ArticlePDF Available

Agreement on Agriculture Dalam World Trade Organizations

Authors:

Abstract

Kerangka liberalisasi perdagangan komoditi pertanian dalam konteks World Trade Organization (WTO) tertuang dalam Perjanjian Umum Bidang Pertanian atau Agreement on Agriculture (AOA). AOA adalah salah satu perjanjian internasional WTO yang dihasilkan melalui serangkaian perundingan dalam Putaran Uruguay dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Perjanjian ini diberlakukan bersamaan dengan berdirinya WTO pada tanggal 1 Januari 1995 yang terdiri atas 13 bagian dengan 21 Pasal yang dilengkapi dengan 5 Pasal Tambahan (Annex) dan satu lampiran untuk Annex ke-5. Adapun AoA memiliki tiga pilar utama yaitu perluasan akses pasar, dukungan domestik serta subsidi ekspor. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi ketentuan-ketentuan WTO dimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan yang termuat dalam Annex WTO. Salah satunya adalah aturan-aturan kebijakan pangan Indonesia yaitu melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
Jurnal Hukum & Pembangunan 46 No. 1 (2016): 90-105
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol46.no1.49
AGREEMENT ON AGRICULTURE DALAM WORLD TRADE
ORGANIZATION
Akbar Kurnia Putra
* Fakultas Hukum Universitas Jambi Program Kekhususan Hukum Internasional
Korespondensi: akbarkurniaputra@yahoo.com
Naskah dikirim: 4 Februari 2016
Naskah diterima untuk diterbitkan: 5 Maret 2016
Abstract
Framework of agricultural trade liberalization in the context of World Trade
Organization (WTO) General Agreement set out in the field of Agriculture or
the Agreement on Agriculture (AOA). AOA is one of the international treaties
that are generated through a series of WTO negotiations in the Uruguay Round
of General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Pact is applied
simultaneously with the establishment of the WTO on January 1, 1995 which
contained 13 parts and 21Articles which is equipped with 5 Annex and an
appendix to the Annex 5. The AoA has three main pillars, namely the expansion
of market access, domestic support and export subsidies. Through Law No. 7 of
1994, Indonesia has ratified the WTO provisions which obliges WTO member
states to adapt the rules contained in Annex WTO. One of them is the rules of
the food policy Indonesia through Law No. 7 of 1996 concerning Food and
Government Regulation No. 68 of 2002 on Food Security.
Keyword: WTO, AoA, Food, Food Security
Abstrak
Kerangka liberalisasi perdagangan komoditi pertanian dalam konteks World
Trade Organization (WTO) tertuang dalam Perjanjian Umum Bidang
Pertanian atau Agreement on Agriculture (AOA). AOA adalah salah satu
perjanjian internasional WTO yang dihasilkan melalui serangkaian
perundingan dalam Putaran Uruguay dari General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT). Perjanjian ini diberlakukan bersamaan dengan berdirinya
WTO pada tanggal 1 Januari 1995 yang terdiri atas 13 bagian dengan 21
Pasal yang dilengkapi dengan 5 Pasal Tambahan (Annex) dan satu lampiran
untuk Annex ke-5. Adapun AoA memiliki tiga pilar utama yaitu perluasan akses
pasar, dukungan domestik serta subsidi ekspor. Melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi ketentuan-ketentuan WTO
dimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan
aturan-aturan yang termuat dalam Annex WTO.Salah satunya adalah aturan-
aturan kebijakan pangan Indonesia yaitu melalui Undang-undang Nomor 7
Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Putra 91
Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan.
Kata kunci: WTO, AoA, Pangan, Ketahanan Pangan
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga
ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan
segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi kebutuhannya dengan
berbagai cara. Dalam perkembangan peradaban masyarakat untuk memenuhi
kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tenteram, serta sejahtera
lahir dan batin, semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas,
dan merata. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan
hal yang sangat strategis. Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan
liberalisasi perdagangan, beberapa komoditas pangan telah menjadi komoditas
yang semakin strategis, karena ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi
pangan nasional, tidak selalu dapat secara otomatis mengandalkan kepada
ketersediaan pangan di pasar dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-
negara menetapkan sistem ketahanan pangan untuk kepentingan dalam
negerinya.
Selanjutnya kesepakatan pembentukan WTO merupakan realisasi dari
cita-cita lama pada waktu merundingkan GATT pertama kali.
1
Perjanjian
perdagangan multilateral pertama yang diakui dunia adalah Perjanjian Umum
tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade
GATT) pada tahun 1948. Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk
International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB.
2
Latar
belakang pembentukan GATT dimulai dari pengalaman pahit depresi ekonomi
dunia pada dasawarsa 1930-an, yang diikuti dengan pemberlakuan proteksi
perdagangan oleh negara-negara besar. Sejak tahun 1948 - 1994, GATT
mengadakan 7 (tujuh) putaran perundingan perdagangan multilateral dengan
tujuan memfasilitasi perdagangan internasional. Dari berbagai Putaran
Perundingan Perdagangan dalam sejarah GATT, yang terpenting adalah
Putaran Tokyo dan Putaran Uruguay.
3
Putaran Tokyo telah gagal untuk
menyelesaikan masalah utama yang berkaitan dengan perdagangan produk
pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai safeguards. Meskipun
1
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal.
36.
2
Ibid., hal. 103.
3
Mochamad Slamet Hidayat, et.al., Sekilas WTO (World Trade Organization)”, Edisi Keempat,
(Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral
Departemen Luar Negeri, tanpa tahun), hal. 6.
92 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non-tarif telah muncul
di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan
peraturan GATT yang sudah ada.
4
Putaran Uruguay memakan waktu tujuh setengah tahun atau hampir 2
(dua) kali dari rencana jadwal semula, dengan 123 negara yang ikut
berpartisipasi. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan.
Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata, hanya dalam waktu 2 (dua)
tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk
terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa,
dan agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan
perdagangan.
5
Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan
transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia. World Trade Organization
(WTO) merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus
mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral
WTO diatur melalui persetujuan yang berisikan aturan-aturan dasar
perdagangan internasional yang dihasilkan oleh para negara anggota melalui
proses negosiasi. Persetujuan tersebut merupakan perjanjian antar negara
anggota yang mengikat pemerintah negara anggota untuk mematuhinya dalam
pelaksanaan kebijakan perdagangan mereka.
6
WTO didirikan negara anggotanya dengan maksud dan tujuan bersama
sebagaimana dicantumkan dalam mukadimahnya sebagai berikut:
7
Bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi negara
negara anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan
standar hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan
nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan
penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan tujuan
pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan perlindungan lingkungan
hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara-cara yang
sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara yang berada pada tingkat
pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui
adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin agar
supaya Negara berkembang, teristimewa yang paling terbelakang, mendapat
bagian dari pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan
pembangunan ekonominya.Untuk mencapai tujuan-tujuan ini diadakanlah
suatu pengaturan yang saling menguntungkan yang diarahkan pada
pengurangan tarif secara substansial dan juga hambatan-hambatan non-tarif
terhadap perdagangan, dan untuk menghilangkan perlakuan diskriminatif
dalam hubungan perdagangan internasional.
4
Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, (Yogyakarta: INSISTpress,
2005), hal. 3.
5
Mochamad Slamet Hidayat, Op. Cit.
6
Ibid.
7
Mukadimah dari Agreement Establishing The World Trade Organization.
Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Putra 93
Diantara fungsi WTO yang terpenting adalah melancarkan pelaksanaan,
pengadministrasian serta lebih meningkatkan tujuan dari perjanjian
pembentukan WTO sendiri serta perjanjian-perjanjian lain yang terkait
dengannya.
8
Disamping itu WTO juga merupakan forum negosiasi bagi para
anggotanya di bidang-bidang yang menyangkut perdagangan multilateral,
forum penyelesaian sengketa, dan melaksanakan peninjauan atas kebijakan
perdagangan.
Perjanjian-perjanjian WTO sangat luas dan kompleks sebab menyangkut
berbagai bidang seperti tekstil dan pakaian, pertanian, perbankan,
telekomunikasi, belanja negara (government procurement), standar industri,
undang-undang sanitasi dan keamanan makanan, perlindungan hak kekayaan
intelektual dan sebagainya. Namun demikian terdapat beberapa prinsip
mendasar yang menaungi semua bentuk perjanjian dalam WTO yakni:
9
Trade
without discrimination (prinsip non-diskriminasi dalam perdagangan): (a) Most
favoured nation (MFN): treating other people equally, (b) National treatment;
Freer Trade: gradually, through negotiation (mencapai perdagangan bebas
secara bertahap melalui negosiasi)
10
; Predictable (dapat diprediksi); Promoting
fair competition (mendorong persaingan dagang yang adil); Encouraging
development and economic reform (mendorong pembangunan dan
pembaharuan ekonomi bagi negara miskin dan berkembang).
1) Trade Without Discrimination (Prinsip Non-Diskriminasi dalam
Perdagangan)
a) Most favoured nation (MFN): treating other people equally
Dalam perjanjian WTO, semua negara diperlakukan sama. Artinya
negara-negara anggota WTO tidak boleh melakukan diskriminasi
terhadap mitra dagangnya dan tidak boleh ada perbedaan perlakuan
antara produk domestiknya dengan produk impor. Kebaikan
standar ini dalam bentuknya yang tak bersyarat adalah bahwa ia
secara umum memberlakukan bagi seluruh peserta perjanjian
keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh salah satu dari mereka
kepada negara ketiga. Prinsip ini merupakan landasan bagi tiga
perjanjian WTO, yaitu GATT (artikel 1), GATS (artikel 2) dan
TRIPS (artikel 4).
11
8
Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum dan
Non Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 88.
9
Understanding the WTO: Principles of the Trading System, World Trade Organization, diakses
melalui situs internet <http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm>, diakses
tanggal 1 November 2011.
10
Sejak GATT didirikan pada tahun 1947-1948 telah terjadi delapan putaran perundingan. Fokus
pertama perundingan dikonsentrasikan pada penurunan tarif (bea masuk) terhadap produk impor. Sebagai
hasilnya, pada pertengahan 1990-an negara-negara industri mulai menurunkan tariff produk-produk
industri hingga turun secara tetap sekitar 4%. Namun sejak tahun 1980-an, perundingan mulai melebar
pada isu hambatan non-tarif dan isu-isu baru seperti bidang jasa dan kekayaan intelektual.
11
Hata, Op. Cit., hal. 55.
94 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
b) National treatment
Dalam prinsip ini produk lokal maupun produk impor harus
diperlakukan sama. Prinsip perlakuan sama dengan produk nasional
ini meliputi bidang jasa, merek, undang-undang hak cipta dan hak
paten. Misalnya, pajak penjualan yang sama akan dikenakan bagi
produk serupa yang dijual orang asing dan yang diperdagangkan
warga negara sendiri. Prinsip ini merupakan landasan bagi tiga
perjanjian WTO yaitu GATT (artikel 3), GATS (artikel 17) dan
TRIPS (artikel 3).
12
2) Freer Trade: Gradually, Through Negotiation (Mencapai
Perdagangan Bebas Secara Bertahap Melalui Negosiasi)
Dalam prinsip ini mencapai perdagangan bebas dilakukan secara
bertahap melalui negosiasi. Menurunkan hambatan perdagangan
merupakan langkah nyata dalam mendorong perdagangan.
Berbagai masalah hambatan perdagangan seperti bea masuk (tarif)
dan larangan impor atau kuota yang membatasi kuantitas suatu
produk secara selektif serta isu-isu lain seputar hambatan
perdagangan seperti penggunaan label merah dan perubahan
kebijakan nilai tukar juga didiskusikan dalam rangkaian negosiasi
perdagangan.
13
3) Predictable (Dapat Diprediksi)
Dengan adanya stabilitas dan prediktibilitas bagi dunia usaha maka
iklim investasi dapat mendorong terciptanya lapangan pekerjaan,
peluang-peluang bisnis dan keuntungan yang dapat dinikmati oleh
konsumen dari ketersediaan berbagai jenis barang dengan harga
murah sebagai akibat dari munculnya persaingan dagang yang
sehat. Dengan adanya stabilitas dan prediktibilitas akan
menurunkan hambatan perdagangan seperti kuota dan langkah-
langkah lainnya yang bertujuan untuk membatasi masuknya produk
impor.
4) Promoting Fair Competition (Mendorong Persaingan Dagang
Yang Adil)
Dalam prinsip ini, persaingan dalam perdagangan dapat diterapkan
secara adil. Sistem WTO masih memperkenankan penerapan tarif
dan bentuk-bentuk proteksi dalam skala kecil. Melalui berbagai
12
Ibid.
13
Sejak GATT didirikan pada tahun 1947-1948 telah terjadi delapan putaran perundingan. Fokus
pertama perundingan dikonsentrasikan pada penurunan tarif (bea masuk) terhadap produk impor. Sebagai
hasilnya, pada pertengahan 1990-an negara-negara industri mulai menurunkan tariff produk-produk
industri hingga turun secara tetap sekitar 4%. Namun sejak tahun 1980-an, perundingan mulai melebar
pada isu hambatan non-tarif dan isu-isu baru seperti bidang jasa dan kekayaan intelektual.
Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Putra 95
tahapan liberalisasi perdagangan yang progresif, penerapan tarif
dan kebijakan proteksi tersebut diharapkan dapat dihilangkan
sepenuhnya sehingga kondisi perdagangan yang adil akan tercipta.
Mekanisme MFN dan nationaltreatment diharapkan dapat
mengurangi praktek dumping, subsidi serta hambatan-hambatan
perdagangan lainnya.
5) Encouraging Development And Economic Reform (mendorong
pembangunan dan pembaharuan ekonomi bagi negara miskin
dan berkembang)
Sistem WTO dapat membawa kontribusi bagi pembangunan dan
pembaharuan ekonomi bagi negara-negara berkembang. WTO
memberikan kesempatan, kelonggaran waktu dan fleksibilitas yang
besar serta berbagai perlakuan khusus untuk melakukan berbagai
penyesuaian sebagai persiapan menuju pasar bebas. Berbagai
kemudahan diberikan karena lebih dari 75 persen anggota WTO
adalah negara-negara berkembang dan negara-negara yang sedang
mengalami transisi ke arah ekonomi pasar.
Selain prinsip-prinsip perdagangan dalam WTO yang telah disebutkan di
atas, adapun terdapat prinsip-prinsip negosiasi dalam WTO sebagai berikut:
14
a. prinsip fundamental yang digunakan negara-negara dalam
melakukan negosiasi di WTO adalah memperoleh keuntungan
bersama;
b. asas resiprositas adalah ketika suatu negara mencari perbaikan akses
di pasar negara lain (seperti penurunan tarif), negara tersebut harus
siap pula untuk memberikan konsesi (seperti pengurangan tarif) yang
dianggap menguntungkan atau memiliki nilai yang sama dengan
konsesi yang diminta oleh mitra dagangnya tersebut.
15
c. prinsip Single Undertaking merupakan prinsip dalam negosiasi di
WTO yang didefinisikan sebagai “seluruh unsur dalam negosiasi
merupakan bagian dari satu kesatuan utuh yang tidak bisa dibagi-
bagi atau disetujui hanya sebagiannya saja.” Prinsip ini dikenal juga
sebagai konsep “nothing is agreeduntil everything is agreed.”
16
Dalam pertemuan keempat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World
Trade Organization (WTO) di Doha, Qatar pada bulan November 2001,
diadopsi sebuah agenda besar mengenai pembentukan putaran baru negosiasi
perdagangan yang dikenal dengan nama Doha Development Round (DDR),
atau Putaran Doha. Putaran Doha memiliki visi untuk membentuk konsep baru
liberalisasi di bidang pertanian, tarif, jasa, rencana implementasi program,
14
Mochamad Slamet Hidayat, Loc. Cit.
15
Ibid.
16
Ibid.
96 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
potensi reformasi dalam sistem penyelesaian sengketa, serta empat bidang yang
disebut dengan Singapore Issues yaitu persaingan usaha, investasi,
transparansi dalam pengadaan barang pemerintah, dan fasilitas perdagangan.
17
Di antara topik-topik perundingan tersebut, perjanjian pertanian menjadi
perhatian negara berkembang karena sektor ini menjadi pilar ekonomi di
banyak negara berkembang.
Pertanian dan persetujuan di bidang pertanian menjadi perhatian utama
dalam negosiasi perdagangan, karena selama ini disadari sering terjadi distorsi
perdagangan atas produk-produk pertanian yang disebabkan oleh pengenaan
kuota impor dan pemberian subsidi domestik maupun subsidi ekspor.
Ketentuan-ketentuan dalam GATT untuk bidang pertanian pada awalnya
disadari banyak mengandung kekurangan dan kelemahan, sehingga pada
putaran Uruguay negosiasi diusahakan untuk menghasilkan ketentuan di
bidang pertanian yang adil (fair), dapat menjamin kompetisi yang sehat dan
tidak distortif melalui penghapusan sistem kuota impor dan pemberian subsidi.
Persetujuan bidang pertanian ini disepakati baik oleh negara maju maupun
negara berkembang yang menjadi anggota OPD/WTO. Tujuan Persetujuan
bidang pertanian ini adalah melakukan reformasi perdagangan dalam sektor
pertanian dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pasar. Hal
ini dapat memperkuat tingkat prediksi dan keamanan negara-negara pengimpor
maupun pengekspor. Negara maju diwajibkan untuk mematuhi ketentuan ini
dalam kurun waktu 6 tahun, sedangkan negara berkembang diberi waktu 10
tahun terhitung sejak 1 Januari 1995.
18
Perjanjian mengenai pertanian masuk ke
dalam WTO sebenarnya atas perjuangan negara sedang berkembang. Pada
masa putaran Uruguay, negara berkembang merasa bahwa peraturan
perdagangan internasional hanya menguntungkan negara maju karena aspek
yang dicakupnya memberikan keuntungan komparatif kepada produk negara
maju. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
meneliti dan menulis permasalahan tersebut menjadi sebuah karya ilmiah
dengan judul Agreement on Agriculture Dalam World Trade Organization
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan
masalahnya yaitu, bagimanakah proses masuknya Agreement on Agriculture
(AoA) ke dalam sistem World Trade Organization?
17
Hira Jhamtani, Op. Cit., hal. 10.
18
Ibid., hal. 54.
Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Putra 97
II. Pembahasan
1. Sekilas World Trade Organization
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia
adalah badan antar-pemerintah, yang mulai berlaku 1 Januari 1995. Tugas
utamanya adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan
menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif dan non tarif
(misalnya regulasi); menyediakan forum perundingan perdagangan
internasional; penyelesaian sengketa dagang dan memantau kebijakan
perdagangan di negara-negara anggotanya.
19
WTO merupakan metamorfosis dari Perjanjian Umum Bea Masuk dan
Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang
didirikan tahun 1947, sebagai bagian dari kesepakatan di Bretton Woods,
Amerika. Sejak 1947 ada tujuh perundingan dagang dimana Putaran Uruguay
adalah perundingan paling akhir yang terpanjang (berlangsung dari September
1986 hingga April 1994), rumit dan penuh kontroversi sebelum melahirkan
WTO.
20
Berbeda dengan GATT yang menyusun aturan main di bidang
perdagangan internasional, tetapi bukan sebuah institusi; sementara
metamorfosisnya yaitu WTO adalah sebuah institusi dengan aturan yang jelas
serta daya penegakan yang kuat. Dengan disahkan berdirinya WTO, maka
semua kesepakatan perjanjian GATT kemudian diatur di dalam WTO plus isu-
isu baru yang sebelumnya tidak diatur seperti perjanjian TRIPs (Hak atas
Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan), Jasa (GATS mengenai
sektor jasa), dan aturan investasi (TRIMs).
21
WTO mempunyai anggota 149 negara serta 32 negara pengamat yang
sudah mendaftar untuk menjadi anggota. Perjanjian WTO mengikat secara
hukum. Negara anggota yang tidak mematuhi perjanjian bisa diadukan oleh
negara anggota lainnya karena merugikan mitra dagangnya, serta menghadapi
sanksi perdagangan yang diberlakukan oleh WTO. Karena itu sistem WTO
bisa sangat dominan terhadap anggotanya dan mampu memaksakan aturan-
aturannya, karena anggota terikat secara legal (legally-binding) dan
keputusannya irreversible artinya tidak bisa ditarik kembali.
WTO mengadakan Konferensi tingkat Menteri (KTM) dua tahun sekali.
Konferensi Tingkat Menteri pertama diadakan di Singapura tahun 1996, kedua
di Geneva tahun 1998 dan sidang ketiga di Seattle, AS tanggal 30 November
hingga 3 Desember 1999 dan merupakan sidang terakhir sebelum millenium
ketiga. Sidang ketiga ini gagal menyusun Deklarasi Menteri karena dua hal,
blockade para demonstran di luar gedung pertemuan sehingga para delegasi
19
Op. Cit., hal. 2.
20
Ibid., hal. 22-23.
21
Huala Adolf, Op. Cit., hal. 107-108.
98 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
tidak bisa hadir dan perbedaan pandangan yang tajam di ruang sidang antara
delegasi dari negara-negara berkembang dan negara-negara maju.
22
WTO adalah organisasi yang berbasiskan ‘aturan-aturan main atau rules
yang merupakan hasil perundingan. Aturan tersebut disebut juga ‘perjanjian
atau kesepakatan (agreements). Di atas kertas, perjanjian tersebut haruslah
dihasilkan dari serangkaian perundingan yang yang dilakukan oleh semua
negara anggota, dan mencerminkan kebutuhan anggota (member driven).
Realitasnya, perundingan dan penyusunan naskah awal kesepakatan ditentukan
oleh faktor lain, yaitu kekuatan politik negara-negara anggota. Di dalam WTO
dikenal ada power bloc (kelompok kekuasaan)” yang disebut quad atau lazim
dikenal dengan “Gang Empat” yang terdiri dari Uni Eropa, Jepang, Amerika
Serikat dan Kanada. Walaupun pengambilan keputusan berdasarkan konsensus
tetapi kekuasaan riil di tangan negara-negara besar tersebut.
23
2. Tujuan dan Fungsi WTO
24
WTO memiliki beberapa tujuan penting, yaitu:
a. Mendorong arus perdagangan antar negara, dengan mengurangi dan
menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran
arus perdagangan barang dan jasa;
b. Memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi
yang lebih permanen. Hal ini mengingat bahwa perundingan
perdagangan internasional dimasa lalu prosesnya sangat kompleks
dan memakan waktu.
25
Tujuan penting lainnya adalah untuk penyelesaian sengketa, mengingat
hubungan dagang sering menimbulkan konflik-konflik kepentingan.
Fungsi utama WTO adalah untuk memberikan kerangka kelembagaan
bagi hubungan perdagangan antara negara anggota dalam implementasi
perjanjian dan berbagai instrumen hukum termasuk yang terdapat di dalam
Annex Persetujuan WTO.Secara khusus, berdasarkan Pasal III Persetujuan
WTO ditegaskan 5 (lima) fungsi WTO yaitu:
26
a. Implementasi dari Persetujuan WTO;
b. Forum untuk perundingan perdagangan;
c. Penyelesaian sengketa;
d. Mengawasi kebijakan perdagangan;
e. Kerjasama dengan organisasi lainnya.
22
Hira Jhamtani, Op. Cit., hal. 10-11.
23
Ibid., hal. 44.
24
Mochamad Slamet Hidayat, Op. Cit., hal. 1.
25
Ibid.
26
H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round”, hal. 37-38.
Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Putra 99
3. Persetujuan-persetujuan WTO
Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan
kekayaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. Di
dalamnya terdapat berbagai komitmen negara-negara untuk membuka pasar
dan menurunkan tarif dan hambatan perdagangan lainnya secara individual.
Dalam persetujuan WTO juga terdapat ketentuan penyelesaian sengketa antar
negara anggota dan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential
treatment) untuk negara-negara berkembang. Sebagai konsekuensinya, negara-
negara anggota diminta membuat kebijakan-kebijakan perdagangan yang
transparan yang merujuk pada ketentuan-ketentuan yang dipakai dalam WTO,
sebagaimana yang diuraikan dibawah ini:
1) Persetujuan Bidang Pertanian
Pertanian menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan
karena selama ini disadari sering terjadi distorsi perdagangan atas
produk-produk pertanian karena pengenaan kouta impor dan
pemberian subsidi domestik maupun subsidi ekspor.
Tujuan persetujuan bidang pertanian adalah untuk melakukan
reformasi perdagangan dalam sektor pertanian dan membuat
kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pasar.
27
2) Persetujuan Mengenai Tekstil
Sejak tahun 1974 sampai berakhirnya Putaran Uruguay, perdagangan
tekstil diatur oleh MFA (Multifibre Arrangement), suatu kerangka
kerja perjanjian bilateral atau aksi unilateral yang membentuk sistem
kuota impor ke negera-negara yang industrinya sedang menghadapi
kerugian akibat peningkatan impor yang cepat. Sejak tahun 1995,
Persetujuan WTO di bidang Tekstil dan Pakaian Jadi (Agreement on
Textiles and Clothing/ATC) menggantikan MFA.
28
3) Persetujuan Bidang Jasa
The General Agreement on Trade in Service (GATS) adalah
peraturan mengikat pertama yang mencakup perdagangan
internasional dalam sektor jasa. GATS beroperasi dalam tiga
tingkatan:
(a) Teks utama berisikan prinsip-prinsip umum dan berbagai
kewajiban;
(b) Lampiran (annexes) yang terdiri dari peraturan untuk sektor-
sektor khusus;
(c) Komitmen negara-negara anggota untuk membuka akses bagi
pasar mereka.
29
27
Ibid., hal. 25.
28
Ibid., hal. 29.
29
Ibid., hal. 30.
100 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
4) Hak Atas Kekayaan Inteletual (HAKI)/TRIPs
Putaran Uruguay menghasilkan Persetujuan WTO mengenai Hak
Atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan
(Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights/TRIPs). Persetujuan tersebut mencakup 5 (lima) hal, yaitu:
(a) Prinsip-prinsip dasar sistem perdagangan dan persetujuan
bidang HAKI (principles);
(b) Perlindungan yang cukup terhadap HAKI (protection);
(c) Penegakan hukum bidang HAKI (enforcement);
(d) Penyelesaian sengketa (dispute settlement);
(e) Pengaturan khusus yang diberlakukan selama periode transisi
(special transitional arrangement).
30
5) Anti-Dumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguards)
Peraturan-peraturan anti-dumping yang berlaku sekarang adalah
hasil revisi dari Putaran Tokyo, dimana tidak semua anggota GATT
menjadi pihak dan merupakan hasil Putaran Uruguay. Persetujuan
WTO Anti-Dumping memuat beberapa modifikasi sebagai berikut:
(a) Peraturan yang lebih rinci untuk memperhitungkan tingkat
dumping;
(b) Prosedur yang terinci untuk memulai (initiation) dan
melaksanakan investigasi;
(c) Peraturan untuk implementasi dan jangka waktu pengenaan anti-
dumping (yang biasanya berlaku selama 5 tahun);
(d) Standar tertentu untuk penyelesaian sengketa anti-dumping.
31
Persetujuan subsidi dan tindakan-tindakan imbalan (Agreement on
Subsidies and Countervailing Measures) memuat aturan mengenai
subsidi dan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk
“melawan” tindakan subsidi yang dilakukan negara lain dengan
mengenakan bea masuk tambahan.
6) Hambatan Non-Tarif
WTO juga mempunyai persetujuan-persetujuan untuk mengatasi
kendala teknis, birokrasi dan peraturan yang menghambat
perdagangan seperti:
(a) Peraturan-peraturan teknis dan standarisasi (technical
regulations and standards);
(b) Lisensi impor (import lisencing);
(c) Pemeriksaan sebelum pengapalan (pre-shipment inspection);
(d) Aturan mengenai asal produk (rules of origin);
(e) Tindakan-tindakan yang terkait dengan investasi (investment
measure).
32
30
Ibid., hal. 35.
31
Ibid., hal. 40.
Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Putra 101
7) Persetujuan Plurilateral
Ada 4 (empat) persetujuan yang dinegosiasikan dalam Putaran
Tokyo yang hanya ditandatangani oleh sebagian kecil anggota saja
dan tidak bersifat mengikat bagi seluruh anggota WTO, yang disebut
persetujuan plurilateral. Empat persetujuan tersebut adalah:
(a) Perdagangan pesawat sipil (trade in civil aircraft);
(b) Pengadaan/pembelian pemerintah (government procurement);
(c) Produk susu olahan (dairy product);
(d) Daging olahan (bovine meat).
33
4. Agreement on Agriculture Dalam World Trade Organization
Uruguay Round menjadi putaran yang paling penting dalam sistem
perdagangan internasional dibawah GATT. Putaran terakhir sekaligus
terpanjang yang berlangsung sejak tahun 1986-1994 ini menjadi penting karena
beberapa hal. Pertama, bila dalam perundingan sebelumnya, mulai dari Geneva
Round 1947 sampai Geneva Round 1986, cakupan perundingan berkisar pada
masalah tariff dan non-tariff. maka pada Uruguay Round telah meluas yaitu
mencakup GATT,
34
GATS (General Agreement on Trade and Services)
35
dan
TRIPs.
36
Hal kedua adalah pembentukan WTO yang resmi berlaku 1 Januari
1995. WTO hadir sebagai institusi yang mengikat secara hukum (legally
binding) dengan aturan main yang jelas, memiliki badan penyelesaian sengketa
(dispute settlement body) serta keputusan yang bersifat irreversible (tidak dapat
ditarik kembali).
Sejak era Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berjalan, ada 2 (dua)
perubahan penting yang perlu diamati, yaitu: pertama, Harga komoditas
pangan merosot tajam dalam nilai US$. Kedua, Terjadinya pergeseran pola
produksi komoditas pangan dari negara-negara yang kurang memiliki
keunggulan komparatif ke negara-negara yang memiliki keunggulan
komparatif tinggi. Dengan demikian, Liberalisasi perdagangan telah membawa
kesulitan baru bagi petani kecil di negara berkembang.
37
32
Ibid., hal. 42.
33
Ibid., hal. 45.
34
GATT mengatur perdagangan dan liberalisasi barang, termasuk di dalamnya pertanian
(agriculture), keamanan pangan dan standar kesehatan hewan dan tanaman (sanitary and phytosanitary),
tekstil dan pakaian jadi (textile and clothing), standar produk (technical barriers to trade), tindakan
investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs), tindakan anti dumping (anti-dumping), penilaian
pabean (custom valuation), pemeriksaan sebelum pengapalan (pre-shipment inspection), ketentuan asal
barang (rules of origin), lisensi impor (import licensing), subsidi dan tindakan imbalan (subsidies and
countervailing measures), dan tindakan pengamanan (safeguards)
35
GATS mengatur perdagangan jasa, meliputi pergerakan tenaga kerja (movement of natural
persons), transportasi udara (air transportation), jasa keuangan (financial services), perkapalan
(shipping), dan telekomunikasi (telecommunication).
36
TRIPs mengatur perdagangan yang terkait dengan haKi (hak kekayaan intelektual).
102 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
Lahirnya WTO, 1 januari 1995, menggantikan GATT, secara otomatis
membawa sektor pertanian masuk dalam kerangka perdagangan multilateral
lewat Agreement on Agriculture (AoA). Tujuan dari AoA ini pada dasarnya
adalah untuk memperluas liberalisasi perdagangan di bidang pertanian dan
secara bertahap mengurangi distorsi perdagangan sesuai dengan aturan di
dalam GATT.
38
Aturan yang dimaksud adalah bahwa jenis proteksi yang
bersifat kuantitatif tidak diperbolehkan dan proteksi tersebut harus diterapkan
secara non-diskriminasi sesuai asas most favored nations.
39
Seperti diketahui, ekspor negara berkembang lebih banyak berupa bahan
mentah produk pertanian. Hanya ada 2 (dua) perjanjian yang menguntungkan
negara sedang berkembang yang berhasil masuk ke dalam WTO, yaitu
pertanian dan tekstil. Aspek positif dari Agreement on Ariculture (AoA) adalah
dengan masuknya pertanian dalam peraturan perdagangan multilateral, maka
negara maju yang selama ini mensubsidi produksi dan ekspor pertanian harus
tunduk pada peraturan menghapuskan segala distorsi perdagangan, diantaranya
adalah dengan mengurangi subsidi tersebut.
40
Negara maju sebagai penghasil dan eksportir besar hasil pertanian,
selama ini memberlakukan proteksi ketat, memberikan subsidi besar kepada
para petani mereka, dan menyediakan subsidi ekspor. Hal ini merugikan negara
pengekspor hasil pertanian lainnya, terutama negara-negara miskin dan
berkembang yang memiliki kemampuan sumber daya terbatas. Kepentingan
negara berkembang berbeda dari negara maju. Keunggulan banding Dunia
Ketiga umumnya adalah ekspor hasil pertanian dalam bentuk bahan mentah
atau bahan baku untuk diolah lebih lanjut. Ekspor komoditas semacam ini
sering menjadi satu-satunya sumber devisa bagi negara tertentu, tetapi
harganya di pasar internasional sering berfluktuatif tanpa dapat dikendalikan.
Pada dasarnya, Agreement on Agriculture (AoA) mengandung 3 (tiga)
unsur utama, yaitu:
41
a. Pengurangan subsidi ekspor;
b. Pengurangan dukungan (subsidi) dalam negeri;
c. Akses Pasar.
Perundingan yang berhubungan dengan akses pasar, antara lain
membahas masalah bentuk formula penurunan tariff, penjabaran konsep
Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) dalam
framework, masalah Sensitive Products untuk negara maju, masalah tariff
37
Beddu Amang, Harga Pangan Merosot Tajam Dalam Era WTO, “Warta Intra Bulog”,
No.07/XXV/Pebruari/2000, hal. 5.
38
Lidya Christin Sinaga, Isu pertanian dan Respon Masyarakat Sipil di Indonesia,
<http://jurnal.dikti.go.id/jurnal/detil/id/24:60016/q/pengarang:CHRISTIN%20/offset/0/limit/15>, diakses
tanggal 20 April 2011.
39
Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani (Yogyakarta: Resist Book, 2004). hal. 60.
40
Mochamad Slamet Hidayat, Op. Cit., hal. 53.
41
Hira Jhamtani, Op. Cit., hal. 53.
Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Putra 103
capping, tariff quota, preferences, tropical products, dan newly
accededmembers. Perundingan yang berhubungan dengan Subsidi Ekspor,
antara lain meliputi penentuan kriteria untuk parallelism (penghapusan ekspor
subsidi yang dilakukan secara paralel dengan penghapusan komponen subsidi
pada kredit ekspor), aspek subsidi dari State Trading Enterprises (STE), food
aid dan differential export taxes yang dapat diterima oleh negara-negara Eropa
agar mereka bersedia menghapus seluruh subsidi ekspor, menentukan aspek
subsidi dari STE, food aid, kredit ekspor dan masalah monitoring. Adapun
perundingan mengenai Subsidi Domestik antara lain membahas masalah
penentuan formula yang dapat memotong subsidi domestic secara progresif
semakin tinggi tingkat subsidi semakin besar pemotongannya, penerapan
konsep product specific untuk subsidi dalam kategori Amber Box dan Blue Box,
masalah pemotongan de minimis yang terkait dengan subsidi Blue Box,
masalah disiplin, monitoring dan pengetatan aturan Blue Box, serta titik awal
pemotongan Blue Box mengingat subsidi dalam kategori ini tidak di-bound.
42
VII. Penutup
1. Simpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa lahirnya
World Trade Organization, 1 Januari 1995, menggantikan GATT, secara
otomatis membawa sektor pertanian masuk dalam kerangka perdagangan
multilateral lewat Agreement on Agriculture (AoA). Tujuan dari AoA ini pada
dasarnya adalah untuk memperluas liberalisasi perdagangan di bidang
pertanian dan secara bertahap mengurangi distorsi perdagangan sesuai dengan
aturan di dalam GATT. Pada dasarnya, Agreement on Agriculture (AoA)
mengandung 3 (tiga) unsur utama, yaitu pengurangan subsidi ekspor,
pengurangan dukungan (subsidi) dalam negeri, dan akses Pasar. Implikasi
Agreement on Agriculture dalam WTO dapat dilihat dari segi Akses Pasar,
Dukungan Domestik dan Subsidi Ekspor.
2. Saran
Berdasarkan penelitian dalam tulisan ini, penulis mengajukan
rekomendasi kepada Pemerintah Republik Indonesia terkait dengan tema
penelitian. rekomendasi tersebut adalah revitalisasi peran negara dalam
pengelolaan pasar pertanian domestik dengan cara mengintegrasikan
pembangunan pertanian dalam negeri dan politik luar negeri, khususnya dalam
perundingan-perundingan perdagangan yang terkait dengan kebijakan
pertanian di dalam negeri.
42
Ibid., hal. 54.
104 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
Daftar Pustaka
Buku Teks/Makalah
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2005.
____________. Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam World Trade
Organization (WTO). Mandar Maju. Bandung. 2005.
Hata. Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO (Aspek-aspek
Hukum dan Non Hukum). Refika Aditama. Bandung. 2006.
Hidayat, Mochamad Slamet. et.al. Sekilas WTO (World Trade Organization)
Edisi Keempat. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan
HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri. Jakarta.
tanpa tahun.
Jhamtani, Hira. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. InsistPress.
Yogyakarta. 2005.
Kartadjoemena, H.S. GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round. Universitas
Indonesia-Press. Jakarta. 1997
Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani Resist Book, Yogyakarta. 2004.
________________. Ironi Negeri Beras Insist Press, Yogyakarta. 2008.
Sawit, M. Husein. Liberalisasi Pangan Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha
WTO. Jakarta. Lembaga Penerbit: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. 2007.
________________. Kiki. P dan Agus D.I., “Notifikasi Produk Pertanian di
WTO dan de Minimis untuk Beras”.:Bulog, Jakarta. 2003.
Setiawan, Bonnie.Globalisasi Pertanian. The Institute for Global Justice.
Jakarta 2003.
________________. et. al. WTO, Kapitalisme, dan Pembangunan Gerakan.
The Institute for Global Justice. Media Pembebasan. Jakarta. 2006.
Undang-Undang
Republik Indonesia Undang-Undang Tentang Agreement Establishing The
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Oorganisasi
Perdagangan Dunia). Nomor 7 Tahun 1994. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 57 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3564.
________________. Undang-Undang Tentang Pangan Nomor 7 Tahun
1996.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656
Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Putra 105
________________. Peraturan Pemerintah Tentang Ketahanan Pangan. PP
Nomor 68 Tahun 2002. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 142. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4254.
Artikel/Jurnal
Amang, Beddu. Harga Pangan Merosot Tajam Dalam Era WTO, Warta intra
Bulog No.07/XXV/Pebruari/2000.
________________. Perdagangan Global: Implikasinya Pada Sektor
Pertanian, Warta Intra Bulog No.10/Tahun XXI/Mei/1996.
Sawit, M.Husein. Mengapa “Petani Korea Marah Terhadap WTO”, Warta
Intra Bulog Nomor 02/tahunXXXII/Pebruari/2006.
Internet
<http://www.kemlu.go.id>
<http://www.globaljust.org>
<http://www.wto.org/aoa/legaltext>
... Additionally, it aimed to provide long-term funding for countries requiring foreign assistance for their economic development needs, achieved through the establishment of the International Bank for Reconstruction and Development (World Bank). (Putra, 2016) Another main pillar supporting global economic growth is the functioning of a free and open international trade system, initially intended but unsuccessfully realized through the establishment of the International Trade Organization (ITO). Although the formation of the International Trade Organization, intended as one of the pillars of the Bretton Woods system alongside the International Monetary Fund (IMF) and the World Bank, was not successful, the nations of the world have operationalized the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), which was designed alongside the charter of the International Trade Organization, and it has become the principal institution for international trade (Geraldi, et.all, 2018). ...
Article
Full-text available
The establishment of the World Trade Organization (WTO) framework signifies a pivotal milestone in aligning member countries' trading regulations with the WTO's provisions. Developing countries' participation in the WTO fosters equitable competition and contributes to global development. WTO agreements offer flexibility for developing nations to adhere to WTO regulations, providing specialized assistance to the least developed countries (LDCs) and trade concessions in line with GATT regulations. Moreover, the WTO ensures predictability in the business environment, encouraging investment, job creation, and fair competition. Its multilateral trading system fosters peace by facilitating constructive conflict resolution between nations, regulating trade through appropriate mechanisms, and reducing tariffs and non-tariff barriers to enhance affordability.
... Tujuan dari pelaksanaan kerjasama perdagangan tersebut salah satunya adalah untuk meredam intervensi dari masing-masing pihak yaitu negara agar dapat meminimalisir berbagai macam bentuk hatetan dalam perdagangan baik yang bersifat tarif maupun non-tarif. Diharapkan ketika berbagai macam hambatan dalam perdagangan bisa direduksi, maka konsekuensi yang terjadi adalah arus perpindahan produk yang diperdagangkan dapat menjadi semakin lancar sehingga setiap negara dengan mudah bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing (Putra, 2016). ...
Article
Full-text available
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan kesempatan yang tersedia pada kesepakatan ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) dengan semaksimal mungkin. Pada dasarnya, ACFTA sejatinya membuka kesempatan besar bagi masing-masing negara untuk dapat meraih keuntungan dalam sistem perdagangan. China beserta negara-negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, dan beberapa negara lainnya telah bersepakat secara bersama-sama untuk menyetujui penerapan sistem perdagangan bebas dengan meminimalisir berbagai hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif. Tujuan dalam kesekapatan tersebut pada dasarnya adalah untuk membangun hubungan yang harmonis di antara kedua belah pihak, dilanjutkan dengan mendorong peningkatan akses pasar dalam sistem perdagangan internasional, mendorong peningkatan investasi serta kerjasama ekonomi, dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat baik ASEAN maupun China. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif di mana data yang digunakan yakni berupa data sekunder yang berasal dari berbagai literatur baik penelitian terdahulu, berita yang terpublikasi secara online dan offline, maupun sumber data lainnya yang sangat penting untuk mendukung kesuksesan hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan dengan optimal potensi yang tersedia dalam kesekapatan ASEAN China Free Trade Area baik dari pemanfaatan ruang bagi produk unggulan dalam negeri untuk dipasarkan, peningkatkan investasi asing, maupun berbagai bentuk kerjasama ekonomi lainnya yang dapat mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Article
This study discusses the model of resolving trade disputes between Indonesia and Brazil related to chicken meat imports from Brazil based on World Trade Organization (WTO) rules. The dispute stems from Indonesia's policy of regulating halal standards and restricting imports of Brazilian chicken, which is considered to violate international trade rules, including the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and several other WTO agreements. The formulation of the problem studied is the development of the dispute and the regulation of raw meat imports within the framework of Indonesian law. This study analyzes relevant applicable legal rules, such as Law Number 7 of 1994 and other WTO regulations. The results of the study show that dispute resolution through the WTO's Dispute Settlement Body (DSB) resulted in a decision that largely won Brazil, although Indonesia managed to maintain policies related to halal certification.
Article
Full-text available
Indonesia issued a policy prohibiting the export of nickel ore with a grade <1.7% in Minister of Energy and Mineral Resources Regulation Number 11/2019, but this policy gave rise to a lawsuit from the European Union at the WTO. The aim of this research is to find the implementation of the adoption of the WTO concept in the Indonesian legal system and answer dispute resolution between Indonesia and the European Union regarding the policy of banning Indonesian nickel ore exports as an effort to protect natural resources based on GATT/WTO rules and principles. This research uses a normative method using a case approach, statutory approach and conceptual approach. The research results show that the ban on nickel ore exports is Indonesia's effort to protect its natural resources, despite legal challenges from the European Union. The implementation of the GATT/WTO concept in Indonesian policy shows a balance between international obligations and national interests in managing natural resources. This dispute also highlights the importance of appropriate legal strategies in safeguarding state sovereignty within the WTO framework.
Article
Full-text available
Polemik terkait pelarangan ekspor nikel Indonesia oleh Uni Eropa telah membawa kasus ini ke World Trade Organization (WTO), mengundang perhatian terhadap landasan hukum yang digunakan dalam memutuskan sengketa perdagangan. Landasan WTO dalam menyelesaikan sengketa seperti ini didasarkan pada prinsip-prinsip dasar perdagangan internasional, terutama yang diatur oleh perjanjian-perjanjian seperti General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Dalam hal ini, WTO akan menilai apakah pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia melanggar perjanjian perdagangan internasional yang telah disepakati, seperti prinsip non- diskriminasi dan konsistensi dengan ketentuan-ketentuan perjanjian. Proses penyelesaian sengketa di WTO melibatkan beberapa tahapan, termasuk negosiasi antara pihak-pihak yang bersengketa, penyelidikan oleh panel penyelesaian sengketa, dan pembuatan keputusan akhir oleh Badan Banding WTO. Jika suatu negara tidak mematuhi keputusan WTO, organisasi tersebut dapat memberi izin kepada negara yang menang dalam sengketa untuk menerapkan sanksi perdagangan terhadap negara yang melanggar peraturan. Kekuatan WTO dalam pengeksekusian putusan yang dijatuhkan terhadap Indonesia mencakup berbagai aspek, mulai dari sanksi perdagangan hingga tekanan politik dan ekonomi yang dapat dialami oleh negara yang melanggar aturan. Keputusan WTO juga dapat memiliki dampak signifikan secara politik dan ekonomi, termasuk kehilangan kepercayaan dari mitra dagang internasional. Dengan demikian, WTO memiliki peran yang penting dalam menjaga konsistensi, keadilan, dan keseimbangan dalam perdagangan internasional, serta menegakkan putusan yang diberlakukan terhadap negara-negara anggotanya.
Article
Full-text available
One of the problems in international relations occurred due to international trade which led to the European Union's feud against Indonesia on January 17, 2018 in which the European Parliament made a decision on the use of palm oil for biodiesel products. The decision was made to increase energy efficiency to 35% by 2030, most parliaments approved the plan to ban the use of palm oil as the main raw material in biodiesel in 2021, seeing this the Government of Indonesia through the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) starting January 1, 2020, a ban on the export of nickel ore or nickel ore will be imposed. The decision was made in an effort to maintain nickel reserves by considering the sustainability of the supply of raw materials from existing smelters. This research was conducted using descriptive quantitative methods with a literature/literature study approach and was descriptive. The results of this study conclude that bilateral international relations between Indonesia and the European Union are very tight, this is indicated by the existence of trade problems and the existence of a lawsuit to the WTO from the European Union against Indonesia. to increase State spending, improve trade relations between Indonesia and the European Union with consideration of tax relief, implementation of guidance for exporters/MSMEs who will export their products. The WTO in resolving disputes between its members has a system that is in many ways unique and successful
Article
Full-text available
ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara produsen sekaligus pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2018 Uni Eropa memberlakukan Renewable Energy Directive (RED II) 2018/2001 dengan maksud untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan deforestasi sekaligus meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Kebijakan RED II dan Delegated Act telah menempatkan secara implisit kelapa sawit sebagai penyebab dari emisi gas rumah kaca dan deforestasi. RED II dan Delegated Act mengkategorikan kelapa sawit sebagai High Indirect Land Use Change Risk. ILUC terjadi apabila lahan yang dahulunya merupakan lahan pertanian dialihfungsikan untuk memproduksi biofuel, ini sering terjadi pada lahan stok karbon yang tinggi seperti hutan, lahan basah dan lahan gambut, sedangkan kelapa sawit hanya tumbuh di lahan gambut. Indonesia selaku penghasil kelapa sawit mengajukan protes dengan mengajukan gugatan inisiasi awal ke WTO tanggal 9 Desember 2019. Dalam artikel ini akan dibahas permasalahan apakah RED II dan Delegated Act oleh Uni Eropa telah melanggar prinsip Most Favoured Nations (MFN)? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan kesimpulan bahwa kebijakan RED II dan Delegated Act harus dibatalkan karena melanggar prinsip MFN sebagai prinsip utama dalam perdagangan internasional. Kata kunci: delegated act; hukum perdagangan internasional; prinsip mfn. ABSTRACT Indonesia is one of the largest producers and exporters of palm oil in the world. In 2018 the European Union enacted the revision of the Renewable Energy Directive (RED II) 2018/2001 to reduce greenhouse gas emissions and deforestation while increasing the use of renewable energy. RED II and Delegated Act policies have implicitly placed oil palm as a cause of greenhouse gas emissions and deforestation. RED II and Delegated Act categorize palm oil as High Indirect Land Use Change Risk (ILUC). ILUC occurs when land that was once agricultural land is converted to produce biofuel. This often occurs on high carbon stock lands such as forests, wetlands, and peatlands. Whereas only oil palm grows on peatlands. Indonesia did not accept the RED II Policy and Delegated Act by filing a lawsuit with initial initiation to the WTO on 9 December 2019. This article tried to seek whether RED II and Delegated Act policies violate the Most Favored Nations (MFN) principle. The research method used is normative juridical. It is concluded that RED II and Delegated Act policies must be revoked because they violate the principle of MFN as a main principle in international trade. Keywords: delegated act; international trade law; mfn principle.
Article
Full-text available
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah implementasi prinsip-prinsip perdagangan internasional pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan untuk mengetahui bagaimanakah harmonisasi prinsip-prinsip perdagangan internasional General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan adalah implementasi prinsip-prinsip perdagangan internasional General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) terdapat isi atau materi yang memuat pengaturan prinsip GATT/WTO, yakni pada huruf A, B, dan C, serta harmonisasi prinsip-prinsip perdagangan internasional General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan terdapat beberapa prinsip-prinsip hukum dalam pengaturan perdagangan internasional. Kesimpulan penelitian ini adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) terdapat isi atau materi yang memuat pengaturan prinsip GATT/WTO, yakni pada huruf A, B, dan C, serta harmonisasi prinsip-prinsip perdagangan internasional General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan terdapat beberapa prinsip-prinsip hukum dalam pengaturan perdagangan internasional.
Article
Full-text available
Abstrak Dumping adalah kegiatan dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasar internasional dengan harga kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negara importir. Hal ini menyebabkan persaingan menjadi tidak sehat. Beberapa kebijakan pencegahan dumping lahir sebagai upaya untuk mengurangi kecurangan yang terjadi dalam praktek perdagangan. Namun kebijakan-kebijakan tersebut sering disalahgunakan, tidak jarang negara-negara maju melakukan proteksi untuk melindungi industri dalam negerinya. Dalam kamus perdagangan, dumping dinilai sebagai bentuk dari persaingan yang tidak sehat, namun nyatanya, Anti-dumping dan proteksionisme yang disalahgunakan dapat memicu terjadinya Unfair Trade Practices. jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, Penelitian ini membahas dan menganalisis bagaimana dampak penerapan Pasal VI General Agreement on Tariff and Trade dalam mencegah praktik dumping terhadap negara berkembang bahwa penerapan kebijakan Anti-dumping dan proteksionisme perlu diperhatikan lebih khusus dan harus sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Anti-dumping Code hal ini bertujuan untuk mengurangi tindakan-tindakan proteksi yang dapat merugikan negara-negara yang melakukan ekspor terutama negara berkembang, perlunya peran WTO dalam mengawasi kegiatan perdagangan terhadap segala bentuk hambatan yang dapat menciptakan perdagangan yang tidak adil, dengan mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang telah ada.
Article
Full-text available
Perdagangan internasional, pada era globalisasi merupaka suatu cara yang diambil para pemimpin Negara untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Ketidakmampuan suatu Negara dalam pemenuhan kebutuhan ini, kerap kali terjadi gesekan kepentingan. Tidak jarang Negara melakukan sesuatu tindakan yang dapat merugikan Negara lain. Mengeksploitasi SDA dalam negeri secara berlebihan, kesadaran Dunia Internasional dalam keberlangsungan SDA, tentang perlindungan sumber daya bahkan keberlansungan generasi selanjutnya untuk menikmati SDA tersebut. Keseriusan Dunia internasional pun terlihat dari langkah-langkah yang diambil para pemimpin dunia, perubahan format GATT yang hanya memperhatikan perlindungan Negara-negara anggotanya dalam melakukan Perdagangan internasional dengan Negara lain dapat terlindungi, begitu pula para anggota Negara Berkembang dan Negara Miskin. Perkembangan berikutnya kesadaran atas lingkungan hidup dapat terancam atas eksploitasi, maka dibentuklah WTO yang menyempurnakan GATT.
Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri
  • Edisi Keempat
Edisi Keempat. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri. Jakarta. tanpa tahun.
Perdagangan Global: Implikasinya Pada Sektor Pertanian
________________. Perdagangan Global: Implikasinya Pada Sektor Pertanian, Warta Intra Bulog No.10/Tahun XXI/Mei/1996.
Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO (Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum). Refika Aditama
  • Hata
Hata. Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO (Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum). Refika Aditama. Bandung. 2006.
The Institute for Global Justice
  • Bonnie Setiawan
  • Globalisasi Pertanian
Setiawan, Bonnie.Globalisasi Pertanian. The Institute for Global Justice. Jakarta 2003.
  • Hira Jhamtani
  • Dan
Jhamtani, Hira. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. InsistPress. Yogyakarta. 2005.
Hukum Perdagangan Internasional. Raja Grafindo Persada
  • Huala Adolf
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005.
Harga Pangan Merosot Tajam Dalam Era WTO
  • Beddu Amang
Beddu Amang, Harga Pangan Merosot Tajam Dalam Era WTO, "Warta Intra Bulog", No.07/XXV/Pebruari/2000, hal. 5.
Petani Korea Marah Terhadap WTO
  • M Sawit
  • Husein
  • Mengapa
Sawit, M.Husein. Mengapa "Petani Korea Marah Terhadap WTO", Warta Intra Bulog Nomor 02/tahunXXXII/Pebruari/2006. Internet <http://www.kemlu.go.id> <http://www.globaljust.org> <http://www.wto.org/aoa/legaltext>
Liberalisasi Pangan Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO. Jakarta. Lembaga Penerbit: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
  • M Sawit
  • Husein
Sawit, M. Husein. Liberalisasi Pangan Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO. Jakarta. Lembaga Penerbit: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2007.
Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi Keempat. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri
  • Mochamad Hidayat
  • Et Slamet
Hidayat, Mochamad Slamet. et.al. Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi Keempat. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri. Jakarta. tanpa tahun.