Figure 1 - uploaded by Monika Magnusson
Content may be subject to copyright.
A four-cycle view of design science research. (Drechsler & Hevner, 2016, p. 5). 

A four-cycle view of design science research. (Drechsler & Hevner, 2016, p. 5). 

Source publication
Conference Paper
Full-text available
Societal threats such as global warming and terror attacks make crisis preparedness and crisis training a major priority in governments worldwide. Unfortunately, training is limited, partly due to complex and resource-demanding planning of traditional exercises. Several crisis training software have been developed as a complement. However, reports...

Citations

... Researchers have long been studying people's needs during the emergency and their needs for how the crisis should be managed. On the one hand, knowing how people respond to potential social emergencies, such as terror attacks, earthquakes and pandemic, help crisis managers to better design training programs or technological supports to enhance community resilience (Magnusson et al., 2018;Suhaimi et al., 2022). On the other hand, collecting diverse needs from different stakeholders also improves societal collaborations and policy innovations, ranging from policy planning for both governments and industries (Hao et al., 2020;Sharma et al., 2022) to the development of new emergency technology for people (Ardito et al., 2021). ...
Article
Full-text available
In the COVID-19 pandemic, digital technologies (DT) supported the design and implementation of solutions addressing new needs and living conditions. We describe Design for Emergency, a digital open design platform developed to ideate solutions for people's fast-changing needs in the pandemic, to analyze how DT can affect human-centered design processes during emergencies. We illustrate how DT: i) helped quickly collect and analyse people's needs in different countries, visualize such data, and identify design directions and problem spaces; ii) facilitated the creation of a virtual network of stakeholders and an open-innovation digital platform; iii) inspired the ideation of solutions responding to people's changing needs and affected their implementation. We discuss the implications of adopting DT in designing for and during emergencies, as well as their current and future potential to promptly respond to emergency situations through a human-centered approach.
... Pada dasarnya bencana tidak dapat dihindarkan namun bencana dapat diminimalikan, sehingga penderitaan yang ditimbulkan dapat dikurangi. Salah satu cara yang dapat dilakukan pada era informasi saat ini adalah dengan menerapkan Manajemen Bencana yang efektif melalui penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang akurat dan handal (Magnusson & Nyberg, 2018). Meskipun saat ini sudah ada pemanfaatan TIK dalam penganganan bencana, sampai saat ini belum ada sistem yang secara spesifik dapat memberitakan bencana secara langsung dan terintegrasi dengan berbagai Media sosial, seperti facebook, twiter, Instagram, dsb. ...
Book
Full-text available
Biodiversitas merupakan kelimpahan berbagai makhluk hidup dan keragaman ekosistemnya. Negara kita memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi sehingga dikenal sebagai megabiodiversity. Namun negara kita juga terkenal memiliki potensi akan berbagai bencana alam. Kerusakan biodiversitas akan lebih besar pada ekosistem pulau, seperti Indonesia yang sebagian besar wilayahnya merupakan kepulauan. Untuk menjaga biodiversitas dapat diterapkan konsep ekologi rekonsiliasi, yaitu upaya konservasi biodiversitas di daerah yang sudah dipengaruhi manusia, misalnya lahan pertanian, perkotaan, maupun industri. Konsep ini berbeda dengan upaya konservasi pada umumnya yang menitik beratkan pada wilayah konservasi, seperti wilayah yang merupakan hutan alam. Untuk itu dalam tulisan ini dijelaskan berbagai contoh penerapan konservasi biodiversitas di berbagai bentuk wilayah. Walaupun demikian, tetap diperlukan adanya konservasi di lahan yang merupakan kawasan yang belum dipengaruhi manusia. Secara lebih rinci tulisan ini membahas pentingnya upaya menjaga biodiversitas dari kerusakan akibat bencana, baik bencana alam maupun bencana buatan manusia.
... Pada dasarnya bencana tidak dapat dihindarkan namun bencana dapat diminimalikan, sehingga penderitaan yang ditimbulkan dapat dikurangi. Salah satu cara yang dapat dilakukan pada era informasi saat ini adalah dengan menerapkan Manajemen Bencana yang efektif melalui penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang akurat dan handal (Magnusson & Nyberg, 2018). Meskipun saat ini sudah ada pemanfaatan TIK dalam penganganan bencana, sampai saat ini belum ada sistem yang secara spesifik dapat memberitakan bencana secara langsung dan terintegrasi dengan berbagai Media sosial, seperti facebook, twiter, Instagram, dsb. ...
Book
Full-text available
Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Kebencanaan. (2019). Editors: Diki, Sri Utami, Yuni Tri Hewindati, Elin Herlinawati. Bencana merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari, baik itu bencana yang terjadi secara alami maupun yang disebabkan karena faktor manusia. Bencana alam dapat terjadi karena faktor geografis dan geologis, seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus. Sedangkan bencana yang disebabkan karena faktor manusia, contohnya adalah kekeringan, badai, penyakit akibat bahan pencemar yang terpapar ke lingkungan, tanah longsor, kecelakaan, dan perang (WHO/EHA, 2002; World Bank 2018). Apapun bentuk dan penyebabnya, dampak dari bencana sangat merugikan umat manusia. Dampak suatu bencana dapat meliputi rusaknya harta benda, hilangnya nyawa, atau rusaknya infrastruktur. Di negara kita, bencana alam seperti gempa dan tsunami seperti yang terjadi di Lombok, Palu dan Banten pada tahun 2018 mengakibatkan kerusakan dan korban jiwa yang sangat banyak. Bahkan, bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 menyebabkan sekitar 170.000 orang meninggal dunia (Pratama, A.N., 2018). Kerugian suatu bencana dapat diperburuk oleh dampak tidak langsung dari bencana. Di negara berkembang, kerugian akibat dampak tidak langsung suatu bencana lebih besar dari kerusakan utama, bahkan dapat mencapai 20 kali lipat berdasarkan GDP (World Bank, 2018). Untuk mengurangi dampak dari bencana, serangkaian upaya dapat dilakukan, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Upaya yang disebut dengan mitigasi tersebut tercantum di dalam Pasal 1 ayat 6 PP No 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Melihat kondisi dan seringnya peristiwa bencana di Indonesia, mitigasi bencana merupakan hal yang perlu menjadi prioritas dan mendapatkan dukungan penuh dari seluruh pihak. Peranan ilmu pengetahuan dan teknologi pada berbagai bidang ilmu seperti matematika, sains, dan teknologi dapat memberikan kontribusi terhadap mitigasi bencana. Berbagai kajian bidang ilmu dalam mitigasi bencana tersebut terangkum dalam buku ini. Salah satu hal dasar yang mendukung mitigasi bencana adalah ketersediaan informasi untuk tiap jenis bencana. Data tentang terjadinya bencana, dampak terhadap masyarakat, dan kerugian biaya yang ditimbulkannya adalah bahan penting dalam menganalisis kecenderungan waktu dan lokasi bencana. Adanya basis data yang akurat, termasuk data tipologi bencana di setiap wilayah akan membantu dalam pengurangan risiko (Nair, Gupta, & Roder, 2013). Selain itu, keberadaan data bencana juga diperlukan untuk membuat keputusan yang membantu pemangku kepentingan (WHO/EHA, 2002; World Bank, 2018). Di bidang sains, mitigasi bencana pada buku ini menekankan pada pengelolaan lingkungan hidup secara bijaksana. Sebagai negara yang sering mengalami bencana, kekayaan biodiversitas terutama hewan langka dan endemik di Indonesia dapat terancam punah. Oleh karena itu pengelolaan kawasan konservasi perlu mempertimbangkan adanya risiko bencana alam (Nishida, Yokoyama, Wagstaff, & Callomon, 2017), termasuk juga wilayah di luar kawasan konservasi, seperti daerah pertanian, perkotaan, dan industri (Rosenzweig, 2003). Salah satu wilayah konservasi sumberdaya alam yang perlu mendapat perhatian adalah hutan mangrove. Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, dan berkontribusi sebesar 23% terhadap hutan mangrove di dunia (Kuswandono, 2017). Morfologi dan struktur anatomi vegetasi mangrove yang khas pada akar dan daun, sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim, mampu mengurangi berbagai bencana yang terjadi di wilayah pesisir. Berbagai bencana yang dapat dikurangi dengan keberadaan mangrove adalah badai, tsunami, abrasi, dan intrusi air laut ke wilayah daratan. Selain hutan mangrove, pengelolaan lahan gambut juga perlu mendapat perhatian. Lahan gambut merupakan penyimpan gas penyebab efek rumah kaca. Dengan tetap menjaga kelestarian lahan gambut, gas penyebab efek rumah kaca tidak terlepas ke atmosfir. Oleh karena itu perlu ada restorasi lahan gambut agar kesuburan dan kelestariannya tetap terjaga. Pengelolaan lingkungan hidup lainnya untuk mitigasi bencana adalah dalam hal pengelolaan sampah plastik. Indonesia adalah negara penghasil sampah plastik nomor dua di dunia yang berkontribusi atas 3,2 juta ton sampah di lautan setiap tahunnya (World Bank, 2018). Plastik merupakan produk yang banyak digunakan untuk berbagai macam kebutuhan manusia. Limbah plastik yang tidak terkendali akan berdampak terhadap kesehatan dan lingkungan yang akhirnya dapat menimbulkan bencana, seperti emisi gas rumah kaca ke atmosfir serta banjir. Oleh karena itu pengelolaan sampah menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya bencana pencemaran akibat pembuangan sampah plastik. Selain beberapa hal di atas, pengelolaan lingkungan hidup sebagai langkah dalam mitigasi bencana, juga dicerminkan melalui peran serta masyarakat dalam menjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Masyarakat tradisional memiliki nilai atau kepercayaan dan berbagai kearifan lokal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui kearifan lokal tersebut, pengelolaan lingkungan hidup secara bijaksana akan dapat terus terjaga. Di bidang matematika, mitigasi bencana dikaitkan dengan pendeteksian bencana melalui permodelan matematika. Model matematika dapat digunakan untuk simulasi perambatan gelombang tsunami. Model ini disusun dari persamaan Navier-Stokes dan digital elevation model. Metode ini dapat memperhitungkan kecepatan dan menentukan titik evakuasi serta akses ke lokasi bencana (Urrutia, Bautista, & Baccay, 2014). Sedangkan di bidang teknologi, kegiatan mitigasi diberikan melalui pemanfaatan sistem informasi untuk memberikan peringatan dini atau early warning bila terjadi suatu bencana. Pemanfaatan sistem informasi ini salah satunya diberikan melalui portal berita digital. Teknologi ini memudahkan penyebaran informasi bencana yang dikembangkan dengan metode system development life cycle. Melalui sistem informasi peringatan dini ini maka pihak terkait mampu memberikan penanganan yang tepat dan dapat mengurangi kerugian akibat bencana (WHO/EHA, 2017; World Bank, 2018). Berbagai ulasan kegiatan mitigasi bencana dalam buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kesadaran dan kesiapan dalam menghadapi risiko bencana. Bagi para pengambil kebijakan, buku ini berguna sebagai acuan dalam penerapan ilmu pengetahuan terkini untuk mitigasi bencana. Bagi masyarakat, buku ini dapat menjadi bahan dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya upaya mitigasi untuk menghadapi risiko bencana.
... In this article, we propose information systems (IS), developed in the Swedish-Norwegian R&D project CriseIT, as a complement to conventional crisis or disaster management training methods. In-depth interviews in the CriseIT project with 19 respondents from 16 organizations handling societal crisis at local, regional and national levels showed that the organizations wanted more training, especially for the strategic level [11]. Regrettably, the organizations found this difficult to accomplish in practice, due to a lack of resources and the current training methods. ...
Chapter
The ongoing digital transformation in government has enabled innovative changes in operational processes and service. However, while e-services and social media are widely adopted, earlier studies indicate that this transformation is still being awaited in other areas, such as crisis or disaster preparedness. Recent events such as the 2018 wildfires in several parts of Europe, as well as empirical research, highlight the need for more (systematic) training of local governments’ crisis management teams. Conventional training methods are time- and space-dependent and require long-term planning, making it complicated to increase the extent of training. In this interdisciplinary study, we report on the results from the Swedish-Norwegian CriseIT project that aimed to develop information systems (IS) for crisis management training. The purpose of the article is to describe information systems designed to support local governments’ crisis management training and to discuss how these artefacts could improve crisis management training practices.
Chapter
What are the determinants of social media adoption by local government? This ongoing research provides a tentative answer to this question by analysing the 308 municipalities in Portugal. Extending previous analyses of Facebook and/or Twitter usage levels, we examine why local governments adopt a particular social media platform. More concretely, we explore, with statistical analyses, the determinants of the adoption of different types of social media. We investigate the adoption of three extremely popular social media (i.e. Facebook, Twitter and YouTube) as well as possible alternatives to those, more popular, applications. Since these platforms have distinct natures and can serve diverse purposes, we examine to what extent aspects such as local government’s commitment to transparency and participation, administrative capacity, media landscape, and socio-demographic and economic factors can explain the adoption of certain social media platforms. The results show that, indeed, demographic characteristics and administrative capacity are important factors for the adoption of less popular social media. Surprisingly, we also observe a geographical difference in municipalities’ social media adoption, with the south, in this regard, being ‘trendier’, or more innovative, than the north.