BookPDF Available

Belajar Heran dari Negeri Jiran (Indonesian)

Authors:
  • Universitas Islam Internasional Indonesia
Belajar Heran
dari Negeri Jiran
Belajar Heran dari Negeri Jiran
Bambang Sumintono
Editor: Cahyadi Prabowo
Desain sampul dan isi: Wendy TAJ
Penata letak isi: Tri Mulyani Ch.
Cetakan Pertama: Mei 2012
Metagraf, Creative Imprint of Tiga Serangkai
Jln. Dr. Supomo, No. 23, Solo 57141
Tel. (0271) 714344, Faks. (0271) 713607
http://www.tigaserangkai.com
http://www.tigaserangkai-gb.com
e-mail: tspm@tigaserangkai.co.id
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sumintono, Bambang
Belajar Heran dari Negeri Jiran/Bambang Sumintono
Cetakan 1–Solo
Metagraf, 2012
viii, 200 hlm.; 23 cm
ISBN: 978-602-9212-47-1
1. Faksi 2. Inspirasi
© Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
All Rights Reserved
Dicetak oleh PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Prakata
Saat studi S3 di Wellington, Selandia Baru, beberapa
kawan dekat sesama mahasiswa riset adalah orang
Malaysia. Pada berbagai kesempatan seperti di musala,
saat seminar, ataupun berbelanja, kami sering bertemu yang
akhirnya menjadi akrab dan saling bertukar cerita. Satu hal
yang sering didiskusikan adalah bekerja sebagai dosen di
Malaysia. Ini merupakan hal yang baru berhubung latar
belakang pekerjaan saya sebelumnya adalah guru kimia
SMA. Mereka pun mengajak untuk mencoba menjadi dosen
di Malaysia setelah selesai studi di Victoria University of
Wellington.
Ajakan tersebut akhirnya terwujud pada akhir tahun
2008 dengan proses yang sederhana dan penuh kejutan,
setelah sebelumnya kerja serabutan di berbagai tempat
di Indonesia. Memulai profesi baru, apalagi di negara jiran
tentu membawa konsekuensi harus banyak belajar hal baru.
Belajar cara memberikan kuliah, membimbing mahasiswa,
menguasai software yang berhubungan dengan kerja adalah
di antara tantangan pekerjaan tersebut.
iv
Di tengah-tengah keasyikan menikmati rutinitas sebagai
pensyarah (dosen) di Universiti Teknologi Malaysia, datang
sebuah surat elektronik yang berisi permintaan untuk
wawancara secara elektronik dari sponsor pemberi beasiswa
dahulu mengenai aktivitas yang dilakukan saat ini. Satu
pertanyaan yang susah dijawab secara memuaskan adalah
kontribusi apa yang bisa diberikan kepada masyarakat secara
umum. Dari sanalah timbul ide untuk berbagi mengenai apa
yang saya amati dan kerjakan saat bekerja di Malaysia.
Tulisan-tulisan dalam buku ini berasal dari blog (http://
deceng2.wordpress.com) yang berisi berbagai catatan
mengenai aktivitas dan realitas dunia pendidikan dan
perguruan tinggi di Malaysia. Beberapa catatannya mungkin
membuat heran, yang menunjukkan progres negeri jiran yang
memang perlu dicontoh. Terima kasih diucapkan kepada
berbagai pihak yang telah berkontribusi sehingga buku ini
akhirnya bisa dinikmati oleh pembaca seperti Anda.
Pengantar Penerbit
Malaysia, Negara Jiran ini sekarang telah mengalami
kemajuan yang cukup pesat di berbagai bidang.
Padahal, dahulu Malaysia banyak belajar dari
Indonesia. Mereka mengirimkan warganya untuk belajar di
Indonesia. Selain itu, mereka juga mendatangkan guru-guru
dari Indonesia untuk mengajar di sekolah-sekolah Malaysia.
Salah satu unsur yang menyebabkan perkembangan
positif tersebut tentu adalah dunia pendidikannya. Malaysia
terus meningkatkan mutu dunia pendidikannya. Dengan
demikian, mengetahui kondisi aktual yang terjadi dalam
dunia pendidikan Malaysia sangatlah penting. Latar belakang
penulis yang menempuh studi master dan doktoralnya di
bidang pendidikan tentunya akan dapat memberikan sudut
pandang tersendiri dalam berbagai isu pendidikan yang
ada.
Buku ini diawali dengan cerita pengalaman penulis dalam
menempuh pendidikan tinggi dengan berburu beasiswa luar
negeri. Kemudian, penulis yang merupakan seorang dosen
di Universiti Teknologi Malaysia, menceritakan seluk-beluk
dunia pendidikan tinggi di Malaysia. Buku ini bermaksud
vi
untuk memberikan gambaran perkembangan kontemporer
dunia pendidikan negara serumpun tersebut. Terdapat
keunggulan dalam sistem pendidikan dan pengajaran
Malaysia yang bisa dicontoh.
Penerbit
Daftar Isi
Prakata ................................................................................................. iii
Pengantar Penerbit ....................................................................... v
Daftar Isi ............................................................................................... vii
Bab 1 Studi di Luar Negeri ......................................................... 1
Studi di Flinders .................................................................... 8
Mendapatkan Beasiswa NZAID ...................................... 19
Pengalaman Menulis Tesis S3 .......................................... 27
Bab 2 Bekerja Sebagai
Pensyarah
/Dosen di UTM ........ 55
Menjadi Pensyarah/Dosen di UTM ................................ 55
Memberikan Kuliah ............................................................. 60
Pembimbingan Mahasiswa .............................................. 65
Membimbing Mahasiswa Latihan Mengajar ............. 74
Pengajaran Studi Kasus Harvard Business School ..... 79
Membantu Pengembangan Mahasiswa ..................... 83
Isu Plagiarisme ...................................................................... 89
Workshop dengan Petrosains .......................................... 93
Kunjungan ke Indonesia ................................................... 99
viii
Bab 3 Dunia Pendidikan Tinggi di Malaysia ................... 109
Mahasiswa Tahun Pertama ............................................... 109
Global Outreach Program di UTM ................................... 115
Mahasiswa Internasional di Malaysia ........................... 124
Pembuatan Kebijakan Pendidikan di Malaysia ......... 129
Penilaian Kinerja Pensyarah ............................................ 136
Universitas Riset di Malaysia ............................................ 141
Kualikasi Dosen di Malaysia ........................................... 149
Pelatihan The Five Disciplines of Innovation ................ 154
Bab 4 Cerita Berbagai Hal di Malaysia .............................. 161
Pengajaran MIPA dengan Bahasa Inggris di Malaysia 161
Desain Pendidikan Malaysia ke Depan ........................ 165
Membayar Pajak di Malaysia ........................................... 173
Reading Station ..................................................................... 179
Asrama Mahasiswa di Universitas di Malaysia .......... 181
Jalan-Jalan ke Gunung Kinabalu .................................... 187
Tentang Penulis ............................................................................... 199
Belajar di luar negeri dengan beasiswa tentu bagi saya
adalah impian yang nyaris mustahil. Pada saat kuliah di
IPB pun, ini tidak pernah terlintas dalam pikiran saya,
meskipun saya tahu banyak dosen yang mengajar di IPB
adalah lulusan perguruan tinggi di luar negeri.
Hal ini mulai berubah saat saya mulai bertugas sebagai
guru kimia SMA di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Pada saat saya pulang ke kota kelahiran,
saya melihat pameran pendidikan Australia di Hotel Savoy
Homann. Itu terjadi ketika liburan sekolah medio 1993.
Di sana saya mengunjungi salah satu peserta pameran,
yaitu stan Australia Education International dan mendapat
penjelasan bahwa terdapat beasiswa bagi warga Indonesia
yang berstatus PNS (pegawai negeri sipil). Disebutkan
pula bahwa beasiswa itu hanya untuk studi pascasarjana
dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk
bisa melamar, kandidat harus memiliki indeks prestasi
kumulatif (IPK) S1 di atas 3 (dalam skala 0–4), kemampuan
berbahasa Inggris yang memadai, dan berusia di bawah 35
tahun. Saat menceritakan tawaran tersebut ke rekan-rekan
Bab 1
Studi di Luar Negeri
2Belajar Heran dari Negeri Jiran
guru lain, respons mereka standar. Dengan S1, mereka
akan memperoleh kenaikan gaji dua kali lipat, itu saja. Hal
ini ditambah pula karena lokasi sekolah tempat kerja yang
belum banyak berkembang.
Namun, informasi dari pameran ini menjadi inspirasi dan
pencerah harapan masa depan bagi saya. Saat itu saya sudah
lulus D3 kependidikan kimia dari IPB dengan prestasi yang
ala kadarnya. Artinya, agar bisa ikut bersaing mendapatkan
beasiswa memang harus lulus S1 dahulu. Sarana untuk
itu kebetulan tersedia, yaitu dengan menjadi mahasiswa
Universitas Terbuka (UT) di UPBJJ Mataram. Kesempatan studi
di UT juga merupakan hal yang mewah untuk memermak
IPK supaya bisa melamar beasiswa.
Persiapan untuk beasiswa pun dilakukan dengan
”penuh perhitungan”. Misalnya, untuk meningkatkan IPK,
targetnya adalah sebanyak mungkin mendapat nilai A
untuk berbagai mata kuliah yang diambil. Pada masa itu,
target kuliah teman-teman guru di UT adalah segera lulus S1
untuk dapat penyetaraan pangkat dan tentu peningkatan
karier. Tidak aneh mereka rata-rata bisa menyelesaikannya
dalam waktu dua tahun atau kurang. Adapun saya sendiri
”berpetualang” di UT sampai 3,5 tahun (tujuh semester),
karena bila didapati nilai di bawah B selalu di-upgrade
sampai akhirnya jadi A; atau minimal kalau sudah kapok,
nilai B pun dianggap prestasi maksimal. Hal itu tentu
menjadi ”keanehan” dan dianggap ”kebodohan” oleh orang
lain. Konsekuensinya, saya harus bayar biaya kuliah berkali-
kali dan merasa kejenuhan mempelajari bahan kuliah yang
sama di semester berbeda.
Pada saat yang sama, karena lokasi kerja di kota kecil
(lebih mirip desa yang sedikit berkembang) dan penghasilan
pas-pasan, alternatif belajar bahasa Inggris sangat terbatas.
3
Studi di Luar Negeri
Kursus bahasa Inggris yang baik hanya ada di ibu kota
provinsi, tentu dengan biaya yang mahal. Apalagi untuk
mencapainya perlu biaya ekstra karena jarak yang cukup
jauh, yaitu 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum.
Oleh karena itu, cara ”tradisional”-lah yang digunakan, yaitu
belajar dengan kamus Inggris-Indonesia. Saya melakukan
upaya penerjemahan secara manual, kata per kata dari teks
Inggris ke bahasa Indonesia secara rutin setiap hari. Cara
”unik” ini pernah saya ceritakan ke guru bahasa Inggris yang
dijawab dengan tertawa dan seolah tidak percaya ada yang
mau melakukan itu. Di samping itu, kebiasaan rutin lain yang
saya lakukan adalah banyak membaca, khususnya supaya
dapat bahan cerita menarik untuk berbagi dengan siswa di
kelas.
Hasil belajar di UT ternyata sesuai dengan target, yaitu
mendapatkan IPK dengan nilai 3,45 dan dinyatakan sebagai
lulusan terbaik di tingkat jurusan pada tahun wisuda 1997.
Hasil sampingannya adalah setiap semester sejak tahun
ke-2 kuliah di UT ini, UPBJJ Mataram memberikan insentif
bagi mahasiswa yang mempunyai IPK tertinggi tanpa
nilai C atau D dalam transkripnya. Saat lulus dari UT, lokasi
kerja saya telah berpindah ke satu sekolah di Kabupaten
Lombok Barat di provinsi yang sama. Adapun hasil belajar
bahasa Inggris secara ”tradisional” itu, baru saya buktikan
saat ikut tes Institutional TOEFL di Universitas Mataram
tahun 1998 (masih ingat juga biayanya yang sebesar Rp 50
ribu). Ternyata nilai yang didapat dianggap cukup lumayan
yaitu 540. Dengan dua hal itu (disamping umur masih
jauh dari batas 35 tahun), upaya pencarian beasiswa ke
luar negeri (baca: Australia) bisa dimulai. Proses menjadi
eligible sebagai ”pemburu beasiswa” itu totalnya memakan
waktu lima tahun, suatu investasi usaha yang mungkin bisa
dilakukan orang lain dengan lebih singkat, lebih murah,
dan lebih efektif.
4Belajar Heran dari Negeri Jiran
Kontak melalui Kedutaan Besar Australia pun dilakukan.
Uniknya, mereka langsung membalas dengan mengirimkan
formulir beasiswa dan menjelaskan ke mana dan siapa yang
mengurus proses seleksi beasiswa AusAID ini. Pada bulan Juni–
Juli 1998 pembukaan untuk mengirimkan lamaran secara
tertulis, kemudian selama Agustus–Oktober adalah proses
seleksi administratif oleh pihak ADS (Australian Development
Scholarships), baru pada November–Desember diumumkan
siapa yang masuk shortlisted untuk menjalani tes kemampuan
bahasa Inggris IELTS dan wawancara. Formulir beasiswa pun
diisi dan pihak atasan mendukung sepenuhnya, dilengkapi
dengan ijazah dan persyaratan lain untuk dikirim ke Jakarta
pada awal pembukaan pengumuman.
Setelah lewat bulan November 1998, tidak ada kabar
ataupun surat didapat dari pihak ADS. Hal ini sedikit
mengherankan karena ada dua teman guru lain di sekolah
yang sama yang juga ikut seleksi jelas mendapatkan surat
yang menyatakan tanda terima kasih telah ikut seleksi dan
tidak berlanjut ke tahap seleksi selanjutnya. Pada satu hari
di bulan Desember, saya memberanikan diri menelepon
langsung ke kantor ADS di Jakarta; tidak diduga ternyata saya
termasuk peserta shortlisted dan seharusnya melakukan tes
wawancara dan bahasa Inggris di Denpasar. Dia mengatakan
bahwa surat undangan tes sudah lama dikirim, tetapi malah
balik lagi ke Jakarta karena alamat tidak dikenali (hal yang
lumrah karena saya tinggal di desa dan tidak ada nama
jalan dan alamat yang jelas; sangat kontras dengan kondisi
sekarang yang bisa kontak dengan handphone, SMS, email,
Facebook, Twitter, dan lain-lain). Karena jadwal tes di Denpasar
sudah ditutup, dia menawarkan untuk ikut tes di Jakarta atau
melamar lagi tahun depan sambil diprioritaskan supaya bisa
shortlisted juga. Saya putuskan untuk ikut tes seleksi di Jakarta
dua hari kemudian, daripada menunggu tahun depan yang
masih belum pasti akan masuk shortlisted.
5
Studi di Luar Negeri
Karena bekerja di desa di Lombok Barat dan harus ada di
Jakarta dua hari kemudian, tidak ada pilihan lain selain harus
menggunakan pesawat terbang ke Jawa hari itu juga. Setelah
pinjam uang kiri kanan dan ambil uang tabungan, serta
minta izin atasan untuk ikut seleksi, saya langsung menuju
bandara Selaparang. Uang yang ada ternyata hanya cukup
untuk membeli tiket pesawat ke Surabaya (yang merupakan
pengalaman pertama seumur hidup naik pesawat terbang),
kemudian perjalanan disambung ke Bandung dengan bus
malam. Saya bisa istirahat dahulu di Bandung sehari untuk
kemudian melanjutkan ke Jakarta.
Tes yang dilakukan di IALF (Indonesia Australia Language
Foundation), Wisma Budi, Kuningan, Jakarta ternyata berada
dalam suasana yang ramah dan santai. Kedua tes dilakukan
selang satu hari saja, karena memang tinggal saya sendiri yang
harus diuji. Dimulai dengan tes wawancara oleh satu orang
bule Australia dan satu orang dosen Indonesia dengan bahasa
Inggris, mereka menanyakan maksud saya ikut seleksi beasiswa
AusAID, prestasi pendidikan sebelumnya, pengalaman bekerja
dan tantangannya, manfaat yang bisa diberikan setelah
selesai studi, serta hal lainnya. Pada bagian akhir, mereka
menawarkan apa yang mau ditanyakan. Ini justru bagian yang
”mengerikan” karena takut ini bagian jebakan wawancara yang
sudah dirancang. Oleh karena itu, saya pun menanyakan hal
sepele saja mengenai bagaimana kehidupan di Australia yang
jelas membuat kedua pewawancara tersenyum dan tertawa
kecil saat menjelaskannya.
Keesokan harinya, saya datang lagi ke tempat yang sama
untuk melanjutkan tes bahasa Inggris IELTS (International
English Language Testing System), sejenis tes kemampuan
bahasa Inggris khusus bagi yang akan melanjutkan ke
perguruan tinggi di negara-negara persemakmuran. Ada
kejadian unik juga ketika itu. Karena ruangan ber-AC
6Belajar Heran dari Negeri Jiran
yang dingin, saya minta izin untuk menggunakan jaket di
ruangan yang tentu menimbulkan ”perhatian ekstra” dari
pengawas ujian. Model tes yang jauh berbeda dari TOEFL
dan beberapa jenis pertanyaan tidak mudah dipahami
membuat saya kaget. Hal yang dapat membantu dalam tes
bahasa Inggris ini adalah kegiatan hobi membaca. Dengan
terbiasa membaca, topik-topik yang menjadi wacana
sebagai sumber pertanyaan lebih mudah dipahami karena
rasanya sudah dikenali.
Setelah tes, kami mendapat penjelasan dari ADS Oce
mengenai beasiswa AusAID ini. Katanya untuk tahun itu
yang ikut seleksi se-Indonesia total sebanyak lima ribu orang
lebih. Dari jumlah itu, yang masuk shortlisted adalah dua
kali jumlah jatah beasiswa yang tersedia, artinya terseleksi
600 orang untuk wawancara dan tes IELTS. Pada bulan
Februari 1999 akan diumumkan 300 kandidat penerima
beasiswa secara resmi dengan surat. Agar kekeliruan
sebelumnya tidak terulang, saya menggunakan alamat
sekolah tempat kerja. Saat yang tidak terlupakan adalah
ketika menelepon lagi ke kantor ADS mengenai hasil seleksi
awal Februari. Mereka menyatakan bahwa saya termasuk
yang lulus dan harus ikut pelatihan bahasa Inggris selama
tiga bulan. Setelah mendapat surat pemberitahuan resmi,
saya mengurus surat izin belajar ke Kantor Wilayah Dikbud
Provinsi NTB untuk mengikuti kursus bahasa Inggris di
Jakarta. Saya juga mengikuti persiapan lain untuk kuliah di
Negeri Kanguru.
Nilai IELTS yang didapat sudah lumayan, band 6. Namun,
studi pascasarjana di universitas di Australia mensyaratkan
minimal nilainya 6,5. Berdasarkan riset, peningkatan ke-
mampuan bahasa Inggris sebanyak 0,5 poin dalam IELTS
dilakukan dengan harus mengikuti kursus bahasa Inggris
intensif selama 3 bulan. Oleh karena itu, selama tiga bulan
7
Studi di Luar Negeri
saya mengikuti pelatihan di IALF, Jakarta. Di samping
itu, saya juga mencari universitas di Australia yang mau
menerima saya menjadi mahasiswa yang dilakukan dengan
menominasikannya ke ADS Oce. Kriteria yang saya
gunakan adalah masa studi post-graduate yang maksimum,
yaitu dua tahun; dan berdasar perintah dari Sekneg, sebagai
seorang guru, saya harus memilih jurusan pendidikan. Pada
akhirnya, saya memilih Flinders University di kota Adelaide
yang mempunyai jurusan Educational Administration dengan
masa studi dua tahun.
Di IALF saya baru tahu dan menikmati mewahnya
fasilitas belajar yang sebelumnya tidak pernah terbayang-
kan, ruangan perpustakaan yang nyaman dan tidak
membosankan, sarana komputer-multimedia, dan video
pembelajaran bahasa Inggris. Di sana saya kali pertama
mempunyai alamat email dan terpesona dengan model
komunikasi elektronik ini. Model pengajaran bahasa
Inggrisnya pun terasa sangat asing. Pengajarnya secara
penuh berkomunikasi dengan bahasa Inggris (orang bule
Australia) dan lebih menekankan pada penguasaan kosa
kata dan keterampilan menulis, serta tentu saja untuk
persiapan menghadapi IELTS berikutnya. Pada saat yang
bersamaan, saya juga membereskan urusan surat izin
belajar ke Sekneg dan mengurus paspor dinas. Terdapat
hal yang kontras saat melihat teman-teman yang juga lulus
seleksi dan berprofesi sebagai dosen. Mereka didatangi
oleh pegawai Dikti, diberikan uang untuk tes kesehatan,
dana pengganti transportasi, dan hal lainnya. Tidak terdapat
fasilitas yang sama untuk guru. Hal ini menunjukkan bahwa
Dikdasmen memang tidak mempunyai imajinasi bahwa
guru pun bisa mendapatkan beasiswa AusAID.
Berakhirnya kursus English di IALF diikuti dengan hasil
IELTS yang sesuai target. Bersamaan dengan itu, saya
8Belajar Heran dari Negeri Jiran
menerima pengumuman diterima di universitas yang dipilih
dan keluarnya surat penawaran beasiswa secara resmi dari
AusAID. Secara jelas surat itu menunjukkan total nominal
beasiswa yang akan diterima adalah Aus$ 62 ribu. Tiket
keberangkatan ke Adelaide pun diberikan. Setelah menaiki
pesawat Qantas (kali pertama naik pesawat jet) pada bulan
Juli 1999, barulah saya yakin bahwa studi ke Australia yang
diimpikan memang telah dicapai dan ”investasi” usaha
sebelumnya memang tidak sia-sia.
Di kantor jurusan pendidikan Flinders University, Sturt Campus. Bersama komunitas
international student dengan obor Olimpiade Sydney 2000
(Sumber: Dokumen pribadi)
Studi di Flinders
Pengalaman studi pascasarjana tingkat S2 di Flinders
University (antara tahun 1999–2001) merupakan hal unik
berhubung benar-benar kali pertama melihat dan merasakan
hidup di luar negeri. Banyak kejutan budaya (culture shock)
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
ResearchGate has not been able to resolve any references for this publication.