Content uploaded by Iswan Kaputra
Author content
All content in this area was uploaded by Iswan Kaputra on Jan 05, 2015
Content may be subject to copyright.
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
25
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN
DAN KEDAULATAN PANGAN
ISWAN KAPUTRA
e-mail : kaputra@gmail.com
Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan
ABSTRACT
This article discusses the about over-function of agricultural land become lands non-agricultural
in Indonesian, especially in Kabupaten Serdang Bedagai. This over-function viewed as of
development which of course have an impact on agricultural sector. In turn over the function of
agricultural land which not uncontrolled will have an impact on weakening of food security,
which then eliminates food sovereignty in Indonesian. This article compiled from the results of
research who titled Over-Function Agricultural Land of Food, implemented in Serdang Bedagai
on March 2013.
Key Word : alih fungsi, pertanian, pembangunan, pangan.
LATAR BELAKANG MASALAH
Alih fungsi lahan sesungguhnya bukan
fenomena baru dalam kehidupan manu-
sia. Fenomena ini sudah berlangsung
lama, bahkan mungkin seusia dengan
peradaban manusia. Alih fungsi lahan
dianggap menjadi persoalan besar ketika
berakibat pada kerusakan lingkungan dan
menyentuh persoalan keberlangsungan
hidup manusia terkait dengan pembangu-
nan untuk menunjang peradaban baru
manusia.
Sejalan dengan pertumbuhan populasi,
penguasaan dan penggunaan lahan men-
jadi terganggu dan mulai dianggap
bermasalah. Hal ini memunculkan kom-
pleksitas permasalahan akibat meledak-
nya pertambahan penduduk, penemuan
dan pemanfaatan teknologi, serta dinami-
ka pembangunan. Lahan yang semula
berfungsi sebagai media bercocok tanam
(pertanian), perlahan berubah menjadi
multifungsi pemanfaatan. Perubahan spe-
sifik dari penggunaan untuk pertanian ke
pemanfaatan bagi non-pertanian yang
dikenal sebagai alih fungsi (konversi)
lahan, semakin hari semakin meninggi.
Jika alih fungsi lahan pertanian ini tidak
terkendali dapat mengancam kapasitas
penyediaan pangan, bahkan dalam
jangka panjang dapat menciptakan benca-
na sosial.
Sejumlah peraturan telah dibuat dalam
perundang-undangan, tetapi belum mam-
pu mengendalikan alih fungsi lahan
pertanian. Daya efektifitas implementasi
perundangan sebagai instrumen pengen-
dalian alih fungsi belum berjalan optimal.
Untuk itu diperlukan upaya strategi
pengendalian lahan pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor yang
strategis yang menopang perekonomian
nasional dan survivalitas hidup manusia
di muka bumi. Kesadaran ini menyambuk
masyarakat dunia tetap mempertahankan
pertanian, sekalipun telah menjadi negara
industri. Dewasa ini negara yang
tergolong negara maju sejatinya menga-
wali perkembangan bangsanya melalui
pembangunan pertanian, seperti di Peran-
cis, Jepang dan Amerika Serikat. Sebuah
negara dapat bangkit dan maju setelah
hancur luluh akibat Perang Dunia I & II
melalui prioritas pembangunan sektor
pertanian dan perikanan, seperti di
Finlandia dan Denmark. Di Asia
Tenggara, Thailand adalah contoh negara
terbaik dalam bidang pertanian, penghasil
buah, sayur-sayuran dan olahan singkong
STRUKTURASI
Vol. 1, No. 1., Juli 2013 (25-39)
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
27
mencapai pasar global. Di Indonesia
kondisi pertania sepanjang Orde Baru
sampai sebelum krisis moneter (1997) dan
masa reformasi (1998–2004) arah dan
strategi pembangunan nasional dituang-
kan dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN), tersirat bahwa pengem-
bangan pertanian harus didukung oleh
industri yang tangguh. Berbagai kebija-
kan untuk meningkatkan peran pertanian
tertuang dalam berbagai kebijakan yang
ditempuh pemerintah. Dibentuknya
badan-badan negara untuk memajukan
dunia pertanian, semisal bimbingan ma-
syarakat (Bimas), intensi-fikasi masya-
rakat (Inmas) dan intensi-fikasi khusus
(Insus) yang merupakan tanggapan
pemerintah untuk menjadikan pertanian
sebagai tulang punggung perekonomian
bangsa agar ketahanan pangan nasional
dapat dicapai.
Belakangan ini kebijakan pangan nasio-
nal sangat memprihatinkan. Serangkaian
kebijakan pemerintah selain tidak
konsisten, juga tidak mencerminkan sense
of humanity, sehingga berdampak pada
kesejahteraan petani dan ketahanan
pangan nasional. Sektor pertanian adalah
salah satu sektor andalan karena mampu
melakukan pemulihan dalam mengatasi
krisis pangan. Hal ini terbukti pertanian
sebagai salah satu sektor yang berpotensi
besar menjadi penyelamat pemulihan
ekonomi nasional. Dengan demikian,
kebijakan sektor pertanian seharusnyalah
mendapat prioritas utama.
Tujuan pembangunan ketahanan pangan
adalah menjamin ketersediaan dan
konsumsi pangan yang cukup, aman,
bermutu dan bergizi seimbang di aras
nasional, daerah dan rumah tangga.
Ketahanan pangan harus diwujudkan
secara merata di seluruh wilayah dengan
memanfaatkan sumberdaya, kelembaga-
an dan budaya lokal. Ketahanan pangan
mempunyai fungsi ekonomi, sosial,
budaya, politik dan keamanan bangsa.
Membangun ketahanan pangan merupa-
kan kewajiban seluruh komponen bangsa
yang dimulai dari ketahanan pangan di
tingkat regional, daerah sampai ke rumah
tangga.
Dalam sistem pemerintahan yang demo-
kratis dan desentralisasi pelaku utama
pembangunan pangan mulai dari produk-
si, penyediaan, distribusi dan konsumsi
adalah masyarakat, sedangkan pemerin-
tah lebih berperan sebagai inisiator,
fasilitator dan regulator agar kegiatan
masyarakat yang memanfaatkan sumber-
daya nasional dapat berjalan lancar,
efisien, berkeadilan dan bertanggun-
gjawab. Menurut UU No 7 tahun 1996
tentang pangan, diamanatkan pembangu-
nan pangan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia, pemerintah bersama
masyarakat bertanggung jawab mewujud-
kan ketahanan pangan, yaitu tercuku-
pinya pangan bagi setiap rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutu-
nya, aman, merata dan terjangkau.
Pada sisi lain, mewujudkan ketahanan
pangan terbentur oleh masalah alih fungsi
lahan pertanian produktif, terutama lahan
sawah, menjadi lahan non-pertanian dan
lahan pertanian pangan padi menjadi
lahan pertanian non-pangan padi, sehing-
ga petani mengalami kesulitan berpro-
duksi.
Di Jawa yang memasok 60% produksi
beras nasional mengalami penurunan
produksi karena penciutan lahan sawah
akibat alih fungsi lahan dan menyusutnya
tingkat produktivitas lahan. Untuk
mempertahankan keberlangsungan pro-
duksi beras, perluasan area tanam padi
harus segera dialihkan ke luar Jawa yang
lahannya masih cukup luas.
Upaya pemerintah untuk mempertahan-
kan swasembada pangan adalah dengan
peningkatan mutu program intensifikasi,
ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabili-
tasi lahan pertania. Program ekstensi-
fikasi dilakukan dengan pencetakan
sawah baru, khususnya di daerah yang
telah memiliki jaringan irigasi di luar
Jawa. Meskipun biaya pencetakan sawah
relatif mahal, dengan penerapan paket
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
28
teknologi yang tepat diharapkan produksi
padi dapat meningkat. Hal ini penting
dilakukan guna mengantisipasi kebutu-
han beras yang terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk
dan penciutan lahan sawah.
Dari semua program perbaikan yang
telah dilakukan oleh pemerintah untuk
perbaikan produksi pangan nasional, ada
dua hal yang selama ini kurang tersentuh.
Pertama, kemerdekaan petani dalam
menentukan semua aspek pertaniannya
atau lebih tepat disebut dengan kedaulatan
pangan. Kedua, membatasi alih fungsi
lahan pertanian pangan pada tanaman
non pangan atau pengggunaan lain.
Untuk yang kedua, memang telah diter-
bitkan beberapa peraturan mengenai hal
ini. Contohnya Undang-Undang Nomor
41 tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
UU Nomor 18 tahun 2012 tentang
Pangan, dan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Lahan Pertanian.
Namun, peraturan dan perundangan
tersebut masih di atas kertas dan minim
implementasi. Bahkan seperti yang diakui
Menteri Pertanian belum bisa memaksa
para Bupati dan Walikota menaati UU
Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (Tempo, 15 Nopember
2012). Apalagi di daerah tidak ada
peraturan tata ruang yang menegaskan
lahan pertanian pangan dilindungi.
Ditambah lagi belum adanya peraturan
turunan dari berbagai undang-undang
tersebut, seperti peraturan daerah (Perda)
yang lebih implementatif untuk pelak-
sanaannya di daerah masing-masing.
Belum diterapkannya UU Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan ini cukup,
mengkhawatirkan! Setiap tahun sedikit-
nya 100 ribu hektar lahan pertanian
beralih fungsi jadi perumahan dan
kawasan industri. Hal ini menyebabkan
produksi pangan terus menyusut. Terkait
dengan itu perlu dilakukan terobosan dan
pengaturan di tingkat wilayah kabupaten
untuk mengimplementasikannya dengan
pengawasan dan pengawalan masyarakat
agar lebih efektif.
KAJIAN PUSTAKA
Saat ini alih fungsi lahan pangan telah,
sedang dan akan terus terjadi di
Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai).
Kendati belum begitu mengkhawatirkan
terhadap ketersediaan pangan, tetapi
upaya antisipasi mulai perlu dilakukan.
Sekarang ini Kabupaten Sergai dengan
luas sekitar 190.000 hektar memiliki lebih
kurang 41.000 hektar sawah, sekitar
1.600 hektar tidak beririgasi. Dari luas
persawahan ini, data BPS mencatat
bahwa kabupaten ini masih surplus beras
sebanyak 149.861 ton di tahun 2012.
Meski demikian, data Portal Nasional
mencatat hingga tahun 2008, di
Kabupaten Sergai telah terjadi alih fungsi
lahan pangan sebesar 2.300 hektar.
Angka ini relatif lebih kecil jika
dibandingkan dengan Kabupaten Asahan
(6.800 hektar), dan Nias (6.700 hektar).
Tetapi karena kecenderungan alih fungsi
lahan terus meningkat Pemkab Sergai
harus segera mengambil langkah-langkah
antisipatif agar laju alih fungsi lahan
dapat diminimalisasi.
Ketiadaan irigasi sebesar 1.600 hektar
sangat berpotensi terhadap alih fungsi
lahan. Di samping itu pertambahan
populasi, kurangnya perhatian terhadap
petani, godaan nilai ekonomis komoditas
tertentu, sikap pragmatisme, pembangunan
pemukiman, perluasan kota (sebagai
kabupaten yang baru mekar tahun 2003),
dan perkembangan industri diyakini akan
terus menjadi ancaman terhadap berku-
rangnya lahan pangan di daerah ini.
Hakekat pembangunan dalam suatu
negara atau suatu wilayah yaitu proses
perubahan yang meliputi seluruh aspek
kehidupan dan penghidupan yang
berbasiskan atas kesadaran publik dari
kondisi awal menuju kondisi ekspektasi
tanpa mengabaikan hak-hak individu
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
29
(Sulardi, 2003). Dalam pengertian yang
lain pembangunan adalah suatu proses
(atau suatu fenomema) perubahan
(Sasmojo, 2004).
Pembangunan nasional yakni proses-
proses perubahan yang ditempuh dan
dilakukan atas dasar keinginan suatu
masyarakat bangsa. Proses perubahan
selalu terjadi, baik dengan sendirinya
maupun karena adanya intervensi yang
merujuk pada arah perubahan yang
diinginkan.
Dalam pengertian pembangunan lainnya
(Todaro, M. P., 1994) mengemukakan
pembangunan adalah suatu kenyataan
fisik dan suatu keadaan jiwa yang
diupayakan cara-caranya oleh masya-
rakat, melalui suatu kombinasi berbagai
proses sosial, ekonomi, dan kelembagaan
untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik.
Adapun komponen kehidupan yang lebih
baik ini, pembangunan pada semua
masyarakat paling tidak harus mempu-
nyai tiga sasaran, yaitu pertama, mening-
katkan ketersediaan dan memperluas
distribusi barang kebutuhan pokok seperti
pangan, papan, kesehatan dan perlin-
dungan.
Kedua, meningkatkan taraf hidup, yaitu;
selain meningkatkan pendapatan, mem-
perluas kesempatan kerja, pendidikan
yang lebih baik, dan juga memperhatikan
yang lebih besar terhadap nilai-nilai
budaya dan kemanusiaan, yang kese-
luruhannya akan memperbaiki bukan
hanya kesejahteraan material tetapi juga
menghasilkan rasa percaya diri sebagai
individu maupun sebagai suatu bangsa.
Ketiga, memperluas pilihan ekonomi dan
sosial yang tersedia bagi setiap orang dan
setiap bangsa dengan membebaskan
mereka dari perbudakan dan keter-
gantungan bukan saja dalam hubungan
dengan orang lain dan Negara lain tetapi
juga terhadap kebodohan dan keseng-
saraan manusia.
Pembangunan dapat dilihat sebagai
upaya menghapuskan berbagai bentuk
penyakit sosial seperti malnutrisi (keku-
rangan gizi), penyakit, buta huruf,
daerah-daerah pemukiman kumuh,
pengangguran dan ketimpangan penda-
patan. Pembangunan harus menda-
tangkan perubahan dan kesejahteraan.
Tetapi, jika diukur atas dasar jumlah
kesempatan kerja baru, peningkatan
keadilan sosial dan pemberantasan
kemiskinan. Pembangunan tidak banyak
membuahkan hasil malah dinilai gagal.
(Paul P. Streeten, Direktur World
Development Institute).
Maka konsep pembangunan biasa
diartikan dalam konteks nasional, akan
tetapi jangkauan yang sedemikian luas
telah memaksa dilakukannya serangkaian
modifikasi atau penyesuaian yang bersifat
mendasar atas sistem-sistem ekonomi dan
sosial internasional.
PEMBAHASAN
Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan (food security) adalah
paradoks dan lebih merupakan penemuan
dunia modern. Lebih banyak produsen
pangan di masa lalu ketimbang masa
kini; tetapi dunia hari ini dianggap lebih
aman pangan ketimbang masa lalu.
Paradoks ini bisa terlihat jelas di banyak
negara maju, salah satunya adalah
Inggris. persentase populasi pertanian di
negara ini tahun 1950 adalah 6% dan
terus menurun secara drastis hingga 2%
di tahun 2000. Berdasarkan prediksi
Badan Pangan Dunia (Food and
Agriculture Organization - FAO), jumlah
populasi pertanian di Inggris terus turun
menjadi 1% di tahun 2010.
Sekarang ini Indonesia memiliki 90 juta
petani atau sekitar 45% penduduk
memberi makan seluruh penduduk
(sekitar 240 juta orang). Tetapi fakta-fakta
dari Nusa Tenggara Barat (yang kerap
dikenal sebagai daerah lumbung padi)
serta daerah semi arid seperti Nusa
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
30
Tenggara Timur, justru menghadapi
ketahanan pangan yang sangat rapuh.
Terbukti dengan tingginya tingkat
kekurangan pangan dan gizi buruk.
Konsep Pembangunan Ketahanan
Pangan
Sekarang Indonesia sedang menuju
pemerintahan yang terdesentralisasi, demo-
kratis dan lebih terbuka pada ekonomi
pasar yang lebih kompetitif, maka
diperlukan paradigma (konsepsi yang
diusung pemerintah sekarang) pembangu-
nan ketahanan pangan seperti: Pende-
katan pengembangan dari ketaha-nan
pangan pada tataran aggregate (makro)
menjadi ketahanan pangan berbasis
rumah tangga; Pendekatan manajemen
pembangunan, dari pola sentralistik
menjadi pola desentralistik; Pelaku utama
pembangunan, dari peran pemerintah
menjadi dominasi peran masyarakat;
Fokus pengembangan komoditas, dari
beras menjadi komoditas pangan dalam
arti luas; Keterjangkauan rumah tangga
atas pangan, dari penye-diaan pangan
murah menjadi pening-katan daya beli;
Perubahan perilaku keluarga terhadap
pangan, dari sadar kecukupan pangan
menjadi sadar kecu-kupan gizi.
Upaya pemantapan ketahanan pangan
merupakan terjadinya pergeseran para-
digma pembangunan ketahanan pangan
melalui upaya pengembangan kapasitas
produksi dengan perluasan areal, rehabi-
litasi kemampuan produksi, optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya alam, lahan
dan air. Selain itu, pengembangan kon-
sumsi pangan beragam, bergizi dan
berimbang, melalui aktualisasi diversifikasi
pangan (penganeka-ragaman pangan).
Berdasarkan definisi ketahanan pangan
dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun
1996 tentang pangan, yang mengadopsi
definisi dari FAO, ada empat komponen
yang harus dipenuhi untuk mencapai
kondisi ketahanan pangan yaitu: Kecu-
kupan ketersediaan pangan; Stabilitas
ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari
musim ke musim atau dari tahun ke
tahun; Aksesibilitas/keter-jangkauan terha-
dap pangan; dan, Kualitas/keamanan
pangan.
Keempat komponen ini akan digunakan
untuk mengukur ketahanan pangan di
tingkat rumah tangga setiap penduduk.
Keempat indikator ini merupakan indi-
kator utama untuk mendapatkan indeks
ketahanan pangan. Ukuran ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga dihitung
dengan cara menggabungkan keempat
komponen indikator ketahanan pangan
tersebut, untuk mendapatkan satu indeks
ketahanan pangan.
Pangan Sebagai Hak
Hak atas pangan sejak lama didek-
larasikan sebagai hak asasi manusia
(Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia -
DUHAM) melalui berbagai perjanjian
internasional. Di antaranya; Deklarasi
Universal Hak Azasi Manusia
(DUHAM) atau UDHR, 1948, berbunyi
“Everyone has the right to a standard of living
adequate for the health and well-being of
himself and of his family, including food ...”
Article 25 (1)
Pembukaan Konstitusi FAO, Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial
dan Budaya (ECOSOC Right) atau
ICESCR, 1966, bunyinya “The States
Parties to the present Covenant recognize the
right of everyone to an adequate standard of
living ... including adequate food ...” and
agree to take appropriate steps to realize this
right. Article 11 (1). Dan RDWFS, 1996,
bunyinya “We, the Heads of State and
Government ... reaffirm the right of everyone to
have access to safe and nutritious food,
consistent with the right to adequate food and
the fundamental right of everyone to be free
from hunger.”
Semua kesepakatan internasional ini,
intinya menjamin bahwa setiap orang
berhak mendapatkan pangan yang layak,
sehat dan bebas dari kelaparan.
Kesepakatan-kesepakatan internasional
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
31
tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia terutama ICESCR (ECOSOC
Right) yang menjadi landasan utama
terpenuhinya hak pangan, karena di
dalamnya ada right to food.
Ratifikasi konvenan-konvenan internasio-
nal HAM di Indonesia diterjemahkan
dalam peraturan perundang-undangan;
UU No 7, tahun 1996, Tentang Pangan,
bunyinya; “Ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau.”
(Pasal 1 angka 17). Dibentuknya Dewan
Ketahanan Pangan Nasional dengan
Kepres No. 132 tahun 2001 dan
diterbitkannya PP No. 68, Tahun 2002,
tentang Ketahanan Pangan, bunyinya
“Untuk mewujudkan ketahanan pangan
dilakukan perumusan kebijakan, evaluasi dan
pengendalian ketahanan pangan”, (Pasal
17).
Setiap bentuk HAM selalu diiringi
dengan kewajiban atau tanggung jawab
negara dalam tiga level, yaitu untuk
menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhinya (to fulfill).
Demikian juga dengan hak atas pangan.
Ini artinya ketika suatu negara telah
meratifikasi konvenan HAM yang
dideklarasikan pada aras internasional
maka pemerintahan suatu negara tersebut
wajib memenuhi apa yang dimaksudkan
dalam diktum internasional tersebut
untuk melindungi dan mengamankan
kondisi manusia untuk terlindungi hak
dasarnya atau hak asasinya.
Konsep Kedaulatan Pangan
Untuk urusan pangan, Indonesia
menganut paham “ketahanan pangan”,
sementara kalangan masyarakat sipil
dunia dan Indonesia memiliki faham
sendiri, yakni “kedaulatan pangan”.
Faham kedaulatan pangan ini tentu
berbeda dengan faham yang dianut
pemerintah, ketahanan pangan.
Konsep kedaulatan pangan lebih mengu-
tamakan bagaimana pangan ditentukan
oleh komunitas secara mandiri, berdaulat
dan berkelanjutan (menghormati dan
menjaga lingkungan hidup terpelihara
dengan baik). Kedaulatan pangan adalah
hak setiap orang, kelompok-kelompok
masyarakat dan setiap negara untuk
menentukan sendiri kebijakan pertanian,
ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan
tanah, yang berwawasan ekologis, sosial,
ekonomi dan budaya yang sesuai dengan
kondisi khas dan kedaerahan mereka.
Hal ini menyangkut hak yang berdaulat
terhadap pangan dan produksi pangan,
sehingga orang mempunyai hak atas
pangan yang aman, cukup gizi dan sesuai
dengan kondisi budaya setempat dan hak
atas sumber-sumber daya untuk mem-
produksi pangan serta kemampuan untuk
menjaga keberlanjutan hidup mereka dan
masyarakatnya.
Kedaulatan pangan, telah dideklarasikan
oleh 400 delegasi yang berasal dari
organisasi petani, masyarakat adat, nela-
yan, non government organization (NGO)/
lembaga swadaya masyarakat (LSM),
aktivis sosial, akademisi dan peneliti dari
60 negara pada Pertemuan Dunia tentang
Kedaulatan Pangan, World Forum on Food
Sovereignty di Havana, Kuba pada 3 - 7
September 2001. Konsep kedaulatan
pangan ini kemudian dimatangkan pada
Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World
Food Summit) pada 8 - 13 Juni 2002, di
Roma, dihadiri oleh 700 organisasi
masyarakat sipil dunia.
Indonesia lebih cenderung menerapkan
konsep ketahanan pangan dari pada
konsep kedaulatan pangan. Pembentukan
Badan Ketahanan Pangan di bawah
Departemen Pertanian, sampai ke tingkat
kabupaten merupakan penerjemahan dari
Kepres 132/2001. Apa yang dicita-
citakan dari pembentukan Badan Keta-
hanan Pangan ini, niat awalnya cukup
baik. Kita lihat saja konsep Program Aksi
Desa Mandiri Pangan (PADMP) yang
diluncurkan tahun 2005, misalnya, di
dalam kertas kerja konsep tersebut sangat
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
32
baik dan cukup ideal, bahkan hampir
sama dengan konsep kedaulatan pangan
yang dicita-citakan masyarakat sipil
dunia.
Konsep PADMP adalah mewujudkan
ketahanan pangan dalam suatu wilayah
yang mempunyai keterpaduan sarana dan
prasarana dari aspek ketersediaan,
distribusi dan konsumsi pangan rumah
tangga. Membangun daerah pedesaan
terutama dalam hal penyediaan bahan
pangan untuk penduduk, penyediaan
tenaga kerja untuk pembangunan, penye-
diaan bahan baku untuk industri dan
penghasil komoditi untuk bahan pangan
dan ekspor, merupakan sedikit perbedaan
dengan konsep kedaulatan pangan.
Namun dari segi tujuan program, yakni,
meningkatkan ketahanan pangan dan gizi
(mengurangi kekurangan pangan dan
gizi) masyarakat melalui pendayagunaan
sumberdaya, kelembagaan dan budaya
lokal pedesaan untuk mencapai tingkat
kemandirian pangan desa. Tetapi realitas-
nya orang yang mengelola Badan Keta-
hanan Pangan sebagai implementator dan
eksekutornya tidak mengerti tentang keta-
hanan pangan, terutama di kabupaten-
kabupaten.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
minimnya pemahaman dan kurang
responsifnya perangkat Badan Ketahanan
Pangan terhadap materi-materi soal
pangan dalam forum-forum ilmiah dalam
beberapa seminar tentang kedaulatan
pangan dan ketahanan pangan di
beberapa kabupaten yang mengundang
Badan Ketahanan Pangan Kabupaten
sebagai peserta maupun sebagai
pembicara.
Hal yang lain yang agak mencengangkan
sewaktu melihat tabel wilayah kabupaten
yang akan jadi sasaran program PADMP,
daerah yang selama ini tidak tergolong
rawan pangan cenderung dianggap publik
sebagai daerah yang kaya, namun oleh
program PADMP ini digolongkan
menjadi daerah yang akan disasar oleh
program.
Contohnya, Kabupaten Labuhan Batu di
Sumatera Utara menempati urutan
pertama yang di antara dua desanya akan
dijadikan wilayah desa mandiri pangan.
Ini artinya bukan daerah atau desa yang
selama ini kondisinya benar-benar
mengalami rawan pangan yang masuk
dalam pelaksananaan PADMP yang
tujuannya mengatasi desa rawan pangan.
Untuk mengetahui perbedaan ketahanan
pangan dan kedaulatan pangan dapat
dilihat dalam tabel berikut.
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
32
Perbedaan Konsep Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
Aspek
Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan
Perdagangan
Perdagangan bebas dianggap
segalanya atau satu-satunya jalan
menuju kesejahteraan rakyat.
Pangan dan pertanian dilindungi oleh
perdagangan bebas.
Tujuan utama
produksi
Budidaya tanaman pangan untuk
komoditi perdagangan dan ekspor.
Budidaya aneka tanaman pangan
untuk kebutuhan sendiri dan pasar
lokal.
Harga
Terserah pasar (mekanisme pasar
murni).
Harga yang adil, memperhitungkan
biaya produksi, pendapatan buruh
tani, keuntungan bagi petani kecil
secara bermartabat.
Akses pasar
Pasar luar negeri.
Akses ke pasar lokal dan
menghentikan investasi pasar
agribisnis.
Subsidi
Dilarang (namun AS dan UE
memberikan subsidi yang besar
kepada petaninya yang kaya).
Boleh selama tidak merusak pasar
negeri lain. Justru diperlukan untuk
petani kecil dan untuk mendukung
pertanian berkelanjutan.
Pangan
Komoditas yang penting dan
menguntungkan (komoditas
perdagangan).
Kebutuhan dasar manusia, sehingga
harus terjangkau dalam jumlah yang
cukup sesuai budaya lokal dan
produksi lokal (komoditas sosial).
Pilihan
Komoditas
Satu pilihan komoditas untuk
efisiensi ekonomi.
Pilihan jenis tanaman adalah hak
penduduk pedesaan, terutama petani.
Efek produksi
Kelaparan karena rendahnya
produksi pangan.
Masalah akses dan distribusi, karena
kemiskinan dan ketidak-adilan.
Daya tahan
pangan
Dicapai dari manapun (termasuk
impor) asal harga murah.
Diproduksi sendiri oleh komunitas
lokal, keaneka-ragaman pangan
berdasarkan histori dan kultur daerah
setempat, tidak memaksakan
keseragaman pangan.
Kontrol terhadap
sumber produksi
Diprivatisasi
Lokal dan kontrol oleh komunitas.
Benih
Komunitas yang dipatenkan.
Lokal, warisan yang menjadi milik
bersama.
Sumber modal
produksi
Dari bank, suasta atau perusahaan.
Dari pemerintah yang dirancang
untuk mendukung petani kecil, modal
sendiri, arisan desa, atau serikat
tolong-menolong.
Dumping
Tidak begitu masalah.
Harus dilarang.
Monopoli
Tidak masalah.
Jadi sumber persoalan, harus
dihilangkan.
Penggunaan
pestisida, racun,
pupuk kimia dan
rekayasa
biologi/genetika
Harapan masa depan.
Merusak ekologi dan kesehatan, tidak
diperlukan.
Sumber: Diadaptasi dan dikembangkan dari Peter Rosset, Food Sovereignty: Global Rallying Cry of Farmer
Movement, Backgrounder, Vol. 9 Num. 4, 2003
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
33
Kedaulatan pangan ditujukan untuk
kemandirian dan kemerdekaan menentu-
kan pangan dengan berdaulat untuk
menghempang politik pangan dunia.
Sejatinya kedaulatan pangan menempat-
kan prioritas produksi pangan untuk
pasar lokal yang berdasarkan keragaman
keluarga petani, petani kecil, sistem dan
aspek produksi pertanian yang berwa-
wasan ekologis.
Tujuan lain kedaulatan pangan adalah
menjamin harga yang adil bagi petani
untuk melindungi pasar internal dari
dumping produk impor yang berharga
rendah. Dengan begitu akses terhadap
tanah, air, hutan, daerah perikanan dan
sumber-sumber produktif lainnya melalui
program redistribusi sumberdaya yang
seutuhnya dapat terpenuhi.
Kedaulatan pangan juga mengapresiasi
dan meningkatkan peran perempuan
dalam produksi pangan dan akses yang
seimbang, termasuk dalam mengontrol
sumber-sumberdaya produksi. Petani juga
dapat mengawasi sumber-sumber daya
produktif yang berlawanan dengan
kepemilikan tanah, air, sumber-sumber
genetik dan sumber-sumber lainnya yang
dikuasai perusahaan besar.
Kedaulatan pangan juga melindungi
benih sebagai dasar pangan dan kehi-
dupan petani sehingga pertukaran dan
penggunaan benih dapat dilakukan secara
bebas antar petani. Dengan demikian
tidak ada paten terhadap makhluk hidup
dan menghentikan (moratorium) terhadap
tanaman hasil rekayasa genetika
(genetically modified organism - GMO) yang
menyebabkan polusi terhadap keaneka-
ragaman genetika tanaman dan hewan.
Inilah Investasi publik dalam rangka
mendukung kegiatan produktif keluarga
dan masyarakat yang mendorong terjadi-
nya proses pemberdayaan, pengawasan
lokal dan produksi pangan untuk rakyat
dan pasar lokal.
Sejalan dengan itu, kedaulatan pangan
juga mensyaratkan adanya penguasaan
masyarakat lokal atas sumber-sumber
produksi pangan. Kelapa-ran dan
kemiskinan yang dialami masya-rakat
pedesaan, khususnya para petani
penggarap, hanya dapat diatasi dengan
sungguh-sungguh dengan meningkatkan
akses mereka terhadap tanah dan sumber
daya produksi lainnya. Penyediaan
dukungan sumber agraria lain sebagai
sumber penghidupan alternatif bagi
mereka juga sangat berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan pangan dan
peningkatan pendapatan mereka.
Persoalan kurang pangan dan kelaparan
jutaan petani ini memerlukan upaya
serius untuk mengatasinya. Pemerintah
merupakan pihak yang paling bertang-
gung jawab dan berkepentingan atas
pemenuhan hak atas pangan rakyatnya,
mengingat pangan merupakan kebutuhan
dasar bagi kelangsungan hidup manusia.
Pengakuan peran penting penjaminan
pemenuhan pangan sebaga bagian dari
Hak Asasi Manusia (HAM) oleh
pemerintah telah disepakati baik di
tingkat nasional maupun internasional.
Sebagai contoh, diterbitkannya UU No 7
Tahun 1996 tentang Pangan untuk
lingkup nasional, dan berbagai kesepa-
katan internasional seperti Piagam Petani
pada Pembukaan Konstitusi FAO tahun
1979, Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia, serta Konvenan Inter-
nasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya. Namun berbagai program
yang dilakukan selama ini masih belum
mampu mengurangi jumlah penduduk
kelaparan. Meskipun pemerintah telah
membuat undang-undangnya, kelaparan
belum menjadi prioritas pemerintah dan
jikapun dilaksanakan, skalanya masih
terbatas.
Tanah dan Politik Agraria
Dalam rentang perjalanan bangsa sejak
masa lalu sampai saat ini persoalan tanah
selalu menjadi tema penting. Hal ini
memeprlihatkan dua hal, pertama, tanah
merupakan sumber agraria yang funda-
mental bagi kehidupan masyarakat.
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
34
Kedua, persoalan tanah tidak pernah
terselsaikan dengan tuntas, dan tetap
menjadi warisan persoalan yang
diturunkan dari generasi ke generasi.
Ketika bangsa ini di bawah kekuasaan
Belanda, lahirnya Undang Undang
Agraria 1870 bertujuan untuk memu-
dahkan perusahaan perkebunan swasta
menguasai tanah dalam jumlah yang
besar (Simarmata, 2002). Ekaspansi
perkebunan besar mengubah struktur
penguasaan tanah pedesaan. Tanah
pertanian subur diambil perkebunan besar
untuk keperluan tanaman ekspor.
Pada awal kemerdekaan, persoalan-
persoalan agraria warisan kolonial
menjadi salah satu agenda utama
pembahasan pemerintah Indonesia. Pada
titik itulah dimulai upaya untuk
membangun kesepakatan dan negoisasi
antara masyarakat dan negara mengenai
penguasaan, pemilikan dan peruntukan
sumber-sumber agraria. Seperti diketahui
banyak kelompok berkepentingan terha-
dap sumber-sumber agraria, sehingga
proses pembahasan harus melalui perde-
batan sengit dan waktu yang cukup
panjang. Hal ini tercermin dari lahirnya
Undang-undang Pokok Agrarian
(UUPA) No 5 tahun 1960 yang dianggap
paling optimal dan diharapkan mampu
membawa Indonesia kepada tatanan
masyarakat yang lebih baik, paling tidak
dibandingkan masa kolonial (Soetiknyo,
1987).
Pergolakan politik tahun 1965 yang
berujung pada pergantian pemerintahan
Orde Lama kepada pemerintahan Orde
Baru memporakporandakan kesepakatan
pengelolaan agraria yang telah dibangun
oleh pendahulunya. UUPA 1960 dapat
dikatakan tidak sempat menunjukan jati
dirinya dan tergilas oleh peraturan
perundangan baru yang bertentangan
dengannya, antara lain UUPK No 5
tahun 1967, UU Pertambangan No 11
tahun 1967, UU PMDN No 8 tahun
1968, dan UU PMA No 1 tahun 1967.
Penerapan kebijakan pengelolaan agraria
melalui seperangkat UU ini menandai
tampilnya kembali jalan kapitalisme
sebagai landasan bagi arah perjalanan
bangsa. Perubahan orientasi yang
dilakukan Orba tanpa didahului oleh
sebuah kesepakatan dan negoisasi baru -
membelokkan dengan sengaja substansi
UUPA 1960 - tidak dapat dibenarkan.
Dengan kata lain, Orde Baru telah
mengingkari mandat rakyat.
Pembenaran yang dilakukan negara
melalui dalih pembangunan manusia
seutuhnya sama sekali tidak menemukan
tempatnya. Pada masa Orde Baru,
persoalan tanah semakin merajalela.
Pertama, terjadi depolitisasi dan
desosialisasi makna tanah. Tanah hanya
dimaknai berdasarkan utilitas ekono-
minya, sehingga berbagai dimensi sosial,
kultural dan politik tanah terabaikan
begitu saja. Kedua, tanah bukan lagi alat
produksi untuk memenuhi kebutuhan
penggarapnya melainkan dijadikan alat
untuk mencapai nilai tambah dan
akumulasi kapital. Ketiga, terjadi
konsentrasi pemilikan dan penguasaan
tanah secara besar-besaran.
Kerumitan masalah tanah semakin
bertambah ketika negara tidak berdaya
menghadapi kekuatan ekonomi dalam
persaingan pasar bebas. Krisis moneter
berkepanjangan menjadi bukti utama
kerentanan pertanahan. Saat terjadi krisis
ekonomi negara. Pada saat itulah pintu
terbuka lebar bagi masuknya kepentingan
dan agenda pihak luar, baik melalui
lembaga keuangan internasional seperti
International Monetary Fund (IMF) dan
World Bank maupun lembaga-lembaga
donor non-pemerintah. Sasaran utama
mereka adalah penguasaan sumber-
sumber agraria yang dibungkus dalam
berbagai program–baik utang maupun
hibah–dengan tema yang menarik
perhatian, seperti pelestarian hutan,
pemberantasan kemiskinan, partisipasi,
civil society dan pemerintahan yang baik.
Di era reformasi, UUPA-1960 dicoba
diangkat lagi dengan keluarnya ketetapan
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
35
MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan
Agraria (PA) dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam (PSDA), dan Keppres No.
34/2003 tentang Penyempurnaan UUPA
1960. Dalam menanggapi kelahiran Tap
MPR No. IX/MPR/2001 dan Keppres
No. 34/2003, sedikitnya ada tiga sikap
yang muncul ke permukaan.
Bagi sebagian golongan yang pro,
kelahiran dua kebijakan itu dianggap
sebagai keberhasil gerakan masyarakat
sipil mendorong negara menggagendakan
pembaruan agraria yang sebelumnya
tidak mungkin dilakukan. Sebagian
golongan lagi menerjemahkannya sebagai
sebuah kerberhasilan. Artinya, golongan
ini tidak begitu saja mengafirmasi dan
memberikan dukungan sepenuhnya atas
produk yang oleh golongan pertama
dinilai sebagai keberhasilan perjuangan
itu.
Lain halnya dengan golongan ketiga yang
secara diametral mengambil posisi kontra.
Golongan ini menerjemahkan keber-
hasilan dalam versi golongan pertama
sebagai sebuah bencana dan kegagalan.
Argumentasi utama pandangan kontra ini
adalah bahwa Tap MPR No.
IX/MPR/2001 tidak bisa diharapkan
menjadi perangkat kebijakan yang
mampu merombak struktur penguasaan
dan pemilikan agraria yang timpang.
Sebaliknya, kelahirannya justru
membuka kotak pandora, karena akan
melempangkan jalan neoliberalisme.
Menurut kubu ini, langkah strategis yang
seharusnya ditempuh sekarang adalah
mempertahankan UUPA 1960 sebagai-
mana aslinya yang dinilai relevan untuk
menghadapi kecenderungan globalisasi
dan arus neo-liberalisme yang sedang
menerpa bangsa ini.
Sementara itu, kubu pendukung menje-
laskan bahwa Tap MPR tersebut merupa-
kan hasil optimal dari proses politik yang
dapat dicapai dengan segala potensi
perubahan bagi terjadinya perubahan
yang ada saat ini. Karena itu, kelahiran
Tap MPR ini dapat disebut sebagai
momentum baru bagi dijalankannya
pembaruan agraria. Ketetapan itu telah
memuat sejumlah mandat yang diperlu-
kan untuk memulai dijalankannya pem-
baruan agraria yang jika diberlakukan
dengan konsisten sesuai dengan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam ketetapan
itu akan dapat menjawab persoalan-per-
soalan agraria selain menjawab kepri-
hatinan kita tentang nasib kaum tani.
Sampai sekarang masalah agraria adalah
tidak ditegakkannya UUPA 1960. Dapat
dikatakan hampir semua kekuatan pro
pembaruan agraria yang berorientasi
pada kepentingan rakyat setuju dengan
itu. Karena itu, wacana agraria yang
kemudian muncul dan berkembang
terfokus pada isu penegakkan kembali
UUPA 1960. Adapun yang menjadi
sasaran utama kritiknya adalah
sektoralisme peraturan perundang-
undangan yang menyangkut masalah
agraria. Masing-masing sektor terus
menumbuhkan UU sektoralnya yang satu
sama lain potensial berbenturan arah
kepentingannya. Hal tersebut menun-
jukkan bahwa para elit politik tidak
tertarik untuk menyelesaikan persoalan
agraria. Sehingga Tap MPR No. IX,
kalaupun dianggap momentum terasa
lenyap begitu saja.
Semua pihak kembali pada agenda
masing-masing tanpa menyelesaikan
persoalan agraria. Pembaruan Agraria
kembali menemukan semangat dengan
diluncurkannya hasil rapat kabinet
terbatas antara Presiden RI dengan
Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian
dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN) pada 28 September 2006,
menghasilkan sebuah keputusan politik
bahwa pemerintah akan melaksanakan
Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN).
Kesenjangan antara pengetahuan
mengenai Pembaruan Agraria dan
pengambilan keputusan. Kelahiran Tap
MPR No. IX tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam tersebut di atas dapat
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
36
dijadikan contoh. Dewasa ini, bagaimana
wujud pelaksanaannya masih belum
terkonstruksi dengan jelas. PPAN hanya
dijadikan tukang stempel program untuk
sertifikasi tanah.
Jepang, Korea Selatan dan Taiwan
berhasil meletakkan fondasi pemba-
ngunan yang tangguh berkat melakukan
pembaruan agraria. Lebih jauh, negara-
negara tersebut juga memberi pelajaran
bahwa pembaruan agraria tetap bisa
diletakkan dalam kerangka transformasi
pembangunan ekonomi, tanpa menim-
bulkan ekses yang berarti. Agenda
pembaruan agraria harus dipahami dan
diterima oleh rakyat, dan gerakan rakyat
merupakan syarat mutlak bagi pelak-
sanaannya.
Rentetan panjang sejarah issu atau
persoalan agraria di atas sangat diwarnai
oleh warisan kultur feodalistik dan
pilihan pembangunan kapitalistik yang
dilakukan selama lebih dari seperempat
abad di bawah Orde Baru. Model
pembangunan ini memberikan tiga proses
besar yang mendorong terbentuknya
komunitas-komunitas miskin baik di
pedesaan maupun di perkotaan.
Pertama, proses pembangunan ternyata
memberikan kontribusi besar bagi
tercerabutnya massa penduduk pedesaan
dari faktor produksi utama mereka, yakni
tanah, sehingga menyebabkan terjadinya
tunakisma. Banyak di antara mereka
kemudian pergi ke perkotaan tertarik oleh
berbagai peluang kehidupan. Namun,
karena pendidikan dan keterampilan
yang kurang memadai, sedikit pilihan
yang mereka miliki sehingga akhirnya
mereka terdampar menjadi kelompok
miskin di perkotaan.
Kedua, ketidakmampuan model pemba-
ngunan kapitalistik itu sendiri untuk
menyerap pasokan massa tenaga kerja
yang melimpah. Sebagian kecil saja yang
dapat terserap. Itupun lebih banyak
mengisi lapis bawah sektor formal.
Mereka tidak bisa beranjak jauh dari
posisi bawah tersebut sehingga akhirnya
mereka terbelit dalam kemiskinan.
Ketiga, ketimpangan penguasaan dan
pemilikan faktor produksi, terutama
tanah, sebagai akibat tidak adanya
kontrol penguasaan dan pemilikan.
Komersialisasi, spekulasi, dan membum-
bungnya harga tanah merupakan akibat
logis dari proses ini. Kebutuhan tanah
untuk pertanian dan sektor lain berkurang
bukan karena kelangkaan tetapi karena
adanya pemimbunan dan penguasan berle-
bih oleh sekelompok kecil masyarakat.
Potret ketimpangan agraria dan guremisasi
pertanian sebagai akumulasi timbunan
persoalan agraria dari waktu ke waktu
dapat terlihat dari hasil Sensus Pertanian
yang dilakukan sepuluh tahun sekali.
Menurut hasil Sensus Pertanian tahun
2003, jumlah rumah tangga petani gurem –
petani yang menguasai tanah kurang dari
0,5 hektar, baik milik sendiri maupun
menyewa–di Indonesia adalah
13.663.000, sementara petani pengguna
lahan sebanyak 24.176.000 (Berita Resmi
BPS,No.06/VII/2/02/2004,
www.bps.go.id).
Dalam kurun waktu sepuluh tahun
(1993—2003), jumlah rumah tangga
petani gurem meningkat, yakni dari
10.804.000 pada tahun 1993 menjadi
13.663.000 pada tahun 2003. Demikian
pula di Pulau Jawa, jumlahnya
meningkat dari 8.067.000 pada tahun
1993 menjadi 9.989.000 pada tahun 2003,
atau bertambah sebanyak 1.922.000
rumah tangga.
Peningkatan rumah tangga gurem selama
tahun 1993—2003 sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk miskin
di perdesaan. Berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Komite Penaggulangan
Kemiskinan Republik Indonesia
(KPKRI), pada tahun 1993 jumlah
penduduk miskin di perdesaan tercatat
sebanyak 17.200.000 orang
(www.kpkri.org). Pada tahun 2003
jumlahnya meningkat menjadi
25.100.000 orang.
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
37
Urgensi pelaksanaan pembaruan agraria
pada dasarnya berangkat dari keyakinan,
bahwa persoalan kemiskinan dan
kerawanan pangan timbul sebagai akibat
dari adanya ketidakadilan dalam
pengelolaan sumber-sumber agraria.
Salah satu indikatornya adalah terjadinya
ketimpangan dalam jangkauan dan
kontrol masyarakat terhadap sumber-
sumber agrarian, terutama tanah dan air.
Rendahnya akses dan kontrol jutaan
penduduk miskin desa di seluruh dunia
menyebabkan mereka terjerat dalam
lingkaran kemiskinan dan kelaparan.
PENUTUP
Strategi Menahan Laju Alih Fungsi
Temuan lapangan tentang alih fungsi
lahan pertanian tanaman pangan ke
penggunaan lain sangat multi kompleks.
Multi kompleks persoalan dapat dilihat
dari derajat pertumbuhan alih fungsi
lahan, faktor tofografi, kaitan dengan
kehidupan sosial dan budaya, pertam-
bahan populasi, tingkat kesejahteraan
petani, irigasi, perluasan kota, political will
dari pemerrintah, serta pemangku
kepentingan lainnya.
Oleh karena itu, guna menahan laju
pertumbuhan alih fungsi lahan tersebut
perlu strategi pengendalian alih fungsi
lahan pertanian yang bersifat holistik dan
komprehensif. Dengan kata lain, alih
fungsi lahan pertanian harus menjadi
perhatian banyak piha. Pihak-pihak yang
dimaksud merupakan tumpuan dengan
dimensi cukup luas, yakni segenap
lapisan masyarakat atau pemangku
kepentingan (stakeholders) yang berhu-
bungan langsung dengan alih fungsi
lahan pertanian. Sehubungan dengan itu,
diperlukan sebuah dasar pemikiran
mengenai strategi pengendalian alih
fungsi lahan yang bertumpu pada
masyarakat
Setidaknya, terdapat tiga langkah yang
dibutuhkan dalam mewujudkan strategi
pengendalian alih fungsi lahan pertanian
yang bertumpu pada masyarakat.
Pertama, titik tumpu (entry point) strategi
pengendalian adalah melalui partisipasi
segenap pemangku kepentingan. Hal ini
cukup mendasar, mengingat para
pemangku kepentingan adalah pihak-
pihak yang bersentuhan langsung dengan
proses alih fungsi lahan pertanian.
Kedua, fokus analisis strategi pengenda-
lian adalah sikap pandang pemangku
kepentingan terhadap eksistensi peraturan
kebijakan seperti instrumen hukum
(peraturan perundang-undangan), instru-
men ekonomi (insentif, disinsentif, kom-
pensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih
fungsi lahan pertanian). Esensinya, sikap
pandang pemangku kepentingan seyog-
yanya berlandaskan inisiatif masyarakat
dalam bentuk partisipasi aksi kolektif
yang sinergis dengan peraturan kebijakan,
sesuai dengan harapan dan keinginan
masyarakat.
Ketiga, sasaran (goal) strategi pengen-
dalian adalah terwujudnya pengendalian
alih fungsi lahan pertanian yang selaras
dan berkelanjutan.
Berkaitan dengan tiga langkah di atas,
maka strategi yang diperlukan sebagai
berikut:
1. Membongkar dan merubah kesan
(image) bahwa menjadi petani padi
adalah profesi yang hina dan erat
kaitannya dengan kesusahan. Hal ini
tercermin dari pesan yang disam-
paikan petani kepada anaknya dalam
bentuk kalimat “jangan jadi seperti
bapakmu nak…”. Perlu juga dilakukan
pembongkaran paham petani yang
tidak ingin meregenerasi (melarang)
anaknya untuk menjadi petani.
Selanjutnya, perlu pula dilakukan
kampanye untuk memuliakan petani
sebagai pemberi pangan dunia, dan
mengangkat derajat dan martabat
petani dengan pencitraan yang baik,
serta dilakukan secara berkesinam-
bungan.
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
38
2. Melakukan kampanye secara terus-
menerus tentang perlunya penanaman
tanaman pangan sebagai warisan
nenek moyang, dan jaminan keber-
langsungan kehidupan manusia seka-
ran dan anak cucu di masa menda-
tang, serta bahaya yang mungkin
terjadi jika alih fungsi lahan tidak
segera diatasi/dihentikan.
3. Melakukan berbagai upaya, terutama
dukungan Pemerintah Daerah, untuk
memperbaiki, mengoptimalkan, dan
jika diperlukan membuat irigasi baru,
sehingga petani padi tidak kesulitan
mendapatkan air untuk pertanian
padinya. Temuan di lapangan menun-
jukkan bahwa alih fungsi lahan terbe-
sar dari persawahan kepada tanaman
non padi dan penggunaan lain,
sebagian besar karena masalah keter-
sediaan air, dan tentunya ini terkait
dengan irigasi.
4. Diperlukan perhatian yang lebih besar
dari pihak terkait sehingga keun-
tungan pertanian tanaman padi bisa
lebih menguntungkan daripada tana-
man lain dengan cara melakukan
insentif, disinsentif, dan kompensasi
kepada petani padi.
5. Diperlukan intervensi pemerintah dari
mulai proses produksi hingga panen,
dan pasca panen. Di samping itu
pemerintah perlu juga melakukan
proteksi dengan berbagai cara yang
mendidik untuk membentuk keman-
dirian petani, dan bukan dengan cara
yang membuat ketergantungan dalam
jangka panjang. Pengelolaan manaje-
men terintegrasi antara petani, peme-
rintah dan pihak swasta lain, juga
perlu dilakukan untuk meningkatkan
kemauan petani agar tetap menanam
tanaman pangan padi. Pola Sistem
Resi Gudang (SRG) sebagai agunan
untuk modal kerja atau pembiayaan
proses produksi pertanian. SRG dapat
dilakukan sebagai sistem permodalam
petani yang efektif bagi petani yang
kekurangan modal kerja. SRG juga
diharapkan dapat menjadi alat yang
efektif untuk sarana tunda jual saat
gabah yang dipanen harganya turun
drastis (anjlok), sehingga dapat
menalangi biaya hidup petani sampai
harga naik. Melalui strategi ini petani
tidak dirugikan oleh permainan atau
terjadinya naik dan turunnya harga
gabah saat panen raya tiba. SRG
diharapkan dapat mengikis, atau
bahkan dalam jangka panjang
menghapus kerugian petani padi yang
selama ini dirasakan. Untuk mengim-
plementasikan Sistem Resi Gudang
(SRG), diperlukan peran Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) yang besar dan
kesiapan-kesiapan yang harus dilaku-
kan, antara lain kelembagaan dalam
SRG, sarana dan prasarana seperti
gudang dan perlengkapanannya,
ketersediaan mesin pengering, serta
kesiapan lembaga keuangan.
6. Perlu dibuat instrumen hukum berupa
Peraturan Daerah (Perda) yang melin-
dungi lahan pertanian tanaman
pangan petani sebagai aturan hukum
yang sah dan mengikat agar lahan
pertanian tanaman pangan tidak
dialihfungsikan pada penggunaan
lain. Tentu saja Perda yang akan
dibuat harus dapat menguntungkan
semua pihak terkait, dan karenanya
perlu melibatkan seluruh pemangku
kepentingan. Perda ini merupakan
turunan peraturan pelaksanaan dari
UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
7. Secara menyeluruh dilakukan pemba-
ruan agraria (reforma agraria) sejati
dengan berlandaskan pada UU
agraria yang lebih adil, berpihak pada
petani kecil dan proporsional, yakni
UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960.
ALIH FUNGSI LAHAN, PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN Iswan Kaputra
39
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Widjanarko, dkk, 2006. Aspek Pertahanan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertnian
(Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan BPN. Jakarta.
Gunanto, E.S., 2007. Konversi Lahan Pertanian Mengkhawatirkan. Diakses dari
http://www.tempointeraktif.com.
Ilham, dkk, 2003. Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Sawah Serta Dampak Ekonominya. IPB Press. Bogor.
Syahyuti, 2007. Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan. Diakses dari
http://www.litbang.deptan.go.id.
Iqbal, M dan Sumaryanto, 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Volume 5 No. 2, Juni 2007: 167-182. Bogor.
Sasmojo, S. 2004. Sains, Teknologi, Masyarakat & Pembangunan. Bandung: Program
Pascasarjana Studi pembangunan ITB.
Todaro M.P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Simarmata, Rikardo. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Kepemilikan Tanah oleh
Negara. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Soetiknjo, Iman. 1994. Politik Agraria Nasional. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Manguantara, Napiri Yusuf, Dkk. 2006. Reforma Agraria, Kepastian yang Harus Dijaga.
KRKP, Bogor.
Tauchid, M. 1952. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakjat Indonesia. Tjakrawala, Jakarta.
Juliana, Roma Uly dan Sulardi, 2003, ”Manfaat Rasio Keuangan Dalam Memprediksi
Perubahan Laba Perusahaan Manufaktur”, Jurnal Bisnis & Manajemen, Vol. 3,
No. 2.
Makalah & Publikasi Ilmiah:
Peter Rosset, Food Sovereignty: Global Rallying Cry of Farmer Movement,
Backgrounder, Vol. 9 Num. 4, 2003.
Website:
http://www.tempo.co/read/news/2012/11/15/090442035/p-Mentan-Akui-UU-
Perlindungan-Lahan-Masih-Ompong (diakses 18 Maret 2013).