ArticlePDF Available

Peran dan Pola Penggunaan Sepeda Motor Pada Masyarakat Berpendapatan Rendah di Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Authors:
  • School of Architecture, Planning and Policy Development. Institute Technology Bandung

Abstract

Peningkatan jumlah sepeda motor yang pesat menimbulkan berbagai masalah dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun di sisi lain, keberadaan sepeda motor juga merupakan sarana yang penting bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk mengakses berbagai kesempatan yang dapat meningkatkan kehidupan mereka seperti; pekerjaan, pendidikan, kesehatan. Untuk itu perlu dicari solusi yang tepat untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terutama yang berpendapatan rendah terhadap sepeda motor, tanpa mengorbankan hak mereka terhadap kesempatan tersebut. Salah satunya adalah dengan memahami bagaimana peran dan pola penggunaan sepeda motor pada masyarakat berpendapatan rendah di kawasan perkotaan, yang menjadi tujuan dari studi ini. Untuk mencapai tujuan tersebut dikumpulkan data mengenai peran dan pola penggunaan sepeda motor dari 437 rumah tangga penduduk berpendapatan rendah di dua kelurahan dan dua desa di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY). Data kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode statistik deskriptif dan inferensi. Berdasarkan analisis terhadap data didapatkan bahwa sepeda motor berperan besar dalam menunjang pergerakan masyarakat berpendapatan rendah. Walaupun dirasa memberatkan, banyak masyarakat berpendapatan rendah yang terpaksa memiliki lebih dari satu uni t sepeda motor. Penggunaan sepeda motor pun sebagian besar adalah untuk keperluan bekerja dan pendidikan sehingga ketiadaan moda tersebut dapat bepengaruh besar pada kehidupan mereka. Kata kunci. Sepeda motor, masyarakat berpendapatan rendah , Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
vol. 26, no. 3, hlm. 166-176, Desember 2015
DOI: 10.5614/jpwk.2015.26.3.2
ISSN 0853-9847 print/ 2442-3866 online © 2015 ITB, ASPI dan IAP
Peran dan Pola Penggunaan Sepeda Motor
Pada Masyarakat Berpendapatan Rendah di
Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Yori Herwangi1, Ibnu Syabri2, Iwan Kustiwan2
[Diterima: 3 Desember 2014; disetujui dalam bentuk akhir: 7 Juli 2015]
Abstrak. Peningkatan jumlah sepeda motor yang pesat menimbulkan berbagai masalah dari
sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun di sisi lain, keberadaan sepeda motor juga
merupakan sarana yang penting bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk mengakses
berbagai kesempatan yang dapat meningkatkan kehidupan mereka seperti; pekerjaan,
pendidikan, kesehatan. Untuk itu perlu dicari solusi yang tepat untuk mengurangi
ketergantungan masyarakat terutama yang berpendapatan rendah terhadap sepeda motor,
tanpa mengorbankan hak mereka terhadap kesempatan tersebut. Salah satunya adalah dengan
memahami bagaimana peran dan pola penggunaan sepeda motor pada masyarakat
berpendapatan rendah di kawasan perkotaan, yang menjadi tujuan dari studi ini. Untuk
mencapai tujuan tersebut dikumpulkan data mengenai peran dan pola penggunaan sepeda
motor dari 437 rumah tangga penduduk berpendapatan rendah di dua kelurahan dan dua desa
di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY). Data kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan metode statistik deskriptif dan inferensi. Berdasarkan analisis terhadap data
didapatkan bahwa sepeda motor berperan besar dalam menunjang pergerakan masyarakat
berpendapatan rendah. Walaupun dirasa memberatkan, banyak masyarakat berpendapatan
rendah yang terpaksa memiliki lebih dari satu unit sepeda motor. Penggunaan sepeda motor
pun sebagian besar adalah untuk keperluan bekerja dan pendidikan sehingga ketiadaan moda
tersebut dapat bepengaruh besar pada kehidupan mereka.
Kata kunci. Sepeda motor, masyarakat berpendapatan rendah, Kawasan Perkotaan
Yogyakarta
[Received: 3 December 2014; accepted in final version: 7 July 2015]
Abstract. A rapid increase in motorcycle ownership has led to various economic, social and
environmental problems. On the other hand, motorcycles are also an important mode of
transportation for low-income people for accessing a wide range of opportunities that can
improve their lives, such as employment, education, and health. Therefore, it is necessary to
find appropriate solutions to reduce motorcycle dependency, especially among low-income
people, without compromising their right to the various opportunities offered by the motorcycle.
One of the solutions is to understand the roles and patterns of motorcycle usage among low-
income people in urban areas, which was the goal of this study. To achieve these objectives, the
role and usage patterns of motorcycles of 437 low-income households were collected in two
districts and two villages in Yogyakarta Urban Area (Kawasan Perkotaan Yogyakarta). The
data were processed and analyzed using descriptive statistical methods and inferential
statistics. Based on the analysis it was shown that motorcycle plays a major role in supporting
1 Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika
No.2, Yogyakarta 55281, Tel.: (0274) 580092, Fax: (0274) 580854, E-mail: y.herwangi@gmail.com
2 Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Peran dan Pola Penggunaan Sepeda Motor 167
the mobility of low-income people. Although considered as burdening, many low-income people
are forced to have more than one motorcycles. The motorcycles are mostly used for the
purposes of work and education, so that the absence of this mode of transportation can affect
their lives substiantally.
Keywords. Role of motorcycle, pattern of motorcycle usage, low-income people
Pendahuluan
Pentingnya peran transportasi dalam memberikan akses terhadap barang dan jasa yang sangat
esensial bagi kehidupan seseorang, terutama kelompok marginal, semakin mendapat perhatian
dalam kajian transportasi. Solusi umum untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat adalah
dengan memberikan pelayanan transportasi publik. Namun dalam kondisi rendahnya pelayanan
transportasi publik, kepemilikan kendaraan pribadi menjadi salah satu solusi yang tidak dapat
dihindarkan. Sepeda motor, dengan harganya yang relatif murah dan fleksibilitas yang
ditawarkan kendaraan pribadi, menjadi pilihan banyak masyarakat dengan pendapatan
menengah-rendah (Erli, 2006; Adriyana, 2011; Aritonang, 2007) untuk memenuhi kebutuhan
pergerakannya. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah kendaraan pribadi termasuk sepeda
motor di kota-kota besar di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Berdasarkan penelitian Brotodewo
(2010) di kawasan metropolitan Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan
Makassar, sebagian besar dari kota-kota tersebut belum memenuhi indikator transportasi
berkelanjutan dalam hal tingginya tingkat kepemilikan kendaraan bermotor dan pertumbuhan
kendaraan bermoto pribadi. Di Yogyakarta jumlah kepemilikan sepeda motor meningkat lebih
dari 48% selama 5 tahun (2007-2012).
Meningkatnya jumlah kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor, yang pesat menimbulkan
dampak negatif baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Di sisi lain, sepeda motor
merupakan salah satu moda yang menjadi andalan keluarga berpendapatan menegah-rendah
untuk memenuhi kebutuhan pergerakannya. Oleh karena itu perlu dicari solusi yang tepat agar
jumlah sepeda motor yang terus meningkat dapat diatasi dengan sebaik mungkin, tanpa terlalu
merugikan masyarakat yang bergantung padanya. Apalagi pada masyarakat berpendapatan
rendah, perubahan pada pola dan biaya transportasi dapat menimbulkan masalah yang besar
karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Salah satu caranya adalah dengan memahami
pola dan peran sepeda motor pada masyarakat berpendapatan rendah, yang menjadi tujuan dari
penelitian ini.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, tulisan ini dibagi menjadi 5 bagian, yaitu 1) pendahuluan, 2)
kajian literatur mengenai kepemilikan kendaraan dan pola pergerakan pada masyarakat
berpendapatan rendah, 3) karakteristik wilayah studi, 4) pola penggunaan sepeda motor, 5)
peran sepeda motor pada masyarakat berpendapatan rendah, dan diakhiri oleh 6) kesimpulan.
Kepemilikan Kendaraan dan Pola Pergerakan Pada Masyarakat Berpendapatan
Rendah: Kajian Literatur
Kepemilikan Kendaraan Pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Dalam berbagai penelitian yang berkaitan dengan eksklusi sosial, ketiadaan akses terhadap
kepemilikan kendaraan, yang umumnya dialami penduduk dengan penghasilan rendah,
dianggap sebagai salah satu indikator terjadinya transport disadvantage, yang kemudian menuju
pada terjadinya eksklusi sosial (Social Exclusion Unit, 2003; Johnson, 2009). (Johnson dkk,
168
Yori Herwangi, dkk.
2009) mengidentifikasi setidaknya ada tiga metode pengukuran transport disadvantage yang
menggunakan kepemilikan kendaraan sebagai indikator, yaitu: Townsend Index of Material
Deprivation, Index of Relative Socio-Economic Disadvantage (IRSED), dan Index of child
social exclusion (CSE Index).
Penggunaan kepemilikan kendaraan bermotor sebagai salah satu variabel dalam menentukan
terjadinya disadvantage atau eksklusi sosial didasarkan pada kemudahan mobilitas yang
ditawarkan oleh kendaraan pribadi, yang berarti pula kemudahan dalam melakukan berbagai hal
yang dikategorikan sebagai aktivitas normal dalam konsep eksklusi sosial. Dalam kaitan ini,
kepemilikan terhadap kendaraan pribadi dianggap sebagai cara untuk menghilangkan eksklusi
sosial atau dengan kata lain meningkatkan inklusi sosial (misalnya Social Exclusion Unit, 2003;
Clifton dan Lucas, 2004 ). Beberapa inisiatif bahkan dilakukan untuk meningkatkan akses
terhadap kendaraan pribadi seperti yang dilakukan di Hereford Shire dan Suffolk Community
Councils, Inggris, dengan programnya yang diberi nama Wheels to Work (Department of
Transport UK, 1999).
Pada sisi lain, berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kepemilikan kendaraan pada
masyarakat berpendapatan rendah dapat pula menimbulkan beban finansial yang berat (Froud et
al. 2002 dalam Currie dan Delbosc, 2009; Currie dan Sendsberg, 2007) yang dikenal dengan
istilah transport poverty (Gleeson dan Randolph, 2002 dalam Currie dan Delbosc, 2009) atau
forced car ownership (Jones 1987; Banister 1994 dalam Currie dan Delbosc 2009). Hal ini
merujuk pada kondisi masyarakat berpendapatan rendah di kawasan pinggiran kota yang
terpaksa menanggung biaya kepemilikan kendaraan yang tinggi akibat tidak adanya pilihan lain.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kepemilikan kendaraan bagi penduduk berpendapatan
rendah di pinggiran kota memiliki dua dimensi, di satu sisi dapat meningkatkan inklusi sosial,
namun di sisi lain dapat membebani keluarga. Dalam sebuah studi di metropolitan Melbourne,
Currie dan Senbergs (2007) bahkan mengungkapkan bahwa pada keluarga berpendapatan
rendah yang tinggal di pinggiran kota, tidak memiliki kendaraan pribadi (dalam hal ini mobil)
merupakan suatu keuntungan. Hal ini disebabkan keluarga yang tidak memiliki mobil akan
menyesuaikan diri dengan tinggal tidak jauh dari pusat kegiatan, sementara keluarga
berpendapatan rendah yang memiliki mobil menjadi sangat tergantung pada mobilnya dalam
mengakses berbagai kebutuhan serta, tinggal di wilayah yang jauh dari pusat kegiatan dan 50%
dari pendapatannya dihabiskan untuk biaya kendaraan. Lebih jauh lagi studi ini mengungkapkan
bahwa tingginya kepemilikan kendaraan mungkin meningkatkan kerugian bagi keluarga
tersebut.
Pola dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pergerakan pada Masyarakat
Berpendapatan Rendah
Berbagai studi mengungkapkan bahwa panjang perjalanan pada masyarakat berpendapatan
rendah pada umumnya lebih pendek dari panjang perjalanan rata-rata masyarakat pada
umumnya (Murakami and Young, 1997; Scholl, 2002). Walaupun begitu, waktu yang
dihabiskan untuk perjalanan bekerja ternyata lebih banyak daripada masyarakat lainnya (Shen,
2000). Hal ini antara lain disebabkan kebanyakan perjalanan di negara maju yang menjadi kasus
pada penelitian-penelitian tersebut, dilakukan menggunakan moda transportasi publik yang
mengakibatkan lebih panjangnya rute yang harus ditempuh. Untuk kasus Indonesia sendiri
belum ditemukan literatur yang membandingkan antara pola perjalanan masyarakat
berpendapatan rendah dan yang tidak. Pola perjalanan dapat dilihat dari panjang perjalanan,
frekuensi perjalanan, waktu perjalanan, tujuan perjalanan (Tamin, 1997; Ortuzar dan
Peran dan Pola Penggunaan Sepeda Motor 169
Willumsen, 1994). Pada penelitian ini variabel pola perjalanan yang akan dibahas adalah
panjang perjalanan, frekuensi perjalanan, dan tujuan perjalanan, sedangkan waktu perjalanan
tidak akan dibahas pada penelitian ini.
Karakteristik Wilayah Studi dan Responden
Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY)
Kawasan Perkotaan Yogyakarta merupakan kawasan dengan pertumbuhan kawasan terbangun
tercepat di D.I. Yogyakarta. Berdasarkan Perda Propinsi D.I. Yogyakarta No. 10 Tahun 2005,
Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) meliputi Kota Yogya, dan sebagian kelurahan di
Kabupaten Sleman dan Bantul. Luas wilayah KPY adalah 186,87 Km2, yang meliputi
Gambar 1. Peta Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY)
a. Seluruh kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu sebanyak 14 (empat belas)
kecamatan
b. 6 (enam) Kecamatan di Kabupaten Sleman meliputi :
1) Kecamatan Gamping meliputi wilayah Desa Banyuraden, Ambar Ketawang, Trihanggo,
Nogotirto;
2) Kecamatan Godean meliputi wilayah Desa Sidoarum, Sidomoyo;
3) Kecamatan Mlati meliputi wilayah Desa Sinduadi, Sendangadi;
4) Kecamatan Ngaglik meliputi wilayah Desa Minomartani, Sinduharjo;
5) Kecamatan Depok meliputi wilayah Desa Caturtunggal, Condongcatur, Maguwoharjo;
6) Kecamatan Ngemplak meliputi wilayah Desa Wodomartani.
c. 3 (tiga) Kecamatan di Kabupaten Bantul meliputi :
1) Kecamatan Banguntapan meliputi wilayah Desa Jagalan, Banguntapan, Singosaren,
Baturetno, wirokerten, Tamanan, Potorono;
2) Kecamatan Sewon meliputi wilayah Desa Panggungharjo, Bangunharjo;
170
Yori Herwangi, dkk.
3) Kecamatan Kasihan meliputi wilayah Desa Ngestiharjo, Tamantirto, Tirtonirmolo.
Penentuan Sampel dan Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, responden diambil dari rumah tangga berpendapatan rendah dari 4
kelurahan/desa di KPY, yang dipilih secara purposif berdasarkan banyaknya penduduk
berpendapatan rendah dan tingginya kepemilikan sepeda motor di lokasi tersebut. Dua
kelurahan terletak di pinggiran kota, sedangkan 2 kelurahan lainnya terletak di pusat kota.
Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan Rumus Cochran (1977), yaitu:
Z = nilai Z untuk penelitian ini dengan tingkat kepercayaan 95% yaitu 1,96
p = peluang, pada penelitian ini ditentukan 0,5
q = 1-p = 1-0,5 = 0,5
e = standar error untuk penelitian ini diambil 0,5
Dengan menggunakan rumus tersebut, didapat jumlah sampel minimal adalah 384. Berdasarkan
angka tersebut, disebar 503 kuesioner ke empat kelurahan yang terpilih. Dari jumlah tersebut
sebanyak 437 diantaranya dinyatakan valid dan menjadi data dasar dalam penelitian ini. Adapun
rincian jumlah kuesioner valid yang berhasil dikumpulkan untuk masing-masing kelurahan
adalah sebagai berikut:
Kawasaan pinggiran:
107 responden dari Desa Panggungharjo (Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul)
112 responden dari Desa Sendangadi. (Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman)
Kawasan pusat kota:
106 responden berasal dari Kelurahan Notoprajan (Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta)
112 responden dari Kelurahan Ngampilan (Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta)
Pemilihan responden dilakukan secara pusposif karena tidak tersedianya daftar populasi sesuai
yang dibutuhkan penelitian ini, yaitu masyarakat berpendapatan rendah yang memiliki sepeda
motor. Pengambilan data dilakukan melalui kuesioner dengan mendatangi tempat tinggal
responden.
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan metode statistik deskriptif yaitu
melalui penghitungan rata-rata, standar deviasi, dan persentase; serta statistik inferensi melalui
penghitungan estimasi rata-rata dan persentase untuk memperkirakan nilai populasi KPY
berdasarkan data yang diperoleh dari sampel.
Karakteristik Responden
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, responden yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan keluarga berpendapatan rendah, yaitu dengan menggunakan kriteria pendapatan
dibawah $2 per hari (setara dengan kurang lebih Rp. 23.500 per hari per anggota keluarga atau
Rp. 700.000 per anggota keluarga per bulan). Angka $2 per hari ini merupakan batas
penghasilan menengah menurut Asian Development Bank sehingga penghasilan dibawah angka
tersebut dapat dikatakan berpenghasilan rendah. Standar ADB ini dipilih karena dibuat dengan
satuan orang per hari sedangkan UMR yang merupakan standar penghasilan di Indonesia
menggunakan standar untuk pekerja yang tidak menikah, tanpa memperhitungkan jumlah
Peran dan Pola Penggunaan Sepeda Motor 171
anggota keluarga sehingga kurang cocok digunakan dalam penelitian ini dimana hampir semua
rumah tangga yang disurvei mempunyai anggota keluarga lebih dari satu.
Berdasarkan struktur keluarganya, diketahui bahwa responden didominasi oleh keluarga yang
secara produktif melakukan perjalanan, yaitu keluarga dengan anak yang masih bersekolah atau
sudah bekerja (Gambar 2).
Gambar 2. Struktur Keluarga
65.68%
23.34%
1.83%
9.15%
Penuh Waktu Paruh Waktu
Belum Bekerja/Sedang Mencari Tidak Bekerja
Gambar 3. Status Pekerjaan Kepala Keluarga
Berdasarkan status pekerjaannya, sebagian besar merupakan pekerja penuh waktu (Gambar 3.),
dengan 1,83% kepala keluarga tidak/belum bekerja. Sementara itu dari keseluruhan anggota
keluarga yang bekerja 79,69% (458 responden), bekerja di sektor informal seperti wiraswasta,
pedagang, dan buruh merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dijalankan (Gambar 4).
172
Yori Herwangi, dkk.
14.41%
5.90%
79.69%
Pekerja formal dengan waktu
kerja fix : PNS, Karyawan
Swasta, Polisi
Pekerja formal dengan waktu
kerja shift : satpam, karyawan
toko
Pekerja informal : wiraswasta,
pedagang, buruh
Gambar 4. Jenis Pekerjaan
Pola Penggunaan Sepeda Motor Pada Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR)
di KPY
Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata sepeda motor yang dimiliki responden adalah lebih
dari 1 unit sepeda motor per rumah tangga (rata-rata 1,52). Hal ini berarti, rata-rata rumah
tangga di wilayah studi memiliki sepeda motor lebih dari 1 unit. Sementara itu, kecenderungan
responden dalam menggunakan sepeda motor ditegaskan dengan tingginya frekuensi
penggunaan sepeda motor yang mencapai lebih dari 85% (Gambar 5).
86.04%
5.49% 8.47%
Sering Menggunakan
Sepeda Motor
Kadang-kadang
Menggunakan Sepeda
Motor
Jarang Menggunakan
Sepeda Motor
Gambar 5. Frekuensi Penggunaan Sepeda Motor
Tingginya frekuensi penggunaan sepeda motor diduga karena transportasi umum yang
melalui wilayah tempat tingga responden (Desa Panggungharjo dan Desa Sendangadi)
sangat terbatas rute dan jumlahnya, sedangkan tempat responden beraktivitas (bekerja)
jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Kegiatan tersebut diduga merupakan
kegiatan yang memang membutuhkan sepeda motor, karena akses baik dari rumah
tempat tinggal responden menuju tempat berkegiatan tidak dilalui oleh transportasi
umum. Sementara tingginya frekuensi di wilayah responden yang dilalui cukup banyak
rute transportasi umum (Kelurahan Notoprajan dan Kelurahan Ngampilan), diduga
karena faktor lain seperti karakteristik pekerjaan yang membutuhkan fleksibilitas dan
gaya hidup.
Peran dan Pola Penggunaan Sepeda Motor 173
Berdasarkan tujuan dan panjang perjalanannya, perjalanan bekerja merupakan perjalanan
terpanjang yang dilakukan responden yaitu sebesar rata-rata 6,31 km per hari (pulang-pergi),
sedangkan untuk perjalanan bersekolah yaitu sebesar 5,17 km per hari (pulang-pergi). Bila
dilihat lebih jauh, panjang perjalanan untuk bekerja mapun bersekolah tersebut cukup besar
variasinya diantara responden (6,32 km untuk perjalanan bekerja dan 5,13 km untuk perjalanan
bersekolah). Berdasarkan presentase pengeluaran rumah tangga untuk membiayai keperluan
transportasi, rata-rata responden menghabiskan 19,5% dari penghasilannya.
Untuk memperoleh gambaran pada populasi KPY berdasarkan data responden tersebut,
dilakukan pengolahan menggunakan statistik inferensi dengan metode estimasi rata-rata dan
proporsi. Nilai variabel pola pergerakan pada populasi KPY dapat dilihat pada Tabel 1berikut:
Tabel 1. Nilai Sampel dan Estimasi Populasi untuk Pola Pergerakan dengan Menggunakan
Sepeda Motor pada Masyarakat Berpendapatan Rendah di KPY
Variabel Pola Pergerakan dengan
Menggunakan Sepeda Motor Nilai Sampel Nilai Estimasi Populasi
Rata-rata sepeda motor yang dimiliki 1,52 1,46 unit – 1,59 unit
Frekuensi penggunaan sepeda motor Sering: 86,04%
Jarang: 13,96
Sering: 82,8% - 89,3%
Jarang: 17,2% - 10,7%
Rata-rata panjang perjalanan bekerja
5,64 km – 6,98 km
Rata-rata panjang perjalanan bersekolah
4,42 km – 5,92 km
Persentase penghasilan per bulan yang
digunakan untuk keperluan transportasi
17,50% - 21,50%
Peran Sepeda Motor Pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Jika dilihat dari seberapa penting peran motor untuk melakukan kegiatan, maka diketahui bahwa
responden memberi penilaian tingkat kepentingan yang tinggi terhadap peran motor untuk
kegiatan-kegiatan pokok seperti bekerja (Gambar 6), bersekolah (Gambar 7), pelayanan
kesehatan, berbelanja, pembiayaan (bank/asuransi), dan kunjungan ke rumah teman atau
saudara. Terdapat lebih dari 70% responden menganggap penting penggunaan sepeda motor
untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Untuk kegiatan seperti olahraga dan hobi, responden
menganggap peran sepeda motor tidak terlalu penting. Untuk kegiatan rekreasi, sebagian
responden membutuhkan sepeda motor, sementara sebagiannya lagi mengaku tidak
membutuhkan.
68.65%
22.43%
8.70% 0.23%
Sangat Penting
Penting
Tidak Penting
Tidak Pernah
Gambar 6. Peran Sepeda Motor untuk Bekerja
174
Yori Herwangi, dkk.
Dari hasil pengumpulan data, diketahui bahwa terdapat beberapa responden yang tidak pernah
menggunakan sepeda motor untuk kegiatan bekerja, bersekolah, rekreasi, olahraga, dan hobi.
Hal ini diduga terkait dengan ketersediaan jalur transportasi umum dan dekatnya tempat tinggal
dengan pusat aktivitas.
Sebagian kecil responden (< 10%) memiliki opsi lain selain menggunakan sepeda motor
untuk beraktivitas, sehingga penggunaan sepeda motor tidak mutlak digunakan untuk
beraktivitas meskipun tetap penting. Meski begitu, perbandingan jumlah responden
yang tidak pernah menggunakan sepeda motor untuk beberapa kegiatan dengan jumlah
responden yang menganggap penting penggunaan sepeda motor sangat jauh.
32.95%
28.83%
27.69%
3.20% 7.32% Sangat Penting
Penting
Tidak Penting
Sangat Tidak
Penting
Tidak Pernah
Gambar 7. Peran Sepeda Motor Untuk Bersekolah
Bila dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk sepeda motor (Gambar 8), sebagian besar
responden mengaku tidak keberatan (lebih dari 65%) dengan biaya kepemilikan sepeda motor.
Jika dikaitkan dengan tingginya peran sepeda motor untuk bekerja (kegiatan utama), hal ini
mengindikasikan bahwa sepeda motor sudah merupakan transportasi terbaik yang bisa dipilih
para responden.
33.87%
66.13%
Iya
Tidak
Gambar 8. Biaya Sepeda Motor Terasa Memberatkan?
Seperti pada uraian mengenai pola pergerakan, untuk mengetahui peran sepedamotor pada
populasi rumah tangga berpendapatan rendah di KPY dilakukan inferensi dengan hasil yang
Peran dan Pola Penggunaan Sepeda Motor 175
dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Nilai Responden dan Estimasi Populasi untuk Peran Sepeda Motor bagi MBR di KPY
Variable Peran Sepeda Motor Nilai Sampel Nilai Estimasi Populasi
Peran sepeda motor untuk
bekerja
Sangat penting dan penting:
91,08%
Sangat penting dan penting:
88,39 – 93,76
Peran sepeda motor untuk
bersekolah
Sangat penting dan penting:
61,78%
Sangat penting dan penting:
57,21 – 66,36
Biaya sepeda motor terasa
memberatkan
Ya: 33,87%
Tidak: 66,13%
Ya: 28% - 39%
Tidak: 61% - 72%
Diskusi
Dalam hal transportasi, masyarakat berpendapatan rendah (MBR) sering dikategorikan sebagai
salah satu kelompok yang rentan terhadap perubahan kebijakan. Terutama bila perubahan itu
bepengaruh terhadap aksesnya terhadap pekerjaan yang sangat dibutuhkan untuk menopang
hidupnya. Pada banyak penelitian di negara maju, MBR pada umumnya menggantungkan
kebutuhan pergerakannya pada transportasi umum. Di Indonesia, seperti yang diindikasikan
pada penelitian ini, motor diduga menjadi salah satu andalan bagi MBR untuk melakukan
pergerakan.
Berdasarkan survei yang dilakukan pada 437 keluarga MBR yang memiliki sepeda motor di 4
desa/kelurahan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta, rata-rata responden mempunyai lebih dari 1
sepeda motor. Padahal apabila dilihat dari penghasilannya, rata-rata responden menghabiskan
hampir 20% pendapatannya untuk transportasi. Hal ini diduga berkaitan erat dengan jenis
pekerjaan mereka, dimana sebagian besar merupakan pekerja informal (PKL, pedagang, pekerja
serabutan, wiraswasta), dan pekerja formal dengan waktu bekerja yang tidak tetap (satpam,
penjaga toko), sehingga membutuhkan fleksibilitas dalam moda transportasi untuk bekerja.
Selain itu (walaupun tidak dibahas secara khusus pada penelitian ini), kualitas pelayanan
transportasi publik turut mempengaruhi tingginya penggunaan sepeda motor pada MBR. Hal ini
terindikasi dari persepsi sebagian besar responden terhadap biaya transportasi sepeda motor
yang mereka rasa tidak memberatkan, dimana hal tersebut mengindikasikan bahwa sepeda
motor sudah merupakan transportasi terbaik yang bisa dipilih para responden.
Mengacu pada hasil penelitian ini, upaya-upaya untuk membatasi penggunaan sepeda motor
seperti yang menjadi wacana akhir-akhir ini, perlu secara hati-hati dilakukan mengingat
pentingnya peran sepeda motor untuk menunjang pergerakan MBR. Peran sepeda motor sangat
besar untuk kegiatan-kegiatan rutin seperti bekerja dan bersekolah. Namun demikian, dengan
melihat rata-rata perjalanan bekerja dan bersekolah dengan menggunakan sepeda motor yang
hanya berkisar 5-6 km perhari (pulang-pergi) atau 2,5-3 km per perjalanan, penggunaan
transportasi tidak bermotor seperti sepeda masih sangat mungkin ditingkatkan. Dalam hal ini
diperlukan usaha-usaha untuk mempromosikan moda transportasi sepeda serta dukungan dari
sisi infrastruktur agar moda ini dapat lebih banyak digunakan menggantikan penggunaan sepeda
motor. Upaya lain yang tentunya dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pelayanan
transportasi publik. Dalam hal ini masih perlu kajian lebih mendalam mengenai jenis serta
layanan yang dibutuhkan oleh MBR, yang selain berkaitan dengan kemampuan membayar dan
karakteristik personalnya, juga bergantung pada karakteristik lokasi tempat tinggalnya.
176
Yori Herwangi, dkk.
Daftar Pustaka
Adriyana, Diana (2011) Studi Fenomena Pertumbuhan Penggunaan Moda Sepeda Motor di
Kota Bandung. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Aritonang, Herbert Oloan (2007) Studi Pengaruh Pemilihan Moda Sepeda Motor terhadap
Volume Penumpang Angkutan Kota di Kota Bandung. Tugas Akhir Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Brotodewo, Nicholas (2010) Penilaian Indikator Transportasi Berkelanjutan pada Kawasan
Metropolitan di Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 21(3), 165 – 182.
Clifton, K., and K. Lucas (2004) Examining the empirical evidence of transport inequality in the
US and UK. In Running on empty: transport, social exclusion and environmental justice.
Bristol: The Policy Press.
Currie, Graham, and Alex Delbosc (2009) Car Ownership and Low Income on the Urban Fringe
- Benefit or Hindrance? In 32nd Australasian Transport Research Forum (ATRF).
Auckland.
Currie, G., and Senbergs, Z (2007) Exploring forced car ownership in metropolitan Melbourne. In
Australian Transport Resaerch Forum, Melbourne, from.
Department of Environment and Transport UK (1999) Young People and Crime on Public
Transport. London: HMSO.
Erli, Ketut Dewi Martha (2006) Studi Peluang Pengalihan Penggunaan Sepeda Motor ke
Angkutan Umum di Kota Denpasar. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Kota, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Johnson, Victoria, Graham Currie, and Janet Stanley (2009) Can Measures of Disadvantage
Perpetuate the Problems They Seek to Solve? In Australian Social Policy Conference 2009:
An Inclusive Society? Practicalities and Possibilities.
Murakami, Elaine, and Jennifer Young (1997) Daily Travel by Persons with Low-Income. In
NTPS Symposium. Maryland.
Ortuzar, J. De D, and L. G. Willumsen (1995) Modelling Transport. London: John Wiley and
Sons
Scholl, Lynn (2002) Transportation Affordability for Low-income Population. California:
Public Policy Institute of California.
Shen, Qing (2000) Spatial and Social Dimensions of Commuting. Journal of the American
Planning Association 66(1), 68-82.
Social Exclusion Unit (2003) Making the Connections: Final Report on Transport and Social
Exclusion. London: Social Exclusion Unit, Office of the Deputy Prime Minister.
Tamin, Ofyar Z (1997) Perencanaan dan Permodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB
... In this context, low-income communities are burdened by both transportation and geographical disadvantages. Additionally, this condition leaves communities with no other choice but to take motorcycles, which are generally considered to be more practical and cost-effective (Herwangi et al., 2015(Herwangi et al., , 2017. This persisting problem would arguably result in more low-income individuals using motorcycles daily to get to work and school, worsening traffic flow and overcrowding the road, especially during rush hours. ...
Article
Full-text available
Travel expenses are a significant factor in transportation planning. In addition to the other aspect, travel time, the community considers expense as the necessary element in deciding which mode the communities should take. However, there is a gap between the actual transport expense and the commuter's perception. Thus, comprehensive knowledge is urgently needed particularly to be seen as a major variable in transportation planning that sided with underprivileged groups of transport poverty. The study focused on describing the correlation between income and commuting transportation expenses. The analysis was carried out using two methods. The first method is a descriptive analysis used to provide insight into the patterns and characteristics of the data obtained from interviews with 421 respondents. The second method is regression analysis (linear and nonlinear) to explain the relation pattern between the dependent (commuting transportation expenses) and independent (income) variables. The study's findings demonstrate that transportation expenses follow a negative polynomial regression pattern on income, further implying that the percentage of transportation expenses in low-income communities is significantly higher than those in high-income communities.
... This is because the price is reasonable and the fuel consumption is low. A motorbike's shape and dimensions are not as large as those of a car, making it a very flexible mode of transportation that can save the user time [1]. ...
Article
Full-text available
Motorcycle security systems using fingerprint sensors are needed to avoid theft because of their high level of security compared to manual systems. This study underscores the importance of using this fingerprint sensor for motorcycle security. The formulation of the problem in this study is how much electricity is required in the motorcycle battery for this fingerprint security system. This system uses various components, such as the R503 fingerprint sensor, Arduino Uno, buzzer, 4-channel relay, ignition key, and motorcycle starter. Testing of this system is performed by inserting a finger in a wet, oily, dusty, or normal condition, and the result is that this sensor is capable of detecting the entire condition of the finger. Attempts to start a motorcycle with all ten fingers showed that the left index finger started faster under normal conditions, in 1.55 seconds compared to the manual method, which took 2.05 seconds longer. It also measures power consumption and calculates how long the battery can power this device. The result is that the battery can power this device for 180 hours without interruption
... Jumlah kendaraan yang ada di Indonesia terus meningkat dikarenakan terus bertumbuhnya perekonomian negara yang menuntut masyarakat Indonesia harus berpacu dengan waktu, sehingga tiap individu memiliki kendaraan pribadi agar waktunya tidak habis dalam perjalanan [1]. Masalah yang timbul dari peningkatan jumlah kendaraan ini salah satunya tentang keamanan pada sebuah kendaraan [2]. ...
Article
Full-text available
Vehicle theft rates in Bekasi City are still high. Only about 22.7% cases have been successfully solved. The main problem is hard to track vehicles because too many vehicles in the city of Bekasi. The aims of this research is to design and build a vehicle tracking system using GPS, GSM, Relay, and Arduino Nano. The test was performed by measuring the length of time it takes for GPS device to locks the signal satellite, receive and send a short message to vehicle’s owner. The result was succeeded in designing and building vehicle tracking system using GPS, GSM, and Arduino Nano with a relay as a support to make the vehicle stay in an off condition and can trigger an alarm sound so it can easily to find the location of the vehicle. GPS device has an average time delay of locking a signal for 196 seconds at daylight and 72 seconds at night with accuracy for amount 95.33%. Tracker device has an average time delay for sending message to user at 13.82 seconds for different mobile’s operator and 11.60 seconds for the same mobile’s operator with accuracy for amount 70.73%.
... Sepeda motor menjadi pilihan yang sangat tepat, dimana dengan harganya yang relatif murah dan fleksibilitas yang ditawarkan kendaraan pribadi, menjadi pilihan banyak masyarakat dengan pendapatan menengah-rendah untuk memenuhi kebutuhan pergerakannya. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah kendaraan pribadi termasuk sepeda motor di kotakota besar di Indonesia, termasuk kota Kabanjahe [1]. ...
Article
Sepeda motor yang sangat diminati dan masih banyak penggunanya khusus di wilayah Kabanjahe adalah motor Yamaha Vixion, Yamaha Vixion merupakan alat transportasi yang banyak diminati para kalangan pria remaja. Sering terjadi kendala dari Yamaha Vixion yang menyebabkan kerusakan sehingga dapat menganggu aktivitas yang dilakukan. Kerusakan pada mesin motor terjadi akibat kelalaian dalam melakukan perawatan. Pemilik motor baru menyadari kerusakan setelah motor tidak dapat beroperasi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu dalam penggunaan motor kemungkinan besar membutuhkan perawatan rutin, hal inilah yang mendorong pembangunan sistem pakar untuk mengidentifikasi kerusakan mesin motor Yamaha Vixion.Maka dari itu dibutuhkan peran sistem pakar dalam membantu pengguna untuk mengetahui kerusakan yang terjadi pada Yamaha Vixion. Sistem Pakar merupakan sebuah sistem yang mampu mengidentifikasi sebuah permasalahan dengan menggunakan keahlian seorang pakar yang telah ditanamkan ke dalam sebuah sistem dengan menggunakan algoritma tertentu.Hasil penelitian merupakan terciptanya sebuah aplikasi Sistem Pakar yang dapat digunakan dalam membantu pengguna untuk mengetahui kerusakan yang terjadi pada Yamaha Vixion dengan bantuan Metode Teorema Bayes
... Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), selama 5 tahun dari tahun 2007 sampai 2017 jenis kendaraan bermotor yang paling pesat pertumbuhannya adalah sepeda motor [5]. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Herwangi dkk peran sepeda motor sangat besar untuk kegiatan-kegiatan rutin seperti bekerja dan bersekolah [6]. Data BPS pada buku laporan Statistik Kriminal 2018 menunjukan jumlah kasus pencurian kendaraan bermotor dari tahun 2015 -2017 sebanyak 38.389, 37.871, dan 35.226 [7]. ...
Article
Jumlah pondok pesantren di Kabupaten Pekalongan pada tahun 2014 tercatat sebanyak 51 pondok pesantren. Salah satunya Pondok Pesantren Al Fusha terletak di Desa Rowocacing, Kec. Kedungwuni, Kab. Pekalongan yang merupakan Pondok Pesantren Terpadu. Santri Pondok Pesantren Al Fusha selain mempelajari ilmu agama, juga dibekali dengan beberapa kegiatan ekstrakulikuler. Tetapi belum ada pembelajaran ataupun kegiatan tentang penerapan sains dan teknologi kendali otomatis. Padahal sains dan teknologi kendali otomatis telah menjadi komponen penting dalam industri dan kehidupan manusia. Salah satunya adalah pembuatan sistem kendali jarak jauh menggunakan smartphone dan modul bluetooth berbasis kendali arduino. Sistem tersebut dipilih untuk mencegah meningkatnya tindak pencurian kendaraan bermotor secara tepat. Pada program pengabdian kepada masyarakat ini menggunakan metode pelatihandan melalui beberapa tahapan. Kegiatan pelatihan ini dilaksanakan selama 4 hari dan bertempat di lingkungan Pondok Pesantren Al Fusha. Pelatihan ini menghasilkan modul pelatihan, trainer sistem kendali dan proses pelatihan. Modul pelatihan yang telah dibuat dan diterapkan pada pelatihan ini dapat dinilai baik, hal ini terbukti pada tingkat tercapainya pelatihan ini. Kegiatan pelatihan menunjukan adanya peningkatan hasil belajar peserta pelatihan sebesar 63,64% mencapai KKM dan nilai rata-rata kelas 76,93. Berdasarkan analaisa dengan metode T-Test menunjukan dengan dilakukannya pelatihan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta pelatihan. Kata kunci: Pondok Pesantren, Sistem Kendali, Arduino, Smartphone, Modul Bluetooth
... Most motorcyclists being nontraders shows that these students are captive users of a motorcycle. This finding is similar with a case study in Yogyakarta, Indonesia, where students tend to use motorcycles often (Herwangi, Syabri & Kustiwan, 2015). Overall, 35.59% of non-traders is a good sign, since the majority prefers an alternative because of the attributes and the attribute values. ...
Article
This research explored the commuting mode preferences of students living near Institut Teknologi Bandung when a new mode of transportation (i.e., carpool) is introduced to the selection list. Six alternative modes were presented: minibus, car, motorcycle, car-based ride-sourcing, motorcycle-based ride-sourcing, and carpool. The data collection process was conducted using a questionnaire-based stated-preferences survey. It included eight sets of labeled scenarios with a number of attributes: travel time, travel cost, waiting time, transfer amount, access and egress time, frequency, congestion time, baggage cost, and parking cost. A total of 1416 observations were acquired for further analysis. A mixed logit (MXL) model with random cost parameter and random error components was used. From the MXL results, we found that travel cost had no significant influence on the selection of commuting mode among students. This result was unforeseen given the characteristics of Indonesian consumers, who are notoriously sensitive to price. However, based on the results for several significant attributes of carpool as well as from the value of travel time savings and demand calculation, we suggest that carpooling is a valid alternative transport mode for campus commuting. As a pioneer study on student commuting mode selection, this study provided valid and dependable evidence on how students around ITB main campus choose their transportation methods.
... Hal ini karena harga yang terjangkau oleh masyarakat, hemat dalam penggunaan bahan bakar. Selain itu, bentuk dan dimensi sepeda motor yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan mobil membuatnya menjadi alat transportasi yang memiliki fleksibilitas bagus sehingga efisien waktu [2]. Badan Pusat Statistik yang menyatakan [12]. ...
Article
Full-text available
Semakin banyaknya jumlah kendaraan bermotor juga membuat kejahatan terhadap pengguna sepeda motor meningkat. Beberapa data resmi menunjukkan bahwa pencurian sepeda motor semakin meningkat dari tahun ke tahun. Apalagi di masa pandemic sekarang ini, kejahatan semakin meningkat seiring dengan keadaan ekonomi yang semakin sulit. Sementara itu sistem keamanan sepeda motor yang ada selama ini sudah sangat dikenali oleh para pelaku pencurian sepeda motor, sehingga sangat mudah dibobol. Pengamanan dengan menggunakan gembok juga tidak terlalu menjamin, karena masih dengan mudah dirusak dengan cairan. Untuk itu perlu dirancang alat pengaman yang lebih bagus. Tujuan penelitian ini adalah merancang sistem keamanan sepeda motor dengan menggunakan sidik jari. Metode yang dipergunakan adalah identifikasi kebutuhan, perancangan perangkat keras dan perangkat lunak, penyesuaian alat, dan pengujian alat. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah alat keamanan yang dirancang sudah dapat berfungsi dengan baik. Mesin sepeda motor akan menyala jika dinyalakan dengan sidik jari yang terdaftar. Mesin sepeda motor tidak akan menyala jika sidik jari yang digunakan tidak dikenal dan pada kondisi itu alarm akan menyala
Article
Full-text available
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dampak sosial dan ekonomi dari pengembangan eco-tourism mangrove di Kabupaten Aceh Jaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mengkaji dampak pengembangan hutan mangrove terhadap sosial dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya. Narasumber dalam penelitian ini adalah 20 orang masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove. Berdasarkan hasil penelitian, pengembangan ekowisata hutan mangrove telah menerapkan prinsip eco-tourism dengan melibatkan masyarakat secara penuh dalam pengelolaannya, selain itu pemberdayaan masyarakat sudah dijalankan melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), serta telah muncul sentra ekonomi lokal akibat adanya wisata mangrove. Sehingga dapat disimpulkan bahwa eco-tourism mangrove di Kabupaten Aceh Jaya memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat seperti membuka lapangan pekerjaan baru, membentuk struktur ekonomi masyarakat melalui peningkatkan pendapatan masyarakat, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan tetap mampu menjaga kelestarian ekosistem mangrove.
Article
Full-text available
Sebagai solusi dari masalah transportasi di perkotaan dengan konsep berkelanjutan, Trans Jogja dikembangkan dengan harapan menjadi moda transportasi terbaik untuk diterapkan di Kota Yogyakarta. Namun sejauh penelitian yang terkait dengan status keberlanjutan Trans Jogja belum dilakukan dengan spesifik. Maka dari itu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji aspek keberlanjutan Trans Jogja ditinjau dari aspek ekonomi; sosial; peraturan dan aspek kelembagaan;lingkungan; teknologi dan infrastruktur. Analisis dalam penelitian ini menggunakan metode Multi-dimensional Scaling (MDS) untuk mengevaluasi indikator keberlanjutan angkutan umum Trans Jogja menggunakan software Rapfish. Hasil analisis menunjukkan kondisi trans jogja memiliki kategori kurang berkelanjutan dengan skor indeks 49,54. Aspek lingkungan memiliki nilai terendah dengan indeks sebesar 34,21 pada kategori kurang berkelanjutan, sedangkan empat aspek lainnya tergolong cukup berkelanjutan. Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan dan kebijakan yang dapat meningkatkan indikator keberlanjutan aspek lingkungan Trans Jogja. Hal ini akan mencegah efek domino yang nantinya akan berdampak pada aspek lain dan memperburuk kondisi Trans Jogja berdasarkan aspek kerberlanjutan.
Article
Full-text available
The compression ratio is one of the benchmarks in determining the appropriate fuel RON for motorized vehicles. The use of RON that is not following the manufacturer’s specifications can undoubtedly hurt engine performance. The purpose of this study was to analyze the effect of premium, pertalite, Pertamax, and Pertamax turbo fuels on engine performance. This research is experimental research where the object of study used is the Honda Supra X 100cc. The research instruments and equipment used included a dynamometer chassis and a blower as a cooling fan. The engine performance testing method is carried out according to the SAE J1349 standard. Meanwhile, the data analysis technique used descriptive methods. From the results of data analysis obtained from the study, it is concluded that the RON 88 is suitable for 3000-4000 rpm, while RON 90.92.95 is suitable for 4500-7000 rpm, in addition to motors that have a compression ratio of 8:1 they can use RON 90.92.95 without modification to the engine.
Article
Full-text available
Contents reflect the views of the authors and may not reflect the official policies of the U.S. Department of Transportation. Paper for NPTS Symposium
Article
Full-text available
This paper addresses conflicting views about how owning or not owning a car affects disadvantage for low income groups. Contemporary research has suggested that a lack of access to a car is a major cause of transport disadvantage; however there is also a contrary view that high car ownership creates disadvantage and that car ownership is "forced" on this group. Recent research has also noted that home location and proximity to activities plan an important role in mediating the relationship between transport and disadvantage. Resolving these viewpoints is a major focus of the paper. The paper explores the factors affecting travel and disadvantage as they impact low income groups living in fringe urban Melbourne by contrasting low income no car ownership (LINCO) households (HH) and low income and high car ownership (LIHCO) HH. It is based on the results of a household travel survey covering 535 households selecting using a targeted random sample approach. Although random sampling was adopted the sample was modest and results need to be interpreted with caution. The research has found that LINCO HH make significantly fewer trips and have greater difficulties with travel than LIHCO HH. However LINCO HH make logical financially sustainable home location decisions to balance mobility and accessibility with limited budgets. Though most acknowledge the limitations imposed by lacking a car, most also emphasised the advantages of not having to pay for a car and said that alternative options met all of their transport needs. In contrast, LIHCO HH are more concerned about home affordability and living in 'greener' areas than with transport. They emphasised the benefits of the increased mobility of owning cars and none of them regretted their home loan decision. In this context, it is difficult to see their car ownership as "forced" as their home location decision was quite deliberate. However a third did acknowledge that transport costs were a high proportion of their income and most adopted coping strategies to limit travel expenses such as trip linking and cost minimisation. Analysis suggests that LINCO exhibit more dimensions of social exclusion, notably low income, unemployment and low social support however these findings may reflect the distinct socio-economic characteristics of LINCO/LIHCO households rather than car ownership influences. Overall the paper finds that those with and without cars have different forms of disadvantage suggestions both sides of the argument are both right and wrong. LIHCO HH demonstrate clear vulnerabilities to higher future transport and housing costs which should be addressed by research and policy. LINCO HH in contrast demonstrate both financial and environmental sustainability which should be encouraged by transport and land use policy.
Article
Full-text available
The lack of effective public transport services has been seen as a major problem for socially disadvantaged people living on the fringe of Australian cities. In the UK, a number of research studies have suggested that car ownership is 'forced' upon socially disadvantaged people where no alternative transport exists. This paper summarises the results of a research project examining transport disadvantage in metropolitan Melbourne. The aim of this research is to explore the concept of "forced" car ownership as it might apply to urban Melbourne. This paper explores the relationship between income, location, car ownership, accessability and public transport supply. It also explores related expenditure and income and the travel behaviours of the low income residents who have zero cars and those who might be considered to have 'forced' car ownership.
Article
This article presents an empirical study aimed at filling in some gaps in the understanding of commuting patterns in large metropolitan areas of the United States. It addresses two questions. First, does commute time vary substantially and systematically among neighborhoods located in the central city? Second, what are the main factors that can explain variations in commute time? Thematic maps for the 20 largest U.S. metropolitan areas and regression models for the Boston case reveal important spatial and social dimensions of commuting. The main findings are: (1) commute time tends to be longer for low-income minorities than for other residents of the central city; (2) the urban spatial structure is highly significant and important in explaining variations in commute time; and (3) a considerable number of other factors also influence commute duration. Implications of these findings are discussed.
Article
The key idea at the centre of this final report is accessibility: can people get to key services at reasonable cost, in reasonable time and with reasonable east? Accessibility depends on sever things: does transport exist between the people and the service? do people know about the transport, trust its reliability and feel safe using it? are people physically and financially able to access transpot? Are the services and activities with a reasonable distance? Solving accessibility problems may be about transport but also about locating and delivering key acitivies in ways that help people reach them.
Article
In order to argue the case for taking a social policy approach to transport, it is important to first gain a better understanding of the inequalities that arise from the present system of transport delivery. This chapter presents the statistical and qualitative evidence for this in the UK and the US. It should be noted, however, that distributional inequities in and of themselves do not necessarily justify the need for social policy intervention. It is generally accepted that such intervention is only appropriate where the welfare of citizens is already (or may become) undermined. With this in mind, the later sections of the chapter examine the evidence for this with particular emphasis on the effects of transport inequalities on people’s ability to access the key activities that are considered essential to the welfare of citizens, namely employment, education and training, healthcare and social, leisure and cultural activities.
Studi Pengaruh Pemilihan Moda Sepeda Motor terhadap Volume Penumpang Angkutan Kota di Kota Bandung. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
  • Herbert Aritonang
  • Oloan
Aritonang, Herbert Oloan (2007) Studi Pengaruh Pemilihan Moda Sepeda Motor terhadap Volume Penumpang Angkutan Kota di Kota Bandung. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung, Bandung Brotodewo, Nicholas (2010) Penilaian Indikator Transportasi Berkelanjutan pada Kawasan Metropolitan di Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 21(3), 165 -182.
Young People and Crime on Public Transport
Department of Environment and Transport UK (1999) Young People and Crime on Public Transport. London: HMSO.
Studi Peluang Pengalihan Penggunaan Sepeda Motor ke Angkutan Umum di Kota Denpasar. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
  • Ketut Dewi Erli
  • Martha
Erli, Ketut Dewi Martha (2006) Studi Peluang Pengalihan Penggunaan Sepeda Motor ke Angkutan Umum di Kota Denpasar. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung, Bandung.