Abstrak Peran Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam kancah persaingan pasar global dalam rangka menyiapkan tenaga menengah terampil Kata kunci : kewirausahaan, kemandirian sekolah, model pengembangan Pendahuluan Globalisasi yang terjadi selama ini telah melahirkan perubahan di segala bidang. Lingkungan organisasi setiap saat berubah pula, sehingga organisasi bisnis dituntut untuk selalu melakukan perubahan dan melakukan adaptasi agar selalu dapat memenangkan persaingan. Ultrich (1998) menyatakan bahwa kunci sukses menghadapi sebuah perubahan ada pada sumber daya manusia. Perdagangan bebas yang akan direalisasikan pada tahun 2010 dan 2020 menuntut tersedianya tenaga kerja yang terampil serta memiliki kompetensi yang tinggi untuk bersaing di pasar tenaga kerja, baik regional, nasional dan internasional. Konsekuensinya, lembaga pendidikan formal seperti Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dituntut untuk menghasilkan lulusan yang siap bekerja, memiliki sikap, watak dan perilaku wirausaha serta ketrampilan (life skill) untuk bekerja di segala bidang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Di sisi lain, dengan adanya otonomi daerah, peranan pemerintah kota / kabupaten sangat vital dalam mengembangkan pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Keberpihakan pemerintah pusat maupun pemerintah kota / kabupaten dalam pengembangan pendidikan tercermin dalam besarnya anggaran pendidikan di APBD maupun APBN. Selama ini masing-masing pemerintah kota/kabupaten belum mampu mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen sesuai dengan amanat undang-undang. Sebagai akibatnya, pembangunan pendidikan belum mampu memberikan pelayanan secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat Rata-rata angka partispasi sekolah (APS) kelompok usia 13-15 tahun pada tahun 2003, kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 81,01 persen, sementara APS kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67,23 persen. Untuk usia 16 – 18 tahun, APS kelompok terkaya sebesar 75,62 persen dan APS kelompok termiskin hanya 28,52 persen. Data Depdiknas menunjukkan bahwa sekitar 88,4% lulusan SLTA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, dan 34,4% lulusan SLTP tidak melanjutkan ke SLTA. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terjadi kesenjangan antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Sulitnya masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan sebagai akibat tingginya beban biaya pendidikan, baik menyangkut SPP maupun pengeluaran lain di luar SPP. Akibatnya angka putus sekolah yang tinggi, sehingga berpotensi menciptakan masalah sosial serta pengangguran yang semakin tinggi.