Petani sawit berperan penting dalam produksi minyak sawit
dunia dan sektor minyak sawit Indonesia dengan lebih dari
40 persen yang telah mencapai 4,2 juta hektar, dimana lebih
dari 3,1 juta hektar dimiliki oleh petani swadaya. Namun, petani
swadaya selama ini kurang mendapat perhatian terutama dalam
diskusi program produksi keberlanjutan dan dampak lingkungan.
Dengan demikian, petani swadaya tidak dapat mengakses peluang
pasar, khususnya pasar internasional yang menuntut adanya
standarisasi dan sertifikasi kebun kelapa sawit. Kondisi ini juga
diperparah oleh beberapa faktor internal petani swadaya seperti
wilayah kebun yang tersebar dan tidak memiliki organisasi petani
sehingga produktivitas kebun menjadi lebih rendah jika dibandingkan
dengan petani plasma.
Disamping itu, sertifikasi sebagai standar telah menjadi persyaratan wajib di beberapa negara pengimpor karena dapat memberikan
manfaat usaha secara keberlanjutan (Mol & Oosterveer,
2015); metode yang dapat diverifikasi untuk menilai tingkat kinerja
keberlanjutan; ukuran kemajuan terhadap pembangunan berkelanjutan
(Poveda & Young, 2015; D’Hollander, 2016; Langley &
Tsoukas, 2017; MacCarthy, 2017); meningkatkan transparansi rantai
suplai dan meningkatkan hubungan dengan pemasok (EYGM,
2016; Aaronson & Wham, 2016).
Namun, dampak positif langsung dari sertifikasi lebih kecil
daripada dampak langsung karena akses ke pasar dan kerentanan
tidak dapat serta merta diperbaiki melalui sertifikasi (Barry, et al.,
2012; Kronenberg 2014; Hidayat et.al., 2015; Oya et al., 2017),
tetapi skema sertifikasi yang dilembagakan akan memberikan
manfaat produksi yang lebih menguntungkan meskipun tidak produksi
berkelanjutan (Hidayat et.al., 2015).
Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor
minyak sawit melalui standar Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO) dengan Keputusan Menteri Pertanian No.19/Permentan/
OT.140/3/2011 membentuk norma produksi berkelanjutan dan
untuk menangani industri yang meliputi perizinan dan manajemen
perkebunan, penanaman dan proses, pemantauan dan pengelolaan
lingkungan, tenaga kerja, sosial, manajemen ekonomi, dan
peningkatan bisnis yang berkelanjutan. Pemerintah Indonesia juga
menerbitkan Undang-Undang No. 19/2013 untuk meningkatkan
kehidupan petani kecil melalui No. 11/Permentan/OT.140/3/2015
untuk sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Namun, tidak mudah untuk menerapkan ISPO, tetapi beberapa
bukti empiris menunjukkan adanya hubungan antara organisasi
petani yang terbentuk dan pemangku kepentingan publik dan
swasta akan memberikan kesempatan kepada petani untuk mengakses
aset produktif yang dapat memperluas kapasitas usaha,
mampu menangkap peluang perubahan ekonomi, dan berperan dalam pembuatan kebijakan (Barham & Chitemi, 2009; Bijman &
Hu, 2011; Fairfield et al., 2011; Bijman, et al., 2012; Zimba, 2013;
Lowitt et al., 2015).
Dengan demikian, hal yang mendesak untuk meningkatkan
kinerja yang dapat ditempuh melalui peningkatan peran organisasi
petani karena akan memberikan pengertian adanya peningkatan
profitabilitas dan produktivitas, efisiensi tinggi dan pengembalian
dari input eksternal, stabilitas hasil yang lebih baik, pengurangan
emisi gas rumah kaca, peningkatan ketahanan ekologi, dan penyediaan
layanan lingkungan.
Oleh sebab itu, ada berbagai faktor pendorong eksternal
atau faktor kontekstual yang mempengaruhi kecenderungan organisasi
untuk menjadi aktif berkaitan dengan keberlanjutan diidentifikan
sebagai konteks bidang ekologi, organisasi dan konteks
individu. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil bahwa kelompok petani
memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terbesar masing-
masing pada aspek lingkungan dan legalitas kemudian diikuti
oleh peningkatan pertanian, kesepakatan harga tandan buah segar.
Peningkatan pada pertanian memiliki efek tidak langsung dan
langsung pada pembangunan berkelanjutan tentu saja telah memperkuat
konsensus yang muncul bahwa mengatasi tantangan baru
membutuhkan intensifikasi pertanian berkelanjutan di pertanian
kecil dan besar di seluruh dunia (SDSN, 2013).
Penelitian empiris Nurliza & Dolorosa (2017) juga membuktikan
bahwa organisasi petani sawit swadaya memiliki pengaruh
tidak langsung dan langsung pada aspek lingkungan dan legalitas,
sedangkan legalitas terbukti berpengaruh positif secara langsung
dan tidak langsung terhadap aspek berkelanjutan. Sementara
itu, peningkatan pada usaha kebun akan memberikan efek tidak
langsung dan langsung pada pembangunan berkelanjutan, tetapi
dengan asumsi mampu mengatasi tantangan intensifikasi pertanian
berkelanjutan seperti peningkatan kinerja atau peningkatan profitabilitas dan produktivitas, efisiensi tinggi dan pengembalian
input eksternal, stabilitas hasil yang lebih baik, pengurangan emisi
gas rumah kaca, peningkatan ketahanan ekologi, dan penyediaan
layanan lingkungan (SDSN, 2013).
Oleh sebab itu, fokus pada peran dan pengembangan oranisasi
petani khususnya petani sawit swadaya diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai wadah dalam memfasilitasi dan menjembatani
berbagai aspirasi kepentingan petani dan stakeholders
baik pemerintah maupun swasta. Selain itu, organisasi petani sawit
swadaya tersebut juga memainkan peran penting dalam pembangunan
masyarakat pedesaan, mendukung proses pengambilan
keputusan yang demokratis, pengembangan kepemimpinan dan
pendidikan secara terintegrasi untuk memenuhi sistem sertifikasi
berkelanjutan industri kelapa sawit yang berdaya saing.