Kertha Semaya Journal Ilmu Hukum

Published by Universitas Udayana

Online ISSN: 2303-0569

Articles


IMPLEMENTASI KONSEP KEADILAN RESTORATIF MELALUI PERAREM DESA ADAT RENON NOMOR 001/Par-DPR/VI/2017 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
  • Article

December 2020

·

37 Reads

Desak Putu Rini Larashati Subagia

·

I Nyoman Budiana

·

Anak Agung Ayu Ngurah Tini Rusmini Gorda
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui serta mengkaji penerapan serta pelaksanaan dari konsep keadilan restoratif yang tercantum dalam Perarem Desa Adat Renon Tentang Perlindungan Anak. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini yaitu menggunakan metode penelitian hukum empiris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal penerapan konsep keadilan restoratif melalui Perarem Desa Adat Renon Nomor 001/Par-DPR/VI/2017 tentang Perlindungan Anak khususnya dalam hal penyelesaian perkara anak yang cenderung ringan, di desa adat renon mengutamakan penyelesaian secara damai dan berdasarkan pemulihan keadilan guna memberikan perlindungan terhadap anak agar perkara tersebut tidak masuk ke ranah peradilan formal, serta menghindari anak dari labelisasi dalam masyarakat. Adanya keberlakuan perarem desa adat renon tentang perlindungan anak tersebut menjadi acuan serta memberikan penguatan dalam penyelenggaraan penyelesaian perkara anak berdasarkan konsep keadilan restoratif. Sehingga dalam hal implementasi atau pelaksanaan dari adanya perarem tersebut dapat dikatakan telah efektif diterapkan serta dilaksanakan di Desa Adat Renon. This paper aims to identify and examine the application and implementation of the concept of restorative justice as stated in the Perarem of the Traditional Village of Renon concerning Child Protection. The research method used in this paper is to use empirical legal research methods. The results of this study indicate that in terms of the application of the concept of restorative justice through Perarem Traditional Village Renon Number 001/Par-DPR/VI/2017 concerning Child Protection, especially in terms of resolving cases of children who tend to be mild, in traditional villages Renon prioritizes peaceful and recovery-based solutions in order to provide protection for children so that the case does not enter the realm of formal justice, and prevents children from being labeled in society. The implementation of the Renon traditional village regulations regarding child protection is a reference and provides reinforcement in the implementation of settlement of child cases based on the concept of restorative justice. So that in terms of implementation of the perarem, it can be said that it has been effectively implemented in the traditional village of Renon.
Share

EKSEKUSI PERKARA TINDAK PIDANA PAJAK OLEH KEJAKSAAN TINGGI BALI (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NO: 123/PID.SUS/2020/PN.DPS)

July 2022

·

16 Reads

Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan dan pelaksanaan eksekusi pidana denda akibat tindak pidana pajak sebelum dan setelah Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta tantangan yang dihadapi dalam proses penanganan perkara pajak oleh Kejaksaan Tinggi Bali. Penulisan penelitian ini menggunakan metode berupa metode hukum empiris dan pendekatan berupa pendekatan kasus, pendekatan fakta serta pendekatan analisis konsep hukum. Didapat dari hasil penelitian bahwa penerapan dan pelaksanaan eksekusi pidana denda akibat tindak pidana pajak sebelum Undang—Undang Cipta Kerja bahwa dalam prakteknya apabila perkara pajak sudah memasuki tahap tuntutan oleh Jaksa maka denda tersebut akan masuk dalam pendapatan negara bukan pajak. Setahun sebelum diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang menyentuh Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 tahun 2009, Kejaksaan Tinggi Bali mengacu pada Surat Nomor: B-397/F/Ft/03/2019 yang mana merupakan surat Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Setelah di undangkannya Undang-Undang Cipta Kerja pelaksanaan eksekusi pidana denda lebih tegas dapat dilakukan sesuai yang termuat dalam amar putusan. Dalam penangannya terdapat tantangan yang dihadapi baik faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal secara umum adalah tantangan dari pihak luar dapat berupa saksi mangkir dari persidangan, sementara faktor internal dapat berupa eksekusi pembebanan denda tidak dapat terpenuhi karena terdakwa tidak memiliki aset apapun. Writing this journal aims to identify and analyze the implementation and execution of criminal penalties for tax crimes before and after the Job Creation Act and the challenges faced in the process of handling tax cases by the Bali High Court. The writing of this research uses a method in the form of an empirical legal method and an approach in the form of a case approach, a fact approach and an analytical approach to legal concepts. It was obtained from the results of the research that the implementation and execution of criminal penalties due to tax crimes prior to the Job Creation Act that in practice if the tax case has entered the stage of prosecution by the Prosecutor, the fine will be included in non-tax state income. A year before the promulgation of the Job Creation Law which touched on the Law on General Provisions and Tax Procedures, the Bali High Court referred to Letter Number: B-397/F/Ft/03/2019 which is a letter of Technical Instructions for the Junior Attorney General for Crimes Special. After the enactment of the Job Creation Act, the execution of a more stringent fine can be carried out in accordance with what is contained in the decision. In handling it, there are challenges faced by both external and internal factors. External factors in general are challenges from outside parties, such as witnesses being absent from the trial, while internal factors can be in the form of the execution of the imposition of fines that cannot be fulfilled because the defendant does not have any assets.

TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

January 2019

·

31 Reads

Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang “pekerja” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lainnya. Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui apa akibat hukumnya bagi pekerja yang melanggar ketentuan perjanjian kerja dan bagaimana cara penyelesaian perselisihan terhadap pelanggaran perjanjian kerja. Metode yang digunakan didalam penulisan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) artinya pendekatan yang dilakukan dengan menelah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut sesuai hukum yang ditangani. Hasil dari penelitian ini adalah akibat hukumnya bagi pekerja yang melanggar ketentuan perjanjian kerja pekerja wajib membayar ganti rugi sebesar sisa perjanjian kerja dikali gaji setiap bulannya. Dan bagaimana cara penyelesaian perselisihan terhadap pelanggaran perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah tata cara penyelesaian perselisihan terhadap pelanggaran perjanjian kerja yang dilakukan oleh pekerja dapat menempuh jalur di luar pengadilan hubungan industrial (non litigasi) dan dapat juga menempuh di jalur pengadilan hubungan industrial (litigasi). Kata Kunci : Perselisihan, Perjanjian Kerja, Pekerja

KETERLAMBATAN PEMBAYARAN UPAH PEKERJA OLEH PT BOMA BISMA INDRA (PERSERO) SURABAYA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

January 2019

·

99 Reads

Mendapatkan upah merupakan salah satu tujuan utama dari seseorang bekerja. Upah tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang pekerja agar hidupnya sejahtera. Namun masalah pengupahan pekerja masih menjadi problematika hingga sampai saat ini. Seperti yang terjadi di PT Boma Bisma Indra (Persero) Surabaya yang masih sering terlambat dalam membayar upah pekerjanya. Ditahun 2018, keterlambatan engupahan pekerjanya terjadi 2 (dua) kali yaitu dibulan Januari dan Juni. Keterlambatan pembayaran upah pekerja ini biasanya terjadi dalam jangka waktu 1 (satu) hingga 2 (dua) minggu. Permasalahan yang diangkat yaitu faktor penyebab terjadinya keterlambatan upah pekerja dan pelaksanaan sanksi hukum dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan sebagai akibat terjadinya keterlambatan pembayaran upah pekerja di PT Boma Bisma Indra (Persero) Surabaya. Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris dengan menggunakan Pendekatan Fakta dan Pendekatan Perundang – Undangan, serta melalui teknik wawancara. Hasil dari pembahasan umusan masalah ini diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya keterlambatan pembayaran upah di PT Boma Bisma Indra (Persero) Surabaya adalah faktor ekonomis, dimana arus kas keuangan yang masuk pada perusahaan tidak mencapai target keuangan yang ditentukan sebelumnya. Keuangan perusahaan tidak hanya digunakan untuk kepentingan pengupahan pekerja, tetapi juga digunakan untuk kepentingan demi keberlangsungan perusahaan. Sanksi hukum yang dapat diterima oleh perusahaan yaitu Sanksi Denda. Tetapi karena Sanksi Denda tidak terimplementasi dengan baik di perusahaan, maka perusahaanselanjutnya dapat dikenakan Sanksi Adminitratif. Selama ini tidak ada sanksi administratif yang dikenakan terhadap PT Boma Bisma Indra (Persero) Surabaya, dikarenakan pengenaan sanksi hukum ini didasarkan pada adanya pengaduan.kata Kunci : Pekerja, Sanksi Hukum, Upah

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI PEKERJA GOJEK BAGI PENYANDANG DISABILITAS TUNA RUNGU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

January 2019

·

51 Reads

Peluang pekerjaan bagi penyandang disabilitas atau “difable” (differently abled people) perlu diperhatikan sesuai dengan hukum positif di Indonesia yaitu perlindungan hukum terhadap hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sesuai dengan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut Perusahaan GOJEK memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas tuna rungu untuk bermitra dengan perusahaan GOJEK karena perusahaan GOJEK berkomitmen membuka kesempatan yang sama dan menjunjung tinggi kesetaraan dalam hak kerja kepada penyandang disabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami pengaturan perlindungan hukum sebagai pekerja GOJEK bagi penyandang disabilitas tuna rungu dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Penulisan jurnal hukum ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif melalui pengkajian kepustakaan dengan jenis pendekatan perundang-undangan serta menggunakan berbagai data sekunder seperti buku-buku dan jurnal-jurnal hukum. Kesimpulan pokok dari jurnal ini adalah regulasi terkait hak memperoleh pekerjaan bagi penyandang disabilitas tuna rungu sudah cukup memadai yang ditandai dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku mulai Pasal 27 ayat (2) dan 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 67 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kata Kunci : penyandang disabilitas, hukum ketenagakerjaan, perlindungan hukum

KEABSAHAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH YANG DIDASARKAN AKTA NOTARIS (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 130 K/PDT/2017)

January 2019

·

97 Reads

Dalam masyarakat perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sering digunakan dalam pelaksanaan jual beli tanah. Seperti kasus jual beli tanah dengan perjanjian jual beli hak atas tanah yang terjadi di Banjar Padangtawang, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali yang dibatalkan meskipun telah didasarkan akta pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan Notaris. Permasalahan dalam jurnal ini membahas bagaimana latar belakang PPJB jual beli hak atas tanah itu dapat dikatakan sah dan bagaimana dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung untuk membatalkan PPJB tersebut, yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman terkait keabsahan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah tersebut. Metode penelitian dalam jurnal ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, dengan pendekatan konsep dan perundang-undangan yang kemudian dikelompokkan secara sistematis. Hasil peneltian ini menjelaskan PPJB ini bermula saat I Rantuh, pemilik tanah sengketa membuat PPJB dengan Maria Nengah Suarti di kantor Notaris I Made Puryatma, S.H. dengan Akta Notaris Nomor 36, tanggal 9 November 1984, dikarenakan transaksi tersebut telah memenuhi syarat-syarat jual beli hak atas tanah sesuai ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah maka PPJB Hak Atas Tanah tersebut dapat dikatakan legal (sah) menurut hukum. Namun, PPJB tersebut dapat dibatalkan atas dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 130 K/Pdt/2017 tanggal 30 Maret 2017 bahwa: PPJB tersebut dibuat tanpa adanya kebebasan kehendak seperti ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata sehingga PPJB itu cacat secara hukum, serta pertimbangan bahwa perjanjian pengikatan jual beli tersebut telah kadaluarsa seperti dalam rumusan ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata dan Pasal 1967 KUH Perdata. Kata Kunci: Keabsahan, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Hak Atas Tanah

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN HIBAH ISTRI TERHADAP SUAMI SETELAH ADANYA PERCERAIAN (ANALISIS KASUS : PUTUSAN MAHAKAMAH AGUNG NOMOR 1893 K/PDT/2015)

January 2019

·

30 Reads

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1893 K/PDT/2015 yang mengadili perkara penghibahan antara I Gusti Ayu Ita Dewi dengan Sven Hollinger suaminya. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan jurnal ini adalah metode penelitian normatif. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu, pengaturan hukum mengenai perjanjian hibah yang dilakukan oleh istri kepada suami setelah adanya perceraian dan akibat hukum dari perjanjian hibah suami-istri yang batal demi hukum atas obyek hibah. Penghibahan yang dilakukan oleh suami istri adalah dilarang berdasarkan ketentuan Pasal 1678 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka termasuk perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan perjanjian hibah tersebut batal demi hukum sehingga mengharuskan para pihak untuk mengembalikan obyek hibah kepada keadaan semula sebelum terjadinya penghibahan. Kata Kunci: Perjanjian Hibah, Akibat Hukum, Batal Demi Hukum

KEBIJAKAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA SAAT PANDEMI COVID-19

April 2022

·

4 Reads

Studi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui serta mengkaji mengenai kebijakan untuk mengambil suatu keputusan pembebasan bersyarat bagi narapidana saat pandemi COVID-19. Adapun teori yang digunakan untuk menganalisa kajian ini adalah teori pembebasan bersyarat dalam hukum positif dan spesifikasi pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang tentunya dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, buku, jurnal terkait dengan penulisan ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah guna menanggulangi COVID-19 di lapas yang kelebihan kapasitas dengan kebijakan “pembebasan bersyarat”, namun keputusan ini tidak lepas dari problematika yang terjadi yaitu pengulangan tindak pidana yang terjadi pada para mantan narapidana yang telah dibebaskan dan menunjukan ius constituendum dari pembebasan bersyarat tersebut. The study in this study aims to find out and examine policies to make a decision on parole for prisoners during the COVID-19 pandemic. The theory used to analyze this study is the theory of parole in positive law and the specifications in this study use normative legal research. This paper uses a normative legal research method which of course uses the approach of legislation, books, journals related to this writing. Based on the research conducted, the results of this study indicate that the government's efforts to tackle COVID-19 in overcapacitated prisons are with the policy of "conditional release", but this decision cannot be separated from the problems that occur, namely the repetition of criminal acts that occur in ex-convicts. who has been released and shows the ius constituendum of the conditional release.

ASPEK HUKUM PEMOTONGAN UPAH PEKERJA OLEH PERUSAHAAN YANG MERUGI AKIBAT TERDAMPAK COVID-19

January 2022

·

1 Read

Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji aspek hukum pemotongan upah pekerja oleh perusahaan yang mengalami kerugian akibat COVID-19 dan menelaah langkah hukum yang dapat ditempuh oleh pekerja yang mengalami pemotongan upah oleh perusahaan. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan hukum yang diteliti oleh penulis, berkaitan dengan pemotongan upah pekerja yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan ternyata tidak berdasarkan hukum sehingga dapat menimbulkan perselisihan hak. Selanjutnya berkaitan dengan langkah hukum yang dapat ditempuh oleh pekerja yang mengalami kedaan tersebut dapat melakukan perundingan bipartite dan mediasi sebagai upaya penyelesaian sebelum melakukan gugatan pada Pengadilan Hubungan Industrial. The purpose of this study is to examine the legal aspects of deducting employee wages by companies that have suffered losses due to COVID-19 and to examine the legal steps that can be taken by employees who experience wage cuts by the company. This research uses normative legal research with a statutory and conceptual approach. Based on the research conducted on the legal issues examined by the author, regarding employee wage cuts that were carried out unilaterally by the company, it was not based on law so that it could lead to rights disputes. Furthermore, with regard to legal steps that can be taken by employees who experience this situation, they can conduct bipartite negotiations.

IMPLEMENTASI PEMBERIAN KREDIT KEPADA DEBITUR PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI LPD SIBANG GEDE KABUPATEN BADUNG

April 2022

·

5 Reads

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi pemberian kredit kepada debitur pada masa Pandemi COVID-19 di LPD Sibang Gede Kabupaten Badung serta untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan dalam hal penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian kredit pada masa Pandemi COVID-19 di LPD Sibang Gede Kabupaten Badung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris, dengan menggunakan pendekatan fakta (The Fact Approach), serta pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa, implementasi pemberian kredit kepada debitur pada masa pandemi COVID-19 ini terdapat kebijakan baru, yaitu dalam pemberian kredit, pihak kreditur membatasi debitur dalam peminjaman dana atau kredit di LPD Sibang Gede, dikarenakan banyaknya pekerja yang saat ini terkena pemutusan hubungan kerja yang sangat terdampak dari Pandemi COVID-19, yang kemungkinan nantinya debitur tersebut akan sulit melunasi kreditnya. Sehingga, pihak kreditur dalam hal ini ingin mengambil langkah yang preventif guna dapat mencegah terjadinya kredit macet di masa pandemi COVID-19. LPD Sibang Gede juga mengambil upaya penyelesaian wanprestasi khususnya kredit macet untuk meringankan debitur dalam hal membayar kredit pada masa Pandemi COVID-19 melalui restrukturisasi kredit pada masa pandemi yang tercantum dalam POJK No. 11 / POJK.03 / 2020 yakni, menghapus pemberian denda kepada debitur karena keterlambatan pembayaran kredit. Adapun upaya LPD dalam mengatasi kredit macet yang debiturnya telah membangkang dalam pembayaran kredit yakni: Melakukan Pembinaan dan Melakukan Penyelamatan. This study aims to find out how to provide credit to debtors during the COVID-19 Pandemic at LPD Sibang Gede, Badung Regency and to find out what efforts are being made in terms of resolving defaults in credit agreements during the COVID-19 Pandemic at LPD Sibang. Gede, Badung Regency. This study uses empirical legal research methods, using the facts approach (The Fact Approach), and the legal approach (The Statue Approach). The results of the study indicate that, in the implementation of lending to debtors during the COVID-19 pandemic, there is a new policy, namely in granting credit, creditors limit debtors in borrowing funds or credit at LPD Sibang Gede, because many workers are currently being laid off. very possible work from the COVID-19 Pandemic, which later the debtor will find it difficult to credit. So, the creditors in this case want to take actions that can prevent bad loans from occurring during the COVID-19 pandemic. LPD Sibang Gede also took efforts to resolve defaults, especially bad loans to ease debtors in paying credit during the COVID-19 pandemic through credit restructuring during the pandemic as stated in POJK No. 11 / POJK.03 / 2020, namely, presenting gifts to debtors due to late credit payments. The LPD's efforts in overcoming bad loans whose debtors have disobeyed in credit payments are: conducting coaching and conducting rescues.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP VAKSIN COVID-19: PERSPEKTIF HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL INDONESIA

June 2022

·

5 Reads

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah vaksin Covid-19 dilindungi atau tidak dalam pengaturan hak kekayaan intelektual di Indonesia dan untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan pengaturan perlindungan vaksin Covid-19 dalam perspektif hukum kekayaan intelektual di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini ialah penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji Peraturan Perundang-undangan dan pendekatan konseptual hukum yaitu. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 mempunyai sisi hukum yang wajib diberikan perhatian dikarenakan vaksin Covid-19 adalah hasil olah pikir manusia yang dalam ilmu hukum bisa mendapatkan perlindungan hak eksklusif melalui Hak Kekayaan Intelektual yaitu dengan rezim paten ataupun rahasia dagang. Berdasarkan salah satu hal itu masing- masing mempunyai kelemahan serta kelebihan, sehingga perlunya pertimbangan secara matang oleh inventor. Eksklusivitas vaksin Covid-19 dalam hak kekayaan intelektual bukan merupakan suatu hal yang bisa dieksploitasi tanpa batas, tetapi Negara bisa hadir sebagai bentuk tanggung jawabnya melalui penerapan lisensi wajib serta pengungkapan informasi yang memilki sifat rahasia. The purpose of this research is to find out whether the Covid-19 vaccine is protected or not in regulation of intellectual property rights in Indonesia and to find out the weeknesses and advantages of regulating the Covid-19 vaccine protection in the perspective of intellectual property law in Indonesia. The research method used in this paper is normative legal research, namely by reviewing legislation and used method legal concepts. The results of the article show that the Covid-19 vaccine has legal aspects that must to be considered because the Covid-19 vaccine is the result of human thought which in law can get exclusive rights protection through Intellectual Property Rights, namely through the patent regime or trade secrets. Based on that, each of these options has disadvantages and advantages, so it needs to be considered carefully by the iventor. The exclusivity of the Covid-19 vaccine in Intellectual property right, a thing that can be exploited without limits, but the state can be present as a form of responsibility that is implemented through the application of obligations and confidential information.

PENGATURAN PENJAMINAN KREDIT MODAL KERJA DALAM PENYELAMATAN UMKM DITENGAH PANDEMI COVID-19

June 2022

·

6 Reads

Penulisan artikel ini bertujuan untuk menganalisa pengaturan penjaminan kredit modal kerja bagi UMKM di tengah pandemi Covid-19 dan mengkaji pengaturan penjaminan kredit modal kerja dalam penyelamatan UMKM di tengah pandemi Covid-19. Metode penulisan yang digunakan ialah penelitian hukum normatif yang meninjau kepustakaaan hukum sehingga mengacu pada data sekunder yakni bahan-bahan hukum. Hasil studi menunjukkan bahwa Penjaminan pemerintah yang diberikan terhadap pelaku usaha untuk kredit modal kerja bagi UMKM diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), diberikan terhadap kewajiban finansial atas Pinjaman modal kerja yang diterima oleh Pelaku Usaha.” Dalam Permenkeu RI No. 71/PMK.08/2020 Dengan penjaminan terhadap modal kerja akan adanya dorongan penyaluran kredit modal kerja ke UMKM dari perbankan. Maka dapatlah dinyatakan bahwa terdapat peluang peningkatkan permodalan bagi pelaku UMKM sekaligus menurunkan rasio resiko kredit. Tegas dan jelasnya, Permenkeu RI No. 71/PMK.08/2020 memang benar dapat menyelamatkan UMKM ditengah pandemi Covid-19. This study will discover the arrangements for guaranteeing working capital loans for SMEs in the midst of the Covid-19 pandemic and reviewing the arrangements for guaranteeing working capital loans in rescuing SMEs in the midst of the Covid-19 pandemic. This study uses a normative legal research method that reviews the legal literature so that it refers to secondary data, namely legal materials. The results explain that the government guarantee provided to business actors for working capital loans for SMEs is regulated in Article 7 paragraph (1) which states that "The Government Guarantee as referred to in Article 6 paragraph (1), is given to financial obligations on working capital loans issued by the government. accepted by the Business Actor." From the Minister of Finance of the Republic of Indonesia, No. 71/PMK.08/2020 With the guarantee of working capital, there will be encouragement for the distribution of working capital loans to SMEs from banks. So it can be said that there is an opportunity to increase capital for SMEs actors while reducing the credit risk ratio. Firmly and clearly, the Minister of Finance of the Republic of Indonesia No. 71/PMK.08/2020 can indeed save SMEs in the midst of the Covid-19 pandemic.

PROBLEMATIKA PENERAPAN SISTEM KARANTINA WILAYAH DAN PSBB DALAM PENANGGULANGAN COVID-19

August 2020

·

9 Reads

Wabah Covid-19 saat ini sudah menjadi masalah yang sangat serius hampir diseluruh negara di dunia. Pemerintah Indonesia juga sudah menetapkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat terkait pandemi covid-19 dengan mengeluarkan 3 regulasi. Dikeluarkannya regulasi ini sebagai suatu bentuk perlindungan kesehatan untuk masyarakat dari segala penyakit dan/atau dari faktor resiko kesehatan masyarakat yang mempunyai potensi untuk menimbulkan suatu keadaan darurat kesehatan masyarakat dan juga untuk menstabilkan ekonomi negara ditengah pandemi covid-19. penelitian ini membahas mengenai problematika yang ada antara penerapan sistem karantina wilayah dan PSBB dalam penanggulangan covid-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami apa itu Sistem Karantina Wilayah dan Sistem PSBB dalam masa Pandemi Covid-19 serta apa problematika yang terjadi dengan penerapannya ini sehingga masyarakat dapat mengetahui mengapa pemerintah menerapkan sistem ini untuk penanggulangan penyebaran virus Covid-19. Dalam pembahasan ditemukan adanya beberapa kendala-kendala yang terjadi dengan penerapan sistem karantina wilayah maupun PSBB. Dengan adanya berbagai problematika tersebut, diharapkan dalam hal ini pemerintah harus cermat dalam menentukan sistem kedaruratan mana yang harus digunakan dalam memutus pandemi covid-19 ini. The Covid-19 outbreak has now become a very serious problem in all countries of the world. The Indonesian government has also determined the state of public health emergencies related to the covid-19 pandemic by issuing 3 regulations. The issuance of this regulation as a form of public health protection from all diseases and / or from public health risk factors that have the potential to cause a public health emergency and also to stabilize the country's economy amid the covid-19 pandemic. This study discusses the problems that exist between the application of the regional quarantine system and the PSBB in coping with covid-19. The purpose of this research is to understand what the Regional Quarantine System and PSBB System were during the Covid-19 Pandemic and what problems occurred with their implementation so that the public can find out why the government implemented this system to combat the spread of the Covid-19 virus. In the discussion, it was found that there were several obstacles that occurred with the implementation of the regional quarantine system and PSBB. With these various problems, it is hoped that in this case the government must be careful in determining which emergency system should be used in deciding this covid-19 pandemic.

PERSIDANGAN PERKARA PIDANA SECARA ELEKTRONIK DI MASA PANDEMI COVID-19

June 2022

·

2 Reads

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaturan serta regulasi terkait persidangan secara online yang dilaksakanan selama masa pandemi serta untuk mengetahui urgensi pengaturan persidangan secara online dalam perspektif pembaharuan hukum acara pidana. Penelitian ini menggunakan metode normative dengan memaparkan adanya kekosongan hukum terhadap potensi pengaturan persidangan elektronik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang undangan dan konsep hukum sebagai bagian dari proses menelaah dan menganalisa topik penelitian. Hasil studi menunjukan bahwa terdapat beberapa aturan yang menjadi dasar hukum keberlakuan sidang elektronik yang dibuat pada tahun 2020. Pelaksanaan sidang elektronik dapat dilaksanakan dengan penuh maupun secara parsial. Belum adanya sinkronisasi norma serta dasar hukum yang tegas untuk menghindari perbedaan penanganan perkara pada setiap persidangan diseluruh wilayah hukum di Indonesia menjadikan terdapat urgensi untuk memasukan norma persidangan elektronik kedalam rancangan KUHAP sebagai bentuk pembaharuan hukum yang dinamis. The purpose of this writing is to find out the rules and regulations related to online trials that were carried out during the pandemic period and to find out the urgency of online trial arrangements in the perspective of criminal procedural law reform. This study uses the normative method by describing the existence of a vacuum of norm on the potential for electronic court regulation in the Criminal Procedure Code. This study uses a statutory approach, a legal conceptual approach and a comparison. The results of the study shore are several rules that form the legal basis for the enforcement of electronic hearings made in 2020. The implementation of electronic hearings can be carried out fully or partially. The absence of synchronization of norms and a firm legal basis to avoid differences in case handling at every trial in all jurisdictions in Indonesia makes there is an urgency to include electronic trial norms into the draft Criminal Procedure Code as a form of dynamic legal reform.

PENGATURAN PEMBERIAN PESANGON BAGI PEKERJA YANG MENGALAMI PHK PADA MASA PANDEMI COVID -19

November 2020

·

8 Reads

Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk memahami pengaturan mengenai pemutusan hubungan kerja pada masa darurat kesehatan sebagai bentuk force majure dan untuk mengetahui pengaturan mengenai kewajiban perusahaan membayar pesangon bagi pekerja yang di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada masa Pandemi Covid-19 di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum serta metode analisis data deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan pengaturan PHK pada masa darurat kesehatan sebagai bentuk force majure dapat dilakukan oleh pengusaha atas pertimbangan perusahaan yang terancam tutup akibat pandemi covid-19 yang termasuk force majeure temporer. Ketentuan tersebut diatur pada pasal 151A huruf g dan pasal 154A huruf d Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam hal pengaturan kewajiban perusahaan membayar pesangon bagi pekerja yang di PHK pada masa pandemi Covid–19 di Indonesia diatur dalam Pasal 153 ayat (1) sampai dengan Pasal 153 ayat (3) UUK sebagaiamana diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja pada pasal 153 ayat (1) sampai dengan Pasal 153 ayat (2). The purpose of this study is to understand the arrangements regarding termination of employment during health emergencies as a form of force majure and to find out the arrangements regarding the company's obligation to pay severance pay for workers who are terminated during the Covid-19 Pandemic in Indonesia. used in this research is a type of normative legal research, with a statutory approach and analysis of legal concepts as well as descriptive qualitative data analysis methods. The results show that layoffs during a health emergency as a form of force majure can be carried out by employers on the consideration of companies that are threatened with closure due to the Covid-19 pandemic, which is a temporary force majeure. This provision is regulated in article 151A letter g and article 154A letter d of the Job Creation Law. In regulating the company's obligation to pay severance pay for workers laid off during the Covid-19 pandemic in Indonesia, it is regulated in Article 153 paragraph (1) to Article 153 paragraph (3) of the UUK as amended in the Job Creation Law in article 153 paragraph (1) up to Article 153 paragraph (2).

“BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA”: ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI COVID-19

September 2020

·

7 Reads

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji isu krusial yang terkait dengan dikeluarkan PERPU NO. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (“Covid-19”) yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Untuk dapat mengetahui makna Kerugian Negara dan Penerapan Itikad baik sesuai dengan Pasal 27. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan menggunakan studi dokumen yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Terkait dengan hal-hal yang terdapat dalam Pasal 27 PERPU No 1 Tahun 2020 juga dinilai berpotensi memunculkan korupsi dengan adanya Pasal 27 ayat 1 terutama frasa “bukan merupakan kerugian Negara”. Unsur terpenting dari suatu kerugian Negara adalah adanya perbuatan melawan hukum dan nilai kerugian yang riill. Oleh karena itu, pengaturan frasa “bukan merupakan kerugian Negara” dalam Pasal 27 ayat 1 PERPU No 1 Tahun 2020 agar tidak terjadi salah penafsiran atas Pasal tersebut maka perlu diatur lebih detail dalam penjelasan pasal demi pasal pada PERPU yang dimaksud. This study aims to examine the crucial issues associated with the issuance of PERPU NO. 1 of 2020 concerning State Financial Policy and Financial System Stability for Handling the 2019 Corona Disease Pandemic (“Covid-19”) which was amended to Law Number 2 of 2020. To be able to find out the meaning of State Loss and Implementation of Good faith in accordance with Article 27. This study uses a normative method by using document studies which include primary, secondary and tertiary legal materials. The results of this study indicate that Law Nomoor 2 of 2020. In relation to matters contained in Article 27 of PERPU No. 1 of 2020 it is also considered to have the potential to cause corruption with the existence of Article 27 paragraph 1, especially the phrase "not a loss to the State". The most important element of a State loss is an act against the law and the real value of the loss. Therefore, the regulation of the phrase "not a loss to the State" in Article 27 paragraph 1 of PERPU No. 1 of 2020 so that there is no misinterpretation of the Article, it is necessary to regulate in more detail the explanation of article by article in the PERPU referred to.

KEPASTIAN HUKUM KEBIJAKAN PENGUPAHAN KARYAWAN INDUSTRI PERHOTELAN BERDASARAN KETENTUAN UPAH MINIMUM DI MASA PANDEMI COVID-19

June 2022

Tujuan penulisan ini untuk mengkaji kepastian hukum kebijakan pengupahan berkaitan dengan kebijakan upah minimum pada karyawan industry perhotelan selama pandemic covid-19 dan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial terkait pengupahan. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian normative dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undngan dan pendekatan konsep hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan upah minimum merupakan suatu keharusan meskipun adanya ketentuan perubahan besaran dan cara pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh pada ‘Surat Edararan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19’. Hasil penelitian juga menunjukan jika terjadi penrselisihan hubungan industrial terkait pengupahan harus diselesaikan melalui perundingan bipatrit, jika tidak berhasil dapat dilakukan mediasi, konsoliasi atau arbitrase, dalam hal hain dapat juga ditempuh jalur litigasi dengan melayangkan gugatan ke pengadilan hubungan industrial. This research aims to review the legal certainty of wage policies related to minimum wage policies on hospitality industry employees during the covid-19 pandemic and efforts to resolve industrial relations disputes related to wages. This research uses normative research methods with a statutory approach and a legal concept approach. The results showed that the implementation of the minimum wage is a must despite the provisions of changes in the amount and way of payment is made in accordance with the agreement between employers and workers / workers in ‘the Circular Letter of the Minister of Manpower of the Republic of Indonesia Number M / 3 / HK.04 / III / 2020 year 2020 on Protection of Workers / Workers and Business Continuity in the Framework of Prevention and Countermeasures of Covid-19’. The results also showed that if there is an industrial relations dispute related to wages must be resolved through bipatrit negotiations, if it is not successful can be done mediation and console or pursue litigation by filing a lawsuit to the industrial relations court.

Pelaksanaan Pasal 7 (Huruf b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pada Konveksi Nusantara di Kota Denpasar

January 2019

·

134 Reads

Berkembangnya usaha konveksi sangat pesat di Kota Denpasar, terbukti banyak kita jumpai usaha seperti garment, tailor, maupun konveksi. Pengusaha pun tidak kehabisan akal untuk berinovasi untuk daya tarik bagi pariwisata, karena fashion sering dipergunakan sebagai pembuatan dalam rangka untuk menjamin kepuasan konsumen dan ganti rugi pada konsumen. Maka dalam Pasal 7 (huruf b) UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan informasi karena kurang pengetahuan pelaku usaha dengan alasan efisiensi sering kali kewajiban itu diabaikan.Penyusunan jurnal ini membahas kewajiban pelaku usaha pada Konveksi Nusantara dan kendala pelaksanaan kewajiban pelaku usaha Konveksi Nusantara di Denpasar. Penulisan jurnal dilakukan dengan metode penelitian hukum empiris dan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan fakta. Penulisan jurnal ini menautkan dua jawaban bahwa pertama terkait Usaha Konveksi Nusantara telah melakukan kewajibannya sesuai dengan peraturan yang telah tertera pada Pasal 7 Undang- Undang Perlindungan Konsumen; yang kedua pelaku usaha Konveksi Nusantara menjelaskan bahwa sebelum melakukan kesepakatan telah ditegaskan jika bahan kain tidak tersedia maka dari pihak pelaku usaha akan menginformasikan secepatnya kepada konsumen. Adapun tujuan dari pembuatan jurnal ini untuk mengetahui dasar hukum pada kewajiban pelaku usaha konveksi nusantara dan mengetahui kendala pelaksanaan kewajiban pelaku usaha konveksi Nusantara di Denpasar. Kata Kunci: Kewajiban, Pelaku Usaha, Konveksi.

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN PENGGUNA KOSMETIK TANPA IZIN EDAR DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

January 2019

·

102 Reads

Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Di Indonesia terdapat banyak pelanggaran terhadap beberapa hak konsumen dalam produksi kosmetika yang diproduksi atau diedarkan oleh pelaku usaha yang melanggar peraturan Perundang-Undangan, baik peraturan didalam Undang Undang Perlindungan Konsumen maupun peraturan yang telah ditetapkan oleh kepala BPOM. Apabila konsumen tidak teliti dalam memilih produk atau barang yang diinginkan maka konsumen akan menjadi sarana objek dalam mendapatkan keuntungan oleh pelaku usaha kosmetika. Pentingnya penulisan ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum yang dapat diperoleh oleh konsumen yang dirugikan Penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan Perundang-Undangan. Sumber data yang dipergunakan berasal dari hasil data primer bersumber dari Peraturan Undang-Undang dan data sekunder bersumber dari kepustakaan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa konsumen yang telah melaksanakan kewajibannya untuk berhati-hati dalam memilih produk akan mendapatkan perlindungan hukum dan berhak mengajukan upaya hukum, sebaliknya yang tidak berhati hati dalam memilih produk tidak berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku usaha. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan edukasi kepada konsumen terkait produk kosmetik sesuai dengan aturan yang ada. Kata kunci: Perlindungan hukum konsumen, Konsumen, Pelaku usaha, Kosmetika

PERLIDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN OBAT KUAT ILEGAL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

June 2019

·

106 Reads

Dalam perkembangan dunia bisnis, sering terjadi kasus yang dapat merugikan konsumen. Salah satunya adalah peredaran obat kuat ilegal. Hal ini jelas merugikan konsumen di Indonesia karena obat kuat yang diedarkan tidak memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan sehingga belum dapat menjamin keselamatan dan kenyamanan bagi penggunaannya. Selain itu, obat kuat tersebut mengandung bahan kimia obat (BKO) yang berbahaya untuk kesehatan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Permasalahan yang diangkat di dalam permasalahan ini adalah mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen terkait peredaran obat kuat ilegal dan tanggung jawab pelaku usaha apabila konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi obat kuat ilegal. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen obat kuat ilegal dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi obat kuat ilegal. Tulisan ini menghasilkan penelitian bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugikan wajib mendapatkan hak-haknya seperti hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumusi obat kuat ilegal. Selain itu, peredaran obat kuat ilegal ini mendapatkan pengawasan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan . Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata kunci : Perlindungan Konsumen, Tanggung Jawab, Pelaku Usaha, Obat-Obatan

GANTI RUGI DALAM PENERBANGAN INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI MONTREAL 1999

January 2022

·

17 Reads

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji ketentuan penerbangan internasional dalam hukum nasional serta untuk menganalisis pemberlakuan ganti rugi menurut Konvensi Montreal 1999 dalam sistem hukum Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini yaitu metode penelitian normatif yang bertitik tumpu pada konflik norma yang diangkat pada penelitian ini. Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa aturan pelaksana sebagai dampak meratifikasi Konvensi Montreal 1999 menyebabkan asas lex superior derogate legi inferiori menjadi sandungan untuk tidak memberlakuakan ketentuan ganti rugi Konvensi Montreal 1999 yang hanya melalui Perpres Nomor 95 Tahun 2016 Pengesahan Convention For The Unification Of Certain Rules For International Carriage By Air (Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu Tentang Angkutan Udara Internasional). This article aims to examine the provisions of international aviation in national law and to analyze the application of compensation according to the 1999 Montreal Convention in the Indonesian legal system. research method used in this scientific journal research is normative research which focuses on the conflict of norms raised in this study. The legal materials used are primary and secondary legal materials. Based on this research, it is known that the implementing regulations as the impact of ratifying the 1999 Montreal Convention have caused the lex superior derogate legi inferiori principle to become an obstacle for not enforcing the provisions for compensation for the 1999 Montreal Convention which only through Presidential Decree Number 95 of 2016 concerning ratification Convention For The Unification Of Certain Rules For International Carriage By Air.

KEKUATAN KARTU TANDA PENDAFTARAN PENDUDUKAN TANAH (KTPPT) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus: Putusan Peninjauan Kembali No. 94/PK/PDT/2007)

July 2019

·

38 Reads

Pemilikan hak atas tanah oleh seseorang atau badan hukum haruslah dibuktikan keberadaannya. Berbagai macam alat bukti dapat diajukan guna membuktikan hak tersebut. Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) merupakan alat bukti yang diajukan oleh salah satu pihak untuk membuktikan hak nya di dalam perkara peninjauan kembali dalam putusan No. 94/PK/PDT/2007. Menurut peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa sertifikat merupakan alat bukti terkuat guna membuktikan adanya suatu hak. Untuk itu suatu alas hak atas tanah seperti KTPPT sebaiknya segera didaftarakan menurut undang-undang yang berlaku agar tidak menjadi konflik di kemudian hari. Metode penelitian normatif merupakan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini. Tujuan dibuatnya penulisan ini adalah untuk mengetahui keabsahan pembuktian dari KTPPT sebagai alat bukti yang diajukan atas kepemilikan ha katas tanah. Kata Kunci: Hukum, Pendaftaran, Tanah, Hak

PELAKSANAAN PENERBITAN BANK GARANSI SETELAH TERBITNYA PERPRES NO 95 TAHUN 2007 PADA BNI CABANG DENPASAR

January 2019

·

13 Reads

Bank Garansi merupakan jaminan dalam bentuk surat jaminan yang diberikan oleh bank kepada nasabah untuk melindungi kepentingan pihak ketiga. Penerbitan Bank Garansi sudah seharusnya berpedoman pada peraturan yang berlaku. Permasalahan yang dapat diangkat adalah bagaimana pelaksanaan penerbitan bank garansi setelah terbitnya Perpres Nomor 95 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Bagaimana upaya BNI untuk menyelesaikan permasalahan terkait waktu penerbitan bank garansi setelah dikeluarkannya Perpres Nomor 95 Tahun 2007. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan penerbitan bank garansi pada BNI Cabang Denpasar dan Upaya bank untuk menyelesaikan permasalahan terkait waktu penerbitan bank garansi setelah terbitnya Perpres Nomor 95 Tahun 2007. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum empiris. Hasil studi menunjukkan setelah diterbitkannya Perpres Nomor 95 Tahun 2007 pelaksanaan penerbitan bank garansi dijalankan seperti sebelum diterbitkannya Perpres Nomor 95 Tahun 2007, namun ada satu kendala yang muncul setelah terbitnya Kepres ini yaitu waktu penerbitan bank garansi, karena adanya norma yang bertentangan antara Perpres Nomor 95 Tahun 2007 dengan SEBI Nomor 23/7/UKU Tahun 1971. Upaya Bank untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan waktu penerbitan bank garansi karena adanya ketidaksesuain peraturan yakni dengan mengambil kebijakan sendiri dengan mensyaratkan Surat Perintah Kerja (SPK) dalam pengajuan permohonan bank garansi sebagai dasar transaksi surat berharga. Kata Kunci : Pelaksanaan, Bank Garansi, Nasabah

PENGATURAN PEMIDANAAN TERHADAP PECANDU DAN PENYALAH GUNA NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

September 2020

·

6 Reads

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaturan tentang pecandu dan penyalahguna narkotika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan juga menganalisis tentang pemberian sanksi pidana bagi pecandu dan penyalah guna narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis. Hasil dari penelitian ini adalah Pecandu dan penyalahguna narkotika diatur di dalam tujuan pembuatan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tepatnya pada Pasal 4 huruf d yang mewajibkan pecandu dan penyalahguna narkotika untuk direhabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Walaupun, Pasal 134 dan 127 ayat (1) mengatur bahwa pecandu dan penyalahguna dapat dikenakan sanksi pidana baik berupa pidana penjara, pidana kurungan, ataupun pidana denda. Namun, karena undang-undang ini menganut double track system yang artinya ada sanksi pidana dan juga sanksi tindakan maka pecandu dan penyalahguna seharusnya diberikan sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. This paper aims to analyze the regulation of narcotics addicts and abusers in Law Number 35 Year 2009 regarding Narcotics and elaborate the provision of criminal sanctions for drug addicts and abusers. The research method used is a normative legal research method and the statutory approach and analysis approach. The results of this study were narcotics addicts and abusers arranged in the purpose of making Law Number 35 of 2009 regarding Narcotics, precisely in Article 4 letter d which requires drug addicts and abusers to be rehabilitated medically and socially rehabilitated. Although, Articles 134 and 127 paragraph (1) regulate that addicts and abusers may be subject to criminal sanctions in the form of imprisonment, confinement, or fines. However, because this law adheres to a double track system which means there are criminal sanctions and also sanctions for actions, addicts and abusers should be given sanctions in the form of medical rehabilitation and social rehabilitation.

PENGATURAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG–UNDANG NO. 35 TAHUN 2009

January 2022

·

1 Read

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan tentang penyalahguna narkotika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta . Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis. Hasil penelitian ini adalah Pengaturan penyalahgunaan narkotika bedasarkan Undang–Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dimana dalam Undang–Undang ini disamping penjatuhan sanksi pidana atau kebijakan penal yang berupa penghukuman terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan peredaran narkotika, juga dikenal adanya kebijakan non penal atau kebijakan sosial yang berupa pemberian rehabilitasi terutama bagi pengonsumsi narkotika. Undang–Undang ini menggunakan pendekatan “Humanistik” dan penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar hukum harus sesuai dengan nilai–nilai hukum yang berlaku. Ketentuan pemidanaan bagi penyalahgunaan narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yaitu penyalahgunaan narkotika dapat diberikan sanksi pidana penjara kepada penyalahgunaan narkotika yakni bedasarkan golongan I, II, dan III. Penyalahgunaan narkotika golongan I akan di kenakan penjara maksimal 4 tahun, penyalahgunaan narkotika golongan II akan dikenakan penjara maksimal 2 tahun, dan penyalahgunaan narkotika golongan III akan dikenakan penjara maksimal 1 tahun. Jika penyalahguna narkotika terbukti benar sebagai korban penyalahgunaan narkotika maka wajib mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. In this article, it discusses the regulation of drug abusers based on Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics. Ownership aims to be used by oneself called abusers, while its ownership aims to be disseminated by selling it in order to get a profit called a dealer. How is the regulation of narcotics abuse based on Law 35 of 2009 What are the criminal provisions for narcotics abuse in Law No. 35 of 2009. The results of the journal discussion show that The regulation of narcotics abuse is based on Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics, in which in this Law, in addition to the imposition of criminal sanctions or penal policies in the form of punishment for perpetrators of criminal acts of narcotics abuse and narcotics trafficking, there is also a non-penal policy or social policy in the form of rehabilitation, especially for narcotics users. This law uses a "Humanistic" approach and the use of criminal sanctions, not only meaning that the punishment imposed on the offender must be in accordance with the prevailing legal values. Criminal provisions for narcotics abuse are in Law No. 35 of 2009, namely the abuse of narcotics can be given a prison sentence for narcotics abuse, namely based on groups I, II, and III. Class I narcotics abuse will be subject to a maximum imprisonment of 4 years, class II narcotics abuse will be subject to a maximum of 2 years imprisonment, and class III narcotics abuse will be subject to a maximum of 1 year imprisonment. And narcotics abuse is proven true or not proven true as a victim of narcotics abuse, mandatory medical rehabilitation and social rehabilitation.

Top-cited authors