konsep-konsep tersebut (Ritchie & Lewis, 2003; Denzin & Lincoln, 1994; Creswell,
1994). Berdasarkan konsep dan pola yang ditemukan dari kasus tersebut, demikian juga
mengkonfirmasi sejumlah teori yang relevan, maka akan dibangun sebuah teori
kekerasan kelompok dalam olahraga.
Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yakni preliminary study dan field study. Pada
tahap preliminary study peneliti melakukan studi dokumentasi terhadap sejumlah artikel
koran, rekaman audio-visual, hasil-hasil penelitian, dan referensi yang relevan. Selain itu,
juga melakukan observasi lapangan dan meminta informasi kepada pihak-pihak terkait
seperti kelompok perguruan, kepolisian, dan tokoh masyarakat. Pada tahap field study,
peneliti melakukan focus group discussion (FGD) dengan beberapa pihak, yaitu: (1)
kepolisian resort madiun, (2) tokoh masyarakat, (3) perguruan Pencak Silat SH-Terate,
dan (4) perguruan Pencak Silat SH-Winongo. Selain itu juga dilakukan wawancara
mendalam kepada sejumlah pelaku kekerasan. Sebagai kasus adalah perilaku kekerasan
antara kelompok perguruan Pencak Silat SH-terate dan SH-winongo di wilayah Madiun.
Pemilihan partisipan penelitian dilakukan dengan kombinasi teknik purposefull sampling
dan snowball sampling (Patton, 1990).
Data dianalisis melalui proses penyandian (coding) dengan menggunakan pola pikir
induktif untuk menemukan faktor-faktor atau tema-tema baru di lapangan. Untuk
menjaga kredibilitas penelitian, peneliti menggunakan langkah-langkah seperti triangulasi
(triangulation), diskusi dengan teman sejawat (peer debriefing), memperpanjang masa
pengamatan (prolonged engagement), dan pengecekan anggota (member checks) (Ritchie
& Lewis, 2003; Denzin & Lincoln, 1994).
Triangulasi dilakukan baik melalui metode maupun sumber data. Triangulasi
metode dilakukan dengan penerapan berbagai metode pengumpulan data dalam
serangkaian proses penelitian, yakni studi dokumentasi, wawancara, dan pengamatan.
Sementara itu, triangulasi sumber data dilakukan terhadap berbagai sumber informasi
yang diperoleh seperti kumpulan berita media massa, hasil penelitian pihak lain, video
kejadian, hasil wawancara dengan informan (kepolisian, tokoh masyarakat, tokoh kedua
6
perguruan, dan pelaku tindak kekerasan) dan observasi terhadap lingkungan perguruan
serta sejumlah tempat terjadinya tindak kekerasan.
Diskusi dengan teman sejawat dilakukan dengan cara pemaparan temuan, baik dari
hasil preliminary study maupun field study. Langkah ini dimaksudkan untuk
mendapatkan masukan yang substansial, pandangan-pandangan kritis termasuk di
dalamnya melakukan kritik terhadap “hipotesis kerja” peneliti dan temuan penelitian
yang telah dihasilkan. Dengan demikian fungsi diskusi teman sejawat lebih sebagai
pengkritik yang tajam daripada pengagum hasil penelitian.
Peningkatan kredibilitas penelitian juga dilakukan dengan cara memperlama masa
keterlibatan peneliti dalam konteks dan latar penelitian, yakni di wilayah Madiun. Hal ini
dilakukan, selain sebagai upaya membangun jejaring dan kepercayaan dengan subjek
penelitian, juga untuk memahami lebih dalam mengenai budaya, kebiasaan, dan perilaku
masyarakat Madiun. Langkah ini kemudian dilengkapi dengan pengecekan anggota,
dalam hal ini para responden, yang terlibat dalam penelitian. Pengecekan dimaksudkan
memberi kesempatan bagi para responden untuk mempelajari kebenaran data, kecukupan
data, dan pemaknaannya. Dengan demikian, temuan yang diperoleh dari proses penelitian
dapat dijamin keabsahannya.
Hasil dan Pembahasan
Preliminary Study
Berdasarkan sejumlah dokumen yang telah peneliti dapatkan, yaitu: kliping berita
harian Jawa Pos, Surya, Suara Karya, Tempo, dan Kompas; artikel di internet dalam
sejumlah website resmi seperti www.shterate.com; www.silatindonesia
@yahoogroups.com, dokumen audio visual dari TVRI; dan hasil penelitian Umam (2007)
tentang konflik SHT dan SHW, maka hasilnya sementara dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Konflik SHT dan SHW dimulai setelah Ki Ngabehi Soerodiwiryo, pendiri ajaran
ke-SH-an meninggal pada tanggal 10 Nopember 1944 dalam usia 75 tahun.
Dugaan tersebut didasarkan pada satu keyakinan bahwa ketika seseorang yang
ditokohkan dalam suatu organisasi tidak ada, apalagi dalam dunia persilatan,
7
maka besar kemungkinan mereka yang masih ada akan berebut kekuasaan dan
pengaruh.
2. Sepeninggal Eyang Soero, SH terpecah menjadi dua, SH Winongo dengan basis
wilayah perkotaan, dengan pusatnya di desa Winongo, tempat dimakamkannya Ki
Soero; dan SH terate dengan basis daerah pinggiran dan pedesaan dengan
pusatnya di desa Pilangbangau. Tokoh pendiri SH terate adalah Ki Hajar Harjo
Utomo, sedangkan pendiri SH Winongo adalah R. Djimat Hendro Soewarno. Dari
sini seolah ada klaim kebenaran (social identity theory) dari masing-masing
pihak. SHT menganggap bahwa dirinya lah penerus aliran SH yang sebenarnya,
sementara SHW juga menganggap dirinya lah penerus ajaran SH yang didirikan
sejak 1903.
3. Tahun 1945-1965, diantara anggota salah satu perguruan diduga berafiliasi
dengan PKI. Sementara perguruan yang lain menganggap ilmu ke-SH-an yang
diturunkan Mbah Soero berbasis ajaran Islam, sehingga perguruan tersebut
dianggap keluar dari jalur. Konflik fisik pun tak bisa dihindari. Puncaknya, ketika
terjadi pembersihan PKI tahun 1967-1971, diduga banyak anggota salah satu
perguruan yang menjadi algojo, diantaranya terhadap orang-orang anggota
perguruan tersebut (Syahril, 2007). Dari peristiwa tersebut terkesan ada semacam
dendam sejarah di antara keduanya. Konflik kekerasan terjadi sebagai bagian dari
babak sejarah.
4. Konflik semakin parah dengan adanya pihak ketiga yang memiliki kepentingan.
Misalnya mantan bupati Ponorogo tahun 1998, yang juga tokoh parpol menjadi
anggota kehormatan salah satu perguruan. Demikian juga Ketua DPRD Kota
Madiun sekarang dijabat oleh tokoh berpengaruh dari salah satu perguruan.
Artinya, ketika pihak-pihak yang seharusnya dapat menyelesaikan konflik secara
fair, justru menjadi bagian dari konflik itu sendiri. Sehingga kesan diskriminatif,
yakni perlakuan yang tidak sama terhadap kelompok masyarakat menjadi sulit
dihindarkan.
5. Konflik semakin meluas dengan motif perebutan pengaruh yang berarti juga
perebutan basis ekonomi. Contoh kasus, tahun 2002 SH terate melakukan
pelantikan setiap tanggal 1 Suro sejumlah 1000-2000 anggota baru. Jika saja
8
setiap anggota dikenakan 700 ribu rupiah, maka uang yang akan masuk ke
organisasi sebesar 700 juta hingga 1,4 milyar per tahun (Umam, 2007). Meskipun
kebenaran data ini perlu ditelusuri lebih jauh.
6. Sejarah madiun yang lekat dengan tradisi kekerasan, kultur masyarakat yang
bersifat agraris di mana banyak waktu luang, ideologi Pencak Silat yang dekat
dengan olah kebatinan (kejawen) tampaknya menjadi faktor pendorong dan pada
saat yang sama membuat konflik kekerasan berlangsung cukup lama.
Apa yang dikemukakan di atas pada dasarnya masih merupakan temuan awal dan
bersifat sementara. Temuan tersebut akan ditelusuri dan didalami lebih lanjut dalam
penelitian lapangan (field study). Ada kemungkinan temuan tersebut berubah, dalam arti
ditambah, dikurangi, atau bahkan tidak benar sama sekali. Tetapi setidaknya, dari temuan
tersebut peneliti memiliki bahan awal untuk masuk lebih dalam proses penelitian
lapangan (field study).
Field Study
Peta Konflik Kekerasan antara Dua Perguruan
Dilihat dari perspektif sejarah, sebenarnya kedua perguruan ini memiliki basis
ajaran yang sama, yakni ajaran ke-SH-an yang berintikan pada olahraga dan olah batin
untuk mencapai keluhuran budi guna meraih kesempurnaan hidup (Soewarno, 1994;
Harsono, 2003). Perguruan Pencak Silat dengan basis Ilmu SH pertama kali dicetuskan
oleh Ki Ngabei Soerodiwiryo tahun 1903. Ketika itu, belum menggunakan nama Setia
Hati, melainkan bernama Joyo Gendilo Cipto Mulyo (ada yang menyebut Sedulur
Tunggal Kecer) yang berdiri di kampung Tambak Gringsing Surabaya (Umam, 2007).
Baru pada tahun 1917 berubah nama menjadi Setia Hati (SH).
Murid Eyang Soero, panggilan akrab Ki Ngabehi Soerodiwiryo, ketika itu tidak
banyak. Pertama 2 orang, yakni Noto-Gunari (adik kandung Ki Soero sendiri) dan
Kenevel Belanda, kemudian meningkat menjadi 8 orang (Umam, 2007). Bagaimana
Pencak Silat SH bisa sampai di Madiun? Eyang Soero sebagai tokoh sentral memang
sering berpindah tempat dari kota satu ke kota lain. Maklum, ketika itu Indonesia masih
dijajah oleh bangsa asing. Pergerakan masyarakat, apalagi yang diduga akan mengancam
9
eksistensi penjajah di bumi nusantara ini selalu dicurigai. Sehingga perpindahan dari satu
tempat ke tempat lain dianggap sebagai strategi yang efektif untuk menghilangkan jejak.
Sekitar tahun 1917, perguruan tersebut mengadakan peragaan Pencak Silat secara
terbuka di Alon-Alon kota Madiun. Masyarakat cukup antusias menyaksikan pagelaran
tersebut, mengingat gerakannya yang unik, memiliki nilai seni, dan bertenaga. Mereka
yang mahir dalam Pencak Silat dianggap sebagai pendekar yang memiliki kelebihan.
Seiring berjalannya waktu, banyak anggota masyarakat yang ingin bergabung dalam
perguruan tersebut, kendati dalam perkembangannya juga tidak semulus yang
dibayangkan. Mengingat, kurun waktu tersebut adalah masa perjuangan melawan
penjajah Belanda. Sebagai sebuah perkumpulan, Joyo Gendilo Cipto Mulyo sering
dicurigai sebagai gerakan perjuangan melawan Belanda.
Sifat keanggotaan SH ketika itu relatif eksklusif, terbatas pada mereka yang
tergolong “ningrat”, seperti Bupati, Camat, dan pegawai pemerintah. Dengan pola
rekruitmen seperti itu sudah dapat diduga bahwa perkembangannya relatif lambat.
Sebagai sebuah alat perjuangan, tentu hal tersebut kurang efektif. Melihat kondisi yang
demikian, salah satu murid Eyang Soero, yakni Ki Hadjar Hardjo Utomo menggagas pola
penyebaran ajaran SH dengan target masyarakat bawah. Gagasan tersebut tampaknya
akan sulit terwujud, karena dalam doktrin Ke-SH-an, penyebaran ilmu SH tidak bisa
dilakukan kepada semua orang dan di semua tempat.
Keinginan Ki Hadjar Hardjo Utomo tampaknya tidak bisa dibendung lagi.
Dengan bekal ilmu yang ia miliki, ia akhirnya memberanikan diri mendirikan perguruan
Pencak Silat sendiri. Sungguh pun tidak secara nyata memberikan restu atas keinginan
muridnya tersebut, Eyang Soero juga tidak bisa melarangnya. Sebab dalam ajaran SH,
apa yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya merupakan tanggung jawab pribadi
(Wawancara dengan Kus Subakir, 21 Juli 2007).
Ki Ngabehi Soerodiwiryo
(1869-1944)
1903 – mendirikan Joyo
Gendilo Cipto Mulyo, Jumat
Legi, 10 Syuro 1323H
1917- berubah nama menjadi
Persaudaraan
10
Setia Hati
Ki Hadjar Hardjo Oetomo
(1890 – 1952)
Kosnendar
(1945-1950)
SH Pencak Sport Club
(1922)
Hadi Soebroto
(1950-1978)
R.Djimat Hendro Soewarno
(1924 - 2008 )
SH Terate
(1942)
Soemarto
(1978-1998)
Kandidat di SH
(1939)
Ganti nama dari Perguruan
menjadi Persaudaraan
(1948)
Ketua: Oetomo Mangkoewidjoyo
Kus Subakir
(1998- )
Dikecer oleh Hadi Soebroto
(1959)
Awal 1965- SH mengalami
kemunduran
Ketua: Moh. Irsyad
(1950)
Para pemuda mendesak SH
diaktifkan lagi
(1965)
Ketua: RM Imam Koesoepangat
(1974)
SH Winongo Tunas Muda
(Berdiri 1968)
Ketua Dewan: RM Imam K.
Ketum: Badini
(1977-1984)
R. Soewarno - Pensiun dari Kabag
Pengairan Karesidenan Madiun
(1977)
Ketua Dewan: RM Imam K.
Ketum: Tarmadji Boedi
Harsono
(1985)
1988- RM. Imam K. Meninggal
SHT dipimpin Tarmadji BH
hingga sekarang
Gambar 1: Alur SHT dan SHW dalam Bingkai Sejarah SH
Organisasi yang diberi nama Setia Hati Pencak Sport Club ini lah yang kemudian
menjadi cikal bakal perguruan SH Terate (Harsono, 2003). Perguruan tersebut didirikan
tahun 1922 di Desa Pilangbango Madiun (sekarang Kelurahan Pilangbango, Kecamatan
Kartoharjo, Kota Madiun). Salah satu misi organisasi tersebut adalah membekali
keterampilan bela diri pemuda sebagai bekal menentang penjajahan Belanda (Harsono,
2003).
11
Meskipun memiliki tujuan yang relatif sama, yaitu menyebarluaskan ajaran SH,
namun tampaknya ada model orientasi perjuangan yang berbeda antara Sang Guru
dengan muridnya. Eyang Soero lebih berorientasi pada kelompok masyarakat tertentu
yang relatif ningrat, sementara Hardjo Utomo lebih berorientasi pada masyarakat luas,
termasuk tingkat bawah. Dengan strategi yang pertama, kualitas ilmu SH memang relatif
terjaga. Karena dengan kriteria tersebut, mereka yang menjadi anggota dianggap telah
memiliki stabilitas emosi, sosial, dan finansial. Namun konsekuensinya,
perkembangannya relatif lambat karena cakupannya terbatas dan hal ini berdampak pada
jumlah keanggotaan. Sementara itu dengan strategi kedua, perkembangan SH semakin
cepat didukung dengan keanggotaan yang meluas, termasuk remaja belasan tahun.
Konsekuensinya, distorsi ilmu SH sebagai akibat belum matangnya kepribadian sebagian
anggotanya menjadi sulit untuk dihindarkan. Strategi pertama hingga sekarang masih
dipegang oleh SH Panti dengan Kus Subakir sebagai pimpinannya, yang mengklaim
sebagai pemegang otoritas ilmu SH, dan strategi kedua dikembangkan oleh SHT hingga
sekarang ini di bawah pimpinan Tarmadji Boedi Harsono.
Lalu, dimana posisi SHW? SHW lahir sebagai bentuk keprihatinan para pemuda
atas kemunduran Perguruan SH, terutama setelah beberapa waktu Eyang Soero
meninggal (Soewarno, 1994). Para pemuda mendesak para senior ketika itu, termasuk R.
Djimat Hendro Soewarno, untuk membangkitkan kembali Perguruan SH. Akhirnya,
sekitar tahun 1968 R. Soewarno mendirikan perguruan yang diberi nama Persaudaraan
SH Winongo Tunas Muda (Soewarno, 1994). Di lihat dari sejumlah dokumen, misalnya
buku Pusaka Pencak Silat dalam Tiga Zaman, dan fakta-fakta lapangan seperti
lingkungan Padepokan, SHW sangat menjunjung tinggi Eyang Soero sebagai pencetus
ilmu SH. Perguruan ini juga menjadikan acara berkunjung ke makam Eyang Soero
sebagai salah satu ritual “syah-syahan” rekrutmen anggota baru. Sebenarnya, Soewarno
sendiri menurut Kus Subakir, tidak pernah berguru langsung kepada Eyang Soero
(Wawancara, 21 Juli 2007).
Eyang Soero sendiri meninggal pada tanggal 10 Nopember 1944 dalam usia 75
tahun. Sepeninggal Eyang Soero, tepatnya tahun 1945-1950, kepemimpinan SH Panti
dilanjutkan oleh Koesnendar, seorang ningrat berkedudukan bupati. Kemudian pada
12
tahun 1950-1978, kepemimpinan dilanjutkan oleh Hadi Soebroto. Pada kepemimpinan
generasi kedua inilah, R. Soewarno, pendiri sekaligus pengasuh SHW di-kecer.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jalur pengembangan
ilmu ke-SH-an, yaitu SH Panti, SHT, dan SHW. Masing-masing memiliki organisasi dan
padepokan sendiri. SH Panti berada di Kelurahan Winongo, menempati rumah mendiang
Eyang Soero. SHT memiliki padepokan di Jalan Merak Nambangan Kidul Kota Madiun.
Sementara itu, SHW memiliki padepokan di Jalan Doho No. 123 Winongo Kota madiun,
tempat kediaman R. Soewarno.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kasus kekerasan lebih banyak melibatkan
SHT dan SHW? Dua perguruan yang dianggap sebagai sempalan dari SH tersebut.
Apakah perbedaan tafsir ideologi ke-SH-an menjadi penyebab terjadinya konflik
kekerasan? Mungkinkah itu karena indoktrinasi yang diberikan selama proses
pembentukan pendekar? Perebutan basis pengaruh? Atau itu hanya merupakan kenakalan
remaja pada umumnya?
Konflik kekerasan yang melibatkan anggota perguruan SHT dan SHW
sebenarnya telah terjadi jauh sebelum reformasi, meskipun dalam skala yang mikro.
Namun seiring dengan pergantian kepemimpinan nasional, yang ditandai dengan
runtuhnya Orde Baru, ekskalasi konflik kekerasan semakin meningkat. Berdasarkan data
di Kepolisian Madiun sejak Maret 1998 hingga Februari 2007, telah terjadi 217 kasus
kekerasan, 180 kasus terjadi di wilayah Kabupaten Madiun dan 37 kasus terjadi di
wilayah Kota Madiun.
Banyaknya jumlah kasus di wilayah Kabupaten Madiun dibanding di Kota
Madiun tentu dapat dipahami. Dari segi teritorial, Kabupaten Madiun lebih luas, terdiri
dari 15 kecamatan, sementara itu Kota Madiun hanya tiga kecamatan. Terkait itu pula,
jumlah anggota perguruan, baik SHT maupun SHW, lebih besar di wilayah kabupaten.
Mereka tersebar di seluruh kecamatan yang ada. Dari lima belas kecamatan yang ada,
terdapat 5 kecamatan menduduki peringkat tertinggi dalam jumlah kasus kekerasan.
Masing-masing adalah Kecamatan Geger, Dagangan, Wungu, Dolopo, dan Mejayan.
Tiga kecamatan pertama, secara geografis, berbatasan langsung dengan wilayah kota.
Meskipun tidak ada angka yang pasti, lima wilayah tersebut memiliki jumlah
13
keanggotaan paling banyak. Dengan kata lain, wilayah-wilayah tersebut merupakan
daerah basis kedua perguruan.
Dilihat dari jenis kasus kekerasan yang terjadi selama kurun waktu 1998-2007,
kasus penganiayaan, pengrusakan, dan pengeroyokan menempati urutan teratas. Kasus-
kasus tersebut umumnya terjadi ketika individu atau sekolompok individu dari kedua
belah pihak yang saling berseteru tersebut bertemu. Secara spontan maupun terencana,
karena hal yang sepele, misalnya karena saling memandang, bisa menyebabkan konflik
kekerasan terjadi.
Masalah memandang saja, sudah dapat menimbulkan persoalan. Image orang
SHT pasti bermusuhan dengan orang SHW, walaupun dia tidak berbuat apa-apa.
Mereka bertindak apapun ada keinginan untuk melakukan perlawanan karena
nggak terima. Misalnya, waktu saya main didesa sebelah terus ketemu”B”, dia
bilang: “Kalau saya melirik, saya mau dipukuli” (Wawancara dengan P2, 25
Oktober 2007).
Waktu tampaknya juga ikut mempengaruhi frekuensi terjadinya konflik
kekerasan. Berdasarkan analisis data sebagaimana tampak pada gambar 2, jumlah
kejadian meningkat pada bulan Januari hingga Maret, menurun pada bulan Juni-Juli, dan
kemudian meningkat lagi pada bulan Agustus. Tampaknya ada semacam siklus, kapan
konflik kekerasan akan tinggi dan kapan akan relatif berkurang. Kasus kekerasan yang
terjadi pada waktu-waktu tertentu, sebenarnya telah dapat diprediksi. Misalnya pada
acara Suroan, Halal bi Halal, dan perayaan hari kemerdekaan, yang memang massa
berkumpul dalam jumlah besar. Yang menyulitkan adalah ketika kasus kekerasan terjadi
secara spontan, dan memang ini-lah yang banyak terjadi. Bentuknya bisa berupa
penganiayaan dan pengeroyokan. Sangat mungkin awalnya hanya orang per orang atau
sekelompok kecil orang, tetapi masalah kemudian menggelinding dengan melibatkan
kelompok yang lebih besar.
14
35
31
27
18
17
13
10
17
14
9
16
10
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Gambar 2:
Trend Terjadinya Tindak Kekerasan
Yang menarik sebagian besar pelaku konflik kekerasan adalah mereka para
remaja yang berusia antara 15-30 tahun. Usia ketika mereka sedang mencari identitas,
meneguhkan jati dirinya, meskipun bersifat negatif. Pada komunitas seperti itu, kekerasan
dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan pada tingkatan tertentu justru merupakan
simbol kelaki-lakian. Penganiayaan dilakukan kepada pihak lain, dalam hal ini bisa
anggota SHT maupun SHW, tergantung posisinya saat itu, yang dianggap lemah.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik Kekerasan
Berdasarkan data-data dokumentasi, hasil FGD, wawancara kepada para pelaku,
observasi di lapangan, dan tentu melalui proses analisis kualitatif, yakni mendeskripsikan
fenomena, mengkategorikannya, dan menemukan konsep-konsep serta keterkaitan antar
konsep tersebut, maka dapat ditemukan tujuh faktor yang dianggap menjadi penyebab
terjadinya konflik kekerasan.
15
a. Kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang belum mapan (kesenjangan)
Dalam politik, kegiatan dukung-mendukung adalah hal biasa. Tetapi hal tersebut
akan lain, dalam arti membawa konsekuensi, apabila yang didukung memiliki dan atau
melibatkan massa dalam jumlah besar. Pada saat tertentu di mana dilakukan pemilihan
kepemimpinan, misalnya Bupati/Walikota, dan DPRD, intensitas konflik kekerasan
semakin meningkat. Dukungan yang diberikan kepada calon tertentu acapkali tidak
bersifat rasional, melainkan emosional. Perbedaan pandangan dan visi tidak diselesaikan
melalui dialog, tetapi pengerahan kekuatan massa.
Pengerahan massa akan mudah dilakukan apabila massa yang dimaksud
mengalami deprivasi sosial seperti kemiskinan dan pengangguran (Rozi, dkk., 2006;
Anwar, dkk., 2005). Berdasarkan data BPS 2007, angka kemiskinan Kabupaten Madiun
sebesar 27%. Angka ini lebih besar dibanding rata-rata nasional, yakni 18%. Demikian
juga jumlah pengangguran di Kabupaten Madiun tergolong tinggi, terutama untuk
kelompok pengangguran terdidik. Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi pada tahun 2006, dari 44.885 penduduk yang tercatat mencari pekerjaan,
20,77% berpendidikan SLTP ke bawah; 66,55 % berpendidikan SLTA dan hanya 12,68%
berpendidikan Akademi/ Perguruan Tinggi.
Kondisi tersebut ditunjang oleh banyaknya waktu luang yang dimiliki oleh
sebagian besar masyarakat Madiun. Berdasarkan data Kabupaten Madiun dalam Angka,
sebagian besar (51%) masyarakat bekerja di sektor pertanian. Dengan sebagian besar
penduduknya bertani, maka dapat diduga bahwa banyak waktu luang yang dimiliki oleh
masyarakat. Ketika orang banyak memiliki waktu luang, individu mudah digerakkan,
termasuk dalam hal yang negatif (Cohen, 1998). Kekerasan akhirnya dianggap sebagai
bentuk penyaluran energi.
b. Pemerintahan yang lemah, termasuk tidak adanya kepercayaan pada sistem
keamanan dan sistem peradilan
Era reformasi yang cenderung mengalami euphoria tampaknya ikut
mempengaruhi intensitas kekerasan. Longgarnya sistem pemerintahan yang ditandai
dengan lunturnya nilai-nilai kepatutan membuat sebagian orang seolah-olah boleh
16
melakukan apa saja. Konflik kekerasan yang melibatkan anggota perguruan SHT dan
SHW sebenarnya telah terjadi jauh sebelum reformasi, meskipun dalam skala yang
mikro. Namun seiring dengan pergantian kepemimpinan nasional, yang ditandai dengan
runtuhnya Orde Baru, ekskalasi konflik kekerasan semakin meningkat.
Fakta di lapangan yang didapat dari kepolisian Madiun menunjukkan bahwa sejak
Maret 1998 hingga Februari 2007, telah terjadi 217 kasus kekerasan. Puncak peristiwa
terjadi pada tahun 2001 dengan 53 kasus, kemudian menurun hingga 9 kasus di tahun
2004 dan meningkat lagi tahun 2005 dengan 30 kasus. Intensitas kekerasan juga semakin
menguat seiring dengan semakin lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,
termasuk di dalamnya petugas keamanan dan sistem peradilan.
Aparat sendiri seringkali tidak fair. Kami tahu bahwa kendaraan bak terbuka tidak
boleh digunakan untuk mengangkut penumpang. Tetapi mengapa yang dilarang
hanya kami, sementara mereka tidak. Kami merasa diperlakukan tidak adil (FGD
3, 22 Juli 2007).
Mereka juga tahu bahwa hukuman yang diberikan oleh aparat keamanan atau
melalui peradilan dapat “dibeli” dengan uang. Mereka yang telah nyata-nyata melakukan
pelanggaran, bahkan masuk kategori kriminal, dapat lepas begitu saja setelah membayar
sejumah uang (FGD III, 22 Juli 2007).
c. Pembelajaran Kekerasan (Social Learning)
Madiun memiliki tradisi sejarah kekerasan yang cukup panjang. Tradisi kekerasan
tersebut telah terjadi sejak lama, jauh sebelum era kemerdekaan. Dimulai dari jaman
kerajaan Mataram yang melakukan penyerangan ke Purbaya (sekarang Madiun) pada
tahun 1586 dan 1587. Ketika itu, Mataram menderita kekalahan berat. Pada tahun 1590,
dengan berpura-pura menyatakan takluk, Mataram menyerang pusat istana Kabupaten
Purbaya yang hanya dipertahankan oleh Raden Ayu Retno Djumilah dengan sejumlah
kecil pengawalnya. Perang tanding terjadi antara Sutawidjaja dengan Raden Ayu Retno
Djumilah dilakukan di sekitar sendang di dekat istana Kabupaten Wonorejo – Madiun
(Wikipedia, 2007)
17
Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Madiun juga dipenuhi dengan konflik
kekerasaan. Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) yang terjadi sekitar bulan September –
Desember 1948, adalah sebuah konflik kekerasan horisontal yang tercatat dalam sejarah
hitam negeri ini. Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang
ada di Madiun, baik tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh
masyarakat dan agama. Berakhirnya peristiwa Madiun yang ditandai dengan ditangkap
dan diadilinya Muso, dkk, tidak berarti kekerasan di Madiun berhenti. Seiring meletusnya
tragedi nasional PKI tahun 1965, Madiun kembali membara. Peristiwa itu didahului
dengan konflik horisontal antara banyak kelompok yang bernaung di bawah payung
partai politik ketika itu (Wikipedia, 2007).
Dari kilasan sejarah tersebut didukung oleh hasil interviu menunjukkan bahwa
kekerasan bagi masyarakat Madiun adalah hal biasa, bahkan ada ungkapan yang
provokatif: “Madiun geger iku wis biasa, gak madiun lek gak geger” (Madiun rusuh itu
sudah biasa, bukan madiun kalau tidak rusuh (FGD II, 21 Juli 2007). Keyakinan individu,
termasuk di dalamnya sistem nilai (values) yang demikian memang menjadi potensi
munculnya tindak kekerasan (Lopez & Emmer, 2002).
d. Prasangka Kelompok
Ketika individu bergabung ke dalam suatu organisasi tertentu, biasanya ia akan
memiliki kebanggaan atas kelompoknya. Hal ini juga terjadi pada mereka yang tergabung
dalam SHT dan SHW. SHT menganggap kelompoknya lah yang paling bagus dalam
menerapkan ajaran SH. Begitu juga sebaliknya. Salah satu perbedaan yang menonjol
diantara keduanya adalah dalam rekrutmen anggota. Dalam SHT, rekrutmen anggota
dilakukan dengan cara dididik dulu, baru disahkan menjadi anggota. Sementara itu pada
SHW, disahkan atau dilantik dulu menjadi anggota, baru kemudian dididik.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap para pelaku menunjukkan
bahwa mereka memang tidak menyukai satu sama lain. Meskipun di antara mereka
sebenarnya tidak ada masalah, termasuk secara pribadi, tetapi ketika di antara mereka
bertemu, terlebih lagi apabila ada identitas tertentu yang bisa dikenali, maka niat
bermusuhan seolah sulit dihindarkan.
18
Image orang SH pasti bermusuhan dengan orang winongo, walaupun dia tidak
berbuat apa-apa. Mereka bertindak apapun ada keinginan untuk melakukan
perlawanan karena nggak terima (P1).
Pola pikir sebagaimana dikemukakan di atas, yakni menganggap bahwa anggota
perguruan lain dipersangkakan sebagai outsider dan pelanggar norma, diyakni sebagai
salah satu faktor penyebab terjadinya konflik kekerasan antara anggota SHT dan SHW.
Temuan ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Tajfel (1982), yang telah lama
dan secara serius melakukan penelitian tentang prasangka, diskriminasi, dan konflik antar
kelompok. Prasangka, terutama yang bersifat negatif, banyak menjadi sebab terjadinya
konflik antar kelompok. Prasangka merupakan evaluasi negatif seseorang atau
sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain, semata-mata karena orang atau
orang-orang tersebut merupakan anggota kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya
sendiri.
e. Solidaritas Kelompok (Group Solidarity)
Tindak kekerasan juga terjadi karena semangat membela anggota kelompok. Jika
salah satu anggota kelompok mengalami masalah, misalnya perlakuan yang tidak
mengenakkan dari anggota kelompok lain, maka besar kemungkinan sesama anggota
kelompok akan melakukan pembelaan. Semangat membela teman begitu kuat.
Pembelaan dilakukan tanpa melihat apakah teman yang dibelanya ada dalam posisi benar
atau salah.
... saya tidak terima terus saya pulang dan melaporkan hal tersebut sama ”I”.
Selanjutnya, saya dan ”I” langsung mendatangi ”B” dan akhirnya kami berkelahi
(P1).
... saya langsung menghubungi teman-teman, kita langsung keliling pasar
Caruban, berhubung nggak ketemu sama orang yang dicari akhirnya asal mukul
orang (P2).
Semangat membela kelompok tampaknya telah ditanamkan para senior melalui
proses indoktrinasi dalam latihan.
Pernah ada kakak pelatih saya berkata: “Jangan merasa jantan satria, berani
sendiri, orang bisa itu karena kita bersama kalau kamu sendiri sombong berarti.
19
Kamu tidak boleh merasa ksatria sendiri. Kalau kamu sendiri, sementara
musuhmu banyak, kamu pasti kalah, lebih baik kita bersama-sama pasti bisa
menang (P1).
Lebih mendasar lagi, dalam konteks ajaran SH, semangat membela “Saudara”
memang menjadi salah satu sumpah setia. Misalnya pada butir 8 Janji SHW dikatakan
bahwa: “Saya harus tolong menolong, bantu-membantu, cinta kasih, kasih sayang, guyub
rukun, serta samat sinamatan (menjalin persahabatan) dengan saudara-saudara
seasuhan”. Meskipun yang dimaksudkan pernyataan di atas tentu tolong-menolong dalam
hal kebaikan. Akan tetapi, makna yang terakhir tersebut seolah diabaikan. Yang
mengemuka adalah spirit membantu teman, tidak perduli apakah teman yang
bersangkutan memang layak dibela atau tidak. Dengan kata lain, spirit kelompok menjadi
hal yang negatif ketika maknanya direduksi menjadi persoalan “dia kelompok saya, dia
bukan kelompok saya”.
Fenomena ini dapat dipahami. Dari pandangan teori identitas sosial, seseorang
yang tergabung dalam kelompok akan melakukan komparasi, yakni membanding-
bandingkan antara diri dan kelompoknya dengan orang atau kelompok lain. Dalam
konteks perbandingan tersebut, anggota ingroup selalu akan memandang kelompoknya
sendiri yang lebih baik, lebih kuat, lebih menyenangkan, dan lebih positip dibanding
anggota kelompok outgroup, yang hampir selalu dipandang negatip (Baron & Byrne,
2000). Sungguh pun ada hal-hal yang positip dari outgroup, biasanya justru dianggap
sebagai ancaman bagi eksistensi kelompok sendiri, sehingga perlu disaingi, diusahakan
untuk dimiliki, atau bahkan harus dimusnahkan. Sebaliknya, ketika individu berada di
ingroup-nya, ia mempersepsi anggota kelompoknya memiliki kelebihan, keunikan, dan
berbeda dibandingkan dengan kelompok lainnya.
f. Jenis olahraga
Dari perspektif kecabangan, jenis olahraga tampaknya juga ikut mempengaruhi
terjadinya konflik kekerasan (Lemieux, McKelvie & Stout, 2007; Kirker, Tenenbaum, &
Mattson, 2000). Seperti termuat dalam ajaran ke-SH-an (Harsono, 2003; Soewarno,
1994), olah fisik berupa Pencak Silat merupakan media utama pembelajaran. Dalam
Pencak Silat tersebut diajarkan berbagai macam jurus dan gerakan. Misalnya, untuk
20
tingkat I diberikan 43 jurus, 13 tendangan dubbel, 13 pukulan dubbel, 19 pasangan
lengkap, 11 gerakan bungus, dan 14 jenis senjata (Soewarno, 1994). Kesemua gerakan
dan jurus tersebut pada intinya merupakan upaya pertahanan diri jika diserang lawan,
upaya melakukan serangan kepada lawan, dan bahkan sampai pada titik-titik tertentu
yang mematikan. Struktur materi yang kurang lebih sama, tentu dengan variasi dan
intensitas yang berbeda, diberikan untuk tingkat II, dan tingkat III.
Dengan model aktivitas yang seperti itu, dan hal tersebut dilakukan secara
berulang-ulang, maka individu yang tergabung dalam Pencak Silat akan mempersepsi
dirinya memiliki kemampuan fisik yang lebih dibanding orang kebanyakan. Apalagi jika
mereka sudah disahkan dan menyandang gelar “pendekar”, yakni sebutan bagi siswa
perguruan yang telah menamatkan serangkaian program latihan jurus tertentu. Hal ini
tentu berbeda apabila individu bergabung dalam jenis olahraga yang tidak memiliki
karakteristik sebagaimana Pencak Silat. Misalnya cabang olahraga bola voli, senam, dan
bulu tangkis. Kita tidak pernah mendengar, misalnya, konflik kekerasan antara
perkumpulan senam yang satu dengan perkumpulan senam yang lain.
g. Faktor Usia
Usia tampaknya ikut menjadi faktor yang ikut mempengaruhi frekuensi dan
intensitas konflik. Dari kasus-kasus kekerasan yang terjadi sebagian besar melibatkan
mereka yang berusia muda (remaja). Misalnya, ketika terjadi tindak kekerasan P1 berusia
20 tahun, P2 berusia 21 tahun, dan P3 berusia 16 tahun.
... ketika itu saya masih remaja dan bujang, jadi tawuran itu sering sekali. Tapi
sekarang dah punya anak, saya mikir seribu kali. Sekarang saya jadi pelatih, saya
menyarankan anak didik saya untuk lebih mengendalikan emosi (P3).
Ada semacam persepsi dikalangan mereka sendiri bahwa perkelahian fisik saat
masih muda dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Pemahaman yang demikian pada
dasarnya dapat dipahami. Menurut Erikson (dalam Santrock, 1996) disebutkan bahwa
remaja merupakan tahap di mana krisis identitas terjadi. Penyimpangan perilaku yang
terjadi pada remaja, seperti perkelahian, minum-minuman keras, dan penggunaan obat
terlarang, merupakan bentuk penegasan sebuah identitas, sungguhpun itu bersifat negatif.
21
Pola Terjadinya Tindak Kekerasan
Bagaimana pola terjadinya tindak kekerasan? Pola yang dimaksudkan di sini
terkait dengan cara, prosedur, dan mekanisme terjadinya suatu peristiwa. Dari peristiwa
satu ke peristiwa lain bisa jadi berbeda dalam karakteristiknya, baik dari sisi pelaku,
korban, maupun tempat kejadian. Namun terdapat pola yang relatif sama dari kasus-kasus
yang terjadi. Analisis dilakukan terhadap lima kasus yang dipilih secara purposif (lihat
tabel 1).
Tabel 1: Lima Kasus Kekerasan di Madiun Yang Menjadi Objek Analisis
Kasus
Waktu Kejadian
Tempat Kejadian
Bentuk Kejadian
Kasus 1
19 Juli 1998
Geger
Pengroyokan
Kasus 2
15 Desember 1999
Dagangan
Pengrusakan
Kasus 3
30 Maret 1999
Jiwan
Pengrusakan
Kasus 4
16 Maret 2003
Pilangbango
Konvoi-Pengrusakan
Kasus 5
24 Maret 2004
Jl. Salak
Konvoi-Pengrusakan
Sumber: Data Polres Madiun
Dari lima kasus yang dianalisis tersebut, pola terjadinya tindak kekerasan dapat
digambarkan sebagai berikut.
Pertama: Kedua belah pihak menyeleksi simbol-simbol utama yang mewakili
masing-masing kelompok. Masing-masing kelompok, yakni SHT dan
SHW sudah saling mengetahui ciri dan identitas masing-masing.
Misalnya, baju kebesaran, tugu yang mencerminkan simbol perguruan,
basis pendukung perguruan, dan individu anggota perguruan sendiri.
Kedua: Menentukan cara yang paling tepat untuk dengan sengaja menodai
simbol-simbol tersebut. Penodaan bisa dalam bentuk pelemparan,
pengrusakan simbol − termasuk juga mengejek, mencederai, dan
melakukan penghadangan − suatu tindakan yang akan memicu
terjadinya tindak kekerasan.
Dari segi jumlah pelaku tindak kekerasan, selalu lebih dari satu orang, bisa
kelompok kecil (kurang dari sepuluh orang) atau bisa juga dalam kelompok besar
22
(ratusan orang). Sementara untuk korban, bisa saja hanya satu orang, misalnya dalam
kasus 1, yakni penghadangan yang berujung pada pengroyokan. Korban dalam jumlah
besar, termasuk masyarakat yang tidak berdosa, manakala terjadi kerusuhan massal
seperti pada kasus 4 dan 5.
Dari pola kasus tersebut seolah menguatkan pendapat bahwa individu memiliki
perilaku yang berbeda ketika dia ada dalam kelompok (Baron & Byrne, 2000; Abidin,
2004; Maksum, 2007), yang paling menonjol dalam kasus ini adalah deindividuasi dan
dehumanisasi. Deindividuasi adalah sebuah kondisi di mana individu kehilangan
identitasnya dan tampil bukan sebagai individunya, dan ini seringkali bersifat negatip.
Dalam kelompok, seseorang menjadi lebih berani melakukan sesuatu, kendati itu
menyimpang. Sementara itu, dehumanisasi berkaitan dengan kondisi di mana individu
sudah tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dalam bertindak. Mereka
memukul, membacok, bahkan membunuh dengan cara yang keji.
Dalam kasus yang sifatnya massal (kasus 4 dan 5), kerusuhan bisa berdimensi
luas dan berakibat fatal. Kerusuhan akan dapat dicegah, setidaknya dikurangi, apabila
orang yang ditokohkan oleh masing-masing kelompok, misalnya Mas Maji dari SHT dan
Mbah Warno dari SHW, mengambil peran di lapangan. Misalnya dengan berpidato di
depan massanya, tidak melanjutkan konvoi, atau melakukan perdamaian dengan cara-
cara tertentu. Intinya, kepemimpinan menjadi faktor yang sangat penting ketika terjadi
peristiwa konflik kekerasan.
Formula Teoretik Mengenai Kekerasan dalam Olahraga
Dari fakta-fakta empiris yang ditemukan jelas bahwa munculnya konflik
kekerasan tidak semata-mata karena faktor internal kedua kelompok perguruan,
melainkan merupakan sesuatu yang kompleks. Di mulai dari faktor kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat yang belum mapan, yang salah satu indikator utamanya adalah
adanya kesenjangan sosial, kemiskinan, dan pengangguran. Pemerintahan yang lemah
dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem keamanan dan keadilan juga menjadi
faktor dasar munculnya konflik kekerasan di antara anggota kelompok masyarakat. Yang
tidak kalah pentingnya dalam kasus konflik kekerasan yang melibatkan anggota
perguruan SHT dan SHW, adalah peran faktor sejarah. Masyarakat mendapatkan
23
pembelajaran kekerasan dari perjalanan sejarah Madiun sendiri, yang dari waktu ke
waktu cenderung diwarnai oleh konflik horisontal. Mulai dari jaman Mataram, peristiwa
1948, sampai dengan tragedi nasional 1965. Dari sini seolah masyarakat mendapatkan
pembenaran atas tindak kekerasan yang dilakukan. Menurut Bandura (dalam Maksum,
2007), individu melakukan tindak kekerasan karena belajar—dalam arti mengamati dan
mempelajari—dari peristiwa yang pernah dia saksikan dan dia rasakan. Peristiwa yang ia
amati dan rasakan kemudian masuk ke dalam memori individu yang bersangkutan, yang
sewaktu-waktu bisa dimunculkan apabila mendapatkan stimulus yang relatif sama
dengan ketika peristiwa itu terjadi.
Gambar 3:
Formulasi Konseptual Proses Terjadinya Konflik Kekerasan
Kondisi dasar tersebut diperberat lagi dengan adanya variabel kelompok, yakni
prasangka kelompok dan solidaritas kelompok di dalam masyarakat. Menganggap
kelompoknya lah yang paling benar, dan kelompok lain dianggap salah. Demikian juga
Kesenjangan
Sosial
Pemerintahan
yang Lemah
Pembelajaran
Kekerasan
Prasangka
Kelompok
Solidaritas
Kelompok
Peluang
Sumber Konflik
Jenis Olahraga
Faktor Usia
Pemicu:
Penodaan
Identitas
Kepemimpinan
De-individuation
Dehumanization
of the Opposition
Tindak
Kekerasan
Kondisi Psikis
Pelaku
24
bila ada anggota kelompok yang berkonflik, anggota kelompok yang lain akan
melakukan pembelaan, terlepas siapa yang salah dan siapa yang benar. Sikap dan
keyakinan seperti itu akan mudah menimbulkan konflik yang bersifat massal.
Faktor pendukung yang juga ikut mempengaruhi munculnya konflik adalah jenis
olahraga dan faktor usia. Kedua faktor tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja,
mengingat Pencaksilat dan usia remaja sangat dekat dengan tindak kekerasan. Tentu akan
berbeda andaikan itu klub Bolavoli atau Bulutangkis. Demikian juga akan berbeda
apabila para anggotanya telah berusia dewasa, di mana stabilitas emosi telah mantap.
Keseluruhan faktor di atas tidak akan terwujud dalam tindak kekerasan apabila
tidak ada faktor pemicu, berupa penodaan terhadap simbol-simbol yang menjadi identitas
masing-masing kelompok (misalnya memandang secara berlebihan sehingga dianggap
menghina, dan anggota perguruan dianggap juga sebagai simbol/identitas). Tindak
kekerasan masih ada kemungkinan dihambat manakala pemimpin yang ditokohkan oleh
masing-masing kelompok mengambil peran, seperti menenangkan massa dan melakukan
rekonsiliasi.
Kesimpulan dan Saran
Telah sebegitu jauh penelitian ini berusaha mengungkap ikhwal fenomena konflik
kekerasan antara SHT dan SHW. Dari kajian empiris yang didasarkan pada fakta-fakta
lapangan dengan didukung oleh analisis teoretik, peneliti sampai pada kesimpulan bahwa
konflik kekerasan terjadi karena proses pembentukan identitas sosial yang terdistorsi.
Bila kondisi dasar seperti kemiskinan dan pengangguran tidak diperbaiki, demikian juga
interaksi antar kelompok perguruan, maka pecahnya konflik kekerasan kembali hanya
soal waktu dan intensitas.
Ada beberapa hal yang disarankan, terutama terkait dengan upaya penyelesaian
konflik kekerasan antara SHT dan SHW.
(a) Konflik kekerasan terjadi sebagai dampak dari krisis multidimensi, mencakup
bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan interaksi antar kelompok masyarakat.
Karena itu, untuk mewujudkan transformasi damai dibutuhkan tindakan bagi semua
hal yang terkait, bukan perhatian yang terpecah-pecah kepada satu atau dua hal saja,
dan mengabaikan hal-hal lain.
25
(b) Elit perguruan tetap merupakan bagian dari masalah dan sekaligus bagian dari
pemecahan. Adalah benar bahwa tidak terjadi konflik antara perguruan SHT dan
SHW, tetapi tidak bisa dibantah juga bahwa mereka yang terlibat kekerasan
merupakan anggota dari kedua perguruan tersebut.
(c) Perlu ada model buttom-up yang lebih inklusif dalam cara penyelesaian konflik. Ini
untuk melengkapi model top-down seperti halnya “Kami adalah Satu” yang
terkesan dipaksakan. Keterlibatan anggota perguruan di lapisan bawah dan
kelompok-kelompok masyarakat berguna untuk mengurangi ketegangan dan
membangun kepercayaan dan ikatan yang saling pengertian.
(d) Mengatasi konflik adalah suatu proses yang terkait dengan budaya tertentu,
termasuk di dalamnya adanya faktor sejarah. Sungguh pun tidak bisa dalam waktu
cepat dalam mengubah budaya, pendidikan − apakah dalam bentuk informal,
formal, dan nonformal − merupakan wahana yang efektif untuk menanamkan sikap
toleransi dalam keberagaman dan perdamaian.
(e) Dalam rekrutmen anggota perguruan perlu lebih selektif, terutama terkait dengan
usia calon. Sebagian besar pelaku kekerasan adalah mereka yang berusia remaja,
bagi mereka kekerasan itu “indah” dan melanggar aturan merupakan sesuatu yang
menyenangkan, sebagai salah satu bentuk peneguhan identitas.
26
Daftar Pustaka
Abidin, Z. (2004). Penghakiman massa: Studi psikologi sosial tentang kekerasan kolektif
terhadap orang-orang yang dipersepsi sebagai pelaku kejahatan. Disertasi - tidak
dipublikasikan. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Anwar, D.F., Bouvier, H., Smith, G. & Tol, R. (Ed.) (2005). Konflik kekerasan internal:
Tinjauan sejarah, ekonomi-politik, dan kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Baron, R.A. & Byrne, D. (2000). Social psychology (edisi ke-9). Boston: Allyn & Bacon.
Wikipedia, (2007). Peristiwa Madiun. Diunduh 14 Juli 2007 dari
http://id.wikipedia.org/wiki
BPS – Madiun (2006). Kota Madiun dalam angka. Madiun: Biro Pusat Statistik.
Bushman, B.J. & Anderson, C.A. (2001). Is it time to pull the plug on the hostile versus
instrumental aggression dichotomy? Psychological Review, January, vol. 108, no.
1, 273-279.
Cohen, D. (1998). Culture, social organization, and patterns of violence. Journal of
Personality and Social Psychology, vol. 75, no. 2, 408-419.
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (eds) (1994). Handbook of qualitative research. Thousand
Oaks, California.
Gong (2007, edisi 77). Silat: Dunia abu-abu gerak. Yogyakarta: Yayasan Media dan Seni
Tradisi.
Harsono, T.B.H. (2003). Menggapai jiwa terate. Madiun: Lawu Pos
Harrison, L.E. & Huntington, S.P., (Ed). (2006). Kebangkitan peran budaya (terjemahan).
Jakarta: LP3ES.
Hewstone, M. & Cairns, E., (2006). Social psychology and intergroup conflict. Available
in http://www.ripon.edu/academics/psychology.hewstone.htm
Jawa Pos, Edisi 17 Maret 2003.
Jawa Pos, Edisi 7 November 2002.
Kirker, B., Tenenbaum, G., & Mattson, J. (2000). An investigation of the dynamics of
aggression: Direct observations in ice hockey and basketball. Research Quarterly
for Exercise and Sport, 71, 373-243.
27
Kompas, (12 Juni 2007). Nilai lokal bisa jadi jebakan. Harian Kompas, hal 12.
Lemieux, P., McKelvie, S. & Stout, D. (2007). Self-reported hostile aggression in contact
athletes, no contact athletes, and non athletes. Journal online in Sport Psychology,
Tersedia dalam http:// www.athleticsinsight.com.
Lopez, V.A. & Emmer, E.T. (2002). Influences of beliefs and values on male
adolescent’s decision to commit violence offenses. Psychology of Men &
Masculinity, January, vol. 3, no. 1, 28-40.
Maksum, A. (2007). Psikologi Olahraga: Teori dan aplikasi. Surabaya: Fakultas Ilmu
Keolahragaan Unesa.
Maksum, A. (2005). Olahraga membentuk karakter: Fakta atau mitos. Jurnal Ordik, edisi
April vol. 3, No. 1/2005.
Nelson, T. (2002). The psychology of prejudice. Boston: Allyn & Bacon.
Rozi, S., dkk. (2006). Kekerasan komunal: Anatomi dan resolusi konflik di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santrock, J.W., (1996). Adolescene (6th ed.). Dubuque, IA: Brown & Benchmark
Publishers.
Sarwono, S.W. (2006). Psikologi prasangka orang Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Shields, D.L. & Bredemeier, B.J. (1994). Character development and physical activity.
Champaign, IL: Human Kinetics.
Syahril, S. (2007). Konflik SHT dan SHW. Diunduh tanggal 26 April 2007 dari
www.mail-archive.com/silatindonesia@yahoogroups.com
Soewarno, R.D.J. (1994). Pusaka Pencak Silat dalam tiga zaman: Persaudaraan Setia
Hati Winongo Tunas Muda. Buku Khusus untuk putra asuh.
Suarakarya online, Edisi 3 Maret 2006.
Tenenbaum, G., Steward, E., Singer, R.N., & Duda, J. (1997). Position statement on
aggression and violence in sport: An ISSP Position Stand.
http://www.issponline.org/
Umam, N. (2007). Melacak akar konflik antar perguruan silat di Karisedenan Madiun.
Diundauh tanggal 23 Juni 2007 dari http://setiahati.blogspot.com.
28
Wann, D.L., Shelton, S., Smith, T., & Walker, R. (2002). Relationship between team
identification and trait aggression: A replication. Perceptual and Motor Skill, 94,
595-598.