ABSTRAK Penelitian ini memanfaatkan data kesaksian mengamati hilal yang telah dihimpun oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (1962-2011) dan Rukyatul Hilal Indonesia (2007-2009) untuk memperoleh kriteria visibilitas hilal di Indonesia menggunakan model fungsi visibilitas Kastner (1976). Data mengalami proses seleksi mengikuti prosedur Djamaluddin (2000) dan hanya kesaksian yang memiliki nilai fungsi visibilitas positif yang dinilai valid untuk kemudian digunakan dalam analisis. Dengan merajah data berdasarkan umur Bulan dan elongasi, beda tinggi dan beda azimut, serta beda tinggi dan elongasi maka didapat kriteria berupa batasan-batasan minimum dari beberapa parameter fisis (umur Bulan, elongasi, beda tinggi Bulan-Matahari, dan beda azimut Bulan-Matahari). Hasil yang diperoleh memberikan nilai-nilai minimum yang lebih besar daripada kriteria yang dianut pemerintah selama ini, dan mendekati nilai-nilai yang diperoleh peneliti lainnya. Hasil ini dapat menjadi usulan kriteria tunggal yang memiliki landasan ilmiah yang kokoh. Kata Kunci: Fungsi Visibilitas Kastner-Kecerahan Langit Senja-Model Fungsi Visibilitas Kastner 1 PENDAHULUAN Di Indonesia telah ada beberapa usulan bagi kriteria visibilitas hilal. Pemerintah melalui Kementerian Agama menganut suatu kriteria visibilitas yang disebut Kriteria MABIMS, yang diadopsi dari pertemuan Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Isi kriteria tersebut adalah ketinggian minimal hilal 2° dan elongasi minimal 3° atau usia sejak konjungsi minimal 8 jam. Pada dasarnya kriteria di atas tidak untuk memastikan bahwa hilal dapat diamati, melainkan untuk keperluan penyusunan kalender hijiyah (Widiana, 2000). Sebagai sebuah solusi sementara, Djamaludin (2011) mengusulkan kriteria visibilitas hilal yang kemudian disebut sebagai Kriteria LAPAN yang disempurnakan, yaitu dengan menyandingkan ketinggian sebagai fungsi beda azimut dengan elongasi. Dari sekian banyak kriteria visibilitas hilal yang sudah ada tidak ada kriteria yang berlaku universal untuk seluruh lintang pengamat (Hoffman, 2003). Konfigurasi geometri seperti yang dinyatakan berupa parameter dalam kriteria MABIMS memang berpengaruh terhadap visibilitas hilal, namun ada faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap visibilitas hilal, yaitu faktor kecerahan langit terutama kecerahan langit senja. Kecerahan langit senja diyakini berhubungan dengan lintang geografis, ketinggian lokasi dari permukaan laut, musim, dan kandungan aerosol di atmosfer (Mikhail et. al, 1995). Dengan latar belakang di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas permasalahan berupa kriteria visibilitas hilal di Indonesia yang memiliki validitas ilmiah. Kriteria yang dimaksud dibangun berdasarkan data laporan pengamatan hilal positif dari seluruh wilayah Indonesia dengan turut menyertakan faktor serapan atmosfer dan kecerahan langit senja. 2 LANDASAN TEORI Fungsi visibilitas Kastner merupakan suatu model visibilitas pada saat senja untuk objek-objek langit (bintang, planet, dan komet) di dekat Matahari (Kastner, 1976). Model fungsi visibilitas Kastner menyertakan faktor ekstingsi optis atmosfer sebagai fungsi ketinggian, kecerahan objek di luar dan di dalam atmosfer Bumi, sudut depresi Matahari yang berkontribusi terhadap kecerahan langit senja, dan kontribusi kecerahan langit malam. Dalam perhitungan kecerahan hilal menurut pengamat di permukaan Bumi digunakan koefisien ekstingsi atmosfer k = 0,19 (menyatakan kondisi atmosfer bersih). Semakin besar nilai koefisien atmosfer, semakin kotor kondisi atmosfer (Allen, 1973). Fungsi visibilitas ∆m, dinyatakan sebagai: ∆ 2 5 m , log R, = (1) dengan c s a L R , L L = + (2) Dalam Persamaan 2, R didefinisikan sebagai kontras kecerahan (luminance), L c adalah kecerahan objek yang diamati di permukaan Bumi