ArticlePDF Available

PENDEKATAN VECTOR ERROR CORRECTION MODEL UNTUK ANALISIS HUBUNGAN INFLASI, BI RATE DAN KURS DOLAR AMERIKA SERIKAT Vector Error Correction Model Approach to Analysis of the relationship of Inflation, BI Rate and US Dollar

Authors:

Abstract

Pengendalian terhadap tingkat inflasi, BI rate dan nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah merupakan hal yang paling penting demi terciptanya stabilitas moneter dan perekonomian di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan hubungan antara tingkat inflasi, BI rate, dan nilai tukar USD terhadap IDR, kemudian menganalisis model tersebut, dan memberikan peramalan dan analisis struktural dari model tersebut. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Vector Error Correction Model yang diterapkan pada data time series dari tingkat inflasi (𝑿), BI rate (𝒀), dan nilai tukar USD terhadap IDR (𝒁). Berdasarkan spesifikasi, estimasi dan pemeriksaan model, maka diperoleh model 𝑽𝑬𝑪𝑴(𝟓) sebagai model terbaik. Hasil analisis model mengatakan bahwa ada hubungan kausalitas jangka panjang dan jangka pendek antara tingkat inflasi dengan BI rate dan nilai tukar USD terhadap IDR. Kemudian, berdasarkan peramalan dan analisis struktural maka dapat disimpulkan bahwa hasil yang diperoleh akurat.
Jurnal Barekeng
Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
PENDEKATAN VECTOR ERROR CORRECTION MODEL UNTUK ANALISIS
HUBUNGAN INFLASI, BI RATE DAN KURS DOLAR AMERIKA SERIKAT
Vector Error Correction Model Approach to Analysis of the relationship of Inflation, BI Rate and US Dollar
LEXY JANZEN SINAY
Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Pattimura
Jl. Ir. M. Putuhena, Kampus Unpatti, Poka-Ambon, Maluku
E-mail: lj.sinay@staf.unpatti.ac.id
ABSTRAK
Pengendalian terhadap tingkat inflasi, BI rate dan nilai tukar dolar Amerika Serikat
terhadap rupiah merupakan hal yang paling penting demi terciptanya stabilitas moneter dan
perekonomian di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan hubungan antara
tingkat inflasi, BI rate, dan nilai tukar USD terhadap IDR, kemudian menganalisis model
tersebut, dan memberikan peramalan dan analisis struktural dari model tersebut. Oleh
karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Vector Error
Correction Model yang diterapkan pada data time series dari tingkat inflasi (), BI rate (),
dan nilai tukar USD terhadap IDR (). Berdasarkan spesifikasi, estimasi dan pemeriksaan
model, maka diperoleh model  sebagai model terbaik. Hasil analisis model
mengatakan bahwa ada hubungan kausalitas jangka panjang dan jangka pendek antara
tingkat inflasi dengan BI rate dan nilai tukar USD terhadap IDR. Kemudian, berdasarkan
peramalan dan analisis struktural maka dapat disimpulkan bahwa hasil yang diperoleh
akurat.
Kata kunci : inflasi, BI rate, USD, IDR, time series, Vector Error Correction Model,
.
PENDAHULUAN
Pada tanggal 14 Agustus 1998 Pemerintah Indonesia
menerapkan kebijakan sistem nilai tukar mengambang
bebas. Kebijakan ini, membawa dampak yang sangat
signifikan pada perkembangan perekonomian nasional
baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Salah satu
dampak yang terjadi adalah depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika (USD) menjadi sangat besar. Hal
ini mengakibatkan aktivitas bisnis dan ekonomi di
Indonesia mengalami ketidakpastian dalam pengambilan
keputusan. Oleh karena itu, perlunya kestabilan nilai tukar
uang, yaitu dengan menekan nilai tukar USD terhadap
nilai tukar rupiah (IDR).
Langkah awal yang perlu dikaji adalah menganalisis
faktor-faktor penyebab kenaikan nilai tukar tersebut, baik
yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi. Pada
umumnya faktor non ekonomi yang dianggap sebagai
penyebab terjadinya gejolak nilai tukar rupiah terhadap
dolar, seperti faktor politik, pertahanan dan keamanan,
kebijakan pemerintah dan lain-lain sangat sulit digunakan
sebagai acuan pengukuran secara kuantitatif karena tidak
dapat diukur. Hal ini berbeda dengan faktor ekonomi,
seperti tingkat suku bunga, inflasi, dan lain-lain yang
umumnya dapat diukur secara kuantitatif.
Tingkat suku bunga merupakan salah satu faktor
penting yang dianggap sangat mempengaruhi nilai tukar
mata uang. Di Indonesia tingkat suku bunga diatur oleh
pihak Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI). Suku
bunga Bank Indonesia (BI Rate) adalah suku bunga
kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance
kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dan diumumkan kepada publik [1]. Dengan demikian,
secara sederhana, BI Rate diartikan sebagai suku bunga
yang dikeluarkan oleh BI melalui Dewan Gubernur BI
pada setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan, kemudian BI
10
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
Rate diimplementasikan pada operasi moneter yang
dilakukan oleh BI melalui pengelolaan likuiditas (liquidity
management) di pasar uang untuk mencapai sasaran
operasional kebijakan moneter [1]. Pada umumnya,
penetapan BI Rate didasarkan atas analisis ekonomi dan
finansial, yaitu mempertimbangkan berbagai faktor
ekonomi dan finansial negara Indonesia. Faktor utama
yang sering dijadikan sebagai indikasi untuk penetapan BI
Rate adalah tingkat inflasi.
Inflasi, secara sederhana, dapat diartikan sebagai
peningkatan harga-harga (barang dan jasa) secara umum
(menyeluruh) dan terus menerus [1]. Di Indonesia,
kebijakan tentang penentuan tingkat inflasi dikeluarkan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebijakan ini
didasarkan atas Survey Biaya Hidup (SBH), dengan
menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebagai
indikator untuk menentukan tingkat inflasi [1]. Tingkat
inflasi yang tinggi dan tidak stabil cenderung memberi
dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang pada akhirnya mengganggu stabilitas
perekonomian, sosial, politik, pertahanan dan kemanan
suatu negara. Dengan demikian, kestabilan inflasi sangat
penting dan menjadi syarat utama bagi pertumbuhan
ekonomi yang positif dan berkesinambungan, yang pada
akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pentingnya
pengawasan dan pengendalian inflasi oleh berbagai pihak
terutama oleh pemerintah.
Di Indonesia, pengendalian inflasi dilakukan oleh
pemerintah dengan koordinasi beberapa pihak seperti
Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Pemerintah
Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota), lembaga keuangan,
dan pihak perbankan baik itu BUMN ataupun swasta.
Salah satu kebijakan untuk mengendalikan inflasi adalah
penentuan BI Rate, kebijakan kestabilan kurs, dan lain-
lain. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang saling mempengaruhi antara
kebijakan BI Rate, tingkat inflasi, dan nilai tukar USD
terhadap IDR. Ada banyak metode dalam Ekonometrika
yang dapat memodelkan hubungan ketiga faktor tersebut
dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Karena data yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data time series (data yang mengandung lag),
maka model yang digunakan adalah model regresi time
series dengan beberapa peubah, seperti model ARIMAX,
model autoregressive distributed lag (ADL), model
vector autoregressive (VAR), vector error correction
model (VECM), dan lain-lain.
Penelitian ini difokuskan pada model VECM untuk
menganalisis hubungan terkointegrasi antara BI Rate,
inflasi, dan nilai tukar dolar tanpa memperhatikan
stasioneritas data (atau data yang mengandung akar unit).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memodelkan
hubungan antara BI rate, inflasi dan nilai tukar USD
terhadap IDR; kemudian menganalisis model tersebut
berdasarkan struktur model untuk melihat hubungan
(pengaruh) masing-masing variabel dalam jangka panjang
maupun jangka pendek; serta memberikan peramalan dan
analisis struktural dari peramlan tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada umumnya model ekonometrika time series
merupakan model struktural karena didasarkan atas teori
ekonomi yang telah ada. Pada tahun 1980 Christopher A.
Sims memperkenalkan model VAR sebagai alternatif
dalam analisis ekonomi makro. Model VAR merupakan
model non struktural karena bersifat ateori. Model VAR
memiliki struktur model yang lebih sederhana dengan
jumlah variabel yang minimalis dimana semua
variabelnya adalah variabel endogen dengan variabel
independennya adalah lag. Model VAR didesain untuk
variabel stasioner yang tidak mengandung trend [3].
Trend stokastik dalam data mengindikasikan bahwa
ada komponen long-run (jangka panjang) dan short-run
(jangka pendek) dalam data time series. Penelitian tentang
trend stokastik dalam variabel ekonomi terus
berkembang, sehingga pada tahun 1981, Granger
mengembangkan konsep kointegrasi. Pada tahun 1987,
Engle bersama Granger mengembangkan konsep
kointegrasi dan koreksi error (error correction).
Kemudian, pada tahun 1990, Johansen dan Juselius
mengembangkan konsep VECM. VECM menawarkan
suatu prosedur kerja yang mudah untuk memisahkan
komponen jangka panjang (long-run) dan komponen
jangka pendek (short-run) dari proses pembentukan data
[5], [6]. Dengan demikian, VECM berbeda dengan VAR
dimana VECM dapat digunakan untuk memodelkan data
time series yang terkointegrasi dan tidak stasioner. VECM
sering disebut sebagai bentuk VAR terestriksi [4].
Berikut ini merupakan kajian analisis VECM secara
teoritis:
Uji Akar Unit
Seperti yang dibahas sebelumnya, pemodelan
dengan menggunakan VECM didasarkan atas data time
series yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Untuk
memeriksa stasioneritas data dapat digunakan uji akar
unit, dengan statistik uji yang digunakan adalah
Augmented Dickey-Fuller (ADF), sebagai berikut:
     

Dengan    dan    .
Hipotesis    (terdapat akar unit).
Pada tingkat signifikansi , ditolak jika
statistik ADF lebih kecil dari nilai kritis pada saat , atau
 lebih kecil dari nilai signifikansi . Jika
ditolak maka data stasioner. [2] dan [7]
Uji Kointegrasi Johansen
Kemudian, untuk uji kointegrasi digunakan uji
kointegrasi Johansen sebagai berikut:
Diketahui model  adalah
  
dengan adalah sebuah vektor dengan varibel non
stasioner , adalah sebuah vektor dengan variabel
deterministik, adalah vektor error. Persamaan 
dapat ditulis juga sebagai
11
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
    

 
dimana
  
   

Untuk pengujian hipotesis dapat digunakan statistik
uji trace:
  

dan statistik uji nilai Eigen maksimum
     
  
untuk     ,
dengan hipotesis yang digunakan adalah
terdapat persamaan kointegrasi.
Pada tingkat signifikansi , diterima jika
statistik uji trace dan nilai Eigen maksimum lebih kecil
dari nilai kritis pada saat , atau  lebih besar dari
nilai signifikansi . [2] dan [7]
Uji kecocokan model
Uji kecocokan model untuk melihat serial korelasi pada
residual menggunakan statistik uji Portmanteau sebagai
berikut:
 



atau
 
  



dengan

 . Statistik uji ini berdistribusi
, dengan menyatakan jumlah koefisien
selain konstanta dalam model  yang diestimasi.
Hipotesis tidak ada serial korelasi.
Pada tingkat signifikansi , diterima jika
 statistik untuk setiap lag lebih besar dari
nilai signifikansi . Dengan demikian, tidak ada serial
korelasi. [5] dan [6]
Kriteria Informasi
Pemilihan order lag dapat menggunakan kriteria
informasi berikut:
Akaike Information Criterion ()
 
Schwarz Information Criterion ()
 

Dengan
 
 , T adalah ukuran sampel
dan adalah jumlah variabel endogen. Nilai lag dipilih
sebagai nilai yang meminimumkan kriteria informasi
dalam interval  yang diamati. Lag yang
optimum didasarkan atas nilai  dan  yang paling
kecil. [5] dan [7]
Analisis Kausalitas
Pada pemodelan VECM, analisis kausalitas
bertujuan untuk melihat hubungan jangka panjang (long-
run causality) dan hubungan jangka pendek (short-run
causality).
Analisis hubungan kausalitas jangka panjang antara
variabel independen ke variabel dependen dalam
pemodelan VECM dapat dilihat pada koefisien dari
bentuk koreksi galat atau error correction term (ECT),
yaitu berdasarkan tanda dan hasil uji signifikansi
koefisien menggunakan statistik uji pada metode
Ordinary Least Square (OLS).
Sementara itu, untuk analisis kausalitas jangka
pendek untuk setiap variabel dapat menggunakan uji
kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger didasarkan atas
statistik uji Wald yang berdistribusi chi square atau uji
sebagai alternatifnya. Hipotesis yang digunakan adalah
Tidak ada hubungan kausalitas Granger
[5] dan [6]
Peramalan dan Analisis Struktural
Secara teoritis, analisis peramalan dan struktural dari
VECM memiliki kemiripan dengan analisis peramalan
dan analisis struktural dari model VAR. Pada pemodelan
VAR analisis tersebut dapat menggunakan analisis
impulse response dan dekomposisi variansi [5], [6].
Analisis Impulse Response bertujuan untuk melihat efek
(pengaruh) dari setiap variabel (endogen) jika diberikan
shock atau impulse (guncangan). Sementara itu, analisis
dekomposisi variansi bertujuan untuk memprediksi
kontribusi setiap variabel (persentase variansi setiap
variabel) yang diakibatkan oleh perubahan variabel
tertentu dalam sebuah sistem.
Seperti analisis peramalan pada umumnya, untuk
menentukan keakuratan hasil ramalan dari sebuah model
dapat menggunakan Mean Absolute Percentage Error
() :
 


dan Mean Square Error () :
 


dimana n menyatakan jumlah data. Semakin kecil nilai
MSE dan MAPE, maka semakin akurat hasil ramalan
yang diperoleh. [4]
METODE PENELITIAN
Pada bagian sebelumnya telah dijabarkan tentang
latar belakang dan tujuan dari penelitian ini. Berdasarkan
informasi tersebut maka secara ekonomi dapat
dirumuskan beberapa hipotesis sebagai berikut:
a. Tingkat inflasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga;
b. Tingkat suku bunga dipengaruhi oleh tingkat inflasi;
c. Tingkat inflasi dipengaruhi oleh kurs (nilai tukar mata
uang asing);
d. Tingkat suku bunga dipengaruhi oleh kurs;
e. Kurs dipengruhi oleh tingkat inflasi dan tingkat suku
bunga.
12
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
Berdasarkan rumusan hipotesis di atas, maka dapat
dibentuk tiga variabel sebagai berikut:
: Tingkat inflasi;
: ;
: Nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) terhadap
rupiah (IDR).
Dengan demikian, penilitian ini merupakan sebuah studi
kasus untuk menganalisis hubungan ketiga variabel
tersebut secara makro.
Berdasarkan variabel yang dibentuk, maka data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan pada
periode Juli 2005 sampai dengan Desember 2013 dari
tingkat inflasi dan BI rate. Sedangkan, data nilai tukar
rupiah terhadap dolar yang digunakan merupakan data
nilai tengah per akhir bulanan yang dimulai pada tanggal
30 juni 2005 sampai dengan 30 Nopember 2013. Ketiga
data ini merupakan data sekunder yang bersumber dari
Bank Indonesia yang dipublikasikan secara resmi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis VECM untuk memodelkan ketiga variabel di atas.
Prosedur dalam analisis VECM sebagai berikut:
1. Spesifikasi estimasi, dan pemeriksaan model
a. Uji akar unit (pemeriksaan stasineritas)
b. Uji kointegrasi Johansen
c. Estimasi dan Pemeriksaan Model
2. Analisis kausalitas
3. Peramalan dan Analisis struktural
Hasil pengolahan data yang dilakukan pada
penelitian ini menggunakan software Eviews 7.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Bi Rate (BI), tingkat inflasi yang terjadi di
negara Indonesia (INF), dan nilai tengah dari nilai tukar
dolar Amerika Serikat (USD) terhadap Rupiah Indonesia
(IDR) diberikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tingkat Inflasi di Indonesia
Pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3, dapat
dilihat bahwa pola tingkat inflasi, BI rate dan kurs USD
memiliki pola yang hampir sama pada beberapa tahun
tertentu dalam jangka waktu yang cukup lama. Secara
tersirat, hal ini menggambarkan bahwa ada hubungan
yang kointegrasi antara ketiga variabel tersebut. Untuk
melihat lebih jelas tentang hubungan kointegrasi untuk
masing-masing variabel akan digunakan uji kointegrasi
Johansen, namun sebelumnya akan diperiksa stasioneritas
dari ketiga data tersebut.
Gambar 2. BI rate
Gambar 3. Kurs USD terhadap IDR
Spesifikasi, Estimasi dan Pemeriksaan Model
a. Uji Akar Unit (Pemeriksaan Stasioneritas)
Langkah awal dalam prosedur ini adalah melakukan
uji akar unit terhadap ketiga data tersebut. Berdasarkan
pengolahan data, diperoleh hasil seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Uji Akar Unit
Data
Nilai
Kritis
()
Level
Stat.
ADF

Stat.
ADF

X
-2,1747
0,2168
-5,6676
0,000
5%
-2,8906
-2,8943
Y
-2,1323
0,2327
-3,5668
0,0082
5%
-2,8906
-2,8906
Z
-1,0268
0,7414
-4,3473
0,0007
5%
-2,8903
-2,8912
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa data ,
dan merupakan data-data yang mengandung akar unit
pada level atau tidak stasioner pada level. Hal ini dapat
dilihat pada saat level,  statistik ADF untuk
masing-masing variabel lebih besar dari
= 5%, ini
artinya menerima hipotesis yaitu terdapat akar unit
0
4
8
12
16
20
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
5
6
7
8
9
10
11
12
13
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
8,400
8,800
9,200
9,600
10,000
10,400
10,800
11,200
11,600
12,000
12,400
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
13
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
pada data atau data tidak stasioner. Sementara itu, dari
hasil diferensi pertama dapat dilihat bahwa 
statistik ADF dari masing-masing variabel lebih kecil dari
= 5%, ini artinya menolak hipotesis yaitu data tidak
mengandung akar unit atau sudah stasioner. Dengan
demikian, variabel , dan merupakan variabel non
stationer orde pertama.
b. Uji Kointegrasi Johansen
Hasil uji kointegrasi untuk lag 2 (lag signifikan
berdasarkan prosedur ) dari variabel , dan
dengan menggunakan statistik trace dan statistik nilai
Eigen maksimum dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa, hasil uji hipotesis
dengan menggunakan statitistik trace. untuk hipotesis
Tidak ada persamaan kointegrasi,
 adalah 0,0434 lebih kecil dari
= 5% (Nilai
statistik trace 30,3287 lebih besar dari nilai 29,7979
tabelnya pada
= 5%). Ini artinya hipotesis ditolak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada
persamaan kointegrasi. Untuk itu, dilakukan pemeriksaan
untuk hipotesis berikutnya.
Tabel 2. Uji kointegrasi (Trace)
Hipotesis:
Nilai Eigen
Trace
Statistic
Nilai kritis
= 5%

Tidak ada
0,184386
30,32868
29,79707
0,0434
1
0,084917
10,15103
15,49471
0,2693
2
0,013700
1,365677
3,841466
0,2426
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan Tabel 2, akan diperiksa hasil uji
hipotesis berikut ini:
Ada 1 persamaan kointegrasi
dan Ada 2 persamaan kointegrasi.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa  untuk masing-
masing hipotesis secara berurutan adalah 0,2693 dan
0,2426 lebih besar dari
= 5% (statistik trace lebih besar
dari nilai kritisnya pada saat
= 5% untuk masing-
masing hipotesis). Ini artinya bahwa menerima .
Dengan demikian, berdasarkan analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa hasil uji kointegrasi dengan
menggunakan statistik trace mengindikasikan bahwa
minimal ada 1 persamaan kointegrasi yang dapat
dibentuk.
Tabel 3. Uji kointegrasi (nilai Eigen maksimum)
Hipotesis:
Nilai Eigen
Max-Eigen
Statistic
Nilai kritis
= 5%

[Tidak ada]
0,184386
20,17765
21,13162
0,0675
[1]
0,084917
8,785352
14,26460
0,3045
[2]
0,013700
1,365677
3,841466
0,2426
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa, hasil uji hipotesis
dengan menggunakan statitistik nilai Eigen maksimum,
yaitu  statistik trace untuk masing-masing
hipotesis Tidak ada persamaan kointegrasi,
Ada 1 persamaan kointegrasi
dan Ada 2 persamaan kointegrasi
secara berutan adalah 0,0675; 0,3045; dan 0,2426 lebih
besar dari
= 5% (statistik nilai Eigen maksimum lebih
besar dari nilai kritis pada saat
= 5% untuk masing-
masing hipotesis). Ini artinya bahwa masing-masing
hipotesis tersebut diterima. Dengan demikian, kesimpulan
yang diperoleh dari uji hipotesis berdasarkan nilai Eigen
maksimum adalah tidak ada persamaan kointegrasi yang
terjadi.
Dari hasil uji kointegrasi dengan dua metode di atas,
dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu bentuk
persamaan kointegrasi artinya bahwa ada satu bentuk
error, dengan bentuk persamaan error adalah
  
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat dilakukan
estimasi bentuk persamaan VECM.
c. Estimasi dan Pemeriksaan Model
Prosedur penting dalam mengestimasi persamaan
VECM adalah pemilihan lag optimum. Prosedur
pemilihan lag optimum dalam VECM dapat
menggunakan kriteria informasi, yaitu  dan .
Hasil pengolahan data tentang kedua kriteria
informasi tersebut untuk lag 1 sampai dengan lag 8 dapat
dilihat pada Tabel 4. Perlu diketahui bahwa penggunaan
lag 1 sampai dengan lag 8 dikarenakan prinsip parsimony
(kesederhanaan model) dalam pemodelan statistika,
karena semakin banyak lag yang digunakan, maka
koefisien parameter model semakin banyak.
Tabel 4. Kriteria informasi
Lag


1
17,04493
17,51386
2
16,50059
17,20835
3
16,34287
17,29245
4
16,26006
17,45452
5
16,22917
17,67162
6
16,37575
18,06938
7
16,39363
18,34168
8
16,30582
18,51163
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa lag 5 memiliki
nilai  terkecil, sedangkan lag 2 memiliki nilai 
terkecil. Dengan demikian, lag 2 dan lag 5 akan
digunakan untuk proses estimasi parameter VECM.
Berdasarkan hasil analisis lag optimum tersebut, maka
bentuk persamaan VECM yang diestimasi adalah
 dan , masing-masing dengan jumlah
persamaan kointegrasi adalah 1.
14
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
Kemudian dilakukan pemeriksaan model untuk
memilih model terbaik anatara  dan .
Pemeriksaan model yang dilakukan adalah uji asumsi
residual dari kedua model tersebut, yaitu uji serial
korelasi residual seperti yang diperlihatkan pada Tabel 5.
Pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa hasil uji Portmanteau
untuk  menyatakan bahwa model tersebut
mengandung serial korelasi residual pada lag 3, dimana
pada lag 3  dari statistik kurang dari taraf
signifikansi
= 5% (artinya menolak tidak ada serial
korelasi). Sementara itu, hasil uji Portmanteau untuk
 menyatakan bahwa tidak mengandung serial
korelasi residual pada setiap lag. Dengan demikian,
 lebih baik dibandingkan  karena
tidak terdapat serial korelasi residual. Ini artinya bahwa
 merupakan model terbaik.
Tabel 5. Uji Portmanteau
Lag


Stat.

db
Stat.

db
1
9,607332
NA*
NA*
0,464832
NA*
NA*
2
15,22395
NA*
NA*
2,126732
NA*
NA*
3
29,02361
0,0160
15
3,404707
NA*
NA*
4
33,80128
0,0883
24
7,532918
NA*
NA*
5
44,05873
0,0945
33
10,97131
NA*
NA*
6
49,15562
0,2083
42
14,15259
0,5140
15
7
55,85669
0,2974
51
25,64869
0,3712
24
8
64,40410
0,3252
60
30,64600
0,5848
33
9
70,76791
0,4184
69
35,98643
0,7313
42
10
83,23205
0,3217
78
45,31610
0,6979
51
11
93,24688
0,3040
87
47,14269
0,8864
60
12
100,5661
0,3548
96
53,96726
0,9080
69
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Dengan demikian, bentuk persamaaan 
adalah
    
  
  
  
  
 
 
 (1)
    
  
 
  
  
  
  
 (2)
    
  
  
  
  
  
 (3)
Analisis Kausalitas Granger
Berdasarkan bentuk persamaan (1) model 
di atas, diketahui bahwa variabel independen persamaan
tersebut adalah tingkat inflasi (diferensi pertama dari ).
Pada persamaan tersebut dapat dilihat bahwa koefisien
persamaan kointegrasi adalah 0,314. Dengan kata lain,
koefisien ECT bertanda negatif. Berdasarkan hasil
pengolahan data, diperoleh bahwa  untuk statistik
adalah 0,0002 kurang dari taraf signifikansi
= 5%,
yang berarti bahwa koefisien tersebut merupakan
koefisien yang signifikan. Dengan demikian, koefisien
ECT pada persamaan (1) merupakan koefisien yang
signifikan dan bertanda negatif. Ini berarti bahwa,
terdapat hubungan kausalitas jangka panjang (long-run
causality) dari BI rate dan nilai tukar USD terhadap
tingkat inflasi.
Tabel 6. Uji Kausalitas Granger: Variabel Dependen 
Excluded
Chi-sq
db


25,48137
5
0,0001

9,415045
5
0,0936
All
31,38931
10
0,0005
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Untuk melihat hubungan kausalitas jangka pendek
(short-run causality) pada persamaan (1) dapat
menggunakan Uji kausalitas Granger seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 6. Pada Tabel 6 dapat dilihat
bahwa  statistik uji Wald untuk variabel 
adalah 0,0001 lebih kecil dari taraf signifikan
= 5%. Ini
berarti bahwa, menolak hipotesis tidak ada hubungan
kausalitas antara variabel. Dengan demikian, terdapat
hubungan kausalitas jangka pendek antara BI rate
terhadap tingkat inflasi. Sementara itu, untuk variabel 
memiliki  adalah 0,0936 lebih dari taraf
signifikan
= 5%. Ini berarti bahwa menerima hipotesis
pada taraf signifikansi
= 5% atau tidak ada
hubungan kausalitas jangka pendek antara nilai tukar
USD terhadap tingkat inflasi. Namun, jika dilihat secara
keseluruhan pada persamaan (1), maka terdapat hubungan
kausalitas jangka pendek dari BI rate dan USD terhadap
tingkat inflasi. Hal ini dikarenakan oleh  
15
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
0,0005 lebih kecil dari taraf signifikan
= 5%, yang
artinya bahwa menolak hipotesis .
Berikut, berdasarkan bentuk persamaan (2) dengan
variabel independen adalah BI rate (diferensi pertama dari
), maka dapat dilihat bahwa koefisien persamaan
kointegrasi adalah 0,011. Berdasarkan hasil pengolahan
data, diperoleh bahwa  untuk statistik adalah
0,3118 lebih dari taraf signifikansi
= 5%, yang berarti
bahwa koefisien tersebut tidak signifikan. Dengan
demikian, koefisien ECT bertanda positif dan tidak
signifikan. Ini berarti bahwa, tidak terdapat hubungan
kausalitas jangka panjang (long-run causality) dari tingkat
inflasi dan nilai tukar USD terhadap BI rate.
Berdasarkan hasil uji kausalitas Granger pada Tabel
7, maka analisis hubungan kausalitas jangka pendek
(short-run causality) pada persamaan (2) sebagai berikut:
 statistik uji Wald untuk variabel  adalah
0,0065 lebih kecil dari taraf signifikan
= 5%. Ini berarti
bahwa, menolak hipotesis yang berarti terdapat
hubungan kausalitas jangka pendek antara tingkat inflasi
terhadap BI rate. Sementara itu,  variabel 
memiliki adalah 0,2181 lebih dari taraf signifikan
= 5%,
yang berarti bahwa menerima atau tidak ada hubungan
kausalitas jangka pendek antara nilai tukar USD terhadap
BI rate. Namun, secara keseluruhan pada persamaan (2)
terdapat hubungan kausalitas jangka pendek dari tingkat
inflasi dan nilai tukar USD terhadap BI rate. Hal ini
dikarenakan oleh   0,004 lebih kecil dari taraf
signifikan
= 5%, yang artinya bahwa menolak hipotesis
.
Tabel 7. Uji Kausalitas Granger: Variabel Dependen 
Excluded
Chi-sq
db


16,11923
5
0,0065

7,034041
5
0,2181
All
25,81654
10
0,0040
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Kemudian, bentuk persamaan (3) dengan variabel
independen adalah BI rate (diferensi pertama dari ),
dapat dilihat bahwa koefisien persamaan kointegrasi
adalah 9,282. Berdasarkan hasil pengolahan data,
diperoleh bahwa  untuk statistik adalah 0,7431
kurang dari taraf signifikansi
= 5%, yang berarti bahwa
koefisien tersebut tidak signifikan. Dengan demikian,
koefisien ECT bertanda negatif dan tidak signifikan. Ini
berarti bahwa, tidak terdapat hubungan kausalitas jangka
panjang (long-run causality) dari tingkat inflasi dan BI
rate terhadap nilai tukar USD.
Kemudian, dengan menggunakan menggunakan Uji
kausalitas Granger pada Tabel 8, maka dapat dianalisis
hubungan kausalitas jangka pendek (short-run causality)
pada persamaan (3) sebagai berikut:  statistik uji
Wald untuk variabel  adalah 0,518 lebih besar dari
taraf signifikan
= 5%. Ini berarti bahwa, menerima
hipotesis , yaitu tidak terdapat hubungan kausalitas
jangka pendek antara tingkat inflasi terhadap nilai tukar
USD. Sementara itu, untuk variabel  memiliki 
adalah 0,278 lebih besar dari taraf signifikan
= 5%,
artinya bahwa menerima hipotesis , dengan kata lain
tidak ada hubungan kausalitas jangka pendek antara
variabel BI rate terhadap nilai tukar USD. Secara
keseluruhan pada persamaan (3), dapat dilihat bahwa
tidak terdapat hubungan kausalitas jangka pendek dari
tingkat inflasi dan BI rate terhadap nilai tukar USD. Hal
ini dikarenakan oleh   0,6277 lebih besar dari
taraf signifikan
= 5%, yang artinya bahwa menerima
hipotesis .
Tabel 8. Uji Kausalitas Granger: Variabel Dependen 
Excluded
Chi-sq
db


4,221556
5
0,5180

6,300783
5
0,2780
All
8,011534
10
0,6277
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Peramalan dan Analisis Struktural
Bagian ini akan membahas tentang peramalan dan
analisis struktur peramalan dari model .
Sebelum, membahas tentang hasil peramalan (lihat Tabel
12) akan dibahas terlebih dahulu tentang analisis
struktural yang mencakup analisis Impulse-Response dan
dekomposisi variansi.
a. Analisis Impulse Response
Gambar 4. Analisis Impulse - Response
-0.5
0.0
0.5
1.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of X to X
-0.5
0.0
0.5
1.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of X to Y
-0.5
0.0
0.5
1.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of X to Z
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of Y to X
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of Y to Y
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of Y to Z
0
100
200
300
400
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of Z to X
0
100
200
300
400
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of Z to Y
0
100
200
300
400
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of Z to Z
Response to Cholesky One S.D. Innovations
16
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
Analisis impulse-response dapat menggunakan
fungsi impulse-response (IRF). Hasil plot dari IRF dapat
dilihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4 dapat dilihat
bahwa ada 9 plot IRF untuk 10 kuartal ke depan, yang
mana menjelaskan secara visual tanggapan (response)
suatu variabel yang timbul karena adanya guncangan
(shock/impulse) sebesar 1 standar deviasi baik dari dirinya
sendiri ataupun variabel lain.
Berdasarkan Gambar 4, analisis IRF dari tingkat
inflasi untuk 10 kuartal ke depan sebagai berikut:
Respons tingkat inflasi terhadap guncangan dari
dirinya sendiri pada kuartal 1 cukup besar, yaitu 0,92.
Meskipun pada kuartal 2 sempat mengalami kenaikan
menjadi 1,03, namun hingga kuartal 10 respons
terhadap guncangan (dari dirinya sendiri) mengalami
penurunan. Ini berarti bahwa setelah kuartal 2 reaksi
tingkat inflasi terhadap guncangan dari dirinya sendiri
cenderung menjadi lemah.
Respons tingkat inflasi terhadap guncangan dari BI
rate pada kuartal 1 sampai dengan 4 terus meningkat,
namun pada kuartal 5 sampai dengan kuartal 10
mengalami penurunan. Ini berarti bahwa pada kuartal
5 sampai dengan 10 reaksi yang diberikan oleh tingkat
inflasi terhadap guncangan BI rate cenderung menjadi
lemah.
Respons tingkat inflasi terhadap guncangan dari nilai
tukar USD cenderung bernilai negatif. Ini artinya
bahwa jika terjadi guncangan sebesar 1 standar deviasi
dari nilai tukar USD maka tingkat inflasi akan
bereaksi negatif terhadap nilai tukar USD.
Kemudian, dari Gambar 4, analisis IRF dari BI rate
untuk 10 kuartal ke depan sebagai berikut:
Respons BI rate terhadap guncangan dari tingkat
inflasi pada kuartal 1 sampai dengan kuartal 7
mengalami peningkatan. Kemudian, pada kuartal 8
sampai dengan 10 mengalami penurunan, artinya
bahwa setelah kuartal 7 reaksi tingkat inflasi terhadap
guncangan dari tingkat inflasi cenderung menjadi
lemah.
Respons BI rate terhadap guncangan dari dalam
dirinya sendiri cenderung menguat pada kuartal 1
sampai dengan kuartal 9 karena mengalami
peningkatan. Kemudian, pada kuartal 10 mengalami
penurunan.
Sama seperti tingkat inflasi, Respons BI rate terhadap
guncangan dari nilai tukar USD cenderung bernilai
negatif. Ini artinya bahwa jika terjadi guncangan
sebesar 1 standar deviasi dari nilai tukar USD maka
BI rate akan bereaksi negatif terhadap nilai tukar USD
Berdasarkan Gambar 4, analisis IRF dari BI rate
untuk 10 kuartal ke depan sebagai berikut:
Respons nilai tukar USD terhadap guncangan dari
tingkat inflasi pada kuartal 1 sampai dengan kuartal 10
mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Ini
berarti bahwa guncangan sebesar 1 standar deviasi
dari tingkat inflasi mengakibatkan kenaikan yang
sangat signifikan terhadap nilai tukar USD.
Respons nilai tukar USD terhadap guncangan dari BI
rate pada kuartal 1 sampai dengan kuartal 10
mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Ini
berarti bahwa guncangan sebesar 1 standar deviasi
dari BI rate mengakibatkan kenaikan yang sangat
signifikan terhadap nilai tukar USD.
Respons nilai tukar USD terhadap guncangan dari
dalam dirinya sendiri pada kuartal 1 sampai dengan
kuartal 10 mengalami fluktuasi untuk setiap kuartal
secara berurutan.
b. Dekomposisi Variansi
Analisis dekomposisi variansi sering disebut sebagai
analisis forecast error decomposition variance (FEDV).
Hasil analisis FEDV untuk 10 kuartal dari masing-masing
variabel dapat dilihat pada Tabel 9, Tabel 10, dan Tabel
11. Tabel 9. Dekomposisi Variansi: Variabel
Periode
S.E.
1
0,923738
100,0000
0,000000
0,000000
2
1,430307
93,75786
6,206312
0,035826
3
1,856583
80,38549
19,36614
0,248372
4
2,303307
69,24007
30,29115
0,468773
5
2,646314
65,13373
33,25540
1,610868
6
2,932219
62,58508
35,66979
1,745128
7
3,198492
60,29931
37,65002
2,050675
8
3,455090
58,65580
38,04786
3,296343
9
3,664425
57,06196
38,52114
4,416896
10
3,823323
55,46613
39,21758
5,316292
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 9 merupakan rangkuman hasil analisis FEDV
untuk tingkat inflasi dari guncangan yang diberikan oleh
masing-masing variabel termasuk dirinya sendiri. Analisis
FEDV pada Tabel 9 menyatakan bahwa dalam jangka
pendek, yaitu kuartal 3: guncangan terhadap dirinya
sendiri mengakibatkan 80,39% fluktuasi dalam tingkat
inflasi, dan guncangan terhadap BI rate mengakibatkan
19,37% fluktuasi dalam tingkat inflasi, serta guncangan
terhadap nilai tukar USD mengakibatkan 0,25% fluktuasi
dalam tingkat inflasi. Di lain pihak dalam jangka panjang,
yaitu pada quartal 10: guncangan terhadap dirinya sendiri
mengakibatkan semakin lemah fluktuasi dalam tingkat
inflasi, sedangkan guncangan terhadap BI rate dan nilai
tukar USD mengakibatkan fluktuasi semakin meningkat
dalam tingkat inflasi. Secara umum, fluktuasi yang
diakibatkan oleh guncangan nilai tukar USD dalam
tingkat inflasi sangat kecil.
Kemudian, analisis FEDV untuk BI rate (lihat Tabel
10) menyatakan bahwa dalam jangka pendek, yaitu
kuartal 3: guncangan terhadap dirinya sendiri
mengakibatkan 65,05% fluktuasi dalam BI rate, dan
guncangan terhadap tingkat inflasi mengakibatkan
33,34% fluktuasi dalam BI rate, serta guncangan terhadap
nilai tukar USD mengakibatkan 1,6% fluktuasi dalam BI
rate. Di lain pihak dalam jangka panjang, yaitu pada
quartal 10: guncangan terhadap dirinya sendiri
mengakibatkan semakin lemah fluktuasi dalam BI rate,
sedangkan guncangan terhadap tingkat inflai dan nilai
tukar USD mengakibatkan fluktuasi semakin meningkat
dalam BI rate. Secara umum, fluktuasi yang diakibatkan
17
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
oleh guncangan nilai tukar USD dalam BI rate sangat
kecil.
Tabel 10. Dekomposisi Variansi: Variabel
Periode
S.E.
1
0,129489
15,89009
84,10991
0,000000
2
0,263355
24,55518
75,01779
0,427027
3
0,413055
33,34726
65,05035
1,602390
4
0,565776
35,60401
60,97999
3,415995
5
0,721861
37,49763
57,03236
5,470008
6
0,869624
39,49582
53,60463
6,899542
7
1,001796
40,67585
51,42611
7,898037
8
1,121838
41,01592
50,44462
8,539466
9
1,230898
40,92709
49,92568
9,147236
10
1,327414
40,60364
49,73674
9,659619
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Kemudian, berdasarkan Tabel 11, analisis FEDV
untuk nilai tukar USD menyatakan bahwa dalam jangka
pendek, yaitu kuartal 3: guncangan terhadap dirinya
sendiri mengakibatkan 96,15% fluktuasi dalam nilai tukar
USD, dan guncangan terhadap tingkat inflasi
mengakibatkan 0.34% fluktuasi dalam nilai tukar USD,
serta guncangan terhadap BI rate mengakibatkan 3,51%
fluktuasi dalam BI rate. Di lain pihak dalam jangka
panjang, yaitu pada quartal 10: guncangan terhadap
dirinya sendiri mengakibatkan semakin lemah fluktuasi
dalam nilai tukar USD, sedangkan guncangan terhadap
tingkat inflasi dan BI rate mengakibatkan fluktuasi
semakin meningkat dalam nilai tukar USD. Secara umum,
fluktuasi yang diakibatkan oleh guncangan tingkat inflasi
dalam nilai tukar USD sangat kecil.
Tabel 11. Dekomposisi Variansi: Variabel
Periode
S.E.
1
329,5605
0,023750
0,002306
99,97394
2
508,9282
0,111969
0,729639
99,15839
3
606,8796
0,336047
3,512566
96,15139
4
735,7820
0,484846
7,577222
91,93793
5
874,3194
0,421859
9,232363
90,34578
6
985,7046
0,797017
10,16773
89,03525
7
1085,121
1,617891
11,38355
86,99855
8
1185,630
2,378605
12,51501
85,10639
9
1284,964
3,048226
13,48344
83,46833
10
1375,145
3,706177
14,36396
81,92986
Sumber: Hasil Pengolahan Data
c. Hasil Ramalan
Hasil ramalan dengan menggunakan 
untuk 10 periode (bulan) ke depan dapat dilihat pada
Tabel 12. Hasil yang diperoleh pada Tabel 12 merupakan
hasil ramalan dari tingkat inflasi dan BI Rate pada periode
Januari 2014 sampai dengan Oktober 2014, sedangkan
hasil ramalan dari nilai tukar USD adalah ramalan untuk
periode Desember 2013 sampai dengan September 2014
(nilai tukar USD per akhir bulan). Selain itu, pada Tabel
12 terdapat data aktual untuk 10 bulan dari tingkat inflasi,
BI rate dan nilai tukar USD. Periode untuk masing-
masing variabel pada data aktual sama dengan periode
data hasil ramalan, yaitu tingkat inflasi dan BI rate pada
periode yang sama (Januari 2014 sampai dengan Oktober
2014), sedangkan nilai tukar USD terhadap IDR
merupakan data per akhir bulan yang dimulai dari
Desember 2013 sampai dengan September 2014.
Tabel 12. Hasil Ramalan dan Data Aktual
Periode
Inflasi
BI Rate
USD
Act.
Fore.
Act.
Fore.
Act.
Fore.
1
8.22
9.12
7.50
7.52
12,189.00
11,996.40
2
7.75
9.29
7.50
7.48
12,226.00
12,169.81
3
7.32
8.46
7.50
7.47
11,634.00
12,066.77
4
7.25
7.27
7.50
7.38
11,404.00
12,147.79
5
7.32
6.69
7.50
7.26
11,532.00
12,313.61
6
6.70
6.40
7.50
7.17
11,611.00
12,383.05
7
4.53
5.77
7.50
7.07
11,969.00
12,442.38
8
3.99
5.11
7.50
6.93
11,591.00
12,546.30
9
4.53
4.65
7.50
6.78
11,717.00
12,609.07
10
4.83
4.18
7.75
6.64
12,212.00
12,629.03
Act. = Actual (Data Aktual); Fore = Forecast (Hasil Ramalan)
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan Tabel 12, maka dapat diperoleh nilai
 dan  dari masing-masing variabel seperti
yang diperlihatkan pada Tabel 13. Pada Tabel 13 dapat
dilihat bahwa  dan  terkecil adalah variabel
atau BI rate. Ini artinya bahwa peramalan dengan
menggunakan model  lebih akurat jika
diterapkan pada BI Rate.
Tabel 13. Keakuratan hasil Ramalan
Inflasi
BI Rate
USD

0,82
0,24
409,413,05

13,12%
4,73%
4,89%
Sumber: Hasil Pengolahan Data
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan spesifikasi model (analisis lag optimum)
dan pemeriksaan model (uji serial korelasi residual),
maka diperoleh model terbaik untuk data tingkat
inflasi, Bi rate dan nilai tukar USD terhadap IDR
adalah .
2. Berdasarkan , diperoleh hasil analisis
kausalitas sebagai berikut:
a. Terdapat hubungan kausalitas jangka pendek
maupun jangka panjang antara tingkat inflasi
sebagai variabel dependen dengan BI rate dan nilai
tukar USD.
b. Tidak terdapat hubungan kausalitas jangka pendek
antara BI rate sebagai variabel dependen dengan
18
Sinay
Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 9 18 (2014)
tingkat inflasi dan nilai tukar USD, namun
sebaliknya terdapat hubungan jangka panjang
antara BI rate sebagai variabel dependen dengan
tingkat inflasi dan nilai tukar USD
c. Tidak terdapat hubungan kausalitas jangka pendek
maupun jangka panjang antara nilai tukar USD
sebagai variabel dependen dengan tingkat inflasi
dan BI rate.
3. Berdasarkan analisis struktural dari , dapat
disimpulkan bahwa:
a. Respon dari masing-masing variabel terhadap
guncangan yang berasal dari dirinya sendiri cukup
signifikan, karena terjadi fluktuasi.
b. Respon dari tingkat inflasi dan BI rate terhadap
guncangan dari nilai tukar USD tidak signifikan.
Sebaliknya respon nilai tukar USD terhadap
guncangan dari tingkat inflasi sangat signifikan.
c. Secara umum, untuk analisis ke depan baik itu
dalam jangka panjang maupun jangka pendek,
tingkat inflasi dan BI rate saling mempengaruhi
secara signifikan, dan kedua variabel tersebut
secara signifikan mempengaruhi nilai tukar USD
terhadap IDR. Sementara itu, nilai tukar USD
terhadap IDR memiliki pengaruh yang kurang
signifikan terhadap tingkat inflasi dan BI rate.
4. Hasil ramalan yang diperoleh dengan menggunakan
 cukup akurat, terutama untuk meramalkan
BI rate. Hal ini dapat dilihat dari nilai  dan
 dari BI rate.
Perlu diketahui bahwa BI rate merupakan kebijakan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang disesuaikan
dengan keadaan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan BI rate dan nilai tukar USD terhadap
IDR. Kedua hal ini merupakan kejadian-kejadian
ekonomi yang diakibatkan oleh berbagai faktor baik itu
kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau bukan.
Untuk itu, disarankan bahwa perlu adanya kajian-kajian
secara sistematis untuk menjaga kestabilan tingkat inflasi
dan nilai tukar USD terhadap IDR.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bank Indonesia, 2014, www.bi.go.id.
[2] Eviews, 2009, EViews 7 User’s Guide II,
Quantitative Micro Software, Irvine CA.
[3] Gujarati, D., 2004, Basic Econometrics, 4th Edition,
Mc. Graw Hill, New York.
[4] Juanda, B & Junaidi, 2012, Ekonometrika Deret
Waktu, IPB Press, Bogor.
[5] Lutkepohl, H., 2006, New Introduction to Multiple
Time Series Analysis, Springer-Verlag, Berlin.
[6] Lutkepohl, H., 2011, Vector Autoregressive Models.
EUI Working Paper ECO 2011/30, Department
of Economics, European University Institute,
Florence.
[7] Rosadi, D., 2012, Ekonometrika dan Analisis Runtun
Waktu Terapan dengan Eviews, Penerbit Andi
Offset, Yogyakarta.
... Analisis ekonometrika merupakan analisis gabungan penggunaan teori matemat ika dan statistika untuk menganalisis kejad ian-kejadian ekonomi (Nachrowi & Usman, 2006). Terdapat beberapa metode dalam analisis ekonometrika yang dapat memodelkan hubungan antar variabel menggunakan dataruntun waktu seperti model Autoregressive DistributedLag (ARDL), Vector Autoregressive (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM ) (Sinay, 2014). VECM merupakan teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek terhadap jangka panjangnya.VECM menawarkan suatu prosedur kerja untuk memisahkan ko mponen jangka panjang (longrun) dan komponen jangka pendek (short-run) dari proses pembentukan data (Sinay, 2014).Model VECM merupakan model dengan adanya kointegrasi yang menunjukkan terdapat hubungan jangka panjang antar variabel.Adanya kointegrasi pada model VECM membuat model VECM disebut bentuk VA R yang terestriksi (Sianipar, Suciptawati, & Dharmawan, 2016). ...
... Terdapat beberapa metode dalam analisis ekonometrika yang dapat memodelkan hubungan antar variabel menggunakan dataruntun waktu seperti model Autoregressive DistributedLag (ARDL), Vector Autoregressive (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM ) (Sinay, 2014). VECM merupakan teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek terhadap jangka panjangnya.VECM menawarkan suatu prosedur kerja untuk memisahkan ko mponen jangka panjang (longrun) dan komponen jangka pendek (short-run) dari proses pembentukan data (Sinay, 2014).Model VECM merupakan model dengan adanya kointegrasi yang menunjukkan terdapat hubungan jangka panjang antar variabel.Adanya kointegrasi pada model VECM membuat model VECM disebut bentuk VA R yang terestriksi (Sianipar, Suciptawati, & Dharmawan, 2016). ...
... Semakin kecil nilai MAPE, maka semakin aku rat hasil ramalan yang diperoleh karena MAPE mengindikasikan seberapa besar kesalahan dalam peramalan, sehingga semakin kecil nilainya berarti semakin kecil pula kesalahan dalam peramalan (Sinay, 2014). ...
Article
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dipengaruhi oleh situasi politik dan perekomian global, serta adanya faktor seperti Kurs Dolar Amerika Serikat, Inflasi, dan Tingkat Suku Bunga, yang apabila melemah dapat mengakibatkan perekonomian terguncang. Penelitian ini bertujuan mengkonstruksi model Vector Error Correction Model (VECM) yang merupakan pengembangan model Vector Autoregressive pada runtun waktu yang tidak stasioner dan memiliki hubungan kointegrasi. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan jangka panjang maupun jangka pendek antara faktor-faktor yang mempengaruhi IHSG yaitu Kurs Dolar Amerika Serikat, Inflasi, dan Tingkat Suku Bunga serta menentukan hasil peramalan IHSG berdasarkan faktor yang mempengaruhinya. Model VECM yang diperoleh yaitu VECM(2), yang menunjukkan bahwa perubahan variabel Kurs Dolar Amerika Serikat memiliki pengaruh positif terhadap IHSG, sedangkan Inflasi dan Tingkat Suku Bunga memberikan pengaruh negatif terhadap perubahan IHSG. Hal ini berlaku untuk pengaruh jangka panjang maupun jangka pendek. Hasil peramalan diperoleh dengan menggunakan VECM(2) pada bulan Juli dan Agustus 2019 yaitu sebesar 6424,68 dan 6488,88 dengan nilai MAPE sebesar 1,534%. Nilai MAPE menunjukkan bahwa hasil peramalan dengan model VECM(2) memberikan hasil yang sangat baik.
... Fluctuations in ER are not only influenced by themselves but are influenced by several factors. Lexy Janzen Sinay's research [9] explains that the ER is influenced by Inflation and interest rates variables. ...
... Noted the data processing results that will be used in VECM, there are long-term and short-term relationships of each variable. In selecting the VECM model, it is determined based on the optimal lag that has been obtained, namely lag 2. The following is the VECM model obtained, and the results are presented in Equation 9. ...
... The value of t-statistics, it can be seen from the P-value is smaller than alpha 5% (p-value<5%) (Sinay, 2014). The results of the ADF test found that all data in this study are stationary at first difference. ...
Article
Full-text available
Economic growth is a measure of the success of economic development of the country, thus realizing the economy well be the main goal. Several variables such as the level of investment, ZIS, and inflation are used in this study. The purpose of this study is to examine the influence and relationship of investment, ZIS, and inflation on economic growth in Indonesia. This research method using a quantitative approach. The Data used is secondary data in the form of time series. This research method using a quantitative approach. The method of analysis using the model of Vector Autoregression (VAR), followed by the model Vector Error Correction Model (VECM), if there is cointegration. Data testing is done with the help of software Eviews 7 and Microsoft Excel 2010. The results of the study found that the variable ZIS and inflation have an effect on long-term GDP. Variable mutual funds conventional and sharia does not affect the long-term GDP. Variable mutual fund conventional, Islamic mutual funds, ZIS, and inflation does not influence short-term economic growth. GDP responds positively to shocks that occur in a mutual fund conventional, sharia mutual funds, and ZIS. GDP responds negatively to the shock on inflation. Variable inflation gives the largest contribution to GDP, then mutual funds conventional and ZIS as well as the last sharia mutual funds.
... The findings are consistent with Ananta & Widodo (2021), who observe that interest rates negatively and significantly affect inflation. The results are also in line with Sinay (2014), who utilizes accurate structural analysis to document that inflation and BI rates exhibit shortrun and long-run negative relationships. Further, this study supports the classical theory that higher interest rates motivate people to reduce expenditures and increase their savings, leading to lower inflation. ...
Article
Full-text available
This study seeks to identify and analyze the effects of monetary phenomena (operationalized with the quantity of money supply and interest rates), fiscal phenomena (operationalized with fiscal deficits), and the implementation of inflation-targeting monetary policies on inflation rates in Indonesia. Using Engle-Granger's Error Correction Model (EG-ECM) and time-series data of 1990-2020, this study empirically demonstrates that interest rates negatively affect inflation rates in Indonesia in both the short-run and long-run. Further, the EG-ECM estimation results suggest that inflation in Indonesia is a monetary phenomenon, as indicated by the significantly negative impact of interest rates on inflation rates in both the short and long runs. Inflation in Indonesia is not a fiscal phenomenon because fiscal deficits do not affect inflation rates in both the short and long runs. Besides, this study also documents that ITF policies negatively affect inflation rates in the long run. This study implies that an inflation-targeting monetary policy framework remains effective in maintaining price stability in Indonesia. The current ITF policy is flexible and can control publicly expected inflation since its implementation in 2005, leading to stable inflation rates.
... Then, in 1990, Johansen and Juselius developed the Vector Error Correction Model (VECM) concept, which is a combined statistical model of cointegration and ECM models that offers an easy working procedure for separating long-run components and short-run components from the data formation process. The VECM model, often referred to as a restricted form of VAR, describes a time series of changes from short-term profits to longterm equilibrium (Sinay, 2014). VECM requires a cointegration relationship between variables so that VECM can be derived from an autoregressive distributed lag term model (Jiang et al., 2023). ...
Article
Full-text available
This study analyzes the effect of Gross Fixed Capital Formation (GFCF), Imports, Exports, and Government Expenditure of selected G20 member countries on Gross Domestic Product (GDP) using historical data from 1981 to 2021. The detailed analysis aims to explore the relationship between short-term and long-term causality that begins with examining and testing the degree of integration, Unit Root Test, Johansen cointegration test, and causality test. The Vector Error Correction Model (VECM) test results with a 95% confidence interval show that Gross Fixed Capital Formation causes Australia’s and South Africa’s long-term GDPs to have reached a balance point. In addition, Government Spending also causes the European Union’s Gross Domestic Product to achieve a balance point. Imports affect the GDP of the United States, China, and South Africa towards a balance point, and exports affect the GDP of Australia, China, and South Africa. The test results using VECM also conclude that GDP, GFCF, exports, and imports affect GDP growth in the short term. However, on the contrary, on the Australian continent, only GDP, GFCF, and imports which in the previous year had an impact on Australia’s GDP in the short term—concluded that differences in government policies in each country in regulating the economy could affect the causal relationship between the independent variable and GDP in the short and long term.
... Johansen dan Juselius adalah orang yang mengembangkan VECM pada tahun 1990. Hal tersebut tidak terlepas dari ditemukannya konsep kointegrasi dan koreksi error (error correction) oleh Eagle dan Granger pada tahun 1981, di mana penemuan tersebut menjawab tren stokatik (tren yang mempunyai unit root atau bersifat tidak stasioner) dalam data yang mengindikasikan adanya komponen long-run (jangka panjang) dan short-run (jangka pendek) dalam data time series (Sinay, 2014). ...
Article
This study was conducted with the aim of photographing the effect of central government spending and the exchange rate of the Rupiah against the US Dollar for the period January 2016 to 2022. This study uses the VECM method to determine the long-term and short-term relationship of these variables, to see the response of inflation to spending shocks and exchange rates. and the contribution of each variable. The result of this research is that in the long term only the variable of goods expenditure has a significant effect on inflation. Meanwhile, in the short term, personnel expenditures, goods expenditures and exchange rates have a significant effect on Ternate City Inflation. Inflation's response to shocks in personnel spending and exchange rates was relatively small and short-lived. However, Inflation responds to a relatively large and long-lasting shock in goods spending. If sorted from largest, the contribution of each variable to the movement of inflation is expenditure on goods, exchange rates and then personnel expenditure. The implication of this research is that stakeholders in Ternate City need to pay attention to the surge in personnel expenditure, goods expenditure and exchange rate fluctuations
... The second step is the cointegration test, and the constructed model must have a long-term relationship. The VECM procedure requires that it is stationary at first d ifferent and has cointegration (Sinay, 2014). Optimal lag is needed to test cointegration by comparing the Akaike Information Criterio n (AIC) and Schwarz Information Criterion (SIC) values. ...
Article
Full-text available
The Environmental Kuznets Curve (EKC) hypothesis is the relationship between environmental and economic indicators forming an inverted U-curve. This paper aims to provide new insights using the long-term Vector Error Correction Model (VECM) technique. The research data use time series from 1974 to 2020. Empirical findings result in the formation of an open U-curve phenomenon. The immature post-industrialization stage in Indonesia hurts increasing CO2 emissions. Economic indicators as control variables that include population, consumption of electrical energy, and international trade ratios have a good impact on reducing CO2 emissions. The indicator of fossil energy consumption shows that Indonesia still has a dependence on non-renewable energy. After the ratification of the Kyoto Protocol in Indonesia, it does not have promising implications for reducing CO2 emissions. This paper provides important implications for establishing strict regulations to reduce CO2 emissions that contribute to climate change. In the future, the government must encourage people's behavior to save energy, optimize renewable energy, change energy demand patterns, transform low-carbon export products, and evaluate international agreements that impact the pattern of sustainable development in Indonesia.
... VECM merupakan pengembangan dari metode Vector Autoregression (VAR) dimana model VAR diperkenalkan oleh Sims 1980) guna mengidentifikasi perilaku dinamis dari kumpulan variabel tanpa adanya batasan yang kuat (Sulistiana et al., 2017). VECM terdiri atas beberapa tahapan, sepeerti uji stasioneritas, uji kointegrasi, penentuan lag optimum, uji stabilitas model, estimasi VECM, impulse response function, dan variance decomposition (Maria & Andrei, 2015;Sinay, 2014). ...
Article
Full-text available
Abstrak: Sektor pertanian merupakan penyokong perekonomian dan pembangunan Indonesia. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai potensi untuk mengembangkan sektor pertanian menjadi lebih maju. Dalam proses pengembangannya juga perlu memerhatikan aspek sosio-ekonomi agar produksi pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh indikator sosio-ekonomi dan perubahan temperatur terhadap tingkat produksi pertanian di Indonesia. Data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh dari Food and Agriculture Organization (FAO) untuk periode 2001S1-2019S2. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel sosio-ekonomi dan perubahan temperatur berpengaruh terhadap produksi pertanian di Indonesia. Namun, ketika terjadi guncangan pada perubahan temperatur dibutuhkan kebijakan yang lebih lanjut agar produksi pertanian tidak mengalami penurunan. Kondisi ini dibutuhkan karena guncangan pada pangsa dan kredit pertanian tidak berdampak terlalu besar pada produksi jika dibandingkan dengan perubahan temperatur. Koordinasi antar beberapa pihak mulai dari petani sampai pihak pemerintah diperlukan agar produksi pertanian dapat tercapai sesuai dengan target yang diinginkan.
Article
Full-text available
Pertumbuhan ekonomi yang stabil merupakan tujuan akhir dari kebijakan moneter yang dilihat dari kestabilan rupiah. Keadaan Ekonomi mengalami penurunan akibat penyebaran Covid-19. Dalam upaya menstabilkan perekonomian, dianalisis hubungan faktor pendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia menggunakan pendekatan VECM. Pendekatan ini dapat menentukan hubungan jangka panjang dan jangka pendek data deret waktu. Hasil pemodelan setelah memenuhi beberapa pengujian, didapatkan tiga persamaan yang signifikan. Model tersebut menjelaskan adanya pengaruh dalam jangka pendek variabel inflasi dan BI rate terhadap inflasi serta pengaruh terbalik antara BI rate satu periode sebelumnya terhadap kurs. Koefisien kointegrasi bernilai negatif menunjukkan adanya mekanisme penyesuaian jangka pendek ke jangka panjang yang terjadi pada variabel inflasi. Dua persamaan kointegrasi untuk jangka panjang menunjukkan bahwa untuk jangka panjang inflasi dapat dipengaruhi variabel visa secara positif. Variabel BI rate dalam jangka panjang dipengaruhi variabel kurs dan visa. VECM yang dihasilkan dapat menjelaskan lebih dari 50% variabel.
Article
Full-text available
This study examines several macroeconomic factors from April 2016 to March 2021, including the BI Rate, Credit Default Swap, Inflation, and Money Supply (M2). This study uses the Autoregressive Distributed Lag (ARDL) regression method followed by Error Correction Model (ECM) analysis to see the relationship in the short term and Level Equation to determine the long term relationship between independent and dependent variables.. The results of this study finally prove that BI Rate, Credit Default Swap, and Inflation affect the long-term distribution yield spread, while the money supply (M2) does not affect it. Meanwhile, macroeconomic factors that affect the yield spread in the short-term are only the BI Rate variable.
EViews 7 User's Guide II, Quantitative Micro Software
  • Eviews
Eviews, 2009, EViews 7 User's Guide II, Quantitative Micro Software, Irvine CA.
Vector Autoregressive Models. EUI Working Paper ECO 2011/30
  • H Lutkepohl
Lutkepohl, H., 2011, Vector Autoregressive Models. EUI Working Paper ECO 2011/30, Department of Economics, European University Institute, Florence.
  • D Gujarati
Gujarati, D., 2004, Basic Econometrics, 4th Edition, Mc. Graw Hill, New York.