Content uploaded by Ary Widiyanto
Author content
All content in this area was uploaded by Ary Widiyanto on Apr 08, 2016
Content may be subject to copyright.
1
BEBERAPA CATATAN MENGENAI HASIL HUTAN DALAM SISTEM
AGROFORESTRY
Ary Widiyanto
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar Km 4, PO BOX 5 Ciamis
Email: ary_301080@yahoo.co.id
DEFINISI AGROFORESTRY
Agroforestry merupakan suatu sistem pengelolaan tanaman hutan (perennial)
yang dikombinasikan dengan pertanian atau disebut juga sistem wanatani. Sebenarnya
banyak definisi mengenai agroforestry, yang satu sama lain tidak berbeda secara
substansi. Banyak definisi dari agroforestry yang sering digunakan dalam dunia
pengetahuan. ICRAF mendefinisikan agroforestry sebagai suatu sistem pengelolaan
lahan yang berasaskan kelestarian, untuk meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan,
melalui kombinasi produksi (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan
atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan
menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat
(King dan Chandler (1978) dalam Rauf (2004).
Masih dalam Rauf (2004), Lundgren dan Raintree mendifinisikan agroforestry
adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan & teknologi, di mana
tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dan
sebagainya) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan, dengan
suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di
dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi di antara berbagai komponen
yang bersangkutan. MacDicken dan Vergara (1990) dalam Padmowijoto (2006)
mendifinisikan agroforestry sebagai manajemen lahan berkelanjutan yang
meningkatkan produksi total dengan kombinasi tanaman pangan, pohon
(holtikultura/tegakan hutan) dan atau ternak secara simultan sesuai budaya lo kal.
AGROFORESTRY DI INDONESIA
Di Indonesia, agroforestry dilakukan di berbagai wilayah tanah air dengan
berbagai istilah lokal. Di Jawa dikenal istilah mratani yang diartikan sebagai bercocok
tanam sambil berternak dan berkebun, bisa berupa holtikultura atau tegakan hutan di
2
halaman rumah dan atau pekarangan (Sumitro, 2001). Di propinsi Maluku dikenal
istilah Dusung yang menurut Kaya (2003) dalam Salampessy (2010) adalah sistem
pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu bentang lahan milik dengan
mengkombinasikan komoditas pertanian, kehutanan dan peternakan. Pada awalnya
status dusung adalah sebagai kebun warisan keluarga secara turun menurun,
pengelolaannya terbatas pada kebutuhan subsisten tapi sejalan perkembangan jaman
maka keberadaan dusung berubah menjadi alat produksi yang bernilai ekologis,
ekonomi dan sosial budaya.
Di Sumatera (propinsi Lampung), dikenal istilah Repong yang dapat
didefinisikan sebagai sebidang lahan kering yang ditanami berbagai tanaman produktif,
umumnya tanaman tahunan (perennial crops) seperti damar, jengkol, durian, petai,
jengkol, tangkil, manggis dan beranekaragam tumbuhan liar yang dibiarkan hidup, dan
disebut repong damar karena pohon damar yang paling mendominasi dalam setiap
bidang lahan (Lubis, 1997 dalam Bintoro, 2010).
Sementara itu di Sumatera Utara terdapat suatu sistem agroforestry yang disebut
Reba Juma. Secara harfiah reba juma berarti rumah ladang, atau ladang masyarakat
yang mudah dijangkau dari rumah pemiliknya (Affandi, 2010). Masih menurut Affandi
(2010), tanaman pada reba juma didominasi oleh tanaman kehutanan seperti duku,
durian, rambutan, manggis dan bambu, yang dikombinasikan dengan tanaman
pertanian/perkebunan seperti coklat, pisang, nenas, kunyit, jagung dan lain-lain. Sistem
agroforestry ini dipraktekkan di atas tanah milik yang pada awalnya merupakan tanah
adat, di mana pembagian dan penguasaan lahannya dilaksanakan berdasarkan sistem
kekerabatan adat setempat. Di Kalimantan Barat juga ditemukan sistem agroforestry
tradisional yang disebut Tembawang, yang dibentuk ketika petani akan melakukan
perladangan berpindah untuk mencari lokasi lain yang lebih subur. Pada lahan yang
ditinggalkan, mereka menanaminya dengan berbagai tanaman buah-buahan yang akan
menjadi kebun (Roslinda, 2010).
Masyarakat desa Sungai Telang, Kabupaten Bungotebo, Jambi secara tidak
langsung telah melakukan konservasi keanekaragaman ekosistem melalui kegiatan
agroforesty. Penggunaan lahan seperti sawah, ladang, kebun (hutan sekunder muda),
belukar (hutan sekunder tua) di desa tersebut diolah dan dimanfaatkan melalui
pembuatan agroforestry campuran, sedangkan hutan hanya dimanfaatkan hasil hutan
3
Penanaman
Pemeliharaan
Pemanenan
Hasil
Pengolahan
Hasil
Pemasaran
Aspek Sosial
Aspek Lingkungan
non kayunya saja. Pengembangan agroforestry tumbuhan obat di daerah penyangga
Taman Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur telah
memberikan kontribusi pendapatan sebesar 23% dari hasil pendapatan nya, dan
frekuensi petani masuk hutan menurun 48%. Di samping itu terjadi peningkatan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi, baik konservasi tumbuhan secara eks-
situ maupun in-situ. Dari segi ekologi, program agroforestry telah mengubah semak
belukar dan lahan kritis menjadi hutan tanaman yang didominasi Parkia roxburghii,
Pythecelobium saman, Pangium edule, dan Aleurites moluccana. (Bismark dan R.
Sawitri, 2006).
HASIL HUTAN DALAM SISTEM AGROFORESTRY
Perkembangan hasil hutan dalam dunia kehutanan Indonesia telah lama
mengalami perubahan paradigma. Jika sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1990 -an
hasil hutan selalu dikonotasikan dengan kayu, maka sejak dekade 1990 -an tersebut telah
terbentuk paradigma baru mengenai hasil hutan. Hutan tidak hanya dipandang sebagai
pengasil kayu, tetapi hutan juga dianggap sangat penting dalam menjaga tata air suatu
kawasan, sebagai sumber oksigen dan juga penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK),
dengan nilai ekonomis yang diperkirakan tidak lebih kecil dibanding kayu.
Dalam suatu sistem agroforestry, pengolahan hasil hutan merupakan bagian
yang terintegrasi dalam sistem agoforeresty secara keseluruhan. Sistem agroforestry
akan menghasilkan dua kategori hasil, yaitu hasil hutan, yang terdiri dari kayu dan non
kayu serta hasil pertanian. Untuk lebih jelasnya, posisi pengolahan hasil hutan dalam
sistem agroforestry bisa dijelaskan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Satu Siklus Produksi Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry
4
Dari Gambar 1 di atas terlihat bahwa pengolahan hasil (baik hasil hutan maupun
pertanian) merupakan bagian penting dalam sistem agroforestry secara keseluruhan.
Bagian ini sangat menentukan terhadap nilai pro dukk agroforestry yng akan
dijual/dipasarkan. Pengolahan hasil yang bisa memberikan nilai tambah terhadap
produk secara otomatis akan meningkatkan nilai jual produk tersebut. Untuk itu
diperlukan input teknologi yang tepat, sistem pengolahan yang lebih baik dan efisien
serta diversifikasi produk sehingga terjadi optimalisasi pemanfaatan produk hasil hutan.
Dalam konteks kehutanan, fokus utama pengolahan hasil dalam agroforestry
adalah hasil hutan kayu dan bukan kayu, yang berasal dari tanaman kayu. Untuk kayu,
jenis yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah jenis Sengon
(Paraserianthes falcataria atau Falcataria molluccana). Meskipun demikian,
belakangan juga ditanam jenis lain, yang dianggap memiliki prospek pasar yang baik
oleh masyarakat, seperti Jabon (Anthocephalus cadamba Miq), Manglid (Manglietia
glauca) dan Gmelina (Gmelina arborea). Umumnya pertimbangan masyarakat adalah
tanaman dari jenis cepat tumbuh (fast growing species).
Untuk sengon dan gmelina, penelitian mengenai sifat fisis -mekanis kedua jenis
kayu tersebut sudah cukup banyak dilakukan. Jabon juga sudah cukup banyak,
meskipun tidak sebanyak sengon dan gmelina. Dengan demikian, salah satu peluang
yang cukup terbuka untuk digali adalah mengenai kualitas kayu manglid. Kayu
manglid, meskipun siklus produksinya tidak secepat sengon dan jabon, tetapi cukup
banyak dibudidayakan masyarakat karena harga jualnya yang lebih tinggi dari jabon dan
sengon.
Peluang terbesar dalam penelitian hasil hutan dalam sistem agroforestry adalah
pada hasil hutan bukan kayu (HHBK). Praktek agroforestry yang banyak dilakukan oleh
masyarakat Indonesia adalah sistem agroforestry tradisional, yang pada lahan mereka,
ditanami lebih dari satu jenis kombinasi tanaman pada beberapa strata. Dari sinilah
muncul banyak tanaman penghasil HHBK yang masih berpeluang untuk dikembangkan
dan diteliti, baik sifat-sifat dasarnya maupun teknologi untuk meningkatkan nilai
tambahnya.
Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P.35 / Menhut-II/2007,
maka HHBK didefinisikan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani
beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Selanjutnya
5
dalam Permenhut tersebut juga disebutkan jenis-jenis HHBK yang menjadi “urusan”
Kementerian Kehutanan, yang terbagi menjadi dua kelompok besar HHBK yaitu jenis
tumbuhan dan tanaman serta jenis hewan.
Untuk jenis tumbuhan, terbagi menjadi beberapa sub kelompok, yaitu:
1. Kelompok resin
2. Kelompok minyak atsiri
3. Kelompok minyak lemak, pati dan buah -buahan
4. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah
5. Kelompok tumbuhan obat dan tanaman hias
6. Kelompok palma dan bambu
7. Alkaloid
8. Kelompok lainnya
Dari delapan kelompok di atas, banyak di antaranya yang sebenarnya sudah
digunakan oleh masyarakat dalam praktek agroforestry, dan perlu dikembangkan lagi.
Misalnya dari kelompok resin, terdapat damar yang telah dimanfaatkan cukup lama,
misalnya oleh masyarakat Lampung dan dikenal dengan sistem “repong damar”.
Demikian pula dengan jenis lain seperti agathis, gaharu, kapur, kemenyan, kesambi,
tusam dan rotan.
Jenis HHBK dari kelompok lain yang potensial untuk dikembangkan dalam
sistem agroforestry di antaranya dari kelompok atsiri meliputi akar wangi, minyak
gaharu, kamper, lawang, kayu manis dan kayu putih. Untuk tanaman kayu putih, Pabrik
Pengolahan Minyak Kayu Putih (PMKP) Jatimunggul, yang masuk dalam wilayah
administratif KPH Indramayu telah menanamnya ditumpangsarikan dengan padi yang
ditanam oleh masyarakat.
Untuk kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan terdapat di antaranya
nyamplung, lena (wijen), kelor, macadamia, kemiri dan picung. Picung atau lebih
dikenal sebagai keluwek juga sudah banyak ditanam oleh masyarakat, khususnya di
Jawa bersama jenis tanaman lain, seperti tanaman kayu dan buah -buahan. Penghasil
karbohidrat (pati), juga terdiri dari jenis-jenis yang sudah banyak ditanam dan
dikonsumsi oleh masyarakat seperti aren, sagu, suweg, iles-iles, jamur dan gadung.
Demikian pula dengan buah-buahan, karena ada 36 jenis buah-buahan yang masuk
kategori HHBK dan perlu dikembangkan, khususnya pengolahan paska panennya.
6
Dari kelompok tannin, bahan pewarna dan getah terdapat beberapa jenis yang
cukup potensial seperti akasia, gambir, kesambi, ketapang, pinang, rizhopora, angsana,
jati, jernang, mahoni, kesumba, secang dan suren. Ju ga beberapa penghasil getah seperti
jelutung, balam, pulai dan karet hutan.
Beberapa tumbuhan atau tanaman obat yang potensial dikembangkan pada
sistem agroforestry wanafarma antara lain jenis akar-akaran, brotowali, duwet, jarak,
jati belanda, kayu putih, kayu manis, kepuh, kemiri, mimba dan sebagainya. Kelompok
palma dan bambu terdiri dari semua jenis rotan dan bamb u. Sedangkan untuk alkaloid
dan kelompok lainnya meliputi kina serta ganitri.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa banyak jenis HHBK yang telah
dikembangkan oleh masyarakat maupun tumbuh di alam, yang berpotensi
dikembangkan dalam sistem agoforestry berbasis pangan (wanatani), berbasis obat-
obatan (wanafarma) maupun agroforestry campuran.
PENUTUP
Sebagai sebuah sistem, agroforestry tersusun atas proses-proses yang satu
dengan yang lain sangat berkaitan. Pengolahan hasil dalam sistem agroforestry
merupakan bagian penting yang sangat menentukan nilai produk agroforestry yang akan
dijual/dipasarkan. Penelitian dan pengembangan hasil hutan bukan kayu dalam sistem
agroforestry lebih berpotensi untuk dikembangkan, karena jumlahnya yang rel atif
banyak serta belum banyak dari HHBK tersebut yang telah diteliti secara mendalam.
Selain itu, siklus pemanenan HHBK yang lebih cepat dibandingkan kayu akan lebiih
menarik bagi masyarakat untuk mengembangkannya, karena lebih mena rik secara
ekonomi.
REFERENSI
Affandi, O. 2010. Reba Juma : Kelestarian Praktek Agroforestri Lokal pada
Masyarakat Karo, Propinsi Sumatera Utara. Prosiding Agroforestri
Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 123-136.
Bintoro. 2010. Repong Damar Prototipe Hutan Rakyat Yang Ideal. Prosiding
Agroforestri Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 87 -98.
Bismark, M dan R. Sawitri. 2006. Pengembangan dan Pengeloaan Daerah Penyangga
Kawasan Konservasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil -hasil Penelitian :
Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.
7
Padmowijoto, S. 2006. Integrasi Legume dengan Tanaman Pangan dan Ternak
Kambing dalam Mratani Sistem. Prospect Tahun 2 Nomor 2, Pebruari 2006.
Hal 1-4.
Peraturan Menteri Kehutanan No P.35 / Menhut-II/2007 tanggal 28 Agustus 2007
tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.
Rauf, A. 2004. Agroforestri dan Mitigasi Perubahan Lingkungan. Maklah Falsafah
Sains Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Roslinda. 2010. Strategi Pengelolaan Tembawang Oleh Masyarakat.. Prosiding
Agroforestri Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 159 -166.
Salampessy, M.L. 2010. Performansi Dusung Sebagai Salah Satu Sistem Agroforestri
Tradisional (Studi Kasus pada Desa Urinesibf dan Desa Amahusu Kota
Ambon Propinsi Maluku). Prosiding Agroforestri Tradisional di Indonesia.
Bandar Lampung. Hal 51-60.
Soemitro, P.W. 2001. Peranan Hijauan – Legume dan Ternak dalam Pertanian
Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Fakultas Peternakan
UGM.