Content uploaded by Aries Yulianto
Author content
All content in this area was uploaded by Aries Yulianto on Nov 20, 2015
Content may be subject to copyright.
252 TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011
HUBUNGAN KONFLIK KERJA-KELUARGA DENGAN KUALITAS
KEHIDUPAN KERJA PADA KARYAWATI BANK
Siti Muharnis, Arum Etikariena, Aries Yulianto1
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Abstract
Conflict between work and family is the most stressful issue for working women. This research aims at
knowing significan and negative relationship between work-familiy conflict and quality of work life among
banks women workers. This research uses quantitative methods with non-experimental design. The
research result shows that there is significant-negative relationship between work-family conflict and
quality of work-life among banks women workers with r= -0,497 based on Pearson correlation. Based on
this research, it is suggested for women worker particularly who work in the banks to pay attention its result
in order for them to feel life satisfaction both in work place and family. It is suggested also for all companies
to adopt and adapt facilities and policies in order for their workers to make balance in the role both in
family and company.
Kata kunci: konflik kerja-keluarga, kualitas kehidupan kerja, karyawati bank
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, hubungan antara
pekerjaan dan keluarga merupakan hal
yang kompleks dan dinamis. Maka,
tidaklah mengherankan jika konflik antara
pekerjaan dan keluarga adalah salah satu
isu yang dirasa paling menekan yang
dihadapi keluarga (Hattery, 2001).
Semakin berkembangnya lingkungan
industri saat ini, sebagian besar orang tua
terikat dalam waktu kerja yang padat.
Perkembangan lingkungan industri yang
pesat ini juga diiringi dengan perubahan
struktur tenaga kerja, dimana semakin
banyak wanita atau istri yang turut bekerja.
Perubahaan ini tentu saja menyebabkan
semakin banyaknya pasangan suami istri
yang bekerja di luar rumah, sehingga ada
dua sumber penghasilan dalam keluarga.
Selain berperan sebagai karyawan di
tempat kerja masing-masing, mereka juga
berperan sebagai orang tua yang
membesarkan anak-anak mereka.
Status bekerja yang dimiliki wanita
yang telah menikah dan memiliki anak ini,
sedikit banyak akan memberikan
pengaruh terhadap tugas-tugasnya,
meliputi pengaruh terhadap hubungan
dengan suami, anak, pekerjaan, maupun
dengan dirinya sendiri (Hoffman, 1984).
Selain itu, pilihan para ibu yang
memutuskan untuk bekerja juga akan
berdampak pada perannya dalam
keluarga. Hal ini disebabkan karena
p a n d a n g a n t r a d i s i o n a l y a n g
mengharuskan wanita melaksanakan
tugas-tugas rumah (mengurus rumah
tangga) dan peran sebagai ibu (merupakan
peran yang penting dalam keluarga)
seperti merawat anak selagi suami mereka
mencari nafkah (Nichols, 1994). Selain
memenuhi peran dalam keluarga tersebut,
seseorang ibu yang bekerja juga harus
memenuhi perannya dalam pekerjaan. Ibu
y a n g b e k e r j a i n i d i h a r a p k a n
melaksanakan tugas-tugas pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya.
Jika wanita yang bekerja ini tidak
1 Korespondensi terkait artikel ini, silahkan hubungi
Strawberry_liolife@yahoo.com/arum.etikariena@ui.ac.id
Hubungan Konflik Kerja-Keluarga Dengan Kualitas Kehidupan Kerja
Pada Karyawan Bank
TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011 253
mampu menyeimbangkan tuntutan atas
peran keluarga dan pekerjaan maka
munculnya konflik peran. Apalagi jika
kemudian wanita ini memiliki anak. Hal
ini didukung oleh pernyataan Fuchs
(dalam Nichols, 1994), bahwa wanita
yang mempunyai anak (ibu) cenderung
berada di bawah tekanan yang lebih besar,
terlebih lagi jika harus bekerja. Semakin
besar waktu, dan energi yang dicurahkan
pada peran keluarga dan pekerjaan, maka
semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik. Konflik pekerjaan
dengan keluarga pada wanita yang
berperan ganda ini terjadi ketika wanita
dituntut untuk memenuhi harapan
perannya dalam keluarga dan dalam
pekerjaan, dimana masing-masing
membutuhkan waktu, dan energi dari
perenpuan tersebut (Netemeyer, 1996).
Greenhaus dan Beutell (1985)
mendefinisikan konflik kerja-keluarga
(work-family conflict) sebagai suatu
bentuk pergeseran dimana tekanan peran
dari domain pekerjaan dan keluarga
bertentangan satu sama lain dalam
b e b e r a p a h a l. H a s i l p e n e l i t i a n
menunjukkan bahwa orang-orang akan
menghabiskan lebih banyak waktu pada
peranan yang mereka anggap lebih
penting, sehingga hanya akan tersisa
sedikit waktu untuk peran lainnya, yang
akan meningkatkan kesempatan
seseorang untuk mengalami konflik
peran. Konflik kerja-keluarga adalah
salah satu dari bentuk interrole conflict
atau ketidak seimbangan peran antara
peran di pekerjaan dengan peran didalam
keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).
Konflik kerja-keluarga juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk konflik
peran dimana tuntutan peran dari
pekerjaan dan keluarga secara mutual
tidak dapat disejajarkan dalam beberapa
hal.
Konflik peran yang dialami oleh
pekerja wanita ini akan berubah menjadi
depresi atau bentuk stres lainnya jika
wanita bekerja yang bersangkutan tidak
mampu menyeimbangkan perannya
sebagai istri dan ibu di dalam keluarga dan
peran sebagai karyawan di kantor dengan
baik. Menurut Renshaw (dalam Elloy,
2003), stres pada satu domain tidak
disebabkan oleh kejadian pada domain
lainnya, melainkan stres tersebut
merupakan hasil dari interaksi kedua
domain. Yang dimaksud dengan domain
disini adalah kedua peran tersebut (peran
dalam keluarga dan peran dalam
pekerjaan).
Mayor, Klein, dan Ehrhart (dalam
Hill, 2005) juga melaporkan bahwa
jumlah jam kerja berkaitan dengan
meningkatnya konflik kerja-keluarga,
penurunan kesehatan mental dan fisik,
dan penurunan fungsi pada keluarga. Hal
ini berarti jika persepsi karyawan
terhadap kualitas kehidupan kerja di
tempat kerja menurun karena tidak
adanya fleksibilitas pada jam kerja, maka
hal ini akan berpengaruh pada aspek
lainnya, salah satunya yaitu menyebabkan
munculnya konflik kerja-keluarga. Hal ini
juga dibuktikan dengan banyaknya
penelitian yang telah menunjukkan bahwa
K o n f l i k K e r j a – K e l u a r g a s e r i n g
dihubungkan dengan ketidakpuasan dan
kesulitan untuk menyeimbangkan peran
dalam domain pekerjaan dan keluarga
(Parasuraman dan Greenhaus, dalam Hill,
2005).
Oleh karena itu, perusahaan juga
harus menyediakan fasilitas bagi
karyawan, khususnya wanita dalam
menyeimbangakan perannya di rumah.
Akan sangat membantu jika perusahaan
bisa membuat nyaman karyawan dengan
lingkungan pekerjaan dan hal-hal lainnya
Siti Muharnis, Arum Etikariena, Aries Yulianto
254 TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011
yang akan mempengaruhi performa kerja.
Karena sumber daya manusia merupakan
faktor yang sangat berharga, maka
perusahaan bertanggung jawab untuk
memelihara kualitas kehidupan kerja dan
membina tenaga kerja agar bersedia
memberikan sumbangannya secara
optimal untuk mencapai tujuan
perusahaan (Pruijit, 2003). Melalui
pendekatan manajemen sumber daya
manusia, perusahaan harus mampu
menciptakan iklim kerja melalui
pencapaian Quality of Work Life (QWL)
atau kualitas kehidupan kerja. Kualitas
kehidupan kerja adalah persepsi
karyawan bahwa mereka tentang
keinginan akan rasa aman, rasa puas
karena mendapatkan kesempatan untuk
tumbuh dan berkembang layaknya
manusia di dalam suatu organisasi
(Cascio, 1991). Perusahaan yang
memiliki kualitas kehidupan kerja yang
baik akan memberikan kesempatan
pengembangan diri bagi karyawan,
kesejahteraan yang dapat menutupi
kebutuhan dasar karyawan, serta
Kualitas Kehidupan Kerja, bisa
diartikan sebagai persepsi karyawan akan
berbagai kebutuhan yang terpenuhi
melalui sumber daya, kegiatan, dan hasil
kerja yang berasal dari partisipasi di
tempat kerja. Hal ini menimbulkan sikap
positif dalam bentuk kepuasan akan
kebutuhan kerja. Jadi, kepuasan akan
kebutuhan (need satisfaction) yang
dihasilkan dari pengalaman di tempat
kerja berkontribusi terhadap kepuasan
kerja dan kepuasan dalam domain
kehidupan lainnya.
D a l a m k a i t a n n y a d e n g a n
munculnya konflik yang dialami
karyawati, maka peneliti menduga
bagaimana suatu situasi membuat
karyawati yang bekerja menjadi konflik
yang menyebabkan turunnya kualitas
kehidupan kerjanya. Berbagai faktor
mungkin saja terjadi. Terkait dengan
persepsi karyawati terhadap fasilitas
termasuk kebijakan yang menunjang
tidak hanya untuk menjalankan tugas,
namun juga untuk dapat memenuhi
tuntutan perannya yang lain, apakah juga
akan berhubungan dengan tingkat konflik
yang dimilikinya.
P e m i l i h a n r e s p o n d e n
dikhususkanpada karyawati bank karena
pada pekerjaan di sektor perbankan
tuntutan tugas juga khas, terutama untuk
jabatan-jabatan yang terkait langsung
dengan pengelolaan keuangan. Jam kerja
bisa lebih panjang karena para karyawan
harus memastikan bahwa tidak terjadi
salah perhitungan. Mereka tidak
dimungkinkan membawa pekerjaan
pulang, karena terkait kerahasiaan.
Informasi yang didapatkan langsung dari
salah seorang karyawati bank
menyebutkan untuk jabatan yang lebih
tinggi, tuntutan jam kerjany bahkan jauh
lebih panjang (hasil wawancara dengan
ibu X, karyawati bank Y). Karena itu,
kemungkinan untuk menjalankan peran di
keluarga juga menjadi lebih sedikit.
Dengan demikian, masalah yang
dirumuskan dalam penelitian ini adalah
“Apakah ada hubungan negatif yang
signifikan antara konflik kerja-keluarga
dengan kualitas kehidupan kerja pada
karyawati bank?”.
Tinjauan Literatur
A. Konflik Kerja-Keluarga
Greenhaus dan Beutell (1985)
mendefinisikan konflik kerja-keluarga
sebagai bentuk konflik peran di mana
tuntutan peran pekerjaan dan keluarga
secara mutual tidak dapat disejajarkan
dalam beberapa hal :
Hubungan Konflik Kerja-Keluarga Dengan Kualitas Kehidupan Kerja
Pada Karyawan Bank
TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011 255
“It is a form of inter-role conflict in
which the role pressures form the work
and family domains are mutually
incompatible in some respect. That is,
participation in the work (family) role is
made more difficult by virtue of
participation in the family (work) role”.
Greenhaus dan Beutell (1985)
menyebutkan bahwa konflik kerja-
keluarga mempunyai dua arah, yaitu
urusan keluarga mencampuri pekerjaan
(family interference with work) dan
urusan pekerjaan mencampuri keluarga
(work interference with family). Konflik
kerja-keluarga dapat timbul dikarenakan
urusan pekerjaan mencampuri urusan
keluarga seperti banyaknya waktu yang
dicurahkan untuk menjalankan pekerjaan
m e n g h a l a n g i s e s e o r a n g u n t u k
menjalankan kewajibannya di rumah,
atau urusan keluarga mencampuri urusan
pekerjaan (seperti merawat anak yang
sakit akan menghalangi seseorang untuk
datang ke kantor).
Greenhaus dan Beutell (1985)
mengidentifikasikan tiga jenis konflik
pekerjaan-keluarga, yaitu:
1. Time-based conflict. Waktu yang
dibutuhkan untuk menjalankan salah satu
peran (keluarga atau pekerjaan) tidak
mencukupi atau tidak dapat digunakan
untuk menjalankan peran yang lainnya
(pekerjaan atau keluarga). Time-based
conflict terdiri dari dua bentuk, a) tuntutan
waktu dari peran yang satu membuat
individu secara fisik tidak dapat
memenuhi ekspektasi dari peran yang
lain; b) adanya tuntutan waktu dapat
menyebabkan individu terokupasi dengan
peran yang satu, padahal seharusnya
individu tersebut harus memenuhi
tuntutan peran yang lain.
2. Strain-based conflict. Terjadi
pada saat tekanan dari salah satu peran
mempengaruhi kinerja (performa)
individu pada peran yang lainnya. Peran-
peran tersebut menjadi bertentangan
karena ketegangan akibat peran yang satu
membuat individu lebih sulit memenuhi
tuntutan peran lainnya. Terdapat beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa tekanan
dari pekerjaan akan menghasilkan gejala-
gejala seperti kecemasan, kelelahan,
depresi, apati, dan iritabilitas.
3. B e h a v i o r – b a s e d c o n f l i c t.
Behavior-based conflict mengacu pada
ketidaksesuaian pola perilaku yang
diinginkan dalam domain kerja dan
keluarga. Dengan kata lain, terjadi
ketidaksesuaian antara pola perilaku yang
dibutuhkan untuk menjalankan peran
yang satu dan yang lainnya (pekerjaan
atau keluarga). Dengan kata lain, perilaku
yang diharapkan muncul pada saat
menjalankan satu peran bertentangan
dengan ekspektansi dari peran yang lain.
Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Kerja-Keluarga
Seperti yang dinyatakan oleh
Greenhaus dan Beutell (1985) bahwa
konflik kerja-keluarga memiliki dua arah
yaitu pekerjaan mengganggu keluarga
(work interference with family atau WIF)
dan keluarga mengganggu pekerjaan
(family interference with work atau FIW).
Mui (2001) membedakan faktor-faktor
yang menjadi penyebab konflik kerja
keluarga ini berdasarkan kedua arah ini.
a. Faktor-faktor yang menyebabkan
konflik-kerja keluarga berdasarkan
Pekerjaan mengganggu keluarga (WIF),
yaitu:
Stres yang Berasal dari Pekerjaan
Komitmen Waktu
Menurut Greenhaus dan Beutell
(1985), tekanan waktu yang terkait
Siti Muharnis, Arum Etikariena, Aries Yulianto
256 TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011
dengan satu jenis peran (misalnya kerja),
secara fisik membuatnya tidak mungkin
untuk memenuhi harapan yang timbul dari
peran yang lain (misalnya keluarga).
Hal ini konsisten dengan human’s capital
theory (Becker, 1991), yang menyatakan
bahwa seseorang akan memprioritaskan
aktivitas dengan domain yang lebih luas
(misalnya pekerjaan, keluarga, dan
liburan) dimana mereka bersedia untuk
mengalokasikan sumber daya (yaitu
waktu dan energi) untuk hal tersebut, dan
kemudian membuat pilihan tentang
bagaimana untuk menggunakan sumber
daya mereka.
Keterlibatan Kerja
K e t e r l i b a t a n K e r j a
dikonseptualisasikan sebagai respon
psikologis seseorang terhadap peran kerja
atau pekerjaannya saat ini, sejauh mana
seseorang mengidentifikasi pekerjaan
secara psikologis, dan pentingnya
pekerjaan untuk citra diri dan konsep diri
seseorang (Duxbury dan Higgins, 1991).
Hasil studi yang dilakukan Duxbury
dan Higgins (1991) menunjukkan bahwa
tingkat keterlibatan kerja yang tinggi
dapat meningkatkan konflik yaitu
pekerjaan mengganggu keluarga (Work
Interference with Family).
Harapan Peran Kerja
Role expectations (ekspektasi
peran) didefinisikan sebagai tekanan yang
dirasakan oleh seorang individu karena
memikul tanggung jawab peran (Higgins,
1992). Role theory memprediksi bahwa
harapan yang terkait dengan peran di
p e k e r j a a n dan k e l u a r g a d a p a t
menyebabkan tekanan fisik dan
psikologis. Hubungan antara harapan
peran dalam keluarga dan pekerjaan
dengan konflik kerja-keluarga dapat
dijelaskan dengan adanya campur tangan
peran akibat harapan yang tinggi
(Higgins, 1992).
Posisi di Perusahaan
Kebanyakan penelitian sebelumnya
menemukan bahwa domain yang berasal
dari tekanan pekerjaan, seperti
keterlibatan kerja, harapan peran kerja
dan komitmen waktu memiliki dampatk
langsung pada konflik WIF (Duxbury,
1992; Aryee, 1992; Burke, 1988; dan
Frone, 1992). Menurut Mui (2001)
semakin tinggi posisi, semakin banyak
energi dan waktu yang akan dicurahkan
seseorang dalam pekerjaan, yang
akhirnya menyebabkan tingkatan yang
lebih tinggi dari konflik pekerjaan yang
mengganggu keluarga (WIF).
Dukungan dari Pekerjaan
Menurut Visweveran, Sanches, dan
Fisher (dalam Mui, 2001), ada empat jenis
utama dari dukungan sosial: rekan kerja,
supervisor, keluarga, dan teman-teman.
Sebuah studi baru-baru ini membagi
dukungan sosial yang berkaitan dengan
pekerjaan dan dukungan sosial yang tidak
terkaita dengan pekerjaan (Carlson dan
Perrewe, 1999).
Kebijakan Perusahaan yang
Membantu dan Dukungan Supervisor
Dukungan organisasi adalah sejenis
dukungan yang berhubungan dengan
pekerjaan, dan meliputi baik itu dukungan
dari supervisor dan kebijakan perusahaan.
Hubungan Konflik Kerja-Keluarga Dengan Kualitas Kehidupan Kerja
Pada Karyawan Bank
TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011 257
Dukungan berupa kebijakan perusahaan
biasanya termasuk fasilitas penitipan anak
dan flextime (Thomas dan Ganster, 1995).
Pleck dkk. (1980) melaporkan hasil survei
yang menunjukkan bahwa orang tua yang
bekerja mengalami konflik antara
pekerjaan dan keluarga yang lebih besar
daripada pekerja lainnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa adanya kepuasan
yang lebih besar dengan fasilitas
penitipan anak yang tersedia dan
dukungan dari supervisor sehingga akan
mengurangi konflik kerja-keluarga (Goff
dkk., dalam Mui, 2001). Di sisi lain,
Carlson dan Perrewe (1999)
mengemukakan bahwa dukungan dari
atasan atau rekan-rekan juga dapat
menciptakan lingkungan kerja yang lebih
positif.
Dukungan dari Pasangan yang
Bekerja
Penelitian yang dilakukan Frone
dkk. ( 1991) m e n u n j u k k a n b a h w a
d u k u n g a n d a r i p a s a n g a n a k a n
mengurangi, atau memperkecil, dampak
psikologis yang merugikan dari peristiwa
yang menimbulkan ketegangan dalam
hidup. Jika pasangan suami istri saling
mendukung satu sama lain dalam
kaitannya dengan komitmen pekerjaan
mereka.
b. Faktor-faktor yang menyebabkan
konflik kerja-keluarga berdasarkan
Keluarga mengganggu Pekerjaan (FIW),
yaitu:
Stres yang Berasal dari Keluarga
Komitmen Waktu
Maksud waktu disini sama seperti
waktu yang digunakan untuk satu peran
dalam domain pekerjaan yang dijelaskan
sebelumnya sehingga menimbulkan
konflik yaitu keluarga mengganggu
pekerjaan (Frone, 1991). Greenhaus dan
Beutell (1985) berpendapat bahwa waktu
yang dihabiskan dalam domain keluarga
akan mempengaruhi konflik FIW. Orang
yang banyak menghabiskan waktu
dengan keluarga mereka, merasa sulit
untuk menghabiskan waktu di tempat
kerja.
Keterlibatan dalam Keluarga
Dalam penelitian organisasi,
pengukuran kehidupan keluarga
mengungkapkan dua tema utama, yaitu:
seberapa pentingnya keluarga atau peran
keluarga bagi individu, dan sikap atau
kepuasan individu terhadap keluarga atau
terhadap masalah keluarga (Rothausen,
1999). Keterlibatan yang tinggi dalam
peran keluarga akan dikaitkan dengan
tingkat konflik FIW yang tinggi, seperti
keterlibatan tinggi dalam peran kerja
dikaitkan dengan konflik WIF yang tinggi
(Frone dkk., 1992).
Harapan Peran keluarga
Seperti disebutkan sebelumnya,
hubungan antara harapan peran di
keluarga dan pekerjaan dengan konflik
pekerjaan-keluarga dapat dijelaskan
dengan campur tangan peran akibat
harapan yang tinggi (Higgins dkk., 1992).
Oleh karena itu, serupa dengan harapan
kerja, penelitian sebelumnya menemukan
hubungan positif antara harapan peran di
keluarga dan konflik kerja keluarga
(Crooke & Rousseau; Pleck dkk.; dalam
Mui, 2001).
Siti Muharnis, Arum Etikariena, Aries Yulianto
258 TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011
Tuntutan sebagai Orang Tua
Menurut Bedeian dkk. (1988), anak-
anak yang muda (kecil) lebih tergantung
pada orang tua mereka daripada anak yang
lebih tua. Secara khusus, pada tahun-tahun
pertama masa sekolah memerlukan
komitmen yang lebih besar dari orangtua
berupa waktu dan energi. Akibatnya,
keluarga dengan bayi atau anak-anak
prasekolah lebih mungkin mengalami
kesulitan dalam menyeimbangkan
tanggung jawab pekerjaan dan keluarga
dibandingkan dengan keluarga dengan
anak usia sekolah atau lebih. Semakin
bertambah besarnya anak-anak, tuntutan
orang tua mungkin akan berbeda jenisnya,
jadi pertambangan usia anak juga harus
lebih diperhatikan (Moen, 1982).
Dukungan yang Berasal dari
Keluarga
Dukungan dari Pasangan
Penelitian yang dilakukan oleh
Holohan dan Gilbert (dalam Mui, 2001)
menunjukkan bahwa dukungan dari
keluarga memainkan peranan penting
dalam mengurangi konflik kerja-
keluarga. Dari penelitiannya ditemukan
bahwa adanya hubungan antara dukungan
yang rendah dari pasangan terhadap
pasangan mereka yang juga bekerja
dengan tingkat konflik-keluarga
yang tinggi. Adams dkk. (1996) juga
menemukan bahwa dukungan emosional
yang tinggi yang diberikan oleh keluarga
dikaitkan dengan konflik keluarga yang
mengganggu pekerjaan (FIW) yang lebih
rendah.
Selain faktor-faktor yang telah
dijelaskan di atas, terdapat juga faktor-
faktor lainnya yang mempengaruhi
Konflik Kerja-Keluarga, yaitu:
1. Pendidikan
A m m o n s d a n K e l l y (1990)
menyatakan subyek dengan pendidikan
yang rendah cenderung mengalami
konflik dari keluarga kemudian
mengganggu pekerjaan sedangkan subyek
yang memiliki pendidikan tinggi
cenderung mengalami konflik dari
pekerjaan yang mengganggu keluarga.
Penjelasan ini terkait dengan strategi
dalam mengatur tanggun jawab antara
pekerjaan dan keluarga (dalam Hartani,
2009).
2. Kepribadian dan kerentanan
terhadap stres
Greenhaus dan Beutell (1985)
mengatakan kepribadian pekerja juga
berperan penting. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tipe A lebih sering
mengalami konflik kerja-keluarga karena
selalu berorientasi pada tugas yang
diberikan secara berlebihan dan ini
berkaitan dengan nilai dan komitmen
pada pekerjaan.
Dampak atau Konsekuensi
Konflik Kerja-Keluarga
Semakin tingginya ketertarikan dan
banyaknya penelitian dalam memahami
dan mengelola konflik kerja-keluarga
diawali dari konsekuensi yang
ditimbulkan konflik kerja-keluarga itu
sendiri. Berikut akan dijelaskan
konsekuensi atau dampak yang
ditimbulkan oleh konflik kerja-keluarga.
Bagi Individu
Kualitas Perkawinan
B e b e r a p a s t u d i t e l a h
mengidentifikasi bahwa konflik antara
Hubungan Konflik Kerja-Keluarga Dengan Kualitas Kehidupan Kerja
Pada Karyawan Bank
TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011 259
tuntutan kerja yang tidak sesuai dengan
tuntutan keluarga sering dihubungkan
dengan fungsi keluarga, seperti kualitas
perkawinan (Bedeian dkk., 1988).
Penelitian terdahulu juga menunjukkan
bahwa konflik kerja-keluarga akan
menghasilkan kepuasan perkawinan yang
rendah (Aryee, 1992).
Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup adalah kepuasaan
yang diperoleh karena memiliki pekerjaan
dan kehidupan keluarga yang dianggap
baik dan memuaskan (Sekaran, 1983).
Hasil penelitian secara konsisten
menunjukkan bahwa pria dan wanita yang
puas dengan pekerjaan mereka cenderung
lebih puas dengan kehidupan mereka
secara umum (Higgins dkk., 1992).
Beberapa studi lain juga menemukan
bahwa konflik pekerjaan yang
mengganggu keluarga memiliki pengaruh
terhadap individunya saja. Namun, hasil
penelitian lain tidak konsisten.
Misalnya, Kossek dan Ozeki (1998), dan
Perrewe dkk. (1999) menemukan
hubungan yang negatif antara semua jenis
konflik kerja- keluarga dan kepuasan
hidup maupun pekerjaan. Aryee dkk.
(1999a) menemukan bahwa konflik WIF
memiliki efek negatif pada kepuasan hidup
dan kepuasan keluarga.
Bagi Organisasi
Keinginan untuk Keluar
P e n e l i t i a n s e b e l u m n y a t e l a h
menunjukkan bahwa mereka dengan
tingkat konflik kerja-keluarga yang lebih
tinggi lebih mungkin untuk meninggalkan
perusahaan (Aryee 1992; Burke, 1998).
Namun, hasil penelitian tersebut tidak
selalu konsisten. Misalnya, Rosin dan
Korabik (1992) menyimpulkan bahwa
konflik kerja-keluarga, menginginkan
waktu yang lebih untuk anak-anak, adalah
kemungkinan alasan yang dibuat oleh
karyawan sehingga akhirnya mengambil
k e p u t u s a n u n t u k m e n i n g g a l k a n
pekerjaan. Boles dkk. (1997) menjelaskan
bahwa konflik kerja-keluarga secara
signifikan berhubungan dengan kelelahan
emosional, yang akhirnya terkait dengan
kepuasan kerja, dan kecenderungan
salesperson untuk berhenti. Netemeyer
dkk. (1996) juga menemukan bahwa
kedua konflik WIF dan FIW secara
signifikan berkorelasi dengan keinginan
untuk pindah. Namun, Grandel dan
Cropanzano (1999) menemukan bahwa
hanya ketika orang yang mengalami
konflik pekerjaan yang mengganggu
keluarga mereka memiliki niat untuk
berhenti dari pekerjaan mereka.
Kepuasan Kerja
Konflik antara domain pekerjaan
dan rumah sangat berkaitan dengan sikap
dan persepsi terhadap tempat kerja. Boles
dkk., (1997) menyatakan bahwa konflik
kerja-keluarga secara signifikan
b e r h u b u n g a n d e n g a n k e l e l a h a n
emosional, dan akibatnya berkaitan
dengan kepuasan kerja salesperson.
Dengan hubungan dua arah konflik WIF
dan FIW, Kossek dan Ozeki (1998) dan
Perrewe dkk. (1999) menemukan bahwa
terhadap hubungan negatif antara semua
jenis konflik kerja-keluarga dan kepuasan
kerja.
Siti Muharnis, Arum Etikariena, Aries Yulianto
260 TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011
B. Kualitas Kehidupan Kerja
K i e r n a n d a n K n u t s o n ( d a l a m
Martel, 2006), mendefinisikan Kualitas
Kehidupan Kerja sebagai:
“ ...an individual’s interpretation of
his/her role in the work-place and the
interaction of that role with the
expectations of others. A quality work life
means something different to each and
every individual, and is likely to vary
according to the individual’s age, career
stage, and/or position in the industry”.
Dari pengertian di atas bisa dilihat
bahwa Kualitas Kehidupan Kerja adalah
interpretasi individu terhadap perannya di
tempat kerja dan interaksi peran tersebut
dengan harapan orang lain. Kualitas
Kehidupan Kerja bisa berarti sesuatu yang
berbeda untuk masing-masing individu,
dan kemnungkinan akan bervariasi sesuai
dengan unsur individu, tahapan karir,
dan/atau posisi individu di organisasi atau
industri.
Menurut Rothinam (2008), terdapat
lima dimensi yang mengukur Kualitas
Kehidupan Kerja Karyawan, yaitu:
1. Health and well-being
Kesehatan dan kesejahteraan dari
kualitas kehidupan kerja berarti semua
aspek fisik maupun psikologis dari
individu di berbagai lingkungan kerja.
Fountoulakis dan Kaprins (dalam
Rethinam, 2008) menyatakan bahwa
tuntutan kerja yang tinggi akan
menyebabkan tekanan (strain) yang
tinggi pula di ingkungan kerja karyawan,
yang nantinya akan berpengaruh pada
kesehatan dan kesejahteraan karyawan.
Dengan demikian, lingkungan kerja yang
tidak menekan (unstressful) akan
menghasilkan kehidupan kerja yang
nyaman.
2. Job security
Keamanan kerja adalah aspek
sentral dari QWL, yang merupakan
kekuatan bagi organisasi untuk
menyediakan lapangan kerja yang
permanen atau tetap dan stabil, terlepas
dari perubahan dalam lingkungan kerja.
Oleh karena itu, memberikan rasa aman
adalah penting terutama di lingkungan
kerja yang banyak melakukan
outsourcing. Peningkatan pengangguran
yang luas di kalangan industri dan tren
outsourcing telah memperjelas bahwa
keamanan kerja tidak bisa diabaikan
begitu saja (Probst, 2003 dalam
Rethinam, 2008).
3. Job satisfaction
Kepuasan kerja akan memiliki arti
yang berbeda-beda bagi setiap karyawan
dan penting dalam hubungan dengan
aspek pekerjaan. Beberapa orang
mungkin merasa bahwa sistem
pembayaran dan balas jasa yang
memenuhi harapan akan menjadi sangat
penting, yang lain, mungkin lebih
menganggap penting untuk memiliki
pekerjaan yang memberikan kesempatan
untuk mengembangkan kemampuannya.
H a s i l p e n e l i t i a n s e b e l u m n y a
menunjukkan bahwa berbagai aspek dari
pekerjaan, seperti gaji, promosi,
pengawasan, tunjangan, dukungan dari
rekan kerja seseorang, dan jam kerja
berlebihan (Watson dkk., 2003, dalam
Rethinam, 2008) berhubungan dengan
tingkat kepuasan.
4. Competence development
Pengembangan kompetensi
dioperasionalkan sebagai sifat dari
pekerjaan yang memberikan peluang dan
merangsang pertumbuhan dalam
keterampilan dan pengetahuan, baik
untuk karir atau pengembangan
organisasi. Kesempatan Belajar dan
Hubungan Konflik Kerja-Keluarga Dengan Kualitas Kehidupan Kerja
Pada Karyawan Bank
TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011 261
menerapkan keterampilan juga terbukti
berpengaruh positif terhadap kepuasan
kerja dan berkurangnya stres kerja yang
akan menyebabkan QWL lebih baik.
Kesempatan untuk mengembangkan dan
menggunakan keterampilan dikaitkan
dengan mekanisme pembelajaran. Hal ini
berlaku khususnya ketika pekerjaan
m e n u n t u t k a r y a w a n n y a u n t u k
mengembangkan keterampilan kognitif.
5. Balance with work and non-
work life
Komponen utama QWL yang
penting bagi karyawan dan atasan, adalah
hubungan antara kerja dan kehidupan
rumah. Dalam lingkungan kerja yang
kompetitif, sulit untuk memisahkan
kehidupan di rumah dan kehidupan kerja.
Karyawan lebih mungkin untuk
mengekspresikan keinginan yang kuat
untuk memiliki keseimbangan yang
harmonis antara kegiatan karir,kehidpan
keluarga dan rekreasi (waktu luang).
Karyawati Bank
Karyawati bank berarti perempuan
yang bekerja di Bank sebagai karyawan
tetap atau karyawan tidak tetap (kontrak).
Adapun karakteristik pekerjaan karyawati
Bank yang membedakan dengan
pekerjaan lainnya yaitu, pada karyawati
bank khususnya yang menjabat sebagai
t e l l e r b e r k e w a j i b a n m e l a k u k a n
permintaan/penyetoran uang kepada head
teller untuk menjaga saldo di teller,
menyerahkan seluruh transaksi tunai/non
tunai ke bagian-bagian terkait ke back
office untuk menjaga kelancaran
pemberian pelayanan. Selain itu,
karyawati ini juga harus melakukan
pencocokan fisik uang khas pada cash box
dengan pencatatan yang telah dilakukan
dengan sistem untuk menghindari
kesalahan/selisih, serta membuat dan
mencetak hasil transaksi dan memastikan
setiap transaksi yang diproses adalah
benar, untuk menjamin keakuratan
penginputan data (www.petra.ac.id).
Berdasarkan penjelasan di atas bisa dilihat
bahwa karakteristik pekerjaan karyawati
bank membutuhkan kehati-hatian dan
menyangkut kerahasiaan, sehingga
bekerja di bank berbeda dengan pekerjaan
lainnya. Misalnya saja guru dimana
pekerjaannya bisa diselesaikan di rumah
apabila tidak bisa diselesaikan di sekolah
namun, pada karyawati bank hal ini tidak
mungkin dilakukan mengingat pekerjaan
yang mereka lakukan menyangkut
kerahasiaan nasabah dan bank yang
bersangkutan.
METODE PENELITIAN
1. Subyek Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian, populasi yang akan diteliti
adalah kelompok wanita yang bekerja dan
telah berkeluarga. Dengan demikian,
subyek yang akan dipilih menjadi sampel
dalam penelitian ini adalah wanita bekerja
yang telah berkeluarga dan mempunyai
pasangan yang bekerja pula. Berikut akan
d i u r a i k a n p e n j e l a s a n m e n g e n a i
karakteristik sampel yang dibutuhkan
dalam penelitian ini:
a. Karyawati Bank, minimal bekerja
selama 1 tahun
b. Berstatus menikah
c. Memiliki pasangan (suami) yang
bekerja pula
d. Bekerja penuh dan mempunyai
posisi tetap sebagai karyawan
e. Berdomisili di Jakarta
M e t o d e s a m p l i n g y a n g
digunakan dalam penelitian ini adalah
non-probablity sampling dimana tidak
terdapat jaminan bahwa setiap elemen
dalam populasi memiliki kesempatan yang
Siti Muharnis, Arum Etikariena, Aries Yulianto
262 TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011
sama untuk dimasukkan ke dalam sampel
penelitian (Kumar, 1999). Hal ini karena
tidak semua ibu bekerja dapat menjadi
sampel dari penelitian ini. Kemudian
teknik sampling yang digunakan adalah
accidental sampling, yaitu teknik
pengambilan sampel yang berdasarkan
ketersediaan (Cohen, 2005) berdasarkan
karakteristik yang telah ditentukan oleh
peneliti sebelumnya. Teknik ini
digunakan untuk kemudahan mengakses
sampel (Kumar, 1999).
2. Metode Pengumpulan Data
Pengukuran konflik kerja-keluarga
biasanya diukur dengan menggunakan
kuesioner dengan menggunakan skala
sikap dengan work-family conflict scale
yang digunakan dalam penelitian Carlson,
Kacmar dan Williams (1999). Skala ini
terdiri dari 18 item yang mengukur 3
dimensi berdasarkan bentuk konflik
kerja-keluarga menurut Greenhaus dan
Beutell (1985) yaitu time based, strain
based, dan behavior based dan dua arah
konflik kerja-keluarga oleh Greenhaus dan
Beutell (1985).
Pengukuran kualitas kehidupan
kerja pada penelitian ini diukur dengan
menggunakan kuesioner menggunakan
skala sikap (skala Likert). Peneliti
membuat sendiri alat ukur kualitas
kehidupan kerja ini berdasarkan faktor-
faktor yang mempengaruhi kualitas
kehidupan kerja yang diajukan oleh
Rethinam (2008). Skala ini terdiri dari 25
item yang mengukur 5 dimensi
berdasarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas kehidupan kerja
menurut Rethinam (2008) yaitu health
and wellbeing, job security, job
satisfaction, competence development,
dan balance with work and non work life
dimana setiap dimensi terdiri dari 5 item.
3. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Teknik
korelasi Pearson untuk melihat hubungan
antara konflik kerja-keluarga dengan
kualitas kehidupan kerja.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Subyek
Dari sekitar 400 luesioner yang
disebarkan, kuesioner yang diterima
kembali oleh peneliti sebanyak 120
kuesioner. Setelah dilakukan pengecekan
kelengkapan dan kriteria responden,
kuesioner yang dapat diolah hanya
sebanyak 86 kuesioner. Partisipan yang
mengikuti penelitian ini berasal dari 11
bank yang tersebar di wilayah Jakarta,
Bogor dan Depok. Berdasarkan usia,
sebanyak 73 partisipan berada pada
rentang umur 25-44 tahun, 5 orang
partisipan pada rentang umur 15-24
tahun, dan 8 orang pada rentang umur 45-
65 tahun. Berdasarkan jabatannya,
sebanyak 47 partisipan berada pada
kelompok core dan sisanya yaitu
sebanyak 39 orang berada pada kelompok
support.
Kemudian, berdasarkan lama
bekerja partisipan diketahui bahwa
sebanyak 16 orang bekerja selama kecil
sama dua tahun, 39 orang bekerja selama
2-10 tahun, dan 31 orang telah bekerja
lebib dari 10 tahun. Selanjutnya,
berdasarkan jam kerja per minggu,
sebagian besar partisipan bekerja selama
40-42 jam per minggu, diikuti dengan
Hubungan Konflik Kerja-Keluarga Dengan Kualitas Kehidupan Kerja
Pada Karyawan Bank
TAZKIYA, Journal of Pscyhology Vol. 14 Nomor Khusus, Juli 2011 263
bekerja lebih 42 jam per minggu yaitu
sebanyak 34 orang, dan hanya 6 orang
yang bekerja kurang dari 40 jam per
minggu. Berdasarkan jumlah anak,
kebanyakan partisipan memiliki satu
orang anak dengan persentase 54% (46
partisipan), 32 partisipan memiliki dua
orang anak, 7 partisipan memiliki 3 orang
anak dan hanya 1 partisipan yang
memiliki 4 orang anak. Kemudian,
berdasarkan pengasuhan anak ketika
b e k e r j a, m a y o r i t a s p a r t i s i p a n
mempercayakan pengasuhan anaknya
kepada pembantu ketika mereka berkerja,
yaitu sebanyak 40 orang atau sekitar
46,5%.
Dilihat dari rentang umur anaknya,
kebanyakan partisipan memiliki anak
berusia 0-3 tahun (infancy and
toddlerhood) yaitu sebanyak 49 orang,
diikuti dengan anak umur 4-6 tahun,
sebanyak 17 orang, anak usia 7-11 tahun
sebanyak 10 orang, 9 partisipan dengan
anak berumur 12-20 tahun, dan 1 orang
partisipan dengan anak usia 21-40 tahun.
Terakhir, gaji yang diperoleh partisipan
per bulannya dibedakan menjadi 3
kelompok, yaitu 1-5 juta, 5-10 juta, dan
di atas 10 juta. Dari hasil penelitian
ditemukan bahwa kebanyakan partisipan
memperoleh gaji sebesar 5-10 juta per
bulan, diikuti dengan partisipan dengan
gaji 1-5 juta yaitu sebanyak 33 orang, dan
terakhir di atas 10 juta dengan 9 orang
partisipan.
2. Hasil Utama Penelitian
1. Menjawab masalah Apakah
Terdapat Hubungan Antara Konflik Kerja
Keluarga dan Kualitas Kehidupan Kerja
pada Karyawan Bank.
Tabel 1. Deskriptif Statistik Kedua
Variabel
Variabel
Mean
SD
Konflik Kerja-
Keluarga.
49,62
11,582
Kualitas Kehidupan
Kerja.
103,12
14,22
Tabel di atas adalah tabel deskriptif
yang menggambarkan skor rata-rata
kedua variabel. Variabel konflik kerja-
keluarga memiliki rata-rata skor 49,62
dengan penyimpangan standar sebesar
11,582. Sedangkan pada variabel kualitas
kehidupan kerja, skor rata-rata adalah
103,12 dengan penyimpangan standar
sebesar 14,22. Berdasarkan hasil
perhitungan data penelitian untuk melihat
hubungan antara dua variabel
menggunakan Pearson Product Moment
Correlation dengan level signifikansi
sebesar 0,01 (dua ujung) maka diperoleh
hasil r sebesar -0,497 dengan nilai
signifikan 0,00 (p < 0,01). Untuk
keterangan lebih lanjut bisa dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 2 Hubungan Antara Konflik
Kerja-Keluarga dan Kualitas Kehidupan
Kerja.
V
Variabel 1
Variabel 2
Korelasi
antar
variabel
Signifikansi
Konflik-
Kerja-K
Konflik-
Kerja
Keluarga
(WFC)
Kualitas
Kehidupan
Kerja
(QWL)
-0,497*
0,00
*=Signifikan pada l.o.s 0,01