Content uploaded by Bonar Hutapea
Author content
All content in this area was uploaded by Bonar Hutapea on Sep 29, 2015
Content may be subject to copyright.
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
101
101
SIFAT-KEPRIBADIAN DAN DUKUNGAN ORGANISASI
SEBAGAI PREDIKTOR KOMITMEN ORGANISASI GURU PRIA
DI SEKOLAH DASAR
Bonar Hutapea
Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara, Jakarta 11440, Indonesia
E-mail: bonarhtp@yahoo.com
Abstrak
Penelitian tentang komitmen organisasi umumnya dilakukan dalam latar bisnis dan industri dan masih sangat sedikit
dalam latar pendidikan. Secara khusus, komitmen organisasi guru pria perlu diteliti mengingat jumlahnya yang terpaut
jauh dibandingkan guru wanita meski keberadaannya juga sangat dibutuhkan dalam perkembangan psikologis siswa.
Tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan prediktif sifat-kepribadian dan dukungan organisasi terhadap
komitmen organisasi para guru pria dan selanjutnya menguji faktor kepribadian yang berkontribusi terhadap komponen
komitmen organisasi guru pria tersebut. Populasi penelitian ini adalah guru-guru pria sekolah dasar swasta di Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat-kepribadian dan dukungan organisasi berkontribusi signifikan terhadap
komitmen guru pria di sekolah dasar swasta. Selain itu, ditemukan bahwa dua dari lima faktor kepribadian berperan
signifikan terhadap dimensi-dimensi komitmen organisasi guru tersebut.
Traits-Personality and Perceived Organizational Support as Predictors of Organizational
Commitment among Elementary School Male Teachers
Abstract
Unlike in business and industrial setting, researches examining organizational commitment in academic/educational
realm have been scarce. In particular, because of significant role of male teacher in students’ psychological
development, it is necessary to reveal male teachers’ commitment due to persistent huge disparity of their numbers as
compared with their female counterparts. The purpose of this study was to investigate the predictability of traits-
personality and perceived organizational support towards male teachers’ organizational commitment and also to
examine the relation of five factors of personality with dimensions of their commitment. Participants for this study
consisted of male teachers of private elementary schools in Jakarta. This study found that traits-personality and
perceived organizational support made significant contributions to teachers’ commitment. More over, it was determined
that two of five factors of personality were predictors for male teachers’ commitment dimensions. Limitations and
implications of this study are discussed.
Keywords: male teacher, organizational commitment, perceived organizational support, traits-personality
1. Pendahuluan
Dalam penyelenggaraan pendidikan formal, tenaga
pendidik merupakan yang terpenting. Dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik. Sebagai pendidik profesional, guru memiliki
kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan
sesuai dengan bidang tugas, memiliki kompetensi yang
diperlukan sesuai dengan bidang tugas, baik kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional. Profesionalitas guru
tersebut merupakan salah satu faktor penting yang
sangat dibutuhkan, agar sekolah dapat menyusun
berbagai pengembangan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dalam bidang pendidikan.
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
102
Profesionalitas dan kualitas kerja guru merupakan
indikator dari adanya komitmen guru terhadap sekolah
sebagai organisasi tempatnya mengajar. Dengan kata
lain, seorang guru yang memiliki komitmen akan
berusaha bekerja dengan sungguh-sungguh untuk
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai sekolah dengan
sepenuh hati demi kemajuan sekolah tersebut.
Penelitian sebelumnya telah dilakukan berfokus
terhadap dampak negatif dan kerugian yang timbul bila
guru tak memiliki komitmen organisasi terhadap
sekolah. Misalnya, Barnes, Crowe, dan Schaefer (2007)
yang mengestimasi besarnya kerugian yang ditanggung
sekolah dan seluruh sekolah dalam beberapa distrik di
Amerika Serikat disebabkan oleh keluar-masuknya guru
dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain maupun
berhentinya guru dari pekerjaannya sebagai guru.
Misalnya, paling tidak 86 juta dolar per tahun terbuang
hanya pada sekolah negeri di Chicago saja, belum
termasuk resiko yang dialami sekolah yang berakibat
pada kinerja sekolah dan prestasi siswa. Hal ini semakin
menguatkan keyakinan bahwa mengajar atau guru
adalah profesi yang rumit dan banyak menuntut
(demanding), tak hanya pikiran tapi juga hati guru
dalam kesehariannya. Mengajar tak sekedar menyajikan
fakta-fakta melainkan juga mengabdikan seluruh hati
dan waktu (Day, 2004), sehingga diperlukan
pemahaman dan penyelesaian yang tepat terhadap
persoalan komitmen organisasi para guru.
Meski demikian, hingga saat ini, penelitian mengenai
komitmen organisasi umumnya dilakukan pada latar
organisasi bisnis, dan jarang ditemukan dalam konteks
pendidikan atau lembaga pendidikan, terutama di
Indonesia. Penelitian mengenai komitmen organisasi
pada lembaga pendidikan di Indonesia, sejauh dapat
ditemukan pada publikasi ilmiah, baru dilakukan oleh
beberapa peneliti seperti Jusuf (1994), Kembaren
(2002), dan Seniati (2002a; 2006). Penelitian Jusuf
(2002) terhadap 91 guru sekolah dasar pada salah satu
yayasan di Jakarta menunjukkan bahwa komitmen guru
terhadap organisasi disumbang oleh karakteristik
pribadi, karakteristik peran dan lingkungan pekerjaan.
Penelitian Kembaren (2002) terhadap 91 dosen yang
mewakili 5 fakultas di salah satu perguruan tinggi
negeri (institut) di Jawa Barat menunjukkan bahwa trait-
kepribadian, komitmen pekerjaan dan perceived
organizational support berperan signifikan terhadap
komitmen dosen pada perguruan tinggi. Sedangkan
penelitian Seniati (2002a; 2006) terhadap 302 dosen
yang berstatus pegawai negeri sipil aktif dan telah
bekerja tetap selama minimal satu tahun yang mewakili
12 fakultas di Universitas Indonesia menyimpulkan
bahwa masa kerja, trait kebaikan hati, dan kepuasan
kerja memiliki pengaruh langsung terhadap komitmen
organisasi, sedangkan iklim psikologis memberikan
pengaruh tidak langsung melalui kepuasan kerja. Dari
beberapa kajian tersebut, sekurang-kurangnya dapat
dimaknai bahwa penelitian tentang komitmen organisasi
pada tenaga pendidik serta antesendennya perlu
dilakukan untuk mendukung keberhasilan lembaga
pendidikan dalam menjalankan proses pendidikan. Hal
ini didukung oleh Peterson dan Mets (1987) yang
menyatakan bahwa penelitian tentang komitmen
organisasi perlu dilakukan mengingat perannya
mempengaruhi tingkah laku dalam proses belajar-
mengajar, berinteraksi dengan rekan kerja, kepala
sekolah, serta pelayanan kepada masyarakat.
Data statistik mengenai jumlah guru di Indonesia tahun
2008 (Santana, 2012) semakin menguatkan pendapat di
atas, yakni bahwa jumlah guru pria lebih rendah dari
pada guru wanita baik pada sekolah negeri maupun
swasta, baik pendidikan dasar maupun menengah.
Khususnya guru pada sekolah dasar, guru pria pada
sekolah swasta terpaut jauh dibandingkan dengan guru
wanita (jumlah guru pria sebanyak 542.065 dan guru
wanita sebanyak 774.044 pada sekolah dasar negeri,
sedangkan pada sekolah dasar swasta 49.636 guru pria
dan 70.387 guru wanita)
Meskipun perbedaan jumlah guru di atas dapat
disebabkan oleh sejumlah faktor lain, misalnya
perbedaan motivasi dan preferensi pekerjaan, peneliti
menilai faktor komitmen para pria sebagai guru
terhadap intitusi pendidikan maupun terhadap dunia
pendidikan secara umum patut diperhitungkan. Secara
khusus komitmen guru pria layak dikaji mengingat
pendapat sejumlah ahli dan berdasarkan penelitian
dinyatakan bahwa guru pria amat diperlukan di sekolah
karena sejumlah alasan. Misalnya, Friedman (2010)
menyatakan bahwa guru pria memainkan peran penting
dalam kehidupan anak. Anak-anak yang masih belia
memerlukan model peran (role-model) yang positif.
Anak-anak memerlukan dua model peran yakni peran
laki-laki dan peran perempuan dalam hidupnya,
terutama yang dibesarkan oleh orang tua tunggal dan
sekolah dapat membantu hal itu melalui sosok guru.
Koutros (2010) menyatakan bahwa kurangnya jumlah
guru pria pada sekolah dasar di seluruh dunia
merupakan suatu epidemi dan menyimpulkan hal yang
sama dengan Friedman tentang pentingnya peran guru
pria di sekolah dasar. Roulston dan Mills (2000), Smith
(2004), Martino (2008) dan Holm, et al. (2009)
menegaskan hal ini dengan menyatakan bahwa perlu
mendorong adanya gugus tugas yang beragam dan
representatif terlepas dari masih adanya persoalan
terkait jender di masyarakat, yang diharapkan dapat
membantu anak-anak mengembangkan sebuah harapan
bahwa baik laki-laki maupun perempuan akan mampu
memenuhi semua peran dan tanggung jawab orang
dewasa dalam kehidupan.
Berdasarkan tinjauan Blazer (2006) terhadap sejumlah
kepustakaan, disimpulkan bahwa sebanyak 20 persen
guru di seluruh Amerika Serikat meninggalkan
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
103
profesinya setelah tiga tahun dan 30 persen sesudah
lima tahun menjadi guru. Selain itu, Blazer juga
menemukan bahwa jumlah guru pria dan wanita yang
meninggalkan sekolah tempatnya mengajar ataupun
berhenti mengajar hampir sama, hanya motifnya saja
yang berbeda. Kehamilan dan mengurus anak adalah
alasan perempuan yang paling lazim ditemukan
sedangkan pada pria masalah gaji dan keuntungan
lainnya lebih utama.
Penelitian sejenis, sejauh ini, belum pernah dilakukan di
Indonesia sehingga belum diketahui pasti jumlah guru
yang meninggalkan pekerjaannya sebagai guru, begitu
pula dengan perbedaan guru pria dan guru wanita yang
berhenti mengajar termasuk motif-motifnya. Meski
demikian, hasil penelitian Kantor Bank Dunia di Jakarta
(2011) menunjukkan beberapa temuan menarik tentang
profil dan tren tenaga kependidikan di Indonesia antara
lain: 1) Guru perempuan lebih banyak tersebar di
wilayah perkotaan, sedangkan guru laki-laki lebih
banyak di wilayah terpencil; 2) Sebagian besar guru
berumur antara 35-50 tahun dan 30 persen guru akan
pensiun dalam 10 tahun maka diperlukan penataulangan
terhadap tenaga kependidikan; 3) Sekitar 48 persen
sekolah dikelola swasta yang melayani 31 persen murid
dan mempekerjakan 38 persen dari keseluruhan guru.
Oleh karena itu manajemen guru sekolah swasta
merupakan bahan pertimbangan dalam reformasi sistem
pendidikan di negeri ini; 4) Komposisi guru di sekolah-
sekolah perkotaan adalah 73 persen guru perempuan
dan 27 persen merupakan guru laki-laki; dan 5)
Ketidakhadiran guru adalah isu utama yang
mengkhawatirkan di Indonesia sebab, menurut
penelitian tersebut, tingkat ketidakhadiran guru menurut
studi pada tahun 2003 adalah 19 persen, walaupun turun
menjadi 15 persen dalam studi lanjutan pada tahun
2008. Dengan demikian, menarik untuk mengetahui
lebih jauh tentang komitmen para pria sebagai guru
sekolah dasar. Khususnya guru swasta yang tentu sangat
berbeda dengan guru pada sekolah negeri dalam hal
kepastian pendapatan dan stabilitas finansial yang tak
ditemukan dalam status sebagai guru swasta.
Secara umum, komitmen organisasi digambarkan
sebagai suatu keadaan sejauh mana seseorang
mengidentifikasi dirinya dan melibatkan dirinya pada
organisasi dan tujuan organisasi, serta tidak
berkeinginan untuk meninggalkan organisasi tersebut
(Dunham, Grube, & Castaneda, 1994; Robbins, 2001).
Mowday, Porter, dan Steers (1982:27) mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai: the relative strength of an
individual's identification with and involvement in a
particular organization. Definisi ini menunjukkan
bahwa komitmen organisasi memiliki arti lebih dari
sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan
hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk
memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya.
Selain itu, karyawan yang memiliki komitmen
organisasi yang tinggi akan lebih termotivasi untuk
hadir dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan
organisasi. Lebih jauh, komitmen organisasi yang tinggi
memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat absensi
dan tingkat turnover (Cooper-Hakim & Viswesvaran,
2005), tingkat kelambanan dalam bekerja (Angle &
Perry, 1981), kemangkiran kerja (Farrell & Stamm,
1988), dan perilaku kontraproduktif (Dalal, 2005), serta
berkorelasi positif dengan kepuasan kerja (Cooper-
Hakim & Viswesvaran, 2005), motivasi (Mathieu &
Zajac, 1990), dan organizational citizenship behaviors
(Riketta, 2002).
Terlepas dari banyaknya definisi tentang komitmen
organisasi, Allen dan Meyer (1991) mengkonsepkan
bahwa komitmen organisasi menggambarkan tiga tema
umum, yaitu affective attachment to the organization,
perceived cost association with leaving the organization
dan obligation to remain with the organization. Allen
dan Meyer (1990; 1991) dan Meyer, et al. (2002),
menyatakan bahwa komitmen organisasi memiliki tiga
pendekatan yang disebut komponen komitmen
organisasi, yaitu komitmen afektif, komitmen
berkesinambungan, dan komitmen normatif. Masing-
masing komponen tersebut berbeda fungsi dan
implikasinya, dapat saling berinteraksi, dan dimiliki
oleh seseorang dalam derajat yang berbeda-beda.
Karenanya, Allen dan Meyer (1990) serta Meyer dan
Allen, (1997) lebih memilih untuk menggunakan istilah
komponen komitmen organisasi daripada tipe komitmen
organisasi karena hubungan karyawan dengan
organisasinya dapat bervariasi dalam ketiga komponen
tersebut. Hal yang umum dari ketiga komponen
komitmen ini adalah dilihatnya komitmen sebagai
kondisi psikologis yang: (1) menggambarkan hubungan
individu dengan organisasi, dan (2) mempunyai
implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak
keanggotaannya dalam organisasi (Allen & Meyer,
1991). Karyawan yang mempunyai komitmen afektif
yang kuat akan melanjutkan pekerjaannya dalam
organisasi karena setuju dengan tujuan organisasi
tersebut dan adanya keinginan untuk melakukan hal
tersebut (want to do so), berbeda dengan karyawan yang
mempunyai komitmen berkesinambungan yang tinggi
yang tetap bekerja dalam organisasi karena ia
menganggap rugi bila meninggalkan organisasi dan
karena adanya kebutuhan untuk melakukan hal tersebut
(need to do so). Komponen yang terakhir adalah
komitmen normatif. Dalam hal ini, karyawan yang
memiliki komitmen normatif akan tetap bekerja dalam
organisasi karena adanya nilai-nilai dan norma-norma
yang telah terinternalisasi dalam dirinya, yang
mengharuskannya melakukan hal tersebut (ought to do
so) (Allen & Meyer, 1990).
Berdasarkan penelitian Mowday, Porter dan Steers
(1982), anteseden komitmen organisasi meliputi: (1)
karakteristik personal yang terdiri dari usia, lama kerja,
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
104
jenis kelamin, dan tingkat pendidikan, kepribadian, (2)
karakteristik struktural, (3) karakteristik yang berkaitan
dengan pekerjaan atau jabatan yang terdiri dari
tantangan pekerjaan, konflik peran ganda, dan
ambiguitas peran; serta (4) pengalaman kerja antara lain
terdiri dari gaya kepemimpinan, keterandalan
organisasi, dan rekan kerja memberikan pengaruh
terhadap komitmen organisasi. Meyer, et al. (2002)
mengelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu,
variabel demografi (demographic variables), perbedaan
individual, dan pengalaman kerja.
Dari kajian kepustakaan yang dilakukan peneliti tentang
korelat komitmen organisasi, khususnya di Indonesia,
hingga saat ini, faktor kepribadian termasuk
karakteristik personal yang jarang dilibatkan dalam
penelitian. Karenanya, penelitian Seniati (2002a; 2006)
menjadi rujukan yang penting. Seniati (2002a)
menunjukkan adanya pengaruh sifat-kepribadian
terhadap komitmen organisasi dan yang paling
menonjol adalah faktor agreeableness. Sedangkan studi
Seniati (2006) terhadap sejumlah dosen pada
Universitas Indonesia menemukan bahwa model
hubungan teoritik yang terdiri dari masa kerja, sifat-
kepribadian, kepuasan kerja, dan iklim psikologis sesuai
(fit) untuk menjelaskan komitmen dosen pada
universitas, di mana masa kerja dan sifat-kepribadian
memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap komitmen
dosen pada universitas dibandingkan kepuasan kerja.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa sifat kepribadian
memiliki pengaruh yang lebih stabil dan bertahan
terhadap komitmen organisasi karena sifat kepribadian
adalah sesuatu yang melekat pada diri dosen dan lebih
sulit diubah. Adanya pengaruh sifat kepribadian
terhadap komitmen organisasi pada dosen juga sesuai
dengan pernyataan Caldwell dan O’Reily (1990) bahwa
semakin sesuai sifat-kepribadian seseorang dengan
tuntutan pekerjaan (the person-job fit) maka makin baik
unjuk kerja dan sikap yang berhubungan dengan
pekerjaannya.
Struktur kepribadian berdasarkan sifat dapat dilihat
antara lain dengan menggunakan kepribadian lima besar
(the big five personality) yang dikembangkan oleh
Costa dan McCrae (Costa & McCrae, 1992; McCrae, et
al., 1998). Kelima sifat-kepribadian tersebut adalah
neuroticism, extraversion, openness to experience,
agreeableness dan conscientiousness. Penjelasan
masing-masing faktor sifat tersebut adalah sebagai
berikut: 1) Neuroticism adalah sifat pencemas, mudah
depresi, pemarah, mudah takut, tegang, rawan kritik,
serta emosional dan merupakan sifat negatif; 2)
Extraversion adalah sifat mudah bergaul, banyak bicara,
aktif, asertif, suka berteman, dan suka bergembira; 3)
Openness to experience berisikan sifat imajinatif,
kreatif, ingin tahu, memiliki pemikiran bebas dan
orisinil, menyukai variasi, sensitif terhadap seni; 4)
Agreeableness merupakan sifat ramah, lembut hati,
percaya pada orang lain, murah hati, setuju pada
pendapat orang lain, penuh toleransi dan baik hati; 5)
Conscientiousness, merupakan sifat bersungguh-
sungguh, bertanggungjawab, tekun, teratur, tepat waktu,
ambisius, mau bekerja keras, dan berorientasi pada
keberhasilan.
Berdasarkan penjelasan sifat kepribadian lima besar di
atas, peneliti menduga bahwa terdapat korelasi sifat-
kepribadian dengan komitmen organisasi pada guru.
Guru yang memiliki sifat-kepribadian yang sesuai
dengan tuntutan dan karakteristik pekerjaan sebagai
seorang pendidik sebagaimana dimaksudkan dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 akan memiliki
sikap positif pada sekolah tempatnya mengajar. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan kaitan
sifat openness to experience dengan kreativitas ilmiah
dan artistik (Feist, 1998), berpikir divergen, dan
memiliki pandangan politik yang lebih moderat (Judge,
Heller & Mount, 2002; McCrae, 1996);
Conscientiousness berkaitan dengan perilaku disiplin
diri yang kuat dan berhati-hati (Erdheim, Wang &
Zicker, 2006); Extraversion menunjukkan tendensi
menghabiskan lebih banyak waktu dalam situasi sosial
dan mengekspresikan emosi positif (Judge, Heller &
Mount, 2002); Agreeableness menunjukkan sifat
penolong dan pemaaf (Barrick & Mount, 1991);
Neuroticism cenderung emosional dan merasa tak aman
(Barrick & Mount, 1991). Lebih jauh, peneliti menduga
bahwa guru yang memiliki extraversion, openness to
experience, agreeableness, dan conscientiousness yang
tinggi dan neuroticism yang rendah akan memiliki
kelekatan terhadap pekerjaannya sebagai guru sekaligus
memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Peneliti
menduga, guru dengan sifat extraversion tinggi
memiliki komitmen organisasi afektif yang kuat karena
memiliki emosi yang positif sehingga bereaksi positif
terhadap sekolah; guru dengan sifat openness to
experience berkorelasi negatif dengan komitmen
normatif sebab pemikirannya yang bebas dan
menginginkan variasi menyebabkannya kurang
menghargai sesuatu yang sangat bernilai bagi banyak
orang misalnya ganjaran (reward) formal maupun
informal yang lazim diterapkan agar karyawan memiliki
ikatan pada organisasi. Individu dengan sifat
kepribadian semacam ini umumnya tak memiliki
tanggung jawab atau beban moral untuk bertahan dalam
organisasi (McCrae, 1996); sifat conscientiousness pada
guru akan mendorongnya memiliki komitmen
berkesinambungan yang kuat sebab, menurut Organ dan
Lingl (1995), individu yang memiliki disiplin diri yang
tinggi, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab
akan menghargai apa yang diberikan organisasi
sehingga semakin terlibat dalam pekerjaannya; guru
dengan sifat agreeableness cenderung memiliki
komitmen normatif sebab sifatnya yang lembut hati,
percaya kepada pihak lain, pemaaf, penuh toleransi dan
baik hati, menurut Erdheim, Wang dan Zicker (2006)
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
105
mendorongnya membalas kebaikan organisasi yang
menyediakan baginya dukungan dan lingkungan yang
kondusif; sedangkan sifat Neuroticism pada guru akan
mendorongnya memiliki komitmen berkesinambungan
sebab, menurut Watson dan Clark (1984), serta Erdheim,
Wang dan Zicker (2006), individu tersebut memiliki
kecenderungan mengalami afek negative lebih besar
sehingga kuatir tentang beban dan besar pengorbanannya
jka harus meninggalkan organisasi dan menghadapi
situasi baru dalam lingkungan pekerjaan yang baru.
Selain sifat-kepribadian, faktor lain yang diduga
berperan penting terhadap komitmen guru terhadap
sekolah adalah dukungan organisasi sebagaimana
dipersepsikan oleh guru tersebut atau penghayatan guru
tentang dukungan dari organisasi terhadapnya selaku
guru. Dukungan organisasi ini menyangkut kesiapan
organisasi untuk memberi bantuan pada peningkatan
usaha-usaha yang dilakukan individu dan seberapa besar
menilai kontribusi dan memperhatikan kesejahteraan
karyawan, yang disebut sebagai Perceived
Organizational Support (Eisenberger et al., 2002), yang
untuk selanjutnya akan disebut dengan POS. Peneliti
menganggap faktor ini perlu diteliti sebab dalam bekerja
individu pasti mengharapkan ganjaran, penilaian yang
sepantasnya terhadap usaha-usaha yang dilakukannya
dan perhatian dari organisasi mengenai kesejahteraan
dan kebutuhannya.
Dalam beberapa penelitian, bentuk dukungan organisasi
yang dijadikan indikator dalam menilai POS ini adalah
keadilan (fairness), dukungan dari atasan (support),
imbalan dari organisasi (organizational rewards) dan
kondisi pekerjaan (job condition) (Essenberger et al.,
1986). Dukungan ini akan mempengaruhi komitmen
individu terhadap organisasi. Hal ini disimpulkan dari
sejumlah penelitian, antara lain oleh Tumwesigye
(2010) yang menemukan bahwa ada hubungan positif
antara POS dengan peningkatan komitmen afektif
karyawan pada organisasi. Armeli, et al. (1998) dan
Rhoades, Eisenberger, dan Armeli (2001), serta
Rhoades dan Eisenberger (2002) menemukan bahwa
POS meningkatkan komitmen afektif. Selain itu, Shore
dan Tetrick (1991) menyatakan bahwa POS
meningkatkan komitmen berkesinambungan.
Alasan yang logis sebagai penjelasan terhadap
keterkaitan POS dengan komitmen organisasi antara
lain bahwa POS mendorong respon positif dari
karyawan terhadap organisasi sebab POS
memberdayakan secara psikologis yakni mendorong
keyakinan diri dan kepercayan diri pekerja sehingga
mampu menjalankan tugas-tugas dengan baik (Ali, et
al., 2010). Demikian pula Armeli et al. (1998) yang
menemukan bahwa POS memenuhi beragam kebutuhan
sosioemosional petugas polisi patroli sehingga mampu
menjalankan tugas dengan baik. Eder dan Eisenberger
(2008) menemukan bahwa POS secara signifikan
berpengaruh terhadap berkurangnya penarikan diri
(withdrawl) individu maupun kelompok. Lebih jauh,
Eder dan Eisenberger menyatakan bahwa sekalipun
kelompok memiliki dorongan menarik diri yang kuat,
individu sangat mungkin tidak ikut menarik diri jika
mendapatkan POS yang cukup. Eisenberger, Fasolo dan
Davis-LaMastro (1990) menyimpulkan dampak POS
dalam organisasi lainnya yakni inovasi dalam
organisasi, kehadiran kerja, kesediaan membantu
organisasi, dan komitmen afektif. Lew (2009)
menemukan peran POS terhadap rasa bertanggung
jawab, komitmen afektif dan rendahnya turn-over pada
perguruan tinggi swasta di Malaysia. Dengan demikian,
peneliti menduga bahwa pada guru sekolah dasar juga
akan ditemukan peran POS terhadap komitmen
organisasi. Dalam hal ini, semakin tinggi POS maka
semakin kuat komitmen guru tersebut kepada sekolah
tempat mereka mengajar.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang diajukan
dan hendak dijawab melalui penelitian ini adalah:
Apakah sifat-kepribadian dan dukungan organisasional
merupakan prediktor terhadap komitmen organisasi?
Faktor kepribadian manakah yang berkontribusi
signifikan terhadap masing-masing komponen
komitmen organisasi pada guru-guru pria di sekolah
dasar? Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah
untuk menguji peran sifat-kepribadian dan dukungan
organisasi terhadap komitmen organisasi guru pria di
sekolah dasar, dengan harapan hasil penelitian ini
berkontribusi terhadap pemahaman yang lebih
komprehensif tentang komitmen organisasi dalam
konteks dunia pendidikan dari perspektif psikologis.
2. Metode Penelitian
Studi ini merupakan penelitian kuantitatif berupa survei
atau desain eksplanatoris non-eksperimental, sebab
tidak dilakukan manipulasi terhadap variabel-variabel
yang diteliti (Neuman, 1997:231; Kerlinger & Lee,
2000:558), yang mencoba menguji daya prediktif
(predictability) sifat-kepribadian dan dukungan
organisasional terhadap komitmen organisasi para guru
pria muda. Adapun partisipan penelitian diidentifikasi
sebagai guru pria di sekolah dasar yang berusia di
bawah 40 tahun, berstatus purna waktu, dan sekurang-
kurangnya telah 3 tahun bekerja pada lembaga
pendidikan tempatnya mengajar saat ini. Subyek yang
berusia di bawah 40 tahun dipilih dengan alasan bahwa
usia tersebut merupakan masa paling produktif
sekaligus berpeluang untuk meninggalkan pekerjaan
sebagai guru dan memilih pekerjaan lain. Selain itu,
berdasarkan penelitian Kantor Bank Dunia (2011),
mayoritas guru di Indonesia berusia 35-50 tahun. Lama
bekerja sebagai guru sekurang-kurangnya 3 tahun
ditetapkan peneliti dengan alasan merupakan waktu
yang relatif cukup untuk mengenal dan menghayati
situasi dan kondisi dan dukungan organisasional yang
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
106
didapatkan dari sekolah tempatnya mengajar. Teknik
penentuan sampel penelitian yang diterapkan adalah
convenience sampling yakni mengikutkan partisipan
dengan pertimbangan kemudahan mendapatkan sampel
namun sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (Gravetter
& Forzano, 2009:141).
Dari 5 sekolah dasar swasta/yayasan di Jakarta Timur
yang dimintakan kesediannya sebagai sumber
partisipan, didapatkan sejumlah 60 guru pria yang
memenuhi kriteria, dan selanjutnya dihubungi serta
dijelaskan perihal tujuan dan prosedur penelitian.
Sebanyak 52 guru setuju untuk disurvei, dan sisanya
menolak menjadi partisipan. Selanjutnya, partisipan
diperoleh peneliti dengan undangan kesedian menjadi
partisipan penelitian melalui jejaring sosial. Dengan
demikian, jumlah keseluruhan partisipan adalah 80
orang. Empat dari lima sekolah tersebut tergolong
sekolah berbasis agama, sedangkan sisanya adalah
sekolah swasta umum. Sekolah berbasis agama tersebut
adalah sekolah dasar yang berada di bawah yayasan
yang secara jelas menyatakan kewajiban mempelajari
agama tertentu pada siswanya sebagai bagian ketentuan
yang ditetapkan. Dua di antara sekolah tersebut
merupakan sekolah berbasis Katolik, satu sekolah
berbasis Kristen, dan satu berbasis Islam. Adapun guru-
guru yang diperoleh melalui jejaring sosial mengajar
pada sekolah swasta umum. Sesuai kriteria yang
ditetapkan, guru muda yang menjadi responden
penelitian ini seluruhnya berusia sangat produktif yakni
antara 26-40 tahun. Masa kerja antara 2-10 tahun (92%)
sisanya memiliki masa kerja di atas 10 tahun. Seluruh
responden berpendidikan setingkat sarjana. Berdasarkan
status pernikahan, 90% telah menikah dan sisanya
tidak/belum menikah, dan mayoritas (90%) berlatar
belakang etnis Jawa.
Variabel dalam penelitian ini adalah sifat-kepribadian
dan dukungan organisasional (POS) sebagai variabel
bebas (prediktor) dan komitmen organisasi sebagai
variabel terikat (kriterium). Sifat-kepribadian diukur
dengan menggunakan Skala adaptasi dari NEO Five-
Factor Inventory (NEO-FFI) yang dikontruksi oleh
McCrae (1990), Costa dan McCrae (1992; 1998), Costa,
McCrae, dan Siegler (1995), dan McCrae dan Costa
(1997). Dukungan organisasional diukur menggunakan
adaptasi dari Survey of Perceived Organizational
Support (Rhoades & Eisenberger, 2002), sedangkan
komitmen organisasi guru diukur menggunakan Skala
Komitmen Organisasi yang dikontruksi berdasarkan
komponen komitmen organisasi dari Allen dan Meyer
(1990). Ketiga skala dikontruksi berdasarkan format
Likert dengan lima pilihan respon mulai dari (1) “tidak
pernah” hingga (5) “selalu” untuk aitem favorabel
(pensekoran sebaliknya berlaku bagi aitem tak favorabel).
Kualitas instrumen sebelum digunakan untuk
mengumpulkan data ditentukan melalui pengujian
validitas isi (content validity) dengan menggunakan
kriteria Lawse dengan ketentuan apabila CVR > 0 maka
item sahih dan melibatkan 5 orang penilai (judge) dari
kalangan pengajar psikometrik dan pengembangan alat
ukur psikologis, analisis butir dengan teknik korelasi
Product Moment dari Pearson dan reliabilitas
konsistensi internal Cronbach Alpha (Azwar, 2007;
2008). Hasil uji coba (try out) terhadap 30 responden di
luar subyek penelitian namun memiliki karakteristik
yang sama menunjukkan bahwa skala hasil adaptasi ini
valid dan reliabel. Item skala NEO-FFI yang valid
memiliki koefisien korelasi item-total (rit) antara 0,378-
0,926 (p < 0,05). Hasil uji reliabilitas pada faktor-faktor
yang terdapat pada NEO FFI, adalah sebagai berikut:
Extraversion (α = 0,86), Agreebleness (α = 0,90),
Conscientiousness (α = 0,86), Neuroticism (α = 0,91),
Openness (α = 0,89). Hasil reliabilitas tersebut
menunjukan bahwa faktor Extraversion, Agreebleness,
Conscientiousness, dan Openness tergolong reliabel,
sedangkan faktor Neuroticism termasuk sangat reliabel.
Secara keseluruhan reliabilitas NEO FFI (α = 0,875).
Hasil tersebut menunjukan bahwa NEO FFI tergolong
reliabel. Hasil uji validitas butir skala Survey of
Perceived Organizational Support menunjukkan bahwa
item yang valid memiliki koefisien korelasi item-total
antara 0,362-0,819 (p < 0,05), sedangkan dari hasil uji
reliabilitas diperoleh alpha (α) sebesar 0,88. Hasil ini
menunjukkan bahwa skala tersebut tergolong reliabel.
Item-item Skala Komitmen organisasi yang valid
memiliki korelasi item-total antara 0,365-0,763 (p <
0,05) dengan alpha (α) sebesar 0,923. Hasil ini
menunjukkan bahwa skala tersebut tergolong sangat
reliabel.
Analisis data untuk menguji hipotesis dan mengambil
kesimpulan menggunakan analisis regresi berganda
(multiple regression analysis) dengan bantuan program
komputer SPSS versi 17.00 for Windows untuk melihat
hubungan antara sifat-kepribadian dan dukungan
organisasional secara bersama-sama dengan komitmen
organisasi sekaligus sekaligus melihat varians bersama
(shared variance) kedua variabel prediktor (Giles,
2004:58; Howell, 2009; Field, 2009:210-211). Untuk
menguji faktor kepribadian yang berkontribusi
signifikan terhadap komitmen organisasi digunakan
dengan metode Forced entry atau Enter, sebab metode
ini tepat jika dimaksudkan untuk menguji teori atau
replikasi atas penelitian (Field, 2009:212).
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis deskriptif terhadap variabel penelitian
ditunjukkan pada Tabel 1. Pada Tabel 1, tampak bahwa
untuk pengukuran variabel sifat-kepribadian, skor
partisipan tertinggi adalah pada sifat agreeableness dan
terendah pada neuroticism. Artinya, umumnya guru pria
yang menjadi partisipan penelitian ini memiliki sifat
ramah, lembut hati, percaya pada orang lain, murah hati,
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
107
setuju pada pendapat orang lain, penuh toleransi dan
baik hati. Sebaliknya, sifat negatif seperti pencemas,
mudah depresi, pemarah, mudah takut, tegang, rawan
kritik, serta emosional tergolong sedang cenderung
rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sifat-
kepribadian guru-guru pria tersebut bersesuaian dengan
kompetensi kepribadian yang dimaksudkan dalam UU
Nomor 14 Tahun 2005 sehingga tugas utama untuk
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dapat
dijalankan secara profesional.
Dari pengukuran tentang komitmen organisasi, rata-rata
skor subyek yang menjadi partisipan penelitian ini
tergolong tinggi. Artinya, guru-guru pria yang menjadi
partisipan penelitian ini tetap bekerja dan menjalankan
tugas profesional sebagai guru disebabkan oleh nilai-
nilai dan norma-norma yang terinternalisasi dalam diri
mereka dan adanya dorongan keharusan untuk
melakukan hal tersebut disebabkan nilai dan norma
yang dianut dan tida terutama oleh anggapan rugi bila
meninggalkan sekolah tempatnya mengajar saat ini.
Selain itu, secara umum guru-guru tersebut
mengidentifikasi dirinya dan melibatkan dirinya kepada
sekolah dan tujuannya, serta tidak berkeinginan untuk
meninggalkan sekolah tempatnya mengajar saat ini.
Terkait dengan dukungan organisasional, para guru
yang menjadi responden penelitian ini,
mempersepsikannya secara positif. Artinya, sekolah
dianggap siap memberi bantuan, memperhatikan
kesejahteraan, dan kebutuhannya. Dengan kata lain,
guru menilai sekolah menerapakan prinsip keadilan
(fairness), guru mendapatkan dukungan dari atasan,
mendapatkan imbalan yang layak dari sekolah, selain
kondisi pekerjaan yang dianggap cukup kondusif atau
memadai.
Hasil analisis pendahuluan terhadap variabel-variabel
yang akan dimasukkan dalam analisis dengan
menggunakan korelasi Product Moment Pearson
ditunjukkan pada Tabel 2. Sifat Agreeableness (r = 0,25,
p < 0,05), Openness to experience (r = -0,28, p < 0,01),
dan POS (r = 0,35, p < 0,01) secara signifikan
berkorelasi dengan komitmen organisasi secara umum.
Korelasi tertinggi terdapat pada POS, sedangkan
Openness to experience berkorelasi signifikan negatif
terhadap komitmen organisasi.
Selain itu, meski terdapat korelasi antar faktor
kepribadian namun tak ada yang memiliki indeks terlalu
tinggi (r > 0,9) dan tidak terdapat korelasi antar sifat-
kepribadian dengan dukungan organisasional sehingga
tidak terdapat masalah multikolinearitas antar varibel
prediktor. Uji autokorelasi, berdasarkan output SPSS
berupa model summary, nilai Durbin-Watson sebesar
+1,917di mana angka ini mendekati indeks 2. Dengan
demikian, pada model regresi tersebut tidak terdapat
masalah autokorelasi; Uji heteroskedastisitas,
berdasarkan grafik scatterplot antara SRESID (sumbu X)
Tabel 1. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Mean Temuan Std. Deviation Minimum Maximum Mean Teoritik Kategori
Extraversion 3,53 0,51 1,80 4,50 3 Sedang
Agreebleness 3,71 0,49 2,33 4,42 3 Tinggi
Conscientiousness 3,58 0,46 2,18 3,58 3 Tinggi
Neuroticism 2,52 0,67 1,27 4,00 3 Sedang
Openness 3,45 0,48 2,67 4,67 3 Sedang
POS 3,70 0,42 2,75 4,60 3 Tinggi
Komitmen Organisasi 3,84 0,50 2,83 4,90 3 Tinggi
Komitmen Afektif 3,76 0,53 2,67 4,83 3 Tinggi
Komitmen Kesinambungan 3,62 0,53 2,67 5,00 3 Tinggi
Komitmen Normatif 4,14 0,43 3,14 4,86 3 Tinggi
Tabel 2. Rata-rata, Simpangan Baku, dan Matriks Interkorelasi (N = 80) Variabel Penelitian
Variabel M SD 1 2 3 4 5 6
Komitmen organisasi 3,84 0,50 0,09 0,25* 0,05 -0,28** 0,07 0,35**
Variabel prediktor
Extroversion 3,53 0,51 - 0,59*** 0,74*** -0,54*** 0,36** 0,06
Agreeableness 3,71 0,49 0,59*** - 0,56*** -0,38*** 0,17 0,04
Conscientiousness 3,58 0,46 0,74*** 0,56*** - -0,56*** 0,38*** 0,02
Openness to experience 3,45 0,48 -0,54*** -0,38*** -0,56*** - -0,35** -0,11
Neuroticism 2,52 0,67 0,36** 0,17 0,38*** -0,35** - 0,05
POS 3,70 0,42 0,06 0,04 0,02 -0,10 0,05 -
*p < 0,05, **p < 0,01, ***p < 0,001
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
108
dan ZPRED (sumbu Y) memperlihatkan titik-titik yang
menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y.
Hal ini berarti bahwa pada model regresi tersebut tidak
terjadi heteroskedastisitas; Uji normalitas, berdasarkan
tampilan grafik histogram dan grafik normal plot
terlihat data menyebar di sekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis diagonal artinya pola distribusinya
mendekati normal. Dengan demikian model regresi
tersebut memenuhi asumsi normalitas. (Field, 2009:227-
229; 241-250). Berdasarkan seluruh uji asumsi di atas,
dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian
ini layak dipakai untuk memprediksi komitmen
organisasi berdasarkan masukan variabel independennya
yakni sifat-kepribadian dan dukungan organisasional.
Hasil analisis statistik inferensial untuk menguji daya
prediktif sifat-kepribadian dan dukungan organisasional
dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui jika
sifat-kepribadian dimasukkan dalam model, secara
statistik hanya dua faktor yang menjadi prediktor
komitmen organisasi yakni Agreeableness (β = 0,31; p <
0,05) dan Openness to experience (β = -0,34; p < 0,05),
dengan persamaan regresi juga signifikan ((F(5,74) = 2,61,
p < 0.05, R² = 0,15, ΔR² = 0,15)). POS juga merupakan
prediktor terhadap komitmen organisasi (β = 0,32; p <
0,01), dengan persamaan regresi juga siginifikan
((F(1,73) = 9,63, p < 0.01, R² = 0,25, ΔR² = 0,10)). Nilai
prediktif kedua prediktor meningkat (R = 0,25). Dengan
kontribusi sebesar 10% (ΔR² = 0,10), POS merupakan
prediktor terkuat terhadap komitmen organisasi.
Dalam penelitian ini, sifat-kepribadian yang
memberikan pengaruh yang bermakna terhadap
komitmen organisasional adalah agreeableness dan
openness to experience. Agreebleness adalah sifat yang
dapat disebut juga social adaptibility atau likability
yang mengindikasikan seseorang yang ramah,
kooperatif, lembut hati, bermurah hati, hangat, percaya
kepada orang lain, mau mengalah,penuh toleransi, dan
menghindari konflik. Openness to experience
menunjukkan sifat-sifat imajinatif, kreatif, ingin tahu,
memiliki pemikiran bebas dan orisinil, serta menyukasi
variasi. Peran negatif sifat Openness to experience
terhadap komitmen organisasi sebagaimana ditunjukkan
oleh hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa
guru-guru pria tersebut tidak terdorong untuk
meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan tidak
berniat meninggalkan sekolah tempatnya mengajar
melainkan terlibat secara penuh kepada sekolah
disebabkan oleh kuatnya rasa percaya, sifat kerja sama,
dan tidak menyukai variasi dan pengalaman lain atau
tempat yang lain (Barrick & Mount, 1991; Costa &
McCrae, 1992; McCrae, 1996; McCrae, et al, 1998;
Feist, 1998; Judge, Heller & Mount, 2002;; Erdheim,
Wang & Zicker, 2006). Hasil ini mendukung temuan
Jusuf (1994) bahwa realisasi harapan individu, perasaan
dipentingkan organisasi dan keterandalan organisasi
sebagai bagian karakteritik lingkungan pekerjaan
merupakan anteseden komitmen organisasi. Dalam
penelitian ini ketiga karakteristik tersebut tercakup
dalam POS. Dalam hal ini, guru yang menganggap
organisasi memberikan dukungan, menghargai
kontribusi, memperhatikan kesejahteraan guru dan siap
memberikan reward untuk prestasi guru-guru
berpengaruh terhadap komitmen dan keputusan individu
untuk melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi.
Dalam penelitian ini, POS guru-guru tergolong tinggi.
Artinya, guru-guru mempersepsikan sangat positif
dukungan sekolah yang diterimanya dan sekolah dinilai
sangat mendukung guru dalam menjalankan tugas-tugas
profesionalnya. Dengan demikian, sifat agreebleness
yang bepengaruh secara positif dan Openness to
experience yang berperan secara negatif sebagaimana
halnya persepsi yang sangat positif terhadap dukungan
organisasi, dapat menjelaskan kuatnya komitmen
organisasi para guru tersebut.
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Ganda
Tahap dan Variabel prediktor B SE B β R² ΔR²
Tahap 1 0,15* 0,15*
Constant 97,86 15,62
Extroversion -0,21 0,31 -0,12
Agreeableness 0,49 0,22 0,31*
Conscientiousness -0,43 0,32 -0,23
Openness to experience -0,35 0,14 -0,34*
Neuroticism 0,06 0,26 0,03
Tahap 2
0,25** 0,10**
Constant 64,34 18,31
Extroversion -0,25 0,29 -0,14
Agreeableness 0,48 0,20 0,31*
Conscientiousness -0,37 0,30 -0,20
Openness to experience -0,31 0,13 -0,30*
Neuroticism 0,05 0,24 0,02
POS 0,34 0,11 0,32**
*p < 0, 05, **p < 0,01
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
109
Selanjutnya, untuk mengetahui variabel yang
berkontribusi signifikan terhadap masing-masing
komponen komitmen organisasi, maka dilakukan
analisis data dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Dapat dilihat bahwa POS berkontribusi terhadap
komitmen organisasi afektif (β = 0,26, p < 0,05),
sedangkan sifat kepribadian tidak ditemukan
signifikansi secara statistik sebagai prediktor terhadap
komitmen afektif. Selanjutnya, Neuroticism (β = -0,29,
p < 0,05) dan POS (β = 0,41, p < 0,001) merupakan
prediktor terhadap komitmen organisasi
kesinambungan, dan Agreeableness (β = 0,35, p < 0,05)
sebagai prediktor terhadap komitmen normatif.
Persamaan regresi juga siginifikan untuk masing-
masing prediktor, yakni POS ((F(1,73) = 6,10, p < 0.05,
R² = 0,17, ΔR² = 0,07)) terhadap komitmen afektif,
Neuroticism (F(1,74) = 6,34, p < 0.05, R² = 0,14, ΔR² =
0,07) dan POS (F(1,73) = 17,38, p < 0.000, R² = 0,30,
ΔR² = 0,17) terhadap komitmen kesinambungan, serta
Agreeableness (F(1,74) = 6,34, p < 0,05, R² = 0,14, ΔR²
= 0,07)) terhadap komiten normatif.
POS mempengaruhi komitmen organisasi afektif dan
komitmen organisasi kesinambungan. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh LaMastro (2003)
pada guru sekolah dasar di New Jersey, Amerika Serikat
yang menyatakan adanya hubungan yang positif antara
POS dengan komitmen afektif. Hal senada juga
dikemukakan oleh Sanchez, Korbin dan Viscarra (1995)
bahwa terdapat hubungan yang positif antara POS
dengan peningkatan komitmen afektif karyawan pada
organisasi. Selain itu, penelitian Kembaren (2002)
menunjukkan bahwa POS mempengaruhi secara positif
komitmen afektif dan kesinambungan. Artinya semakin
tinggi POS yang dimiliki oleh guru maka semakin tinggi
keinginan (want to) dan kebutuhan (need to) untuk tetap
bertahan dalam organisasi. Sebagaimana temuan Lew
(2011) pada akademisi universitas-universitas Australia
yang berlokasi di Malaysia dan menemukan bahwa POS
berpengaruh langsung pada komitmen afektif. Hal ini
dapat dipahami sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa POS merupakan keyakinan tenaga kerja tentang
komitmen organisasi terhadap mereka dan karenanya
tenaga kerja dengan POS tinggi akan membalasnya
dengan komitmen yang lebih kuat terhadap organisasi.
Hasil penelitian tentang peran POS terhadap komitmen
kesinambungan ini berbeda dengan sejumlah temuan
yang menyimpulkan pengaruh negatif POS terhadap
komitmen kesinambungan (a.l. Shore & Tetrick, 1991;
Shore & Wayne, 1993; Randall & O’Driscoll, 1997;
O’Driscoll & Randall, 1999). Namun, bersesuaian
dengan temuan Jusuf (1994) pada guru-guru sekolah
dasar di Jakarta yang menyimpulkan peran keterandalan
organisasi terhadap komitmen kesinambungan guru-
guru tersebut. Perhatian sekolah terhadap minat guru
merupakan pemenuhan suatu kebutuhan (need) bagi
para guru sehingga mendorong kuatnya rasa percaya
guru bahwa sekolah ‘tak mengobral janji’ melainkan
sungguh-sungguh mewujudkan apa yang disarankan dan
diharapkan para guru. Karenanya, guru-guru
melanjutkan dan mempertahankan keanggotaannya di
sekolah.
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah
peran Neuroticism terhadap komitmen guru. Hal ini
menjadi semacam respon atas pernyataan Seniati
(2002b) bahwa Neuroticism sebelumnya belum pernah
diteliti hubungannya dengan komitmen organisasi pada
tenaga pendidik baik guru maupun dosen. Temuan ini
menarik disebabkan perbedaannya dengan hasil
sejumlah penelitian sebelumnya khususnya beberapa
penelitian di budaya Barat yang menemukan hubungan
positif antara Neuroticism dan komitmen
kesinambungan (misalnya, Erdheim, Wang, & Zickar,
2006) dan terutama mengacu pada pernyataan Hofstede
dan McCrae (2004), bahwa orang dalam masyarakat
yang menghindari ketidakpastian yang tinggi (high
uncertainty avoidance societies) cenderung lebih
neurotik. Karenanya, tenaga kerja lebih memilih bekerja
dalam sistem dengan aturan yang ketat dan sistem kerja
formal yang membantunya mengatur kehidupan
kerjanya sedemikian rupa. Dalam hal ini, seseorang
yang neurotik (memiliki sifat neuroticism) akan
memiliki komitmen kesinambungan untuk menghindari
situasi ketidakpastian dan memutuskan untuk tidak
meninggalkan organisasi saat ini.
Dalam penelitian ini, Neuroticism berperan negatif
terhadap komitmen kesinambungan. Neuroticism
ditunjukkan oleh sejumlah sifat antara lain pencemas,
mudah depresi, pemarah, mudah takut, tegang, rawan
kritik, serta emosional yang dapat dianggap sebagai sifat
negatif. Menurut Teng (2008), sifat kepribadian ini
berlawanan dengan sifat ekstroversi dan umumnya
rentan mengalami emosi negatif. Tenaga kerja yang
memiliki dimensi kepribadian semacam ini selalu kurang
percaya diri sehingga sangat kecil kecenderungannya
Tabel 4. Hasil uji Regresi Ganda Sifat-Kepribadian dan POS dengan Komponen Komitmen Organisasi
Model B SE B β R² ΔR²
Komitmen afektif POS 0,09 0,04 0,26* 0,17* 0,07*
Neuroticism -0,14 0,06 -0,29* 0,14* 0,08* Komitmen
Kesinambungan POS 0,20 0,05 0,41*** 0,30*** 0,17***
Komitmen Normatif Agreeableness 0,19 0,07 0,35* 0,09* 0,08*
*p < 0,05, **p < 0,01, ***p < 0,001
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
110
untuk bertahan dalam organisasi. Hal ini didukung oleh
temuan bahwa Neuroticism berhubungan secara terbalik
dengan hasil (outcome) pekerjaan yang amat penting
antara lain kinerja dan kepuasan kerja (Judge, Heller &
Mount, 2002; Kumar & Bakhshi, 2010). Demikian pula
penjelasan Costa dan McCrae (1991) bahwa individu
yang memiliki skor tinggi dalam dimensi neuroticism
rentan terhadap stres, merasa inferior, takut dicemooh
orang lain, dan merasa kurang nyaman di antara orang
lain. Neuroticism juga menyebabkan individu kurang
mampu menyesuaikan diri secara positif dan kurang
stabil dalam emosionalitas (Judge, et al., 2002) serta
kurang mampu belajar hidup dalam stress (Conner-
Smith & Flachsbart, 2007) sehingga besar kemungkinan
akan meninggalkan organisasi tempatnya bekerja.
Emosi negatif yang terbentuk pada diri seseorang yang
memiliki sifat Neuroticism membuatnya kurang
terdorong membuat komitmen yang layak terhadap
organisasi dan sebaliknya terdorong untuk mengundurkan
diri terutama jika eskalasi stress kerjanya tinggi. Dengan
demikian, dapat dipahami jika terdapat korelasi negatif
antara sifat Neuroticism dengan komitmen
kesinambungan.
Sifat agreeableness mempengaruhi komitmen
organisasi normatif. Hal ini berbeda dengan penelitian
Seniati (2006) yang menemukan sifat agreeableness
mempengaruhi semua komponen komitmen organisasi.
Perbedaan partisipan penelitian kemungkinan menjadi
penyebab. Seniati (2006) meneliti komitmen organisasi
dosen pria dan wanita beragam umur pada perguruan
tinggi negeri, sedangkan dalam penelitian ini diungkap
komitmen organisasi pria muda guru sekolah dasar
swasta. Artinya, kemungkinan terdapat peran konteks
organisasi dan karakteristik demografis partisipan
terhadap perbedaan peran sifat agreeableness terhadap
komitmen organisasi tersebut. Agreeableness berkaitan
dengan keramahtamahan secara emosional (emotional
hospitality) dan emosi semacam ini akan memperkokoh
identitas tenaga kerja dengan lingkungan kerjanya
sehingga menguat kebutuhan untuk membalas kebaikan
organisasi karena telah menyediakan lingkungan sosial
yang mendukung (Erdheim, Wang, & Zickar, 2006).
Dalam hal ini, komitmen normatif meningkat
disebabkan sifat baik hati atau kemurahan hati guru
yang menganggap sekolah telah berbuat baik maka guru
merasakan berhutang budi kepada sekolah dan
menganggap ada keharusan baginya untuk membalasnya.
Namun, sifat tersebut tidak mendorong guru-guru ini
memiliki komitmen berkesinambungan dan komitmen
afektif. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan
mempertimbangkan peran konteks organisasi dan faktor
demografis dalam kaitan sifat agreeableness dengan
komitmen organisasi pria guru sekolah dasar
Dalam penelitian ini, mayoritas responden diketahui
berlatar belakang etnis Jawa, secara khusus berasal dari
Jawa Tengah. Secara umum, merujuk pada Magnis-
Suseno (1984), orang Jawa memiliki karakter yang
cenderung nrimo, menghindari dengan sangat hati-hati
ketegangan pribadi dan sosial, konflik dan konfrontasi
sebab orang Jawa menganggap kerukunan atau
keharmonisan sebagai sifat yang sangat penting. Lebih
lanjut, Magnis-Suseno (1984) menjelaskan tentang etika
Jawa menekankan kepada rasa dan keselarasan. Hidup
dalam harmoni berarti hidup dalam permufakatan,
kedamaian, ketenangan tanpa konflik dan pertentangan
atau bersatu agar masyarakat dapat saling tolong
menolong satu sama lain. Hal ini dapat menjelaskan
hasil analisis terhadap skor responden yang
menunjukkan bahwa guru-guru pria sekolah dasar
swasta ini memiliki komitmen organisasi yang tinggi,
yang diduga peneliti berkaitan dengan nilai budaya
Jawa tentang ketaatan, kesetiaan, sopan satun, dan
harmoni. (Magnis-Suseno, 1984). Temuan ini juga
memungkinkan kajian lanjutan dalam perspektif
psikologi ulayat (indigenous psychology) khususnya
peran nilai budaya terhadap relasi kepribadian dengan
komitmen organisasi.
Guru-guru yang menjadi partisipan penelitian ini,
mayoritas mengajar pada sekolah dasar swasta yang
tergolong favorit dan terkenal. Hal ini diduga oleh
peneliti turut mendukung komitmen organisasi mereka.
Ditinjau dari perspektif teori identitas sosial dalam
kaitannya dengan organisasi, terdapat kaitan erat antara
identifikasi organisasional dengan komitmen organisasi,
entah keduanya dianggap sama ataupun identifikasi
terhadap organisasi dianggap sebagai bagian dari
komitmen organisasi (Ashforth & Mael, 1989). Hal ini
didukung oleh pendapat Pierce dan Gardner (2004)
bahwa harga diri seseorang juga ditentukan oleh
pekerjaan dan pengalaman organisasionalnya.
Berdasarkan tinjauan terhadap sejumlah penelitian,
Pierce dan Gardner menyimpulkan bahwa karyawan
yang memiliki harga diri tinggi lebih berkomitmen
terhadap organisasinya dibandingkan dengan individu
berharga diri rendah. Hal ini disebabkan relasi individu-
organisasi dipengaruhi oleh sejauh mana inidvidu
tersebut mengidentifikasi dirinya terhadap organisasi.
Temuan ini memungkinkan dilakukannya penelitian
lanjutan dengan mempertimbangkan harga diri sebagai
salah satu variabel yang berperan dalam relasi
kepribadian dan komitmen organisasi.
Penelitian ini mengandung sejumlah keterbatasan yang
patut dipertimbangkan. Pertama, penelitian ini
dilakukan dengan teknik pengambilan sampel
convenience sampling dengan jumlah kecil bila
dibandingkan dengan populasi guru pria di Indonesia
menurut data Bank Dunia. Jumlah sampel penelitian ini
tidak cukup representatif bagi populasi guru-guru pria di
sekolah dasar. Dengan demikian, hasil penelitian tak
dapat digeneralisasikan secara luas melainkan terbatas
pada guru pria yang menjadi responden penelitian ini.
Kedua, mayoritas partisipan penelitian ini belakangan
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
111
diketahui berlatar belakang etnis Jawa. Dengan demikian,
hasil penelitian ini tak dapat digeneralisasikan terhadap
guru-guru berlatar belakang berbeda. Ketiga, penelitian
ini belum mempertimbangkan peran faktor-faktor
personal, organisasional, dan interpersonal lain yang
dianggap relevan terkait komitmen organisasi antara
lain masa kerja (Seniati, 2002a; Meyer, et al., 2002),
status pernikahan, sistem kompensasi, perilaku atasan,
dan usia (Jusuf, 1994; Meyer, et al., 2002), serta
komitmen pekerjaan (Kembaren, 2002). Dalam
penelitian ini, faktor-faktor tersebut tidak dilibatkan
sebagai variabel penelitian atau tidak dilakukan analisis
data tambahan mengingat perbandingan partisipan yang
sangat tidak seimbang khususnya masa kerja, usia,
status pernikahan, dan etnisitas. Karenanya, temuan ini
memungkinkan penelitian lanjutan dengan mempertim-
bangkan sejumlah faktor personal, interpersonal dan
organisasional yang relevan terutama dari data demografis.
Meskipun variabel-variabel prediktor yang dilibatkan
dalam penelitian ini sudah pernah diteliti sebelumnya
dalam latar (setting) pendidikan, namun belum pernah
dilakukan terhadap guru-guru pria sekolah dasar maka
penelitian ini selayaknya dianggap sebagai kajian
pendahuluan (pilot study) dan sebaiknya dilanjutkan
menjadi penelitian pengembangan (riset ekstensi) sebab
khazanah kepustakaan tentang komitmen organisasi pada
tenaga pengajar di Indonesia masih sedikit, khususnya
mengenai guru pria. Terlepas dari keterbatasannya,
penelitian ini telah berkontribusi terhadap pemahaman
dan penjelasan terhadap komitmen organisasi guru pria
di sekolah dasar khususnya ditinjau dari segi internal
yakni sifat kepribadian dan segi eksternal yakni
dukungan organisasional, khususnya dalam bidang
perilaku organisasi dan psikologi kerja yang diharapkan
bermanfaat secara teoritik maupun praktis.
4. Simpulan
Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa 1) sifat-
kepribadian dan POS merupakan prediktor terhadap
komitmen organisasi guru-guru pria di sekolah dasar; 2)
Sifat agreeableness dan openness to experience berperan
secara bermakna terhadap komitmen organisasi secara
umum; 3) POS berkontribusi secara bermakna terhadap
komitmen organisasi afektif dan kesinambungan; 4)
Neuroticism merupakan prediktor terhadap komitmen
organisasi kesinambungan, dan Agreeableness sebagai
prediktor terhadap komitmen normatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas
dapat dipertimbangkan saran-saran teoritik sebagai
berikut:1) Bagi peneliti lain yang tertarik dengan
permasalahan yang sama, diharapkan untuk melakukan
penelitian dengan melibatkan jumlah partisipan yang
lebih besar dengan teknik pengambil sampel yang lebih
baik mislanya multistage sampling, bahkan sensus; 2)
Selain itu, juga disarankan untuk melibatkan faktor-
faktor personal, kelompok dan organisasional yang
relevan sebagaimana disebutkan di atas; 3) Disarankan
pula untuk melakukan studi komparatif ditinjau dari
latar belakang etnis dan budaya mengingat partisipan
penelitian ini mayoritas adalah etnis Jawa; 4) Penelitian
ini juga dapat dikembangkan dengan melibatkan faktor
afektivitas (emosionalitas) dalam kaitan antara sifat
Neuroticism dengan komitmen organisasional misalnya
variabel kecerdasan emosi, kematangan emosi, regulasi
emosi, manajemen stress, strategi coping yang mungkin
berperan sebagai moderator atau mediator dalam
hubungan tersebut; 5) Penelitian selanjutnya diharapkan
juga mempertimbangkan pendekatan lintas budaya dan
ulayat (cross-cultural and indigenous apparoach) untuk
melihat persamaan maupun perbedaan komitmen
organisasi antar etnis dan latar budaya yang beragam; 6)
Penelitian ini patut dilanjutkan dengan desain penelitian
dan teknik analisis yang berbeda misalnya analisis
multivariat dan analisis jalur melalui kerangka kerja
(framework) yang lebih komprehensif.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa komitmen
organisasi guru-guru pria di sekolah dasar tergolong
tinggi. Untuk itu, diharapkan sekolah
mempertahankannya melalui dukungan organisasional
yang juga telah dipersepsikan secara positif oleh para
guru tersebut. Pihak sekolah diharapkan untuk
senantiasa menjaga komitmen organisasi guru agar tetap
stabil pada kategori tinggi, dengan mempertahankan
perlakuan adil yang adil terhadap guru, sikap pimpinan
yang menghargai kontribusi guru dan memperdulikan
kesejahteraan para guru, memberi penghargaan yang
pantas atas setiap prestasi yang dilakukan guru pria.
Secara prinsip hal ini sangat dibutuhkan dalam menjaga
komitmen mengingat jumlah guru pria hingga kini
terpaut jauh dari guru perempuan meski keberadaan
guru pria amat dibutuhkan di sekolah demi pemenuhan
tujuan pendidikan dan perkembangan psikososial para
murid.
Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa
Neuroticism tergolong sedang dan mengingat peran
signifikannya secara negatif terhadap komitmen
kesinambungan maka diharapkan pihak sekolah dapat
melakukan intervensi psikologis yang dibutuhkan untuk
mengurangi potensi dampak sifat ini terhadap komitmen
organisasi antara lain pelatihan kecerdasan emosional
dan bentuk rekayasa kepribadian lain yang dianggap
sesuai sebab sifat negatif ini tidak berkaitan langsung
dengan kondisi dan respon sekolah terhadap guru
melainkan predisposisi yang dimiliki guru tersebut
secara stabil yang potensial mengganggu performa dan
komitmen terutama pada eskalasi stres kerja yang tinggi.
Daftar Acuan
Ali, A., Rehman, M.A., Ul Haq, I., Jam, F.A., Ghafoor,
M.B., & Azeem, M.U. (2010). Perceived organizational
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
112
support and psychological empowerment. European
Journal of Social Sciences, 17(2), 186-192.
Allen, N.J. & Meyer, J.P. (1990). The Measurement dan
antecedents of affective, continuance, and normative
commitment. Journal of Occupational Psychology, 63,
1-18.
Allen, N.J. & Meyer, J.P. (1991). A three-component
conceptualization of organizational commitment.
Human Resource Management Review, 1, 61-89.
Angle, H.L., & Perry, J.L. (1981). An empirical
assessment of organizational commitment and
organizational effectiveness. Administrative Science
Quarterly, 27, 1-14.
Armeli, S., Eisenberger, R., Fasolo, P., & Lynch, P.
(1998). Perceived organizational support and police
performance: The moderating influence of
socioemotional needs. Journal of Applied Psychology,
83, 288-297.
Ashforth, B.E., & Mael, F. (1989). Social identity
theory and the organization. The Academy of
Management Review, 14(1), 20-39.
Azwar, S. (2007). Reliabilitas dan validitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2008). Penyusunan skala psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barnes, G., Crowe, E., & Schaefer, B. (2007). The cost
of teacher turnover in five school districts:A pilot study.
Diakses dari http://nctaf.org/wp-content/uploads/2012/01/
NCTAF-Cost-of-Teacher-Turnover-2007-full-report.pdf.
Barrick, M.R., & Mount, M.K. (1991). The Big-Five
personality dimensions and job performance: A meta-
analysis. Personnel Psychology, 44, 1-26.
Blazer, C. (2006). Literature review on teacher transfer
and turnover. Diakses dari
http://drs.dadeschools.net/Reports/Teacher_Turnover.pdf.
Caldwell, D.F., & O’Reilly, C.A. (1990). Measuring
person–job fit with a profile-comparison process.
Journal of Applied Psychology, 75, 648–657.
Cooper-Hakim, A., & Viswesvaran, C. (2005). The
construct of work commitment: Testing an integrative
framework. Psychological Bulletin, 131(2), 241-259.
Connor-Smith, J.K. & Flachsbart, C. (2007). Relations
between personality and coping: A meta-analysis.
Journal of Personality & Social Psychology, 93, 1080-
1107.
Costa, P.T., & McCrae, R.R. (1991). The NEO
Personality Inventory: Using the Five-Factor Model in
counseling. Journal of Counseling and Development,
69, 367–372.
Costa, P.T., & McCrae, R.R. (1992). Revised NEO
Personality Inventory & NEO Five Factor Inventory:
Professional manual. Odessa, Florida: Psychological
Assessment Resources, Inc.
Costa, P.T., Jr., McCrae, R.R., & Siegler, I.C. (1995).
Domains and facets: Hierarchical personality
assessment using the revised NEO Personality Inventory
.Journal of Personality Assessment, 64(1), 21-50.
Costa, P.T., & R.R. McCrae. (1998). Manual Supplement
for the NEO 4. Odessa, FL: PsychologicalAssessment
Resource, Inc.
Dalal, R.S. (2005). A meta-analysis of the relationship
between organizational citizenship behavior and
counterproductive work behavior. Journal of Applied
Psychology, 90(6), 1241-1255.
Day, C. (2004). A passion for teaching. London:
Routledge Falmer.
Dunham, R.B., Grube, J.A. & Castaneda, M.B. (1994).
Organizational commitment: The utility of an integrative
definition. Journal of Applied Psychology, 79, 370-380.
Eder, P., & Eisenberger, R. (2008). Perceived organizational
support: Reducing the negative influence of coworker
withdrawal behavior. Journal of Management, 34, 55-68.
Eisenberger, R., Huntington, R., Hutchison, S., & Sowa,
D. (1986). Perceived organizational support. Journal of
Applied Psychology, 71, 500-507.
Eisenberger, R., Fasolo, P. & Davis-LaMastro, V.
(1990). Perceived organizational support and employee
diligence, commitment, and innovation. Journal of
Applied Psychology, 75(1), 51-59.
Eisenberger, R., Stinglhamber, F., Vandenberghe, C.
Sucharski, I.L. & Rhoades, L. (2002). Perceived
supervisor support: Contributions to perceived
organizational support and employee retention. Journal
of Applied Psychology, 87(3), 565-573.
Erdheim, J., Wang, M., & Zickar, M.J. (2006). Linking
the big five personality constructs to organizational
commitment. Personality and Individual Differences,
41(5), 959-970.
Farrel, D., & Stamm, C.L. (1988). Meta-analysis of the
correlates of employee absence. Human Relations, 41,
211-227.
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
113
Feist, G.J. (1998). A meta-analysis of personality in
scientific and artistic creativity. Personality and Social
Psychology Bulletin, 2, 209-309.
Field, A. (2009). Discovering statistics using SPSS (3rd
edition). London: Sage.
Friedman, S. (2010). Male voices in early childhood
education. Diakses dari
http://www.naeyc.org/files/yc/file/201005/YCFriedman
Online0510.pdf.
Giles, D.C. (2004). Advanced research methods in
psychology. London & New York: Routledge.
Gravetter, F.J. & Forzano, L.B. (2009). Research
methods for the behavioral sciences. Belmont:
Wadsworth Cengage Learning.
Hofstede, G., & McCrae, R.R. (2004). Personality and
culture revisited: Linking traits and dimensions of
culture. Cross-Cultural Research, 38, 52-88.
Holm, J., Janairo, R., Jordan, T., & Wright, N.
(Desember, 2009). Where are the men? Promoting
gender diversity in the Massachusetts early childhood
workforce. Diakses dari http://www.cayl.org/files/
Men.pdf.
Howell, D.C. (2009). Statistical methods for psychology
(7th ed.). Belmont, CA: Wadsworth Publishing.
Judge, T.A., Heller, D., & Mount, M.K. (2002). Five-
Factor model of personality and job satisfaction: A
meta-analysis. Journal of Applied Psychology, 87, 530-
541.
Jusuf, M.F.I. (1994). Keikatan guru sekolah dasar pada
organisasi: Suatu kajian tentang hubungan karakteristik
pribadi, karakteristik peran, lingkungan pekerjaan
dengan keikatan pada organisasi, dan kaitannya dengan
niat meninggalkan organisasi. Tesis (tidak diterbitkan)
pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Kantor Bank Dunia (2011). Mentransformasi Tenaga
Pendidikan Indonesia Vol II. Laporan Penelitian
tentang Manajemen Guru di Indonesia: Jakarta: Kantor
Bank Dunia Jakarta & Kemendiknas.
Kembaren, E.M. (2002). Pengaruh trait kepribadian,
komitmen pekerjaan dan perceived organizational
support terhadap komitmen dosen pada perguruan
tinggi. Tesis (tidak diterbitkan) Depok: Fakultas
Psikologi Indonesia.
Kerlinger, F.N., & Lee, H.B. (2000). Foundations of
behavioral research (4th edition). Fort Worth, TX:
Harcourt College.
Koutros, M. (2010). The lack of male teachers and it’s
effect on student development. Diakses dari
http://earlyactionresearch.wikispaces.com/file/view/kout
ros_actionresearch.pdf.
Kumar, K. & Bakhshi, A. (2010). The five-factor model
of personality and of organizational commitment: Is
there is a relationship? Humanity and Social Sciences
Journal, 5(1), 25-34.
LaMastro, V. (2003). Commitment and perceived
organizational support. Diakses dari
http://nationalforum.com/tocaer10e3.html.
Lew, T.Y. (2009). The relationships between perceived
organizational support, felt obligation, affective
organizational commitment and turnover intention of
academics working with private higher educational
institutions in Malaysia. European Journal of Social
Sciences, 9(1), 72-87.
Lew, T.Y. (2011). Affective organizational commitment
and turnover intention of academics in in Malaysia.
Lew, Tek. 2010. Dalam Zhang, C. (ed.) (2011)
International Conference on Business and Economics
Research, Nov 26 2011, hlmn. 110-114. Kuala Lumpur,
Malaysia: Institute of Electrical and Electronics
Engineers (IEEE).
Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah analisa
falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta:
Gramedia.
Martino, W.J. (2008). Male teachers as role models:
Addressing issues of masculinity, pedagogy and the re-
masculinization of schooling. Curriculum Inquiry,
38(2), 189-223.
Mathieu, J.E., & Zajac, D.M., (1990). A review and
meta-analysis of the antecedents, correlates and
consequences of organizational commitment.
Psychological Bulletin, 108(2), 171-194.
McCrae, R.R.(1990). Traits and trait names: How well
is openness represented in natural languages? European
Journal of Personality, 4, 119-129.
McCrae, R.R. (1996). Social consequences of experiential
openness? Psychological Bulletin, 120, 323-337.
McCrae, R.R., & Costa, P.T., Jr. (1997). Personality
trait structure as a human universality. American
Psychologist, 52(5), 509-516.
McCrae, R.R, Costa, P.T., Del Pilar, G.H., Rolland, J.P.
& Parker, W.D. (1998) Cross cultural assessment of the
Five-Factor Model. Journal of Cross-Cultural
Psychology, 29, 171-188
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
114
Meyer, J.P. & Allen, N.J. (1997). Commitment in the
workplace: Theory, research, and application.
Thousand Oaks, CA: Sage Publication, Inc.
Meyer, J.P., Stanley, D.J., Herscovitch, L., &
Topolnytsky, L. (2002). Affective, continuance and
normative commitment to the organization: A Meta-
analysis of antecedents, correlates and consequences.
Journal of Vocational Behaviour, 61, 20-52.
Mowday, R.T., Porter, L.W., & Steers, R.M. (1982).
Employee-organization linkages: The psychology of
commitment, absenteeism, and turnover. New York:
Academic Press.
Neuman, W.L. (1997). Social research methods:
Qualitative and quantitative approach. Needham
Heights, MA: Allyn & Bacon.
O’Driscoll, M.P., & Randall, D.M. (1999). Perceived
organisational support, satisfaction with rewards, and
employee job involvement and organisational
commitment. Applied Psychology: An International
Review, 48(2), 197-209.
Organ, D.W. & Lingl, A. (1995). Personality,
satisfaction, and organizational citizenship behavior.
Journal of Social Psychology, 135, 339-350.
Peterson, M.W. & Mets, L.A. (1987). An evolutionary
perspective on academic governance, management, and
leadership: Key resources on higher education
governance, management, and leadership. Dalam M.W.
Peterson & L.A. Mets (Ed). Governance, management
and leadership. San Francisco: Josey-Bass Publishers,
1-21.
Pierce, J.L., & Gardner, D.G. (2004). Self-esteem
within the work and organizational context: A review of
the organization-based self-esteem literature. Journal of
Management, 30(5), 591-622.
Randall, D.M. & O’Driscoll M.P. (1997). Affective versus
calculative commitment: Human resource implications.
Journal of Social Psychology, 137, 606-618.
Rhoades, L., Eisenberger, R., & Armeli, S. (2001).
Afective commitment to the organization: The
contribution of perceived organizational support.
Journal of Applied Psychology, 86(5), 826-846.
Rhoades, L., & Eisenberger, R. (2002). Perceived
organizational support: A review of the literature.
Journal of Applied Psychology, 87(4), 698-714.
Riketta, M. (2002). Attitudinal organizational
commitment and job performance: A meta-analysis.
Journal of Organizational Behavior, 23, 257-266.
Robbins, S.P. (2001). Organizational behavior, (9th ed).
New Jersey: Prentice-Hall.
Roulston, K. & Mills, M. (2000). Male teachers in
feminised teaching areas: Marching to the beat of the
men’s movement drums? Oxford Review of Education,
26(2), 221-237.
Sanchez, J.I., Korbin, W.P., &Viscarra, D.M. (1995).
Corporate support in the aftermath of a natural disaster:
Effects on employee strains. Academy of Management
Journal, 38, 504–521.
Santana, W. (2012, 12 Maret). Distribusi dan
peningkatan mutu guru kian membaik secara nasional.
Harian The President Post online. Diakses dari
http://theindustrialpost.com/?p=8639.
Seniati, A.N.L. (2002a). Pengaruh masa kerja, trait
kepribadian, kepuasan kerja, dan iklim psikologis
terhadap komitmen dosen pada Universitas Indonesia.
Disertasi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Seniati, A.N.L. (2002b). Seputar komitmen organisasi.
Diakses dari
http://staff.ui.ac.id/internal/131998622/material/Arisan8
6-KomitmenOrganisasi-Liche.pdf.
Seniati, A.N.L. (2006). Pengaruh masa kerja, trait
kepribadian, kepuasan kerja, dan iklim psikologis
terhadap komitmen dosen pada universitas indonesia,.
Makara, Sosial Humaniora, 10(2), 88-97.
Shore, L.M., & Tetrick, L.E. (1991). A construct
validity study of the survey of Perceived Organizational
Support. Journal of Applied Psychology, 76, 637-643.
Shore, L.M., & Wayne, S.J. (1993). Commitment and
employee behavior: Comparison of affective
commitment and continuance commitment with
perceived organizational support. Journal of Applied
Psychology, 78, 774–780.
Smith, J.B. (Desember 2004). Male primary teachers:
Disadvantaged or advantaged? Paper presented to the
Australian Association for Research in Education
Conference, Melbourne, Australia. Diakses dari
http://www.aare.edu.au/04pap/smi04051.pdf.
Teng, C.C. (2008). The effects of personality traits and
attitude and student uptake in hospitality employment.
International Journal of Hospitality Management, 27,
76-86.
Tumwesigye, G. (2010). The relationship between
perceived organizational support and turnover intentions
in a developing country: The mediating role of
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 2, DESEMBER 2012: 101-115
115
organizational commitment. African Journal of Business
Management, 4(6), 942-952.
Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen (2005).
Watson, D., & Clark, L.A. (1984). Negative affectivity:
The disposition to experience aversive emotional states.
Psychological Bulletin, 96, 465-490.