ArticlePDF Available

Pewarisan Karakter Fenotip Ayam Hasil Persilangan Ayam Pelung dengan Ayam Cemani PHNOTYPICAL CHARACTERS IN HYBRIDS CHICKEN OF CROSSBREEDS BETWEEN PELUNG AND CEMANI

Authors:
257
Pewarisan Karakter Fenotip Ayam Hasil Persilangan
Ayam Pelung dengan Ayam Cemani
PHNOTYPICAL CHARACTERS IN HYBRIDS CHICKEN OF CROSSBREEDS
BETWEEN PELUNG AND CEMANI
Budi Setiadi Daryono1, Iwan Roosdianto1, Hendry Tri Sakti Saragih2
1Laboratorium Genetika, Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada
Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
(Email: bs_daryono@yahoo.com)
2Laboratorium Embriologi dan Histologi Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta
ABSTRACT
The germ plasm variability of Indonesian local chicken is well known and one species which known as
“ayam Pelung” originated from West Java is famous for its meat. The present study aimed to observed the
phenotype characters i.e. fur color and body weight in a crossbreed hybrids of Pelung and Cemani chicken
as a potential meat type breed. Firstly, the breeding between Pelung (one male) and Cemani (4 Females)
was performed in semi intensive cage. Secondly, experiment were undertaken using 4 groups of DOC (each
contain 5 males DOC) : 1) DOC of broiler Cobb 500 vs broiler Cobb 500 ; 2) DOC of Pelung vs Pelung ; 3)
DOC of Pelung vs Cemani ; and 4) DOC of Cemani vs Pelung. The animals were kept for 7 weeks (49 days)
every week the animals body weight and fur color were recorded. The result showed that there were
differences in the phenotype characters of between the different crossbreeds. The fur of 5 F1 (female
Cemani vs male Cemani) was black with average body weight 532 ± 39.294 g at week 7. Whilst the fur color
of majority (4/5) F1 (female Pelung vs male Cemani) was black with brown dots with average body weight
570 ± 14.445 g at week 7. When Pelung was cross within the same species their F1 fur color was blended
between black, brown and whitish with average body weight 652 ± 33.846 g at week 7. It is concluded that,
the parent stock in this case the Cemani play a major role in fur color character whereas there ware no
differences in the body weight at the F1 between the two different parent stock (ie. Pelung, Cemani).
Key words : Germ plasm, Cemani chick, Pelung chick, phenotype characters.
ABSTRAK
Keanekaragaman genetik plasma nutfah ayam lokal di Indonesia cukup melimpah dan sangat
beragam. Salah satu plasma nutfah ayam lokal Indonesia adalah ayam Pelung yang merupakan ayam
lokal tipe pedaging. Pada penelitian ini dilakukan persilangan antara ayam Pelung dengan ayam Cemani
untuk mengetahui pewarisan karakter fenotipnya yaitu warna bulu dan berat badan sebagai alat
identifikasi potensi ayam lokal tipe pedaging. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penyilangan ayam, pengamatan dan pengukuran karakter fenotip ayam (F1) meliputi bobot badan dan
warna bulu. Jumlah anak ayam (DOC) yang diteliti sebanyak 5 ekor ayam jantan. Pengukuran berat
badan dilakukan tiap minggu selama 7 minggu dan pengamatan warna bulu dilakukan pada minngu ke-
7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenotip ayam (F1) hasil persilangan antara ayam betina Pelung
dengan ayam jantan Cemani berbeda dengan persilangan ayam betina Cemani dengan ayam jantan
Pelung. Lima ekor anak ayam (DOC) yang dihasilkan dari perkawinan silang antara ayam betina Cemani
dngan ayam jantan Pelung, 4 ekor mempunyai bulu berwarna hitam dan 1 ekor lainnya berwarna hitam
kecoklatan serta bobot badan rata-rata pada minggu ke-7 adalah 532 ±39,294 gram. Sedangkan lima
ekor anak ayam (DOC) yang dihasilkan dari perkawinan silang antara ayam betina Pelung dengan ayam
jantan Cemani, 4 ekor mempunyai bulu berwarna hitam dengan bercak coklat dan 1 ekor mempunyai
bulu coklat tua serta bobot rata-rata pada minggu ke-7 adalah 570±14,445 gram. Sedangkan perkawinan
sesama ayam Pelung, keturunan yang dihasilkan mempunyai bulu berwarna perpaduan hitam, coklat
dan sedikit warna putih serta berat tubuh rata-rata pada minggu ke-7 adalah 652±33,846 gram. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa warna bulu lebih dominan diturunkan oleh induk ayam Cemani, sedangkan
peningkatan berat badan F1 tidak dipengaruhi oleh ayam Pelung baik jantan maupun betina.
Kata kunci : Plasma nutfah, ayam Cemani, ayam Pelung, karakter fenotip.
Jurnal Veteriner Desember 2010 Vol. 11 No. 4 : 257-263
ISSN : 1411 - 8327
258
PENDAHULUAN
Plasma nutfah ayam merupakan investasi
daerah untuk masa depan. Keberadaan plasma
nutfah tersebut akan memberikan keuntungan
dan manfaat apabila dikelola dengan baik. Penge-
lolaan plasma nutfah ayam asli Indonesia
sementara ini banyak dikelola oleh instansi
pemerintah di tingkat pusat. Sementara itu unit
kerja tingkat kabupaten dan masyarakat belum
maksimal dalam mengelola plasma nutfah
ayam. Hal itu disebabkan karena kurangnya
pemahaman terhadap pentingnya pelestarian
plasma nutfah ayam asli Indonesia (Iskandar,
2006).
Beberapa jenis ayam lokal yang tersebar di
beberapa daerah di Indonesia antara lain ayam
kokok balenggek di Kabupaten Solok-Sumatera
Barat, ayam kedu di Kabupaten Temanggung-
Jawa Tengah, ayam pelung di Kabupaten
Cianjur dan ayam ciparage di Kabupaten
Karawang-Jawa Barat, ayam merawang di
Pulau Bangka Belitung dan ayam nunukan di
Kalimantan Timur (Iskandar, 2006).
Ayam kampung atau ayam lokal (Gallus
domesticus) adalah ayam hasil domestikasi dan
keturunan dari ayam hutan merah (Gallus
gallus). Ayam kampung berkembang menjadi
beberapa galur setelah datangnya para
pedagang dari Cina yang membawa ayam canton
serta ayam eropa yang dibawa oleh penjajah
Eropa ke Indonesia (Nataamijaya, 2005). Berda-
sarkan jenis kromosom kelaminnya, ayam beti-
na digolongkan mempunyai kromosom kelamin
ZO, sedangkan ayam jantan mempunyai
kromosom kelamin ZZ (Tamarin, 1999).
Salah satu ayam lokal asli Indonesia yang
mempunyai sifat unggul adalah ayam pelung.
Keunggulan ayam pelung adalah memiliki bobot
badan yang lebih tinggi dari ayam kampung
biasa dan ayam lokal lainnya. Bobot badan ayam
pelung jantan dewasa umur 1 tahun dapat
mencapai 3,37 kg, sedangkan ayam betina 2,52
kg. Ayam pelung memiliki postur tinggi besar,
memiliki leher yang panjang dan kaki yang
kokoh. Selain memiliki ukuran yang besar,
ayam pelung juga dijuluki sebagai ayam
penyanyi karena memiliki karakter suara yang
bagus, berirama, dan sangat khas (Rusfidra,
2005).
Dengan tubuh yang relatif besar, jago ayam
pelung dapat dikatakan merupakan produk
utama dalam pemeliharaan ayam pelung oleh
para peternak meskipun mempunyai manfaat
lain seperti daging. Ukuran tubuh ayam pelung
yang besar memungkinkan untuk perbaikan
pertumbuhan ayam-ayam lokal lainnya yang
relatif mempunyai ukuran tubuh lebih kecil
(Iskandar, 2006). Perbaikan mutu genetik ayam
yang berpotensi sebagai ayam pedaging dapat
dilakukan melalui proses persilangan, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa persilangan
ayam pelung dengan ayam kampung mampu
menghasilkan keturunan dengan bobot badan
lebih tinggi daripada ayam kampung maupun
ayam pelung (Nataamijaya dan Diwyanto, 2004).
Pada penelitian ini dilakukan persilangan
antara ayam pelung sebagai ayam potensi
pedaging dengan ayam cemani sebagai ayam
potensi petelur untuk mengetahui pewarisan
karakter fenotipnya (F1) yaitu warna bulu dan
bobot badan sebagai alat identifikasi potensi
ayam lokal tipe pedaging.
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalan penelitian ini
adalah day old chicks (DOC) hasil persilangan
(F1) antara ayam pelung dengan ayam cemani,
DOC ayam broiler strain Cobb 500 sebagai
kontrol, DOC hasil perkawinan sesama pelung
dan desinfektan untuk mensterilisasi kandang.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain timbangan kecil dengan tingkat
ketelitian 0,01 g untuk menimbang ayam pada
umur 1-4 minggu, timbangan besar untuk
menimbang ayam pada umur 5-7 minggu, botol
semprotan untuk menyemprotkan desinfektan
di sekitar kandang dan kamera untuk
dokumentasi ayam.
Penelitian ini diawali dengan persilangan
indukan. Ayam pelung dan ayam cemani
dikandangkan dalam kandang semi intensif
dengan perbandingan 1 jantan dan 4 betina di
kandang penelitian dengan luas 2x4 meter di
Kecamatan Kalasan, Sleman, DIY. Waktu yang
digunakan dari persilangan sampai penetasan
telur kurang lebih 2 bulan. Ayam diberi
program obat antibiotik (Endroploxtacin),
vitamin (Vitachick) dan diberi pakan standar
berbentuk pelet jenis broiler (BR) serta air
minum. Prosedur yang sama juga dilakukan
untuk perkawinan sesama ayam pelung.
Setelah telur menetas, ayam dibagi dalam
4 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri
dari 5 ekor DOC. Kelompok I sebagai kontrol
adalah hasil perkawinan antara ayam broiler
jantan strain Cobb 500 dengan ayam broiler
betina strain Cobb 500 yang diperoleh dari
Daryono et al Jurnal Veteriner
259
Gunungkidul. Kelompok II adalah DOC hasil
perkawinan sesama ayam pelung. Kelompok III
adalah DOC hasil persilangan antara ayam
jantan Pelung dengan ayam betina cemani.
Kelompok IV adalah DOC hasil persilangan
antara ayam jantan cemani dengan ayam betina
pelung.
Pengukuran bobot badan ayam dilakukan
tiap minggu setelah menetas dengan
menggunakan timbangan manual. Pengukuran
diakhiri pada minggu ke-7 atau pada saat usia
anak ayam mencapai 49 hari. Ayam yang sudah
ditimbang kemudian didokumentasikan
menggunakan kamera.
Data berat badan dianalisis secara
statistika dengan analisis varians jenis one way
anova yang diikuti dengan Tukey Test dan LSD.
Level signifikasi yang digunakan p<0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Warna bulu
Pada persilangan antara ayam betina
cemani dengan ayam jantan pelung, 5 ekor anak
ayam (DOC) yang diteliti mempunyai bulu yang
didominasi warna hitam yaitu 4 ekor
mempunyai bulu berwarna hitam legam
sedangkan 1 ekor lainnya berwarna hitam
kecoklatan. Pada keturunan yang bulunya
berwarna hitam legam, tidak hanya bulunya
saja yang berwarna hitam tetapi dari pial sampai
ke bagian kaki semuanya berwarna hitam
(Gambar 1a), sedangkan pada satu keturunan
yang lain, warna bulunya agak sedikit berbeda
karena terdapat bercak-bercak berwarna coklat
(Gambar 1b).
Pada persilangan antara ayam betina
pelung dengan ayam jantan cemani, dari 5 ekor
anak ayam yang diteliti, 4 ekor diantaranya
mempunyai bulu berwarna hitam dengan bercak
coklat, sedangkan 1 ekor lainnya bulunya
berwarna coklat tua. Hasil tersebut berbeda
dengan hasil persilangan sebelumnya karena
warna hitam sangat mendominasi. Walaupun
pada persilangan ini warna hitam dari ayam
cemani lebih dominan diturunkan tetapi warna
hitam tersebut tidak seluruhnya (100 %)
diturunkan karena keturunan yang dihasilkan
warna bulunya tidak ada yang seluruhnya
berwarna hitam (Gambar 2).
Sedangkan pada perkawinan sesama ayam
pelung, keturunan (F1) yang dihasilkan
mempunyai dua karakter warna bulu yang
berbeda. Tetapi dua karakter tersebut terdiri
dari perpaduan warna yang sama yaitu hitam,
coklat dan putih hanya komposisinya saja yang
berbeda. Pada karakter pertama, warna hitam
dan coklat terdapat pada bagian tubuh sampai
ke bagian ekor, sedangkan warna putih terdapat
pada bagian kepala sampai leher (Gambar 3a).
Sedangkan pada karakter yang kedua, warna
hitam dan coklat terdapat pada seluruh
tubuhnya dari bagian kepala sampai kaki
(Gambar 3b).
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa persilangan antara ayam
cemani dengan ayam pelung warna bulu dari
ayam cemani lebih dominan diturunkan kepada
keturunannya daripada warna bulu dari ayam
pelung. Sifat dominan ayam cemani terjadi pada
kedua hasil persilangan karena dari persilangan
tersebut keturunan yang dihasilkan selalu
mempunyai bulu yang didominasi oleh warna
hitam. Walaupun pada persilangan antara ayam
betina pelung dengan ayam jantan cemani
pengaruh dari karakter ayam pelung sudah
mulai tampak tetapi pengaruhnya belum begitu
besar sehingga dapat disimpulkan bahwa warna
hitamnya lebih dominan daripada warna
lainnya yang berasal dari ayam pelung.
Ayam cemani merupakan ayam yang
berasal dari ayam kedu hitam yang telah
diseleksi sehingga mempunyai fenotip warna
hitam. Proses seleksi tersebut menyebabkan
ayam kedu hitam masih tetap memper-
tahankan kehitamlegamnya sehingga disebut
sebagai ayam cemani. Warna hitam pada ayam
cemani menyelimuti seluruh tubuhnya mulai
dari jengger, pial, paruh, bola mata, lidah,
rongga, mulut, bulu, lubang dubur, kaki, cakar
dan dagingnya juga berwarna hitam. Dengan
karakter seperti itu dapat diambil kesimpulan
bahwa ayam cemani hanya mempunyai satu
karakter warna saja yaitu hitam (Iskandar dan
Saefudin, 2004). Sedangkan pada ayam pelung,
karakter warna bulunya sangat kompleks.
Selain warna coklat, tubuh ayam pelung juga
diselimuti oleh warna lain, seperti merah, hitam
dan putih, sehingga warna bulu pada ayam
pelung merupakan perpaduan dari keempat
warna tersebut dan tidak ada warna yang
mendominasi (Iskandar, 2006).
Dengan karaker warna bulu yang dimiliki
oleh kedua ayam tersebut maka warna hitam
dari ayam cemani lebih dominan diturunkan
kepada keturunannya (F1). Sedangkan karakter
warna bulu dari ayam pelung lebih bersifat
resesif. Keturunan yang mempunyai warna bulu
hitam dengan bercak-bercak coklat merupakan
perpaduan dari warna kedua ayam tersebut.
Jurnal Veteriner Desember 2010 Vol. 11 No. 4 : 257-263
260
Gambar 1. Keturunan (F1) usia 7 minggu hasil persilangan ayam betina Cemani dengan ayam
jantan Pelung.
Gambar 2. Keturunan (F1) usia 7 minggu hasil persilangan ayam betina Pelung dengan ayam
jantan Cemani.
Gambar 3. Keturunan (F1) usia 7 minggu hasil perkawinan sesama ayam Pelung.
Daryono et al Jurnal Veteriner
261
Pada persilangan pertama ini warna hitam
dari ayam cemani lebih dominan diturunkan
pada persilangan antara ayam betina cemani
dengan ayam jantan pelung, sedangkan pada
persilangan antara ayam betina Pelung dengan
ayam jantan cemani, karakter fenotip
keturunan (F1) yang dihasilkan mempunyai
warna bulu dari perpaduan kedua ayam
tersebut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
pada persilangan ayam pelung dengan ayam
cemani induk betina lebih berperan dalam
menurunkan karakter-karakter fenotipnya.
Meskipun demikian pada persilangan antara
ayam betina pelung dengan ayam jantan cemani
karakter fenotip pada keturunan yang
dihasilkan (F1) masih didominasi warna hitam.
Bobot Badan
Hasil perhitungan bobot badan ayam pada
minggu ke-7 dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil
analisis statistik menggunakan one way anova
menunjukkan bahwa perbandingan bobot badan
antara kelompok ayam broiler (kelompok I)
sebagai kontrol terhadap ayam lokal (kelompok
II, III, IV) menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05). Ditunjukkan bahwa dari tiap
kelompok perkawinan ayam, kelompok ayam
broiler menunjukkan bobot badan yang paling
tinggi dibandingkan dengan kelompok
persilangan ayam lokal. Ayam pelung sebagai
ayam lokal tipe pedaging belum mampu
mengimbangi bobot badan ayam broiler. Bobot
badan rata-rata ayam pelung pada minggu ke-7
mencapai 652 ±33,8 g, sedangkan bobot badan
rata-rata ayam broiler mencapai 2770±58,3 g.
Bobot badan yang dicapai oleh ayam pelung
juga berbeda dengan bobot badan hasil
persilangannya dengan ayam cemani. Bobot
badan rata-rata kelompok III pada minggu ke-7
adalah 570±14,4 g, sedangkan pada kelompok
IV bobot rata-ratanya adalah 532±39,3 g. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa hasil persilangan
dengan induk ayam pelung baik jantan maupun
betina tidak mempengaruhi peningkatan bobot
badan ayam keturunannya (F1). Tetapi hasil
tersebut menunjukkan bahwa yang lebih
berperan dalam mewariskan sifat pedagingnya
adalah ayam pelung betina.
Hasil yang diperoleh pada persilangan
antara ayam pelung dengan ayam cemani
berbeda dengan hasil persilangan antara ayam
pelung dengan ayam kampung yang dilaporkan
oleh Nataamijaya dan Diwyanto (1994).
Persilangan antara ayam pelung dengan ayam
kampung telah dilakukan secara intensif di
kandang penelitian Balai Ternak Ciawi, Bogor,
Jawa Barat. Hasil yang diperoleh dari
persilangan tersebut menunjukkan bahwa ayam
keturunan (F1) dari hasil persilangan antara
ayam pelung dengan ayam kampung memiliki
berat badan yang lebih tinggi daripada
keturunan ayam kampung biasa. Berat badan
ayam (F1) tersebut mendekati berat badan
keturunan ayam pelung (Iskandar dan Saefudin,
2004).
Potensi ayam pelung sebagai sumber
genetik pada sifat pertumbuhan ditunjukkan
dengan kemampuannya dalam memperbaiki
kinerja pertumbuhan ayam kampung sehingga
pertumbuhan ayam pelung dikatakan lebih cepat
daripada pertumbuhan ayam kampung. Hal
tersebut bisa disebabkan karena efektivitas
hormon insulin dalam mengatur metabolisme
tubuh. Hormon insulin diketahui memiliki
peran dalam mempartisi substrat yang berasal
dari makanan ke dalam sel tubuh yang sedang
berkembang dan pada saat proses katabolisme
berlangsung. Hormon insulin yang tinggi pada
tubuh dapat dijadikan indikator pertumbuhan
dan perkembangan tubuh ayam (Lu et al., 2007).
Konsentrasi hormon insulin berhubungan
dengan jumlah sel beta pankreas. Fungsi utama
dari sel beta pankreas adalah sebagai tempat
biosintesis dan mencukupi sekresi hormon
insulin (Barr et al., 1997; Seufert, 2004). Sel beta
pankreas pada ayam tipe pedaging lebih tinggi
dibandingkan ayam jenis lokal. Peningkatan
jumlah sel beta pankreas akan meningkatkan
konsentrasi hormon insulinnya. Selain
dipengaruhi efektivitas insulin, pertumbuhan
ayam juga dipengaruhi oleh kebiasaan makan
dan minum, dan suhu lingkungan (Dunnington
et al., 1987).
Ayam yang memiliki potensi sebagai tipe
pedaging, umumnya juga mengacu pada
pertumbuhan otot. Jaringan Otot terdiri dari
banyak miofiber yang diketahui merupakan
komponen utama dari otot. Jumlah miofiber di
dalam otot ayam mempunyai hubungan dengan
percepatan berat badan dan berat otot dada
(Scheuermann et al., 2004). Pertumbuhan otot
kerangka pada awal kelahiran diikuti dengan
terjadinya peningkatan ukuran miofiber.
Peningkatan ukuran miofiber juga diikuti
dengan meningkatnya isi DNA miofiber
(Mozdziak et al., 2002). Jumlah miofiber
memiliki hubungan yang positif dengan
percepatan tumbuh pada ayam broiler
(pedaging) dibandingkan dengan layer (petelur).
Menurut Burke dan Henry (1997), untuk ayam
jenis broiler, memiliki dua kali jumlah miofiber
dibanding ayam petelur di dalam otot
semimembranosus . Menurut Scheuermann et
al., (2004), ayam yang cepat tumbuh memiliki
Jurnal Veteriner Desember 2010 Vol. 11 No. 4 : 257-263
262
lebih banyak miofiber pada otot latisimus dorsi
anterior dibanding ayam yang lambat tumbuh.
Hasil penelitian Nataamijaya dan Diwyanto
(1994) menunjukkan bahwa ayam pelung
mampu memperbaiki pertumbuhan ayam
kampung yang pertumbuhannya relatif lebih
lambat dan mengindikasikan bahwa ayam
pelung berpotensi untuk mewariskan sifat
pedagingnya pada persilangan dengan ayam
kampung. Tetapi pada persilangan dengan ayam
cemani, karakter pedaging ayam Pelung belum
tampak dan dapat dikatakan tidak diwariskan
kepada keturunannya karena sifat dari ayam
cemani lebih dominan. Oleh karena itu
sebaiknya ayam pelung tidak disilangkan
dengan ayam cemani tetapi disilangkan dengan
ayam kampung atau jenis ayam lainnya seperti
ayam bangkok, ayam nunukan, atau ayam
broiler.
Berdasarkan hasil tersebut dapat ditarik
simpulan bahwa ayam pelung mewariskan sifat
pedagingnya apabila disilangkan dengan ayam
yang tidak mempunyai karakter-karakter
fenotip yang dominan. Apabila ayam pelung
disilangkan dengan ayam yang mempunyai
karakter-karakter fenotip dominan maka sifat
pedagingnya tidak tampak, sehingga keturunan
yang dihasilkan bobot badanya rendah. Hal
inilah yang terjadi pada persilangan antara
ayam pelung dengan ayam cemani. Peran ayam
pelung untuk memperbaiki pertumbuhan ayam
cemani yang relatif berukuran lebih kecil belum
memberikan hasil yang nyata.
SIMPULAN
Warna bulu ayam hasil persilangan ayam
pelung dengan ayam cemani didominasi warna
hitam, sedangkan sifat pedaging dari ayam
pelung tidak diwariskan kepada keturunannya
dari hasil persilangannya dengan ayam cemani.
Tabel 1. Hasil pengukuran bobot badan pada minggu ke-7 pada tiap kelompok persilangan ayam
Kelompok persilangan Bobot badan (g)
Cobb 500 X Cobb 500 2770,0 ± 58,3a
( Pelung X Pelung) 652,0 ± 33,9b
( Pelung X Cemani) 570,0 ± 14,4b
( Cemani X Pelung) 532,0 ± 39,3b
Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (a-b: p<0,05).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai oleh dana penelitian
masyarakat Fakultas Biologi UGM melalui
hibah Tim Pengelola dan Pengembangan
Penelitian Fakultas (TP3F) tahun 2007. Ucapan
terima kasih disampaikan kepada Dekan
Fakultas Biologi UGM atas kepercayaan yang
diberikan kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian ini serta kepada Bapak Bambang
Haryanto atas bantuan fasilitas kandang serta
pakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Barr VA, Malide D, Zarnowski MJ, Taylor SI,
Cushman SW. 1997. Insulin Stimulates
Both Leptin Secretion and Production by Rat
White Adipose Tissue. Endocrynologi 138
(10):4463-4472.
Burke WH, Henry MH. 1997. Characteristics
of the Pectoralis superficialis and
Semimembranosus of broiler strain
chickens, Bantam chickens, and the
reciprocal crosses. Poult Sci 76:767-773
Dunnington EA, Nir I, Cherry JA, Jones DE,
Siegel PB. 1987. Growth-associated traits
in parental and F1 population under
different feeding programs. 3. Eating
behavior and body temperatures. Poult Sci
66: 23-31.
Iskandar S. 2006. Pelestarian Plasma Nutfah
Ayam Lokal Domestik. Warna Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 28 (3):11-
13.
Iskandar S dan Saefudin Y. 2004. Ayam Cemani.
http://balitnak.litbang.deptan.go.id. Akses
tanggal 24 Desember 2007.
+
+
+
+
Daryono et al Jurnal Veteriner
263
Lu JW, McCurthy JP, Coon CN. 2007.
Development Changes of Plasma Insulin,
Glucagon, Insulin-like Growth Factors,
Thyroid Hormones and Glucose
Concentration in Chick Embryos and
Hatched Chicks. Poultry Science 86: 673-
683.
Mozdziak PE, Walsh TJ, McCoy DW. 2002. The
Effect of Early Posthatch Nutrition on
Satellite Cell Mitotic Activity. Poult. Sci.
81:1703-1708
Nataamijaya AG. 2005. Karakeristik
Penampilan Pola Warna, Bulu, Kulit, Sisik
Kaki dan Paruh Ayam Pelung di Garut dan
Ayam Sentul di Ciamis. Buletin Plasma
Nufah. 11 (1): 1.
Jurnal Veteriner Desember 2010 Vol. 11 No. 4 : 257-263
Nataamijaya AG, Diwyanto K. 1994. Konservasi
Ayam Buras Langka. Koleksi dan
Karakterisasi Plasma Nutfah Pertanian.
Review Hasil dan Program Penelitian
Plasma Nutfah Bogor. Dinas Peternakan
Bogor.
Scheuermann GN, Bilgili SF, Tuzun S,
Mulvaney DR. 2004. Comparison of Chicken
Genotype: Myofiber Number in Pectoralis
Muscle and Myostatin Ontogeny. Poult. Sci.
83:1404-1412
Seufert J. 2004. Leptin Effects on Pancreatic
Beta Cell Gene Expresion and Function.
Diabetes. 53 (1):152-158.
Rusfidra A. 2005. Pengembangan Ayam Pelung
Sebagai Penyanyi. http://www.pikiran-
rakyat.com. Akses tanggal 24 Desember
2007.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Myofiber growth is dependent upon the contribution of new nuclei from the mitotically active satellite cell population. The objective of this study was to examine satellite cell mitotic activity in conjunction with different nutritional paradigms during the early posthatch period. Turkey poults were provided a standard turkey starter diet; the starter diet top-dressed with a hydrated low-fat, highly digestible protein and carbohydrate nutritional hatchling supplement, Oasis; the starter diet top-dressed with Solka-floc dyed green; or no food for the first 3 d posthatch. All birds were fed a standard starter diet during the experimental period. 5-Bromo-2'-deoxyuridine (BrdU) was continuously infused into all treatments (n = 5 all groups) between hatch and 3 d of age. A second group of identically treated poults housed in separate pens (n = 3 to 5) was continuously infused with BrdU between 2 and 9 d of age. Mitotically active satellite cells were identified in the pectoralis thoracicus and quantitated using BrdU immunohistochemistry in combination with computer-based image analysis. Satellite cell mitotic activity was significantly higher (P < or = 0.05) in the birds fed a standard starter diet compared to all other treatments at 3 d posthatch. However, there were no (P > or = 0.05) differences in satellite cell mitotic activity among treatments at 9 d posthatch. The results of the current study suggest that any improvements in meat yield through early nutritional supplementation do not appear to occur through a satellite cell pathway and that there is no compensatory response in the satellite cell population following refeeding after early posthatch starvation.
Article
Full-text available
This study was performed to evaluate breast muscle development in chicken genotypes divergently selected for muscularity. In the first experiment, 2 commercial broiler lines (a high breast yield, HBY, and a normal breast yield broiler strain-cross, NBY) and a Leghorn line were grown up to 35 d to evaluate BW, breast weight, and breast yield. At 7 and 21 d of age, pectoralis muscle was used to estimate myofiber density (MFD, number of myofibers per mm2) and total apparent myofiber number (MFN). In the second experiment, the ontogeny of myostatin was determined from broiler- and Leghorn-type chick embryos, at embryonic days 1 to 20 (E1 to E20), using reverse transcription (RT)-PCR. As expected, the Leghorn line had lower BW, breast weight, and breast yield than broiler lines. The HBY line showed higher breast yield at all ages evaluated, but lower BW at 21 and 35 d than the NBY line. The Leghorn line had 45% higher MFD than broilers, which indicates an increased cross-sectional area of the myofibers in broiler lines. No MFD difference was observed between the broiler strains (P > 0.05). The myofiber number of broilers was more than twice that of Leghorns and HBY had 10% higher MFN than the NBY line. Myofiber number was correlated to BW (r = 0.58), breast weight (r = 0.58), and breast yield (r = 0.69). Conversely, MFD showed negative correlation with BW, breast weight, and breast yield (r = -0.85, -0.83, and -0.88, respectively). No effect of genotype or interaction between genotype and embryonic age was observed for myostatin expression. This study showed that broilers have higher MFN in the breast muscles than Leghorn-type chickens, and that high breast yield of broiler strains may be due to increased MFN. Higher muscularity of broilers, as compared with Leghorns, was not attributed to lower expression of myostatin during embryonic development.
Article
Full-text available
Developmental hormonal changes in Cobb 500 chick embryos and hatched chicks were determined by measuring plasma insulin, glucagon, insulin-like growth factor (IGF)-I, IGF-II, triiodothyronine, thyroxine, and glucose concentrations at different ages of embryogenesis and posthatch development. Plasma samples were obtained daily from 10 d of embryogenesis (10E) through 13 d posthatch and also at 17 and 21 d posthatch. A significant increase in plasma insulin was observed with increasing age from 10E to hatch. Plasma glucagon levels remained low until 17E, and then significantly increased approximately 3-fold at hatch, which corresponded with increasing plasma glucose levels during late embryo development. The plasma insulin to glucagon molar ratio of incubation from 14E to 17E ranged from 2 to 4, and was significantly higher than at any other time during incubation. These results indicate that insulin may be an important promoter of chick embryonic growth by the anabolic drive to promote protein deposition. Insulin and glucagon increased after hatch, which may be due to increased feed consumption and increased utilization of carbohydrates as the key energy source, compared with nutrients obtained through lipolysis and proteolysis in the embryos. Plasma triiodothyronine increased 4-fold from 18E to 20E, and thyroxine increased 3-fold from 16E to 19E. Insulin-like growth factor-I and IGF-II peaked at 14E. Insulin-like growth factor-I steadily increased above embryonic levels during the 3 wk of the posthatch period, whereas IGF-II levels steadily declined. These results suggest that IGF-II may be a more important functionary for chick embryonic development than IGF-I, and that IGF-I may be more important than IGF-II after hatch. The profile of metabolic hormones in the present study may help support an understanding of significant changes that occur in embryonic development and posthatch growth in chicks.
Article
The hormone leptin is secreted from white adipocytes, and serum levels of leptin correlate with adipose tissue mass. Leptin was first described to act on the satiety center in the hypothalamus through specific receptors (leptin receptor [ObR]) to restrict food intake and enhance energy expenditure. Important peripheral actions of leptin involve inhibition of insulin biosynthesis and secretion in pancreatic beta-cells. In turn, insulin stimulates leptin secretion from adipose tissue, establishing a hormonal regulatory feedback loop-the so-called "adipo-insular axis." Multiple signal transduction pathways are involved in leptin signaling in pancreatic beta-cells. We have identified the proinsulin gene and protein phosphatase 1 gene as leptin repressed genes and the gene for the suppressor of cytokine signaling 3 protein as a leptin-induced gene in pancreatic beta-cells. The molecular effects of leptin culminate to restrict insulin secretion and biosynthesis to adapt glucose homeostasis to the amount of body fat. In most overweight individuals, however, physiological regulation of body weight by leptin seems to be disturbed, representing "leptin resistance." This leptin resistance at the level of the pancreatic beta-cell may contribute to dysregulation of the adipo-insular axis and promote the development of hyperinsulinemia and manifest type 2 diabetes in overweight patients.
Karakeristik Penampilan Pola Warna
  • A G Nataamijaya
Nataamijaya AG. 2005. Karakeristik Penampilan Pola Warna, Bulu, Kulit, Sisik Kaki dan Paruh Ayam Pelung di Garut dan Ayam Sentul di Ciamis. Buletin Plasma Nufah. 11 (1): 1.
Konservasi Ayam Buras Langka Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Pertanian. Review Hasil dan Program Penelitian Plasma Nutfah Bogor
  • Ag Nataamijaya
  • K Diwyanto
Nataamijaya AG, Diwyanto K. 1994. Konservasi Ayam Buras Langka. Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Pertanian. Review Hasil dan Program Penelitian Plasma Nutfah Bogor. Dinas Peternakan Bogor.
Pengembangan Ayam Pelung Sebagai Penyanyi
  • A Rusfidra
Rusfidra A. 2005. Pengembangan Ayam Pelung Sebagai Penyanyi. http://www.pikiranrakyat.com. Akses tanggal 24 Desember 2007.