Tulisan ini membahas tentang analisis penyidikan yang telah diverifikasi oleh Penuntut Umum terhadap dugaan kerugian keuangan negara berdasarkan Pasal 183 Hukum Acara Pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual, legislasi, dan kasus. Pembuktian ini harus didukung dengan bukti yang pasti dan nyata serta dengan menunjukkan kerugian total, bukan kerugian potensial. Seseorang yang melakukan korupsi tidak dapat diduga melakukan korupsi kecuali ia memiliki minimal dua alat bukti. Selanjutnya, Hukum Acara Pidana Indonesia telah menetapkan Pasal 184 di mana orang yang dicurigai dikategorikan sebagai koruptor dan suap. Dengan demikian, kajian tersebut mengungkapkan bahwa verifikasi setidaknya merupakan dua alat bukti minimal yang harus sesuai dan memiliki kepastian hukum. Selanjutnya, di Indonesia, alat bukti penting untuk diperhatikan bahwa alat bukti harus sesuai dengan prinsip pembuktian, prinsip pembuktian yang menyatakan bahwa barang bukti jauh lebih terang daripada cahaya, khususnya dalam proses penyidikan.
Penyebaran virus COVID-19, telah berkembang pesat dalam beberapa bulan ini di dunia termasuk Indonesia oleh sebab itu, pemerintah menghimbau agar belajar, ibadah, dan bekerja dilakukan di rumah masing-masing untuk mencegah penyebaran COVID-19. Kebijakan pemerintah tersebut akhirnya membuat beberapa perusahaan di tanah air memilih untuk melakukan pemutusan hubungan kerja yang berakibat banyaknya karyawan merasa dirugikan. Pada karya ilmiah ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif empiris dalam menyelesaikan dampak COVID-19 terhadap pemutusan Hubungan Kerja. Sehubungan dengan hal ini peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan solusi dengan cara menciptakan kepastian hukum agar tidak ada pihak yang dirugikan. Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sendiri tidak dijelaskan secara rinci apakah adanya wabah atau penyakit pandemi saat ini termasuk dalam keadaan memaksa “force majeur”, dengan ketidakjelasan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 maka pemerintah dalam memberikan kepastian hukum menerbitkan Keppres 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional. Tetapi dengan dibuatnya Keppres 12 Tahun 2020 ini bukannya memberikan kepastian hukum namun menimbulkan banyak pertanyaan apakah di dalam Pemutusan Hubungan Kerja ini termasuk “FORCE MAJEUR” atau “HARDSHIP”.
Adanya pandemi COVID-19 membuat banyak perusahaan yang mengalami kerugian baik dari sisi ekonomi dan relasi komunikasi tentunya. Beberapa dari perusahaan tersebut melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap pekerjanya karena tidak mampu membayar upah, seharusnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pengusaha harus memenuhi prestasi berupa pembayaran upah agar terciptanya asas keadilan dan proporsionalitas dalam kontrak. Harus ada upaya hukum seperti renegosiasi kontrak pekerja agar terciptanya asas keadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Melalui pendekatan kajian normatif, ditemukan bahwa pemerintah daerah mendalilkan kebijakan Refocusing anggaran berdasarkan pada ketentuan dalam Instruksi Presiden tentang Refocusing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Pengaturan demikian tentunya tidaklah terlalu kuat malah akan berpotensi menjadi celah terjadinya mensrea (niat jahat) bagi pelaksana kebijakan pemerintahan utamanya baik pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran. Hal yang seharusnya diatur dalam kebijakan penganggaran terkait kebijakan Refocusing anggaran adalah melalui diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang menjadi dasar pengganti dalam Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang selama ini merupakan dasar legalitas proses kebijakan keuangan daerah di samping juga peraturan lain.
In the Indonesian Government System, the president is the supreme authority of the government under the 1945 Constitution of the State of the Republic of Indonesia. After 4 (four) amendments to the 1945 Constitution, the presidential power experienced a shift in function and role as a result of the magnitude of the flow of political interests, so that almost all the power of the president on the authority of legislation in the 1945 Constitution of the 1945 Constitution largely lacked a permanent legal power and formal juridical. We know that the substance of the authority of presidential legislation if based on the presidential system of government does not exist and is not given real space. Consequently, the president as the mandate of the people's sovereignty must be able to control the system of government even though the fact that there is dominance of the legislative institution to the presidential institution together with the cabinet that is the authority of presidential legislation in the constitution of the state 1945 Constitution has no law forces so that the wheel of development does not run normally -target is planned. The hope is that our country's constitution must be able to guarantee the principle of balance of authority and mutual supervision that governs the legislation of the president against the product of the law. Writing methodology based on the literature review contained in books, papers, newspapers, scientific articles, journals, and legislation as the object under study. The results of the study and analysis conclude: (1) The Veto of the President is not effective when reviewed in the constitutional document of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia; (2) The inconsistency of the Presidential Government System of Indonesia with the contents of the articles of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia; (3) it is recommended that the fifth amendment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and the revision of Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of Legislation to be followed up by MPR RI and the President; (4) The Presidential Regulation in Lieu of Law, according to the authors must be absolutely given to the President without the intervention of the House of Representatives because the President as Head of State and has the Highest Government Authority under the 1945 Constitution between State Institutions.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pencatatan perkawinan di Kabupaten Polewali Mandar. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif dan empiris. Lokasi penelitian ialah Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Hasil penelitian menunujjakn bahwa pencatatan perkawinan di Kabupaten Polewali Mandar pada kenyataannya sudah merupakan aspek merginal di dalam perkawinan. Selain faktor memarginalkan persoalan pencatatan perkawinan, pandangan dan kesadaran hukum masyarakat sudah relatif tinggi mengenai status perkawinan terutama perkawinan di bawah tangan yang tidak memperoleh legitimasi dari kalangan masyarakat awam. Berkenaan dengan pencatatan perkawinan tersebut dikenal dengan istilah nikah resmi yang mana maksud dari nikah resmi itu adalah perkawinan yang tercatat. Akan tetapi di Indonesia ada aturan dalam bentuk undang-undang bahwa setiap perkawinan harus dicatat, dan perkawinan yang tercatat inilah yang dapat disebut perkawinan resmi serta berkekuatan hukum. Sedang perkawinan yang tidak tercatat yang diistilahkan dengan nikah di bawah tangan, berarti tidak resmi dan perkawinan (nikah) tersebut tidak berkekuatan hukum.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena “gunung es”. Dalam kenyataannya korban yang selalu mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tidak semuanya bersedia melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwajib. Dengan alasan bahwa mereka beranggapan membuka aib keluarga dan cenderung takut untuk melaporkan karena dihalang-halangi bahkan diintimidasi oleh pelaku. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa pelaksanaan undang-undang tersebut di Kabupaten Sidoarjo dengan menggunakan metode yuridis sosiologis (socio legal research) ditunjang dengan data primer berupa dokumen dan wawancara dengan korban kekerasan dalam rumah tangga dilingkungan Kabupaten Sidoarjo yang ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian yang hendak dicapai adalah menemukan fakta sejauh mana korban kekerasan dalam rumah tangga dapat terlindungi hak-haknya sebagaimana tercantum dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga khususnya di Kabupaten Sidoarjo.
Penelitian yang berjudul: “ Tinjauan Yuridis Tentang Kriteria Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Menurut UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup” ini bertujuan untuk melakukan perbandingan kriteria pencemaran dan perusakan lingkungan antara UU No. 23 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 20/09 dan menganalisis perubahan kriteria pencemaran dan perusakan lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009 sinkron dengan teori ilmu lingkungan hidup. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif yaitu melakukan telaah terhadap berbagai peraturan perundang-undangan baik mengenai ketidaksinkronan, maupun masalah pertentangan peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa pertama, dari perbandingan kriteria pencemaran dan kerusakan lingkungan, versi UU No. 23 tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2009 menghasilkan suatu perbedaan dalam menentukan suatu tindak pidana. Versi UU No. 23 Tahun 1999, tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan termasuk kategori delik materiel, sehingga dalam proses pembuktiannya dituntut dua hal yaitu terbukti perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku yang mampu bertanggungjawab dan harus pula dibuktikan perbuatan tersebut menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Sedangkan versi UU No. 32 Tahun 2009, tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan termasuk kategori delik formal, sehingga hanya perlu dibuktikan suatu perbuatan yang dilarang saja. Kedua, diketahui kalau kriteria pencemaran dan perusakan lingkungan menurut UU No. 32 Tahun 2009 bertentangan atau tidak sinkron dengan kriteria berdasarkan teori lingkungan hidup atau kriteria secara ekologis.
Siwole Mbatohu adalah konseptual politik di kerajaan Konawe, terutama di era Mokole Tebawo (Sangia Inato). Pembagian beberapa daerah otonom dengan cara ketahanan politik dan ekonomi atas wilayah kerajaan Konawe. Wilayah Siwole Mbatohu adalah: Wilayah bagian barat kerajaan Konawe yang disebut Tambo i Tepuli, ano Oleo yang berkedudukan di Latoma dipimpin oleh Sabandara, wilayah bagian Timur kerajaan Konawe yang disebut tambo i Losoano Oleo berkedudukan di Ranomeeto yang dipimpin oleh Sapati, wilayah bagian Kanan (Utara) kerajaan Konawe yang disebut Bharata i Hanano Wuta Konawe yang berkedudukan di Tongauna dipimpin oleh Ponggawa, dan wilayah bagian kiri (Selatan) kerajaan Konawe yang disebut Bharata i Moerino Wuta Konawe berkedudukan di Asaki yang dipimpin Inowa.Beberapa manuskrip Siwole Mbatohu hanya berjuang untuk menganalisis pertahanan keamanan. Para penulis menyatakan bahwa pembagian wilayah oleh Mokole adalah pertahanan keamanan kerajaan Konawe, walaupun jika dikaji, terutama dari penggunaan hubungan kekuasaan (power/knowledge), terlihat jelas bahwa pembagian wilayah dilakukan dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Itu adalah alasan historis, yaitu alasan historis, yaitu sebelum pembagian kerajaan Konawe, Inolobunggadue.Dalam penyelidikan epistemologi, terutama epistemologi politik, konsep Siwole Mbatohu telah diproduksi untuk mengabadikan status quo, memperkuat kekuasaan, dan mengendalikan kekuasaan di empat kerajaan kecil, yaitu sayap dan gerbang. Hubungan ini dibangun untuk melegitimasi kekuatan pusat kerajaan Konawe sebagai entitas silsilah yang terhubung dengan wilayah lain di Siwole Mbatohu. Penyebutan Mokole Tebawo, dan bahkan raja-raja Konawe pra-Islam sebagai sangia (dewa) menunjukkan bahwa mol adalah perwujudan dewa, simbol kekuatan, tempat peristirahatan yang paling otoritatif untuk semua komunitas di kerajaan Konawe.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penghormatan/kedudukan terhadap hak atas tanah adat dalam pemberian ganti kerugian pada pembebasan tanah untuk kepentingan umum di Kota Kendari. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan bantuan data empiris yaitu data/informasi pelaksanaan pembebasan tanah untuk kepentingan proyek jalan lingkar luar Kota Kendari. Hasil dari penelitian diketahui bahwa Implementasi pengadaannya tanah untuk kepentingan umum dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil, dapat ditemukan dalam beberapa Keputusan Presiden maupun perubahannya, yaitu: Keputusan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang mulai diberlakukan tanggal 5 Juni 2006 mengubah ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, menjadi Pasal 3 baru yang berbunyi “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.” Prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah secara tersirat diatur dalam Pasal 1 huruf b Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kedudukan tanah adat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Kota Kendari dilaksanakan dengan cara musyawarah mufakat dengan pemilik tanah adat tentang besarnya ganti rugi yang diterima para pemilik tanah adat, hal yang sama dilakukan oleh panitia pembebasan tanah untuk kepentingan umum terhadap tanah-tanah yang sudah memiliki sertifikat hak milik atas tanah. Penghormatan terhadap tanah adat tercermin juga dalam penetapan dan pemberian ganti rugi terhadap pemilik tanah adat yaitu Perbedaan nilai ganti rugi yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah bukan didasarkan kepada perbedaan hak atas tanah tetapi lebih pada perbedaan luas tanah yang dibebaskan.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengakuan eksistensi hak ulayat laut masyarakat hukum adat berdasar nilai-nilai kearifan lokal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan konsep dan historis. Hasil penelitian bahwa pandangan tentang manusia sebagai bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan. Konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengakuan eksistensi hak ulayat laut masyarakat hukum adat oleh Negara dapat dilakukan dengan berdasar pada nilai-nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam hak ulayat masyarakat hukum adat memiliki nilai religio-magis sekaligus sosio-kultural dan ekonomis sehingga pemanfaatan laut harus sesuai dengan norma, perilaku dan aturan-aturan yang telah dianut secara turun-temurun oleh masyarakat.
Hutan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan dan berdasarkan Pasal 1 angka 3 kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan atau disebut sebagai kawasan hutan. Berdasarkan unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, kemudian untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat. Terkait dengan keberadaan masyarakat adat suku Moronene yang mendiami sebagian wilayah TN.RAW telah diakui dan dipertahankan keberadaannya secara turun—temurun sebelum wilayah hutannya menjadi Taman Nasional. Eksistensi keberadaan masyarakat suku Moronene tersebut dalam mengeksploitasi kekayaan alam hutan TN.RAW hanyalah untuk mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan cara pengetahuan kearifan lokalnya yang didapatkan dari para ”leluhurnya“.
Penelitian ini ditujukan untuk menggali, menganalisis, dan menemukan hukum adat yang mengatur konsep pengelolaan hutan dalam wilayah hak ulayat masyarakat Moronene Hukae Laea. Penelitian ini menggunakan normatif dengan data empiris dengan pendekatan filosofis yakni mengkaji dan menganalisis prinsip-prinsip atau asas-asas serta hakikat nilai filosofis dari kearifan masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea. Serta mengungkap fakta sosiologis bekerjanya hukum dalam masyarakat hukum adat, khususnya berkaitan dengan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yaitu Masyarakat Hukum Adat Moronene Hukaea Laea dalam mengelola wilayah Hak Ulayatnya dengan membagi delapan wilayah adat yang terdiri dari 1. Inalahi pue, 2. Inalahi popalia, 3. Inalahi peuma, 4. Olobu, 5. Kura. 6. Lueno. 7. Bako. 8. Bolo/peo dari delapan wilayah adat tersebut tidak semua dapat dikelola oleh masyarakat adat, sebab wilayah yang tidak bisa dikelola merupakan hutan larangan yang merupakan bersemayamnya Enteiwonua Dewa Tanah dan Hutan yang menjaga wilayah adat Masyarakat Adat Moronene Hukaea Laea. Memiliki keterkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat hukum adat Moronene dalam hal pemilikan tanah menurut sistem kepercayaan masyarakat hukum adat Moronene adalah hak milik para dewa (Nteiwonua). yang mendiami tanah/hutan itu. Untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut maka Manusia harus melakukan ritual “Mooli” (membeli. Dalam hukum perkawinan masyarakat hukum adat Moronene terkait dengan pengelolaan hutan adalah seorang lelaki harus menyerahkan langa kepada keluarga calon mempelai perempuan. Berupa Langa yaitu: 1 buah kapak, 1 buah parang, dan 1 buah tombak. Dalam pengelolaan perladangan di wilayah kura dan inalahi peuma dikenal ada 6 (enam) tahapan utama perladangan.
Karya ini ditujukan untuk menawarkan metode yang tepat dalam mengkaji secara filosofi tanggungjawab negara terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Selama ini tanggung jawab negara hanya fokus pada problem yuris, dan mengabaikan problem etis filosofis. Penelitian ini adalah sangat penting dalam memperkaya wacana tentang etika. Etika merupakan bagian dari filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk. Kearifan lokal tidak hanya sekedar dipandang sebagai produk kebudayaan semata, tapi harus menjadi sumber konstruksi system hukum yang bertitik tolak dari pemahaman filosofis. Dengan alasan tersebut, karya ini menawarkan suatu metode yang tepat dalam mengkaji dan mengintegrasikan kearifan lokal harus dipandang sebagai sebuah “hukum sebagai perilaku”, bukan semata “hukum sebagai aturan, norma atau asas” atas suatu nilai. Aplikasi metode tersebut dapat menciptakan suatu kebijakan yang holistik yang diintegrasikan alam menjalankan tanggugjawab negara terhadap nilai-nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya administratif sebagai instrumen dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik bagi masyarakat dan faktor apa yang mempengaruhi penerapannya. Metode penelitian dan penulisan hukum yang digunakan adalah normatif (normative legal research) dengan bertumpu pada data sekunder dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Analisis data dilakukan secara deskriptif yang memberikan gambaran utuh atas masalah yang diteliti. Hasil penelitian dan pembahasan menemukan bahwa (1) upaya administratif sebagai instrumen mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik telah diatur dengan jelas secara substantif meliputi perubahan paradigma terkait administrasi pemerintahan dan telah runut secara prosedur yang ditempuh masyarakat jika terdampak hukum akibat tindakan pemerintahan baik akibat pembuatan keputusan maupun tindakan faktual. (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapannya dilihat berdasarkan struktur, substansi dan budaya hukum tampak terkendala pada struktur hukum yang belum memadai ditambah dengan budaya hukum masyarakat yang masih memiliki anggapan bahwa upaya administratif tidak akan berjalan optimal kecuali melalui gugatan ke pengadilan.
Penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan dan hakikat kedudukan notaris dalam membuat grosse akta pengakuan hutang yang memiliki irah-irah eksekutorial dikaitkan dengan kedudukan notaris sebagai pejabat umum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan notaris dalam membuat grosse akta pengakuan hutang yang memiliki irah-irah eksekutorial dikaitkan dengan kedudukan notaris sebagai pejabat umum adalah bersifat atributif. Grosse akta pengakuan hutang sebagai produk hukum dari notaris yang notabene bagian dari eksekutif memang memiliki karakteristik yang sama dengan produk hukum yudikatif, sehingga dalam eksekusinya diperlukan penetapan dari pengadilan sebagai bentuk legalitas dari pelaksanaan eksekusi grosse akta pengakuan hutang. Irah-irah eksekutorial pada grosse akta pengakuan hutang pada hakikatnya tidak mempunyai kekuatan eksekutorial langsung, tetapi harus melalui penetapan dari pengadilan sebagai bentuk legalitas pelaksanaan eksekusi. Namun demikian, kedudukan grosse akta pengakuan hutang yang memiliki irah-irah eksekutorial sebagai salinan dari suatu minuta akta berbeda dengan salinan dari akta-akta lainnya yang tidak memiliki irah-irah eksekutorial. Kekuatan hukum dari suatu grosse akta pengakuan hutang yang memiliki irah-irah eksekutorial hanya untuk memberikan kepastian hukum mengenai adanya suatu hubungan hukum utang piutang saja serta memberikan kepastian hukum kepada kreditor perihal eksekusinya yang tidak perlu lagi melalui pengajuan gugatan, namun hanya didasarkan atas permohonan kreditor.
Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berselisih atau bersengketa bersepakat untuk menghadirkan pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator (penengah). Mediasi juga merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, mengingat penyelesaian perkara melalui pengadilan dianggap sangat lambat, membuang waktu dan mahal serta berbelit-belit. Di dalam Kepailitan dikenal adanya Kurator yang menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator memiliki peran penting dalam pengurusan dan pemberesan harta debitor pailit untuk kepentingan debitor maupun kreditor. Kurator yang diangkat dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit harus seorang yang mandiri dan tidak boleh mempunyai benturan kepentingan dengan debitor ataupun kreditor. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa mediasi merupakan upaya positif dalam penyelesaian sengketa yang lebih ekonomis dari segi biaya maupun waktu. Kurator sebagai suatu profesi yang juga mempunyai tugas dan fungsi untuk membagi harta pailit juga dapat di fungsikan sebagai mediator dalam proses kepailitan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan mengenai upaya penanganan Malapraktik medis dalam proses peradilan pidana di Indonesia dan Amerika sebagai salah satu negara yang maju dalam bidang medis dan teknologi kedokterannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan komparatif. Hasil penelitian yaitu diketahui bahwa pembuktian pada kasus Malapraktik di Indonesia menggunakan cara yang sama seperti yang diatur oleh KUHAP. Pembuktian dalam KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), sedangkan di Amerika Serikat dalam menyelesaikan kasus Malapraktik medis menerapkan asas res ipsa loquitur. Di Amerika Serikat tiap-tiap negara bagian memiliki ketentuan-ketentuannya sendiri-sendiri dalam mengadili dokter. Beberapa perangkat hukum kedokteran yang dikenal di Amerika Serikat yaitu Liability Act, Good Samaritan Law dan Medico Legal Consideration.
Beberapa teori kriminologis yang menguraikan tentang sebab terjadinya kejahatan dan segala faktor yang melandasinya, sangat sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. Hasil penelitian tentang kekerasan terhadap anak banyak dilatar belakangi karena kondisi lingkungan serta menurunnya daya kontrol manusia dalam pergaulan sebagai akibat kemajuan teknologi jejaring sosial yang semakin berkembang dengan pesat. Kota Kendari pada tahun 2019 menempati urutan ke-2 (Kedua) di provinsi Sulawesi Tenggara sebagai kota yang tingkat kerawanan atas kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi dengan 54 kasus dalam setahun. Kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga (Violence Domestic). Jika di jabarkan lebih detail 54 kasus tersebut memiliki kuantitas perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus (Constant Disputes and Quarrel) sebanyak 627 dengan indikasi faktor kekerasan karena poligami sebanyak 4 kasus dari 54 kasus. Upaya penanggulangan atas kejahatan kekerasan anak di kota Kendari dilakukan melalui dua pendekatan yakni upaya preventif dan upaya represif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat hukum terhadap harta Bersama yang telah dihibahkan orang tua kepada anak dan untuk mengetahui akibat hukum apabila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta gono-gini tersebut. Penulisan ini menggunakan metode penulisan normatif, pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach). Hasil penelitian adalah Akibat hukum harta bersama (gono-gini) yang dihibahkan kepada anak menurut KHI adalah menjadi milik si anak selama pemberian hibah atas harta bersama itu tidak lebih dari sepertiga. Pemberian hibah itu diperhitungkan sebagai warisan dan juga masih dapat ditarik kembali jika harta hibah tersebut masih dalam penguasaan si anak (si penerima hibah). serta Penarikan kembali harta bersama yang dihibahkan kepada anak, dari kasus penarikan/pembatalan hibah pada Pengadilan Agama Kolaka, dapat dilaksanakan apabila harta yang dihibahkan kepada anak itu terbukti tanpa persetujuan dari pihak istri/suami, atau pemberian hibah itu melebihi sepertiga dari jumlah harta bersama. Hal ini mengingat di dalam harta bersama yang dihibahkan itu juga terdapat harta anak-anak yang lain sebagai ahli waris. Di mana sesuai Pasal 210 ayat (2) KHI harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Selain itu, walaupun hibah orang tua kepada anak dapat ditarik kembali, namun penarikan ini hanya dapat dilakukan apabila harta hibah tersebut masih ada dalam penguasaan si penerima hibah, karena apabila sudah beralih kepada pihak ketiga maka akan timbul derden verzet (perlawanan), dan apabila ada permohonan sita, maka niet bevinding atau tidak diketemukan benda objek perkaranya di lapangan.
Upaya dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat pertambangan dilatarbelakangi maraknya aktivitas yang dilakukan perusahaan maupun masyarakat yang tersebar di beberapa wilayah berpotensi menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat penggunaan logam berat dalam mengikat mineral dan lahan bekas tambang menjadi lahan tidak produktif. Kegiatan industri pertambangan selain mempunyai dampak positif karena dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan mendatangkan hasil yang cukup besar sebagai sumber devisa, tetapi sisi lain mempunyai dampak negatif cukup besar yaitu dengan banyaknya perizinan yang dikeluarkan, maka mengakibatkan terjadinya kerusakan, kelestarian hutan, hilangnya ekosistem flora-fauna langka maupun baru dan pencemaran lingkungan, sehingga mengganggu kesehatan, serta hilangnya budaya kearifan lokal masyarakat sekitarnya.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami keberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan HAM dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, dengan fokus analisis terhadap keberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan yang Dibentuk di Daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang mendasarkan pada data sekunder. Hasil penelitian diperoleh bahwa kehadiran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut, dimana dalam Pasal 4 Permenkumham disebutkan bahwa rancangan peraturan perundang-undangan yang dibentuk di daerah disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM sebagai pembina perancang melalui Kepala Kantor Wilayah untuk dilakukan pengharmonisasian, aturan ini menunjukkan bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan harmonisasi tidak memperhatikan serta melemahkan fungsi legislasi yang dimiliki oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian juga mengesampingkan semua tahapan proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah. Sehingga dengan hadirnya Permenkumham tersebut menjadi tidak selaras dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 serta terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 23 Tahun 2014.
Pembentukan peraturan daerah harus memenuhi syarat formal dan materiil. Syarat formal, berkaitan dengan tahapan pembentukan suatu peraturan daerah. Tahapan pembentukan suatu peraturan daerah mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Dalam tesis ini penyusun memfokuskan pada tahapan perencanaan pembentukan suatu peraturan daerah yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sasaran penyusun dalam tesis ini adalah bagaimana legalitas hukum peraturan daerah tanpa melalui tahapan perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan dan tata cara pembatalan peraturan daerah yang tidak melalui tahapan perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Perkembangan zaman telah menghantarkan dunia pada era globalisasi. Globalisasi identik dengan yang namanya kemudahan, kecepatan, dan berhubungan erat dengan teknologi serta inovasi. Salah satu perkembangan pada era globalisasi adalah sektor transportasi. Jika dulu masyarakat memilih taksi konvensional untuk mendapatkan sarana fasilitas yang aman dan nyaman, maka lain halnya dengan saat ini karena transportasi online khususnya taksi online menjadi sarana transportasi darat yang sedang digemari oleh masyarakat. Hal tersebut sempat menimbulkan pro dan kontra di antara para pengemudi. Guna mengakomodasi layanan taksi online tersebut Pemerintah melalui Menteri Perhubungan membuat Peraturan Menteri Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus sebagai payung hukum dari taksi online. Dalam Peraturan tersebut ada salah satu Pasal yang mengatur mengenai kuota taksi online. Sebagaimana diketahui bahwa adanya kuota akan menyebabkan pembatasan jumlah kendaraan. Kemudian sejauh apa peraturan mengenai penetapan kuota ini dibutuhkan, bagaimana cara menetapkan kuota dan upaya apa saja yang dilakukan oleh Pemerintah dalam mengimplementasikan penetapan kuota tersebut. Selain itu dampak apa saja yang akan dialami oleh pengemudi dan pengguna dari adanya penerapan kuota.
Sumberdaya aparatur desa sebagai penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam penyelenggaraan dan penatalaksanaan pemerintahan desa. Sumberdaya aparatur penyelenggara pemerintahan desa merupakan aspek fundamental khususnya berkaitan dengan penyusunan dan pembentukan peraturan desa untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan di desa dalam penatalaksanaan peraturan desa tersebut tidak multitafsir dan bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada diatasnya.Desa sebagai daerah otonom yang secara mandiri membentuk peraturannya sendiri guna penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan demikian hendaknya dalam perumusan peraturan desa harus sesuai dengan asas penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik. Sasaran yang ingin dicapai diantaranya untuk memberikan pemecahan masalah (problem solving) secara ilmiah terhadap masalah dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparatur desa dalam menyusun peraturan desa. Hal ini bertujuan agar penyusunan peraturan desa sesuai dengan asas penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik sekaligus sebagai aspek kebijakan (policy) yang ditujukan kepada pemerintah Kabupaten. Aspek ini merupakan suatu rekomendasi ilmiah yang disusun berdasarkan penelitian normatif sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Peraturan Daerah tentang pedoman penyusunan dan mekanisme penyusunan peraturan desa. Pedoman ini dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi seluruh aparatur desa di Kabupaten.
Hukum merupakan alat utama yang digunakan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, disebabkan karena perkembangan masyarakat dan juga didesak oleh kebutuhan semakin kompleksnya kehidupan sosial di masa sekarang, terutama berkaitan dengan nilai-nilai keadilan gender, hukum harus mengikuti arah perkembangan masyarakat. Pembaharuan hukum tidak lepas dari konsep tentang reformasi hukum yang cakupannya sangat luas, karena reformasi hukum tidak hanya berarti pembaharuan peraturan perundang-undangan. Reformasi hukum mencakup sistem hukum secara keseluruhan, yaitu reformasi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Tulisan ini berusaha mengkaji bagaimana arah pembaharuan hukum pidana Indonesia yang berkeadilan gender sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman dan juga mengakomodasi aspirasi masyarakat Indonesia pada umumnya. Penanggulangan tindak pidana yang didasarkan atas ketimpangan gender, yaitu kekerasan seksual, dapat dilakukan dengan sarana penal (penal policy) melalui kebijakan formulasi, kebijakan aplikasi, dan kebijakan eksekusi. Kebijakan formulasi digunakan untuk mewujudkan hukum yang berperspektif gender dan mengutamakan keadilan gender. Undang-undang yang mengatur hukum pidana dapat dirancang menggunakan konsep khusus (lex specialis) yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual, baik dari aspek hukum materiil maupun hukum formil. Adapun kebijakan aplikasi, model pembaharuannya dilakukan oleh aparatur hukum dan dapat bekerja sama dengan masyarakat, dengan memiliki komitmen bersama dalam melawan segala bentuk tindak pidana yang berbasis ketimpangan gender. Sedangkan dalam kebijakan eksekusi, pemerintah dituntut untuk tegas dan tanpa ada sikap diskriminatif berdasarkan gender maupun pandangan yang merendahkan perempuan dalam melaksanakan tuntutan hukum yang telah diformulasikan maupun yang diputuskan oleh pengadilan.
Hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional warga negara yang diakui sebagai bagian dari hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin UUD 1945. Sebagai hak konstitusional, jaminan pelaksanaan hak tersebut diatur dalam Undang-Undang terkait pemilu anggota legislatif pusat dan daerah, pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun pemilihan kepala daerah. Pengaturan hak itu berada di antara dua paradigma yang saling pro dan kontra menanggapi pencabutan dan pembatasan hak politik warga negara dalam pemilihan umum. Hak warga negara untuk turut dipilih dan memilih dalam pemilihan umum merupakan bagian dari hak politik.
Perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara tidak dapat hanya dengan meratifikasi pengaturan yang mengatur hak-hak asasi warga negara dalam berbagai peraturan perundang-undangan untuk menyahuti tuntutan globalisasi, namun yang terpenting kemudian adalah political will dan konsistensi menjalankan pasal-pasal tersebut dalam tataran perilaku berbangsa dan bernegara, dan ini tidak bisa dilepaskan keharusan adanya Lembaga Negara yang menjaga, menjalankan dan mengawal terwujudnya pengakuan, perlindungan dan penegakkan HAM tersebut. Perwujudan ini dapat diupayakan dengan melakukan harmonisasi dan penguatan kelembagaan HAM dalam konstitusi agar efektif dan independen.
Reformasi administrasi publik makin gencar dilakukan dewasa ini, terutama pasca dikenalnya konsep Doktrin New Public Management (NPM) atau Reinventing Government. NPM merupakan pola transformasi manajemen atau pola transformasi fungsi pemerintahan. Negara Indonesia mengadopsi pemikiran NPM dengan melakukan reformasi keuangan negara yang mulai bergulir sejak akhir tahun 2003. Transformasi beberapa kegiatan pemerintah, itulah cikal bakal lahirnya konsep Badan Layanan Umum (BLU). BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan. Dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU ada di tingkat Pusat, ada pula di tingkat daerah. Adapun instrumen hukum yang mengatur soal BLU, ada berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Tulisan ini, di samping mengulas soal aspek hukum BLU, juga diberikan contoh kasus BLU, yaitu penerapan BLU pada rumah sakit milik pemerintah. Selanjutnya, analisis lebih menukik lagi pada pemecahan masalah, yakni perlu-tidaknya BLU dibuatkan lagi dalam bentuk Peraturan Daerah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat penyusunan peraturan daerah di Kota Kendari dan mekanisme penyusunan peraturan daerah melalui metode Regulatory Impact Assessment. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute aprroach) dan pendekatan konseptual (conceptual aprroach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menghambat proses penyusunan peraturan daerah di Kota Kendari antara lain: a) Substansi hukum (legal subtance): belum adanya panduan penyusunan program pembentukan peraturan daerah (propemperda) yang ditetapkan melalui peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kendari dan beberapa peraturan daerah Kota Kendari tidak menyertakan naskah akademik, b) Struktur hukum (legal structure): kurangnya pemahaman tim perancang khususnya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kendari tentang teori, metodologi, dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan dan kurang melibatkan stakeholder dalam penyusunan peraturan daerah, c) Budaya hukum (legal culture): kurangnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah di Kota Kendari. Sehingga diperlukan suatu metode baru dalam penyusunan peraturan daerah di Kota Kendari melalui metode Regulatory Impact Assessment. Adapun Mekanisme penyusunan peraturan daerah melalui metode Regulatory Impact Assessment adalah sebagai berikut: 1) Perumusan Masalah, 2) Identifikasi tujuan, 3) Alternatif Tindakan, 4) Analisis manfaat dan biaya, 5) Pemilihan Opsi, dan 6) Strategi implementasi kebijakan, semua tahapan dilakukan dengan Konsultasi Publik. Setelah semua tahapan dilakukan disusunlah laporan dalam bentuk Dokumen Regulatory Impact Assessment Statement (RIAS).
Setiap usaha yang dijalankan selalu menghadapi risiko yang berdampak merugikan termasuk juga usaha Bank di bidang pemberian kredit. Salah satu cara yang ditempuh oleh Bank untuk menghilangkan atau meminimalisir risiko adalah dengan mengalihkan risiko tersebut kepada perusahaan asuransi yang memang dimungkinkan baik dari segi bisnis maupun dari segi yuridis. Tulisan ini ditujukan untuk mengkaji implikasi hukum perjanjian kredit perbankan yang memuat klausula asuransi jiwa, yakni antara lain dalam konteks hubungan hukum para pihak, implikasi hukum yang ditimbulkan oleh adanya klausula asuransi jiwa dalam perjanjian kredit, serta aspek perlindungan hukum khususnya terhadap debitur, dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam Perjanjian Kredit Bank yang memuat di dalamnya Klausula Asuransi Jiwa, antara Debitur, Bank, dan Perusahaan Asuransi tidak terjalin hubungan hukum dengan baik dalam rangka menjamin hak-hak masing-masing pihak, khususnya debitur/tertanggung. Akibat hukum yang ditimbulkan adalah bertambahnya beban materiil/finansial yang harus ditanggung oleh debitur. Lebih lanjut tulisan ini menawarkan gagasan bentuk perlindungan hukum kepada debitur sebagai pihak yang kedudukannya paling lemah dalam hubungan tersebut, sehingga mampu mendapatkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum.
Asuransi merupakan suatu perjanjian khusus dan tidak terlepas dari aspek hukum, karena dalam suatu pengajuan klaim asuransi oleh tertanggung bisa menimbulkan terjadinya suatu tindak pidana yaitu kecurangan (Fraud), dalam kancah asuransi dikenal dengan istilah Insurance Fraud. Artikel ini bertujuan untuk menggali hal-hal yang berkaitan dengan pola atau modus operandi fraud pada klaim asuransidan merumuskan kebijakan strategi pencegahan fraud pada klaim asuransi. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum doktrinal. Sumber informasi hukum menggunakan bahan hukum primer (peraturan dan dokumen relevan) untuk selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah perundang-undangan, konseptual, analisis dan perbandingan dalam membantu pemecahan rumusan masalah. Kebijakan pencegahan fraud dalam klaim asuransi diperlukan suatu lingkungan kerja yang kondusif. Para pihak, baik penanggung dan tertanggung asuransi harus mempunyai komitmen serta iktikad baik yang sama agar kebijaksanaan untuk proses klaim asuransi dapat dilaksanakan dengan baik. Pada dasarnya komitmen dan itikad baik tersebut terdapat suatu kebijakan perusahaan asuransi yang merupakan kunci utama dalam mencegah serta mendeteksi fraud atas klaim asuransi. Praktik fraud dalam klaim asuransi biasanya ditemukan karena adanya niat jahat atau mens rea untuk memperoleh keuntungan materi dengan cara melawan hukum, baik dilakukan oleh individu atau bersama-sama. Perbuatan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sangat mengerti prosedur operasional asuransi baik data maupun informasi yaitu dari awal proses underwriting sampai dengan munculnya polis dan bentuk dari peristiwa yang dijamin serta tidak dijamin polis (luas jaminan).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia telah memberikan definisi yang jelas dan seragam berkaitan dengan konsep tindakan plagiarisme dalam karya seni, sastra dan karya ilmiah dan Apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pada saat ini, telah memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pencipta yang dirugikan dalam tindakan plagiarisme dalam karya seni, sastra dan karya ilmiah. Penulisan ini menggunakan metode penulisan normatif, pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach). adapun hasil penelitian adalah KUHP tidak mengenal istilah plagiarisme sebaliknya UUHC tidak menyebut secara eksplisit akan tetapi plagiarisme tersirat dalam Pasal 41,42,43 dan 44 UUHC No. 28 Tahun 2014 yang disebut dengan pengecualian dan pembatasan hak cipta, sedangkan pelanggaran hak cipta dirumuskan tersendiri dalam pasal yang berbeda. UU Sisdiknas menyebut plagiarisme tanpa ada penjelasan lebih lanjut, akan tetapi menyatakan bahwa tindakan plagiarisme dapat dijadikan dasar untuk mencabut gelar akademik seseorang. Sedangkan Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi telah memberikan kejelasan konsep tindakan plagiarisme beserta tindakan yang dilarang. dan perlindungan hukum pada UUHC, UU Sisdiknas dan Permendiknas No. 17 Tahun 2010 didasarkan pada 5 parameter yaitu pengakuan hak bagi pencipta, penetapan plagiarisme sebagai tindak pidana, perumusan sanksi pidana, adanya pidana tambahan, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Parameter tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi pencipta yang paling memadai. kepada pelaku plagiarisme dapat dipertanggung Jawab secara Pidana, Administrasi maupun Perdata serta dapat diterapkan kepada Institusi.
Paten bisa dilihat di dalam Undang-Undang, lebih tepatnya Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016. Undang- Undang telah menyebutkan bahwa pengertian hak paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu. Seorang inventor dapat melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Syarat mendapatkan hak paten ada tiga yaitu penemuan tersebut merupakan penemuan baru. Yang kedua, penemuan tersebut diproduksi dalam skala massal atau industrial. Suatu penemuan teknologi, secanggih apa pun, tetapi tidak dapat diproduksi dalam skala industri (karena harganya sangat mahal /tidak ekonomis), maka tidak berhak atas paten. Yang ketiga, penemuan tersebut merupakan penemuan yang tidak terduga sebelumnya (non obvious). Jadi bila sekedar menggabungkan dua benda tidak dapat dipatenkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prinsip mengenal nasabah pada perdagangan berjangka dalam aturan hukum di Indonesia dan untuk mengetahui pelaksanaan prinsip mengenal nasabah pada perusahaan pialang berjangka di Bali. Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalahmetode penelitian hukum empiris, yakni metode yang menggunakan data penelitian primer sebagai data utama dan data penelitian sekunder sebagai pendukung. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analisis konsep (analytical and conceptual approach). Kesimpulan dalam penelitian ini ada 2 (dua), pertama pengaturan prinsip mengenal nasabah dalam bidang perdagangan berjangka diatur dalam Peraturan Bappebti Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang mewajibkan setiap perusahaan pialang berjangka untuk menerapkan prinsip-prinsip mengenal nasabah untuk meminimalisasi risiko usaha yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Kedua, perusahaan pialang berjangka di Bali pada dasarnya telah menerapkan prinsip-prinsip mengenal nasabah namun belum sesuai dengan standar penerapan prinsip mengenal nasabah yang diatur dalam Peraturan Bappebti Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Artikel ini mengkaji tentang kondisi perlindungan hak kekayaan intelektual masyarakat Kota Baubau dan model pengembangan perlindungan hukum hak kekayaan intelektual masyarakat Kota Baubau. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan historis (historical approach) dan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa Kota Baubau mempunyai potensi yang sangat besar dalam perlindungan HKI karena memiliki keanekaragaman budaya dan hasil- hasil industri kreatif yang mampu hidup dan berkembang dalam menghadapi era perdagangan bebas dan modernisasi yang terjadi saat ini. Namun belum ada yang mendapatkan perlindungan HKI karena terdapat beberapa kendala, di antaranya pertama, masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat bahkan pemerintah tentang hak kekayaan intelektual itu sendiri, mulai dari ruang lingkup, proses pendaftaran, dan manfaat apa yang diperoleh dari adanya perolehan hak dari kekayaan intelektual. Kedua, relatif masih rendahnya insentif atau penghargaan pemerintah atas karya cipta masyarakat hingga pada akhirnya kurang memicu para seniman, peneliti ataupun penemu untuk menghasilkan karya yang inovatif. Ketiga,kurangnya informasi tentang HKI yang disebabkan oleh jauhnya jarak letak tempat penemu/pengrajin terhadap pusat- pusat informasi HKI. Sedangkan Model pengembangan perlindungan Hak kekayaan intelektual masyarakat kota Baubau dapat meliputi : 1)Pembentukan payung hukum berupa perda yang mengatur Hak Kekayaan Intelektual, 2) Pendokumentasian HKI masyarakat Kota Baubau, 3) Peran aktif pihak terkait/pemerintah untuk melindungi dan menumbuhkan kesadaran kepada pengrajin/penemu/seniman akan pentingnya HKI, 4) Membangun budaya hukum bagi masyarakat melalui seminar- seminar atau lokakarya budaya, 5) Pelatihan pencatatan dan pendaftaran HKI.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung (fertilisasi in vitro) dengan menggunakan sperma donor dan rahim sewaan (surrogate mother) dalam perspektif Hukum Perdata. Penulisan ini menggunakan metode penulisan normatif, pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach). Hasil penulisan diperoleh kesimpulan bahwa dalam konsep KUHPerdata, anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung dengan menggunakan sperma donor berkedudukan sebagai anak sah apabila memperoleh pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata), kemudian anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung dengan menggunakan rahim sewaaan (surrogate mother) berkedudukan sebagai anak angkat (Pasal 8 Stb. 1917/129).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menemukan filosofi Ketentuan TRIPS-Plus di bawah kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral (Bilateral Free Trade Agreements=BFTA). Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan komparatif. Penelitian ini menemukan, bahwa filosofi dari ketentuan TRIPS-Plus di bawah BFTA adalah untuk menghilangkan standar minimum dan fleksibilitas yang terkandung dalam ketentuan Perjanjian TRIPS WTO yang berdampak pada: (1) pembatasan alasan untuk pengecualian dari invensi yang bisa di patenkan; (2) membatasi penerbitan lisensi wajib; (3) pembatasan ruang lingkup exhaustion of rights dan impor paralel; (4) perpanjangan jangka waktu pemberian paten; (5) kewajiban perlindungan paten untuk perlindungan varietas tanaman; (6) eksklusivitas atas uji data berkenaan dengan produk farmasi dan kimia; (7) perlindungan untuk jenis-jenis merek dagang baru (8) perlindungan yang kuat untuk teknologi digital. Bila negara-negara menyepakati BFTA dengan mitra/partner dagang tentang ketentuan-ketentuan HKI yang mengandung TRIPS-Plus tersebut di atas maka akan menyebabkan negara tersebut tidak dapat menggunakan fleksibilitas yang diberikan oleh perjanjian HKI pada level multilateral (TRIPS Agreement) dan hal tersebut berdampak pada tidak terpenuhinya hak-hak dasar yaitu: hak atas pendidikan, hak atas kesehatan dan akses obat-obatan secara terjangkau dan murah, serta hak atas pangan.
Pada dasarnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan kontraktual sebagai upaya untuk mencari solusi terbaik bagi kesembuhan pasien yang dikenal dengan “ Transaksi Terapeutik”. Agar hubungan antara dokter dan pasien berjalan dengan baik, maka para pihak dibebani dengan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Namun demikian, tidak jarang atau sering terjadi adanya kerugian yang diderita oleh pasien akibat diabaikannya aturan-aturan yang telah ditetapkan di bidang medis, salah satunya adalah tidak dipenuhinya standar pelayanan medis. Dari latar belakang tersebut tulisan ini akan menganalisis dasar pertimbangan ditetapkannya standar pelayanan medis nasional dan apakah dibentuknya standar pelayanan medis nasional dapat mencegah terjadinya kelalaian medis yang merugikan pasien. Dasar pertimbangan ditetapkannya standar pelayanan medis nasional adalah untuk memenuhi hak atas kesehatan masyarakat dan meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat Indonesia. Hak atas kesehatan ini telah dijamin oleh UUD RI 1945, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Profesi Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan lain yang terkait, termasuk telah diakomodir oleh berbagai konvensi Internasional. Seorang dokter yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan, sekalipun di satu pihak mempunyai otonomi profesi, namun di lain pihak kemandirian tersebut perlu dibatasi dengan berbagai aturan mulai dari aturan intern berupa kode etik profesi, standar profesi dan standar pelayanan medis maupun aturan-aturan hukum. Standar pelayanan medis ini merupakan hukum yang mengikat para pihak yang berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan mencegah terjadinya kelalaian staf medis dalam melakukan tindakan medis.
Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan (PP No. 74/2014, sepeda motor dapat digunakan sebagai alat angkut barang dengan catatan harus memenuhi syarat teknis. Selain itu penggunaan sepeda motor juga dirasa lebih efektif dan efisien untuk pengiriman barang karena dapat menjangkau tempat tujuan dengan lebih cepat. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan teknologi, akhirnya memunculkan suatu inovasi baru berupa penggabungan teknologi dengan pengadaan jasa pengangkutan. Inovasi tersebut berupa layanan pemesanan kendaraan melalui aplikasi pada ponsel pintar. Kemunculan inovasi ini di Indonesia cukup disukai oleh masyarakat karena lebih efektif dan efisien. Melihat permintaan masyarakat yang cukup banyak, hal ini membuat suatu peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Sehingga sampai saat ini banyak bermunculan perusahaan aplikasi penyedia layanan transportasi yakni Go-Jek Indonesia, Uber Indonesia dan Grab Indonesia. Permasalahan yang timbul dengan adanya transportasi online ini adalah bentuk tanggung jawabnya dalam hal melakukan pengangkutan. Sehingga perlu kiranya diketahui lebih jauh agar pengguna transportasi online dapat lebih aman dan nyaman ketika menggunakan jasa yang ditawarkan terutama untuk aplikasi Grab Express. Artikel ini mengambil sampel Grab Indonesia sebagai bahan penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normative artinya semua yang dikaji adalah berdasar peraturan perundang-undangan. Selain itu pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah conseptual approach dan research approach. KataKunci: Transportasi Online; Grab Indonesia; Grab Express; Pengangkutan; Tanggung Jawab.
Hakekat CSR adalah komitmen korporasi untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan menyumbangkan sebagian keuntungannya guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi korporasi maupun masyarakat pada umumnya. CSR tidak hanya sekadar aktivitas kedermawanan (charity) atau aktivitas saling mengasihi (stewardship) yang bersifat sukarela, namun dalam perkembangannya di Indonesia menjadi suatu kewajiban korporasi sebagaimana tertuang UU Perseroan Terbatas. Dalam penyaluran CSR dilakukan secara bervariasi oleh korporasi, ada yang dilaksanakan langsung oleh korporasi, namun juga terkadang korporasi bermitra dengan pihak lain, seperti pemerintah daerah. Dalam praktiknya, prosedur penyaluran bantuan CSR oleh pemerintah daerah dilakukan dengan cara berbeda yaitu dengan tanpa mekanisme APBD (penyaluran langsung) dan penyaluran melalui mekanisme APBD. Bilamana CSR tersebut dalam penyaluran dan pengelolaannya terjadi suatu penyimpangan hukum seperti perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang berdampak pada terjadinya kerugian Negara atau daerah maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Jika terjadi pelanggaran hukum dalam penyaluran dan pengelolaan CSR korporasi secara langsung tanpa melalui mekanisme APBD, maka implikasi hukumnya terbagi dua macam yaitu; perbuatan melanggar hukum yang masuk dalam wilayah hukum perdata dan tindak pidana umum yang masuk wilayah hukum pidana.
Tulisan ini mengkaji tentang kekuatan berlakunya hukum pidana nasional Indonesia terhadap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di negara lain. Hal ini dilakukan demi terlaksananya tanggung jawab negara terhadap warga negaranya dalam memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya. Dalam hukum pidana positif di Indonesia mengadopsi asas teritorial maupun asas personal/prinsip nasional yang aktif. Dalam penerapannya asas teritorial tidak menimbulkan suatu problematik hukum, hal yang berbeda ketika asas personal atau prinsip nasional aktif diterapkan secara ketat maka akan bertentangan dengan kedaulatan negara lain dimana tindak pidana itu dilakukan. Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Cara pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan berlakunya hukum pidana nasional terhadap Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di negara lain dikenal dengan asas nasional aktif. Asas nasional aktif ini memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana suatu negara terhadap warga negaranya di mana pun dia berada. Namun dalam konteks Indonesia pemberlakuan asas nasional aktif ini terkhusus kepada tindak pidana-tindak pidana yang disebut secara limitatif dalam ketentuan Pasal 5 KUHP. Hal yang berbeda ketika warga negara yang melakukan tindak pidana di negara lain tetapi keberadaannya telah berada di Indonesia, maka dalam hal ini ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dapat diberlakukan terhadap warga negaranya.
Isu ketenagakerjaan merupakan salah satu isu penting yang perlu mendapat perhatian baik di tingkat nasional maupun di dunia internasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kerja antara pekerja/karyawan dengan PT. SDIC Papua Indonesia Cement Manokwari. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan dengan mengkaji dan menganalisis beberapa undang-undang yang berkaitan dan relevan dengan isu penelitian pada tataran praktis.Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian kerja antara karyawan dengan PT. SDIC Papua Indonesia Cement Manokwari pada dasarnya merupakan kesepakatan pihak perusahaan dengan pihak serikat pekerja, namun demikian kedudukan yang tidak berimbang secara ekonomis, mengakibatkan kesepakatan berjalan satu arah dimana perusahaan lebih dominan dalam menentukan isi kontrak, sehingga asas kebebasan berkontrak kurang terpenuhi. Pelaksanaan perjanjian antara pekerja/karyawan dengan PT. SDIC Papua Indonesia Cement Manokwari dalam memperoleh hak-hak dasar Pengupahan kurang terimplementasi dengan baik.
The Industrial relations dispute which is resolved through the Industrial Relations Court puts the workers/laborers against the employers and bases their formal source of law on the Article 57 of Law No. 2/2004 which basically uses the civil procedure except under special regulation. The analysis in this study shows that the implementation of civil procedure actually contravenes the labor law. The characteristics of the Industrial Relations Court procedure differs from the civil procedure.
A Creative Commons License is a public license which can be used by a creator or an inventor regarding a royalty-free license both for commercial and non-commercial uses. The commercial use of a creation financially inflicts the licensor since there is no economic right from the royalty from the user of the creation. This paper is a result of a study which applied a normative juridical approach. The study aims to find out the protection of economic right of the licensor for his or her creation, which is under creative commons license, which is used for commercial purposes. The economic right protection of the licensor whose work is under common creative license which is used commercially is the same as that of other licenses because a creative commons license is basically the same as other license agreements which bind parties involved in an agreement. The protection is given through the Act of the Republic of Indonesia Number 28 Year 2003 Concerning Copyright.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance dalam pengelolaan perusahaan daerah di Kota Kendari serta untuk mengetahui dan menemukan suatu formulasi yang berkaitan dengan strategi penerapan prinsip Good Corporate Governance dalam pengelolaan perusahaan daerah di Kota Kendari. Penulisan ini menggunakan metode penulisan normatif empiris, pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach). Hasil penulisan diperoleh kesimpulan bahwa Strategi penerapan prinsip Good Corporate Governance dalam pengelolaan perusahaan daerah di Kota Kendari, yaitu (a) Perlunya pemahaman bersama antara Pemerintah Daerah dan BUMD tentang pentingnya penerapan prinsip Good Corporate Governance, (b) Perlunya peraturan daerah secara khusus mengatur tentang pengaturan Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Lingkungan Pemerintah Kota Kendari, (c) Mempertegas kewenangan PD Pasar dan PDAM Tirta Anoa dengan kembali merujuk peraturan daerah Nomor 03 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Pasar Kota Kendari Tirta Anoa Kota Kendari dibentuk melalui Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 3 Tahun 1976 Tentang Perusahaan Air Minum (PAM) Daerah Kabupaten Tingkat II Kendari serta Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010.
The aim of the paper is to explain humanitarian values on reconciliation of criminal law in the reform of the Penal Code. Reconciliation is a tool to accomplish a problem or law cases that occur in the private and public fields. Currently, reconciliation has been often used to resolve criminal cases, because this solution is more oriented toward human values. The research is library studies, so secondary data (journals, legal documents, and literature) is the main data. The result of the research shows that there are two approaches to discussing human values of reconciliation. Firstly, the values approach shows that reconciliation as consensus - discussion is an admission of guilt in the form of apology, which is containing equality values, rationality, frankness, righteousness, and transparency. Secondly, the policy approach indicates that consensus – the discussion has flexible value and is proportional.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan harmonisasi antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan legal culture dalam penegakan pasal zina beserta permasalahannya. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan jenis penelitian kualitatif. Meskipun sudah ada aturan hukum pidana positif yang mengatur terkait tindak pidana zina, namun belum bisa menampung semua permasalahan yang terjadi di Indonesia tentang zina. Aturan terkait zina yang belum bisa tertampung adalah aturan mengenai zina yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan dengan siapa pun. Sehingga guna menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat, masyarakat menggunakan hukum adat yang mereka pegang teguh sebagai pedoman dan panduan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, diperlukan suatu pembaharuan dalam hukum pidana guna menampung permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat yang tidak dapat terpenuhi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini.
Kewenangan eksekutif menjalankan eksekutif review menjadi salah satu pertentangan yang berarti terhadap paradigma implementasi pemerintahan daerah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Di satu sisi, eksekutif membutuhkan kewenangan eksekutif review dalam mengharmonisasikan kebijakan antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah, akan tetapi disisi lain dalam doktrin pemisahan kekuasaan pengujian Peraturan-peraturan daerah merupakan wewenang dari lembaga yudikatif yang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia amanatnya dijalankan oleh Mahkamah Agung. Berangkat dari kondisi tersebut maka memungkinkan dilakukannya eksekutif review dilakukan bukan hanya oleh Presiden, akan tetapi tetap memperhatikan persetujuan Mahkamah Agung. Diharapkan melalui reposisi yang demikian akan mengedepankan upaya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat , Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdapat ketimpangan kewenangan antara DPD dan DPR. Pada Undang-Undang tersebut, DPR diberikan kewenangan untuk dapat memutuskan perundang-undangan melalui persetujuan bersama dengan presiden. Sedangkan pada Dewan Perwakilan Daerah tidak terdapat pasal pada UUD 1945 mengenai kewenangan DPD RI untuk dapat memutuskan perundang-undangan seperti halnya DPR RI melainkan hanya fungsi legislasi DPD yang sekedar memberi pertimbangan saja. Kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif dalam rangka pembentukan Undang-Undang menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah terbatas baik dilihat dari bentuk kelembagaan maupun dilihat dari lingkup kewenangannya. Oleh karena itu adanya pembatasan terhadap bentuk kewenangan dibidang legislasi tersebut, yaitu hanya terhadap mengajukan rancangan undang-undang, ikut membahas, dan memberikan pertimbangan, adalah jelas merupakan penyimpangan dari status dan kondisi yang dikehendaki dari pembentukan Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan lembaga perwakilan. Model ideal penataan kewenangan DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang ke depan meliputi: penerapan Sistem Bikameral Efektif, Penguatan Kewenangan DPD RI melalui Interpretasi Yudisial, dan Reformasi Kewenangan Legislasi DPD.