Content uploaded by Tsabit Azinar Ahmad
Author content
All content in this area was uploaded by Tsabit Azinar Ahmad on Jan 09, 2019
Content may be subject to copyright.
45
ABSTRACT
Through study of campaign discourse from
various documents, this research tries to explain
political constellation and discourse in Cenral
Java toward the election in 1955. In order to
increase the people votes, the political parties
make efforts to win the election in 1955. Those
efforts are implemented in campaign to attract
attention. Discourses scatter as an effort to
ingratiate people. Four largest winning parties
namely PNI, Masyumi, NU, and PKI, are also
involved actively in campaign. Each of the, has
good mapped approach and targets. In order to
attract sympathy from people, the parties often
have discourse fight. The discourse fight
particularly occurs between PNI-Masyumi, PKI-
Masyumi. In Central Java, the discourses of
parties and their fight also mark campaign
process toward the voting day. Other parties
consider Masyumi as a rival, so insistent attact
comes to oppose Masyumi.
Keywords: 1955 election, political parties,
campaign, Central Java
ABSTRAK
Melalui kajian terhadap wacana kampanye dari
berbagai dokumen, penelitian ini mencoba meng-
uraikan konstelasi politik dan wacana kampanye
di Jawa Tengah menjelang pemilu 1955. Dalam
rangka meningkatkan perolehan suara rakyat,
partai-partai politik melakukan upaya-upaya
untuk memenangkan pemilihan umum tahun
1955. Upaya tersebut diimplementasikan dalam
pelaksanaan kampanye untuk menarik perhatian.
Wacana-wacana berhamburan sebagai upaya
untuk mengambil hati rakyat. Empat besar par-
tai pemenang pemilihan umum, yakni PNI,
Masyumi, NU, dan PKI, juga terlibat secara
aktif dalam kampanye. Masing-masing memiliki
pendekatan dan sasaran yang telah dipetakan
sedemikian rupa. Dalam rangka menarik simpati
masyarakat tersebut, tak jarang partai-partai
tersebut mengalami pertarungan wacana Per-
tarungan wacana terutama terjadi antara PNI-
Masyumi, PKI-Masyumi. Di Jawa Tengah,
wacana-wacana partai dan pertarungannya juga
mewarnai proses kampanye menjelang hari
pemungutan suara. Partai-partai lain mengang-
gap Masyumi sebagai rival, sehingga serangan
bertubi-tubi datang menyerang Masyumi.
Kata kunci: pemilihan umum 1955, partai poli-
tik, kampanye, Jawa Tengah
KAMPANYE DAN PERTARUNGAN POLITIK
DI JAWA TENGAH MENJELANG PEMILIHAN UMUM
1955
Tsabit Azinar Ahmad
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
azinarahmad@mail.unnes.ac.id
PENDAHULUAN
Jawa Tengah dalam perpolitikan
nasional adalah lumbung suara dalam
pemilihan umum. Berdasarkan sensus
penduduk tahun 2010, Jawa Tengah
meru p akan ti g a te rbesa r pr o vinsi
dengan penduduk terbanyak. Jumlah
pen du d uk P rov in s i J awa T en g ah
sebanyak 32.382.657 jiwa (Badan Pusat
Statistik, 2010). Dari angka tersebut,
jumlah penduduk yang telah memiliki
hak pilih mencapai 22.716.205. Angka
ini merupakan angka yang besar, karena
dibanding k a n dengan tahun 2009,
jumlah pemilih di Indonesia adalah
Paramita Vol. 26 No. 1 tahun 2016 [ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825]
Hlm. 45—61
46
Paramita Vol. 26, No. 1 - Tahun 2016
171.068.667 (Wahyudi, 2008). Sementara
itu, pemilih yang menggunakan hak
pilihnya a da la h 104.095.8 4 7 orang
(Buletin Bawaslu, 2014: 10). Dengan
demikian, dengan asumsi tersebut, Jawa
Tengah menyumbangkan sekitar 13%
suara nasional. Pada pemilihan umum
tahun 2014, jumlah suara sah untuk
Pe mi l u L eg i sl at i f 2 01 4 me n c a pa i
124.972.491. Sementara itu, Jawa Tengah
m e n y u m b a n g 1 7. 60 3. 4 5 8 su ar a
(Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Nomor: 411/Kpts/KPU/tahun 2014).
Dengan demikian pada pemilihan legis-
latif 2014, Jawa Tengah menyumbang
14,08% suara nasional.
Besarnya kontribusi Jawa Tengah
dalam pemilu tidak hanya pada pemilu
2009, tetapi dimulai dari pemilihan
umum 1955. Jawa Tengah menjadi
kajian dalam penelitian ini. Jawa Tengah
yang dimaksud di sini adalah Jawa
Teng a h seb a gai d a erah pemi l ihan
u m u m b uk an s e ba g ai w il ay ah
administratif berdasarkan UU No 7
tahun 1953. Daerah Jawa Tengah sendiri
meliputi Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Ditinjau
dari skala nasional, hasil pemilihan
umum di Jawa Tengah menyumbang
sekitar 23,5% perolehan suara nasional
pada pemilihan anggota parlemen dan
menyumbang 23,9% dalam pemilihan
anggota konstituante. Jumlah suara
yang sah pada pemilihan umum di
daerah Jawa Tengah mencapai 8.901.414
suara untuk pemilihan anggota parle-
men dan 9.051.547 suara saat pemilihan
anggota konstituante (Feith, 1971: 66).
Ini menunjukkan peran penting Jawa
Tengah terhadap suara-suara partai
untuk kemenangan di tingkat nasioal.
Bahkan suara PNI dan PKI tertinggi
untuk tingkat nasional berasal dari Jawa
Tengah dibandingkan perolehan di
daerah-daerah pemilihan lainnya.
Dikaitkan dengan empat partai
pemenang p em il i han umum, J awa
Teng a h pa d a pe m iliha n parl emen
men y umb ang ke mena nga n s e car a
nasional sekitar 35,8% untuk PNI, 11,5
% untuk Masyumi, 25,5% untuk NU,
dan sebagai penyumbang suara terbesar
untuk PKI dengan perolehan suara
37,6% suara nasional. Pada pemilihan
anggota konstituante, untuk tingkat
nasional Jawa Tengah menyumbang
suara 34,9% untuk PNI, 11,4% untuk
Masyumi, 26% untuk NU, dan 36,9%
untuk PKI. Dengan demikian, Jawa
Tengah memiliki kontribusi terhadap
kostelasi dan peta perpolitikan nasional
pada tahun 1950-an.
Peran politik Jawa Tengah dalam
pemilihan umum 1955 menjadi titik
awal perpolitikan yang terjadi di saat
ini. Hal ini karena ada kecenderungan
untuk terjadinya kesinambungan ide-
ologi dari dulu hingga kini. Oleh kare-
na itu, penelitian ini secara spesifik
mencari: (1) Bagaimana pelaksanaan
pemilihan umum 1955 di Jawa Tengah;
(2) Bagaimana peta persebaran politik
pada pemilihan umum 1955 di Jawa
Te n gah; (3) Ba gaimana persaingan
kekuatan politik di Jawa Tengah pada
pemilihan umum 1955;
METODE PENELITIAN
Sebagai penelitian historis, pada
tahap awal, peneliti mencoba mencari
sumber-sumber dalam menjawab per-
masalahan penelitian. Sumber-sumber
terdiri atas sumber primer berupa sum-
ber sezaman seperti arsip tentang kondi-
si masyarakat Jawa Tengah dari aspek
sosial, ekonomi, dan pendidikan pada
tahun 1950-an. Selain itu untuk mencari
data tentang pelaksanaan pemilihan
umum 1955, penulis mencoba untuk
mendapatkan peraturan-peraturan yang
men gat ur pe lak s an a an p e mil iha n
umum yakni Maklumat Wakil Presiden
Mohammad Hatta tanggal 3 November
47
1945, yang berisi anjuran tentang pem-
bentukan partai-partai politik. UUDS
1950, UU No 27 tahun 1948 tentang
Pemilihan Umum, yang kemudian diu-
bah dengan UU No. 12 tahun 1949 ten-
tang Pemilihan Umum, serta UU No. 7
Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum.
Kemudian untuk mencari data tentang
wacana dan berbagai pertarungan waca-
na penulis mencari dari surat kabar
yang terbit menjelang pelaksanaan pem-
ilihan umum, baik pemilihan umum un-
tuk anggota parlemen atau untuk kon-
stituante. Surat kabar yang dijadikan
kajian terdiri atas surat kabar yang
dikeluarkan oleh partai seperti Harian
Ummat milik Masyumi, Suluh Indonesia
milik PNI, Duta Masjarakat milik NU,
dan Harian Rakjat dan Fikiran Rakjat
milik PKI. Selain itu untuk menjaga ob-
jektivitas peneliti menggunakan pula
surat kabar yang terbit secara inde-
penden y ak ni Beri t a Anta r a , Suara
Merdeka dan Tangkas yang mengulas
tentang pelaksanaan kampanye dan
p e m il ih an u m um 1 95 5 . S el ai n
menggunakan sumber primer berupa
arsip dan surat kabar yang terbit men-
jelang pemilihan umum, digunakan pu-
la sumber-sumber sekunder dari buku
dan penelitian yang terdahulu. Buku
dan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain buku tulisan
Herbert Feit berjudul The Indonesian
Election of 1955, The Decline of Constitu-
tional Democracy in Indonesia. Selain itu
digunakan pula penelitian-penelitian
tentang pemilihan umum 1955.
Setelah sumber-sumber diperoleh
peneliti melakukan upaya penilaian ten-
tang keaslian sumber seperti mengamati
hasil cetakan, jenis huruf, usia kertas
dan seb a g ainya . Kem udian unt u k
mengetahui tingkat kredibilitas data
peneliti membandingkan data yang satu
dengan data yang lain, sehingga dapat
diperoleh data dengan tingkat keteran-
dalan yang baik.
Dalam menganalisis data-data
hasil temuan, peneliti menggunakan
pendekatan dari teori komunikasi poli-
tik. Hal ini karena peneliti mencoba un-
tuk mencari bagaimana bentuk-bentuk
komunikasi politik yang dilakukan oleh
partai-partai politik menjelang pemi-
lihan umum. Dengan bantuan dari teori
komunikasi politik peneliti kemudian
dapat menemukan fakta-fakta sejarah
berkaitan dengan pertarungan wacana
yang dilakukan oleh partai politik da-
lam kampanye pemilihan umum 1955.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jawa Tengah Menjelang Pemilu 1955
Provinsi J a w a Tengah a d a l ah
provinsi yang terpadat. Pada tahun 1952
tercatat kepadatan penduduk di Jawa
Tengah yang meliputi Jawa Tengah dan
Yogyakarta adalah 460 jiwa/km
2
, se-
dangkan di Jawa Barat hanya 337 jiwa/
km
2
dan Jawa Timur adalah 346 jiwa/
km
2
. Diperkirakan pada tahun 1955
sekitar 17 juta yang tersebar dalam 32
kabupaten/kota dan 6 karesidenan. Ke-
naikan jumlah penduduk yang sangat
pesat dan kurang diimbangi adanya
lapangan pekerjaan seperti perluasan
areal pertanian menyebabkan sebagaian
besar penduduk mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
(Wicaksono, 2006: 48).
Secara umum, daerah kebudayaan
Jawa, termasuk Jawa Tengah terbagi
menjadi dua yaitu daerah pesisir dan
daerah pedalaman. Masyarakat Jawa
tinggal di desa yang merupakan daerah
atau wilayah hukum yang sekaligus
menjadi pusat pemerintahan tingkat
daerah paling rendah. Pekerjaan utama
masyarakat desa adalah bertani, baik itu
mengolah tanah (untuk daerah peda-
laman) atau mencari ikan (untuk daerah
pesisir). Selain itu ada pula anggota
Kampanye dan Pertarungan… —Tsabit Azinar Ahmad
48
Paramita Vol. 26, No. 1 - Tahun 2016
masyarakat yang berdagang atau men-
jadi pegawai dan pekerjaan-pekerjaan
lain.
Penduduk Jawa Tengah sebagian
besar bermata pencaharian sebagai
pe ta ni d an t i n g g a l di pe de sa an .
Penduduk ini mengembangkan suatu
pemikiran baku yang dapat digunakan
sebagai suatu model untuk melakukan
kegiatan yang dilakukan secara sadar
atau tidak. Pemikiran tersebut juga
merupakan suatu landasan untuk men-
jalankan kedudukan manusia dalam
semesta ini. Termasuk dalam pemikiran
it u y akn i te mpa t m a nu sia d a la m
masyarakat dan sekelilingnya yang juga
me ru p ak an p ik i r a n- pi ki r an y an g
b er h u b un g a n d en g a n p ol i t i k ,
kekuasaan, dan kekuatan. Politik se-
bagai suatu kumpulan konsep-konsep,
aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan
akan dilihat sebagai bagian yang tidak
terpisah dalam struktur sosial Jawa
(Suparlan, 1977: 65).
Sistem kekerabatan orang Jawa
berdasarkan prinsip keturunan bilateral
(Kodiran, 1988: 337). Artinya masyara-
kat Jawa tidak menganut sistem ke-
turunan beradasarkan bapaknya saja
seperti yang ada pada masyarakat Batak
atau manurut ibunya seperti yang ada
pada masyarakat Minang. Hubungan
sosial di desa sebagian besar berdasar-
ka n s i s t em g o t o n g r oy u n g y an g
mengenal berbagai bentuk tradisional.
Sistem ini oleh orang desa dipahami se-
bagai perluasan hubungan kekerabatan
yang memiliki pengaruh kuat atas se-
luruh kompleks hubungan intepersonal
di seluruh desa (Magnis-Suseno, 1984:
18).
Dalam bidang kelas sosial, ter-
dapat golongan-golongan sosial. Mereka
membagi menjadi dua besar golongan
yaitu golongan priyayi dan golongan
wong cilik (Magnis-Suseno, 1984: 344).
Golongan priyayi atau bendara merupa-
kan golongan masyarakat yang diang-
gap memiliki status tinggi seperti pejab-
at, orang kaya atau pegawai, sedangkan
wong cilik adalah mereka yang memiliki
status sebagai warga biasa yang terdiri
dari para petani, pedagang, tukang dan
para pekerja kasar lainnya. Ditinjau dari
aspek keberagamaan masarakat Jawa,
Clifford Geertz membagi lagi golongan
wong cilik menjadi santri dan abangan.
Dalam penentuan dan pemilihan partai
politik, golongan-golongan ini sangat
berpengaruh terhadap pilihan partai,
seperti golongan priyayi lebih cende-
rung untuk memilih PNI, golongan
santri memilih NU dan Masyumi, dan
golongan abangan memilih PKI dan ka-
rena unsur Sukarno yang kental dalam
PNI maka golongan abangan juga me-
milih PNI.
Sebagian besar masyarakat ber-
mata pencaharian sebagai petani. Ber-
dasarkan hal tersebut, mucul klasifikasi
sosial di pedesaan didasarkan a tas
seberapa besar ia menguasai tanah.
Menurut keadaan pertanian di Jawa,
dapat dibedakan kelas-kelas sosial ada-
lah tuan tanah, petani kaya, petani se-
dang, petani miskin, dan buruh tani
(Fauzi, 1999: 124-125).
Pertama, tuan tanah adalah pemi-
lik-pemilik tanah mulai dari sepuluh
h e kt a r k e a t as . M e r e ka t id a k
mengerjakannya sendiri, tetapi me-
nyewakanya pada pihak lain dengan
sewa berupa uan g atau ha sil bumi
secara bagi hasil. Kedua, petani kaya
adalah orang yang memiliki tanah 5-10
hek ta r, tetapi ia ikut mengerjakan
tanahnya sendiri. Meskipun demikian,
mereka lebih senang mempekerjakan
buruh tani daripada pihak lain dengan
bagi hasil. Mereka hidup makmur dari
eksploitasi tenaga buruh tani. Ketiga,
petani sedang meliputi petani yang
m e mi li ki t a n ah 1 - 5 h a . Me r e k a
mengerjakan tanahnya sendiri dengan
alat-alat pertaniannya sendiri. Hasil
perolehan dari usaha taninya mampu
49
menghidupi keluarga. Keempat, petani
miskin dicirikan dengan pemilikan
tanah yang sempit (kurang dari satu
hektar). Kehidupannya tidak cukup
hanya dari hasil taninya. Karenanya,
petani miskin mengerjakan tanah petani
kaya atau tuan tanah dengan cara se-
bagai buruh atau bagi hasil. Kelima, bu-
ruh tani. Mereka pada umumnya tidak
memiliki alat produksi sama sekali. Ke-
hidupannya, bergantung sepenuhnya
pada tenaga yang ia jual. Terutama pada
petani kaya. Buruh tani merupakan satu
ke las sosial yang merupakan kelas
terbawah, yakni pekerja pertanian yang
tak memiliki tanah. Tidak ada data mak-
ro yang diperoleh untuk bisa menggam-
barkan besarnya petani tak bertanah
(buruh tani).
Di Jawa Tengah klasifikasi terse-
but juga berlaku bagi masyarakat di
daerah pedesaan yang berbasis pada
pertani a n . Ber d a sarkan data yang
dihimpun oleh Kementrian Agraria pa-
da 1957, di Jawa Tengah menunjukkan
data sebagaimana pada tabel 1.
Dari klasifikasi tersebut, dapat
dilihat bahwa sebagian besar petani
yang berada di Jawa Tengah adalah
petani miskin dan buruh tani yang men-
ca pai angka 83,41%. Se mentara i t u
jumlah petani sedang mencapai 16,14 %,
sedangkan petani besar berada pada
posisi kurang dari satu persen, yakni
hanya m en c a pa i 0,45%. An g ka ini
me n un j u k ka n b a hw a k e hi d up a n
ekonomi masyarakat Jawa Tengah yang
mayoritas adalah petani, sebagian besar
masih berada pada klasifikasi masyara-
kat miskin.
Usa h a pem erintah d a l am m e -
nan gani kebodohan mulai tampak.
Anak-anak usia sekolah dipaksa untuk
mengikuti sekolah. Sementara di kam-
pung-kampung mulai diadakan kursus
buta aksara. Sekolah-sekolah biasanya
didirikan baru sampai tingkat kabu-
paten, pada tahun 1955 sekolah tersebut
jumlahnya bertambah banyak yang te-
lah menyebar sampai tingkat kecamatan
(Wicaksono, 2006: 52). Namun demikian
penduduk yang berada jauh di desa
enggan mengikuti kegiatan sekolah dan
lebih suka membantu orang tuanya se-
bagai petani atau peternak. Masuknya
tokoh-tokoh politik dan pimpinan per-
juangan sedikit banyak telah memicu
perubahan sosial masyarakat di Jawa
Tengah termasuk Yogyakarta.
Dalam masyarakat Jawa Tengah,
sebagian orang beranggapan bahwa
dengan masuk ke dalam sebuah partai,
mereka bisa memperjuangkan statusnya
atau paling tidak mempertahankannya.
Para tuan tanah, majikan, pegawai
negeri lebih condong untuk memilih
No
Luas Tanah (Ha)
Jumlah Pemilik
Persentase
1
0 - 0.5
956974
59.84
2
0.6 - 1
376875
23.57
3
1,1 - 2
187844
11.75
4
2.1 - 5
70227
4.39
5
5.1 - 10
6373
0.40
6
10.1 - 20
754
0.05
7
> 20
137
0.01
Total
1599184
100.00
Tabel 1. Kepemilikan Tanah Pertanian di Jawa Tengah
Sumber : Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.
Yogyakarta: Insis, KPA, dan Pustaka Pelajar. Hlm 126
Kampanye dan Pertarungan… —Tsabit Azinar Ahmad
50
Paramita Vol. 26, No. 1 - Tahun 2016
PNI dan Masyumi. Sementara itu buruh
perani penggarap dan lainnya condong
ke PKI. PKI menjadi pilihan karena
mereka menjanjikan pembagian tanah,
sehingga menyebabkan konflik tuan
ta n ah d a n P KI . S eme nta ra it u d i
perkotaan banyak terjadi aktivitas poli-
tik dan penerbitan surat kabar-surat ka-
bar (Wicaksono, 2006: 53).
Jawa Tengah boleh dibilang tergo-
long homogen dari segi etnis dan buda-
yanya. Mayoritas penduduknya, 98 per-
sen, bersuku Jawa dan dalam kesehari-
an menggunakan bahasa Jawa. Jawa
Tengah terbagi menjadi dua ”mazhab”
besar, nasionalis dan Islam. Pilihan poli-
ti k nasio n a li s lebih banyak dianut
pe n duduk wilayah pedalaman, se-
dangkan partai-partai yang mengusung
ideologi Islam banyak mendapat tempat
di pesisir utara. Namun, penguasaan
pemilihnya lebih condong ke nasionalis.
Segregasi pilihan politik ini ternyata
bukan hanya bersifat struktural, tetapi
juga bersifat kewilayahan. Pemilahan
wilayah terjadi antara daerah pesisir
utara dan pedalaman. Wilayah utara
banyak dikuasai partai-partai Islam se-
dangkan pedalaman dikuasai oleh par-
tai nasionalis (Syibly, 2009).
Pola kecenderungan politik ini
relatif stabil, tidak berubah, dan sudah
terjadi sejak Pemilu 1955. Ini menunjuk-
kan seakan-akan pola politik aliran yang
terjadi sejak pemilu pertama itu tidak
berubah hingga kini. Politik aliran me-
mang masih kuat, khususnya di Jawa.
Pilihan politik penduduk di wilayah
lebih banyak dipengaruhi faktor ke-
percayaan dan kecurigaan daripada
faktor pilihan program- program yang
ditawarkan partai politik (Syibly, 2009).
Sistem Pelaksanaan Pemilihan Umum
1955
Pemilihan Umum 1955 dianggap
oleh banyak pakar satu-satunya pemi-
lihan umum yang paling dekat dengan
kriteria demokrasi. Pertama, jumlah dan
pengorganisasian organisasi politik
tidak dibatasi. Kedua, pelaksanaan pemi-
lu be n ar- ben a r Lub e r ( Lan gsun g,
Umum, Bebas, Rahasia. Ketiga, plural-
is m e k ehidupan politi k a gak sama
dengan era reformasi sekarang (King,
1998).
Pemilu 1955 adalah wujud dari
keinginan masyarakat Indonesia untuk
menerapkan kehidupan yang demokra-
tis. Rencana untuk mengadakan pemilu
nasional sebenarnya sudah diumumkan
sejak Oktober 1945. Satu bulan kemudi-
an, sebagai persiapan diadakannya
pemilu nasional tersebut, dikeluarkan-
lah Maklumat Pemerintah tentang pem-
bentukan partai-partai politik tanggal 3
November 1945 yang ditandatangani
oleh Wakil Presiden (Poesponegoro &
Notosusanto, 1984: 622; Sekr etariat
Negara, 1975: 56).
Setelah itu kemudian disusun UU
No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemi-
lu, yang kemudian diubah dengan UU
No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di
dalam UU No 12/1949 diamanatkan
bahwa pemilihan umum yang akan di-
lakukan adalah bertingkat (tidak lang-
sung). Sifat pemilihan tidak langsung ini
didasarkan pada alasan bahwa mayori-
tas warganegara Indonesia pada waktu
itu masih buta huruf, sehingga kalau
pemilihannya langsung dikhawatirkan
akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua ta-
hun 1950, ketika Mohammad Natsir dari
Masyumi menjadi Perdana Menteri,
pemerintah memutuskan untuk men-
jadikan pemilu sebagai program kabi-
netnya (Feith, 1962). Sejak itu pemba-
hasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi,
yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo
dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat
sebelum kemudian dilanjutkan ke parle-
men. Pada waktu itu Indonesia kembali
menjadi negara kesatuan, setelah sejak
51
1949 menjadi negara serikat dengan na-
ma Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan
kemudian, pembahasan RUU Pemilu
dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman
Wi rj osandjojo, juga dari Masyu mi.
Pemerintah ketika itu berupaya menye-
lenggarakan pemilu karena pasal 57
UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota
DPR dipilih oleh rakyat melalui pemi-
lihan umum. Tetapi pemerintah Su-
kiman juga tidak berhasil menuntaskan
pembahasan undang-undang pemilu
tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai
dibahas oleh parlemen pada masa
pemerintahan Wilopo dari PNI pada
tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Ta-
hun 1953 tentang Pemilu. UU inilah
yang menjadi payung hukum Pemilu
1955 yang diselenggarakan secara lang-
sung, umum, bebas dan rahasia. Dengan
demikian UU No. 27 Tahun 1948 ten-
tang Pemilu yang diubah dengan UU
No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi
pemilihan bertingkat (tidak langsung)
bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Dalam pemilihan umum tahun
1955, Indonesia menganut sistem multi-
pa r t ai . S i s t e m m u lt i pa r t a i y an g
disandingkan dengan sistem pemerinta-
han parlementer, mempunyai kecender-
u n g an u n t u k m e n i t ik be ra t k a n
kekuasaan pada badan legislatif sehing-
ga peranan badan e ksekutif s e ring
lemah dan ragu-ragu. Hal ini disebab-
kan tidak ada satu partai yang cukup
k u at u n tu k m e mb en t u k s u a tu
pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa
membentuk koalisi dengan partai-partai
lain. Dalam keadaan semacam ini partai
yang tidak berkoalisi harus selalu meng-
adakan musyawarah dan kompromi
deng an p art a i-p a rtai l a inn y a d a n
meng hada p i k e mung k ina n ba hwa
sewaktu-waktu dukungan dari partai
koalisi lainnya dapat ditarik kembali
(Budiardjo, 1977: 169-170).
M a u ri c e D u v e r g e r ( d a l a m
Budiardjo, 1977: 170) menjelaskan bah-
wa pola multipartai umumnya di-
perkuat oleh sistem pemilihan perwaki-
lan berimbang (proportional representa-
tion) yang memberi kesempatan luas
bagi pertumbuhan partai-partai dan go-
longan kecil. Melalui sistem perwakilan
berimbang partai-partai kecil dapat
menarik keuntungan dari ketentuan
ba hw a ke le bi h an su ar a ya ng d i-
perolehnya di suatu daerah pemilihan
dapat ditarik ke daerah pemilihan lain
untuk menggenapkan j umlah suara
yang diperlukan guna memenangkan
satu kursi (Feith, 1971:3).
Dalam pemilihan umum tahun
1955, digunakan sistem pemilihan pro-
porsional. Sistem ini dimaksudkan un-
tuk menghilangkan beberapa kelemah-
an dari sistem distrik. Gagasan pokok
ialah bahwa ju mlah ku rsi yang di-
peroleh oleh suatu golongan atau partai
adalah sesuai dengan jumlah suara yang
di perolehny a. Untuk kepe rluan ini
ditentukan suatu perimbangan, misal-
nya 1: 40 0. 000 y a ng bera rt i bah w a
sejumlah pemilih tertentu (dalam hal ini
400.000 pemilih) mempunyai satu wakil
dal am d e wan p erw a ki l an r a kya t.
Jumlah total anggota dewan perwakilan
rakyat ditentukan atas dasar perim-
bangan (1:400.000) itu. Negara dianggap
sebagai satu daerah pemilihan yang be-
sar, akan tetapi untuk keperluan teknis-
administratif dibagi dalam beberapa
daerah pemilihan yang besar (yang
lebih besar dari distrik dalam sistem
distrik), di mana setiap daerah pemilih-
an m emiliki sejumlah wak il sesuai
dengan banyaknya pendduk dalam dae-
rah pemilihan itu. Jumlah wakil dalam
setiap daerah pemilihan ditentukan oleh
jumlah pemilih dalam daerah pemilihan
itu, dibagi dengan 400.000 (Budiardjo,
1977: 177-180).
Dalam sistem ini setiap suara dihi-
tung, dalam arti bahwa suara lebih yang
diperoleh oleh suatu partai atau go-
Kampanye dan Pertarungan… —Tsabit Azinar Ahmad
52
Paramita Vol. 26, No. 1 - Tahun 2016
longan dalam suatu daerah pemilihan
dapat ditambahkan pada jumlah suara
yang diterma oleh partai atau golongan
itu dalam pemilihan lain, untuk meng-
genapkan jumlah suara yang diperlukan
guna memperoleh kursi tambahan. Sis-
tem p erwakil a n ber i mbang serin g
diko m bin a sika n d e ngan be b erap a
prosedur antara lain dengan sistem
daftar (list system). Dalam sistem daftar
setiap partai atau golongan mengajukan
satu daftar calon dan si pemilih satu
partai dengan semua calon yang di-
ajukan oleh partai itu bermacam-macam
kursi yang sedang direbutkan. Sistem
ini memiliki satu keuntungan besar,
yakni bahwa dia bersifat representatif
dalam arti bahwa setiap surat suara
turut diperhitungkan dan praktis tidak
ada suara y an g hilang. Golongan-
golongan bagaimana kecilpun dapat
mendapatkan wakilnya dalam badan
perwakilan rakya. Masyarakat yang het-
erogen sifatnya, umumya lebih tertarik
pada sistem ini karena dianggap lebih
menguntungkan masing-masing go-
longan (Budiardjo, 1977: 177-180).
Secara spesifik, sistem proporsion-
al yang digunakan adalah Sistem Per-
wakilan Berimbang dengan s i s t e m
daftar t e rbuka ( Open List Syste m ).
Dengan sistem ini para pemilih tidak
hanya memilih partai tetapi juga mem-
ilih calon yang dikehendaki. Pemilih
di s amping mencoblos gamba r j uga
mencoblos nama calon yang dikehen-
daki. Bergantung pada berapa kursi
yang disediakan untuk distrik tersebut.
Kelebihan sistem ini adalah para pe-
milih yang menentukan calon, bukan
pemimpin partai yang lebih menen-
tukan calon mana yang di kehendaki
dan calon mana yang ditolak (Friyanti,
2005: 33).
Dalam pemilihan umum 1955, ber-
dasarkan UU No. 7 tahun 1953 tentang
Pemilihan Anggota Konstituante dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
pasal 15 ayat 1 dinyatakan pemilihan
umum untuk terbagi atas beberapa dae-
rah pemilihan, yakni (1) Jawa Timur,
(2) Jawa Tengah, (3) Jawa Barat, (4) Ja-
karta Raya, (5) Sumatera Selatan, (6) Su-
matera Tengah, (7) Sumatera Utara, (8)
Kalimantan Barat, (9) Kalimantan Se-
latan, (10) Kalimantan Timur, (11) Sula-
we s i U ta ra- T en g ah ( 1 2) S u law esi
Tenggara-Selatan, (13) Maluku, (14)
Sunda-Kecil Timur, (15) Sunda-Kecil
Barat, dan (16) Irian Barat.
Anggota Konstituante dan ang-
gota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih
oleh warganegara Indonesia, yang da-
lam tahun pemilihan berumur genap 18
tahun atau yang sudah kawin lebih da-
hulu, termasuk golongan militer dan
polisi. Namun demikian, dalam UU no 7
tahun 195 3 juga dij e l as ka n bahwa
seorang tidak diperkenankan menjalan-
kan hak-pilih, apabila ia (1) tidak ter-
daftar dalam daftar-pemilih, (2) dengan
putusan pengadilan, yang tidak dapat
diubah lagi, sedang dalam keadaan
dipecat dari hak-pilih, (3) dengan pu-
tusan pengadilan, yang tidak dapat diu-
bah lagi, sedang menjalani hukuman
penjara atau kurungan, termasuk di da-
lamn ya k urun g an p eng g ant i , d a n
(5) nyata-nyata terganggu ingatannya.
Pemilihan umum pertama yang dil-
aksanakan di seluruh tanah air kecuali
Irian Barat memperebutkan 257 kursi
DPR dengan jumlah pemilih sebanyak
43.104.464 orang (Feith, 1971).
Persiapan untuk pemilihan umum
te la h di ad ak a n o le h Ka bi ne t A l i
Sastroamijoyo I (31 Juli 1953–12 Agustus
1955). Sebelumnya setelah pengesahan
undang-undang tentang pemilu, diben-
tuklah Panitia Pemilihan Indonesia (PPI)
melalui keputusan Presiden Republik
Indonesia tertanggal 7 November 1953,
PPI dilantik dan diangkat sumpahnya
oleh kepala negara pada tanggal 28 No-
vember 1953. Dilanjutkan dengan serah
terima dengan Kantor Pemilihan Pusat
53
pada tanggal 3 Desember 1953. S Had-
ikusumo dari PNI terpilih sebagai ketua
PPI. Anggota-anggoanya dipilih dari
berbagai partai, yakni NU, PSII, PRI,
PRN, Partai Buruh, BTI, Perti, Parkindo
(Feith, 1962: 384).
Hal-hal yang dipersiapkan antara
la i n memb en tuk panitia pemilihan
umum, baik untuk pusat maupun untuk
daerah, menetapkan daerah pemilihan
dan daerah pemungutan suara. Pada
tanggal 16 April 1955 diumumkan bah-
wa pemilihan umum akan dilaksanakan
pada tanggal 29 September 1955 untuk
memilih anggota DPR dan tanggal 15
Desember 1955 untuk memilih anggota
konstituante. Dengan adanya pengu-
muman tersebut maka partai politik
mulai berkampanye untuk menarik sim-
pati rakyat (Feith, 1962: 46). Namun
demikian, pada pemilihan untuk parle-
men direncanakan serempak pada tang-
gal 29 September, tetap ada beberapa
wilayah yang tidak dapat menjalankan
pada hari tersebut. Untuk mengatasi hal
itu, maka diberikan putusan bahwa dae-
rah yang tidak sanggup melaksanakan
pemilihan pada tanggal 29 September
1955 mendapatkan dispensasi selama
dua bulan sampai tanggal 29 November
untuk melaksanakan pemilihan umum.
Daerah-daerah yang masih belum siap
antara lain Aceh Barat, Aceh Timur,
Aceh Utara, Riau, Bengkalis, Batanghari,
Sanggau, Kapuas Hulu, Barito, Kota-
waringin, Kotabaru, Bulungan, Poso,
Donggala, Manggarai, Maluku Utara,
Maluku Tenggara, dan lain-lain (Suara
Merdeka, 9 September 1955).
D a la m r a n gk a m e ng ha d ap i
pelaksanaan pemilihan umum, Jawa
Tengah melalui ketua Panitia Pemilihan,
Rustamadji, menyatakan bahwa Jawa
Tengah telah siap untuk menyeleng-
garakan pemilihan umum untuk parle-
men tanggal 29 September 1955. Lebih
lanjut lagi dinyatakan bahwa pada pe-
milihan umum 1955, jumlah penduduk
Jawa Tengah adalah 17.602.101 dan
yang terdaftar sebagai pemilih adalah
10.120.962. Di Jawa Tengah terdapat
sekitar 16.209 tempat pemungutan suara
(Suara Merdeka, 10 September 1955).
Peserta pemilihan umum dari ka-
langan Partai atau organisasi adalah 28
untuk parlemen, dan 34 untuk majelis
konstituante. Peserta pemilihan umum
1955 dapat digolongkan berdasarkan
ideologinya (Pabotinggi, 1998: 43). Per-
tama, partai politik yang beraliran na-
sionalis yaitu partai politik peserta pem-
ilihan umum 1955 yang beraliran na-
sionalis antara lain Partai Nasional In-
donesia (PNI), Ikatan Pendukung Ke-
merdekaan Indonesia (IPKI), Gerakan
Pembela Pancasila, Partai Rakyat Na-
sional, Persatuan Pegawai Polisi Repub-
lik Indonesia (PPPRI), Partai Buruh, Par-
tai Rakyat Indonesia, PRIM, Partai R.
Soedjono Prawirosoedarso, Partai Indo-
nesia Raya Wongsonegoro, Partai Indo-
nesia Raya Hazairin, Persatuan Rakyat
Marhaen Indonesia (PERMAI), Partai
Persatuan Daya.
Kedua, partai politik yang bera-
liran Islam. Partai politik peserta pemi-
lihan umum 1955 yang beraliran Islam
antara lain Masyumi, Nahdlatul Ulama
(NU), Partai Serikat Islam Indonesia
(PSII), Partai Islam Perti, AKUI, Partai
Politik Tharikat Islam (PPTI). Ketiga,
Partai politik yang beraliran komunis.
Partai peserta pemilihan umum yang
beraliran komunis antara lain Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan ACOMA.
Keempat, partai politik yang berali-
ran sosialis. Partai yang beraliran sosial-
is antara lain Partai Sosialis Indonesia
(PSI), Partai Murba, Partai Rakyat Desa
dan Baperki. Kelima, partai yang berali-
ran Kristen/Nasrani, yakni partai peser-
ta pemilihan umum yang beraliran Kris-
ten/Nasrani antara lain Partai Kristen
In d one si a ( P ar kin do) , d an Pa rta i
Katolik.
Da l am pemilihan umum total
Kampanye dan Pertarungan… —Tsabit Azinar Ahmad
54
Paramita Vol. 26, No. 1 - Tahun 2016
pengeluaran sekitar 550 juta, padahal
pada mulanya ditaksir hanya sekitar 300
juta (Tangkas, 29 Agustus 1955). Di Jawa
Tengah sendiri, sampai tiga minggu
sebelum pelaksanaan pemilihan umum,
total pengeluaran telah mencapai 25
juta. Uang tersebut digunakan untuk
distribusi alat-alat, biaya bangunan
yang me n capai 4. 2 0 0.000, o n gk os -
ongkos pelatihan senilai 462.000, dan
sebagainya (Suara Merdeka, 10 Agustus
1955).
Ka m pa ny e Pe mi l u 1 95 5 di J aw a
Tengah: Wacana 4 Partai Terbesar
Partai Nasional Indonesia (PNI)
sebelum pelaksanaan pemilihan umum
dianggap merupakan partai terbesar
kedu a . Se l a ma r ev olus i par t ai i n i
b e r ke m b an g l u a s b e r l an d a s k a n
dukungan terutama dari elit admin-
istratif dan dari abangan kaum tani pada
Jawa dan mengandung satu jangkauan
luas dengan sudut pandang ideologis.
PNI memiliki padangan utama yakni
Marhaen atau “nasionalisme prole-
tar” (Cribb & Kahin, 2004: 324-325).
Wacana utama yang dimunculkan
oleh PNI pada dasarnya adalah mar-
haenisme. Ideologi ini lahir pada tang-
gal 4 Juli 1927 (Suluh Indonesia, 4 Juli
1955). Marhaenisme merupakan ideolo-
gi yang tumbuh subur di Indonesia. Pa-
da dasarnya, marhaenisme menekankan
p a da a sp e k k ema nd ir i a n da l a m
berbagai aspek yang diawali dalam hal
pangan. Marhaenisme menjadi core
frame yang melandasi berbagai wacana
ya n g k emudian dikem b angkannya.
Bahkan karena begitu kuatnya marhaen
dalam PNI, di lambang PNI tertulis tuli-
san “FRONT MARHAENIS”. Istilah ini
merupakan konsep diadopsi oleh Sukar-
no untuk melihat bagaimana realitas
sejumlah besar dari Indonesia, terutama
petani mandiri, yang walaupun sangat
miskin dan ditekan oleh kapitalisme ko-
lonial, adalah pemilik yang mandiri dan
tidak termasuk orang yang proletar
(Cribb & Kahin, 2004: 259).
Dari co re fr a me te n tan g ma r -
haenisme yang dikampanyekan dalam
berbagai programnya, ada beberapa
wacana lain yang juga dikampanyekan
oleh PNI. Selain mengangkat tentang
marhaenisme, PNI juga mengampanye-
kan bahwa PNI memiliki kedekatan
secara kultural dengan Sukarno sebagai
pencetus paham marhaenisme. Dalam
s a l a h s a t u t er b i t a n n y a b a h k a n
mengangkat judul besar yang bertulis-
kan “Bung Karno udah Pasti Tusuk
Tanda Gambar PNI”. Hal ini dinyatakan
oleh “S” bahwa dalam pemilihan umum
yang akan datang Bung Karno sudah
pasti memilih tanda gambar PNI (Suluh
Indonesia, 15 September 1955). Wacana
tentang Bung Karno sebagai kader dari
PNI merupakan sebuah wacana yang
sangat penting dan efektif untuk men-
jaring suara dari kalangan masyarakat
bawah, terutama di Jawa Tengah yang
se b ag i an m as y ar a ka t ny a ad al ah
masyarakat yang hidup di kawasan
pedalaman dan cenderung lebih bersifat
ko n f o rm is da n a g ra ri s d a r i pa da
masyarakat pesisir yang dinamis. Ini
pulalah yang dimungkinkan menjadi
faktor penentu kemenangan PNI yang
sangat signifikan di Jawa Tengah.
Partai komunis Indonesia (PKI)
yang dihancurkan namun tidak dilarang
pada tahun 1948, hampir siap muncul
kembali secara paling menakjubkan da-
lam sejarahnya yang berganti-ganti. Pa-
da awal perkembangannya setelah peri-
stiwa Madiun, PKI masih merupakan
partai yang kecil akan tetapi sangat
disiplin dan efektif. Aktivitasnya me-
lingkupi kalangan proletariat di kota-
kota maupun di kalangan buruh-buruh
baik di kota maupun yang bekerja di
bi d ang pertanian . K alangan petani
inilah yang banyak mendapat perhatian
55
dari PKI (Feith, 1971:9).
Dari gambaran tersebut, ideologi
marxisme menjadi landasan PKI, se-
hingga core frame yang diangkat adalah
tentang masalah rakyat. Di banyak kam-
panye yang dilakukan kata “rakyat”
menjadi satu faktor yang melingkupi
wacana kampanyenya dan janji serta
program yang ditawarkan. Hal ini jelas
tampak dari nama surat kabar yang
digunakan sebagai alat gerak partai,
seperti Harian Rakjat dan Fikiran Rakjat.
Menjelang pemilihan umum, PKI
semakin aktif dalam melakukan kampa-
nyenya. Bagi PKI pemilu merupakan
sebuah konkretisasi dari gerakan rakyat
atau revolusi nasional pada waktu itu.
Pemilu adalan gerakan politik, gerakan
rak y at yan g l uas un tuk me mpe r -
juan gk a n nasi bn y a sendiri (Harian
Rakjat, 15 Januari 1955).
Wacana yang dikeluarkan oleh
PKI juga dengan menunjukkan kebe-
saran partai dengan menonjolkan se-
jarahnya. Pada Harian Rakjat tanggal 23
mei terdapat pidato aidit tentang sejarah
PKI yang menonjolkan perannya dalam
memperjuangkan kaum buruh (Harian
Rakjat, 23 Mei 1955).
U n t u k m en a r i k s i m p a t i d i
berbagai lapisan masyarakat, seperti
pemuda, ibu-ibu, seni dan sebagainya
dengan menerbitkan tulisan-tulisan
khusus “… menangkan PKI untuk hak-
hak dan tingkat hidup pemuda yang
lebih baik, pemuda harus memberikan
suaranya dalam pemilihan ini kepada
wakil-wakil yang akan sanggung mem-
perjuangkan tuntutan mereka, kebeba-
san berpolitik, berorganisasi, dan be-
ragama bagi pemuda, perbaikan upah,
kenaikan gaji, perluasan lapangan kerja,
berolah raga, kesenian, pembasmian di
rii dan berbagai unsur yang melakukan
sabotase, korup, dan kolonial di ka-
langan aparat negara” (Harian Rakjat, 23
Mei 1955).
Partai dengan perolehan tertinggi
ketiga di Jawa Tengah adalah NU. Da-
lam rapat NU pada tanggal 5 April 1952
di Surabaya diputuskan untuk keluar
dari Masyumi. Jika partai lain khu-
susnya partai-partai besar mempunyai
waktu yang cukup lama berdiri sebagai
partai politik, karena itu lebih cukup
wak t u dan kesempatan mengapre-
siasikan politik dan pengaruh kepada
rakyat, maka NU hanya mempunyai
waktu sekitar tiga tahun saja (PCINU
Mesir, 2010). Dalam waktu tiga tahun
inilah, NU mulai mengintensifkan kam-
panye untuk meraih suara rakyat. NU
merupakan partai dengan basis Islam
tradisional dengan massa yang berasal
dari kalangan santri pedesaan. Inilah
yang menjadi core frame dalam wacana-
wacana NU pada saat kampanye, yakni
ideologi NU tentang Islam yang menga-
nut paham ahlussunah wal jamaah. NU
sebagai organisasi Islam tradisional tapi
moderat memiliki pandangan tentang
Islam keindonesiaan. Inilah wacana-
wacana yang dikembangkan dan men-
jadi landasan dalam wacana-wacana
lainnya. Ini terutama sangat tampak
dari jargon yang dimiliki oleh Duta
Masyarakat sebagai surat kabar under-
b o u w N U y a n g m e n y e b u t k a n
”pendukung cita-cita kerja sama Islam-
nasional” (Duta Masyarakat, 19 Septem-
ber 1955).
Pendekatan agama menjadi satu
sarana yang dilakukan oleh NU untuk
menjaring suara pada pemilihan umum
1955. Pesantrn-pesantren menjadi tem-
pat yang efektif untuk menyebarluaskan
pengaruh partai. Hal ini tampak dengan
pemanfaatan pesantren sebagai basis
masa bagi NU, seperti ketika dilakukan
konferensi alim ulama seluruh Jawa
Tengah yang dilaksanakan di pondok
Watucongol, Muntilan yang dihadiri
lebih kurang 150 alim ulama, 100 penin-
jau dan kurang lebih 10.000 orang (Duta
Masyarakat, 19 September 1955).
De ngan core frame Islam yang
Kampanye dan Pertarungan… —Tsabit Azinar Ahmad
56
Paramita Vol. 26, No. 1 - Tahun 2016
keindonesiaan, partai NU didirikan un-
tuk mem p e rjuangka n pelaks a naan
m as y a r a ka t I s l a m d a n u n t u k
melindungi m a syarak at Islam d a n
masyarakat lain pada umumnya. Se-
bagai partai yang berlandaskan agama,
maka kampanye yang dilakukan tidak
”segarang” kampanye yang dilakukan
oleh partai sekuler.
Ma s y u m i m er u p a k a n pa rt ai
dengan perolehan suara terkecil di anta-
ra empat partai besar pemenang pemilu
di Jawa Tengah. Masyumi mewakili
kepentingan-kepentingan Islam dan di-
anggap merupakan partai yang terbesar
di negara ini, walaupun sampai terse-
lenggarakannya pemilihan umum, hal
ini hanya dapat menjadi anggapan
belaka. Partai ini tidak terorganisasi
secara teratur, dan mengalami per-
pecahan utama di dalamnya antara para
pemimpin Islam ortodoks dan modernis
(Ricklefs, 2005: 477).
Core frame yang digunakan oleh
masyumi dalam menyampaikan waca-
na-wacana kampanyenya adalah Islam.
Islam yang dimaksud di sini adalah Is-
lam yang bersifat modernis. Hal ini ka-
rena basis massa dari Masyumi adalah
ka l angan santri perkotaan. Namun
demikian, isu ini just ru digunakan
lawan-lawan politik dari Masyumi un-
tuk men j at uh ka n Mas y u m i bahw a
Masy umi me rupa kan pa r tai ya n g
menghendaki perubahan menjadi nega-
ra Islam. Oleh karena itu, dalam tiap
melontarkan wacana dalam kampanye
Masyumi juga selalu mengaitkan bahwa
perjuangan Masyumi juga untuk te-
gaknya proklamasi.
Oleh karena Islam adalah sebagai
core frame dalam tiap wacana yang
dikemukakan, maka menjelang pamili-
han umum Masyumi Jawa Tengah
mengeluarkan fatwa yang ditujukan
kepada seluruh umat Islam, khususnya
keluarga masyumi untuk melakukan
amalan menuju taqarrub ilallah. Seperti
anjuran untuk solat malam, membaca
doa-doa tertentu, memperbanyak mem-
baca Quran, berpuasa sunah, terutama
pada Senin tanggal 26 September 1955
dan diikuti dengan gerakan sodaqoh, me-
perkuat ukhuwah islamiyyah dengan jalan
menjalin silaturaim dan tolong meno-
long, waspada terhadap golongan yang
tidak mengenal tuhan, menjalin persatu-
an, dan membulatk an tekad (Suara
Merdeka, 24 September 1955).
Kampanye yang secara massif di-
lakukan oleh partai-partai politik telah
menetapkan PNI sebagai partai dengan
suara terbanyak, kemudian disusul oleh
PKI, NU, dan Masyumi. Hasil pemilu
untuk parlemen di Jawa Tengah ter-
dapat pada tabel 2.
Pertarungan Politik Kampanye Pada
Pemilu 1955
Kehidupan partai politik men-
jelang diselenggarakannya pemilu ba-
nyak diwarnai oleh pertentangan poli-
tik, terutama oleh partai-partai besar.
Pa rt ai p o l i ti k b er up ay a m en ca ri
dukungan massa dengan menyeleng-
garakan kampanye. Metode dan teknik
kampanye yang digunakan oleh partai-
partai politik peserta pemilu sangat be-
ragam. Pertemuan-pertemuan diseleng-
garakan di semua tingkat, di alun-alun
kota atau balai desa dengan para pem-
bicara dari Jakarta atau tokoh partai
setempat. Pemutaran film, perayaan
hari besar agama, perayaan ulang tahun
atau pawai, tanda-tanda gambar partai
di berbagai tempat, dan lain-lain. Bagi
sebagian besar partai semua ini merupa-
kan upaya untuk menambah jumlah
anggota tapi bagi sebagian lagi kegiatan
ini merupakan kegiatan sambil lalu
dengan menyebarkan surat kabar serta
pamphlet partai (Feith, 1971: 31). Kam-
panye pemilu dengan cara menyeleng-
garakan rapat-rapat raksasa antara keti-
57
ka partai itu berjalan seru, mereka saling
menvela, kadang-kadang dengan nada
sangat tajam. Mereka tak peduli apakah
hal-hal tersebut ditujukan kepada
seseorang yang sedang menjabat men-
teri, anggota parlemen, atau orang biasa
(Moedjanto, 1988: 91).
Pada bulan april 1953, undang-
unda n g t e ntan g pem ilih a n um um
akhirnya disahkan. Untuk pertama kali-
nya, para politisi Jakarta kini mulai
bekerja membangun dukungan massa
yang akan memberikan suara. Dalam
usaha mencari dukungan rakyat itu,
mereka menggunakan banyak daya
ta rik ideologis yang meningkatkan
ketegangan masyarakat-masyarakat di
desa-desa. Pada akhirnya partai Islam di
tingkat bawah menghendaki sebuah
negara yang didasarkan pada hukum
Islam. Partai-partai sekuler terutama
PNI dan PKI berusaha mengaitkan
Ma s y um i d engan Darul Islam dan
mengubah Pancasila lebih sebagai slo-
gan anti-Islam daripada falsafah penga-
yoman seperti yang dikehendaki Sukar-
no. Se l ama lebi h da r i d u a t a hun,
kek ac a uan p o lit ik da n kek era san
meningkat,dan diharapkan oleh banyak
orang bahwa pemulihan-pemulihan ter-
sebut akan menghasilkan suatu struktur
politik yang kokoh untuk masa menda-
tang (Ricklefs, 2005: 488).
PNI, Masyumi, NU, dan PKI ada-
lah rival yang bersaing secara ketat, se-
hingga tidak jarang terjadi brebagai
gesekan antara keempat partai tersebut.
PNI terang-terangan menolak Darul Is-
lam. Begitu pula antara Masyumi dan
NU dengan nasionalis atau komunis.
Semuanya diungkapkan secara gam-
blang, termasuk dalam rapat akbar un-
tuk menggaet pemilih (Tempo 13/XXVIII
31 Mei 1999).
Petarungan wacana yang tajam
terjadi terutama antara PNI-Masyumi,
PKI-Masyumi, dan PNI-PKI. Sementara
itu antara partai-partai Islam p e r -
tarungan wacana tidak terlalu tajam ka-
rena di antara partai-partai Islam di-
lakukan kesepakatan untuk menjaga
ukhuwah islamiyyah. Pada tanggal 15 Juni
pimpinan PSII, NU, Masyumi, dan Perti
menginstruksikan kepada keluarga par-
tai mas i ng-masing untuk menja g a
dengan sungguh-sungguh agar perbe-
daan paham di lapangan politik jangan
sampai merusak ukhuwah islamiyyah
yang dituangkan dalam satu pernyataan
untuk tidak saling menyerang dalam
menghadapi pemilihan umum tahun
1955 (Suara Merdeka, 16 Juni 1955).
Namun demikian, walaupun ter-
dapat pernyataan tidak saling serang
bukan berarti menghilangkan per-
tarungan wacana. Di antara partai-
partai Islam pertarungan wacana terse-
but terjadi, seperti ketika harian Duta
Masjarakat mengeluarkan berita tentang
Kiai Asnawi dari NU yang namanya
di c atut menjadi bagian d ari partai
Masyumi (Duta Masjarakat, 2 September
1955). Walaupun telah ada kesepakatan
di beberapa kawasan ternyata kesepaka-
tan itu tidak berjalan, sehingga muncul
sa li ng s er an g d an b er ta h a n. N U
mengkritik bahwa ada golongan yang
pro-Islam ternyata anti ulama dengan
menjatuhkan nama beberapa ulama. Hal
ini diungkapkan oleh Idam Chalid da-
lam pidatonya beberapa hari menjelang
pemilihan legislatif (Duta Masjarakat, 19
September 1955).
Dari pertarungan wacana yang
terjadi, tampaknya Masyumi menjadi
partai yang mendapatkan berbagai se-
rang bertubi-tubi dari rival politiknya,
terutama dari PNI. PKI juga turut men-
jadi bagian yang melakukan kritik ter-
hadap Masyumi. Dalam menjalankan
perjuangannya, PKI dikenal sebagai se-
buah partai yang selalu mengambil jalan
dan cara apapun, asal tujuan tercapai.
Tak terke c ua li dalam me n gh a da pi
lawan-lawan politiknya menjelang pe-
milihan umum PKI terus mencela se-
Kampanye dan Pertarungan… —Tsabit Azinar Ahmad
58
Paramita Vol. 26, No. 1 - Tahun 2016
bagaian besar partai-partai nasionalis,
dan keagamaan sebagai partai-partai
kaum imperialis. Harian Rakjat selalu
me n u li s s e g a l a m ac a m t i n da ka n
masyumi yang dianggap salah, seperti
Masyumi tidak anti-Belanda, tidak anti
kolonialisme, tidak anti gerombolan
subversif seperti gerakan DI/TII. PKI
ju ga m en ud uh Ma s y um i m en ya -
lahgunakan agama, dan masyumi ber-
niat mengganti RI dengan bentuk nega-
ra lain yang dinamakan Darul Islam.
Dalam sebuah kampanyenya, secara ter-
ang-terangan bahkan ditulis “cegah ke-
menangan Masyumi dalam pemilihan
umum nanti dan pilihlah partai yang
membela kepentingan nasional: PKI dan
p a r t a i - p a r t a i d e m o k r a s i
lainnya.” (Khotimah, 2003: 61). Per-
nyataan PKI ini juga terdapat pada hari-
an F ikiran Rakjat yang men y atakan
secara terang-terangan untuk menga-
lahkan Masyumi dan PSI karena diang-
gap sebagai partai penguasa yang telah
mengakibatkan krisis yang memuncul-
kan penderitaan rakyat (Fikiran Rakjat,
28 September 1955). Menghadapi waca-
na t er se bu t, M as yu mi k em ud i a n
melakukan counter seper t i dengan
menyatakan bahayanya perkembangan
komunisme dengan menunjukkan data
kesejarahan (Suara Ummat, 3 Oktober
1955). Masyumi juga melakukan upaya
counter dengan menyebutkan bahwa
PKI telah melakukan upaya pemecahbe-
lahan antara NU dan Masyumi (Suara
Ummat, 3 Desember 1955).
Antara PNI dan PKI juga terdapat
pertarungan yakni ketika muncul per-
nyataan yang menyatakan bahwa PNI
adalah musuh besar PKI. Pernyataan ini
di ungkapkan oleh Tony Wen yang
m e n y a ta ka n b ah wa s os ia li sm e
(marhaenisme) yang dianut oleh PNI
berbeda dengan sosialisme yang dianut
oleh PK I , di m a na sosial i sme PKI
mengarah pada internasionalisme yang
tidak mencintai tanah air (Suara Ummat,
30 November 1955).
Perang wacana yang paling panas
adalah antara PNI dan Masyumi. Per-
tarungan antara dua kekuatan terkuat
ini makin memanas ketikaterjadi peru-
bahan dari kabinet Ali Sasatroamidjojo
yang berasal dari PNI ke Burhanudin
Harahap dari Masyumi, di mana tidak
satupun orang PNI dimasukkan dalam
kabinet. Saling serang dan bertahan di-
lakukan oleh kedua partai tersebut. PNI
selalu melakukan upaya penyerangan
terhadap kinerja kabinet Burhanudin
Harahap. Selain itu dalam Suluh Indone-
sia disebutkan bahwa Masyumi mem-
pr op a g a n d a k an b ah wa p er in ta h-
perintah dari pamong desa dari PNI ti-
dak usah ditaati karena orang yang
berkuasa adalah orang Masyumi (Suluh
Indonesia, 7 September 1955). Selain itu
ada pula wacana tentang pencatutan
Bung Karno oleh orang-orang Masyumi
(Suluh Indonesia, 5 September 1955). Hal
yang paling sering diangkat dalam
waca n a-wac an a u n tuk meny e rang
Ma s yum i ad ala h wa c an a t en tan g
Masyumi akan mengubah ideologi In-
donesia menjadi negara Islam. Hal ini
tampak pada beberapa terbitan dari
Suluh Indonesia (Suluh Indonesia, 20 dan
26 September 1955).
SIMPULAN
Dala m ra ngka me n ingk atka n
perolehan suara rakyat, partai-partai
politik melakukan upaya-upaya untuk
memenangkan pemilihan umum tahun
1955. Upaya tersebut diimplementasi-
kan dalam pelaksanaan kampanye un-
tuk menarik perhatian. Wacana-wacana
be rhamburan sebagai upay a un tuk
mengambil hati rakyat. Empat besar
partai pemenang pemilihan umum, yak-
ni PNI, Masyumi, NU, dan PKI, juga
terlibat secara aktif dalam kampanye.
Masing-masing memiliki pendekatan
59
dan sa s a ra n yang telah d i petakan
sedemikian rupa. Wacana utama yang
diangkat oleh PNI adalah marhaenisme
yang menekankan pada kemandirian.
Sementara itu Masyumi mengangkat
wacana utama tentang partai Islam yang
membawa kebenaran Tuhan. Sementara
itu NU yang juga partai Islam memba-
wa konsep tentang Islam yang keindo-
nesiaan. Dan PKI membawa wacana
tentang kerakya tan dalam bingkai
marxisme.
Dalam rangka menarik simpati
masyarakat tersebut, tak jarang partai-
partai tersebut mengalami pertarungan
wacana. Hal ini terjadi pula pada partai
empat besar pemenang pemilu 1955.
Pertarungan wacana terutama terjadi
antara PNI-Masyumi, PKI-Masyumi. Di
Jawa Tengah, wacana-wacana partai
dan pertarungannya juga mewarnai
pro ses k amp a nye m e nj e la n g ha r i
pemungutan suara. Partai-partai lain
menganggap Masyumi sebagai rival,
sehingga serangan bertubi-tubi datang
menyerang Masyumi.
DAFTAR PUSTAKA
Antara , 25 Desember 1955
Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk
2010. Dalam http://sp2010.bps.go.id/
(diakses 14 Januari 2015).
Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Jakarta: Gramedia.
Buletin Bawaslu, 2 Februari 2014.
Cr i b b , Ro b e r t & Au d r e y Ka h i n . 2 0 0 4.
Historical dictionary of Indonesia. Mary-
land: The Scarecrow Press, Inc. Duta
Masjarakat, 19 September 1955
Duta Masjarakat, 2 September 1955
Duta Masjarakat, 19 September 1955
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dina-
mika Perjalanan Politik Agraria Indone-
si a . Yogyakarta: Insis , K P A , d a n
Pustak Pelajar. Hlm. 124-125
Feith, Herbert 1962. The Decline of Constitu-
tional Democracy in Indonesia. Itacha:
Cornell University Press.
-------. 1971. The Indonesian Election of 1955.
New York: Modern Indonesia Project,
Southeast Asia Program, Cornell Uni-
versity.
Fikiran Rakjat, 28 September 1955
Friyanti, Fiska. 2005. “Pelaksanaan Pemi-
lihan Umum dalam Sejarah Nasional
Indonesia”. Skripsi. Jurusan Sejarah
FIS Universitas Negeri Semarang.
Harian Rakjat, 15 Januari 1955.
Harian Rakjat, 23 Mei 1955.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum No-
mor: 411 / Kpts/ KPU/Tahun 2014
Tentang Penetapan Hasil Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dan De wan Perwakilan
Rakyat Da er a h Kab u p a t en/Kota
Secara Nasional Dalam Pemilihan
Umum Tahun 2014
Khotimah, Siti. 2003. “Peranan Pers dalam
Perjuangan Partai Politik pada Masa
Demokrasi Liberal 1950-1959 (Sebuah
Tinjauan terhadap Suluh Indonesia
dan Harian Rakjat)”. Skripsi. Jurusan
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universi-
tas Negeri Semarang.
King, Dwight Y. 1998. Seandainya Sistem
Distrik Berlaku pada Pemilu 1955. Da-
lam http://www.sea site .niu.edu /
indonesian/ Reformasi/Perspektif/
sean45.htm
Kodiran. 1988. “Kebudayaan Jawa”. Dalam
Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan
Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan. Hlm. 337
Magnis-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa:
S e bu a h A na l i sa F a l sa f i t e nt a ng
Kebij aksa naan Hidup Jawa. Jakarta:
Gramedia.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia abad ke 20.
Yogyakarta: Kanisius.
Pabottingi, Mochtar. 1998. Menggugat Pemili-
h a n Um um O r de Ba r u. J a ka rt a :
Yayasan Obor Indonesia.
PCINU Mesir. 2 0 10. NU dan Pemilh a n
U m u m , d a l a m h t t p : / / p c i n u -
mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/
i s p u s t a k a / b u k u 0 2 / 0 0 4 _ 4 . t x t
diunduh 4 Januari 2010.
Po e sp o ne g or o , Ma r wa t i D jo n ed d a n
Nugroho Notosusanto (ed). 1984. Se-
Kampanye dan Pertarungan… —Tsabit Azinar Ahmad
60
Paramita Vol. 26, No. 1 - Tahun 2016
jarah Nasional Indonesia Jilid 6. Jakarta:
Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004. T e rjema h a n. J akart a :
Serambi.
Said, Tribuana. 1987. Sejarah Pers Nasional
dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakar-
ta: Haji Masagung.Hlm 94
Sekretariat Negara. 1975. 30 Tahun Indonesia
Merd e ka 1 9 45-1 9 49. Jaka r ta: PT.
Lamtoro Gung Persada.
Suara Merdeka, 16 Juni 1955
Suara Merdeka, 10 Agustus 1955
Suara Merdeka, 9 September 1955
Suara Merdeka, 10 September 1955
Suara Merdeka, 24 September 1955
Suara Ummat, 3 Oktober 1955
Suara Ummat, 30 November 1955
Suara Ummat, 3 Desember 1955
Suluh Indonesia, 4 Juli 1955
Suluh Indonesia, 5 September 1955
Suluh Indonesia, 7 September 1955
Suluh Indonesia, 15 September 1955
Suluh Indonesia, 26 September 1955
Suparlan, Parsudi. 1977. “Demokrasi dalam
Masyarakat Pedesaan”. Prisma. No. 2
Februari 1977. Hlm. 65.
Syibly, M. Roem. 2009. Dinamika Politik Jawa
Tengah. Dalam http://www.reform-
institute.org/index.php?option=com_
content&view=frontpage&Itemid=1
diunduh 2 Januari 2010.
Tempo 13/XXVIII 31 Mei 1999
Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang
Pemilu
Wahyudi, M. Zaid. 2008. “Pemilu 2009 :
Jumlah Pemilih 171.068.667 Orang”.
Kompas, 25 November 2008.
Wicaksono, Gunawan. 2006. “Peran tentara
te r i t o r i u m IV d ip o n e g o r o da l a m
pelaksanaan pemilihan umum 1955 di
Jawa Tengah”. Skripsi. Jurusan Sejarah
FSSR Universitas Sebelas Maret.
61
No Daerah PNI NU PKI Masyumi
DPR Konst. DPR Konst. DPR Konst. DPR Konst.
1 Semarang 24,687 29,367 82,329 48,996 143,738 140,742 4,588 5,149
2 Kendal 72,541 71,661 71,483 74,321 60,901 61,749 31,132 30,916
3 Demak 41,793 41,728 100,974 109,124 39,251 39,550 5,466 4,973
4 Purwodadi 60,175 69,009 59,935 59,880 124,028 122,384 12,752 13,800
5 Pati 108,629 107,150 52,219 52,569 85,430 84,396 13,401 19,082
6 Kudus 43,927 38,262 63,007 61,354 26,998 32,683 5,449 5,574
7 Jepara 45,999 53,043 110,953 105,221 19,377 21,705 10,953 10,991
8 Rembang 50,745 50,153 38,007 40,368 26,999 27,616 11,331 11,974
9 Blora 73,926 78,612 29,652 33,337 80,380 77,777 12,972 14,441
10 Pekalongan 212,915 123,427 128,732 82,251 27,190 11,727 20,025 17,167
11 Pemalang 158,156 152,335 77,653 84,969 64,260 61,737 11,879 12,126
12 Tegal 132,159 141,871 78,855 86,269 32,869 34,215 53,157 54,102
13 Brebes 150,593 161,863 80,965 84,127 41,953 47,217 49,432 50,159
14 Banyumas 220,079 225,010 77,080 80,963 36,185 33,760 43,533 45,716
15 Cilacap 130,605 97,821 48,718 48,457 170,756 167,219 32,679 33,252
16 Purbalingga 115,820 120,077 55,983 58,328 8,726 9,947 51,613 55,193
17 Banjarnegara 101,121 105,392 21,245 23,071 12,853 16,186 36,945 38,524
18 Magelang 64,400 80,532 137,027 137,320 76,452 74,860 39,468 40,020
19 Temanggung 28,176 31,033 41,009 42,942 65,764 65,612 19,625 19,853
20 Wonosobo 90,106 90,723 67,860 71,306 11,492 13,621 7,207 8,756
21 Purworejo 152,358 154,659 51,448 52,086 23,923 22,642 1,942 9,520
22 Kebumen 125,306 133,791 103,803 104,925 67,171 63,705 42,721 41,773
23 Klaten 100,190 110,236 3,867 4,041 204,296 197,019 48,407 47,671
24 Boyolali 41,438 47,817 29,934 31,148 143,565 146,024 38,701 43,918
25 Sragen 131,072 124,751 1,915 2,338 27,841 39,878 40,682 36,681
26 Sukoharjo 51,078 43,576 550 398 86,689 93,621 13,888 16,095
27 Karanganyar 66,648 84,008 320 631 43,182 52,729 10,658 14,757
28 Wonogiri 167,467 175,816 2,521 2,631 142,753 136,676 25,896 27,744
29 Bantul 40,820 51,864 37,983 40,249 34,287 30,940 34,838 34,871
30 Sleman 47,570 55,672 26,773 28,131 35,885 34,188 30,872 29,304
31 Kulonprogo 45,563 49,930 20,422 19,974 12,459 12,292 23,967 16,168
32 Gunungkidul 24,801 34,011 5,703 6,741 95,732 88,080 16,017 16,608
33 Kab. Semarang 21,452 27,641 18,882 19,700 97,053 91,727 6,390 7,154
34
Kab. Peka-
longan 17,842 17,586 11,968 12,321 2,540 2,777 5,891 6,212
35 Kab. Tegal 12,106 12,531 4,267 4,907 6,637 6,261 7,037 6,930
36 Kab. Solo 31,871 37,122 1,411 2,000 75,345 70,834 15,168 13,740
37
Kab. Yogya-
karta 21,839 30,048 2,395 2,924 43,954 39,713 17,982 16,783
Total 3,025,973 3,060,128 1,747,848 1,720,318 2,298,914 2,273,809 854,664 877,697
Perolehan Suara DPR dan Konstituante untuk Pemilu tahun 1955 di Jawa Tengah
Sumber: Antara , 25 Desember 1955
Kampanye dan Pertarungan… —Tsabit Azinar Ahmad